TRAUMA KAPITIS
B. Etiologi
Etiologi utama dari cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas,
trauma benda tajam dan benda tumpul, kejatuhan benda berat,
kecelakaan industri, jatuh, kecelakaan pada saat olah raga, anak
dengan ketergantungan, dan cedera akibat kekerasan.
Cedera pada otak juga bisa berasal dari trauma langsung atau
tidak langsung pada kepala. Trauma tidak langsung disebabkan
karena tingginya tahanan atau kekuatan yang merobek terkena pada
kepala akibat menarik leher. Trauma langsung bila kepala langsung
terluka. Semua itu berakibat terjadinya akselerasi-deselerasi dan
pembentukan rongga.. trauma langsung juga menyebabkan rotasi
tengkorak dan isinya. Kekuatan itu bisa terjadi seketika atau menyusul
rusaknya otak oleh kompresi, goresan atau tekanan.
C. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan
glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf
hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun
sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan
kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh
kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan
glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi
gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami
hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan oksigen melalui proses
metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah.
Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik. Dalam keadaan normal cerebral
blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit / 100 gr. jaringan otak, yang
merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung
sekuncup aktivitas atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler
dan udem paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah
perubahan gelombang T dan P dan disritmia, fibrilasi atrium dan
vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan
vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan
pembuluh darah arteriol akan berkontraksi. Pengaruh persarafan
simpatik dan parasimpatik pada pembuluh darah arteri dan arteriol otak
tidak begitu besar.
Adapun cedera memegang peranan yang sangat besar dalam
menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu
trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat
pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul.
Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek
yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah.
Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi
bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa
dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang
menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan
batang otak.
D. Manifestasi Klinik
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis
cedera otak meliputi :
1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
2. Kebingungan
3. Iritabel
4. Pucat
5. Mual dan muntah
6. Pusing kepala
7. Terdapat hematoma
8. Kecemasan
9. Sukar untuk dibangunkan
10. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari
hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang
temporal.
11. Abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologik, dan
perubahan tanda vital.
12. Mungkin ada gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi
sensori, kejang otot. Karena cedera SSP sendiri tidak meyebabkan
syok, adanya syok hipovolemik menunjukkan kemungkinan cedera
multisistem.
E. Komplikasi
Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon
disebut coma. Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya
beberapa hari atau minggu, setelah masa ini penderita akan
terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya memasuki vegetative
state atau mati penderita pada masa vegetative statesering membuka
matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan respon reflek.
Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak menyadari
lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih dari
satu tahun jarang sembuh.
Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan
mengalami sekurang-kurangnya sekali seizure pada masa minggu
pertama setelah cedera. Meskipun demikian, keadaan ini berkembang
menjadi epilepsI.
Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan
membran (meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen
ini biasanya berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk
menyebar ke sistem saraf yang lain.
Kerusakan saraf. Cedera pada basis tengkorak dapat
menyebabkan kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi
paralysis dari otot-otot facialis atau kerusakan dari saraf untuk
pergerakan bola mata yang menyebabkan terjadinya penglihatan
ganda .
Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat,
penyelesaian masalah, proses informasi dan memori merupakan
kemampuan kognitif. Banyak penderita dengan cedera kepala berat
mengalami masalah kesadaran.
Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala
resiko perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit
terjadi parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan
keparahan cedera.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi
lokasi fraktur atau hematom. CT Scan dapat dengan cermat
menetukan letak dan luas cedera.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis pada trauma kepala, bila ada
peningkatan tekanan intraktranial (TIK) diatasi dengan
mempertahankan oksigensasi adekuat, pemberian obat anti edema
manitol, hiperventilasi, penggunaan steroid, kemungkinan intervensi
bedah neuro, pemberian analgetik dan antibiotika untuk infeksi
anaerob, makanan cair/bubur bila klien mual.
II. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
A. Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan
sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis
kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan
penanggung jawab.
2. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya
GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks
babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk,
hemiparese.
3. Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat
kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang
diberikan segera setelah kejadian.
4. Pemeriksaan penunjang.
5. Pemeriksaan fisik
6. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene
stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
7. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
8. Sistem saraf
9. Kesadaran/ GCS (< 15).
10. Fungsi saraf kranial : trauma yang mengenai/meluas ke batang
otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial.
11. Fungsi sensori-motor : adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri,
gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia,
riwayat kejang.
B. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan yang kemungkinan muncul adalah:
1. Nyeri akut b. d agen injuri fisik
2. Resiko infeksi b.d trauma, tindakan invasife, immunosupresif,
kerusakan jaringan
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang kebutuhan tubuh b. d
ketidakmampuan pemasukan makanan atau mencerna makanan
dan atau mengabsorbsi zat-zat gizi karena faktor biologis.
4. PK : Peningkatan TIK
5. Kurang pengetahuan keluarga tentang penyakit dan perawatannya
b/d kurang paparan terhadap informasi, keterbatasan kognitif
6. Sindrom defisit self care b/d kelemahan, penyakitnya
C. Rencana/Intevensi Keperawatan
No Diagnosa Tujuan Intervensi
1 Nyeri akut b/d agen Setelah dilakukan Manajemen nyeri :
injuri fisik Asuhan Kaji nyeri secara
keperawatan …. komprehensif termasuk
jam tingkat lokasi, karakteristik, durasi,
kenyamanan klien frekuensi, kualitas dan
meningkat dg KH: faktor presipitasi.
Klien Observasi reaksi
melaporkan nonverbal dari ketidak
nyeri nyamanan.
berkurang dg Gunakan teknik
scala 2-3 komunikasi terapeutik
Ekspresi wajah untuk mengetahui
tenang pengalaman nyeri klien
Klien dapat sebelumnya.
istirahat dan Kontrol faktor lingkungan
tidur yang mempengaruhi nyeri
v/s dbn seperti suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan.
Kurangi faktor presipitasi
nyeri.
Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologis/non
farmakologis).
Ajarkan teknik non
farmakologis (relaksasi,
distraksi dll) untuk
mengetasi nyeri..
Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri.
Evaluasi tindakan
pengurang nyeri/kontrol
nyeri.
Kolaborasi dengan dokter
bila ada komplain tentang
pemberian analgetik tidak
berhasil.
Administrasi analgetik :.
Cek program pemberian
analgetik; jenis, dosis, dan
frekuensi.
Cek riwayat alergi.
Tentukan analgetik pilihan,
rute pemberian dan dosis
optimal.
Monitor TV
Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
muncul.
Evaluasi efektifitas
analgetik, tanda gejala dan
efek samping.
2 Risiko infeksi b/d Setelah dilakukan Konrol infeksi :
Bersihkan lingkungan
imunitas tubuh asuhan
setelah dipakai pasien lain.
primer menurun, keperawatan …
prosedur invasive, jam tidak terdapat Batasi pengunjung bila
Mallapasi Nuralim M dan Saleh Halid, 2011, Buku Panduan Basic Trauma
Cardiac Life Support, Makassar
.
Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Brae. 2008. Buku Ajar Keperawatan
Medikal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC