Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine


Bleeding adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun
di luar siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon
(hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan
ini juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur
tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan
perdarahan umum.1,2,3,4
Diagnosa Dysfunctional Uterine Bleeding dapat ditegakkan bila tidak
ditemukan kelainan organ.3 Gangguan pola menstruasi adalah tampilan klinis
yang umum. PUD umum terjadi pada awal dan akhir usia reproduksi, dimana
sering terjadi PUD anovulatori. Selama periode ini, PUD terjadi sekunder akibat
penurunan esterogen. PUD dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin
atau dapat terjadi pada siklus menstruasi normal (PUD ovulatori).
Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap umur antara menarche dan
menopause. Tetapi, kelainan ini lebih sering dijumpai sewaktu masa permulaan
dan masa akhir fungsi ovarium. Dua pertiga dari wanita-wanita yang dirawat di
rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur di atas 40 tahun, dan 3 % di
bawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek banyak dijumpai pula perdarahan
disfungsional dalam masa pubertas, akan tetapi keadaan ini dapat sembuh sendiri,
sehingga jarang diperlukan perawatan di rumah sakit.4
Pembagian endometrium dalam endometrium jenis nonsekresi dan
endometrium jenis sekresi penting artinya, karena dengan demikian dapat
dibedakan perdarahan yang anovulatoar dari yang ovulatoar. Klasifikasi ini
mempunyai nilai klinis karena kedua jenis perdarahan disfungsional ini
mempunyai dasar etiologi yang berlainan dan memerlukan penanganan yang
berbeda. Pada perdarahan disfungsional yang ovulatoar gangguan dianggap
berasal dari factor-faktor neuromuscular, vasomotorik, atau hematologik, yang

1
mekanismenya belum seberapa dimengerti, sedangkan perdarahan anovulatoar
biasanya dianggap berasal pada gangguan endokrin.4
Karena diagnosis PUD didasarkan pada penyingkiran penyebab patologis,
maka penting untuk mengetahui diagnosis banding PUD. Hingga 40 persen
wanita dengan PUD pada akhirnya akan diperoleh diagnosis lain jika diselidiki
secara intensif. Morbiditas psikiatrik juga berhubungan dengan PUD. Penelitian
komunitas menunjukkan bahwa wanita yang memiliki skor tinggi pada skor
psikiatrik lebih sering mengeluhkan gangguan menstruasi.
PUD meliputi setiap kondisi perdarahan uterus abnormal tanpa adanya
kehamilan, neoplasma, infeksi, atau lesi intra uterin lainnya. Perdarahan ini paling
sering sebagai akibat disfungsi endokrinologis yang menghambat ovulasi normal.4

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Definisi

Perdarahan Uterus Disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine


Bleeding adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun
di luar siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon
(hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan
ini juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur
tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan
perdarahan umum.1,2,3,4

2.2. Siklus Mentsruasi


Menstruasi normal terjadi akibat turunnya kadar progesteron dari
endometrium yang kaya esterogen. Siklus menstruasi yang menimbulkan ovulasi
disebabkan interaksi kompleks antara berbagai organ. Disfungsi pada tingkat
manapun dapat mengganggu ovulasi dan siklus menstruasi. Siklus menstruasi
normal terjadi setiap 21-35 hari dan berlangsung sekitar 2-7 hari. Pada saat
menstruasi, jumlah darah yang hilang diperkirakan 35-150 ml, biasanya berjumlah
banyak hingga hari kedua dan selanjutnya berkurang sampai menstruasi berakhir.1
Selama fase folikuler dari siklus ovarium normal (berkaitan dengan fase
proliferatif dari siklus endometrium), kadar estrogen meningkat, awalnya
perlahan-lahan kemudian lebih cepat, karena folikel ovarium yang dominan
muncul, tumbuh, dan matang. Sebagai respon terhadap estrogen tersebut, lapisan
fungsional dari endometrium tumbuh kembali, setelah luruh selama menstruasi
sebelumnya. Setelah ovulasi, korpus luteum yang berasal dari folikel ovulatorik
terus menghasilkan estrogen, namun saat ini dan yang lebih penting, juga
progesteron. Selama fase luteal dari siklus ovarium (berkaitan dengan fase
sekretorik dari siklus endometrium), kadar estrogen dan progesteron meningkat
bersamaan saat korpus luteum tumbuh menjadi matang. Sebagai respon terhadap
3
kerja kombinasi dari estrogen dan progesteron, endometrium berubah dan diatur
untuk datangnya serta implantasi dari hasil konsepsi yang diharapkan. Jika
kehamilan dan peningkatan cepat dari kadar gonadotropin korionik manusia
(hCG) tidak menstimulasi dan ‘menyelamatkan’-nya, korpus luteum mengalami
regresi spontan dalam bentuk kematian sel yang telah diprogram sebelumnya.
Begitu terjadi hal tersebut, kadar estrogen dan progesteron turun secara konstan,
akhirnya menarik dukungan fungsional untuk endometrium. Menstruasi dimulai,
menandai akhir dari satu siklus endometrium dan dimulainya siklus lain.2,4

Dari sudut pandang endometrium, gambaran endokrin dari siklus ovarium


cukup sederhana; jumlah hormon yang dihasilkan hampir tidak sepenting
rangkaian dimana mereka muncul: estrogen, diikuti dengan estrogen dan

4
progesteron, diikuti dengan withdrawal kedua hormon. Dari semua tipe hubungan
hormon-endometrium yang berbeda, stimulasi dan withdrawal estrogen-
progesteron menghasilkan endometrium yang paling stabil serta karakteristik
menstruasi yang paling reproduksibel. Rangkaian tersebut begitu mengendalikan
sehingga kebanyakan wanita ovulatorik mempunyai pola, volume, dan durasi
aliran menstruasi yang dikenalinya sendiri dan diharapkan, yang sangat sering
disertai oleh pola molimina premenstruasi yang sama konsisten dan dapat
diprediksi (pembengkakan, perlunakan payudara, perubahan mood). Bahkan
sedikit penyimpangan dari pola biasa dalam hal waktu, jumlah atau lama aliran
dapat menyebabkan kekhawatiran. Perhatian teliti terhadap detil riwayat
menstruasi dapat sangat membantu dalam membedakan perdarahan anovulatorik
dari penyebab-penyebab lainnya.1,4
Variasi dalam aliran menstruasi dan panjang siklus biasa terjadi pada usia
reproduksi ekstrim, selama masa remaja awal dan sebelum menopause. Prevalensi
dari siklus-siklus anovulatorik paling tinggi pada wanita-wanita berusia kurang
dari 20 dan lebih dari 40. Menarche biasanya diikuti oleh siklus yang relatif
panjang kira-kira 5-7 tahun, yang lamanya berkurang secara bertahap dan menjadi
lebih teratur. Meskipun karakteristik-karakteristik siklus menstruasi biasanya
tidak berubah selama usia reproduksi, panjang dan variabilitas siklus keseluruhan
berkurang secara lambat. Biasanya, nilai rata-rata dari panjang dan rentang siklus
mencapai titik terendah pada usia kira-kira 40-42. Selama 8-10 tahun berikutnya
sebelum menopause, tren ini terbalik; baik panjang maupun variabilitas siklus
rata-rata meningkat secara tetap karena ovulasi menjadi kurang teratur dan sering.
Rata-rata panjang siklus lebih besar pada wanita-wanita dengan massa dan
komposisi tubuh ekstrim; indeks massa tubuh yang tinggi dan rendah, massa
tubuh yang gemuk dan massa tubuh yang kurus berkaitan dengan peningkatan
rata-rata panjang siklus.1,4
Secara umum, variasi dalam panjang siklus mencerminkan perbedaan dalam
panjang fase folikuler dari siklus ovarium. Wanita-wanita yang punya siklus 25
hari mengalami ovulasi pada atau kira-kira pada hari 10-12, dan wanita-wanita
yang punya siklus 35 hari mengalami ovulasi kira-kira 10 hari kemudian. Dalam
5
beberapa tahun setelah menarke, fase luteal menjadi sangat konsisten (13-15 hari)
dan tetap begitu sampai perimenopause. Pada usia 25 tahun, lebih dari 40% siklus
panjangnya antara 25 dan 28 hari; dari usia 25 hingga 35 adalah lebih dari 60%.
Meskipun hal ini merupakan interval antar menstruasi yang paling sering
dilaporkan, hanya kira-kira 15% siklus pada wanita usia reproduksi yang benar-
benar panjangnya 28 hari. Kurang dari 1% wanita punya siklus teratur yang
berlangsung kurang dari 21 hari atau lebih dari 35 hari. Kebanyakan wanita punya
siklus yang berlangsung dari 24 hingga 35 hari, namun paling tidak 20% wanita
mengalami siklus ireguler.4
Durasi aliran menstruasi biasanya adalah 4-6 hari, namun untuk beberapa
wanita (kira-kira 3%) menstruasi dapat berlangsung 2 hari atau 7 hari. Volume
rata-rata dari kehilangan darah menstruasi kira-kira 30 mL; lebih dari 80 mL
adalah abnormal. Aliran dapat berlebihan tanpa menjadi lama secara abnormal
karena kebanyakan kehilangan darah menstruasi terjadi pada 3 hari pertama.4
Konsep klasik menstruasi normal utamanya berasal dari observasi langsung
terhadap perubahan-perubahan siklik dalam endometrium yang ditransplantasi
dari uterus ke kamera okuli anterior primata bukan manusia; peristiwa-peristiwa
vaskuler memainkan peran kunci dalam penjelasan mengenai bagaimana
menstruasi dimulai dan berakhir. Awalnya, menstruasi dibayangkan sebagai
nekrosis iskemik dari endometrium yang disebabkan oleh vasokonstriksi arteriol-
arteriol spiral pada lapisan basal, yang dicetuskan oleh withdrawal estrogen dan
progesteron. Secara serupa, akhir dari menstruasi dijelaskan dengan gelombang
vasokonstriksi yang lebih lama dan lebih intens dikombinasi dengan mekanisme-
mekanisme koagulasi yang diaktifkan oleh stasis vaskuler dan kolaps
endometrium, dibantu oleh reepitelisasi cepat yang diperantarai oleh estrogen
yang berasal dari kohort folikuler baru yang muncul.4

2.3. Klasifikasi2,4

Perdarahan uterus disfungsional dapat berlatar belakang kelainan-kelainan


ovulasi, suklus haid, jumlah perdarahan dan anemia yang ditimbulkannya.

6
Berdasarkan kelainan tersebut maka perdarahan uterus disfungsional dapat dibagi
seperti table dibawah ini:

Perdarahan uterus disfungsional biasanya berhubungan dengan satu dari tiga


keadaan ketidak seimbangan hormonal, berupa: estrogen breakthrough bleeding,
estrogen withdrawal bleeding dan progesterone breakthrough bleeding.
Pada perdarahan uterus disfungsional ovulatorik perdarahan abnormal terjadi pada
siklus ovulatorik dimana dasarnya adalah ketidakseimbangan hormonal akibat
umur korpus luteum yang memendek atau memanjang, insufisiensi atau
persistensi korpus luteum. Perdarahan uterus disfungsional pada wanita dengan
siklus anovulatorik muncul sebagai perdarahan reguler dan siklik.
Sedang pada perdarahan uterus disfungsional anovulatorik perdarahan
abnormal terjadi pada siklus anovulatorik dimana dasarnya adalah defisiensi
progesterone dan kelebihan progesterone akibat tidak terbentuknya korpus luteum
aktif, karena tidak terjadinya ovulasi. Dengan demikian khasiat estrogen terhadap
endometrium tak ber lawan. Hampir 80% siklus mens anovulatorik pada tahun
pertama menars dan akan menjadi ovulatorik mendekati 18-20 bulan setelah
menarche.
Perdarahan uterus disfungsional dikatakan akut jika jumlah per darahan pada
satu saat lebih dari 80 ml, terjadi satu kali atau berulang dan memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera. Sedangkan perdarahan uterus disfungsional kronis
7
jika perdarahan pada satu saat kurang dari 30 ml terjadi terus menerus atau tidak
tidak hilang dalam 2 siklus berurutan atau dalam 3 siklus tak berurutan, hari
perdarahan setiap siklusnya lebih dari 8 hari, tidak memerlukan tindakan
penghentian perdarahan segera, dan dapat terjadi sebagai kelanjutan perdarahan
uterus disfungsional akut.

2.4. Etiopatogenesis
Patologi PUD bervariasi. Gambaran penting salah satu kelompok PUD
adalah gangguan aksis hipotalamus–pituitari–ovarium sehingga menimbulkan
siklus anovulatorik. Kurangnya progesteron meningkatkan stimulasi esterogen
terhadap endometrium. Endometrium yang tebal berlebihan tanpa pengaruh
progestogen, tidak stabil dan terjadi pelepasan irreguler. Secara umum, semakin
lama anovulasi maka semakin besar resiko perdarahan yang berlebihan. Ini adalah
bentuk PUD yang paling sering ditemukan pada gadis remaja.1,4,5
Korpus luteum defektif yang terjadi setelah ovulasi dapat menimbulkan PUD
ovulatori. Hal ini menyebabkan stabilisasi endometrium yang tidak adekuat, yang
kemudian lepas secara irreguler. Pelepasan yang irreguler ini terjadi jika terdapat
korpus luteum persisten dimana dukungan progestogenik tidak menurun setelah

8
14 hari sebagaimana normalnya, tetapi terus berlanjut diluar periode tersebut. Ini
disebut PUD ovulatori.1,2,3,4,5
Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus ovulasi
(pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa ovulasi maupun keadaan
lain, misalnya pada wanita premenopause (folikel persisten). Sekitar 90%
perdarahan uterus difungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi
(anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi.1,2,4

Pada siklus ovulasi


Perdarahan rahim yang bisa terjadi pada pertengahan menstruasi maupun
bersamaan dengan waktu menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya
kadar hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap terbentuk.1,4
Ovulasi abnormal (PUD ovulatori) terjadi pada 15 – 20 % pasien PUD dan
mereka memiliki endometrium sekretori yang menunjukkan adanya ovulasi
setidaknya intermitten jika tidak reguler. Pasien ovulatori dengan perdarahan
abnormal lebih sering memiliki patologi organik yang mendasari, dengan
demikian mereka bukan pasien PUD sejati menurut definisi tersebut. Secara
umum, PUD ovulatori sulit untuk diobati secara medis.1,4

Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)1,2,4


Perdarahan rahim yang sering terjadi pada masa pre-menopause dan masa
reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga kadar hormon estrogen
berlebihan sedangkan hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti
penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah
penyebab terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang rapuh.
Anovulasi kronik adalah penyebab PUD yang paling sering. Keadaan
anovulasi kronik akibat stimulasi esterogen terhadap endometrium terus menerus
yang menimbulkna pelepasan irreguler dan perdarahan. Anovulasi sering terjadi
pada gadis perimenarche. Stimulasi esterogen yang lama dapat menimbulkan
pertumbuhan endometrium yang melebihi suplai darahnya dan terjadi
perkembangan kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium yang tidak

9
sinkron. Setiap kegagalan produksi progesteron juga dapat mempengaruhi
kelenjar, stroma, dan pembuluh darah endometrium. Kegagalan produksi
progesteron disebabkan berbagai etiologi endokrin seperti penyakit thiroid,
hiperprolaktinemia, dan tumor ovarium yang menghasilkan hormon, penyakit
Cushing, dan yang paling penting adalah sindroma ovarium polikistik atau
sindroma Stein – Leventhal.

Pada keadaan folikel persisten; Sering dijumpai pada masa perimenopause.


Endometrium secara menetap dipengaruhi oleh estrogen, sehingga terjadi
hiperplasia endometrium, baik jenis adenomatosa ataupun atipik. Jenis ini sering
menjadi pembakal keganasan endometrium, sehingga memerlukan penanganan
yang seksama. Setelah folikel tidak mampu lagi membentuk estrogen maka akan
terjadi perdarahan lucut estrogen. Secara kilinis mula-mula haid biasa, kemudian
terjadi perdarahan bercak, yang selanjutnya akan diikuti perdarahan yang makin
banyak terus menerus dan disertai gumpalan.

2.5. Gejala Klinis

Perdarahan rahim yang dapat terjadi tiap saat dalam siklus menstruasi. Jumlah
perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus menerus atau banyak dan berulang.
Kejadian tersering pada menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita
mengalami menstruasi) atau masa pre-menopause.1,2

Pada siklus ovulasi1,2,4


Karakteristik PUD bervariasi, mulai dari perdarahan banyak tapi jarang, hingga
spotting atau perdarahan yang terus menerus. Perdarahan ini merupakan kurang
lebih 10% dari perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenorea) atau
panjang (oligomenorea). Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan kerokan
pada masa mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak teratur
sehingga siklus haid tidal lagi dikenali maka kadang-kadang bentuk kurve suhu
badan basal dapat menolong. Jika sudah dipastikan bahwa perdarahan berasal dari

10
endometrium tipe sekresi tanpa ada sebab organik, maka harus dipikirkan sebagai
etiologi :
1. korpus luteum persistens : dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang kadang
bersamaan dengan ovarium membesar. Dapat juga menyebabkan pelepasan
endometrium tidak teratur.
2. Insufisiensi korpus luteum dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenorea. Dasarnya ialah kurangnya produksi progesteron
disebabkan oleh gangguan LH releasing faktor. Diagnosis dibuat, apabila hasil
biopsi endometrial dalam fase luteal tidak cocok dengan gambaran
endometrium yang seharusnya didapat pada hari siklus yang bersangkutan.
3. Apopleksia uteri: pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus
4. Kelainan darah seperti anemia, purpura trombositopenik dan gangguan dalam
mekanisme pembekuan darah.
Pada siklus tanpa ovulasi (anovulation)1,2,4
Perdarahan tidak terjadi bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian
baru sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya. Jadilah perdarahan
rahim berkepanjangan.
Pada tipe ini berhubungan dengan fluktuasi kadar estrogen dan jumlah folikel
yang pada suatu waktu fungsional aktif. Folikel-folike ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia dan kemudian diganti oelh folikel-folikel baru .
Endometrium dibawah pengaruh estrogen akan tumbuh terus, dan dari
endometrium yang mula-mula proliperatif dapat terjadi endometrium hiperplastik
kistik. Jika gambaran ini diperoleh pada saat kerokan dapat diambil kesimpulan
bahwa perdarahan bersifat anovulatoar. Biasanya perdarahan disfungsional ini
terjadi pada masa pubertas dan masa pramenopause. Pada masa pubertas terjadi
sesudah menarche, perdarahan tidak normal disebabkan oleh gangguan atau
terlambatnya proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa pembuatan
Releasing factor dan hormon gonadotropin tidak sempurna. Pada wanita dalam
masa pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu berjalan
lancar.
11
Bila pada masa pubertas kemungkinan keganasan kecil sekali dan ada
harapan bahwa lambat laun keadaan menjadi normal dan siklus haid menjadi
ovulatoar. Sedangkan pada wanita dewasa dan terutama dalam masa
pramenopause dengan perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk
menentukan ada tidaknya tumor ganas.

2.7. Diagnosa4
Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus dilakukan dalam
pemeriksaan pasien. Jika anamnesis dan pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
penyakit sistemik, maka penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan.
Abnormalitas pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan
laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik (reguler) didahului oleh tanda
premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat badan karena meningkatnya cairan
tubuh, perubahan mood, atau kram abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori.
Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak teratur setelah
mengalami amenore berbulan – bulan, kemungkinan bersifat anovulatori.
Peningkatan suhu basal tubuh (0,3–0,60C), peningkatan kadar progesteron serum
(> 3 ng/ml) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang terlihat pada
biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan, semuannya merupakan bukti
ovulasi.
Diagnosis PUD setelah eksklusi penyakit organik traktus genitalia, terkadang
menimbulkan kesulitan karena tergantung pada apa yang dianggap sebagai
penyakit organik, dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit traktus genitalia. Pasien berusia dibawah 40 tahun
memiliki resiko yang sangat rendah mengalami karsinoma endometrium, jadi
pemeriksaan patologi endometrium tidaklah merupakan keharusan. Pengobatan
medis dapat digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana penyelidikan
secara invasif dilakukan hanya jika simptom menetap. Resiko karsinoma
endometerium pada pasien PUD perimenopause adalah sekitar 1 persen. Jadi,
pengambilan sampel endometrium penting dilakukan.

