Anda di halaman 1dari 19

DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………..………….……… i

Kata Daftar Isi ……………………………………………………………… ii

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ……………………………………….…...…………..…..


1.2 Rumusan Masalah ………………………………….…...…………..…….
1.3 Tujuan ………………………………….…...………………………...…..
1.4 Manfaat ………………………………….…...…………………...…..…..

BAB 2 PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelompok Rentan ………………………………….…...….


2.2 Identifikasi Kelompok Beresiko ………………………………….…….
2.2.1 Bayi dan Anak-anak ………………………………….…...……
2.2.2 Perempuan ………………………………….…...…………..….
2.2.3 Lansia ………………………………….…...…………..………
2.2.4 Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis
………………………………….…...…………..……………………

2.3 Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan ……………………

2.3.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
………………………………….…...…………..……………...
2.3.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
………………………………….…...…………..………………
2.3.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia …..
2.3.4 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan
dan penyakit kronik ………………………………….…...……
2.4 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko
………………………………….…...…………..………………………

2.5 Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko …


BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan ………………………………….…...…………..……


3.2 Saran ………………………………….…...…………..………….
DAFTAR PUSTAKA ………………………………….…...…………..……
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai bencana telah menimbulkan korban dalam jumlah yang besar. Banyak
korban yang selamat menderita sakit dan cacat. Rumah, tempat kerja, ternak, dan
peralatan menjadi rusak atau hancur. Korban juga mengalami dampak psikologis akibat
bencana, misalnya - ketakutan, kecemasan akut, perasaan mati rasa secara emosional, dan
kesedihan yang mendalam. Bagi sebagian orang, dampak ini memudar dengan
berjalannya waktu. Tapi untuk banyak orang lain, bencana memberikan dampak
psikologis jangka panjang, baik yang terlihat jelas misalnya depresi ,
psikosomatis (keluhan fisik yang diakibatkan oleh masalah psikis) ataupun yang tidak
langsung : konflik, hingga perceraian.
Beberapa gejala gangguan psikologis merupakan respons langsung terhadap kejadian
traumatik dari bencana. Namun gejala-gejala yang lain juga akan menyusul, ini adalah
dampak tidak langsung dan bersifat jangka panjang yang dapat mengancam berbagai
golongan terutama kelompok yang rentan yaitu anak-anak, remaja, wanita dan lansia.
Dalam banyak kasus, jika tidak ada intervensi yang dirancang dengan baik, banyak
korban bencana akan mengalami depresi parah, gangguan kecemasan, gangguan stress
pasca-trauma, dan gangguan emosi lainnya. Bahkan lebih dari dampak fisik
dari bencana, dampak psikologis dapat menyebabkan penderitaan lebih panjang, mereka
akan kehilangan semangat hidup, kemampuan social dan merusak nilai-nilai luhur yang
mereka miliki.
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang
berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus
mendapatkan perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka
hadapi. Konteks kerentanan merujuk kepada situasi rentan yang setiap saat dapat
mempengaruhi atau membawa perubahan besar dalam penghidupan masyarakat. Setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan
dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang
rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat. Dalam
konteks ini, kita akan membicarakan lebih rinci mengenai perawatan kelompok rentan
pra, saat dan pasca terjadinya bencana dalam makalah kami yang berjudul ‘Perawatan
Pada Kelompok Rentan’.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah yang dimaksud dengan kelompok rentan?
1.2.2 Bagaimanakah mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan?
1.2.3 Apa sajakah tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan?

1.3 Tujuan
1.3.1 Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kelompok rentan
1.3.2 Untuk mengetahui cara mengidentifikasi masalah pada kelompok rentan
1.3.3 Untuk mengetahui tindakan yang sesuai dengan kelompok rentan

1.4 Manfaat
Manfaat Penulisan makalah ini, untuk membantu para pembaca baik itu masyarakat
maupun tenaga kesehatan agar lebih memahami perawatan pada kelompok rentan karena hal
tersebut sangat penting dalam kehidupan sehari-hari sebagai dan dalam mitigasi bencana.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Kelompok Rentan


