Anda di halaman 1dari 548

O P T I M A P R E PA R AT I O N

| DR. SEPRIANI | DR. YOLINA | DR. CEMARA |


| DR. AARON | DR. CLARISSA | D R. OKTRIAN | DR. REZA |
Jakarta
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872
WA. 081380385694/081314412212

Medan
Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a p r e p . c o . i d
1
SOAL

Seorang bayi perempuan berusia 8 bulan datang dibawa


orangtuanya ke IGD RS dengan keluhan kejang-kejang. Sebelum
kejang pasien terlihat sesak dan tampak biru setelah menangis. Anak
sebelumnya telah didiagnosis sebagai Tetralogy of Fallot. Pasien
disarankan operasi namun tidak punya biaya. Selama di IGD anak
telah diberikan oksigen, cairan, dan diposisikan. Posisi apa yang
tepat dilakukan pada pasien dengan kasus di atas?
A. Tilt position
B. Left lateral decubitus
C. Knee chest position
D. Tredelenburg position
E. Horizontal position
Penyakit Jantung Bawaan Tekanan di dalam Jantung

Sianotik dan ToF

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Klasifikasi PJB
• Asianotik • Cyanosis
– Normal pulmonary blood • Normal pulmonary
flow blood flow
• Pulmonary Stenosis (PS) • TGA without PS
• Increased pulmonary
• Aortic Stenosis (AS) blood flow
• Coarctatio Aorta (CoA) • TGA with VSD
– Increased pulmonary blood • Truncus arteriosus
flow • Total anomaly
• Patent Ductus Arteriosus pulmonary vein
(PDA) drainage
• Decreased pulmonary
• Atrial Septal Defect (ASD) blood flow
• Ventricular Septal Defect • ToF
(VSD) • Pulmonary atresia
• Ticuspid atresia
Penyakit jantung kongenital
• Asianotik: L-R shunt
– ASD: fixed splitting S2,
murmur ejeksi sistolik
– VSD: murmur pansistolik
– PDA: continuous murmur
• Sianotik: R-L shunt
– TOF: PS, VSD, overriding
aorta, RVH. Boot like heart
pada radiografi
– TGA
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both:
an obstruction to pulmonary blood flow & a shunt from R to L

Common lesions:
Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis

The degree of cyanosis depends on:


the degree of obstruction to pulmonary blood flow

If the obstruction is mild:


Cyanosis may be absent at rest
These patient may have hypercyanotic spells during condition of stress

If the obstruction is severe:


Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus.
When the ductus closes  hypoxemia & shock
Cyanotic Congenital HD
Cyanotic lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated
with obstruction to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by:


Total mixing of systemic venous &
Abnormal ventricular-arterial pulmonary venous within the heart:
connections: - Common atrium or ventricle
- Total anomolous pulmonary venous
- TGA return
- Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Penyakit Jantung Kongenital: ToF
Sianotik: R-L shunt
TOF (Tetralogy of Fallot):
• Stenosis Katup Pulmonal, VSD, overriding aorta, RVH.
• Boot like heart pada foto radiografi.
• Gejala klinis Sesak + Sianotik, gangguan pertumbuhan,
dengan TET Spell (Berjongkok bila sesak untuk
meningkatkan aliran darah ke paru)
• Murmur bersifat Systolic ejection murmur di area
kanan atas border sternal karena Stenosis katup
pulmonal

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


Tetralogi Fallot
Tetralogy of Fallot

https://wikem.org
Tet Spell/ Hypercyanotic Spell
• Serangan biru yang terjadi secara mendadak
• Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah,
kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang.
• Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara
spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan
koma, bahkan kematian
• Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4
bulan
• ToF yang tipikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel
kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan tingkat sianosis
dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular
resistance dan derajat keparahan komponen stenosis
pulmonal.

PPM IDAI Jilid I


Pelepasan menangis, BAB, demam, VICIOUS
CYCLE
katekolamine aktivitas yg meningkat

takikardia aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi


vaskular pulmonal meningkat (afterload pulmonal
meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

increased
myocardial
contractility + KEMATIAN
infundibular
stenosis.
Right-to-left shunt meningkat

aliran darah ke
sianosis progresif
paru berkurang
secara tiba-tiba penurunan PO2 dan
peningkatan PCO2 arteri 
penurunan pH darah

TET SPELL
Stimulasi pusat pernapasan di
HYPERCYANOTIC SPELL reseptor karotis + nucleus hiperpnoea
batang otak
Tatalaksana Tet Spell
• Knee chest position/ squatting
– Diharapkan aliran darah paru bertambah karena
peningkatan resistensi vaskular sistemik dan afterload
aorta akibat penekukan arteri femoralis
• Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV
untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi
takipnea
• Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk
mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat
diulang dalam 10-15 menit.

PPM IDAI Jilid I


ToF
2
SOAL

Seorang anak berusia 5 tahun datang ke dokter karena habis


disengat lebah di halaman rumahnya sekitar 15 menit SMRS. Anak
tampak muncul bentol dan bengkak seluruh tubuh serta kemerahan
pada kulit. Kemudian selama pemantauan 15 menit di IGD RS anak
mulai kesadaran menurun, tampak somnolen. Pada pemeriksaan
tanda vital TD 70/40 mmHg, HR 130 x/menit, RR 21x/menit, Akral
dingin, CRT 4 detik. Apa penanganan yang paling tepat diberikan
pada anak dengan kondisi diatas?
A. Epinefrin 1:100 IM 0.2
B. Epinefrin 1:1.000 IM 0.2 mg
C. Epinefrin 1:1.000 IM 0.5 mg
D. Epinefrin 1:1.000 IM 1 mg
E. Epinefrin 1:10.000 IM 0.5 mg
Syok Anafilaktik pada Anak
• ‘‘Anaphylaxis is a serious allergic reaction that is rapid in onset and may
cause death.’’
• Anafilaksis melibatkan reaksi hipersensitivitas cepat dimediasi IgE
menyebabkan pelepasan mediator kimia poten dari sel mast dan
basophil  Hipersensitivitas tipe 1
• Kebanyakan efek melibatkan kulit, saluran napas, kardiovaskular, dan
gastrointestinal
• Resiko anafilaksis lebih tinggi pada anak dengan atopi (asma, eczema,
rhinitis alergi)
• Derajat beratnya reaksi anafilaktik sebelumnya tidak berarti prediksi
derajat reaksi setelahnya, namun individu dengan reaksi anafilaktik
sebelumnya memiliki resiko rekurensi lebih tinggi

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
• Diagnosis didasarkan atas temuan klinis
• Hati-hati karena 69% anak yg menderita anafilaksis tidak
memiliki riwayat alergi terhadap agen kausatifnya.
• Gejala bisa timbul dalam hitungan detik hingga beberapa jam
(pada anak rata-rata muncul 5-30 menit postexsposure)
• 80% – 90% mengalami gejala kutaneus, termasuk flushing,
pruritus, urtikaria, diaphoresis, sensasi panas, dan
angioedema.
• Gejala pernapasan muncul hingga 94% kasus
• Gejala tersering: rasa tercekik, pruritus, serak, stridor, dada
terasa berat, wheezing, dan hipoksemia.

Roni D. Lane and Robert G. Bolte. Pediatric Anaphylaxis in Pediatric Emergency Care. Volume 23, Number 1, January 2007. http://www.library.musc.edu/tree_docs/pem/anaphylaxis-one.pdf
Gejala klinis Syok Anafilaktik
SYSTEM SIGNS AND SYMPTOMS
Fussiness, irritability, drowsiness, lethargy, reduced level of
General/CNS
consciousness, somnolence

Skin Urticaria, pruritus, angioedema, flushing

Stridor, hoarseness, oropharyngeal or laryngeal edema, uvular


Upper airway edema, swollen lips/tongue, sneezing, rhinorrhea, upper airway
obstruction

Lower airway Coughing, dyspnea, bronchospasm, tachypnea, respiratory arrest

Tachycardia, hypotension, dizziness, syncope, arrhythmias,


Cardiovascular
diaphoresis, pallor, cyanosis, cardiac arrest

Gastrointestinal Nausea, vomiting, diarrhea, abdominal pain


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Syok Anafilaksis
Diutamakan penggunaan
antihistamine terlebih
dahulu setelah resusitasi
cairan
Pharmacological management of anaphylaxis
DRUG AND ROUTE OF FREQUENCY OF PA E D I AT R I C D O S I N G
A D M I N I S T R AT I O N A D M I N I S T R AT I O N (MAXIMUM DOSE)
Immediately, then every 5–15 min as
Epinephrine (1:1000) IM 0.01 mg/kg (0.5 mg)
required
6 months to <2 years: 2.5 mg OD
Cetirizine PO Single daily dose 2–5 years: 2.5–5 mg OD
>5 years: 5–10 mg OD
Every 4–6 h as required for cutaneous
Diphenhydramine IM/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Every 8 h as required for cutaneous
Ranitidine PO/IV 1 mg/kg/dose (50 mg)
manifestations
Corticosteroids: prednisone PO
Every 6 h as required 1 mg/kg PO (75 mg) or 1 mg/kg IV (125 mg)
or methylprednisolone IV
Every 20 min or continuous for
5–10 puffs using MDI or 2.5–5 mg by
Salbutamol respiratory symptoms (wheezing or
nebulization
shortness of breath)
Every 20 min to 1 h for symptoms of
Nebulized epinephrine (1:1000) 2.5–5 mL by nebulization
upper airway obstruction (stridor)
Continuous infusion for hypotension –
Epinephrine IV (infusion) 0.1–1 μg/kg/min (maximum 10 μg/min)
titrate to effect
Bolus followed by continuous infusion – 20–30 μg/kg bolus (maximum 1 mg), then
Glucagon IV
titrate to effect infusion at 5–15 μg/min
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3043023/
Children doses for anaphylactic drug

• Continuous infusion of epinephrine (1:10,000) starting at 0.1 mcg/kg per


minute up to 1 mcg/kg per minute.
• Because of the risk of potentially lethal dysrhythmias, IV/IO epinephrine
(1:10,000) should be reserved for the patient with uncompensated shock.
• Other vasopressors to consider: dopamine, vasopressin, and norepinephrine.
• Glucagon should be given to the hypotensive patient who is taking b-blockers
(The intravenous dose for children weighing 20 kg or less is 0.02 to 0.03 mg/kg
up to 0.5 mg/dose; for children weighing greater than 20 kg give 1 mg/dose)
• Diphenhydramine is the intravenous H1 antihistamine of choice.
• Ranitidine (0.5 – 1 mg/kg up to 50 mg per dose) is an H2 antihistamine that
can be given intravenously with established pediatric use.
• Methylprednisolone succinate is the preferred intravenous corticosteroid and
can be given as 1 to 2 mg/kg, up to a maximum of 125 mg.
Pediatric Weight Estimation Formula

NELSON FORMULA
Summary
• Terapi standar untuk anafilaksis adalah antihistamin dan
kortikosteroid.
• Akan tetapi, terapi utama pada syok anafilaksis adalah epinephrine,
sedangkan antihistamin dan kortikosteroid hanyalah terapi
adjunctive.
• Hal ini dikarenakan antihistami dan kortikosteroid memiliki onset
kerja yang lebih lambat dibandingkan epinefrin
• Setelah epinephirn, antihistamine lebih diutamakan diberikan karena
onset kerjanya jauh lebih cepat daripada kortikosteroid. Selain itu,
direkomendasikan agar pemberian antihistamin tidak hanya
golongan H1 blocker secara monoterapi, akan tetapi dikombinasikan
dengan H2 blocker karena diketahui dapat lebih cepat mengurangi
gejala anafilaksis yang terjadi. Kombinasi difenhidramin dan
ranitidine diketahui merupakan kombinasi yang superior
Summary
• Dalam kondisi syok, pemberian antihistamine disarankan secara
IV, sedangkan pada kondisi anafilaksis yang lebih ringan dapat
diberikan secara oral maupun IM.
• Sedangkan pemberian kortikosteroid lebih disarankan untuk
reaksi fase laten dari anafilaksis, yaitu biphasic
anafilaksisreaksi anafilaksis berulang namun dengan gejala
yang lebih ringan namun tetap butuh penanganan segera
• Kortikosteroid disarankan diberikan pada semua pasien yang
mengalami anafilaksis, terutama yang jatuh ke dalam syok atau
pada pasien-pasien yang menggunakan kortikosteroid secara
rutin (seperti mereka yang menggunakan controller untuk
asma)
3
SOAL

Seorang ibu berusia 27 tahun melahirkan bayi laki laki pada usia
gestasi 28 minggu secara spontan di RS. Setelah lahir, bayi tidak
langsung menangis. Bayi tampak merintih, bernafas cepat dan pada
pemeriksaan terlihat retraksi dalam di suprasternal dan interkostal.
Tidak ada riwayat infeksi pada ibu dan bayi. Ketuban jernih. Pada
bayi dilakukan resusitasi dan perawatan lanjut di NICU. Apa
penyebab paling mungkin dari sesak yang dialami bayi setelah
lahir?
A. Pneumonia neonatal
B. Hyalin Membran Disease
C. Pneumothoraks
D. Kelainan jantung kongenital
E. Meconium Aspiration Syndome
Asfiksia neonatal dan HMD
• Deprivation of oxygen to a newborn infant that
lasts long enough during the birth process to
cause physical harm, usually to the brain
• Etiology:
– Intrauterine hypoxia
– Infant respiratory distress syndrome
– Transient tachypnea of the newborn
– Meconium aspiration syndrome
– Pleural disease (Pneumothorax,
Pneumomediastinum)
– Bronchopulmonary dysplasia
Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.
HMD
• gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan
defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia
gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram
• Gejala Klinis
– Sesak, merintih, takipnea, retraksi interkostal dan
subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi
dalam beberapa jam pertama kehidupan.
– Bila gejala tidak timbul dalam 8 jam pertama kehidupan,
adanya PMH dapat disingkirkan.
• Lung immaturity  salah satu penyebab Chronic Lung Disease
(bronchopulmonary dysplasia)
• Penyakit membran hialin RESPIRATORY DISTRESS
(PMH) merupakan gangguan SYNDROME (Hyaline
pernapasan yang disebabkan membrane disease)
imaturitas paru dan defisiensi
surfaktan, terutama terjadi
pada neonatus usia gestasi <34
minggu atau berat lahir <1500
gram
• Etiology:
– Defisiensi surfaktan (produksi
dan sekresi menurun)
• Surfactant
– Berperan untuk pengembangan
alveolus
– Komposis utama surfaktan :
• dipalmitoyl phosphatidylcholine
(lecithin)
• Phosphatidylglycerol
• apoproteins (surfactant proteins
SP-A, -B, -C, -D)
• Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of http://www.netterimages.com/images/vpv/000/000/010/102


Pediatrics 91-0550x0475.jpg
Patomekanisme
HMD
Pathogenesis of hyaline membrane disease
(HMD). Vascular disruption causes leakage of
plasma into the alveolar spaces and layering of
fibrin and necrotic cells arise from type II
pneumocytes (“hyaline membranes”) along the
surface of alveolar ducts and respiratory
bronchioles partially denuded of their normal
cell lining.
KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan
bronchogram air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak),
airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat,
Gambaran jantung menjadi kabur. disebut juga “White lung”
Tatalaksana HMD
• Endotracheal (ET) tube
• Continuous positive airway pressure (CPAP)
• Surfactant replacement
• Broad spectrum antibiotic (Ampicillin) stop if there is no proof of
infection
• Corticosteroid
– Early Postnatal Corticosteroids (<96 hours)  not suggested because risk>
benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding)
– Moderately Early Postnatal Corticosteroids (7-14 days)  not suggested
because risk> benefit
– Delayed Postnatal Corticosteroids (> 3 weeks)  can be used for ventilator
dependant infants in whom it is felt that steroids are essential to facilitate
extubation.
4
SOAL

Seorang bai perempuan lahir di Puskesmas secara spontan dari ibu


G5P3A1 usia gestasi 38 minggu dengan presentasi belakang kepala.
Setelah bayi lahir, bayi tampak tidak bernapas, tonus otot lunglai,
dan, tidak ada detak jantung. Setelah dilakukan ventilasi tekanan
positif, kompresi dada, pemberian cairan, dan obat-obatan selama
20 menit tetap tidak ada respon. Apakah tindakan selanjutnya yang
paling tepat?
A. Menghentikan resusitasi
B. Mengulangi resusitasi dari awal
C. Memperbaiki langkah resusitasi
D. Melanjutkan resusitasi hingga 15 menit
E. Merujuk setelah meresusitasi
Resusitasi
Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi
neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua
tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan.
• Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna
kulit tidak dapat diandalkan.
• Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan
dengan udara dibanding dengan oksigen 100%.
• Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara
(blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan
oksimetri.
• Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya
pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban
bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi.
• Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk
bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk
merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi
yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen
• Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai
resusitasi dengan udara atau oksigen campuran
(blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi
oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target.
• Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi
dimulai dengan udara kamar.
• Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah
90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah,
konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga
didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
• Ventilasi Tekanan Positif (VTP)
– Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika
frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit
setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi
– Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi
napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan
mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari
100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat
ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi
Kompresi dada
• Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60
per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik.
Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-
masing).
• Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara
periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut
jantung sama atau lebih dari 60 per menit.
• Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3
dari diameter antero-posterior dada.
• Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari
melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi
dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung
• Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi
berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh
meninggalkan posisi di dada.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation

• A prompt increase in heart rate remains the most sensitive


indicator of resuscitation efficacy (LOE 55).
• Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most
accurate, with palpation of the umbilical cord less so.
• There is clear evidence that an increase in oxygenation and
improvement in color may take many minutes to achieve, even in
uncompromised babies.
• Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the
newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular
and functional level.
• For this reason color has been removed as an indicator of
oxygenation or resuscitation efficacy.
• Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed
periodically, and coordinated chest compressions and ventilations
should continue until the spontaneous heart rate is 􏰖 60 per
minute
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi?

• Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut jantung,


dianggap layak untuk menghentikan resusitasi jika
detak jantung tetap tidak terdeteksi setelah
dilakukan resusitasi selama 10 menit (kelas IIb, LOE
C).
• Keputusan untuk tetap meneruskan usaha resusitasi
bisa dipertimbangkan setelah memperhatikan
beberapa faktor seperti etiologi dari henti hantung
pasien, usia gestasi, adanya komplikasi, dan
pertimbangan dari orangtua mengenai risiko
morbiditas.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and
Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
5
SOAL

Bayi laki laki berusia 3 hari datang dibawa ke Puskesmas oleh ibunya
karena ada benjolan di bagian belakang kepala. Bayi lahir spontan
pervaginam ditolong bidan, berat lahir bayi 3200 gram. Saat
persalinan dikatakan berlangsung lama karena ibu kelelahan saat
mengedan. Saat lahir bayi aktif, menangis kuat, menyusu dengan
baik serta berhasil IMD. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya
benjolan berukuran 2x3 cm yang teraba lunak serta melewati garis
sutura. Apa diagnosis yang paling mungkin dari kondisi bayi diatas?
A. Spina bifida
B. Meningocele
C. Subdural hematom
D. Cephal Hematom
E. Caput Suksedaneum
Trauma Lahir Ekstrakranial

Kaput Suksedaneum Perdarahan Subgaleal


• Paling sering ditemui • Darah di bawah galea
• Tekanan serviks pada kulit aponeurosis
kepala • Pembengkakan kulit kepala,
• Akumulasi darah/serum ekimoses
subkutan, ekstraperiosteal • Mungkin meluas ke daerah
• TIDAK diperlukan terapi, periorbital dan leher
menghilang dalam • Seringkali berkaitan dengan
beberapa hari. trauma kepala (40%).
Trauma Lahir Ekstrakranial:
Sefalhematoma
• Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh
darah antara tengkorak dan periosteum
• Etiologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan
ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis
• Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang
terjadi pada tulang oksipital
• Tanda dan gejala:
– massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi;
– pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal
didalam tulang di bawah massa;
– pembengkakan tidak meluas melewati batas sutura yang
terlibat
Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma

• Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya


waktu
• 5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak
• Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu
• Komplikasi: ikterus, anemia
• Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun.
• Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun
teraba berfluktuasi
• Tatalaksana:
• Observasi pada kasus tanpa komplikasi
• Transfusi jika ada indikasi
• Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)
6
SOAL

Bayi perempuan berusia 10 hari datang dibawa ke IGD karena


kejang sekitar 5 menit di rumah. Kejadian 1 jam sebelum masuk
RS, anak kejang kaku seluruh tubuh lalu kelojotan. Setelah kejang
bayi menangis. Bayi lahir di bantu paraji desa, tidak ada demam.
Pada pemeriksaan fisik dalam batas normal. Saat di IGD, bayi
kembali alami kejang. Apa penanganan yang paling tepat
diberikan untuk terminasi kejang pada bayi?
A.Lorazepam
B.Fenitoin
C. Diazepam
D.Fenobarbital
E. Magnesium Sulfat
Kejang pada Neonatus
• Kejang pada neonatus adalah • Kejang pada neonatus
perubahan paroksimal dari – Kejang yang terjadi pada 28
fungsi neurologik misalnya hari pertama kehidupan (bayi
perilaku, sensorik, motorik dan cukup bulan)
fungsi autonom sistem saraf. – Atau 44 minggu masa konsepsi
(usia kronologis + usia gestasi
• Angka kejadian kejang di pada saat lahir) pada bayi
negara maju berkisar antara prematur
0,8-1,2 setiap 1000 neonatus • Angka kematian berkisar 21-
per tahun. 58%, sebanyak 30% yang
• Kejang merupakan keadaan berhasil hidup menderita
kegawatan, karena dapat kelainan neurologis.
mengakibatkan hipoksia otak • Penyebab
yang berbahaya bagi
kelangsungan hidup bayi atau – Hipoksik-iskemik-ensefalopati
(38-48%),
dapat mengakibatkan gejala
– Hipoglikemia (3-7.5%)
sisa di kemudian hari.
– Hipokalsemia 2.3-9%
– Infeksi SSP 5.5-10.3%
WHO neonatal seizure 2011
Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
Cause of Neonatal seizure
WHO Recommendations for Neonatal Seizure

• Recommendation
– Phenobarbital should be used as the first-line agent
for treatment of neonatal seizures
• Commonly used first-line AEDs for treatment of NS are
phenobarbital and phenytoin.
• Phenobarbital is also cheaper and more easily available than
phenytoin.
• Only about 55% of newborns respond to either of the two
medications.
• Phenobarbital is easier to administer with a one daily dose being
sufficient following attainment of therapeutic levels.
• Phenytoin has more severe adverse effects than phenobarbital
including cardiac side effects and extravasation (although these
have been mitigated by the introduction of fosphenytoin).
• The therapeutic range of phenytoin is very narrow
Terapi kejang neonatus

Setyo Handryastuti: Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis dan Tatalaksana
7
SOAL

Bayi laki laki berusia 2 bulan datang dibawa ibunya ke Puskesmas


untuk memperoleh imunisasi. Bayi lahir normal di bidan dan cukup
bulan pada usia gestasi 39 minggu. Anak akan diberikan imunisasi
BCG oleh dokter. Saat ini anak tidak ada demam dan tampak aktif
ceria. Tidak terdapat ruam atau lesi kulit di area penyuntikan. Tidak
ada riwayat alergi pada anak sebelumnya. Bagaimanakah cara
pemberian imunisasi BCG pada anak kasus di atas?
A. Intramuscular
B. Subcutan
C. Intracutan
D. Intravena
E. Oral
Vaksin BCG (Bacille Calmette-Guerin)
• Bacille Calmette-Guerin adalah vaksin hidup yang
dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang
selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak
virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas.
• Vaksinasi BCG tidak mencegah infeksi tuberkulosis
tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat
seperti meningitis TB dan tuberkulosis milier.
• Vaksin BCG tidak boleh terkena sinar matahari, harus
disimpan pada suhu 2-8° C, tidak boleh beku.
• Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan
dalam waktu 8 jam.
Vaksin BCG
• Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan (paling optimal pada usia
2 bulan), sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin)
negatif.
• Efek proteksi timbul 8–12 minggu setelah penyuntikan.
• Vaksin BCG diberikan secara intradermal 0,10 ml untuk anak, 0,05
ml untuk bayi baru lahir.
• VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas
pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat
lain (bokong, paha).
• Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif pada umur lebih
dari 3 bulan.
• Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan
asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila
pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.
KIPI BCG
• Penyuntikan BCG secara • Limfadenitis
intradermal akan menimbulkan – Limfadenitis supuratif di aksila atau
ulkus lokal yang superfisial 3 (2-6) di leher kadang-kadang dijumpai
minggu setelah penyuntikan. setelah penyuntikan BCG.
• Ulkus tertutup krusta, akan sembuh – Limfadenitis akan sembuh sendiri,
dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan jadi tidak perlu diobati.
parut bulat dengan diameter 4-8 – Apabila limfadenitis melekat pada
kulit atau timbul fistula maka
mm.
lakukan drainase dan diberikan OAT
• Apabila dosis terlalu tinggi maka
• BCG-itis diseminasi (Disseminated
ulkus yang timbul lebih besar,
BCG Disease)
namun apabila penyuntikan terlalu
– berhubungan dengan
dalam maka parut yang terjadi
imunodefisiensi berat.
tertarik ke dalam (retracted).
– diobati dengan kombinasi obat anti
tuberkulosis.
Kontraindikasi BCG
• Reaksi uji tuberkulin >5 mm,
• Menderita infeksi HIV atau dengan risiko tinggi infeksi HIV,
• imunokompromais akibat pengobatan kortikosteroid, obat
imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit
keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem
limfe,
• Menderita gizi buruk,
• Menderita demam tinggi,
• Menderita infeksi kulit yang luas,
• Pernah sakit tuberkulosis,
• Kehamilan.
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
8
SOAL

Pasien anak perempuan berusia 10 bulan datang dibawa kedua


orangtuanya ke RS dengan keluhan BAB cair sering dengan frekuensi
sekitar 10-15 kali sehari sejak 4 hari yll. Tinja tidak disertai darah
maupun lendir. Anak juga alami muntah dengan frekuensi sekitar 3-4
kali sehari. Saat ini anak mengonsumsi susu formula karena
dikatakan ibu ASI sedikit sejak usia 3 bulan. Pada pemeriksaan
langsung anak tampak letargi, HR 130 kali, ubun-ubun besar teraba
cekung, terdapat mata cekung, air mata tidak keluar, turgor lambat,
mulut kering. Terapi apakah berdasarkan WHO yang sesuai
direncanakan untuk pasien pada kasus diatas?
A. Rencana terapi A
B. Rencana terapi B
C. Rencana terapi C
D. Pemberian kaolin pektin
E. Pemberian antibiotik
Diare pada anak dan penanganannya
KLASIFIKASI DIARE
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
9
SOAL

Pasien seorang anak perempuan berusia 7 tahun dibawa ibunya ke


unit gawat darurat RS karena BAB cair sangat sering dan banyak
sejak kemarin. Diare seperti seperti air cucian beras dan berbau
amis, frekuensi sekitar lebih dari 15 kali sehari. Tidak terdapat
muntah serta tinja berdarah. Pada lingkungan sekitar yakni tetangga
pasien ada yang alami keluhan serupa. Pada pemeriksaan fisik
tampak adanya tanda dehidrasi berat. Pada pemeriksaan tinja
ditemukan bakteri batang Gram negative berbentuk seperti koma.
Apa penanganan yang sesuai untuk pasien kasus di atas?
A. Doksisiklin 4-6 mg/kgBB single dose
B. Tetrasiklin 50 mg/kg/hari terbagi 4 dosis
C. Azitromisin 20 mg/kgBB single dose
D. Ciprofloxacin 20 mg/kgBB single dose
E. Amoxicillin 50 mg /kgBB terbagi dalam 3 dosis
Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position
drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
Ta t a l a k s a n a
– Tatalaksana utama: REHIDRASI
– Pemberian zinc
– Tatalaksana adjunctive: antibiotik (antibiotik diberikan untuk
memperpendek masa sakit)
– Antibiotik, diindikasikan pada pasien dengan dehidrasi berat di
atas 2 tahun
• Catatan: Doksisiklin dan Tetrasiklin tidak direkomedasikan <8 thn
• Fluoroquinolon pada anak sebaiknya dihindari kecuali tidak ada pilihan
lain
Class Antibiotic Typical pediatric dose* Adult dose
Doxycycline 4-6 mg/kg (single dose) 300 mg (single dose)
Tetracyclines 50 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Tetracycline
three days three days

Azithromycin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Macrolides 40 mg/kg/day in four equally divided doses, for 500 mg four times per day for
Erythromycin
three days three days

Fluoroquinolones Ciprofloxacin 20 mg/kg (single dose) 1 g (single dose)


Prinsip terapi cairan
• Rehidrasi merupakan prioritas pertama pada
cholera
• Pemberian cairan terbagi menjadi 2 fase yaitu
rehidrasi dan maintenance
• Fase rehidrasi:
– mencapai status hidrasi normal dalam waktu ≤ 4 jam.
– Lebih diutamakan untuk menggunakan ringer
lactate, jika tidak ada bisa menggunakan NaCl 0.9%
• Fase maintenance:
– menjaga status hidrasi normal terutama melalui oral
dengan menggunakan oralit
10
SOAL

Seorang anak laki laki berusia 4 tahun datang dibawa orangtuanya ke


dokter dengan keluhan keluar bintik-bintik kemerahan sejak 2 hari yang
lalu. Awalnya saat demam tinggi, ruam bintik kemerahan muncul dari
mulai leher lalu menyebar ke seluruh badan. Sekitar 4 hari sebelumnya
pasien mengeluh demam, batuk dan mata merah. Saat ini pasien juga
mengalami BAB cair 5x dalam sehari. Pada saat pemeriksaan terdapat lesi
maculopapular dasar eritematosa tersebar diskret di seluruh tubuh. Apa
diagnosis yang mungkin pada pasien ini?
A. Varicella
B. Morbilli
C. Demam berdarah
D. Demam dengue
E. Eksantema subitum
EKSANTEMA AKUT & MORBILI
Morbili/Rubeola/Campak
• Pre-eruptive Stage
– Demam
– Catarrhal Symptoms – coryza, conjunctivitis
– Respiratory Symptoms – cough
• Eruptive Stage/Stage of Skin Rashes
– Exanthem sign
• Maculopapular Rashes – Muncul 2-7
hari setelah onset
• Demam tinggi yang menetap
• Anoreksia dan iritabilitas
• Diare, pruritis, letargi dan
limfadenopati oksipital
• Stage of Convalescence
– Rash – menghilang sama dengan urutan
munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah)
→ membekas kecoklatan
– Demam akan perlahan menghilang saat
erupsi di tangan dan kaki memudar

• Tindakan Pencegahan :
– Imunisasi Campak pada usia 9 bulan
– Mencegah terjadinya komplikasi berat
Measles Virus Taxonomy

• Species : Measles morbillivirus


• Genus : Morbillivirus Electron Micrograph of
Measles virus
• Family : Paramyxoviridae
• Order : Mononegavirales
• Single-stranded, negative-sense,
enveloped (non-segmented)
RNA virus

3D graphical representation of a
https://www.cdc.gov/measles/about/photos.html spherical-shaped, measles virus
particle
Morbili
• Paramyxovirus • Prodromal
• Kel yg rentan: – Hari 7-11 setelah
– Anak usia prasekolah yg eksposure
blm divaksinasi – Demam, batuk,
– Anak usia sekolah yang konjungtivitis,sekret
gagal imunisasi hidung. (cough, coryza,
conjunctivitis  3C)
• Musin: akhir musim • Enanthem  ruam
dingin/ musim semi kemerahan
• Inkubasi: 8-12 hari • Koplik’s spots muncul 2
• Masa infeksius: 1-2 hari hari sebelum ruam dan
sblm prodromal s.d. 4 bertahan selama 2 hari.
hari setelah muncul ruam
Morbili
KOMPLIKASI DIAGNOSIS & TERAPI
• Otitis Media (1 dari 10 penderita • Diagnosis:
campak pada anak)
• Diare (1 dari 10 penderita campak) – manifestasi klinis, tanda
• Bronchopneumonia (komplikasi patognomonik bercak Koplik
berat; 1 dari 20 anak penderita – isolasi virus dari darah, urin,
campak)
• Encephalitis (komplikasi berat; 1 atau sekret nasofaring
dari 1000 anak penderita campak) – pemeriksaan serologis: titer
• Pericarditis antibodi 2 minggu setelah
• Subacute sclerosing timbulnya penyakit
panencephalitis – late sequellae
due to persistent infection of the
CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1:
100,000 orang)
Penatalaksanaan
• Terapi suportif diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan
mengganti cairan yang hilang dari diare dan emesis.
• Obat diberikan untuk gejala simptomatis, demam dengan
antipiretik.
• Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan antibiotik.
• Suplementasi vitamin A diberikan pada:
– Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis.
– Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis.
– Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai
umur, dilanjutkan dosis ketiga sesuai umur yang diberikan 2-4
minggu kemudian.
Konseling & Edukasi
• Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit
yang menular.
• Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh
sendiri, sehingga pengobatan bersifat suportif.
• Edukasi pentingnya memperhatikan cairan yang hilang dari
diare/emesis.
• Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin
campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan.
• Vaksin efektif bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan
penderita.
• Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan
imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan
yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.
11
SOAL

Ibu membawa anaknya berusia 5 bulan datang ke dokter


karena anak munculnya bercak bercak putih pada mukosa pipi
dan bibir bayi yang sulit dibersihkan. Bayi saat ini mengonsumsi
ASI saja. Sekitar 1 minggu yang lalu pasien alami batuk pilek
dan diberikan bidan antibiotic yang harus dihabiskan. Makan
dan minum anak saat ini baik. Pada pemeriksaan fisik tampak
adanya plak putih pada lidah dan palatum dengan dasar
eritematosa, tidak terdapat erosi. Apakah tatalaksana tepat
pada pasien tersebut?
A. Nystatin
B. Cloramphenicol
C. Amoxycillin
D. Cotrimoxazole
E. Cefadroxil
Kandidosis oral/ Oral thrush

• Infeksi candida pada rongga mulut


• Spesies tersering: Candida albicans
• Terjadi akibat terganggunya flora normal atau pada
kondisi immunodefisiensi
• Terdapat beberapa jenis, yaitu
- Kandidiosis pseudomembran akut
- Kandidiasis atrofik akut (kandidiasis eritematosa)
- Kandidiosis hiperplasia kronik (leukoplakia)
- Kandidiasis atrofik kronik (denture stomatitis):
- Kelitis angularis (Keilosis Kandidal)

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Jenis Gambaran klinis

Kandidiosis Plak putih pada lidah, palatum,


pseudomembranosa gusidapat diangkatsetelah
akut diangkat tampak dasar eritema

Kandidiosis Papilla lidah menipis tertutup oleh


eritematosa/ atrofik pseudomembran tipis pada
akut permukaan dorsal lidah dan dapat
disertai rasa panas atau nyeri.

Kandidiosis Plak putih atau translusen yang tidak


hiperplasia kronik dapat dilepaskan, biasanya di
mukosa bukal.
Denture related Mukosa palatum yang kontak dengan
stomatitis/ atrofik gigi tiruan tampak edematosa dan
kronik eritematosa, bersifat kronik, dan
dapat dijumpai keilitis angularis.

Kelitis Lesi berupa fissura dan eritema di


angularis/perlèche sudut mulut dan terasa perih

Sumber: Scully C. Mucosal candidiosis clinical presentation. Emedicine | PPK Perdoski. 2017
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan

Ringan • Nistatin drops 7-14 hari Catatan:


- Dewasa: 4x400.000-600.000 U • Mild thrush –
- 1-12 bulan: 4x200.000 U Involves <50
- 1-18 tahun: sama dengan dewasa percent of the oral
• Nystatin lozenge 200,000 units to 400,000 units mucosa and
(one to two lozenges) four times per day for 7 absence of deep,
to 14 days. erosive lesions
• Clotrimazole 10 mg (one lozenge) five or six • Moderate/severe
times per day for 7 to 14 days. thrush – Involves
- Nystatin and clotrimazole lozenges are a ≥50 percent of the
choking hazard and should not be used in oral mucosa or
children younger than four years. deep, erosive
lesions
Sedang-berat Fluconazole oral 1x100-200mg/hari selama 7-14
hari
12
SOAL

Seorang ibu membawa bayi laki – lakinya berusia 6 minggu ke RS karena tampak
kuning. Anak kuning sejak 2 minggu yang lalu. Tinja warna dempul atau putih
pucat selama 2 minggu terakhir terus menerus. Bayi riwayat lahir spontan usia
gestasi 39 minggu sebelumnya dengan berat lahir 3400 gram dan langsung
menangis. Awal bayi masih keluar BAB hijau dan berat badan terus naik. Sempat
saat usia 3 hari anak terlihat kuning, namun saat usia 7 hari kuning mulai hilang
sendiri tanpa penanganan khusus. Baru saat usia 4 minggu anak tampak kuning
lagi. Pada laboratorium ditemukan hasil bilirubin total 11 gr%, direk 10,2, indirek
0,8. Apakah diagnosis yang sesuai pada kasus di atas?
A. Hepatitis neonatus
B. Hepatitis neonatus idiopatik
C. Atresia bilier perinatal
D. Atresia bilier embrional
E. Hepatitis B
Ikterus dan Atresia bilier
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Kolestatis

Bilirubin Bilirubin Direk Larut air: dibuang lewat ginjal


indirek

OBSTRUKSI

Urin warna
teh

Feses warna
Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus
Dempul
Kolestasis (Cholestatic Liver Disease)
• Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5
mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar
bil.total >5 mg/dl
• Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepatitis neonatal) vs Obstruktif
(Kolestasis ekstrahepatik)
• Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools,
nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and
bruising, seizures
Atresia Bilier
• Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang
terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran
• Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi
atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses
yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibrotik saluran
bilier
• Etiologi masih belum diketahui
• Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier,
– sering muncul bersama anomali kongenital lain seperti polisplenia, vena porta
preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus.
– Ikterus dan feses akolik sudah timbul pada 3 minggu pertama kehidupan sejak
lahir)
• Tipe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus
atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2
sampai minggu ke-4 kehidupan.

Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007
Atresia Bilier
Definisi
Penyakit kolangiopati fibro-obliteratif yang
mengenai panjang tertentu duktus biliaris intra
dan ekstrahepatika
Secara umum mencapai end-stage pada usia 9-
18 bulan
Patofisiologi Atresia Bilier
• Proses inflamasi hati akan terus berlangsung.
• Pada kondisi lanjut, pasien akan mengalami sirosis
sebagai penyakit hati tahap akhir (end stage liver disease)
• Histologi: perubahan struktur lobular normal hati menjadi
regenerasi nodular difus dikelilingi septa fibrosa padat,
menyebabkan distorsi struktur parenkim dan vaskular
hepar  SIROSIS

Peningkatan Hipertensi porta


Distorsi struktur resistensi aliran dan disfungsi
darah vena porta hati

++ asites, pruritus, malnutrisi defisiensi vitamin, failure to thrive akibat


malabsorpsi lemak rantai panjang
Gejala Atresia Bilier
• Persistent, ikterik patologis 2 minggu
kehidupan  harus curiga obstruksi bilier
akibat atresia bilier atau kista koledokus atau
proses kolestatik akibat beberapa kelainan
• Ikterik progresif  bilirubin direk
• Feses berwarna pucat / acholic stool
• Tanda penyakit hati tahap akhir: teraba
hepatomegali, splenomegaly, gagal tumbuh
(failure to thrive), malnutrisi
Klasifikasi Atresia Bilier
• Secara klinis dibagi menjadi dua: tipe
embrionik dan tipe perinatal.
• Bentuk perinatal - mayoritas dari seluruh
kasus (65 - 90%). Mekonium pertama
biasanya berpigmen dan rata-rata
mempunyai BB yang baik. Ikterus obstruktif
timbul pada usia 2 - 8 minggu.
• Bentuk embrionik terjadi 10 - 35%. Gejala
ikterus obstruktif timbul sejak lahir dan 10 -
20% terkait dengan kelainan kongenital
lainnya.
Diagnosis Atresia Bilier
• Ikterus persisten (ikterus lebih dari 14 hari pada
neonatus aterm dan lebih dari 21 hari pada neonatus
premature)
• Terdapat feses yang pucat atau berwarna dempul,
urin berwarna tua
• Terdapat peningkatan kadar bilirubin direk, kadar
glutamyltranspeptidase (Gamma GT) dan alkaline
phosphatase
• Tipikal pasien atresia biliaris lahir dengan berat
badan lahir normal
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• USG: pembesaran hati, tidak ada dilatasi bilier,
panjang kandung empedu < 1,5 cm, kolaps
tidak berlumen atau tidak terlihat. Selain itu
kontraktilitas kandung empedu rendah atau
tidak ada kontraksi, yang dinilai setelah puasa
4 jam, triangular cord sign
• Kriteria diagnostic: TC sign dengan ketebalan >
4 mm. Selain itu pada atresia biliaris tipe kistik
dapat dilihat adanya kista pada porta hepatis
Pemeriksaan Diagnostik Atresia Bilier
• Biopsi hati
• HIDA Scan (Hepatobiliary
scintigraphy)digunakan untuk menilai fungsi
sistem hepatobilier dan menganalis fungsi dari
keduanya.
• ERCP, PTC
• Gold standard: kolangiografi intraoperatif
Biliary Atresia - Treatment
• Kasai’s portoenterostomy: Once biliary atresia is suspected, surgical
intervention in the form of intraoperative cholangiogram and Kasai
portoenterostomy is indicated.

• This procedure is not usually curative, but ideally does buy time until the child
can achieve growth and undergo liver transplantation

• A considerable number of these patients, even if Kasai portoenterostomy has


been successful, eventually undergo liver transplantation

• Post operative medication:


– Methylprednisolone should be given for it’s anti-inflammatory

– Ursodeoxycholic acid has also been shown to enhance bile flow.

– Antibiotic prophylaxis in order to prevent cholangitis postoperatively


13
SOAL

Seorang anak laki-laki berumur 8 tahun dengan tunamental. Pada


pemeriksaan fisik ditemukan fenotip seorang laki-laki dengan tanda-
tanda wanita yaitu suara tinggi, pertumbuhan payudara, testis kecil,
alat genitalia luar tampak normal. Pemeriksaan analisa semen tidak
ditemukan spermatozoa. Pemeriksaan kariotip ditemukan tambahan
seks kromosom X sehingga nomenklatur kromosom adalah 47, XXY
dan formula kromosomnya 2n + 1 (Trisomi seks kromosom).
Diagnosis manakah yang paling tepat untuk kasus di atas?
A. Turner Syndrome
B. Klinefelter Syndrome
C. Patau Syndrome
D. Edward Syndrome
E. Down Syndrom
GENETIC DISORDER
Patau Mental retardation, heart defects, CNS abnormalities, microphthalmia, polydachtyly, a
Syndrome cleft lip with or without a cleft palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands
Trisomi 13 (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single
noninherited palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia

Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete


Klinefelter puberty, gynecomastia, reduced facial and body hair, and an inability to have biological
47,XXY children (infertility).
noninherited Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer
and SLE.
May have learning disabilities and delayed speech; tend to be quiet, sensitive, and
unassertive.
Sindrom Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a
Edward rounded bottom (rocker-bottom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental
Trisomi 18 delay, microcephaly, Undescended testicle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal
Noninherited hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe
kidney, Hydronephrosis, Polycystic kidney), severe intellectual disability

It is three times more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die
before birth or within their first month.
mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flattened nose,
Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward
slanting eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the
Sindrom Down
colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD)
Trisomi 21
noninherited
Physical development is often slower than normal (Most never reach their
average adult height), delayed mental and social development (Impulsive
behavior, Poor judgment, Short attention span, Slow learning)

The most common feature is short stature, which becomes evident by about
age 5. Ovarian hypofunction. Many affected girls do not undergo puberty and
infertile.
Sindrom
About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck,
turner
limfedema ekstrimitas, skeletal abnormalities, or kidney problem, 1/3 have
45 + XO
heart defect, such as coarctation of the aorta.
noninherited
Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal
learning disabilities, and behavioral problems are possible
14
SOAL

Bayi laki-laki berusia 36 jam dibawa ke dokter karena kuning. Bayi lahir dibidan
secara spontan dan langsung menangis. Bayi pulang 8 jam setelah dilahirkan atas
permintaan keluarga. Ibu tidak mengetahui kapan bayi mulai kuning. Bayi
menyusu sering dan kencing lebih dari 6 kali sehari. Tinja berwarna kehijauan.
Anak saat ini tampak letargis, lemah, tidak mau menetek. Pada pemeriksaan
tampak bayi kuning dari kepala hingga telapak kaki/tangan (kramer 5). Pada
pemeriksaan laboratorium kadar bilirubin total 18,5 mg/dl, bilirubin indirek 17,9
mg/dl. Golongan darah ibu O+, dan golongan darah anak A+. Bagaimana hasil
laboratorium yang diharapkan sesuai dengan diagnosa kasus di atas?
A. Penurunan kadar Hb
B. Jumlah retikulosit normal
C. Jumlah retikulosit menurun
D. Uji coombs tes direk dan indirek positif
E. Bentuk eritrosit abnormal pada ADT
Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompatibilitas

P E NYAK I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
I N KO M PAT I B I L I TA S A B O I N KO M PAT I B I L I TA S R H
Tidak memerlukan proses sensitisasi Butuh proses sensitisasi oleh kehamilan RH +
oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya antibodi.
terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih
anak 1
Inkompatibilitas ABO jarang sekali
Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas ABO,
biasanya tidak separah
bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh
Risiko dan derajat keparahan meningkat
seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak ditemukan


gambaran banyak spherocyte dan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A atau B serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Kenapa Inkompatibilitas ABO tidak separah
Inkompatibilitas Rh?

• Biasanya antibodi Anti-A dan Anti-B adalah IgM yang tidak


bisa melewati sawar darah plasenta
• Karena antigen A dan B diekspresikan secara luas pada
berbagai jaringan fetus, tidak hanya pada eritrosit, hanya
sebagian kecil antibodi ibu yang berikatan dengan eritrosit.
• Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit mengekspresikan
antigen permukaan A dan B dibanding orang dewasa,
sehingga reaksi imun antara antibody-antigen juga lebih
sedikit  hemolisis yang parah jarang ditemukan.
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct


Coombs test.
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih
dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan
anemia, dan apusan darah tepi memberikan
gambaran banyak spherocyte dan sedikit
erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
• Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
15
SOAL

Seorang bayi laki laki berumur 1 jam tampak merintih dan letargi
serta sulit menyusu. Bayi lahir secara sectio cesaria dari ibu G2P1A0
usia gestasi 40 munggu dengan berat lahir 5000 gr. Ibu sebelumnya
terdiagnosis diabetes mellitus sejak 4 bulan sebelum kehamilan.
Pada saat lahir bayi langsung menangis kuat dan tonus otot baik.
Pada pemeriksaan saat ini diketahui kadar gula darah 20 mg/dl.
Penatalaksanaan apa yang tepat diberikan pada bayi?
A. Memberikan ASI
B. Memberikan air susu 50 ml
C. Memberikan D10% 10ml
D. Memberikan air gula 50 ml
E. Memberikan infus dengan GIR 6-8 mg/kgBB
Hipoglikemia pada Neonatus
• Hipoglikemia adalah kondisi bayi • Insulin dalam aliran darah fetus
dengan kadar glukosa darah <45 tidak bergantung dari insulin ibu,
mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala tetapi dihasilkan sendiri oleh
atau tidak
pankreas bayi
• Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat
menyebabkan palsi serebral,
• Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia
retardasi mental, dan lain-lain dalam peredaran darah
• Etiologi uteroplasental bayi
– Peningkatan pemakaian glukosa mengatasinya melalui hiperplasia
(hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, sel B langerhans yang
Besar masa kehamilan, eritroblastosis
fetalis
menghasilkan insulin  insulin
– Penurunan produksi/simpanan glukosa: tinggi
Prematur, IUGR, asupan tidak adekuat • Begitu lahir, aliran glukosa yang
– Peningkatan pemakaian glukosa: stres
perinatal (sepsis, syok, asfiksia, menyebabkan hiperglikemia tidak
hipotermia), defek metabolisme ada, sedangkan insulin bayi tetap
karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb
tinggi  hipoglikemia
Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010
Maternal hyperglycemia
|
Fetal hyperglycemia
|
Fetal pancreatic beta-cell hyperplasia
|
Fetal hyperinsulinaemia
|
Macrosomia,organomegaly, polycythaemia,
hypoglycemia, RDS
Hipoglikemia Neonatus
Diagnosis:
– Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apatis, sulit menyusui,
apneu, sianosis, menangis lemah/melengking
– PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir
– Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi
urin, elektrolit darah

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Tatalaksana

Terapi Darurat:

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


Tatalaksana
16
SOAL

Pasien anak usia 1 tahun datang ke dokter dibawa kedua orangtuanya


karena keluhan tampak pucat dan lemas sejak 1 minggu terakhir. Tidak ada
demam, namun perut diperhatikan tampak membesar. Anak juga
dirasakan tampak kuning. Pada pemeriksaan fisik tampak konjungtiva
anemis, sklera ikterik, dan terdapat splenomegali. Pemeriksaan lab Hb 7,
Leukosit 6900, Trombosit 184000. MCV : 70, MCH : 24, MCHC : 18. Serum
iron dan TIBC normal. Coomb tes (–). Apakah temuan pada pemeriksaan
Hb elektroforesis yang mungkin ditemukan pada kasus di atas?
A. HbA2 menurun, HbF terdeteksi
B. HbF normal, HbA2 meningkat
C. HbF meningkat, HbA2 meningkat
D. Penurunan HbA2
E. HbF menurun, HbA2 menurun
THALASSEMIA
• Penyakit genetik dengan supresi produksi hemoglobin karena defek pada
sintesis rantai globin (pada orang dewasa rantai globin terdiri dari
komponen alfa dan beta)
• Diturunkan secara autosomal resesif
• Secara fenotip: mayor (transfusion dependent), intermedia (gejala klinis
ringan, jarang butuh transfusi), minor/trait (asimtomatik)
• Secara genotip:
– Thalassemia beta (kromosom 11, kelainan berupa mutasi)  yang mayoritas
ditemukan di Indonesia
• Tergantung tipe mutasi, bervariasi antara ringan (++, +) ke berat (0)
– Thalassemia alfa (Kromosom 16, kelainan berupa delesi)
• -thal 2 /silent carrier state: delesi 1 gen
• -thal 1 / -thal carrier: delesi 2 gen: anemia ringan
• Penyakit HbH: delesi 3 gen: anemia hemolitik sedang, splenomegali
• Hydrops foetalis / Hb Barts: delesi 4 gen, mati dalam kandungan
Wahidiyat PA. Thalassemia and hemoglobinopathy.
http://elcaminogmi.dnadirect.com/grc
/patient-site/alpha-thalassemia-

Pewarisan Genetik Thalassemia-β


carrier-screening/genetics-of-alpha-
thalassemia.html?6AC396EC1151986D
584C6C02B56BBCC0

Penurunan genetik
thalassemia beta jika kedua
orang tua merupakan
thalassemia trait

NB: need
two genes
(one from
each parent)
to make
enough beta
globin
protein
chains.
  
Excess

22 Precipitation Fe free radicals


HbF
Selective survival of Haemolysis Destruction of RBC precursors
HbF-containing cells

Splenomegaly Ineffective
(pooling, plasma Erythropoiesis
volume
High oxygen expansion)
affinity of red cells

Tissue hypoxia
Anaemia
Erythopoietin

Marrow expansion Transfusion

Increased iron
absorption
Bone deformity
Increased metabolic rate
Iron loading
Wasting
Gout
Folate deficiency Endocrine deficiencies
Cirrhosis
Cardiac failure
Death
Modified from Weatherall, DJ

The pathophysiology of  thalassaemia


Post Graduate Haematology, 1999
ANAMNESIS + TEMUAN KLINIS

• Pucat kronik
• Hepatosplenomegali
• Ikterik
• Perubahan penulangan
• Perubahan bentuk wajah
 facies cooley
• Hiperpigmentasi kulit
akibat penimbunan besi
• Riwayat keluarga +
• Riwayat transfusi
• Ruang traube terisi
• Osteoporosis
• “Hair on end” pd foto
kepala
Hepatosplenomegali & Ikterik

Pucat

Hair on End

Hair on End & Facies Skully

Excessive iron in a bone marrow preparation


Diagnosis thalassemia
(cont’d)
• Pemeriksaan darah
– CBC: Hb , MCV , MCH , MCHC , Rt ,
RDW  
– Apusan darah: mikrositik, hipokrom,
anisositosis, poikilositosis, sel target,
fragmented cell, normoblas +, nucleated
RBC, howell-Jelly body, basophilic
stippling
– Hiperbilirubinemia
– Tes Fungsi hati abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Tes fungsi tiroid abnormal (late findings
krn overload Fe)
– Hiperglikemia (late findings krn overload
Fe)

• Analisis Hb peripheral blood smear of patient with homozygous beta

– HbF , HbA2 n/, Tidak ditemukan HbA, thalassemia with target cells, hypochromia, Howell-Jolly
bodies, thrombocytosis, and nucleated RBCs.Image from
Hb abnormal (HbE, HbO, dll), Jenis Hb Stanley Schrier@ 2001 in ASH Image Bank 2001;
doi:10.1182/ashimagebank-2001-100208)
kualitatif
Thalassemia
Tata laksana thalassemia
• Transfusi darah, indikasi pertama • Splenektomi  jika memenuhi
kali jika: kriteria
– Hb<7 g/dL yg diperiksa 2x • Splenomegali masif
berurutan dengan jarak 2 minggu • Kebutuhan transfusi PRC > 200-220
– Hb>7 disertai gejala klinis spt facies ml/kg/tahun
cooley, gangguan tumbuh kembang
• Transplantasi (sumsum tulang, darah
• Medikamentosa
umbilikal)
– Asam folat (penting dalam
pembentukan sel) 2x 1mg/hari • Fetal hemoglobin inducer
– Kelasi besi  menurunkan kadar (meningkatkan Hgb F yg membawa
Fe bebas dan me<<< deposit O2 lebih baik dari Hgb A2)
hemosiderin). Dilakukan Jika
Ferritin level > 1000 ng/ul, atau 10- • Terapi gen
20xtransfusi, atau menerima 5 L
darah.
– Vitamin E (antioksidan karena
banyak pemecahan eritrosit 
stress oksidatif >>)
– Vitamin C (dosis rendah, pada
terapi dengan deferoxamin)
• Nutrisi: kurangi asupan besi
• Support psikososial
Indikasi transfusi darah pada
Thalasemia
17
SOAL

Seorang anak laki-laki berusia 3 tahun datang diantar ibunya ke RS dengan


keluhan nyeri pada lutut kiri. Lutut kirinya tidak mau disentuh dan tidak
mau disuruh berjalan. Tidak ada riwayat trauma, jatuh sebelumnya atau
demam. Anak tampak rewel, tidak pucat, dan pemeriksaan normal.
Tampak lutut kaki kiri lebih membesar dibandingkan kaki kanan, teraba
lebih hangat daripada kulit sekitarnya dan tidak dapat digerakkan. Kejadian
ini telah berulang sering sejak anak berusia 10 bulan saat sering
merangkak. Apakah kelainan yang terjadi?
A. F.VIII < 20%
B. F.VIII <50%
C. F.VIII <65%
D. F.IX <1%
E. F.IX < 36-40%
Hemofilia
• Hemophilia merupakan kelainan hematologi yang
bersifat diturunkan yang paling banyak dijumpai.
• Terdapat 3 tipe:
– Hemophilia A : defisiensi faktor VIII (tersering)
– Hemophilia B : defisiensi factor IX (christmas disease)
– Hemophilia C : defisiensi faktor XI
• Penyakit ini diturunkan dengan sifat X linked resesif
(gen faktor VIII/IX berada di distal lengan panjang (q)
dari kromosom X
• Gejala mulai muncul saat pasien sudah bisa
merangkak
• Perempuan hanya sebagai karier/pembawa gen
Hemofilia
Epidemiologi
• Insidensi:
- hemophilia A (± 85%)  1 : 5,000 – 10,000 laki-laki
(atau 1 : 10,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
- hemophilia B (± 15%)  1 : 23,000 – 30,000 laki-laki
(atau 1 : 50,000 dari laki-laki yang lahir hidup)
• Sekitar 70% penderita hemofilia memiliki riwayat
keluarga yang memiliki penyakit kelainan pada
pembuluh darah
• Manifestasi klinisnya terbagi dalam 3 derajat: mild,
moderate, severe

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Clinical manifestation
• Bleeding:
• usually deep (hematoma, hemarthrosis)
• spontaneous or following mild trauma
• Type:
 Hemarthrosis
 Hematoma
 Intracranial hemorrhage
 Hematuria
 Epistaxis
 Bleeding of the frenulum (baby)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Diagnosis
 history of abnormal bleeding in a boy
 normal platelet count
 bleeding time usually normal
 clotting time: prolonged
 prothrombin time usually normal
 partial thromboplastin time prolonged
 decreased antihemophilic factor
Antenatal diagnosis
 antihemophilic factor level
 F-VIII/F-IX gene identification (DNA analysis)
Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.
Classification of Hemophilia A & B

5-40% (emedicine)
Blood component replacement therapy

factor-VIII factor-IX
(unit/ml) (ml)
fresh-frozen plasma ~ 0,5 ~ 0,6 200
cryoprecipitate ~ 4,0 - 20
factor-VIII concentrate 25 - 100 - 10
factor-IX concentrate - 25 - 35 20

source of F-VIII: - monoclonal antibody purified;


- intermediate- and high-purity;
- recombinant

Kuliah Hemofilia FKUI. Pustika A.


Tatalaksana Hemofilia
18
SOAL

Anak laki laki berusia 12 tahun dibawa ke dokter Puskesmas karena batuk
selama 4 minggu tidak kunjung membaik. Keluhan sesak disangkal. Anak
juga alami demam naik turun selama 2 minggu terakhir. Anak tampak lebih
kurus selama sakit, tidak diketahui turun berapa kilogram. Diketahui ibu
pasien sedang jalani pengobatan paru TB bulan kedua. Pada pemeriksaan
fisik tampak pembesaran KGB colli dan ronki dikedua lapang paru. Dari
grafik WHO BB/U anak < -2SD. Pemeriksaan penunjang lanjutan apa yang
diperlukan untuk menegakkan diagnosis?
A. Tuberculin
B. Pewarnaan gram
C. Pewarnaan ZN
D. X-foto thoraks
E. LED
Tuberkulosis pada anak
• Pada umumnya anak yang terinfeksi tidak
menunjukkan gejala yang khas
over/underdiagnosed
• Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB
pada anak
• Pertimbangkan tuberkulosis pada anak jika :
– BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut
tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh
– Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas
– Batuk kronik 3 ≥ minggu
– Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa
Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak
(Depkes 2016)
• Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :
– Konfirmasi bakteriologis TB  contoh pemeriksaan sputum
pewarnaan Ziehl Neelsen
– Gejala klinis yang khas TB
– Adanya bukti infeksi TB(tuberculin atau kontak TB)
– Foto thorax sugestif TB
• System skoring:
– Telah digunakan untuk diagnosis TB anak
– Bila tidak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto
thoraks, maka skoring ini akan tidak dapat terpenuhi seluruh
komponennya
– Sehingga dibuat alur diagnostik berdasarkan klinis dan
pemeriksaan bakteriologis
Sistem Skoring
Sistem Skoring

• Diagnosis oleh dokter


• Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname)
• Demam dan batuk yang tidak respons terhadap terapi baku
• Cut-of f point: ≥ 6
• Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan
observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak
tersebut
• Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak
• Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB
• Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring
• Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk
ke rumah sakit
ALUR DIAGNOSIS
BILA DIDAPATKAN
GEJALA KLINIS
Prinsip Pengobatan TB Anak
Regimen OAT pada Anak

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.


Indikasi Kortikosteroid pada Anak
19
SOAL

Seorang anak peempuan berusia 10 tahun datang ke IGD RS karena mengeluh


sesak napas memberat sejak 1 jam sebelumnya. Anak sedang alami batuk dan
pilek. Keluhan tidak disertai demam. Anak masih dapat berbicara menceritakan
keluhannya dalam penggalan kata. Anak pernah alami sesak hilang timbul
berulang dan sempat dikatakan ada asma, namun tidak kontrol rutin. Keluhan
serangan serupa sudah dialami pasien terakhir 2 bulan lalu. Pada pemeriksaan
fisik anak tampak gelisah, duduk bertopang tangan, sianosis (-), HR 120x/menit,
RR 44x/menit, retraksi suprasternal dan intercostal (+), wheezing ekspirasi dan
inspirasi. Pasien sudah mendapat inhalasi β2 agonis 2x dan responsnya parsial.
Apakah diagnosis pasien pada kasus ini?
A. Asma persisten
B. Asma intermiten serangan sedang
C. Asma persisten sedang serangan sedang
D. Asma persisten ringan serangan berat
E. Asma intermitten serangan berat
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi


kronik yang mengakibatkan obstruksi dan
hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat
bervariasi.
• Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul
secara kronik dan atau berulang, reversibel,
cenderung memberat pada malam atau dini hari,
dan biasanya timbul jika ada pencetus
• Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang,
BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu
diagnosis asma
Asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
KARAKTERISTIK:
 Gejala timbul secara episodik atau berulang.
 Timbul bila ada faktor pencetus.
 Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering,
makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan.
 Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
 Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
 Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
 Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
 Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam.
Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
 Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat
pereda asma.
 Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar
dengan stetoskop.
 Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi,
dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperti allergic shiners atau geographictongue.
Kriteria diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Alur diagnosis asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan Berdasarkan kondisi saat ini Berdasarkan derajat kendali

• Intermitten • Tanpa gejala • Tidak terkendali


• Persisten Ringan • Ada gejala • Terkendali sebagian
• Persisten Sedang • Serangan ringan • Terkendali penuh dengan
• Persisten Berat • Serangan sedang controller
• Serangan berat • Terkendali penuh tanpa
• Ancaman gagal napas controller
Berdasarkan umur Berdasarkan fenotip Berdasarkan derajat
beratnya serangan
• Asma bayi – baduta • Asma tercetus infeksi
(bawah dua tahun) virus • Asma serangan ringan-
• Asma balita (bawah • Asma tercetus aktivitas sedang
lima tahun) (exercise induced • Asma serangan berat
• Asma usia sekolah asthma) • Serangan asma dengan
(5-11 tahun) • Asma tercetus alergen ancaman henti napas
• Asma remaja (12- • Asma terkait obesitas
17 tahun) • Asma dengan banyak
pencetus (multiple
triggered asthma)
Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan


Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru

PNAA 2004 PNAA 2015 Keterangan

Episodik jarang Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak


antar gejala ≥6 minggu

Episodik sering Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan,


<1x/minggu
Persisten Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun
tidak setiap hari

Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir tiap


hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak


Klasifikasi asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Berdasarkan derajat kendali
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Jenis alat inhalasi sesuai usia
Tatalaksana kekerapan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Sediaan steroid
 Steroid inhalasi atau sistemik tidak
digunakan untuk asma intermiten dan
wheezing akibat infeksi virus.
 Steroid inhalasi umumnya diberikan
dua kali dalam sehari
 Ciclesonide diberikan sekali
sehariefikasi masih diobservasi
 Steroid inhalasi sebagai obat
pengendali asma tidak mempengaruhi
tinggi badan dan densitas tulang.
 Kandidiasis oral dan suara parau
sebagai efek samping dapat dicegah
dengan cara berkumur setiap selesai
pemberian steroid inhalasi lalu
membuang air bekas berkumur
tersebut.
 Pada anak asma yang mendapatkan
steroid inhalasi perlu dipantau
pertumbuhan (persentil tinggi badan
dan berat badan) setiap tahun.
20
SOAL

Seorang anak perempuan berusia 7 bulan datang dibawa ke dokter


karena tampak sesak napas sejak 1 hari yang lalu. Anak sebelumnya
juga alami batuk dan pilek. Anak alami demam, namun tidak terlalu
tinggi sejak 2 hari yang lalu. Pada pemeriksaan fisik tampak adanya
RR 56x/menit, napas cuping hidung dan retraksi dada. Pada
auskultasi paru ditemukan adanya wheezing di kedua lapang paru.
Pada pemeriksaan radiologi tampak adanya paru hiperlusen dan
hiperekspansi ditandai dengan diafragma datar. Apakah diagnosis
yang paling mungkin untuk kasus di atas?
A. Bronkopneumonia
B. Bronkiolitis
C. Bronchitis kronis
D. Tuberkulosis paru
E. Asma
Bronkiolitis

• Infeksi pada bronchioli akibat


infeksi virus yang menyerang
anak di bawah usia 2 tahun,
terutama usia 2-6 bulan.
• Etiologi:
– Respiratory syncytial virus
(RSV)  tersering
– Virus influenza
– Virus parainfluenza
– Adenovirus
• Difficult to differentiate with
pneumonia and asthma
Patofisiologi
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Bronkiolitis
Gambaran Radiologis
DISEASE RADIOGRAPHY

Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The


Pneumonia opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly
lobaris there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a
consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent


lobularis/ patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response
bronko to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or
pneumonia reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.

pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most


characteristic)  Associated with thicker Bronchial wall, inflammation
Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with
Asthma
accessory muscle use)
Hyperinflation (variably present)
Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis
Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent,
bronkiolitis Peribronchial thickening
Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchiolitis

Tampak hiperinflasi dengan diafragma yang mendatar dan opasifikasi pada paru kanan (lingkaran merah)
Tampat atelektasis (lingkaran biru). Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This
is one reason why children with acute asthma are often misdiagnosed as having pneumonia.
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris

Etiology:
Pneumococcus
Mycoplasma
Gram negative organisms
Legionella
Tatalaksana
Bronkiolitis
• Penyakit Ringan:
– Terapi simtomatis
• Penyakit sedang-berat:
– Tatalaksana life support  O2 dan IVFd
– Etiologi: Terapi antivirus jarang tersedia,
antibiotik bila ternyata etiologinya bakteri
– Terapi simtomatik:
• Bronkodilator  kontroversial namun masih bisa
diberikan dengan alasan terjadinya inflamasi serta
bronkospasme dan meningkatkan mukosiler
• Kortikosteroid  kontroversial (tidak efektif)
Tatalaksana Bronkiolitis
• Walaupun pemakaian nebulisasi
dengan beta2 agonis sampai saat
ini masih kontroversi, tetapi
masih bisa dianjurkan dengan
alasan:
– Pada bronkiolitis selain terdapat
proses inflamasi akibat infeksi virus
juga ada bronkospasme dibagian
perifer saluran napas (bronkioli)
– Beta agonis dapat meningkatkan
mukosilier
– Sering tidak mudah membedakan
antara bronkiolitis dengan
serangan pertama asma
– Efek samping nebulasi beta agonis
yang minimal dibandingkan
epinefrin.

Sari Pediatri
21
SOAL

Anak laki – laki berusia 10 tahun dibawa orangtuanya ke dokter dengan


keluhan demam sejak 8 hari yang lalu. Demam naik turun disertai dengan
timbulnya bercak – bercak kemerahan di kulit dan nyeri sendi yang
berpindah pindah. Sekitar 4 minggu sebelumnya pasien pernah berobat
karena amandelnya kambuh. Pada pemeriksaan tanda vital ditemukan RR
28x/menit, denyut nadi 100x/menit dan temperatur 38,5C. Pada
pemeriksaan fisik kulit ditemukan eritema dan nodul subkutan pada
daerah persendian. Pmeriksaan EKG didapatkan PR interval yang
memanjang tetap pada setiap lead. Apakah diagnosis yang paling
mungkin pada pasien ini?
A. Rheumatic fever
B. Polyarthritis migran
C. Rheumatoid arthritis
D. Polimyalgia rheumatic
E. Systemic Lupus Erythematosus
Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS
(Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS
setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: Antikonvulsan/neuroleptik (asam
valproat/fenobarbital/haloperidol/klorpromazin)
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman
RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Penyakit Jantung Rematik
• Sekuele demam reumatik akut yang tidak di-tx
adekuat
• Manifestasi 10-30 th pasca DRA
• Penyakit jantung katup
– MS: fusi komisura  fish mouth
– AI + MS
– AS + AI + MS

Source: Valvular Heart Disease. Lilly LS. Pathophysiology of Heart Disease. 4th ed. 2007.
Sabatine MS. Pocket Medicine. 4th ed. 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of acute carditis
– is the most common include
symptom – the high-pitched, blowing, holosystolic, apical
– (polyarticular, fleeting, murmur of mitral regurgitation;
and involves the large – the low-pitched, apical, mid-diastolic, flow
joints) murmur (Carey-Coombs murmur);
– frequently the earliest – and a high-pitched, decrescendo, diastolic
manifestation of acute murmur of aortic regurgitation heard at the
rheumatic fever (70-75%). aortic area.
• Carditis: – Murmurs of mitral and aortic stenosis are
– (40% of patients) observed in chronic valvular heart disease.
– and may include • Valvulitis merupakan tanda utama karditis
cardiomegaly, new reumatik :
murmur, congestive heart – katup mitral (76%),
failure, and pericarditis, – katup aorta (13%),
with or without a rub and – dan katup mitral+ aorta (97%).
valvular disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the
wrists, elbows, and knees.
• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):
– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting)
1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 2-
3x500 mg 10 days, if allergic to penicillin  erythromycin 10
days or azithromycin 500 mg orally on day 1 followed by 250
mg orally on days 2 through 5 days (antibiotic is given even if
throat culture is negative)
• Anti-inflammatory agents: Aspirin/prednison
• Anti-inflammatory agents:
fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Antiinflamasi pada Demam rematik
• Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam
reumatik ditegakkan.
• Hanya artritis
– aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu
– dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu
berikutnya.
• Karditis ringan sampai sedang
– aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung
pada respons klinis
– Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu
berikutnya.
• Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali
– Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan
dengan aspirin 75 mg/kg/hari.
Rheumatic Fever - Prevention
Secondary prevention – prevention of recurrent attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally

AHA Scientific Statement


Rheumatic Fever - Prevention
Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis
• Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10 years
since last episode or until 40 years of age (whichever is longer),
sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or well
into adulthood whichever is longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years
whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)

AHA Scientific Statement


22
SOAL

Bayi perempuan berusia 4 hari datang dibawa ibunya ke dokter


Puskesmas karena sejak usia 2 hari mulai tampak kuning. Bayi
selama ini dapat ASI namun anak lebih sering tidur. Ibu mengatakan
produksi ASI tidak begitu banyak. Pada pemeriksaan fisik anak tonus
otot baik, tampak menangis kuat, tidak ada tanda tanda dehidrasi,
ditemukan Kramer III, lain – lain dalam batas normal. Bilirubin total
16,25 g/dL, bilirubin direk 0,75 g/dL, bilirubin indirek 15,5 g/dL.
Apakah diagnosis yang mungkin dialami pasien pada kasus di atas?
A. Atresia bilier
B. Inkompatibilitas Rh
C. Breast milk jaundice
D. Breastfeeding jaundice
E. Defisiensi G6PD
Ikterus dan Hiperbilirubinemia pada Bayi Baru Lahir

Ikterus atau Hiperbilirubinemia :


menunjukkan pewarnaan pada kulit, sklera atau membran mukosa sebagai akibat
penumpukan bilirubin yang berlebihan pada jaringan.

Ikterus baru terlihat bila kadar bilirubin serum lebih dari 5 mg/dL.
Ikterus pada neonatus merupakan sesuatu yang unik dan membutuhkan
perhatian khusus, karena:

Neonatus sedang mengalami Bilirubin indirek dapat Penyakit herediter mungkin


proses maturasi yang mungkin mencapai kadar toksik menunjukkan manifestasi
akan mempengaruhi perjalanan (kernikterus) sehingga klinisnya pada periode usia
penyakit harus didiagnosis dini ini
Ikterus Fisiologis
Pada neonatus – bedakan ikterus fisiologis atau patologis.5

Ikterus Mencapai
Onset
Puncak Menghilang
fisiologis Usia 30-72
Usia 4-5 Usia 7-10 hari
bayi aterm jam
hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 12 mg/dL


Ikterus
fisiologis Onset Usia Mencapai
di atas 24 Puncak Menghilang
bayi jam lebih Usia 5-6 Usia 8-14 hari
preterm dini hari

Nilai bilirubin tidak melebihi 15 mg/dL


Ikterus Patologis

Kondisi yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut karena kecurigaan adanya


proses patologis, apabila kondisi ikterus pada bayi disertai dengan kondisi:
03
01 02
Kadar bilirubin serum
Ikterus pada 24 jam Ikterus pada bayi yang
meningkat dengan
pertama kehidupan terlihat sakit.
cepat

04 05 06
Prolonged Jaundice - Kadar bilirubin direk Feses berwarna
Ikterik menetap >2 >1 mg/dL (17mol/L)4 dempul dan urin
minggu (bayi aterm) berwarna gelap6
dan >3 minggu (bayi
prematur)6
Etiologi
Ikterus Neonatorum
• Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis.
• Ikterus fisiologis:
– Awitan terjadi setelah 24 jam
– Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB)
– Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15
mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis:
– Awitan terjadi sebelum usia 24 jam
– Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam
– Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB
– Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai
bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total
bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.


Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Kramer’s Rule
Zona 1 2 3 4 5

Definisi Kepala Kulit Kulit tubuh Lengan Telapak


dan leher tubuh di di bawah dan tangan
atas pusar pusar dan tungkai dan kaki
paha

Kadar bilirubin 4-8 5 - 12 8 - 16 11 – 18 >1 5


serum (mg/dL)

Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah


cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.

Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila:


1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan
2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari)
3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14
mg/dL/24 jam pada bayi preterm
4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih
5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
20
18
16
14
12
10 fisiologis

8 non- fisiologis
6
4
2
0
hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7

• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1


– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh, penyakit hemolitik,
atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi
G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang:
inkompatibilitas ABO, Rh, sferositosis.
Ikterus yang Berhubungan
dengan ASI (Fisiologis)
Breast Feeding Jaundice (BFJ) Breast Milk Jaundice (BMJ)
• Disebabkan oleh kurangnya asupan • Berhubungan dengan pemberian
ASI sehingga sirkulasi enterohepatik ASI dari ibu tertentu dan
meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat bergantung pada kemampuan
ASI belum banyak)
bayi mengkonjugasi bilirubin
indirek
• Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 • Kadar bilirubin meningkat pada
• Penyebab: asupan ASI kurang  hari 4-7
cairan & kalori kurang  penurunan • Dapat berlangsung 3-12 minggu
frekuensi gerakan usus  ekskresi tanpa penyabab ikterus lainnya
bilirubin menurun • Penyebab: 3 hipotesis
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
hasil metabolisme progesteron
yang ada dalam ASI
– Inhibisi glukuronil transferase oleh
asam lemak bebas
– Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator BFJ BMJ
Awitan Usia 2-5 hari Usia 5-10 hari
Lama 10 hari >30 hari
Volume ASI asupan ASI kurang  cairan & Tidak tergantung dari volume ASI
kalori kurang  penurunan
frekuensi gerakan usus 
ekskresi bilirubin menurun
BAB Tertunda atau jarang Normal
Kadar Bilirubin Tertinggi 15 mg/dl Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan Tidak ada, sangat jarang Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar
fototerapi Teruskan ASI disertai bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari
monitor dan evaluasi 24 jam (untuk diagnostik)
pemberian ASI AAP merekomendasikan pemberian ASI
terus menerus dan tidak menghentikan
Gartner & Auerbach
merekomendasikan penghentian ASI
pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding
jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the
following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12
times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24
hours.
• Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is
not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL.
• For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add
phototherapy to any of the previously stated treatment options.
• The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt
breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use
phototherapy; however, in most infants, interrupting
breastfeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com


Tatalaksana
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
Tatalaksana Ikterus neonatorum
1. Pencegahan
– Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum
sesegera mungkin
– Sering menyusui untuk menurunkan siklus
enterohepatik
– Menunjang kestabilan flora normal
– Merangsang aktivitas usus halus
2. Panduan foto terapi

AAP, 2004
3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004
23
SOAL

Bayi laki laki berusia 1 minggu tampak mengeluarkan cairan


berwarna putih dari payudaranya. Bayi lahir cukup bulan secara
spontan dengan berat badan lahir 3000 gram serta panjang badan
50 cm. Bayi saat ini hanya mengonsumsi ASI. Keluhan demam saat
ini disangkal. Bayi tampak aktif, menyusu dengan kuat serta tidak
rewel. Ibu pasien merasa khawatir dengan kondisi ini. Apakah
tindakan yang tepat dilakukan pada kasus di atas?
A. Lakukan insisi pada benjolan
B. Kompres dengan air hangat
C. Kompres dengan antiseptik
D. Diberi antibiotik
E. Dibiarkan saja
Galaktorea Neonatus

• Galaktorea neonatal (Witch`s Milk atau


neonatal milk) muncul pada 5% nenonatus
baik perempuan ataupun laki – laki
• Galaktorea terjadi akibat hormon ibu
mempengaruhi tubuh bayi saat sebelum lahir
• Hormon ibu akan bertahan dalam tubuh bayi
hingga beberapa bulan setelah dilahirkan
• Sekitar 2% anak mensekresikan susu hingga
berumur 2 bulan
• Bayi biasanya memiliki nodul pada payudara
• Kondisi ini akan menghilang dengan
sendirinya dalam beberapa bulan
• Tidak perlu dilakukan terapi atau manipulasi
24
SOAL

Anak laki-laki berusia 8 tahun datang diantar ibunya


dengan keluhan bengkak pada kelopak mata serta bengkak
pada kedua kaki yang dialami sejak 3 hari terakhir. Riwayat
demam atau kenicng berdarah disangkal. Pemeriksaan
laboratorium didapatkan albumin 1.7 g/dl, proteinuria +4,
total kolesterol 245, dan oval fat body cast. Apa diagnosis
pada pasien ini?
A. Minimal change glomerulopathy
B. Glomerulosklerotik fokal segmental
C. Nefropati membranosa
D.Glomerulonefritik proliferatif mesangial
E. Glomerulonefritis rapid progresif
Sindrom Nefrotik
• Spektrum gejala yang ditandai • Di bawah mikroskop: Minimal change
dengan protein loss yang masif dari nephrotic syndrome (MCNS)/Nil
ginjal Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis)
• Pada anak sindrom nefrotik mayoritas merupakan penyebab tersering dari
bersifat idiopatik, yang belum sindrom nefrotik pada anak,
diketahui patofisiologinya secara mencakup 90% kasus di bawah 10
jelas, namun diperkirakan terdapat tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.
keterlibatan sistem imunitas tubuh, • Faktor risiko kekambuhan: riwayat
terutama sel limfosit-T atopi, usia saat serangan pertama,
• Gejala klasik: proteinuria, edema, jenis kelamin dan infeksi saluran
hiperlipidemia, hipoalbuminemia pernapasan akut akut (ISPA) bagian
• Gejala lain : hipertensi, hematuria, atas yang menyertai atau mendahului
dan penurunan fungsi ginjal terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome. http://emedicine.medscape.com/article/982920-overview


Sindrom Nefrotik

• Sindrom nefrotik (SN) adalah suatu sindrom klinik


dengan gejala:
– Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau
dipstik ≥ 2+)
– Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL
– Edema
– Dapat disertai hiperkolesterolemia
• Etiologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopatik,
dan sekunder (mengikuti penyakit sistemik antara lain
lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein)

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Nefrotik vs Nefritik
Diagnosis

• Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut,


tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin.
Urin dapat keruh/kemerahan
• Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites,
edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi
• Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio
albumin kreatinin urin > 2, dapat disertai hematuria.
Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200
mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.
Oval Fat Bodies
• Oval fat bodies are cells with birefringent fat droplets within
their cytoplasm.
• Two Possibilities:
– the cell is an oval renal proximal tubular cell with a fat droplets
filled cytoplasm (Schumann)
– macrophages also known as foam cells (Stamey)
• Under low power magnification, oval fat bodies are often
seen as large brown spots (sometimes almost black). This
coloration is due to the yellowish brown pigmented fat
making the droplets.
• These cells are usually seen in a context of heavy
proteinuria.
• Oval fat bodies, in a high proteinuria context, are associated
with the nephrotic syndrome (nephrosis), although oval fat
bodies are not specific to the nephrotic syndrome.
• These cells are sometime seen in specimens with a normal
proteinuria.
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 4


mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2
LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
• Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6
bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4
kali per tahun pengamatan
• Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali
dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4
kali dalam periode 1 tahun
Definisi pada Sindrom Nefrotik

• Dependen steroid : relaps terjadi pada saat


dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari
setelah pengobatan dihentikan, dan hal ini
terjadi 2 kali berturut-turut
• Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose)
2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK.


Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia
The glomerular basement membrane (GBM) of the kidney is the basal lamina
layer of the glomerulus.
The GBM is a fusion of the endothelial cell and podocyte basal laminas

Gambaran
GLOMERULUS
NORMAL
Glomerulus normal di bawah mikroskop
cahaya
Contoh Glomerulonefritis berdasarkan
Morfologi:
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
• Rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN)
• Focal segmental glomerulosclerosis (FSGS)
• Membranous GN
• Mesangial Proliferative GN
• Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
Minimal-Change Glomerulonephritis
• Nama lain Nil Lesions/Nil Disease (lipoid
nephrosis)
• Minimal change nephrotic syndrome (MCNS)
merupakan penyebab tersering dari sindrom
nefrotik pada anak, mencakup 90% kasus di
bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua.

Nephrology (Carlton). 2007 Dec;12 Suppl 3:S11-4.


Pathophysiology of minimal change nephrotic syndrome and focal segmental glomerulosclerosis.
Cho MH, Hong EH, Lee TH, Ko CW.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17995521
Minimal-change disease (MCD)/lipoid nephrosis/nil disease, hampir selalu
beruhubungan dengan sindrom nefrotik (penyeban sindrom nefrotik idiopatik
tersering pada anak). Hampir tidak ditemukan perubahan pada membran maupun
sel mesangial
Glomerulonephritis, crescentic (RPGN). Compression of the glomerular tuft with a circumferential
cellular crescent that occupies most of the Bowman space. Rapidly progressive
glomerulonephritis (RPGN) is defined as any glomerular disease characterized by extensive
crescents (usually >50%) as the principal histologic finding and by a rapid loss of renal function
(usually a 50% decline in the glomerular filtration rate [GFR] within 3 mo) as the clinical
correlate.
Image courtesy of Madeleine Moussa, MD, FRCPC, Department of Pathology, London Health Sciences Centre, London, Ontario, Canada.
This is focal segmental glomerulosclerosis (FSGS). An area of
collagenous sclerosis runs across the middle of this glomerulus. As the
name implies, only some (focal) glomeruli are affected and just part of
the affected glomerulus is involved (segmental) with the sclerosis. In
contrast to minimal change disease, patients with FSGS are more likely
to have non-selective proteinuria, hematuria, progression to chronic
renal failure, and poor response to corticosteroid therapy
Here is the light microscopic appearance of membranous nephropathy in which the
capillary loops are thickened and prominent, but the cellularity is not increased.
Membranous GN is the most common cause for nephrotic syndrome in adults. In most
cases there is no underlying condition present (idiopathic). However, some cases of
membranous GN can be linked to a chronic infectious disease such as hepatitis B, a
carcinoma, or SLE.
Mesangial Proliferative GN
• Mesangioproliferative pattern of glomerular
injury is characterized by the expansion of
mesangial matrix and the mesangial
hypercellularity.
• Contoh: immune disease such as IgA
nephropathy or class II lupus nephritis or non-
immune diseases such as early diabetic
glomerulosclerosis
Membranoproliferative glomerulonephritis
(MPGN)/ mesangiocapillary glomerulonephritis
(MCGN)
• Membranoproliferative glomerulonephritis (MPGN) is an
uncommon cause of chronic nephritis that occurs primarily in
children and young adults.
• This entity refers to a pattern of glomerular injury based on
characteristic histopathologic findings, including:
– (1) proliferation of mesangial and endothelial cells and expansion of
the mesangial matrix
– (2) thickening of the peripheral capillary walls by subendothelial
immune deposits and/or intramembranous dense deposits
– (3) mesangial interposition into the capillary wall, giving rise to a
double-contour or tram-track appearance on light microscopy
Membranoproliferative
glomerulonephritis (MPGN)
type I. Glomerulus with
mesangial interposition
producing a double contouring
of basement membranes,
which, in areas, appear to
surround subendothelial
deposits (Jones silver
methenamine–stained section;
original magnification × 400).
Courtesy of John A. Minielly,
MD.
25
SOAL

Seorang anak laki-laki berusia 10 tahun, datang ke dokter dibawa


ibunya karena pasien mengalami kencing berwarna coklat gelap
seperti air cucian daging. Anak sebelumnya ada riwayat demam dan
nyeri menelan sejak ± 7 hari yang lalu. Sekitar 3 hari yang lalu pasien
mulai BAK kurang dari 1 gelas/hari, disertai keluhan nyeri pinggang,
serta bengkak pada kelopak mata. Pada pemeriksaan laboratorium
tampak BUN meningkat, urin eritrosit (+), protein (+), silinder (+).
Apakah diagnosis yang sesuai pada kondisi diatas?
A. Glomerulonefritis akut
B. Sindroma nefrotik
C. Tumor Wilms
D. Vesikulolithiasis
E. Sindrom hemolitik-uremik
Glomerulonefritis akut Pasca Streptokokus

• Glomerulonefritis akut ditandai dengan edema, hematuria, hipertensi dan


penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi inflamasi pada
glomerulus
• Acute poststreptococcal glomerulonephritis is the archetype of acute GN
• GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik → deposit
kompleks imun di glomerulus
• Diagnosis
– Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya, hematuri
nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri
– PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas infeksi, gejala
hipervolemia seperti gagal jantung atau edema paru
– Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO
• Terapi: Antibiotik (penisilin, eritromisin), antihipertensi, diuretik

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephritis. http://emedicine.medscape.com/article/240337-overview


Causes of glomerulonephritis in children
PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS
Membranous glomerulonephritis
Membranoproliferative glomerulonephritis type I
Membranoproliferative glomerulonephritis type II (dense deposit disease)
IgA nephropathy
Anti-glomerular basement membrane disease
Idiopathic crescentic glomerulonephritis
SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS
Post-streptococcal glomerulonephritis
Other post-infectious glomerulonephritis
Henoch-Schönlein purpura nephritis
Systemic lupus erythematosus nephritis
Microscopic polyangiitis
Wegener granulomatosus
Mekanisme GNAPS
• Terdapat 4 mekanisme yang mungkin menimbulkan GNAPS:
1. Adanya kompleks imun dengan antigen streptokokal yang
bersirkulasi dan kemudian terdeposisi.
2. Deposisi dari antigen streptokokus pada membrane basal
glomerulus yang berikatan dengan antibody sehingga terbentuk
kompleks imun.
3. Adanya antibody terhadap antigen streptokokal yang bereaksi
terhadap komponen glomerulus yang menyerupai antigen
streptokokus (molecular mimicry)
4. Adanya proses autoimun
• Dari keempat mekanisme tersebut, mekanisme kedua adalah
mekanisme pathogenic yang paling banyak ditemukan.
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
• Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• GNAPS:
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin
O, yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman
grup A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia,
dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
26
SOAL

Bayi perempuan bernama Matahari Seja Oranye, berusia 6


hari, datang dibawa oleh ibunya ke RS karena mengalami
kejang 2 kali di sisi tubuh kanan selama 1 menit. Pada
pemeriksaan dan anamnesis awal didapatkan ubun-ubun
menonjol dan anemis, dapat ASI eksklusif. Dokter kemudian
mendiagnosis dengan perdarahan intrakranial. Kenapa bisa
terjadi perdarahan intrakranial pada pasien ini?
A. ASI kurang mengandung vit K
B. ASI menghambat ikatan kalsium dan glutamate
C. ASI menghambat koagulasi
D. ASI menghambat pembentukan faktor koagulasi
E. ASI tidak baik untuk bayi baru lahir
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
Stadium Characteristic
Early-onset VKDB usually occurs during first 24 hours after birth. Baby born of
mother who has been on certain drugs: anticonvulsant,
antituberculous drug, antibiotics, VK antagonist anticoagulant.
Classic VKDB Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex
is low. It was found in babies who do not received VKP or
VK supplemented.
Bleeding commonly occurs in the umbilicus, gastrointestinal
(GI) tract (ie, melena), skin, nose, surgical sites (ie, circumcision)
and, uncommonly, in the brain.
Late-onset VKDB / Late-onset vitamin K deficiency bleeding usually occurs
APCD (acquired between age 2-12 weeks; however, it can be seen as long as 6
prothrombin months after birth. This disease is most common in breastfed
complex disorder) infants who did not receive vitamin K prophylaxis at birth.
More than half of these infants present with acute intracranial
hemorrhages
Acquired Prothrombine Complex Deficiency
(APCD) dengan Perdarahan Intrakranial
• Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD)
dengan Perdarahan Intrakranial merupakan
kelanjutan dari VKDB (late onset VKDB)
• Etiologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami
oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam
plasma dan cadangan di hati, (2) Rendahnya kadar
vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin
K1 pada saat baru lahir
• Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi tertinggi 3-8
minggu
• 80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan
intrakranial

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010


APCD
• Diagnosis • Tatalaksana APCD
– Anamnesis : Bayi kecil yang – Pada bayi dengan kejang fokal, pucat,
sebelumnya sehat, tiba-tiba dan UUB membonjol, berikan
tampak pucat, malas minum, tatalaksana APCD sampai terbukti
bukan
lemah. Tidak mendapat vitamin K
saat lahir, konsumsi ASI, kejang – Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari
berturut-turut
fokal
– Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3
– PF : Pucat tanpa perdarahan yang hari berturut-turut
nyata. Tanda peningkatan tekanan – Transfusi PRC sesuai Hb
intrakranial (UUB membonjol, – Tatalaksana kejang dan peningkatan
penurunan kesadaran, papil tekanan intrakranial (Manitol 0,5-1
edema), defisit neurologis fokal g/kgBB/kali atau furosemid 1
– Pemeriksaan Penunjang : Anemia mg/kgBB/kali)
dengan trombosit normal, PT – Konsultasi bedah syaraf
memanjang, APTT • Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg
normal/memanjang. USG/CT Scan IM pada semua bayi baru lahir
kepala : perdarahan intrakranial
– Pada bayi dengan kejang fokal,
pucat, disertai UUB membonjol
harus difikirkan APCD sampai
terbukti bukan
Buku PPM Anak IDAI
27
SOAL

Seorang anak usia 4 tahun kejang seluruh tubuh 1 jam


sebelumnya. Saat kejang, mata mendelik ke atas, tangan dan
kaki kaku selama 5 menit. Kejang sudah terjadi 3 kali dan
berhenti sendiri tanpa diobati. Jarak antar kejang 1 jam dan
anak sadar diantara kejang. Dua hari sebelumnya anak batuk
dan demam. Terdapat riwayat kejang demam pada ayahnya
saat umur 1 tahun. Diagnosis yang tepat adalah…
A. Kejang demam simpleks
B. Kejang demam kompleks
C. Epilepsy
D. Status epileptikus
E. Tetanus
Kejang demam
• Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang TIDAK
disebabkan oleh proses intrakranial
• Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit
• Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada
riwayat kejang tanpa demam.
• Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan.
• Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam,
namun jarang sekali.
• Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam,
pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat.
• Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini
melainkan termasuk dalam kejang neonatus

Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI


Klasifikasi

Kejang • Kejang kurang dari 15 menit


demam • Kejang umum tonik-klonik
• Kejang tidak berulang
sederhana

Kejang • Kejang lebih dari 15 menit


demam • Kejang fokal, fokal menjadi umum
• Kejang berulang dalam 24 jam
kompleks
KET:
1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam
2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan Penunjang
• Pemeriksaan laboratorium
– Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
– Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah

• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016)


– saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.
– Indikasi LP:
• Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal
• Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis
• Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah
mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan
gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang
• Indikasi CT scan/MRI
– Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana
– Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam
kompleks sangat rendah
– Harus dilakukan :
• Makro/mikrosefali
• Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

• Indikasi EEG
– Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI
apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD
• Faktor risiko :
– Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga
– Usia kurang dari 12 bulan
– Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang
– Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan
terjadinya kejang.
– Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam
kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80%
• Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%
Tatalaksana
• Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE
• Setelah kejang berhenti :
– Profilaksis atau tidak
– Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik:
– Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang
– Memberikan rasa nyaman bagi pasien
– Mengurangi kekhawatiran orangtua
– Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan.
– Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6
jam.
– Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang
• Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4
menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah
berhenti.
• Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah
diazepam intravena.
• Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg
perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau
dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
• Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti
algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang
• Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah
(prehospital)adalah diazepam rektal.
– Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih
dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat
diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5
menit.
• Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang,
dianjurkan ke rumah sakit.
• Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena.
• Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
• Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari
indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten
• Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam.
• Indikasi (salah satu dari):
– Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
– Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
– Usia <6 bulan
– Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
– Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh
meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3
kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan
<12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari
• Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam.
• ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang
tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan
terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek
• Indikasi pengobatan rumat:
– Kejang fokal
– Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang,
misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan
kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian
terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua
khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan
• Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif
dalam menurunkan risiko berulangnya kejang
• Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus.
• Obat pilihan saat ini adalah asam valproat.
• Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2
tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati.
• Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis,
dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
• Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan
rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off ,
namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
DIAGNOSIS DIFERENSIAL INFEKSI SSP
MENINGITIS
KLINIS/LAB. ENSEFALITIS MENING.TBC MENING.VIRUS ENSEFALOPATI
BAKTERIAL

Onset Akut Akut Kronik Akut Akut/kronik


Demam < 7 hari < 7 hari > 7 hari < 7 hari </> 7 hari/(-)
Umum/foka
Kejang Umum Umum Umum Umum
l
Penurunan Somnolen- Variasi, apatis -
Apatis CM - Apatis Apatis - Somnolen
kesadaran sopor sopor
Paresis +/- +/- ++/- - -
Perbaikan
Lambat Cepat Lambat Cepat Cepat/Lambat
kesadaran
Tidak dpt
Etiologi diidentifikas ++/- TBC/riw. kontak - Ekstra SSP
i
Simpt/antivi Atasi penyakit
Terapi Antibiotik Tuberkulostatik Simpt.
ral primer
28
SOAL

Seorang anak perempuan berusia 2 tahun bernama Barbara


Melissant dibawa ibunya ke IGD RS, datang dengan keluhan
demam tinggi 40 derajat, sesak, batuk kering. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan stridor inspirasi saat istirahat..
Anak tampak sakit sedang-berat dengan takipnea dan retraksi
sela iga bawah. Pada pemeriksaan laringoskop epiglottis
normal. Apa tatalaksana yang tepat?
A. Inhalasi kortikosteroid
B. Inhalasi kortikosteroid dan antibiotic oral
C. Inhalasi adrenalin
D. Inhalasi adrenalin dan steroid oral
E. Inhalasi kortikosteroid dan inhalasi adrenalin
Croup
• Croup (laringotrakeobronkitis
viral) adalah infeksi virus di
saluran nafas atas yang
menyebabkan penyumbatan
• Merupakan penyebab stridor
tersering pada anak
• Gejala: batuk menggonggong
(barking cough), stridor,
demam, suara serak, nafas
cepat disertai tarikan dinding
dada bagian bawah ke dalam
Steeple sign
Pemeriksaan
• Croup is primarily a clinical diagnosis
• Laboratory test results rarely contribute to confirming this
diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral
cause with lymphocytosis
• Radiography : verify a presumptive diagnosis or exclude other
disorders causing stridor.
– The anteroposterior (AP) radiograph of the soft tissues of the neck
classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign or
wine bottle sign), which signifies subglottic narrowing
– Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning)
during inspiration
• Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg, the
course of illness is not typical, the child has symptoms that suggest
an underlying anatomic or congenital disorder)
Klasifikasi dan Penatalaksanaan
Ringan Berat
• Gejala: • Gejala:
– Demam – Stridor saat istirahat
– Takipnea
– Suara serak
– Retraksi dinding dada bagian
– Batuk menggonggong bawah
– Stridor bila anak gelisah • Terapi:
• Terapi: – Steroid (dexamethasone) dosis
tunggal (0,6 mg/kg IM/PO)
– Rawat jalan dapat diulang dalam 6-24 jam
– Pemberian cairan oral, – Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-
ASI/makanan yang sesuai 3 mL NS, nebulisasi selama 20
– Simtomatik menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.
29
SOAL

Pasien anak berusia 7 tahun dibawa ke RS oleh orang tuanya karena


anak mengalami sesak napas memberat sejak 2 jam sebelum masuk
RS. Keluhan sesak serupa sering berulang terjadi 3-4 x/minggu.
Pasien sering terbangun malam hari dan tidak bisa tidur tanpa 3
lapis bantal. Riwayat atopi di keluarga ada. Dari pemeriksaan fisik
anak tampak duduk bertopang lengan, gelisah, napas cuping hidung,
terdapat retraksi intercostals, wheezing (+/+) dan ekspirasi
memanjang. Apa terapi yang tepat untuk pasien ini?
A. B2 agonis inhalasi
B. Kortikosteroid inhalasi
C. Ipatropium bromide inhalasi
D. B2 agonis inhalasi dan kortikosteroid inhalasi
E. B2 agonis inhalasi dan ipratropium bromide inhalasi
Tatalaksana serangan asma
pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Beberapa pasien memiliki risiko tinggi untuk mengalami serangan asma yang
dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat:
 Serangan asma yang mengancam nyawa
 Intubasi karena serangan asma
 Pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum
 Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama
 Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenti)
 Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam
setahun terakhir
 Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi
 Berkurangnya persepsi tentang sesak napas
 Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial.
 Alergi makanan
• Untuk pasien dengan risiko tinggi tersebut, steroid sistemik (oral atau
parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian
awal serangannya masih ringan sedang.
Tatalaksana serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Sediaan steroid untuk serangan asma


Nama generik Sediaan Dosis
Metilprednisolone Tablet 4mg, 8 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Prednison Tablet 5 mg 0.5-1 mg/kgBB/hari tiap 6
jam
Metilprednisolone suksinat Vial 125 mg, 500 mg 30 mg dalam 30 menit tiap 6
injeksi jam
Hidrokortison suksinat injeksi Vial 100 mg 4 mg/kgBB/kali tiap 6 jam
Deksametasine injeksi Ampul 0.5-1 mg/kgBB bolus
kemudian dilanjutkan 1
mg/kgBB/hari setiap 6-8 jam
Betametasone injeksi Ampul 0.05-0.1 mg/kgBB tiap 6 jam
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Agonis β2 kerja pendek
 Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera
dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat
 Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian ketiga dipertimbangkan kombinasi
dengan ipratropium bromida
 Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol
 Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI
dengan/tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien
 Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil
• Ipratropium bromida
 memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran
napas
• Aminofilin intravena
 Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap
 Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhati-hati dan dipantau secara ketat karena efek
sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang
 Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan
secara drip 1 mg/kg/jam.
 Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL.
 Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar
aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• Steroid sistemik
o Pemberian steroid sistemik per oral sama efektifnya dengan
pemberian secara intravena
o Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk
memberikan perbaikan klinis
o Pemberian IVjika pasien tidak bisa menelan obat
o Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per
oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff
o Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan
serangan dan mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan
untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika memungkinkan,
steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama.
Obat-obatan serangan asma pada anak
Based on Pedoman Nasional Anak 2016
• Adrenalin
o Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan
angioedema
o Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal
500 ug (0.5 ml)
• Magnesium sulfat -->tidak rutin dilakukan
• Steroid inhalasi
– Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat
digunakan untuk serangan asma (dalam dosis tinggi karena steroid nebulisasi
dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma)
– terbatas pada pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid
sistemik.
• Mukolitik
• Antibiotik hanya jika terbukti disebabkan infeksi bakteri
• Obat sedasi
• Antihistamin
30
SOAL

Pasien perempuan usia 12 tahun yang bernama Tatiana Aurora


dibawa ibunya berobat ke dokter dengan keluhan demam sejak 10
hari lalu yang naik terutama pada malam hari disertai mual dan
perut kembung.. Anak selalu mengantuk dan mengigau. Pada
pemeriksaan tekanan darah 100/70, nadi 60x/menit, napas
24x/menit, suhu 39 ̊C. Pilihan obat lini pertama yang paling tepat
adalah...
A. Kloramfenikol
B. Ciprofloxacin
C. Ceftriaxone
D. Kotrimoxazole
E. Klorokuin
Demam Tifoid
• Etiologi : 96% disebabkan Salmonella typhi, sisanya ole S. paratyphi
• Prevalens 91% kasus terjadi pada usia 3-19 tahun
• Penularan : fekal-oral
• Masa inkubasi : 10-14 hari
• Gejala
– Demam naik secara bertahap (stepwise) setiap hari, suhu tertinggi pada
akhir minggu pertama. Minggu kedua demam terus menerus tinggi
– Delirium (mengigau), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri perut,
diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung,
– Pada kasus berat: penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus
• Pemeriksaan Fisik
– Kesadaran menurun, delirium, lidah tifoid (bagian tengah kotor, pinggir
hiperemis), meteorismus, hepatomegali, sphlenomegali (jarang). Kadang
terdengar ronki pada pemeriksaan paru

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Onset Manifestasi Klinis
• Minggu I: malaise, nyeri kepala, batuk dan nyeri tenggorok pada
fase prodromal. Demam dengan karakteristik step ladder fever
yang diikuti nyeri perut, konstipasi, atau diare.
• Minggu II: pada hari 7-10 dapat ditemukan hepatomegali ringan,
relative bradycardia, dan rose spot.
• Minggu III: “Typhoid state”apatis, delirium, disorientasi, diare,
hingga koma. Dapat terjadi juga perdarahan saluran cerna atau
perforasi pada usus.

Rose spot
Clinical features
• Step ladder fever in the first week, the persist
• Abdominal pain
• Diarrhea/constipation
• Headache
• Coated tongue (lidah tifoid: bagian tengah kotor, pinggir hiperemis)
• Hepatosplenomegaly
• Rose spot
– salmon-colored, blanching, truncal, maculopapules usually 1-4 cm wide and
fewer than 5 in number; these generally resolve within 2-5 days.
– These are bacterial emboli to the dermis and occasionally develop in persons
with shigellosis or nontyphoidal salmonellosis.
• Bradikardia relatif
• dicrotic pulse (double beat, the second beat weaker than the first)
• Crackles over the lung bases
• Typhoid state, which is characterized by apathy, confusion, and even
psychosis
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.
Pemeriksaan Penunjang
• Darah tepi perifer
– Anemia, terjadi karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus
– Leukopenia, Limfositosis reaktif, Trombositopenia (pada kasus berat)
• Pemeriksaan serologis
– Serologi widal : kenaikan titer S.typhi O 1:160 atau kenaikan 4x titer fase akut ke
konvalesens, banyak positif-negatif palsu. Bahkan kadar baku normal di berbagai tempat
endemis cenderung berbeda-beda dan perlu penyesuaian
– Kadar IgG-IgM (Typhi-dot)
– Tubex Test
• Pemeriksaan biakan Salmonella
– The criterion standard for diagnosis of typhoid fever has long been culture isolation of
the organism. Cultures are widely considered 100% specific
– Biakan darah pada 1-2 minggu perjalanan penyakit. Biakan sumsum tulang masih positif
hingga munggu ke-4
• Pemeriksaan radiologis
– Foto toraks (kecurigaan pneumonia)
– Foto polos abdomen (kecurigaan perforasi) Pedoman Pelayanan Medis IDAI
Kultur Typhoid
• Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum
tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di
dalam urine dan feses.
• Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah
media empedu (gall) dari sapi
• Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S.
typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.
• Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena
mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat
pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan.
– Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam
praktek sehari-hari.
Tes Widal:

• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H


dari salmonella.
• Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari
hasil pertama.
• Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H
meningkat setelah 10-12 hari.
• Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel
karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga
1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian
memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang
signifikan.
• Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot
• Deteksi IgM dan IgG terhadap outer
membrane protein (OMP) 50 kDa dari
S. typhi.
• Positif setelah infeksi hari 2-3.
• Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%

Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Minggu I Minggu II Minggu III Minggu IV

Darah Sensitivitas 70% Sensitivitas 40-


(GOLD 50% disarankan
STANDARD) kultur feses/urin

Bone marrow Sensitivitas 90%


(setelah 5 hari
antibiotik akan
turun) terlalu
invasif dan tidak
menjadi pilihan
utama
Feses Sensitivitas 20-60%

Urin Sensitivitas 25-30%


Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
31
SOAL

Seorang bayi laki-laki, baru saja dilahirkan di rumah sakit secara SC


atas indikasi gawat janin. Sebelum dilahirkan, terdapat riwayat
ketuban pecah dini selama 24 jam dengan oligohidramnion. Saat
lahir bayi tidak menangis dan cairan amnion kental hijau. Bayi segera
dilakukan resusitasi neonatus dan dirawat di NICU. Bagaimanakah
gambaran radiologi yang akan ditemukan pada pasien tersebut?
A. Bercak-bercak infiltrat pada kedua lapang paru
B. Gambaran toraks hiperlusen awaskular
C. Garis pada perihiler. Kardiomegali ringan, cairan pada fisura
minor dan umumnya ditemukan cairan pada rongga pleura
D. Adanya penampilan seperti kaca pasir infiltrate halus dengan
bronkogram udara
E. Bercak-bercak infiltrat, garis-garis kasar pada kedua bidang paru,
hiperinflasi anteroposterior dan pemipihan difragma
Sindroma Aspirasi Mekonium

• Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya


mekonium ke cairan amnion.
• Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal
hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and
maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine.
• Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT),
mekonium staining pada kulit dan cairan amnion
• Saat dilakukan suction dari mulut dan jalan napas atas
terdapat mekonium, hiperinflasi dada
• Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru
yang kolaps
Sindrom Aspirasi Mekonium
• Sindrom aspirasi mekonium merupakan penyebab terbanyak distres
pernapasan pada bayi cukup atau lebih bulan.
• Mekonium yang masuk ke dalam saluran napas menyebabkan
terjadinya obstruksi bronkial, air-trapping (akibat partikel
mekonium menyumbat bronkus kecil di perifer), dan pneumonitis
kimiawi.
• Dapat terjadi komplikasi pneumotoraks, pneumomediastinum,
hipertensi pulmonal, pirau kanan ke kiri serta kerusakan otak akibat
anoksia.
• Gambaran klinis : Bayi cukup/lebih bulan dengan distres
pernapasan berupa takipneu, retraksi, merintih, dan sianosis.
• Pemeriksaan pencitraan : Foto toraks AP
Gambaran pencitraan
• Gambaran bervariasi tergantung banyaknya aspirasi
mekonium/cairan ketuban.
• Aspirasi cairan ketuban yang jernih biasanya cepat menghilang,
namun bila bercampur dengan mekonium memerlukan waktu lebih
lama.
• Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan
paru
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• Dapat terjadi pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• Bila mekonium terhisap dalam jumlah yang banyak, dapat terjadi
atelektasis paru atau emfisema obstruktif.
• Komplikasi jangka panjang adalah bronkospasme atau penyakit paru
reaktif
MECONIUM ASPIRATION SYNDROME

http://img.medscape.com/pi/emed/ckb/clinical_procedures/7
MECONIUM ASPIRATION SYNDROME

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS
juga bisa ditemukan
• Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping
• Efusi pleura minimal (20%).
• pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan.
• atelektasis paru emfisema obstruktif.
Air trapping and
hyperexpansion from
airway obstruction.
ATELEKTASIS
Distres Pernapasan pada Neonatus
KELAINAN GEJALA
Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat
Sindrom aspirasi staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar.
mekonium Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy
opacity, terkadang atelektasis.
Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC,
Respiratory distress
gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak
syndrome (penyakit
gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air
membran hyalin)
bronkogram, ekspansi paru jelek.
Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah
Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi
newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru
perifer bersih.

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion


Pneumonia neonatal berbau, dsb). Gejala meliputi gejala distress dan gejala sepsis.
Gambaran radiologis : Diffuse, relatively homogeneous infiltrates

Asfiksia perinatal
Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat
(hypoxic ischemic
kelainan neurologis, keterlibatan multiorgan
encephalopathy)
32
SOAL

An. Moreno Lorenzo Lamas, anak laki – laki 9 tahun datang ke


Puskesma Baturejo dengan keluhan demam, batuk, disertai dengan
nyeri menelan, dan sulit bernapas. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya bull neck dan tonsil yang tertutup membran
putih yang berdarah jika diangkat. Ternyata anak tersebut alergi
antibiotik penisilin, maka antibiotik yang tepat ialah…
A. Aminoglikosida
B. Fluoroquinolon
C. Streptomisin
D. Eritromisin
E. Kotrimoksasol
https://www.cdc.gov/diphtheria/clinicians.html

Diphteria Classification
• Respiratory diphtheria
– Nasal diphtheria
• Pilek ringan dangan atau tanpa gejala sistemik
• Sekret hidung
• Tampak pseudomembran putih pada septum nasi
– Pharyngeal and tonsillar diphtheria
• nyeri tenggorok
• Bull-neck (bengkak pada leher)
• Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan
di faring, tonsil, uvula, palatum
– Laryngeal diphtheria
• Stridor progresif dan suara parau, batuk kering
• Demam tinggi, lemah, sianosis, pembengkakan
KGB leher
• Cutaneous diphtheria
– Any break in the skin, can became infected
with diphteria
– It made ulceration and usually covered by a
gray-brown pseudomembrane
Difteri
• Penyebab : toksin Corynebacterium diphteriae
• Organisme:
– Basil batang gram positif
– Pembesaran ireguler pada salah satu ujung (club shaped)
– Setelah pembelahan sel, membentuk formasi seperti huruf cina atau
palisade
• Gejala:
– Gejala awal nyeri tenggorok
– Bull-neck (bengkak pada leher)
– Pseudomembran purulen berwarna putih keabuan di faring, tonsil,
uvula, palatum. Pseudomembran sulit dilepaskan. Jaringan sekitarnya
edema.
– Edema dapat menyebabkan stridor dan penyumbatan sal.napas
• Tonsilitis difteri merupakan salah satu dari kelompok tonsilitis
membranosa
• Sering ditemukan pada anak usia kurang dari 10 tahun

Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html


Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tonsilitis difteri
• Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan, yaitu:
– Gejala umum : subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu
makan, badan lemah, nadi lambat, nyeri menelan
– Gejala lokal: tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor membentuk membran semu yang mudah
berdarah, kelenjar limfe leher membengkak
menyerupai leher sapi (bullneck/ Burgemeester’s hals)
– Gejala akibat eksotoksin:
• Pada jantung  miokarditis hingga dekom kordis
• Pada n.kranial  kelumpuhan otot palatum & otot
pernapasan
• Pada ginjal  albuminuria
Prinsip diagnostik
• Pemeriksaan :
– Pemeriksaan Gram & Kultur; sediaan berasal dari swab
tenggorok, jika bisa diambil dibawah selaput
pseudomembran
– Kultur bisa menggunakan medium cystine tellurite blood
agar (CTBA), medium hoyle dan medium tinsdale 
medium selektif untuk kultur Corynebacterium diphtheriae
– Untuk megisolasi Corynebacterium digunakan agar darah
telurit (Mc Leod), sebagai media selektif, setelah inkubasi
selama 24 jam koloni bakteri terlihat berwarna abu-abu tua-
hitam.
– Selanjutnya untuk biakan murni Corynebacterium digunakan
media perbenihan Loeffler dalam tabung
Todar K. Diphtheria. http://textbookofbacteriology.net/diphtheria.html
Demirci CS. Pediatric diphtheria. http://emedicine.medscape.com/article/963334-overview
Tatalaksana Umum
• Pasien harus diisolasi sampai masa akut selesai dan
biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut turut
• Pasien tetap diisolasi dan tirah baring selama 2-3
minggu
• Bila pasien gelisah, iritabel, atau terdapat gangguan
pernafasan yang progresif dilakukan trakeostomi
• Pasien dengan difteria laring dijaga agar nafas tetap
bebas dan dijaga kelembaban udara dengan nebulizer
spesifik
Tatalaksana
• Antitoksin: harus diberikan segerah setelah diagnosis
dibuat. Sebelum diberikan, harus dilakukan skin test. (dosis
ADS lihat tabel)
• Anbiotik: Penisillin prokain 50.000-100.000 Unit/kgBB IM
per hari selama 10-14 hari atau eritromisin 40-50
mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 10-14 hari
• Hindari oksigen kecuali jika terjadi obstruksi saluran repirasi
(Pemberian oksigen dengan nasal prongs dapat membuat
anak tidak nyaman dan mencetuskan obstruksi)

PPK RSCM & Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


Dosis ADS pada Difteri
Tipe Difteria Dosis ADS Cara Pemberian

Difteri hidung 20.000 IM

Difteri tonsil 40.000 IM/IV

Difteri faring 40.000 IM/IV

Difteri laring 40.000 IM/IV

Kombinasi lokasi di atas 80.000 IV

Difteria + penyulit, bullneck 80.000-100.000 IV

Terlambat berobat > 72


80.000-100.000 IV
jam (lokasi di mana saja)
Tatalaksana
• Jika anak demam (≥ 39o C) beri parasetamol.
• Jika sulit menelan, beri makanan melalui pipa
nasogastrik.
• Kortikosterod dianjurkan pada kasus difteria
dengan gejala penyerta obstruksi saluran
nafas bagian atas ( dengan atau tanpa bullneck
) dan bila terdapat penyulit miokarditis.
– Prednison dengan dosis 2mg/kgBB/hari yang
diturunkan secara bertahap.
Tindakan Kesehatan Masayarakat
• Rawat anak di ruangan isolasi
• Lakukan imunisasi pada anak serumah sesuai
dengan riwayat imunisasi
• Berikan eritromisin pada kontak serumah
sebagai tindakan pencegahan (12.5 mg/kgBB,
4xsehari, selama 7 hari)
• Lakukan biakan usap tenggorok pada keluarga
serumah

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO.


33
SOAL

Seorang anak berumur 7 tahun datang ke ugd dibawa ibunya dengan


keluhan demam sejak seminggu ini. Demam pernah turun pada hari
kelima. Pasien juga mengeluhkan nyeri sendi, mual dan muntah
serta berak encer 3-4 x. Pada pemeriksaan fisik didapatkan dalam
batas normal. Hepatomegali (-). Lalu dari pemeriksaan darah
didapatkan Hb 17, hematokrit 56%, trombosit 88.000, uji widal 1/80,
uji titer untuk salmonella (-). Apakah pemeriksaan yang harus
dilakukan serial pada pasien ini?
A. Hb, ht, trombosit
B. Hb, hitung leukosit, trombosit
C. Hb, leukosit, trombosit
D. Hb, leukosit, hematokrit
E. Hb, gambaran darah tepi, hitung jenis lekosit
DENGUE FEVER (DF) & DENGUE
HEMORRHAGIC FEVER (DHF)
• Disebabkan oleh virus flavivirus dengan 4 serotipe DE-1, DEN-
2, DEN-3, DEN-4 melalui nyamuk aedes aegypti atau aedes
albopictus
• DEN-2 merupakan serotipe yang paling tinggi risiko infeksi
DHF
• Demam akut 2-7 hari dengan 2 atau lebih gejala berikut:
– Nyeri kepala
– Nyeri retroorbita
– Myalgia/arthralgia
– Ruam
– Manifestasi perdarahan
– Leukopenia
Pemeriksaan Penunjang
Pemantauan Rawat
Alur Perawatan
Pediatric Vital
Signs
Heart Rate
Age
(beats/min)

Premature 120-170 *
0-3 mo 100-150 *
3-6 mo 90-120 http://web.missouri.edu/~proste/lab/vitals-peds.pdf

6-12 mo 80-120
1-3 yr 70-110
3-6 yr 65-110
6-12 yr 60-95
12 > yr 55-85

Kleigman, R.M., et al. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed. Philadelphia: Saunders, 2011. 1Soldin, S.J., Brugnara, C., & Hicks, J.M. (1999). Pediatric
* From Dieckmann R, Brownstein D, Gausche-Hill M (eds): Pediatric Education for Prehospital reference ranges (3rd ed.). Washington, DC: AACC Press.
Professionals. Sudbury, Mass, Jones & Bartlett, American Academy of Pediatrics, 2000, pp 43-45. http://wps.prenhall.com/wps/media/objects/354/36284
† From American Heart Association ECC Guidelines, 2000. 6/London%20App.%20B.pdf
34
SOAL

Seorang anak laki-laki usia 12 tahun datang ke dokter ditemani


ibunya dengan keluhan mata kanan sering berkedip. Pasien tidak
bermaksud melakukan gerakan mengedip tersebut. Gerakan itu
hilang timbul dan sering menyebabkan pasien merasa minder di
sekolah karena dianggap aneh. Keluhan ini sebenarnya sudah
dialami sejak masuk sekolah dasar, tapi akhir-akhir ini keluhan sering
muncul terutama 1,5 tahun ke belakang. Diagnosis yang tepat
ialah....
A. Simple motor tic kronik
B. Complex motor tic kronik
C. Transient simple vocal tic
D. Tourette syndrome
E. Transient simple motor tic
Tic Disorder
• Kelainan neurologis bersifat genetik yang dikarakteristikkan
dengan tic vokal dan motorik kronik dengan onset sebelum
usia dewasa
• Penderita biasanya menunjukkan gerakan dan vokalisasi
repetitid dan stereotipik seperti mengedip-ngedipkan mata,
sniffing, pergerakan wajah, atau otot abdomen
Simple motor tic: hanya melibatkan satu otot atau satu kelompok
otot, seperti mata berkedip-kedip
Motorik
Complex motor tic: melibatkan beberapa kelompok otot, seperti
Tic lompat, mengocok
Simple phonic tic: hanya berupa bunyi atau vokalisasi
Phonic/vokalisasi sederhana seperti suara batuk, menelan, menghisap

Complex phonic tic: berupa vokalisasi kata-kata dan atau


frase kompleks
Tic Disorder: Motor tics
• It is classified into simple and complex motor tics.
• Simple motor tics affects only a small number of muscle
groups and involve only short lasting, circumscribed
movements. Ocular tics are particularly common.
• Complex motor tics are defined as those that involve multiple
muscle groups and/or seem to fulfill a purpose. Copropraxia,
echopraxia, and palipraxia are special types of complex motor
tics.
Simple Motor Tics Complex Motor Tics
• Winking, blinking, eye-rolling, wide eye- • Seemingly intentional movements, facial
opening expressions, gesticulations with the head,
(without moving the eyebrows) hands, arms, trunk, legs, feet
• Eyebrow-raising • Picking at clothes
• Wrinkling or turning up the nose • Hopping, jumping
• Puffing up the cheeks • Clapping, finger-tapping
• Mouth opening, pulling the corners of the • Spinning
mouth • Bending and bowing the trunk
• Lip movements • Wide arm movements
• Sticking out the tongue • Foot-stamping
• Jaw movements • Dystonic tics (rare) with slow turning
• Frowning movements
• Grimacing • Writing tics
• Tooth-chattering • Echopraxia: non-purposeful imitation of
• Head-shaking, throwing, turning, twitching, other p ersons’ observed movements
or nodding • Copropraxia: making obscene gestures such
• Shoulder-shrugging as showing the middle finger, indecent
• Arm and hand movements movements of the trunk and pelvis, crotch-
• Abdominal movements holding
• Trunk movements • Palipraxia (rare): repetition of one’s own
• Leg and foot movements movements (auto-aggressive behavior)
Vocal tics
• Especially in children, tics are often
misdiagnosed as an airway disease
such as asthma or an allergy. Throat-
clearing and sniffling are the most
common kinds of vocal tic;
exclamations and shouts are much
rarer.
• Coprolalia (19-32%), echolalia, and palilalia are
complex vocal tics.
• Coprolalia is more common in more severe cases of
Tourette syndrome with multiple comorbidities.
Simple Vocal Tics Complex Vocal tics
• Throat-clearing • Echolalia: repetition of heard
• Sniffling, snorting sentences, words, syllables, or
• Coughing, rasping sounds, not for the purpose of
• Snuffling communication;
• Blowing out the lips/tongue • Coprolalia: saying obscene words
• Inhaling or exhaling noisily • Palilalia: involuntary repetition of
• Squeaking, squealing, one’s own spoken words
grunting • Blocking of speech, stuttering
• Whistling, humming • Saying fragments of speech
• Shouting • Saying other socially inappropriate
• Saying syllables (hm, eh, ah, words (NOSI = “non-obscene,
ha) socially inappropriate behavior,”
• Making animal noises or e.G., “Fat, fat, fat,” “help, help,” “yes,
other sounds– spitting yes, yes”)
Tourette vs Chronic Tic vs Provisional Tic

Tourette Persistent Tic (Chronic) Provisional Tic (Sementara)


Gejala gejala motorik multipel Tic motorik ATAU vokal Tic motorik ATAU vokal saja
DAN minimal 1 gejala (salah satu); bisa (salah satu) ATAU motorik +
vocal harus ada bersifat single atau vokal (keduanya); bisa
multipel bersifat single atau multipel

Durasi > 1 tahun > 1 tahun < 1 tahun


Onset < 18 tahun < 18 tahun < 18 tahun
Tourette Etiology & Epidemiology
• The exact cause of Tourette’s is unknown.
• Structural and functional abnormalities in the motor and
somatosensory portions of the corticostriatal-thalamocortical circuit:
– Exact mechanism is unknown but it is believed to result from dysfunction
in cortical and subcortical regions, the thalamus, basal ganglia and frontal
cortex.
– Dopamine dysfunction is considered a prime abnormality in TS
• The tics of Tourette syndrome begins in childhood.
• Tics usually appear with gradually increasing intensity between the
ages of 6 and 8 years & are at their most severe, on average, between
the ages of 10 and 12.
• Three to four times more frequent among males than among females.
Treatment for TS
• Psychological Counseling (psychotherapy)
• Behavioral Therapy
• Medications: Alpha2-adrenergic agonists
(clonidine) and D2 dopamine receptor
antagonist (antipsychotic) are used primarily
for tic suppression.
• Understanding and support from peers and
adults
35
SOAL

Seorang anak perempuan berusia 10 tahun diantar ke IGD RS


dengan penurunan kesadaran. Awalnya anak sempat mengeluhkan
nyeri perut dan muntah muntah. Pasien memiliki riwayat
penggunaan insulin sebelumnya sejak 2 tahun terakhir. Pasien
sedang pergi berlibur dan telat menggunakan insulin karena obat
tertinggal. Pada pemeriksaan langsung tampak anak somnolen,
napas kussmaul, didapatkan GDS 470. Apa etiologi yang berkaitan
dengan penyebab kondisi pasien pada kasus di atas?
A. Autoimun
B. Mutasi gen
C. Degeneratif
D. Genetik
E. Infeksi
Diabetes Melitus Tipe 1
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan
metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia
kronik.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral
and autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia ,dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas
cepat dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Patogenesis

http://emedicine.medscape.com/article/919999-overview

http://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
Diabetes melitus tipe 1
• Terjadi akibat kerusakan sel beta pancreas  defisiensi
insulin absolut
• Meliputi 90% diabetes pada anak dan remaja
• Penyebab:
– Autoimun : cellular mediated autoimmune. Marker
autoimun: islet cell autoantibodies, autoantibodi terhadap
insulin (IAA), autoantibodies to GAD (GAD65), autoantibodi
terhadap tyrosine phosphatases IA-2 dan IA-2β, serta
autoantibodi terhadap zinc transporter 8 (ZnT8)
– Idiopatik
• Tidak termasuk kerusakan beta pancreas akibat kondisi
khusus: defek mitokondria, cystic fibrosis

PPM IDAI 2009


Pola gambaran klinis saat onset
• Klasik
– Polidipsi, poliuri, polifagi, penurunan berat badan nyata
dalam 2-6 minggu, mudah Lelah
– Irritable, penurunan prestasi sekolah, infeksi kulit berulang,
kandidiasis vagina pada anak prepubertas wanita, gagal
tumbuh, kurus (berbeda dengan DM tipe 2 biasanya gemuk)
• Silent diabetes
– Jarang dijumpai, biasanya ditemukan saat skrining atau
pemeriksaan khusus karena ada anggota keluarga penderita
dengan DM tipe 1
• Ketoasidosis diabetic
– Awitan gejala klasik cepat dalam beberapa hari
– Tampak sesak napas (napas kussmaul), letargi, nyeri perut,
muntah berulang, dehidrasi, napas bau aseton, tanda syok,
poliuri meski dehidrasi
Kriteria diagnosis (1)
1. Ditemukan gejala klinis klasik (polyuria,
polydipsia, nocturia, enuresis, penurunan berat
badan, polifagia), dan kadar GDS ≥200 mg/dl,
atau
2. Kadar GDP ≥126 mg/dl, atau
3. Kadar gula darah ≥200 mg/dl pada jam ke-2
TTGO, atau
4. HbA1c >6.5% (standar NGSP dan DCCT)
5. Pada penderita asimptomatis dengan GDS ≥200
mg/dl, harus konfirmasi dengan GDP atau TTGO
terganggu.
Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.
Kriteria diagnosis (2)
Pemeriksaan penunjang
• Kadar C-peptide (lihat fungsi sel beta residu
yang masih produksi insulin, digunakan bila
sulit bedakan DM tipe 1 dan 2)
• HbA1c setiap 3 bulan rutin, menilai perubahan
terapi 8-12 minggu sebelumnya dan kendali
gula darah
• Marker autoantibodi, hanya 70-80%
memberikan hasil posited (ICA, IAA)

Konsensus Nasional Pengelolaan DM tipe 1 IDAI 2015.