12
ANAMNESIS

Pada pasien yang mengalami PUD, anamnesis perlu dilakukan untuk menegakkan
diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding

PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan


hemodinamik, selanjutnya dilakukan pemeriksaan untuk:

Menilai:

- Indeks massa tubuh (IMT >27 termasuk obesitas)


- Tanda-tanda hiperandrogen
- Pembesaran kelenjar tiroid atau manifestasi hipo/hipertiroid
- Galaktorea (kelainan hiperprolaktenimia)
- Gangguan lapang pandang (karena adenoma hipofisis)
- Faktor risiko keganasan endometrium (pbesitas, nulligravida, hipertensi,
diabetes melitus, riwayat keluarga, SOPK)\
Menyingkirkan:

- Kehamilan, kehamilan ektopik, abortus, penyakit trofoblas


- Servisitis, endometritis
- Polip dan mioma uteri
13
- Keganasan serviks dan uterus
- Hyperplasia endometrium
- Gangguan pembekuan darah

PEMERIKSAAN GINEKOLOGI

Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksan Pap


smear dan harus disingkirkan kemungkian adanya mioma uteri, polip, hyperplasia
endometrium, keganasan

PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid , dan kadar HCG, FSH,
LH, Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi atau skrining gangguan
perdarahan jika ada tampilan yang mengarah kesana.
2. Deteksi patologi endometrium melalui (a) dilatasi dan kuretase dan (b)
histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan menstruasi, wanita muda dengan
perdarahan tidak teratur atau wanita muda (< 40 tahun) yang gagal berespon
terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan endometrium.
Penyakit organik traktus genitalia mungkin terlewatkan bahkan saat kuretase.
Maka penting untuk melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai
pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang atau berat. Pada
wanita yang memerlukan investigasi, histeroskopi lebih sensitif dibandingkan
dilatasi dan kuretase dalam mendeteksi abnormalitas endometrium.

14
Langkah diagnostic perdarahan uterus disfungsional

A. Perdarahan uterus abnormal didefinisikan sebagai setiap perubahan yang


terjadi dalam frekuensi, jumlah dan lama perdarahan menstruasi.
Perdarahan uterus abnormal meliputi PUD dan perdarahan lain yang
disebabkan kelainan organic
B. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh untuk menyingkirkan
diagnosis diferensial perdarahan uterus abnormal.
C. Pada wanita usia reproduksi, kehamilan merupakan kelainan pertama yang
harus disingkirkan. Perdarahan yang terjadi dalam kehamilan dapat
disebabkan oleh abortus, kehamilan ektopik atau penyakit trofoblas
gestasional.

15
D. Penyebab iatrogenic yang dapat menyebabkan perdarahan uterus abnormal
antara lain penggunaan obat-obatan golongan antikoagulan, sitostatika,
hormonal, anti psikotik, dan suplemen.
E. Setelah kehamilan dan penyebab iatrogenic disingkirkan langkah selanjutnya
adalah melakukan evaluasi terhadap kelainan sistemik meliputi fungsi tiroid,
fungsi hemostasis, dan fungsi hepar. Pemeriksaan hormone tiroid dan fungsi
hemostasis perlu dilakukan bila pada anamnesis dan pemeriksaan fisik
didapatkan gejala dan tanda yang mendukung (rekomendasi C). Bila
terdapat galaktorea maka perlu dilakukan pemeriksaan terhadap hormone
prolaktin untuk menyingkirkan kejadian hiperprolaktinemia.
F. Bila tidak terdapat kelainan sistemik, maka langkah selanjutnya adalah
melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kelainan pada saluran
reproduksi. Perlu ditanyakan adanya riwayat hasil pemeriksaan pap smear
yang abnormal atau riwayat operasi ginekologi sebelumnya. Kelainan pada
saluran reproduksi yang harus dipikirkan adalah servisitis, endometritis,
polip, mioma uteri, adenomiosis, keganasan serviks dan uterus serta
hyperplasia endometrium.
G. Bila tidak terdapat kelainan sistemik dan saluran reproduksi maka gangguan
haid yang terjadi digolongkan dalam perdarahan uterus disfungsional
(PUD).
H. Bila terdapat kelainan pada saluran reproduksi dilakukan pemeriksaan dan
penanganan lebih lanjut sesuai dengan fasilitas.
I. Pada kelainan dysplasia serviks perlu dilakukan pemeriksaan kolposkopi
untuk menentukan tata laksana lebih lanjut.
J. Bila dijumpai polip endoserviks dapat dilakukan polipektomi.
K. Bila dijumpai massa di uterus dan adneksa perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut dengan USG transvaginal atau saline infusion sonography (SIS).
Ultrasonografi transvaginal merupakan lini pertama untuk mendeteksi
kelainan pada kavum uteri (rekomendasi A). Sedangkan tindakan SIS
diperlukan bila penilaian dengan USG transvaginal belum jelas rekomendasi
A.
16
L. Bila dijumpai massa di saluran reproduksi maka dilanjutkan dengan
tatalaksana operatif
M. Diagnosis infeksi ditegakkan bila pada pemeriksaan bimanual uterus teraba
kaku dan nyeri. Pada kondisi ini dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
Chlamydia dan Neisseria. Pengobatan yang direkomendasikan adalah
doksisiklin 2 x 100mg selama 10 hari