Menurut UU No 24/2007, pasal 55, ayat 2 Kelompok rentan dalam situasi bencana
adalah individu atau kelompok yang terdampak lebih berat diakibatkan adanya kekurangan
dan kelemahan yang dimilikinya yang pada saat bencana terjadi menjadi beresiko lebih besar,
meliputi: bayi, balita, dan anak-anak; ibu yang sedang mengandung / menyusui; penyandang
cacat (disabilitas); dan orang lanjut usia.
Pada dasarnya pengertian mengenai kelompok rentan tidak dijelaskan secara rinci.
Hanya saja dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 pasal 5 ayat 3 dijelaskan bahwa setiap orang
yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh perlakuan dan
perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya. Kelompok masyarakat yang rentan
adalah orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Sedangkan menurut Human Rights Reference yang dikutip oleh Iskandar Husein disebutkan
bahwa yang tergolong ke dalam
Kelompok Rentan adalah :
1) Refugees (pengungsi)
2) Internally Displaced Persons (IDPs) adalah orang-orang yang terlantar/ pengungsi
3) National Minorities (kelompok minoritas)
4) Migrant Workers (pekerja migrant)
5) Indigenous Peoples (orang pribumi/ penduduk asli dari tempat pemukimannya)
6) Children (anak)
7) Women (Perempuan)
Menurut Departeman Hukum dan Hak Asasi Manusia, kelompok rentan adalah semua
orang yang menghadapi hambatan atau keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan
yang layak bagi kemanusiaan dan berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban.
Jadi kelompok rentan dapat didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan
perlindungan dari pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi.

Kamus Besar Bahasa Indonesia merumuskan pengertian rentan sebagai : (1) mudah
terkena penyakit dan, (2) peka, mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak
sanggup menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain. Selain itu,
kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang mudah dipengaruhi. Pengertian
kedua merupakan konsekuensi logis dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok
lemah sehingga mudah dipengaruhi.

2.3 Identifikasi Kelompok Beresiko

Undang-undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengartikan


bencana sebagai suatu peristiwa luar biasa yang mengganggu dan mengancam kehidupan dan
penghidupan yang dapat disebabkan oleh alam ataupun manusia, ataupun keduanya. Untuk
menurunkan dampak yang ditimbulkan akibat bencana, dibutuhkan dukungan berbagai pihak
termasuk keterlibatan perawat yang merupakan petugas kesehatan yang jumlahnya terbanyak
di dunia dan salah satu petugas kesehatan yang berada di lini terdepan saat bencana terjadi
(Powers & Daily, 2010) Peran perawat dapat dimulai sejak tahap mitigasi (pencegahan),
tanggap darurat bencana dalam fase prehospital dan hospital, hingga tahap recovery.

Terdapat individu atau kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih


rentan terhadap efek lanjut dari kejadian bencana yang memerlukan perhatian dan
penanganan khusus untuk mencegah kondisi yang lebih buruk pasca bencana. Kelompok-
kelompok ini diantaranya: anak-anak, perempuan, terutama ibu hamil dan menyusui, lansia,
individu-individu yang menderita penyakit kronis dan kecacatan. Identifikasi dan pemetaan
kelompok beresiko melalui pengumpulan informasi dan data demografi akan mempermudah
perencanaan tindakan kesiap-siagaan dalam menghadapi kejadian bencana di masyarakat
(Morrow, 1999; Powers & Daily, 2010; World Health Organization (WHO) & International
Council of Nursing (ICN), 2009).

2.2.1 Bayi dan Anak-anak


Bayi dan anak-anak sering menjadi korban dalam semua tipe bencana karena
ketidakmampuan mereka melarikan diri dari daerah bahaya. Ketika Pakistan diguncang
gempa Oktober 2005, sekitar 16.000 anak meninggal karena gedung sekolah mereka runtuh.
Tanah longsor yang erjadi di Leyte, Filipina, beberapa tahun lalu mengubur lebih dari 200
anak sekolah yang tengah belajar di dalam kelas (Indriyani 2014). Diperkirakan sekitar 70%
dari semua kematian akibat bencana adalah anak-anak baik itu pada bencana alam maupun
bencana yang disebabkan oleh manusia (Powers & Daily, 2010).
Selain menjadi korban, anak-anak juga rentan terpisah dari orang tua atau wali
mereka saat bencana terjadi. Diperkirakan sekitar 35.000 anak-anak Indonesia kehilangan
satu atau dua orang tua mereka saat kejadian tsunami 2004. Terdapat juga laporan adanya
perdagangan anak (Child-Trafficking) yang dialami oleh anak-anak yang kehilangan orang
tua/wali (Powers & Daily, 2010)
Pasca bencana, anak-anak berisiko mengalami masalah-masalah kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang baik fisik dan psikologis karena malnutrisi, penyakit-penyakit
infeksi, kurangnya skill bertahan hidup dan komunikasi, ketidakmampuan melindungi diri
sendiri, kurangnya kekuatan fisik, imunitas dan kemampuan koping. Kondisi tersebut dapat
mengancam nyawa jika tidak diidentifikasi dan ditangani dengan segera oleh petugas
kesehatan (Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007).

