Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364
w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
1
SOAL
PJB
Asianotik Cyanotic
Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis
https://wikem.org
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• Serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.
increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat
aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri
penurunan pH darah
TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.
Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM SIGNS AND SYMPTOMS
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence
NELSON FORMULA
Summary
• Terapi standar untuk anafilaksis adalah antihistamin dan
kortikosteroid.
• Akan tetapi, terapi utama pada syok anafilaksis adalah epinephrine,
sedangkan antihistamin dan kortikosteroid hanyalah terapi
adjunctive.
• Hal ini dikarenakan antihistami dan kortikosteroid memiliki onset
kerja yang lebih lambat dibandingkan epinefrin
• Setelah epinephirn, antihistamine lebih diutamakan diberikan karena
onset kerjanya jauh lebih cepat daripada kortikosteroid. Selain itu,
direkomendasikan agar pemberian antihistamin tidak hanya
golongan H1 blocker secara monoterapi, akan tetapi dikombinasikan
dengan H2 blocker karena diketahui dapat lebih cepat mengurangi
gejala anafilaksis yang terjadi. Kombinasi difenhidramin dan
ranitidine diketahui merupakan kombinasi yang superior
Summary
• Dalam kondisi syok, pemberian antihistamine disarankan secara
IV, sedangkan pada kondisi anafilaksis yang lebih ringan dapat
diberikan secara oral maupun IM.
• Sedangkan pemberian kortikosteroid lebih disarankan untuk
reaksi fase laten dari anafilaksis, yaitu biphasic
anafilaksisreaksi anafilaksis berulang namun dengan gejala
yang lebih ringan namun tetap butuh penanganan segera
• Kortikosteroid disarankan diberikan pada semua pasien yang
mengalami anafilaksis, terutama yang jatuh ke dalam syok atau
pada pasien-pasien yang menggunakan kortikosteroid secara
rutin (seperti mereka yang menggunakan controller untuk
asma)
3
SOAL
Seorang ibu berusia 27 tahun melahirkan bayi laki laki pada usia
gestasi 28 minggu secara spontan di RS. Setelah lahir, bayi tidak
langsung menangis. Bayi tampak merintih, bernafas cepat dan pada
pemeriksaan terlihat retraksi dalam di suprasternal dan interkostal.
Tidak ada riwayat infeksi pada ibu dan bayi. Ketuban jernih. Pada
bayi dilakukan resusitasi dan perawatan lanjut di NICU. Apa
penyebab paling mungkin dari sesak yang dialami bayi setelah
lahir?
A. Pneumonia neonatal
B. Hyalin Membran Disease
C. Pneumothoraks
D. Kelainan jantung kongenital
E. Meconium Aspiration Syndome
Asfiksia neonatal dan HMD
• Deprivation of oxygen to a newborn infant that
lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
Asfiksia Neonatal
Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol
Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram
Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof of
infection
• Corticosteroid
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours) not suggested because risk>
benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days) not suggested
because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks) can be used for ventilator
dependant infants in whom it is felt that steroids are essential to facilitate
extubation.
4
SOAL
Bayi laki laki berusia 3 hari datang dibawa ke Puskesmas oleh ibunya
karena ada benjolan di bagian belakang kepala. Bayi lahir spontan
pervaginam ditolong bidan, berat lahir bayi 3200 gram. Saat
persalinan dikatakan berlangsung lama karena ibu kelelahan saat
mengedan. Saat lahir bayi aktif, menangis kuat, menyusu dengan
baik serta berhasil IMD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan berukuran 2x3 cm yang teraba lunak serta melewati garis
sutura. Apa diagnosis yang paling mungkin dari kondisi bayi diatas?