2.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional secara umum perlu


memperhatikan faktor-faktor berikut:1,4
a. Umur, status pernikahan, fertilitas
Hal ini dihubungkan dengan perbedaan penanganan pada tingkatan perimenars,
reproduksi dan perimenopause. Penanganan juga seringkali berbeda antara
penderita yang telah dan belum menikah atau yang tidak dan yang ingin anak.
b. Berat, jenis dan lama perdarahan.
Keadaan ini akan mempengaruhi keputusan pengambilan tindakan mendesak
atau tidak.
c. Kelainan dasar dan prognosisnya.
Pengobatan kausal dan tindakan yang lebih radikal sejak awal telah dipikirkan
jika dasar kelainan dan prognosis telah diketahui sejak dini.

Pada dasarnya tujuan penatalaksanaan perdarahan uterus disfungsional adalah:1,4


1. Memperbaiki keadaan umum
2. Menghentikan perdarahan
3. Mengembalikan fungsi hormon reproduksi
Yang meliputi: pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
4. Menghilangkan ancaman keganasan
Pada perdarahan uterus disfungsional langkah pertama yang harus dikerjakan
adalah memperbaiki keadaan umum, termasuk pengatasan anemia. Langkah
17
kedua adalah menghentikan perdarahan, baik secara hormonal maupun operatif.
Setelah keadaan akut teratasi, sebagai langkah ketiga, dilakukan upaya
pengembalian fungsi normal siklus haid dengan cara mengembalikan
keseimbangan fungsi hormon reproduksi.2,5,6
Untuk ini dapat dilakukan pengobatan hormonal selama 3 siklus berturut-
turut. Bilamana upaya ini gagal, maka diperlukan tindakan untuk meniadakan
patologi yang ada guna mencegah berulangnya perdarahan uterus disfungsional.4

Secara singkat langkah-langkah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:1,2,3,4,6


1. Perbaikan keadaan umum
Pada perdarahan yang banyak sering ditemukan keadaan umum yang buruk,
pada keadaan perdarahan uterus disfungsional akut anemia yang terjadi harus
segera diatasi dengan transfusi darah. Pada perdarahan uterus disfungsional
kronis keadaan anemia ringan seringkali dapat diatasi dengan diberikan sediaan
besi, sedangkan anemia berat membutuhkan transfusi darah.
2. Penghentian perdarahan
3. Mengembalikan keseimbangan fungsi hormon reproduksi
Usaha ini meliputi pengembalian siklus haid abnormal menjadi normal,
pengubahan siklus anovulatorik menjadi ovulatorik atau perbaikan suasana
sehingga terpenuhi persyaratan untuk pemicuan ovulasi.
\\

18
NON-HORMONAL

A. Asam Traneksamat
Obat ini bersifat inhibitor kompetitif pada aktivasi plasminogen. Plasminogen
akan diubah menjadi plasmin yang berfungsi untuk memecah fibrin menjadi
fibrin degradation products (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai
agen anti fibrinolitik. Obat ini akan menghambat faktor-faktor yang memicu
terjadinya pembekuan darah, namun tidak akan menimbulkan kejadian trombosis.
Efek samping : gangguan pencernaan, diare dan sakit kepala.

B. Anti inflamasi non steroid (AINS)


Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat.
AINS ditujukan untuk menekan pembentukan siklooksigenase, dan akan
menurunkan kadar prostaglandin pada endometrium. AINS dapat mengurangi
jumlah darah haid hingga 20-50 persen.Pemberian AINS dapat dimulai sejak haid
hari pertama dan dapat diberikan untuk 5 hari atau hingga haid berhenti. Efek
19
samping: gangguan pencernaan, diare, perburukan asma pada.Penderita yang
sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan terjadinya perdarahan dan
peritonitis.

HORMONAL

A. Estrogen
Sediaan ini digunakan pada kejadian perdarahan akut yang banyak. Sediaan
yang digunakan adalah EEK, dengan dosis 2.5 mg per oral 4x1 dalam waktu 48
jam. Pemberian EEK dosis tinggi tersebut dapat disertai dengan pemberian
obat anti-emetik seperti promethazine 25mg per oral atau intra muscular setiap 4-
6 jam sesuai dengan kebutuhan. Mekanisme kerja obat ini belum jelas,
kemungkinan aktivitasnya tidak terkait langsung dengan endometrium.Obat ini
bekerja untuk memicu vasospasme pembuluh kapiler dengan cara mempengaruhi
kadar fibrinogen, faktor IV, faktor X, proses gregasi trombosit dan
permeabilitas pembuluh kapiler. Pembentukan reseptor progesterone akan
meningkat sehingga diharapkan pengobatan selanjutnya dengan menggunakan
progestin akan lebih baik. Efek samping berupa gejala akibat efek estrogen yang
berlebihan seperti perdarahan uterus, mastodinia dan retensicairan.