Komplikasi DM tipe 1: KAD
Ketoasidosis Diabetikum
• Diagnosis ketoasidosis diabetik • Manifestasi klinis
ditegakkan jika terdapat: • Gejala klasik DM berupa
– Hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah poliuria, polidipsi, serta
>200 mg/dL (>11 mmol/L) penurunan berat badan.
– Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3- <15
• Dehidrasi, dengan derajat
mEq/L, dan
yang bervariasi.
– Ketonemia dan ketonuria.
• Mual, muntah, nyeri perut,
• Klasifkasi ketoasidosis diabetik
takikardi, hipotensi, turgor
– KAD ringan: pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
kulit menurun, dan syok.
– KAD sedang: pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
– KAD berat: pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L
• Perubahan kesadaran
dengan derajat yang
bervariasi, mulai dari
bingung sampai koma.
• Pola napas Kussmaul.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1
36
SOAL

Anak laki-laki berusia 10 th datang dibawa orangtuanya ke dokter di


IGD RS karena keluhan gelisah dan tidak respon sejak 1 hari yang
lalu. Pasien saat ini alami demam tinggi sejak 5 hari yang lalu, dan
mual serta pegal-pegal. Demam sempat turun 2 hari yang lalu,
demam muncul lagi 1 hari. Pada pemeriksaan tampak kesadaran
delirium, TD 70 per palpasi, HR 138 kali per menit, RR 30 kali per
menit. Hasil pemeriksaan laboratorium Hb 11.5, Ht 35%, Leukosit
3.500, Trombosit 20.000, LED 45, ALT 400, AST 350, albumin 2.
Apakah pemeriksaan penunjang yang tepat dilakukan pada pasien
diatas?
A. Rapid ICT IgM/IgG anti dengue
B. Rapid ICT NS-1 antigen dengue
C. Rapid ICT anti malaria
D. IgM anti salmonella typhi
E. Widal
Pemeriksaan Penunjang
Serologi Dengue

• NS1:
– antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak
hari pertama demam.
– Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak
terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder


digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue.
– Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG
muncul mulai hari ke-12.
– Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan
dengan IgM
– IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga
diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer
awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.


Primary infection: Secondary infection:
• IgM: detectable by days 3–5 after the onset of • IgG: detectable at high levels in the initial
illness,  by about 2 weeks & undetectable phase, persist from several months to a
after 2–3 months. lifelong period.
• IgG: detectable at low level by the end of the • IgM: significantly lower in secondary infection
first week & remain for a longer period (for cases.
many years).
Pemantauan Rawat
Alur Perawatan
37
SOAL

Anak perempuan berusia 5 tahun datang dibawa ibu ke Puskesmas


karena keluhan pertumbuhan tidak sesuai dengan usianya, anak
tampak rewel, dan tidak mau makan. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan, anak rambut tipis berwarna merah dan mudah dicabut,
kulit tampak kering, serta terdapat hipotrofi otot, serta edema pada
kaki. Pada kulit tampak adanya bercak merah muda luas dan
beberapa berubah coklat kehitaman serta mengelupas. Apakah
diagnosis yang sesuai untuk pasien di atas?
A. Marasmus
B. Kwashiorkor
C. Defisiensi Fe
D. Sindroma nefrotik
E. Marasmik-kwashiorkor
Malnutrisi Energi Protein
• Malnutrisi: Ketidakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan energi
dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya (WHO)
• Dibagi menjadi 3:
– Overnutrition (overweight, obesitas)
– Undernutrition (gizi kurang, gizi buruk)
– Defisiensi nutrien spesifik
• Malnutrisi energi protein (MEP):
– MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang)
– MEP derajat berat (gizi buruk)
• Diagnosis ditegakkan berdasarkan:
– Klinis: terlihat sangat kurus/edema nutrisional
– Antropometri: BB/TB < -3 SD, LILA <11,5 cm
• Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis:
– Marasmus: tubuh sangat kurus, baggy pants, iga gambang, wajah seperti orang
tua
– Kwashiorkor: defisiensi protein edema, di awali di punggung kaki, dapat
menyebar ke seluruh tubuh
– Marasmik-kwashiorkor
Sjarif DR. Nutrition management of well infant, children, and adolescents.
Scheinfeld NS. Protein-energy malnutrition. http://emedicine.medscape.com/article/1104623-overview
Marasmus

 wajah seperti orang tua


 kulit terlihat longgar
 tulang rusuk tampak
terlihat jelas
 kulit paha berkeriput
 terlihat tulang belakang
lebih menonjol dan kulit
di pantat berkeriput
( baggy pant )
Kwashiorkor

 edema
 rambut kemerahan, mudah
dicabut
 kurang aktif, rewel/cengeng
 pengurusan otot
 Kelainan kulit berupa bercak
merah muda yg meluas &
berubah warna menjadi coklat
kehitaman dan terkelupas (crazy
pavement dermatosis)
Marasmik-kwashiorkor
• Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan
Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk
• Z-score → menggunakan • BB/IBW (Ideal Body Weight)
kurva WHO weight-for- → menggunakan kurva CDC
height • ≥80-90%  mild
• <-2 – moderate wasted malnutrition
• <-3 – severe wasted  gizi • ≥70-80%  moderate
buruk malnutrition
• ≤70%  severe
• Lingkar Lengan Atas < 11,5 malnutrition  Gizi Buruk
cm
Kwashiorkor
Protein 

Serum Albumin 

Tekanan osmotik koloid serum 

Edema
Marasmus
Karbohidrat 

Pemecahan lemah + pemecahan protein

Lemak subkutan 

Muscle wasting, kulit keriput

Turgor kulit berkurang


Emergency Signs in Severe
Malnutrition
• Dibutuhkan tindakan resusitasi
• Tanda gangguan airway and breathing :
– Tanda obstruksi
– Sianosis
– Distress pernapasan
• Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL.
Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat.
Terdapat risiko overhidrasi
• Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran
– Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)
10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk
No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Tindaklanjut H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg
3-6 mg 7-26
1. Atasi/cegah hipoglikemia

2. Atasi/cegah hipotermia

3. Atasi/cegah dehidrasi

4. Perbaiki gangguan elektrolit

5. Obati infeksi
6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe

7. Makanan stab & trans

8. Makanan Tumb.kejar
9. Stimulasi

10. Siapkan tindak lanjut


1. Atasi/cegah hipoglikemia (<54 mg/dL)

– Monitor kadar gula darah setelah 2 jam


– Pencegahan dengan pemberian makanan F-75 tiap 2 jam, selalu berikan makanan pada
malam hari
2. Atasi/cegah hipotermia:

– Monitor suhu tiap 30 menit hingga mencapai suhu >36,5 C


– Tutupi anak dari paparan langsung dengan udara, jaga agar anak tetap kering
3. Atasi/cegah dehidrasi  asumsikan dehidrasi pada setiap anak dengan
diare cair.

– Observasi kemajuan rehidrasi tiap 30 menit selama 2 jam pertama, lalu tiap 1 jam untuk
6-12 jam selanjutnya. Observasi HR, RR, frekuensi miksi, frekuensi defekasi/muntah
4. Koreksi gangguan keseimbangan elektrolit
Semua anak dengan malnutrisi berat mengalami hipernatremia
5. Obati/cegah infeksi  tanda umum infeksi sering tidak dijumpai pada
malnutrisi
Saat rawat inap, berikan secara rutin: antibiotik spektrum luas , vaksinasi campak
jika usia >6 bulan dan belum mendapat imunisasi (tunda jika klinis buruk)
Antibiotik spektrum luas:
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
Hari pertama:
– Vit A (usia 0-5 bln 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >12 bulan 200.000 IU) Jika ada gejala defisiensi
vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai
umur pada hari ke 1, 2, dan 15.
– Asam folat 5 mg PO
Pemberian harian selama 2 minggu:
– Multivitamin
– Asam folat 1 mg/hari
– Zinc 2 mg/kgBB/hari
– Copper 0,3 mg/kgBB/hari
– Besi 3 mg/kg/hari (pada fase rehabilitasi)

7. Pemberian makan
Fase stabilisasi
– Porsi kecil, osmolaritas rendah, rendah laktosa  F75
– Peroral/NGT
– Energi: 80-100 kkal/kgBB/hari
– Protein: 1-1,5 g/kgBB/hari
– Cairan: 130 mL/kgbb/hari
– Lanjutkan pemberian ASI setelah formula dihabiskan
Ketentuan Pemberian Makan Awal
• Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah
osmolaritas serta rendah laktosa
• Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian
parenteral
• Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan
sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi
kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi
• Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pastikan
bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi
• Apabila pemberian makan oral tidak mencapai kebutuhan
minimal, berikan sisanya melalui NGT
• Pada fase transisi, secara bertahap ganti F-75 dengan F-
100
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Pemberian Makanan
• Fase stabilisasi (Inisiasi)
– Energi: 80-100 kal/kg/hari
– Protein: 1-1,5 gram/kg/hari
– Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)
• Fase transisi
– Energi: 100-150 kal/kg/hari
– Protein: 2-3 gram/kg/hari
• Fase rehabilitasi
– Energi: 150-220 kal/kg/hari
– Protein: 3-4 gram/kg/hari
8. Mencapai kejar-tumbuh
– Target peningkatan berat badan >10 g/kg/hari

Bila kenaikan berat badan <5g/kgBB/hari, lakukan penilaian ulang apakah target
asupan makanan memenuhi kebutuhan dan cek tanda-tanda infeksi
38
SOAL

Seorang anak berusia 8 tahun datang ke dokter diantar orangtuanya


dengan keluhan sesak napas sejak 6 jam yang lalu. Anak juga dikatakan
nyeri tenggorokan dan sulit menelan, serta tampak banyak berliur terus.
Batuk dan pilek disangkal. Anak merasa lebih nyaman bernapas pada posisi
duduk. Pada pemeriksaan anak tampak nyaman dengan posisi tripod,
terdapat hot potato voice, serta stridor inspiratorik. Pemeriksaan rontgen
servikal tampak adanya thumb sign. Apakah diagnosis yang sesuai pada
kasus di atas?
A. Laringitis
B. Epiglotitis
C. Faringitis
D. Croup
E. Difteri
Epiglotitis
• Life-threatening, medical emergency due to infection with edema of
epiglottis and aryepiglottic folds
• Organism: Haemophilus influenzae type B: most common (bacil gram (-),
needs factor X and V for growth)
• Location
– Purely supraglottic lesion: Associated subglottic edema in 25%
– Associated swelling of aryepiglottic folds causes stridor
• Classical triad is: drooling, dysphagia and distress (respiratory)
• Abrupt onset of respiratory distress with inspiratory stridor, Sore throat,
Severe dysphagia, muffled voice/hot potato voice
• Older child may have neck extended and appear to be sniffing due to air
hunger (tripod sign)
• Resembles croup clinically, but think of epiglottitis if:
– Child can not breathe unless sitting up
– “Croup” appears to be worsening
– Child can not swallow saliva and drools (80%)
• Cough is unusual
Tripod sign
• Pt appears anxious
• Leans forward with
support of both forearms
• Extends neck in an
attempt to maintain an
open airway
• Treatment
– Treated with antibiotic
such a ampicillin
sulbactam.
– If epiglottitis is severe
 need a surgery to
open the airway
immediately.
Investigations
1. Flexible laryngoscopy: carried out only in ICU or OT
with intubation / tracheostomy set ready
2. Post-intubation direct laryngoscopy
3. Plain x-ray soft tissue of neck lateral view
4. Culture from epiglottis during intubation:
+ve in 15% cases of H. influenzae
5. Blood culture: +ve in 15% cases of H. influenzae
X-ray soft tissue neck
• Lateral view taken in erect
position only (Supine
position may close off
airway)
– Enlargement of epiglottis
(thumb sign)
– Absence of well defined
vallecula (Vallecula sign)
– Thickening of aryepiglottic
folds (cause for stridor)
– Circumferential narrowing of
subglottic portion of trachea
during inspiration (25%
cases)
– Ballooning of hypopharynx Red arrow = enlarged epiglottis
Yellow arrow = thickened ary-epiglottic folds
Thumb Sign pada epiglotitis Gambaran epiglotis normal
Epiglotitis
• Diff Diagnosis: Croup
– Dilatation of the hypopharynx
– Dilation of the laryngeal ventricle
– Narrowing of the subglottic trachea
– Epiglottis is normal
• Tx Epiglotitis:
– Secure airway  relieving airway obstruction, elective
intubation if there is severe obstruction
– May require intubation or emergency tracheostomy
– Keep the child calm and provide humidified oxygen
– Some use IV steroids
– Empiric antibiotic therapy when airway safe: Ceftriaxone 80
mg/kgBB once daily for 5 days

http://www.ichrc.org/chapter-463-epiglottitis
39
SOAL

Seorang anak laki laki berusia 2 tahun datang dibawa ibunya ke


dokter karena gangguan pertumbuhan disertai kondisi belum
tumbuh gigi. Anak juga susah berjalan karena otot lemas, serta
tampak tidak berenergi. Saat ini anak tidak mau minum susu dan
jarang keluar rumah. Pada pemeriksaan langsug tampak tidak ada
gigi, terdapat frontal bossing. Pada pemeriksaan radiologi tampak
adanya anterior bowing pada tibia dan femur. Apakah terapi yang
sesuai diberikan pada pasien di atas?
A. Vitamin D2 50.000 1x/bulan
B. Vitamin D2 50.000 2x/bulan
C. Vitamin D2 50.000 3x/bulan
D. Vitamin D2 50.000 4x/bulan
E. Vitamin D2 50.000 5x/bulan
Defisiensi Vit D dan Rakitis
• Vitamin D: Vitamin larut lemak
• Penamaan:
– Vitamin D secara umum: calciferol
– Vitamin D2: Ergocalciferol (in plant dietary sources)
– Vitamin D3: Cholecalciferol (in animal products and dermal
synthesis)
– Calcidiol: (25-hydroxyvitamin D or 25[OH]D), is the storage form
of vitamin D, formed in the liver.
– Calcitriol (1,25-hydroxyvitamin D or 1,25[OH]2D), is the active
form of vitamin D. It is formed in the kidney, after 25(OH)D
undergoes 1-alpha-hydroxylation to form 1,25(OH)2 vitamin D.
This process is driven by parathyroid hormone (PTH) and other
mediators, including hypophosphatemia and growth hormone.
Defisiensi Vitamin D
• Sumber Vit D dari makanan alami sedikit kecuali di fatty
fish sehingga sintesis Vit D di kulit adalah sumber utama
• Milk, infant formula, breakfast cereals, and some other
foods are fortified with synthetic vitamin D2
(ergocalciferol)
• Vit D yang disintesis oleh tubuh merupakan Vit D3,
sedangkan sumber dari makanan bisa berupa Vit D2
ataupun D3
• Vit D dari kulit dan makanan akan diaktivasi di hepar dan
ginjal untuk menjadi kalsitriol  Target organ GI tract,
ginjal dan tulang (LIHAT DIAGRAM!)
Vit D Deficiency in Children
• Risk factor in infants : dark skinned and exclusively
breastfed beyond three to six months of age, particularly if
there are additional risk factors such as maternal vitamin D
deficiency during pregnancy or prematurity.
• Risk factor in children who are dark skinned and on
vegetarian and unusual diets, use anticonvulsant or
antiretroviral medications, or those with malabsorptive
conditions.
• Additional risk factors include residence at higher latitudes,
winter season, and other causes of low sun exposure.
Rickets
• Rickets merupakan kelainan yang terjadi akibat gangguan mineralisasi matriks
tulang di lempeng pertumbuhan, dengan pertumbuhan tulang yang terus
berlanjut.
• Mudahnya, tulang terus bertumbuh, namun mineralisasinya kurang sehingga
tulang tidak tebal dan “lembek”.
• Karena “lembek” inilah maka tulang cenderung menjadi membengkok, terutama
pada area weight bearing (ekstremitasi bawah). Bengkok pada tulang ekstremitas
bawah ini dapat menjadi berbentuk O (pediatric genu varum/bow legged) atau X
(pediatric genu valgum/knock knees)
• Selain itu, tulang yang terkena juga tidak hanya pada ekstremitas bawah namun
bisa juga pada area lain
Rickets (Rakitis)
• Rickets: Metabolic disease
of growing bone that is
unique to children
(especially of first 2 years)
and adolescents.
• Caused by failure of osteoid
to calcify in growing bone
• Vitamin D deficiency rickets
occurs when the
metabolites of vitamin D are
deficient.
ETIOLOGI

*Nutritional Vit D Deficiency:


Most common cause of
rickets globally.
Gejala klinis

Nelson Pediatrics
Rickets Clinical Features
• GENERAL:
– Failure to thrive, Unenergetic, Protuding abdomen ,
Muscle weakness (especially proximal), Fractures
• HEAD :
– Craniotabes (Softening of cranial bones. Detected by
applying pressure at the occiput or parietal bones, like
pinpong ball), May be a normal finding in many
newborns, especially near the suture lines, but
disappears within a few months of birth.
– Frontal bossing, Delayed fontanelle closure, Delayed
dentition; caries, Craniosynostosis
Rickets Clinical Features
• CHEST
– Rachitic rosary: Widening of costochondral junctions. Feels like beads
of a rosary as the examiner's fingers move along the costochondral
junctions from rib to rib.
– Harrison groove: Horizontal depression along lower anterior chest.
• Due to pulling of softened ribs by diaphragm during inspiration.
• Softening of ribsimpairs air movement & predisposes to atelectasis.
– Respiratory infections and atelectasis
• BACK
– Scoliosis, Kyphosis, Lordosis
• EXTREMITIES
– Enlargement of wrists and ankles, Valgus or varus deformities,
Anterior bowing of the tibia and femur, Coxa vara, Leg pain
Windswept deformity
Toddlers: Bowed Older children: Knock- (combination of valgus
legs (genu varum) knees deformity of 1 leg with varus
(genu valgum) deformity of the other leg)
Harrison groove

Anterior bowing of
the tibia
Frontal bossing

Widening of wrist, knee and ankle due to physeal over growth


Radiography in Rickets
• Hypomineralization of bones, decreased
calcification Thickening of growth plate.
• FRAYING: Edge of metaphysis loses its sharp
border.
• CUPPING: Edge of metaphysis changes from
convex or flat to concave surface. Most easily
seen at distal ends of radius, ulna, fibula.
• Widening of distal end of metaphysis  Clinically
causes thickened wrists and ankles, and rachitic
rosary.
Approach Considerations in Rickets
• Serum measurements in the workup for rickets
may include the following:
– Calcium (in vit D def: usually low)
– Phosphorus (in vit D def: invariably low for age)
– Alkaline phosphatase ((in vit D def: elevated)
– Parathyroidhormone (in vit D def: elevated)
– 25-hydroxy vitamin D (in vit D def: low)
– 1,25-dihydroxyvitamin D (in vit D def: low, normal)
– Creatinine
– Electrolytes
• Radiography is indicated in patients with rickets
Rickets
• Rickets sendiri secara umum terbagi menjadi 2 macam,
yaitu Calcipenic Rickets dan Phosphopenic Rickets.
• Untuk Calcipenic Rickets, penyebabnya bersifat
acquired terutama karena masalah intake seperti pada
kasus ini. Sebagian besar kasus Rickets memang
menunjukkan tipe Calcipenic Rickets. Sedangkan untuk
tipe Phosphopenic Rickets lebih jarang.
• Untuk mengetahui etiologi lebih lanjut, dapat dilakukan
beberapa pemeriksaan laboratorium yang menunjang
seperti kadar kalsium, vitamin D, dan juga hormone
paratiroid diperiksakan
Laboratory Findings
Phospho Alkaline 25 1,25 Urine
Type Calcium PTH
rus phosphatase OHD (OH)2D calcium
Vitamin D deficient ↓o
↓ or N ↑ or ↑↑ ↑ ↓ ↑ or N* ↓ or N
rickets N
1-alpha-hydroxyla
↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↓ ↓
e deficiency¶
Calcipe
25-hydroxylase
nic
deficiency ↓ or N ↓ ↑↑ ↑ ↓ N ↓
rickets
(variable severity)
Hereditary
resistance to ↓ ↓ or N ↑↑ ↑ N ↑↑ ↓
vitamin DΔ
N or
X-linked
N ↓↓ ↑ slightly N N or ↓ ↓
hypophosphatemia

Hereditary
Phosph
hypophosphatemic ↓ or
openic N ↑ N or ↓ N ↑ ↑
rickets with ↓↓
rickets
hypercalciuria
Nutritional
phosphate ↑ or ↓ ↑ or ↑↑ ↓ or N N ↑ ↑ or N
deprivation
Vitamin D Deficiency Treatment
• Either vitamin D2 (ergocalciferol) or vitamin D3
(cholecalciferol) may be used.
– <1 month old – 1000 IU/day 3 months, followed by
maintenance 400 IU/day.
– 1 to 12 months old – 1000 to 2000 IU/day 3 months,
followed by maintenance 400 IU/day.
– 1 to 12 years – 2000 to 6000 IU/day 3 months,
followed by maintenance 600 IU/day.
• Alternative: 50.000 IU/week for 6 weeks
– ≥12 years old – 6000 IU/day 3 months, followed by
maintenance 600 IU/day.
Vitamin D Deficiency Treatment
• Stoss therapy (using Vitamin D3, not Vitamin D2)– Short-term
administration of high dose vitamin D, known as "stoss
therapy", is an effective alternative, and can be a good solution
for patients who do not adhere to oral therapy.
• Stoss therapy should not be used for young infants, and careful
dosing is important to avoid risks of hypercalcemia.
– Infants <3 months of age – stoss therapy not recommended
– Infants 3 to 12 months of age – a single dose of 50,000 international
units
– Children 1 to 12 years – a single dose of 150,000 international units
– Children ≥ 12 years – a single dose of 300,000 international units
Vitamin D Deficiency Treatment
Calcium supplementation during treatment of Vitamin D deficiency
• For patients with elevated levels of parathyroid hormone (PTH) or clinical
evidence of rickets, calcium should be supplemented along with vitamin
D.
• This is because vitamin D replacement and a normalization of PTH levels
can precipitate hypocalcemia by suppressing bone resorption and from
increased bone mineralization, also referred to as the "hungry bone"
syndrome.
• Hence, calcium replacement is necessary along with vitamin D
replacement and should be given at doses of 30 to 75 mg/kg/day of
elemental calcium given in two to three divided doses for two to four
weeks, until vitamin D doses have been reduced to maintenance levels of
600 to 1000 IU daily
40
SOAL

Pasien anak perempuan berusia 4 bulan datang dibawa ke dokter


Puskesmas karena anak sulit dan tidak mau menetek sejak 2 minggu
terakhir. Anak juga alami penurunan berat badan. Demam, batuk
lama, ataupun kontak TB dirumah disangkal. Ibu pasien juga bilang
anaknya terkadang tampak sesak. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan adanya bunyi murmur pansistolik pada sela iga ke 3 dan
4 linea parasternal kiri. Tidak ditemukan adanya sianosis. Apa
diagnosis yang paling mungkin dari kondisi diatas?
A. TOF
B. ASD
C. VSD
D. Stenosis pulmonal
E. Stenosis aorta
Penyakit Jantung Bawaan Tekanan di dalam Jantung

Sianotik dan ToF

PJB

Asianotik Cyanotic

↓ aliran darah ↑ aliran darah


↑ volume: pulmonal: pulmonal:
↑ pressure:
- ASD - ToF - Transposition
- Valve stenosis
- VSD - Atresia of the great
- Coarctation of pulmonal vessels
- PDA aorta
- Atresia - Truncus
- Valve
tricuspid arteriosus
regurgitation

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.
Penyakit Jantung Bawaan Asianotik dan
VSD
With ↑ volume load Clinical Findings
The most common: left to right e.g. ASD, VSD, PDA
shunting

Blood back into the lungs ↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the interstitial space & Pulmonary edema, tachypnea, chest
alveoly retraction, wheezing

↑ Heart rate & stroke volume


High level of ventricular output -> ↑Oxygen consumption -> sweating,
↑sympathetic nervous system irritability, FTT
Remodelling: dilatation & hypertrophy

If left untreated, ↑ volume load will Eventually leads to Eisenmenger


increase pulmonary vascular resistance Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


Cont. Penyakit jantung bawaan asianotik
General Pathophysiology

With ↑ pressure load Clinical Findings

Obstruction to normal blood Murmur PS & PS: systolic


flow: pulmonic stenosis, aortic
stenosis, coarctation of aorta. murmur;

Hypertrophy & dilatation of


Dilatation happened in the later
ventricular wall
stage

Severe pulmonic stenosis in newborn


Defect location determine  right-sided HF (hepatomegaly,
the symptoms peripheral edema)

Severe aortic stenosis  left-sided


(pumonary edema, poor perfusion)
& right-sided HF
1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.
Ventricular Septal Defect
Ventricular Septal Defect

https://wikem.org
VSD:
Pathophysiology & Clinical Findings
Pansystolic murmur & thrill
Flow across VSD
over left lower sternum.