A. Spina bifida
B. Meningocele
C. Subdural hematom
D. Cephal Hematom
E. Caput Suksedaneum
Trauma Lahir Ekstrakranial
• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
Terapi kejang neonatus
Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
7
SOAL
Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)
bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12
1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
8
SOAL
V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach
• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy
3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungtivitis,sekret
gagal imunisasi hidung. (cough, coryza,
conjunctivitis 3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
• Diare (1 dari 10 penderita campak) – manifestasi klinis, tanda
• Bronchopneumonia (komplikasi patognomonik bercak Koplik
berat; 1 dari 20 anak penderita – isolasi virus dari darah, urin,
campak)
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 atau sekret nasofaring
dari 1000 anak penderita campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Pericarditis antibodi 2 minggu setelah
• Subacute sclerosing timbulnya penyakit
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
11
SOAL
Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Jenis Gambaran klinis
Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan
Seorang ibu membawa bayi laki – lakinya berusia 6 minggu ke RS karena tampak
kuning. Anak kuning sejak 2 minggu yang lalu. Tinja warna dempul atau putih
pucat selama 2 minggu terakhir terus menerus. Bayi riwayat lahir spontan usia
gestasi 39 minggu sebelumnya dengan berat lahir 3400 gram dan langsung
menangis. Awal bayi masih keluar BAB hijau dan berat badan terus naik. Sempat
saat usia 3 hari anak terlihat kuning, namun saat usia 7 hari kuning mulai hilang
sendiri tanpa penanganan khusus. Baru saat usia 4 minggu anak tampak kuning
lagi. Pada laboratorium ditemukan hasil bilirubin total 11 gr%, direk 10,2, indirek
0,8. Apakah diagnosis yang sesuai pada kasus di atas?
A. Hepatitis neonatus
B. Hepatitis neonatus idiopatik
C. Atresia bilier perinatal
D. Atresia bilier embrional
E. Hepatitis B
Ikterus dan Atresia bilier
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
OBSTRUKSI
Urin warna
teh
Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan sejak
lahir)
• Tipe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus
atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2
sampai minggu ke-4 kehidupan.
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Atresia Bilier
Definisi
Penyakit kolangiopati fibro-obliteratif yang
mengenai panjang tertentu duktus biliaris intra
dan ekstrahepatika
Secara umum mencapai end-stage pada usia 9-
18 bulan
Patofisiologi Atresia Bilier
• Proses inflamasi hati akan terus berlangsung.
• Pada kondisi lanjut, pasien akan mengalami sirosis
sebagai penyakit hati tahap akhir (end stage liver disease)
• Histologi: perubahan struktur lobular normal hati menjadi
regenerasi nodular difus dikelilingi septa fibrosa padat,
menyebabkan distorsi struktur parenkim dan vaskular
hepar SIROSIS
• This procedure is not usually curative, but ideally does buy time until the child
can achieve growth and undergo liver transplantation
Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.
It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited
Physical development is often slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)
The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabilities, and behavioral problems are possible
14
SOAL
Bayi laki-laki berusia 36 jam dibawa ke dokter karena kuning. Bayi lahir dibidan
secara spontan dan langsung menangis. Bayi pulang 8 jam setelah dilahirkan atas
permintaan keluarga. Ibu tidak mengetahui kapan bayi mulai kuning. Bayi
menyusu sering dan kencing lebih dari 6 kali sehari. Tinja berwarna kehijauan.
Anak saat ini tampak letargis, lemah, tidak mau menetek. Pada pemeriksaan
tampak bayi kuning dari kepala hingga telapak kaki/tangan (kramer 5). Pada
pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin total 18,5 mg/dl, bilirubin indirek 17,9
mg/dl. Golongan darah ibu O+, dan golongan darah anak A+. Bagaimana hasil
laboratorium yang diharapkan sesuai dengan diagnosa kasus di atas?
A. Penurunan kadar Hb
B. Jumlah retikulosit normal
C. Jumlah retikulosit menurun
D. Uji coombs tes direk dan indirek positif
E. Bentuk eritrosit abnormal pada ADT
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas
P E NYAK I T KETERANGAN
Seorang bayi laki laki berumur 1 jam tampak merintih dan letargi
serta sulit menyusu. Bayi lahir secara sectio cesaria dari ibu G2P1A0
usia gestasi 40 munggu dengan berat lahir 5000 gr. Ibu sebelumnya
terdiagnosis diabetes mellitus sejak 4 bulan sebelum kehamilan.
Pada saat lahir bayi langsung menangis kuat dan tonus otot baik.
Pada pemeriksaan saat ini diketahui kadar gula darah 20 mg/dl.
Penatalaksanaan apa yang tepat diberikan pada bayi?
A. Memberikan ASI
B. Memberikan air susu 50 ml
C. Memberikan D10% 10ml
D. Memberikan air gula 50 ml
E. Memberikan infus dengan GIR 6-8 mg/kgBB
Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak
pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral,
• Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat • Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb
tinggi hipoglikemia
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Maternal hyperglycemia
|
Fetal hyperglycemia
|
Fetal pancreatic beta-cell hyperplasia
|
Fetal hyperinsulinaemia
|
Macrosomia,organomegaly, polycythaemia,
hypoglycemia, RDS
Hipoglikemia Neonatus
Diagnosis:
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah
Terapi Darurat:
Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait
NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
Excess
Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells
Tissue hypoxia
Anaemia
Erythopoietin
Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate
Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modified from Weatherall, DJ
• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Hepatosplenomegali & Ikterik
Pucat
Hair on End
– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Thalassemia
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama • Splenektomi jika memenuhi
kali jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x • Splenomegali masif
berurutan dengan jarak 2 minggu • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies ml/kg/tahun
cooley, gangguan tumbuh kembang
• Transplantasi (sumsum tulang, darah
• Medikamentosa
umbilikal)
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari • Fetal hemoglobin inducer
– Kelasi besi menurunkan kadar (meningkatkan Hgb F yg membawa
Fe bebas dan me<<< deposit O2 lebih baik dari Hgb A2)
hemosiderin). Dilakukan Jika
Ferritin level > 1000 ng/ul, atau 10- • Terapi gen
20xtransfusi, atau menerima 5 L
darah.
– Vitamin E (antioksidan karena
banyak pemecahan eritrosit
stress oksidatif >>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada
terapi dengan deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
Indikasi transfusi darah pada
Thalasemia
17
SOAL
5-40% (emedicine)
Blood component replacement therapy
factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (ml)
fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200
cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor-VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor-IX concentrate - 25 - 35 20
Anak laki laki berusia 12 tahun dibawa ke dokter Puskesmas karena batuk
selama 4 minggu tidak kunjung membaik. Keluhan sesak disangkal. Anak
juga alami demam naik turun selama 2 minggu terakhir. Anak tampak lebih
kurus selama sakit, tidak diketahui turun berapa kilogram. Diketahui ibu
pasien sedang jalani pengobatan paru TB bulan kedua. Pada pemeriksaan
fisik tampak pembesaran KGB colli dan ronki dikedua lapang paru. Dari
grafik WHO BB/U anak < -2SD. Pemeriksaan penunjang lanjutan apa yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis?
A. Tuberculin
B. Pewarnaan gram
C. Pewarnaan ZN
D. X-foto thoraks
E. LED
Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB contoh pemeriksaan sputum
pewarnaan Ziehl Neelsen
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring
Tampak hiperinflasi dengan diafragma yang mendatar dan opasifikasi pada paru kanan (lingkaran merah)
Tampat atelektasis (lingkaran biru). Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This
is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris
Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Tatalaksana
Bronkiolitis
• Penyakit Ringan:
– Terapi simtomatis
• Penyakit sedang-berat:
– Tatalaksana life support O2 dan IVFd
– Etiologi: Terapi antivirus jarang tersedia,
antibiotik bila ternyata etiologinya bakteri
– Terapi simtomatik:
• Bronkodilator kontroversial namun masih bisa
diberikan dengan alasan terjadinya inflamasi serta
bronkospasme dan meningkatkan mukosiler
• Kortikosteroid kontroversial (tidak efektif)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.
