BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 PEMBAHASAN
2.3.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
………………………………….…...…………..……………...
2.3.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
………………………………….…...…………..………………
2.3.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia …..
2.3.4 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan
dan penyakit kronik ………………………………….…...……
2.4 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko
………………………………….…...…………..………………………
1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
1.3.2 Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
1.3.3 Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan
1.4 Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu masyarakat
maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada kelompok rentan karena hal
tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai dan dalam mitigasi bencana.
BAB II
PEMBAHASAN
Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1) mudah
terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak
sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu,
kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok
lemah sehingga mudah dipengaruhi.
2.2.2 Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu vital yang
memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-intervensi
kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase penanganan bencana
(Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak terlalu
konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia
lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000;
Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction, and
Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana yang
lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun
1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena
norma kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat
perlindungan (Fatimah, 2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).
2.2.3 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik saat
dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau
karena mengalami masalah kesehatan kronis. Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban
kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana
alam itu terjadi. Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana.
Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah
masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al., 2007).
Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek
tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk
anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka
Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko
kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
2.5.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan,
ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan
sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan
saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu
hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi
volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal
yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan
obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.
Pra bencana
a) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
b) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana
Saat bencana
a) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1. Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2. Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui
Pasca bencana
1. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
2. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan
untuk ibu hamil dan menyusui.
3. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana
Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia
dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya :
1.) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
2.) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di
posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap
individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.
Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lagi.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.
Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di luar
dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa
memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan
/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan
lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat
5. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi, sehingga
mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.
2.5.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian
dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan
pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana
akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan
gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal
Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni :
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi.
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk
untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa
dan sebagainya.
c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
d. Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).
2.6 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko.
Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok –
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka panjang,
maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu mengidentifikasikan
sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010;
Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :
3.1 Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat
yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat.
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu
untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan
kelompok-kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi
hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah
penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.
3.1 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca agar
memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, karena
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf
hidup kelompok rentan.
DAFTAR PUSTAKA
Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK: The
World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University
Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal.
21.
Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for Chemical,
Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New York, NY:
Springer Publishing Company, LLC