If defect is large  3rd heart sound


Over flow across mitral valve
& mid diastolic rumble at the apex.

ECG: Left ventricular hypertrophy or


biventricular hypertrophy,
LA, LV, RV volume overload peaked/notched P wave
Ro: gross cardiomegaly

Dyspnea, feeding difficulties, poor


High systolic pressure & high growth, profuse perspiration,
flow to the lungs  pneumonia, heart failure.
pulmonary hypertension Duskiness during crying or infection
Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.


VSD
• Darah yang terdesaturasi
masuk ke atrium kanan dari
vena cava dan mengalir
melewati katup trkuspid,
bercampur dengan sejumlah
darah lainnya yang melewati
VSD dan curah darah yang
mengalir ke paru akan
meningkat.
• Curah darah ini akan kembali
ke atrium kiri dan ventrikel kiri
dan hanya setengahnya yang
akan lewat dari aorta,
setengahnya kembali ke jalur
VSD

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


VSD

• Pada VSD akan


terlihat kardiomegali
terutama
pembesaran kedua
ventrikel, atrium kiri
dan artery pulmoner
• Juga peningkatan
corak bronkovaskular

Nelson’s textbook of pediatrics. 19th ed


VSD
Atrial Septal Defect
Patent Ductus Arteriosus
41
SOAL

Anak laki laki berusia 7 tahun dibawa orangtuanya ke dokter karena


tampak testis membesar serta mulai tumbuh rambut kemaluan.
Anak juga tampak berjerawat serta terdapat masturbasi. Pada anak
dikatakan di sekolah sering menggoda teman teman perempuannya.
Anak tumbuh kembang sesuai usia, tidak ada riwayat sakit berat
atau penggunaan obat obatan tertentu secara rutin. Apakah
pemeriksaan hormon lanjutan yang saran untuk dilakukan?
A. Estrogen
B. Testosteron
C. TSH
D. FSH
E. fT4
Pubertas Prekoks

• Definisi: tanda-tanda • GnRH dependent (central) :


maturasi seksual sebelum early reactivation of
usia 8 tahun pada Hypothalamus-pitutary-
perempuan dan 9 tahun gonad axis
pada laki-laki • GnRH independent
• Lebih banyak pada (peripheral): autonom sex
perempuan steroid , not affected by
• Perempuan  idiopatik; Hypothalamus-pitutary-
laki-laki  kelainan CNS gonad axis
• Variant
– thelarche prematur
– adrenarche prematur
Etiologi
GnRH dependent (sentral) GnRH independent (perifer);
• idiopatik Lelaki:
• kelainan SSP • (isoseksual)
– tumor – adrenal: tumor, CAH
– non-tumor: pasca infeksi, – testes : tumor sel Leydig,
radiasi, trauma, kongenital familial testotoksikosis
• Iatrogenik – gonadotropin-secreting tumor:
• non SSP: hepatoma, germinoma,
• keterlambatan diagnosis pada teratoma
GIPP • SSP: germinoma, adenoma (LH
secreting)
• Heteroseksual
– peningkatan aromatisasi perifer

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Etiologi

GnRH independent (perifer), perempuan:


• (isoseksual)
– McCune Albright
– Hipotiroid berat
• heteroseksual
– adrenal: tumor, CAH
– Tumor ovarium:arrhenoblasto ma

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala + Tanda
GnRH Dependent Precoccious GnRH Independent Precoccious
Puberty Puberty
• Selalu isoseksual • Isoseksual atau heteroseksual
• perkembangan tanda-tanda (late onset CAH, tumor
pubertas adrenal)
• mengikuti pola stadium • perkembangan seks sekunder
pubertas normal tidak sinkron (volume testes
• gambaran hormonal: tidak sesuai dengan stadium
peningkatan aktivitas pubertas - lebih kecil)
hormonal di seluruh poros • peningkatan kadar seks steroid
tanpa disertai peningkatan
kadar GnRH dan LH/FSH

Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan
Hormon Seks Steroid
• Efek estrogen →
– ”tall child but short adult” - karena penutupan epifisis
tulang dini
– ginekomastia
• Efek testosteron
– hirsutism
– Acne
– male habitus
• Efek umum
– sexual behavior
– agresif
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas
Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik
Medan
Stadium Tanner
Anamnesis

• Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik


pubertal.
• Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi.
• Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP
• Riwayat penyakit dahulu
– kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi
obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung hormon steroid
seks)
• Riwayat penyakit keluarga
– riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan rerata
pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.
Pemeriksaan fisis
• Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/bawah
tubuh.
• Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit
• Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner
– Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan
rambut pubis (P).
– Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau
sindrom McCune- Albright.
• Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor
intraabdomen.
• Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi

• A good initial screening test to identify activation of the


hypothalamic-pituitary-gonadal axis is measurement of basal LH
concentration (ideally in the morning)
• Basal FSH concentrations have limited diagnostic utility in
distinguishing children with CPP from those with benign pubertal
variants. FSH concentrations are often higher in children with CPP
(Prekoks sentral) compared with benign pubertal variants, but there
is substantial overlap between these groups of children
• Nilai basal LH dan FSH.
– Kadar basal LH basal >0,83 U/L menunjang diagnosis pubertas prekoks
sentral.
– rasio LH/FSH lebih dari satu menunjukkan stadium pubertas.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi

• Hormon seks steroid: estradiol pada anak perempuan dan testosteron pada
anak laki- laki.
• Kadar DHEA (dehydroepiandrosterone) atau DHEAS (DHEA sulfate) jika
terdapat bukti adrenarke.
• Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar puncak LH 5-8 U/L menunjukkan pubertas
prekoks progresif.
• RUTIN:
– Usia tulang/bone age
– USG pelvis pada anak perempuan
• ATAS INDIKASI:
– Ultrasonografi testis pada anak laki-laki jika terdapat asimetri pembesaran
testis.
– USG atau CT-Scan abdomen.
– MRI kepala untuk mencari lesi hipotalamus
Tatalaksana

• Ditujukan langsung pada penyebab


• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks
steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai.
• Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat
pada HAK.
• Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer.
• Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH
agonis.
• Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana
penyakit yang mendasarinya
42
SOAL

Seorang bayi berusia 1 minggu dibawa ibu ke dokter untuk skrining


karena diketahui selama hamil ibu pernah terinfeksi Rubella. Bayi
saat ini aktif dan menyusu dengan baik. Bayi lahir secara spontan
pada usia gestasi 39 minggu di bidan. Dokter melakukan
pemeriksaan langsung pada bayi dan menyarankan pemeriksaan
serologi untuk skirning rubella pada anak. Apa kemungkinan
temuan kelainan bawaan yang dapat diperoleh dari pemeriksaan
dokter?
A. Katarak
B. Konjungtivitis
C. Keratokonjungtivitis
D. Strabismus
E. Mikrooftalmia
TORCH
• Infeksi TORCH
– T=toxoplasmosis • Bayi yang dicurigai
– O=other (syphilis) terinfeksi TORCH
– R=rubella – Bayi dengan IUGR
– C=cytomegalovirus – Trombositopenia
(CMV) – Ruam abnormal
– H=herpes simplex (HSV) – Riwayat ibu sakit saat
hamil
– Adanya gejala klasik
infeksi
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Congenital toxoplasmosis Congenital rubella


• Intracranial calcifications (diffuse) • Cataracts, congenital glaucoma,
pigmentary retinopathy
• Hydrocephalus
• Chorioretinitis • Congenital heart disease (most
commonly patent ductus arteriosus or
• Otherwise unexplained mononuclear CSF peripheral pulmonary artery stenosis)
pleocytosis or elevated CSF protein
• Radiolucent bone disease
Congenital syphilis • Sensorineural hearing loss
• Skeletal abnormalities (osteochondritis & Congenital cytomegalovirus
periostitis)
• Thrombocytopenia
• Pseudoparalysis • Periventricular intracranial calcifications
• Persistent rhinitis • Microcephaly
• Maculopapular rash (particularly on palms • Hepatosplenomegaly
and soles or in diaper area) • Sensorineural hearing loss
Clinical manifestations that are suggestive of specific
congenital infections in the neonate
Uptodate. 2017

Herpes simplex virus Congenital varicella


• Cicatricial or vesicular skin lesions in
Perinatally acquired HSV infection dermatomal distribution
• Microcephaly
• Mucocutaneous vesicles
• Ocular Defects: catarct, chorioretinitis,
• CSF pleocytosis microphthalmos
• IUGR
• Thrombocytopenia • Limb abnormalities: hypoplasia of bone
• Elevated liver transaminases and muscle
• CNS abnormalities: cortical atrophy,
• Conjunctivitis or keratoconjuctivitis seizures, mental retardation
Congenital (in utero) HSV infection (rare) Congenital Zika syndrome
• Microcephaly
• Skin vesicles, ulcerations, or scarring • Intracranial calcifications
• Arthrogryposis
• Eye abnormalities (eg, micro-ophthalmia)
• Hypertonia/spasticity
• Brain abnormalities (eg, hydranencephaly, • Ocular abnormalities
microcephaly) • Sensorineural hearing loss
Congenital Rubella Syndrome

• Congenital rubella syndrome (CRS) is an illness resulting


from rubella virus infection during pregnancy.
• When rubella infection occurs during early pregnancy,
serious consequences—such as miscarriages, stillbirths,
and a constellation of severe birth defects in infants can
result.
• The risk of congenital infection and defects is highest
during the first 12 weeks of gestation and decreases after
the 12th week of gestation with defects rare after the 20th
week of gestation.
• Trias klasik: Katarak, tuli kongenital (sensorineural),
Penyakit jantung bawaan (VSD/PDA)
Infeksi Rubella Kongenital
• Karakteristik – Virus dapat diisolasi dari
– Single-stranded RNA virus sekret nasal
– Togavirus family – Tes Serologik Bayi
• IgM = Infeksi baru atau
– Rubivirus genus kongenital
– Dapat dicegah oleh vaksin • Peningkatan titer IgG bulanan
– Ringan, self-limiting mengarah pada kongenital
– Infeksi pada trimester – Diagnosis setelah anak
pertama memiliki berusia 1 tahun  sulit
kemungkinan mengenai
janin yang tinggi • Terapi
• Diagnosis – Pencegahan: Imunisasi
– IgG maternal  bisa akibat – Perawatan suportif dengan
imunisasi atau infeksi mengedukasi orangtua
lampau  tidak dapat
dipegang
Rubella Serology
• Serology is widely available and may be used to screen for rubella
infection.
• Acute rubella syndrome is best diagnosed by:
– A fourfold rise in IgG titer between acute and convalescent serum
specimens
– The presence of rubella specific IgM
– A positive rubella culture
• Serum should be obtained within 7 to 10 days after the onset of the
rash and repeated two to three weeks later.
• Rubella virus may be isolated from nasal, blood, throat, urine, or
cerebrospinal fluid (CSF) specimens.
• If rubella IgM is incidentally detected in a pregnant woman in the
absence of a history of rubella-like illness or contact, further
investigation is required. Use of rubella specific avidity assay may
be useful in these situations.

UpToDate. Rubella in Pregnancy


Congenital Rubella Syndrome Classic Triad

• Sensorineural hearing loss is the most common manifestation of congenital


rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of patients.
• Ocular abnormalities including cataract, infantile glaucoma, and pigmentary
retinopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella
syndrome.
– Both eyes are affected in 80% of patients, and the most frequent findings are
cataract and rubella retinopathy.
– Rubella retinopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mottled,
blotchy, irregular pigmentation, usually with the greatest density in the macula.
– The retinopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in
contrast to the cataract) unless choroid neovascularization develops in the macula.
• Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and
pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2
months' gestation.
Rubella Congenital Infection

• Blueberry Muffin” rash due to extramedullary


hematopoiesis
• “Salt and Pepper” retinopathy
• Radiolucent bone disease (long bones)
• IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic
stenosis, patent ductus arteriosus,
lymphadenopathy, jaundice,
hepatosplenomegaly, thrombocytopenia,
interstitial pneumonitis, diabetes mellitus
Congenital cataract

Blueberry muffin baby Salt pepper retinopathy


43
SOAL

Pasien anak perempuan berusia 12 tahun, datang dibawa


orangtuanya ke UGD Rumah Sakit dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 6 jam sebelum masuk RS. Pasien memiliki riwayat
penyakit diabetes melitus sejak usia 5 tahun dan selama ini rutin
menggunakan insulin. Pada pemeriksaan fisik anak tampak
somnolen, TD 70/30, HR 130 bpm, napas kussmaul. Pemeriksaan
GDS 320 mg/dl, HbA1c 8,2%, keton urin positif, serta pupil isokor
(+/+). Apakah penanganan yang sesuai pada kondisi ini?
A. Atasi syok dengan pemberian NaCl 0.9% 20 cc/kgBB
B. Segera bolus insulin diawal
C. Koreksi kalium segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan
D. Berikan maintenance NaCl 0.9%
E. Drip insulin dalam cairan NaCl 0.9% diawal segera
Ketoasidosis Diabetikum
Ketoasidosis Diabetikum
• Diagnosis ketoasidosis diabetik • Manifestasi klinis
ditegakkan jika terdapat: • Gejala klasik DM berupa
– Hiperglikemia yaitu kadar glukosa darah poliuria, polidipsi, serta
>200 mg/dL (>11 mmol/L) penurunan berat badan.
– Asidosis yaitu pH <7,3 dan/atau HCO3- <15
• Dehidrasi, dengan derajat
mEq/L, dan
yang bervariasi.
– Ketonemia dan ketonuria.
• Mual, muntah, nyeri perut,
• Klasifkasi ketoasidosis diabetik
takikardi, hipotensi, turgor
– KAD ringan: pH < 7,3 atau HCO3 < 15 mEq/L
kulit menurun, dan syok.
– KAD sedang: pH < 7,2 atau HCO3 < 10 mEq/L
– KAD berat: pH < 7,1 atau HCO3 < 5 mEq/L
• Perubahan kesadaran
dengan derajat yang
bervariasi, mulai dari
bingung sampai koma.
• Pola napas Kussmaul.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri
pada Diabetes Melitus Tipe-1
Prinsip Tatalaksana KAD
• Tujuan utama adalah menghentikan proses
asidosis bukan hanya menurunkan kadar glukosa.
• Prinsip tata laksana KAD meliputi:
– terapi cairan untuk mengkoreksi dehidrasi dan
menstabilkan fungsi sirkulasi
– pemberian insulin untuk menghentikan produksi
badan keton yang berlebihan
– mengatasi gangguan keseimbangan elektrolit,
– mengatasi penyakit yang mendasari KAD serta
monitor komplikasi terapi.

PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Amankan airway, breathing, circulation: • Dehidrasi dianggap lebih dari 10%
• Nilai kesadaran menggunakan GCS atau berat jika terdapat nadi yang
(Glasgow Coma Scale). lemah, hipotensi, dan oliguria.
• Timbang berat badan pasien • Mengingat derajat dehidrasi dari
klinis sangat subyektif dan
• Nilai derajat dehidrasi
seringkali tidak akurat maka
• Dehidrasi dianggap sedang jika direkomendasikan bahwa pada
dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda- KAD sedang dehidrasinya adalah
tanda dehidrasi meliputi: 5-7% sedangkan pada KAD berat
• Capillary refill memanjang, Turgor derajat dehidrasinya adalah 7-
menurun, Hiperpnea, serta adanya 10%.
tanda-tanda dehidrasi seperti membran
mukus yang kering, mata cekung, dan
tidak ada air mata.

PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Tatalaksana Awal
• Evaluasi klinis apakah terdapat • Pemeriksaan tambahan lain yang
infeksi atau tidak. diperlukan adalah serum kreatinin,
• Ukur kadar glukosa darah dan osmolalitas plasma, serum
kadar beta hidroksi butirat/BOHB albumin, fosfor, dan magnesium.
(atau keton urin) dengan alat • Periksa HbA1c.
bedside. • Lakukan pemeriksaan urinalisis.
• Lakukan pengambilan sampel • Jika terdapat demam atau tanda
darah untuk pemeriksaan infeksi lainnya lakukan kultur
laboratorium setidaknya glukosa (darah,
plasma, elektrolit serum • urin, atau kultur dari spesimen
(perhitungan anion gap), analisis lainnya) sebelum pemberian
gas darah (pH, HCO3 dan pCO2) antibiotik.
vena, kadar BOHB, dan darah tepi
lengkap. • Lakukan EKG jika hasil
pemeriksaan elektrolit tertunda.
Cairan dan elektrolit
• Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
• Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20
ml/kgBB dan dapat diulangi sampai renjatan teratasi.
• Rehidrasi awal harus segera dimulai dengan cairan
isotonik (NaCl 0,9%) paling tidak selama 4-6 jam.
• Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan
yang memiliki tonisitas sama atau lebih dari 0,45%
dengan ditambahkan kalium klorida, kalium fosfat atau
kalium asetat.
• Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48
jam dengan memperhitungkan sisa defisit cairan
ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk 48 jam.
Insulin
• Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan.
Pemberian insulin sejak awal tata laksana meningkatkan risiko
hipokalemia.
• Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid
acting
• Rute pemberian insulin adalah intravena (IV).
• Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
• Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD pediatrik
• Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama
asidosis belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam
cairan intravena (Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau
0,45%) jika kadar glukosa plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-
17 mmol/L).
Kalium
• Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat,
atau menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
• Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
• Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
• Jika hiperkalemia (K+>6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
• Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L Contoh: (kalium fosfat
diberikan 20 mEq/L + kalium klorida juga 20 mEq/L)
• Selanjutnya disesuaikan dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.

PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Asidosis
• Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
• Terapi bikarbonat dapat menyebabkan
asidosis SSP paradoksikal dan meningkatkan
risiko terjadinya hipokalemia.
• Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi
hiperkalemia berat atau jika pH darah < 6,8
• Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV
selama lebih dari 60 menit.
PPK IDAI. 2017. Ketoasidosis Diabetik dan Edema Serebri pada Diabetes Melitus Tipe-1
Komplikasi KAD pada Anak
• Cerebral oedema
This is unpredictable, occurs more frequently in younger
children and newly diagnosed diabetes and has a mortality of
around 25%. The causes are not known.
• Hypokalaemia
This is preventable with careful monitoring and management
• Aspiration pneumonia
Use a naso-gastric tube in semi-conscious or unconscious
children.
44
SOAL

Seorang anak perempuan berusia 6 tahun datang diantar ibunya ke


dokter umum di Puskesmas karena keluhan muncul benjolan di
leher kiri bagian depan hingga dekat telinga. Keluhan dialami sejak 1
hari sebelumnya, dan disertai demam ringan 3 hari. Anak mengeluh
tidak nyaman dan malas makan. Pada pemeriksaan fisik tampak
adanya massa di submandibula sebesar telur tidak batas tegas
teraba hangat, fluktuasi (-), serta suhu tubuh anak 380 C. Pemberian
imunisasi anak tidak lengkap. Apakah kemungkinan kondisi yang
dialami anak pada kasus diatas?
A. Parotitis epidemica
B. Limfadenitis spesifik
C. Abses
D. Skrofuloderma
E. Goiter
Mumps (Parotitis
Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic
viral illness characterized by the
swelling of one or more of the
salivary glands, typically the
parotid glands.
• Highly infectious to nonimmune
individuals and is the only cause
of epidemic parotitis.
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
Mumps
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab parotitis sebelum timbulnya
yang mengakibatkan “occasional pembengkakan parotis sampai 9
outbreak” hari kemudian.
• Disebabkan oleh paramyxovirus, • Bisa tanpa gejala
dengan predileksi pada kelenjar • Masa inkubasi 12-25 hari, gejala
dan jaringan syaraf. prodromal tidak spesifik ditandai
• The transmission mode is person dengan mialgia, anoreksia,
to person via respiratory droplets malaise, sakit kepala dan demam
and saliva, direct contact, or ringan  Setelah itu timbul
fomites. pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar parotis.
tahun. • Gejala ini akan berkurang setelah
• Imunisasi dengan live attenuated 1 minggu dan biasanya
vaccine sangat berhasil (98%) menghilang setelah 10 hari.
Mumps
• Komplikasi : Meningitis/encephalitis, Sensorineural hearing
loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, Thyroiditis,
Myocarditis, orchitis (terjadi pada laki-laki usia
postpubertal)
• Approximately one third of postpubertal male patients
develop unilateral orchitis.
• Prevention : Vaccinating children with MMR Jadwal IDAI
2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan
usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum
mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12
bulan
Mumps Treatment
• Conservative, supportive medical care is indicated for
patients with mumps.
• No antiviral agent is indicated, as mumps is a self-
limited disease.
• Encouraging oral fluid intake
• Refrain from acidic foods and liquids as they may cause
swallowing difficulty, as well as gastric irritation.
• Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
• Topical application of warm or cold packs to the
swollen parotid may soothe the area.
MMR
• Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak),
Mumps (Parotitis), dan Rubella
• Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada
temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya
• Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular
atau subkutan dalam
• Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan, dan rubella
• Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan,
MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6
bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR
bisa diberikan usia 12 bulan
45
SOAL