Sari Pediatri
21
SOAL
Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of acute carditis
– is the most common include
symptom – the high-pitched, blowing, holosystolic, apical
– (polyarticular, fleeting, murmur of mitral regurgitation;
and involves the large – the low-pitched, apical, mid-diastolic, flow
joints) murmur (Carey-Coombs murmur);
– frequently the earliest – and a high-pitched, decrescendo, diastolic
manifestation of acute murmur of aortic regurgitation heard at the
rheumatic fever (70-75%). aortic area.
• Carditis: – Murmurs of mitral and aortic stenosis are
– (40% of patients) observed in chronic valvular heart disease.
– and may include • Valvulitis merupakan tanda utama karditis
cardiomegaly, new reumatik :
murmur, congestive heart – katup mitral (76%),
failure, and pericarditis, – katup aorta (13%),
with or without a rub and – dan katup mitral+ aorta (97%).
valvular disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the
wrists, elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting)
1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 2-
3x500 mg 10 days, if allergic to penicillin erythromycin 10
days or azithromycin 500 mg orally on day 1 followed by 250
mg orally on days 2 through 5 days (antibiotic is given even if
throat culture is negative)
• Anti-inflammatory agents: Aspirin/prednison
• Anti-inflammatory agents:
fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Antiinflamasi pada Demam rematik
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
Rheumatic Fever - Prevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally
Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:
Ikterus Mencapai
Onset
Puncak Menghilang
fisiologis Usia 30-72
Usia 4-5 Usia 7-10 hari
bayi aterm jam
hari
04 05 06
Prolonged Jaundice - Kadar bilirubin direk Feses berwarna
Ikterik menetap >2 >1 mg/dL (17mol/L)4 dempul dan urin
minggu (bayi aterm) berwarna gelap6
dan >3 minggu (bayi
prematur)6
Etiologi
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
8 non- fisiologis
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7
AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar
AAP, 2004
23
SOAL
Gambaran
GLOMERULUS
NORMAL
Glomerulus normal di bawah mikroskop
cahaya
Contoh Glomerulonefritis berdasarkan
Morfologi:
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
• Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)
• Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
• Membranous GN
• Mesangial Proliferative GN
• Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
Minimal-Change Glomerulonephritis
• Nama lain Nil Lesions/Nil Disease (lipoid
nephrosis)
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
merupakan penyebab tersering dari sindrom
nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di
bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.
Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun
oliguria
Retensi air dan natrium
• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3
kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off ,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL
WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
29
SOAL
• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi
dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid
sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
30
SOAL
Rose spot
Clinical features
• Step ladder fever in the first week, the persist
• Abdominal pain
• Diarrhea/constipation
• Headache
• Coated tongue (lidah tifoid: bagian tengah kotor, pinggir hiperemis)
• Hepatosplenomegaly
• Rose spot
– salmon-colored, blanching, truncal, maculopapules usually 1-4 cm wide and
fewer than 5 in number; these generally resolve within 2-5 days.
– These are bacterial emboli to the dermis and occasionally develop in persons
with shigellosis or nontyphoidal salmonellosis.
• Bradikardia relatif
• dicrotic pulse (double beat, the second beat weaker than the first)
• Crackles over the lung bases
• Typhoid state, which is characterized by apathy, confusion, and even
psychosis
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi perifer
– Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus
– Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
• Pemeriksaan serologis
– Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke
konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat
endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian
– Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
– Tubex Test
• Pemeriksaan biakan Salmonella
– The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of
the organism. Cultures are widely considered 100% specific
– Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
hingga munggu ke-4
• Pemeriksaan radiologis
– Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
– Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi) Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Kultur Typhoid
• Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
• Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi
• Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
• Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
– Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari.