B. PKK
Perdarahan haid berkurang pada penggunaan pil kontrasepsi kombinasi akibat
endometrium yang atrofi. Dosis yang dianjurkan pada saat perdarahan akut
adalah 4x1 tablet selama 4 hari, dilanjutkan dengan 3 x 1 tablet selama 3 hari,
dilanjutkan dengan 2 x1 tablet selama 2 hari, dan selanjutnya 1x 1 tablet selama
3 minggu. Selanjutnya bebas pil selama 7 hari, kemudian dilanjutkan dengan
pemberian pil kontrasepsi kombinasi paling tidak selama 3 bulan. Apabila
pengobatannya ditujukan untuk menghentikan haid, maka obat tersebut dapat
diberikan secara kontinyu, namun dianjurkan setiap 3-4 bulan dapat dibuat
perdarahan lucut. Efek samping dapat berupa perubahan mood, sakit kepala, mual,
retensi cairan, payudara tegang, deep vein thrombosis, stroke dan serangan
jantung.

20
C. Progestin
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan
mengaktifkan enzim17-hidroksi steroid dehidrogenase pada sel-sel endometrium,
Sehingga estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih
rendah dibandingkan dengan estradiol. Meski demikian penggunaan progestin
yang lama dapat memicu efek anti mitotic yang mengakibatkan terjadinya
atrofi endometrium.

Progestin dapat diberikan secara siklik maupun kontinyu. Pemberian siklik


diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu berulang-ulang
tanpa memperhatikan pola perdarahannya. Apabila perdarahan terjadi pada saat
sedang mengkonsumsi progestin, maka dosis progestin dapat dinaikkan.
Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama, dan
selanjutnya progestin diminum sampai hari ke 14. Pemberian progestin secara
siklik dapat menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat
kontra-indikasi (misalkan: hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat
stroke, riwayat penyakit jantung koroner atau infark miokard, kecurigaan
keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning akibat kolestasis,
kanker hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1 x10mg,
noretisteron asetat dengan dosis 2-3 x5mg, didrogesteron 2x5mg atau
nomegestrol asetat 1x5mg selama 10 hari per siklus. Apabila pasien mengalami
perdarahan pada saat kunjungan, dosis progestin dapat dinaikkan setiap 2 hari
hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan kemudian
berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti.

Pemberian progestin secara kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk


membuat amenorea. Terdapat beberapa pilihan, yaitu:

- Pemberian progestin oral : MPA 10-20 mg per hari


- Pemberian DMPA setiap 12 minggu
- Penggunaan LNG IUS

21
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah,
payudara tegang, sakit kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi.

D. Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasal dari turunan 17a-etinil
testosteron. Obat tersebut memiliki efek androgenic yang berfungsi untuk
menekan produksi estradiol dari ovarium, serta memiliki efek langsung
terhadap reseptor estrogen di endometrium dan di luar endometrium. Pemberian
dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untukmengobati
PUD. Efek samping : peningkatan berat badan, kulit berminyak, jerawat,
perubahan suara.

E. Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH) agonist


Obat ini bekerja dengan cara mengurangi konsentrasi reseptor GnRH pada
hipofisis melalui mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca
reseptor, yang akan mengakibatkan hambatan pada penglepasan hormone
gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan untuk membuat penderita
menjadi amenorea. Dapat diberikan leuprolide acetate 3.75 mg intramuscular
setiap 4 minggu, namun pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan.
Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi
estrogen dan progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping:
keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat yang
bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular
apabila penggunaan GnRH agonist lebih dari 6 bulan).

PENGOBATAN OPERATIF
Jenis pengobatan ini mencakup: dilatasi dan kuretase, ablasi laser dan
3,6,
histerektomi.
Dilatasi dan kuretase merupakan tahap yang ringan dari jenis pengobatan operatif
pada perdarahan uterus disfungsional. Tujuan pokok dari kuretase pada
perdarahan uterus disfungsional adalah untuk diagnostik, terutama pada umur
diatas 35 tahun atau perimenopause. Hal ini berhubungan dengan meningkatnya
22
frekuensi keganasan pada usia tersebut. Tindakan ini dapat menghentikan
perdarahan karena menghilangkan daerah nekrotik pada endometrium. Ternyata
dengan cara tersebut perdarahan akut berhasil dihentikan pada 40-60% kasus. 3,4,6
Namun demikian tindakan kuretase pada perdarahan uterus disfungsional
masih diperdebatkan, karena yang diselesaikan hanyalah masalah pada organ
sasaran tanpa menghilangkan kausa. Oleh karena itu kemungkinan kambuhnya
cukup tinggi (30-40% sehingga acapkali diperlukan kuretase berulang. Beberapa
ahli bahkan tidak menganjurkan kuretase sebagai pilihan utama untuk
menghentikan perdarahan pada perdarahan uterus disfungsional, kecuali jika
pengobatan hormonal gagal menghentikan perdarahan. 3,4,6
Pada ablasi endometrium dengan laser ketiga lapisan endometrium
diablasikan dengan cara vaporasi neodymium YAG laser. Endometrium akan
hilang permanen, sehingga penderita akan mengalami henti haid yang permanen
pula. Cara ini dipilih untuk penderita yang punya kontrindikasi pembedahan dan
tampak cukup efektif sebagai pilihan lain dari histerektomi, tetapi bukan sebagai
pengganti histerektomi. 3,4,6
Tindakan histerektomi pada penderita perdarahan uterus disfungsional harus
memperhatikan usia dan paritas penderita. Pada penderita muda tindakan ini
merupakan pilihan terakhir. Sebaliknya pada penderita perimenopause atau
menopause, histerektomi harus dipertimbangkan bagi semua kasus perdarahan
yang menetap atau berulang. Selain itu histerketomi juga dilakukan untuk
perdarahan uterus disfungsional dengan gambaran histologis endometrium
hiperflasia atipik dan kegagalan pengobatan hormonal maupun dilatasi dan
kuretase.