Anak laki laki berusia 5 tahun datang dengan keluhan batuk keras
terus menerus sejak 1 bulan yang lalu. Batuk diawali dengan tarikan
nafas panjang dan biasanya setelah batuk pasien muntah, muka
merah, dan tampak kelelahan. Keluhan batuk darah dan penurunan
berat badan disangkal. Anak tidak alami demam serta riwayat TB
dalam keluarga disangkal. Anak diketahui memiliki riwayat imunisasi
yang tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gasping saat
inspirasi. Apakah penanganan yang diberikan pada anak?
A. Amoxicillin
B. Eritromisin
C. Doxycyclin
D. Cotrimoxazole
E. Levofloxacin
Pertusis
• Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi
Bordetella pertussis (basil gram -)
• Karakteristik : uncontrollable, violent coughing which
often makes it hard to breathe. After fits of many
coughs needs to take deep breathes which result in a
"whooping" sound.
• Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius
selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya
penyakit
Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-overview
Stadium Pertusis
• Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam
subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi
dalam stadium ini.
• Stadium paroksismal: Batuk paroksismal yang dicetuskan oleh
pemberian makan (bayi) dan aktivitas; fase inspiratori batuk atau
batuk rejan (inspiratory whooping); post-tussive vomiting. Dapat
pula dijumpai: muka merah atau sianosis; mata menonjol; lidah
menjulur; lakrimasi; hipersalivasi; distensi vena leher selama
serangan; apatis; penurunan berat badan
• Stadium konvalesens: gejala akan berkurang dalam beberapa
minggu sampai dengan beberapa bulan; dapat terjadi petekia
pada kepala/leher, perdarahan konjungtiva, dan terdengar crackles
difus.
Pemeriksaan Penunjang
• Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3)
dengan limfositosis absolut
• IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG
terhadap toksin pertusis)
• Foto toraks: Infiltrat perihiler atau edema, atelektasis, atau
empiema
• Diagnosis pasti apabila ditemukan organisme pada apus
nasofaring (bahan media Bordet-Gengou) dengan menggunakan
media transpor (Regan-Lowe)
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
46
SOAL

Seorang anak berusia 10 tahun datang dibawa ke IGD karena


keluhan lemas akibat BAB cair banyak dan sering tanpa muntah
setelah makan ayam goreng. Pasien curiga ayam yang dikonsumsi
sudah basi, karena ayam sudah disimpan 4 hari sebelum dikonsumsi.
Saat dilakukan pemeriksaan pasien tidak didapatkan adanya
demam. Teman pasien yang konsumsi makanan serupa juga alami
hal yang sama. Apakah penyebab kondisi dialami pasien di atas?
A. Clostridium perfringens
B. Clotridium tetani
C. Staphylococcus aureus
D. Clostridium botulinum
E. Entamoeba histolytica
Food Poisoning
• Food poisoning is defined as an illness caused by
the consumption of food or water contaminated
with bacteria and/or their toxins, or with
parasites, viruses, or chemicals.
• The example of pathogens are Norovirus,
Escherichia coli, Salmonella, Clostridium
perfringens, Campylobacter, and Staphylococcus
aureus.
• The symptoms of food poisoning vary in degree
and combination.
FOOD POISONING
STAPHYLOCOCCUS AUREUS CLOSTRIDIUM BOTULINUM
• Gram positive cocci that occurs in singles, • It is a gram positive anaerobic spore
pairs, short chains, tetrads and irregular bearing bacilli
grape like clusters.
• Incriminated food: Most cases of botulism
• Food is usually contaminated from infected
are associated with home canned or
food handler.
bottled meat, vegetables and fish.
• The food handler with an active lesion or
carriage can contaminate food. • Incubation period: 12-36 hours
• Custard and cream filled bakery food, ham, • Clinical features: Common features
chicken, meat, milk, fish, salads, puddings, pie include vomiting, thirst, dryness of
• The bacteria produce enterotoxin while mouth, constipation, ocular paresis
multiplying in food. (blurred-vision), difficulty in speaking,
• Clinical features: breathing and swallowing. Coma or
– The onset is sudden and is characterized by delirium may occur in some cases. Death
vomiting and diarrhea but no fever.
may occur due to respiratory paralysis
– The illness lasts less than 12 hours.
within 7 days.
Clostridium Perfringens
• It is a gram positive anaerobic spore bearing bacilli
• Incriminated food: food-borne outbreaks of C.perfringens involve meat
products that are eaten 1- 2 days after preparation.
• C. perfringens can exist as a heat-resistant spore, so it may survive cooking and
grow to large numbers if the cooked food is held between 5 oC and 140oC for an
extensive time period Meats that have been cooked, allowed to cool slowly,
and then held for some time before eating are commonly incriminated.
• Pathogenesis: Spores in food may survive cooking and then germinate when
they are improperly stored.
• When these vegetative cells form endospores in the intestine, they release
enterotoxins.
• Incubation period: 8-24 hours
• Clinical features: Illness is characterized by acute abdominal pain, diarrhea, and
vomiting (none or rare). Illness is self- limiting and patient recovers in 18-24
hours.

Bacillus Cereus
• Gram positive aerobic spore Clinical features:
bearing bacilli. • The ‘emetic-type’ or the short
• Incriminated food: Commonly incubation type has an incubation
associated with rice and vegetables period of 1 to 6 hours.
• Pathogenesis: During the slow – The short-incubation form is most
often associated with fried rice that
cooling, spores germinate and
has been cooked and then held at
vegetative bacteria multiply, then warm temperatures for several hours.
they sporulate again. – Within 16 hours of eating
• The toxin is heat-stable, and can contaminated fried rice, patients
easily withstand the brief high suffer nausea, vomiting and
temperatures used to cook fried abdominal cramps that generally lasts
for less than a day.
rice.
• The second type is manifested
• Long-incubation food poisoning is
primarily by abdominal cramps and
frequently associated with meat or
diarrhea with an incubation period
vegetable-containing foods after
of 8 to 16 hours.
cooking.
DIAGNOSIS
SOURCE & CLINICAL
ETIOLOGY PAT H O G E N E S I S &
F E AT U R E S
T R E AT M E N T
• Improperly stored foods with high salt
or sugar content favors growth of • Enterotoxin acts on receptors
Staphylo staphylococci. in the gut that transmit Symptomatic
cocci • Intense vomiting and watery diarrhea impulses to the medullary treatment
start 1-4 h after ingestion and last as centers
long as 24-48 h

• Emetic enterotoxin (short


• Contaminated fried rice (emetic)
incubation and duration) -
• Meatballs (diarrheal)
Poorly understood
• Emetic: Duration is 9 h, vomiting and
• Diarrheal enterotoxin (long
cramps Symptomatic
B cereus incubation and duration) -
• Diarrheal: Lasts for 24 h treatment
Increasing intestinal secretion
• Mainly vomiting after 1-6 h and mainly
by activation of adenylate
diarrhea after 8-16 h after ingestion;
cyclase in intestinal
lasts as long as 1 d
epithelium

• Inadequately cooked meat, poultry, or


legumes
Culture of
• Acute onset of abdominal cramps with • Enterotoxin produced in the
clostridia in food
diarrhea starts 8-24 h after ingestion. gut, and food causes
C perfringens and stool
• Vomiting is rare. It lasts less than 1 d. hypersecretion in the small
Symptomatic
• Enteritis necroticans associated with C intestine
treatment
perfringens type C in improperly
cooked pork (40% mortality)
DIAGNOSIS &
ETIOLOGY S O U R C E & C L I N I C A L F E AT U R E S PAT H O G E N E S I S
T R E AT M E N T
• Toxin present in
• Canned foods (eg, smoked fish, • Toxin absorbed from food, serum, and
mushrooms, vegetables, honey) the gut blocks the stool.
• Descending weakness and paralysis start release of • Respiratory
C botulinum
1-4 d after ingestion, followed by acetylcholine in the support
constipation. neuromuscular • Intravenous
• Mortality is high junction trivalent antitoxin
from CDC

• Contaminated water and food (eg, salad, • Enterotoxin causes


cheese, meat) hypersecretion in
Enterotoxic E coli • Supportive
• Acute-onset watery diarrhea starts 24-48 small and large
(eg, traveler's treatment
h after ingestion intestine via
diarrhea) • No antibiotics
• Concomitant vomiting and abdominal guanylate cyclase
cramps may be present. It lasts for 1-2 d activation

• Improperly cooked hamburger meat and


previously spinach
• Cytotoxin results in
• Most common isolate pathogen in bloody • Diagnosis with
endothelial damage
Enterohemorrhagic diarrhea starts 3-4 d after ingestion stool culture
and leads to platelet
E coli (eg, E coli • Usually progresses from watery to bloody • Supportive
aggregation and
O157:H7) diarrhea. It lasts for 3-8 d treatment
microvascular fibrin
• May be complicated by hemolytic-uremic • No antibiotics
thrombi
syndrome or thrombotic
thrombocytopenic purpura
SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
CAUSE PAT H O G E N E S I S
F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Enterotoxin produces
• Contaminated imported cheese
secretion • Supportive treatment
EIEC • Usually watery diarrhea (some
• Shigalike toxin • No antibiotics
may present with dysentery)
facilitates invasion

• Implicated in traveler's diarrhea in • Ciprofloxacin may shorten


• Bacteria clump on
EAEC developing countries duration and eradicate the
the cell surfaces
• Can cause bloody diarrhea organism
• Positive stool culture finding
• Prompt replacement of fluids
• Enterotoxin causes
• Contaminated water and food and electrolytes (oral
hypersecretion in
• Large amount of nonbloody rehydration solution)
V cholera small intestine
diarrhea starts 8-24 h after • Tetracycline (or
• Infective dose usually
ingestion. It lasts for 3-5 d fluoroquinolones) shortens the
is 107 -109 organisms
duration of symptoms and
excretion of Vibrio

• Domestic animals, cattle, chickens


• Fecal-oral transmission in humans
• Foul-smelling watery diarrhea • Culture in special media at
• Uncertain about
followed by bloody diarrhea 42°C
C jejuni endotoxin production
• Abdominal pain and fever also • Erythromycin for invasive
and invasion
may be present; it starts 1-3 d disease (fever)
after exposure and recovery is in
5-8 d
ETIOLOG SOURCE & CLINICAL DIAGNOSIS &
PAT H O G E N E S I S
Y F E AT U R E S T R E AT M E N T

• Polymorphonuclear
• Organisms invade
• Potato, egg salad, lettuce, leukocytes (PMNs), blood,
epithelial cells and
vegetables, milk, ice cream, and mucus in stool
produce toxins
and water • Positive stool culture
• Infective dose is 102
• Abrupt onset of bloody • Oral rehydration is mainstay
Shigella -103 organisms
diarrhea, cramps, tenesmus, • Trimethoprim-
• Enterotoxin-
and fever starts 12-30 h after sulfamethoxazole (TMP-
mediated diarrhea
ingestion. SMX) or ampicillin for
followed by invasion
• Usually self-limited in 3-7 d severe cases
(dysentery/colitis)
• No opiates

• Beef, poultry, eggs, and dairy


products
• Abrupt onset of moderate-to-
large amount of diarrhea with • Positive stool culture finding
• Invasion but no
Salmonella low-grade fever; in some • Antibiotic for systemic
toxin production
cases, bloody diarrhea infection
• Abdominal pain and vomiting
also present, beginning 6-48 h
after exposure and lasts 7-12 d
47
SOAL

Anak laki laki berusia 5 tahun dibawa ke IGD karena keluhan


demam dan sulit menelan yang dialami sejak 2 hari terakhir.
Pasien dikatakan muncul bercak ruam merah di tangan dan
kaki, serta luka di mulut dan lidah. Pada pemeriksaan fisik
ditemukan ulseratif di tenggorokan, gusi, dan lidah. Tampak
juga adanya vesikel mutipel di telapak tangan dan kaki. Apakah
penyebab kondisi pada kasus di atas?
A. Echovirus
B. Rhinovirus
C. Herpes virus
D. Varicella virus
E. Coxsackievirus A
Hand-Foot-Mouth Disease
• Hand-foot-and-mouth disease (HFMD)  penyakit virus
Coxsackievirus A type 16 (CVA16) yang melibatkan erupsi
vesikular di rongga mulur dengan tangan, kaki, bokong,
dan/atau genitalia.
• HFMD biasanya diawali dengan keluhan nyeri pada mulut
dan tenggorok serta malas makan
• Dapat timbul demam 38-39oC 1-2 hari namun biasanya ORAL ENANTHEM
subfebris
• Gejala khasnya berupa oral enanthem dan adanya
exanthem, namun bisa tidak muncul salah satunya
• Lesi oral biasanya terapat pada bagian anterior rongga
mulut, biasanya pada lidah dan mukosa
• Lesi oral ini berawal dari macula eritematosavesikel yang
dikelilingi oleh daerah pucat kemudian diluarnya lagi
dikelilingi eritema (lesi halo)vesikel ruptureulkus
superfisial dengan dasar berwarna kuning keabuan dan tepi
eritema.
• Sedangkan untuk lesi kulit dapat berupa makula, EXANTHEM
maculopapular, atau vesicular.
• Symtomps: Sore mouth or throat, Malaise, rarely, vomiting
occurs in HFMD cases caused by EV-71
Hand-Foot-Mouth Disease

• Tatalaksana:
– Cairan adekuat untuk mencegah dehidrasi
– Makanan pedas dan asam harus dihindari karena
dapat memperparah keluhan nyeri
– Bila terjadi dehidrasi sedang hingga berat 
pertimbangkan pemberian hidrasi intravena
– Pemberian asetaminofen atau ibuprofen sebagai
antipiretik dan analgetik.
– Analgetik topikal untuk rongga mulut juga bisa
dipakai berupa obat kumur atau semprot
48
SOAL

An. 12 thn dibawa ibunya ke poli karena tubuhnya lebih tinggi dari
anak seusianya, dari anamnesis pasien mengeluh sakit kepala dan
nyeri punggung. Riwayat penyakit sebelumnya adenoma hipofisis
sejak 2 tahun yll. PF didapatkan TD 130/90, RR 22x, N 94x. Telapak
tangan dan kaki serta jari tampak lebih besar dan panjang dari
normal. Apakah kemungkinan penyebab?
A. Hipersekresi hormon tiroid
B. Hipersekresi hormon kortisol
C. Hipersekresi estrogen
D. Hipersekresi testeron
E. Hipersekresi somatotropin
GH Associated Disorders
• Growth hormone also known as somatotropin:
• GH synthesis and release is controlled by many
hormonal agents including GHRH, Somatostatin,
Ghrelin, IGF-1, Thyroid hormones and glucocorticoids.
• Growth hormone is secreted in pulses (after infancy).
• Secretion is increased in puberty and decreases
subsequently
• Increased GH:
• In Childhood: Gigantism
• In Adult: Acromegaly
Gigantism
• Definition: Abnormal large growth due to an excess of
growth hormone during childhood
• Acromegaly and gigantism have the same pathogenetic
mechanism, but differ regarding the age of onset.
• Gigantism occurs much earlier in life when the skeleton
still has the potential to grow, a developmental phase
now known as ‘‘prepubertal’’.
• The cause of acromegaly and gigantism  the
overproduction of pituitary growth hormone
Gigantisme
• Pertumbuhan linear yang abnormal karena
kerja insulin like growth factor I (IGF-I) yang
berlebihan ketika masa kanak-kanak dimana
epiphyseal growth plates masih terbuka
• Acromegaly merupakan kelainan yang sama
tetapi terjadi setelah lempeng epifise
tertutup.
• Gigantisme biasa muncul saat kanak-kanak
atau remaja muda.
Normal Growth Hormone Normal Control of Growth
Physiology Hormone Production
• Disekresikan oleh hipofisis anterior secara
pulsatil. • Hipotalamus mengontrol
– Oleh karena itu memeriksa kadar GH
secara random tidak berguna jumlah GH yang dikeluarkan
– GH turun secara drastis setelah gula masuk oleh hipofisis dengan
ke dalam tubuh (hal ini tidak terjadi pada
akromegali/gigantisme yang tidak mengeluarkan
mengalami penurunan GH setelah diberi
tes toleransi glukosa) neuropeptida growth
• GH mempunyai efek langsung pada tubuh, hormone releasing
tetapi juga berefek pada sel kelenjar untuk
melepaskan hormon lainnya: hormone (GHRH).
– GH bekerja pada sel khusus di hepar
melepaskan hormon yang disebutInsulin-
• Neuropeptida utama yang
like Growth Factor (IGF-1) (atau disebut menghambat pelepasan GH
juga Somatomedin-C)
– Karena IGF-1 dilepaskan dengan kadar yg disebut somatostatin
relatif spontan, maka lebih bagus
digunakan untuk memeriksa akromegali/
gigantisme
Etiologi
• Causes of excess IGF-I • Gigantism is a form of
action can be divided into familial pituitary adenomas,
and may run in some
the following 3 categories: families due to a genetic
– Release of primary GH excess mutation.
from the pituitary • Gigantism can also be
– Increased GHRH secretion or associated with other
hypothalamic dysregulation conditions, including:
– Hypothetically, the excessive – Carney complex
production of IGF-binding – McCune-Albright syndrome
(MAS)
protein, which prolongs the
– Multiple endocrine neoplasia
half-life of circulating IGF-I type 1 (MEN-1)
– Neurofibromatosis
Gejala dan Tanda Gigantisme
• Tall stature • Frontal bossing
• Mild to moderate obesity • Prognathism
(common) • Hyperhidrosis
• Macrocephaly (may precede • Osteoarthritis (a late
linear growth) feature of IGF-I excess)
• Headaches • Peripheral neuropathies
• Visual changes (eg, carpel tunnel
• Hypopituitarism syndrome)
• Soft tissue hypertrophy • Cardiovascular disease
• Exaggerated growth of the • Benign tumors
hands and feet, with thick • Endocrinopathies
fingers and toes • Delayed puberty
• Coarse facial features

http://emedicine.medscape.com/article/925446-treatment#a1156
Pemeriksaan Tatalaksana
• Laboratorium • Pengobatan
– Growth Hormon – Analog somatostatin (reduce
– IGF-I  pemeriksaan lab growth hormone release)
paling baik karena – Agonis reseptor dopamin
pengeluaran oleh tubuh tidak (reduce hormone release,
bersifat pulsatil generally less effective)
• Imaging – Antagonis reseptor GH
– Radiografi – Pegvisomant = blocks the
effect of growth hormone
– CT Scan
– Radiasi
– MRI
• Histologi • Operasi transphenoidal to
– Untuk menemukan adenoma/
remove tumor
karsinoma/ hiperplasia
Akromegali
Definisi
• Peningkatan Growth hormone
(GH) levels pada orang dewasa,
paling sering akibat benign
pituitary GI-l-secreting adenoma
• Anak-anak dengan peningkatan
GH  gigantisme.
Akromegali
Anamnesis dan PF
• Pembesaran kepala, tangan, dan kaki serta penebalan pd
tulang-tulang wajah.
• Berkaitan dgn peningkatan kejadian:
– carpal tunnel syndrome,
– obstructive sleep apnea,
– type 2 DM,
– heart disease (diastolic dysfunction),
– hypertension, and
– arthritis.
• Bitemporal hemianopsia  compression of the optic
chiasm by a pituitary adenoma .
• Excess GH may also lead to glucose intolerance or
diabetes.
Akromegali
49
SOAL

Bayi perempuan berusia 3 bulan, dibawa ke Puskesma Kalasenja


dengan keluhan leher di area belakang bengkak dan bertambah
besar 2 bulan yang lalu. Ketika dipegang, bayi tidak tampak
kesakitan. Bayi merupakan anak kedua, lahir cukup bulan di bidan
dengan ANC teratur. Pada pemeriksaan fisik bayi tampak tenang,
pada area posterior otot sternokleidomatoideus terdapat massa
berisi cairan, non pitting. Apakah diagnosis yang plaing mungkin
dari kondisi di atas
A. Kista brankhialis
B. Higroma kistik
C. Abses bezold
D. Abses submandibular
E. Angina Ludwig
Cystic Hygroma
• Cystic hygroma (CH) is a cystic lymphatic lesion that
can affect any anatomic subsite in the human body.
• More commonly referred to as a lymphatic
malformation (LM).
• Also known as LMs usually affects the head and neck
(~75%), with a predilection for the left side.
• Within the neck, the posterior triangle tends to be
most frequently affected.
• Approximately 20% of LMs occur in the axilla; less
common subsites include the mediastinum, groin, and
retroperitoneum.
Patophysiology
• combination of the following:
– Failure of lymphatics to connect to the venous
system
– Abnormal budding of lymphatic tissue
– Sequestered lymphatic rests that retain their
embryonic growth potential
Anatomy
Posterior Triangle of The Neck /
Trigonum coli posterior
Posterior Triangle of The Neck /
Trigonum coli posterior
• Border:
– Apex: Union of the sternocleidomastoid and the
trapezius muscles at the superior nuchal line of the
occipital bone
– Anterior: Posterior border of the
sternocleidomastoideus
– Posterior: Anterior border of the trapezius
– Base: Middle one third of the clavicle
• The posterior triangle is crossed, by the inferior
belly of the omohyoid muscle:
– an upper or occipital triangle
– a lower or subclavian triangle (or supraclavicular
triangle)
Examination
• On physical examination, the typical LM is a soft,
painless, compressible (doughy) mass that
usually transilluminates.
• In children who present with LM of the neck,
closely evaluate for tracheal deviation or other
evidence of impending airway obstruction.
• Closely inspect the tongue, oral cavity,
hypopharynx, and larynx; any involvement of
these structures may lead to airway obstruction.
DD: Kista Branchial (Branchial Cleft Cyst)
• Branchial cleft cysts are congenital epithelial
cyst, which arise on the lateral part of the
neck from a failure of obliteration of the
second branchial cleft in embryonic
developoment.
• Congenital in nature, but they may not
present clinically until later in life, usually by
early adulthood
DD: Kista Branchial (Branchial Cleft Cyst)
• Tanda dan gejala klinis
– Massa soliter
– Tidak nyeri
– Riwayat bengkak intermiten
terutama berhubungan
dengan infeksi saluran napas.
– Karakteristik massa:
permukaan licin, kenyal,
fluktuasi (+)
– Lokasi: sepertiga bawah batas
anteromedial m.
sternocleidomastoideus.
– Bila terinfeksi, dapat tampak
sinus, pus (+)
DD/ Thyroglossal Duct Cyst
• TDCs are the most • It is a cystic remnant along
frequently encountered the course of the
neck mass in children, with thyroglossal duct between
50% presenting by 10 years the foramen cecum of the
of age. tongue base and the
• It occurs as a result of thyroid bed in the visceral
anomalous development space of the infrahyoid
and migration of the thyroid neck.
gland during the fourth • TDC typically presents in
through eighth weeks of children and young
gestation. patients, with an average
age at presentation of 6
years.
50
SOAL

Anak laki-laki berusia 3 tahun dibawa ke dokter Puskesmas karena


keluhan demam. Pasien sering demam dan muntah. Anak juga
mengeluhkan nyeri saat kencing. Menurut ibu setiap kali kencing
kepala penis anak tampak menggembung. Anak belum di sunat.
Pada pemeriksaan fisik tampak adanya suhu 38 derajat Celcius, serta
ditemukan adanya fimosis. Pada pemeriksaan urin ada leukosit (+).
Tidak ada nyeri pinggang. Apa diagnosis yang mungkin dialami anak
pada kasus diatas?
A. Infeksi saluran kemih
B. Urolithiasis
C. Pielonefritis
D. Sindrom nefritik
E. GNAPS
Infeksi Saluran Kemih
• UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang
tidak disirkumsisi)
• Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%),
Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending.
• Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien:
– Neonatus: Suhu tidak stabil, irritable, muntah dan diare, napas tidak
teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis
– Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan
pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau
menyengat
– Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah,
mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin
berbau menyengat
Fisher DJ. Pediatric urinary tract infection. http://emedicine.medscape.com/article/969643-overview
American Academic of Pediatrics. Urinary tract infection: clinical practice guideline for the diagnosis and
management of the initial UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).
ISK
• 3 bentuk gejala UTI:
– Pyelonefritis (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual,
muntah, kadang-kadang diare
– Sistitis (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik,
inkontinensia, urin berbau
– Bakteriuria asimtomatik: kultur urin (+) tetapi tidak disertai gejala
• Pemeriksaan Penunjang :
– Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria
(Eritrosit>5/LPB)
– Biakan urin dan uji sensitivitas
– Kreatinin dan Ureum
– Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan
anatomis maupun fungsional
• Diagnosa pasti : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>105 koloni
kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil
pagi hari)

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI


Tatalaksana
• Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari
kelainan yang mendasari
• Umum (Suportif)
– Masukan cairan yang cukup
– Edukasi untuk tidak menahan berkemih
– Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra
– Hindari konstipasi
• Khusus
– Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, antibiotik diberikan secara empirik
selama 7-10 hari
– Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB setiap 12 jam, alternatif ampisilin,
amoksisilin, kecuali jika :
• Terdapat demam tinggi dan gangguan sistemik
• Terdapat tanda pyelonefritis (nyeri pinggang/bengkak)
• Pada bayi muda
– Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (7.5
mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (50 mg/kg IV setiap 6 jam) atau sefalosporin gen-3
parenteral (ceftriaxone 50-75 mg/kgBB/hari)
– Antibiotik profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefritis akut, ISK pada
neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional)
– Pertimbangkan komplikasi pielonefritis atau sepsis
Interpretasi Hasil Biakan Urin
Dosis Obat Pada UTI Anak

*Rentang dosis seftriakson untuk infeksi


berat adalah 50-75/kgBB/hari
“We Build Doctors”

Anda mungkin juga menyukai