Tes Widal:
Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV
http://img.medscape.com/pi/emed/ckb/clinical_procedures/7
MECONIUM ASPIRATION SYNDROME
Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS
juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruction.
ATELEKTASIS
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.
Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
32
SOAL
Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina atau
palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring, tonsil,
uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan sekitarnya
edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas
• Tonsilitis difteri merupakan salah satu dari kelompok tonsilitis
membranosa
• Sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun
Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf
6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85
Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
34
SOAL
1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Patogenesis
http://emedicine.medscape.com/article/919999-overview
http://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis
• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.
edema
rambut kemerahan, mudah
dicabut
kurang aktif, rewel/cengeng
pengurusan otot
Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90% mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted gizi • ≥70-80% moderate
buruk malnutrition
• ≤70% severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein
Serum Albumin
Edema
Marasmus
Karbohidrat
Lemak subkutan
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe
8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi
– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU) Jika ada gejala defisiensi
vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai
umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin
– Asam folat 1 mg/hari
– Zinc 2 mg/kgBB/hari
– Copper 0,3 mg/kgBB/hari
– Besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)
7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari
– Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
– Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari
Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
38
SOAL
http://www.ichrc.org/chapter-463-epiglottitis
39
SOAL
Nelson Pediatrics
Rickets Clinical Features
• GENERAL:
– Failure to thrive, Unenergetic, Protuding abdomen ,
Muscle weakness (especially proximal), Fractures
• HEAD :
– Craniotabes (Softening of cranial bones. Detected by
applying pressure at the occiput or parietal bones, like
pinpong ball), May be a normal finding in many
newborns, especially near the suture lines, but
disappears within a few months of birth.
– Frontal bossing, Delayed fontanelle closure, Delayed
dentition; caries, Craniosynostosis
Rickets Clinical Features
• CHEST
– Rachitic rosary: Widening of costochondral junctions. Feels like beads
of a rosary as the examiner's fingers move along the costochondral
junctions from rib to rib.
– Harrison groove: Horizontal depression along lower anterior chest.
• Due to pulling of softened ribs by diaphragm during inspiration.
• Softening of ribsimpairs air movement & predisposes to atelectasis.
– Respiratory infections and atelectasis
• BACK
– Scoliosis, Kyphosis, Lordosis
• EXTREMITIES
– Enlargement of wrists and ankles, Valgus or varus deformities,
Anterior bowing of the tibia and femur, Coxa vara, Leg pain
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove
Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing
PJB
Asianotik Cyanotic
Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing
https://wikem.org
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Etiologi
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Independent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
peningkatan aktivitas pubertas - lebih kecil)
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” - karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Stadium Tanner
Anamnesis
• Hormon seks steroid: estradiol pada anak perempuan dan testosteron pada
anak laki- laki.
• Kadar DHEA (dehydroepiandrosterone) atau DHEAS (DHEA sulfate) jika
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar puncak LH 5-8 U/L menunjukkan pubertas
prekoks progresif.
• RUTIN:
– Usia tulang/bone age
– USG pelvis pada anak perempuan
• ATAS INDIKASI:
– Ultrasonografi testis pada anak laki-laki jika terdapat asimetri pembesaran
testis.
– USG atau CT-Scan abdomen.
– MRI kepala untuk mencari lesi hipotalamus
Tatalaksana
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Amankan airway, breathing, circulation: • Dehidrasi dianggap lebih dari 10%
• Nilai kesadaran menggunakan GCS atau berat jika terdapat nadi yang
(Glasgow Coma Scale). lemah, hipotensi, dan oliguria.