23
2.10. Prognosis4

Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit (patofisiologi)


 Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi hormonal secara dini dapat
memberikan angka kesembuhan hingga 90 %.
 Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi dalam siklus anovulasi, dapat
diobati dengan hasil baik.

24
BAB III
KESIMPULAN

Perdarahan uterus disfungsional (PUD) atau Dysfunctional Uterine Bleeding


adalah perdarahan abnormal yang dapat terjadi di dalam siklus maupun di luar
siklus menstruasi, karena gangguan fungsi mekanisme pengaturan hormon
(hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium), tanpa kelainan organ. Perdarahan
ini juga didefinisikan sebagai menstruasi yang banyak dan / atau tidak teratur
tanpa adanya patologi pelvik yang diketahui, kehamilan atau gangguan
perdarahan umum.
Diagnosis dibuat setelah diagnosis lainnya disingkirkan (diagnosis eksklusi).
Pemeriksaan abdomen dan pelvis serta kuretase uterus yang adekuat, histeroskopi
atau setidaknya biopsi endometrium sangat penting untuk menyingkirkan penyakit
organik pada uterus. Perdarahan uterus disfungsional paling sering terjadi pada
awal dan akhir masa menstruasi, tetapi dapat terjadi pada usia manapun.
Tujuan pengobatan adalah untuk mengendalikan perdarahan akut, episode
perdarahan dimasa datang, dan mencegah dampak anovulasi yang serius pada
jangka panjang yaitu kanker endometrium. Pengobatan utama adalah terapi medis
meskipun intervensi bedah dibutuhkan pada sebagian kasus. Jika perdarahan
berat, dan / atau berulang, atau pengobatan medis gagal, maka diperlukan evaluasi
ulang.
PUD pada remaja disebabkan oleh immaturitas hipothalamus dan pituitary,
dan siklus menstruasi mungkin anovulatorik. Pada gadis remaja, penyakit organik
jarang terjadi dan PUD biasanya membaik secara spontan. Itulah sebabnya
mengapa ditatalaksana secara konservatif dan kuretase sering ditunda.
Pada pertengahan usia reproduksi (20 – 39 tahun), penyakit organik jinak
sering terjadi, dan kuretase biasanya dilakukan untuk menyingkirkan penyulit
kehamilan dan penyakit lainnya. Terapi konservatif biasanya diindikasikan,
meskipun histerektomi dapat dilakukan jika perdarahan berat atau berulang dan
pasien tidak ingin memiliki keturunan lagi.

25
PUD perimenopause disebabkan oleh menurunnya jumlah folikel ovarium
dan meningkatnya resistensi folikel ovarium terhadap stimulasi gonadotropin.
Terdapat kemungkinan keganasan. Jadi, wanita perimenopause dengan PUD harus
selalu diperiksa dengan kuretase atau histeroskopi tanpa penundaan. Meskipun
terapi konservatif dapat dicoba sebagai tatalaksana sementara, seringkali
diperlukna histerektomi.
Perdarahan uterus disfungsional merupakan salah satu alasan tersering bagi
wanita untuk mencari pengobatan medis. Pemeriksaan pasien secara rinci
diperlukan untuk menegakkan diagnosis dengan menyingkirkan penyakit organik.
Saat ini, diagnosis PUD tidak adekuat. Tersedia berbagai modalitas pengobatan
untuk PUD. Pengobatan utama yakni terapi medis dapat menghasilkan pemulihan
simptomatik tetapi keluaran jangka panjangnya tidak menggembirakan. Oleh
karena itu, ahli ginekologi harus selalu memberitahu pasien mengenai seluruh
aspek penatalaksanaan PUD.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono. 2008. Gangguan Haid dan Siklusnya dalam Ilmu


kandungan. Jakarta: PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjdo; 223-228
2. Behera, Millie. A., Thomas, M. P., 2010. Dysfuctional Uterine Bleeding.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/257007
3. Estephan, Amir., Amir, Richard., 2010. Dysfunctional Uterine Bleeding.
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/795587
4. Hestiantoro A, Wiweko B. 2007. Panduan tatalaksana perdarahan uterus
disfungsional. Himpunan Endokrinologi-Reproduksi dan Fertilitas
Indonesia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia.
5. Dangal, Ganesh. 2006. Dysfunctional Uterine Bleeding And Its Management
Strategy. The Internet Journal of Gynecology and Obstetrics. Available from:
http://www.ispub.com/journal/the_internet_journal_of_gynecology_and_obst
etrics/volume_4_number_1_19/article/dysfunctional_uterine_bleeding_and_it
s_management_strategy.html
6. Chen. B. H., Linda. C. G. 1998. Dysfunctional Uterine Bleeding. Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1305317/pdf/westjmed00326-
0026.pdf

27

Anda mungkin juga menyukai