• Timbang berat badan pasien • Mengingat derajat dehidrasi dari
klinis sangat subyektif dan
• Nilai derajat dehidrasi
seringkali tidak akurat maka
• Dehidrasi dianggap sedang jika direkomendasikan bahwa pada
dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda- KAD sedang dehidrasinya adalah
tanda dehidrasi meliputi: 5-7% sedangkan pada KAD berat
• Capillary refill memanjang, Turgor derajat dehidrasinya adalah 7-
menurun, Hiperpnea, serta adanya 10%.
tanda-tanda dehidrasi seperti membran
mukus yang kering, mata cekung, dan
tidak ada air mata.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Evaluasi klinis apakah terdapat • Pemeriksaan tambahan lain yang
infeksi atau tidak. diperlukan adalah serum kreatinin,
• Ukur kadar glukosa darah dan osmolalitas plasma, serum
kadar beta hidroksi butirat/BOHB albumin, fosfor, dan magnesium.
(atau keton urin) dengan alat • Periksa HbA1c.
bedside. • Lakukan pemeriksaan urinalisis.
• Lakukan pengambilan sampel • Jika terdapat demam atau tanda
darah untuk pemeriksaan infeksi lainnya lakukan kultur
laboratorium setidaknya glukosa (darah,
plasma, elektrolit serum • urin, atau kultur dari spesimen
(perhitungan anion gap), analisis lainnya) sebelum pemberian
gas darah (pH, HCO3 dan pCO2) antibiotik.
vena, kadar BOHB, dan darah tepi
lengkap. • Lakukan EKG jika hasil
pemeriksaan elektrolit tertunda.
Cairan dan elektrolit
• Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
• Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20
ml/kgBB dan dapat diulangi sampai renjatan teratasi.
• Rehidrasi awal harus segera dimulai dengan cairan
isotonik (NaCl 0,9%) paling tidak selama 4-6 jam.
• Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan
yang memiliki tonisitas sama atau lebih dari 0,45%
dengan ditambahkan kalium klorida, kalium fosfat atau
kalium asetat.
• Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48
jam dengan memperhitungkan sisa defisit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam.
Insulin
• Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan.
Pemberian insulin sejak awal tata laksana meningkatkan risiko
hipokalemia.
• Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid
acting
• Rute pemberian insulin adalah intravena (IV).
• Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
• Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD pediatrik
• Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama
asidosis belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam
cairan intravena (Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau
0,45%) jika kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-
17 mmol/L).
Kalium
• Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat,
atau menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
• Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
• Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
• Jika hiperkalemia (K+>6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
• Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L Contoh: (kalium fosfat
diberikan 20 mEq/L + kalium klorida juga 20 mEq/L)
• Selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Asidosis
• Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
• Terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan meningkatkan
risiko terjadinya hipokalemia.
• Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi
hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8
• Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV
selama lebih dari 60 menit.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Komplikasi KAD pada Anak
• Cerebral oedema
This is unpredictable, occurs more frequently in younger
children and newly diagnosed diabetes and has a mortality of
around 25%. The causes are not known.
• Hypokalaemia
This is preventable with careful monitoring and management
• Aspiration pneumonia
Use a naso-gastric tube in semi-conscious or unconscious
children.
44
SOAL
Anak laki laki berusia 5 tahun datang dengan keluhan batuk keras
terus menerus sejak 1 bulan yang lalu. Batuk diawali dengan tarikan
nafas panjang dan biasanya setelah batuk pasien muntah, muka
merah, dan tampak kelelahan. Keluhan batuk darah dan penurunan
berat badan disangkal. Anak tidak alami demam serta riwayat TB
dalam keluarga disangkal. Anak diketahui memiliki riwayat imunisasi
yang tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gasping saat
inspirasi. Apakah penanganan yang diberikan pada anak?
A. Amoxicillin
B. Eritromisin
C. Doxycyclin
D. Cotrimoxazole
E. Levofloxacin
Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi
Bordetella pertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing which
often makes it hard to breathe. After fits of many
coughs needs to take deep breathes which result in a
"whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya
penyakit
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview
Stadium Pertusis
• Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam
subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi
dalam stadium ini.
• Stadium paroksismal: Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh
pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau
batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat
pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah
menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama
serangan; apatis; penurunan berat badan
• Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa
minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia
pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles
difus.
Pemeriksaan Penunjang
• Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3)
dengan limfositosis absolut
• IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG
terhadap toksin pertusis)
• Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau
empiema
• Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus
nasofaring (bahan media Bordet-Gengou) dengan menggunakan
media transpor (Regan-Lowe)
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
46
SOAL
• Enterotoxin produces
• Contaminated imported cheese
secretion • Supportive treatment
EIEC • Usually watery diarrhea (some
• Shigalike toxin • No antibiotics
may present with dysentery)
facilitates invasion
• Polymorphonuclear
• Organisms invade
• Potato, egg salad, lettuce, leukocytes (PMNs), blood,
epithelial cells and
vegetables, milk, ice cream, and mucus in stool
produce toxins
and water • Positive stool culture
• Infective dose is 102
• Abrupt onset of bloody • Oral rehydration is mainstay
Shigella -103 organisms
diarrhea, cramps, tenesmus, • Trimethoprim-
• Enterotoxin-
and fever starts 12-30 h after sulfamethoxazole (TMP-
mediated diarrhea
ingestion. SMX) or ampicillin for
followed by invasion
• Usually self-limited in 3-7 d severe cases
(dysentery/colitis)
• No opiates
• Tatalaksana:
– Cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi
– Makanan pedas dan asam harus dihindari karena
dapat memperparah keluhan nyeri
– Bila terjadi dehidrasi sedang hingga berat
pertimbangkan pemberian hidrasi intravena
– Pemberian asetaminofen atau ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik.
– Analgetik topikal untuk rongga mulut juga bisa
dipakai berupa obat kumur atau semprot
48
SOAL
An. 12 thn dibawa ibunya ke poli karena tubuhnya lebih tinggi dari
anak seusianya, dari anamnesis pasien mengeluh sakit kepala dan
nyeri punggung. Riwayat penyakit sebelumnya adenoma hipofisis
sejak 2 tahun yll. PF didapatkan TD 130/90, RR 22x, N 94x. Telapak
tangan dan kaki serta jari tampak lebih besar dan panjang dari
normal. Apakah kemungkinan penyebab?
A. Hipersekresi hormon tiroid
B. Hipersekresi hormon kortisol
C. Hipersekresi estrogen
D. Hipersekresi testeron
E. Hipersekresi somatotropin
GH Associated Disorders
• Growth hormone also known as somatotropin:
• GH synthesis and release is controlled by many
hormonal agents including GHRH, Somatostatin,
Ghrelin, IGF-1, Thyroid hormones and glucocorticoids.
• Growth hormone is secreted in pulses (after infancy).
• Secretion is increased in puberty and decreases
subsequently
• Increased GH:
• In Childhood: Gigantism
• In Adult: Acromegaly
Gigantism
• Definition: Abnormal large growth due to an excess of
growth hormone during childhood
• Acromegaly and gigantism have the same pathogenetic
mechanism, but differ regarding the age of onset.
• Gigantism occurs much earlier in life when the skeleton
still has the potential to grow, a developmental phase
now known as ‘‘prepubertal’’.
• The cause of acromegaly and gigantism the
overproduction of pituitary growth hormone
Gigantisme
• Pertumbuhan linear yang abnormal karena
kerja insulin like growth factor I (IGF-I) yang
berlebihan ketika masa kanak-kanak dimana
epiphyseal growth plates masih terbuka
• Acromegaly merupakan kelainan yang sama
tetapi terjadi setelah lempeng epifise
tertutup.
• Gigantisme biasa muncul saat kanak-kanak
atau remaja muda.
Normal Growth Hormone Normal Control of Growth
Physiology Hormone Production
• Disekresikan oleh hipofisis anterior secara
pulsatil. • Hipotalamus mengontrol
– Oleh karena itu memeriksa kadar GH
secara random tidak berguna jumlah GH yang dikeluarkan
– GH turun secara drastis setelah gula masuk oleh hipofisis dengan
ke dalam tubuh (hal ini tidak terjadi pada
akromegali/gigantisme yang tidak mengeluarkan
mengalami penurunan GH setelah diberi
tes toleransi glukosa) neuropeptida growth
• GH mempunyai efek langsung pada tubuh, hormone releasing
tetapi juga berefek pada sel kelenjar untuk
melepaskan hormon lainnya: hormone (GHRH).
– GH bekerja pada sel khusus di hepar
melepaskan hormon yang disebutInsulin-
• Neuropeptida utama yang
like Growth Factor (IGF-1) (atau disebut menghambat pelepasan GH
juga Somatomedin-C)
– Karena IGF-1 dilepaskan dengan kadar yg disebut somatostatin
relatif spontan, maka lebih bagus
digunakan untuk memeriksa akromegali/
gigantisme
Etiologi
• Causes of excess IGF-I • Gigantism is a form of
action can be divided into familial pituitary adenomas,
and may run in some
the following 3 categories: families due to a genetic
– Release of primary GH excess mutation.
from the pituitary • Gigantism can also be
– Increased GHRH secretion or associated with other
hypothalamic dysregulation conditions, including:
– Hypothetically, the excessive – Carney complex
production of IGF-binding – McCune-Albright syndrome
(MAS)
protein, which prolongs the
– Multiple endocrine neoplasia
half-life of circulating IGF-I type 1 (MEN-1)
– Neurofibromatosis
Gejala dan Tanda Gigantisme
• Tall stature • Frontal bossing
• Mild to moderate obesity • Prognathism
(common) • Hyperhidrosis
• Macrocephaly (may precede • Osteoarthritis (a late
linear growth) feature of IGF-I excess)
• Headaches • Peripheral neuropathies
• Visual changes (eg, carpel tunnel
• Hypopituitarism syndrome)
• Soft tissue hypertrophy • Cardiovascular disease
• Exaggerated growth of the • Benign tumors
hands and feet, with thick • Endocrinopathies
fingers and toes • Delayed puberty
• Coarse facial features
http://emedicine.medscape.com/article/925446-treatment#a1156
Pemeriksaan Tatalaksana
• Laboratorium • Pengobatan
– Growth Hormon – Analog somatostatin (reduce
– IGF-I pemeriksaan lab growth hormone release)
paling baik karena – Agonis reseptor dopamin
pengeluaran oleh tubuh tidak (reduce hormone release,
bersifat pulsatil generally less effective)
• Imaging – Antagonis reseptor GH
– Radiografi – Pegvisomant = blocks the
effect of growth hormone
– CT Scan
– Radiasi
– MRI
• Histologi • Operasi transphenoidal to
– Untuk menemukan adenoma/
remove tumor
karsinoma/ hiperplasia
Akromegali
Definisi
• Peningkatan Growth hormone
(GH) levels pada orang dewasa,
paling sering akibat benign
pituitary GI-l-secreting adenoma
• Anak-anak dengan peningkatan
GH gigantisme.
Akromegali
Anamnesis dan PF
• Pembesaran kepala, tangan, dan kaki serta penebalan pd
tulang-tulang wajah.
• Berkaitan dgn peningkatan kejadian:
– carpal tunnel syndrome,
– obstructive sleep apnea,
– type 2 DM,
– heart disease (diastolic dysfunction),
– hypertension, and
– arthritis.
• Bitemporal hemianopsia compression of the optic
chiasm by a pituitary adenoma .
• Excess GH may also lead to glucose intolerance or
diabetes.
Akromegali
49
SOAL