2.2.2 Perempuan
Diskriminasi terhadap perempuan dalam kondisi bencana telah menjadi isu vital yang
memerlukan perhatian dan penanganan khusus. Oleh karena itu, intervensi-intervensi
kemanusiaan dalam penanganan bencana yang memperhatikan standar internasional
perlindungan hak asasi manusia perlu direncanakan dalam semua stase penanganan bencana
(Klynman, Kouppari, & Mukhier, 2007).
Studi kasus bencana alam yang dilakukan di Bangladesh mendapati bahwa pola
kematian akibat bencana dipengaruhi oleh relasi gender yang ada, meski tidak terlalu
konsisten. Pola ini menempatkan perempuan, terlebih lagi yang hamil, menyusui, dan lansia
lebih berisiko karena keterbatasan mobilitas secara fisik dalam situasi darurat (Enarson, 2000;
Indriyani, 2014; Klynman et al, 2007).
Laporan PBB pada tahun 2001 yang berjudul "Women, Disaster Reduction, and
Sustainable Development" menyebutkan bahwa perempuan menerima dampak bencana yang
lebih berat. Dari 120 ribu orang yang meninggal karena badai siklon di Bangladesh tahun
1991, korban dari kaum perempuan menempati jumlah terbesar. Hal ini disebabkan karena
norma kultural membatasi akses mereka terhadap peringatan bahaya dan akses ke tempat
perlindungan (Fatimah, 2009 dikutip dalam Indriyani, 2014).

2.2.3 Lansia
Merupakan salah satu kelompok yang rentan secara fisik, mental, dan ekonomik saat
dan setelah bencana yang disebabkan karena penurunan kemampuan mobilitas fisik dan/atau
karena mengalami masalah kesehatan kronis. Di Amerika Serikat, lebih dari 50% korban
kematian akibat dari badai Katrina adalah lansia dan diperkirakan sekitar 1300 lansia yang
hidup mandiri sebelum kejadian badai tersebut harus dirawat di pantai jompo setelah bencana
alam itu terjadi. Pasca bencana, kebutuhan lansia sering terabaikan dan mengalami
diskriminasi, contohnya dalam hal distribusi kebutuhan hidup dan finansial pasca bencana.
Hak-hak dan kebutuhan spesifik lansia kadang-kadang terlupakan yang dapat memperparah
masalah kesehatan dan kondisi depresi pada lansia tersebut (Klynman et al., 2007).

2.2.4 Individu dengan keterbatasan fisik (kecacatan) dan penyakit kronis


Menurut WHO, terdapat lebih dari 600 juta orang yang menderita kecacatan di
seluruh dunia atau mewakili sekitar 7-10% dari populasi global. 80% diantaranya
tinggal di negara berkembang. Angka ini terus meningkat seiring dengan peningkatan
jumlah penduduk, angka harapan hidup dan kemajuan di bidang kesehatan. Di
Amerika Serikat, setelah kejadian banjir di Grand Forks, North Dakota pada tahun
1997, barulah dibangun rumah perlindungan yang dapat diakses oleh korban bencana
yang menggunakan kursi roda. Pada saat terjadi bencana kebakaran di California,
tahun 2003, banyak individu-individu cacat pendengaran tidak memahani level
bahaya bencana tersebut karena kurangnya informasi yang mereka fahami. Orang
cacat, karena keterbatasan fisik yang mereka alami berisiko sangat rentan saat terjadi
bencana, namun mereka sering mengalami diskriminasi di masyarakat dan tidak
dilibatkan pada semua level kesiapsiagaan, mitigasi, dan intervensi penanganan
bencana (Klynman et al., 2007).

2.3 Tindakan Yang Sesuai Untuk Kelompok Rentan


Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana perlu
(Morrow, 1999 & Daily, 2010)
a. Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat
bantu untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll.
b. Melakukan pemetaan kelompok-kelompok rentan
c. Merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi hambatan informasi dan
komunikasi
d. Menyediakan transportasi dan rumah penampungan yang dapat diakses
e. Menyediakan pusat bencana yang dapat diakses
Adapun tindakan-tindakan spesifik untuk kelompok rentan akan diuraikan pada
pembahasan berikut (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency
(FEMA), 2010; Klynman et al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema 2007) :
2.5.1 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada bayi dan anak
Pra bencana
a. Mensosialisasikan dan melibatkan anak-anak dalam latihan kesiagsiagaan
bencana misalnya dalam simulasi bencana kebakaran atau gempa bumi
b. Mempersiapkan fasilitas kesehatan yang khusus untuk bayi dan anak pada saat
bencana
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan bencana bagi petugas
kesehatan khusus untuk menangani kelompok-kelompok berisiko.

Saat bencana
a. Mengintegrasikan pertimbanan pediatric dalam sistem triase standar yang
digunakan saat bencana
b. Lakukan pertolongan kegawatdaruratan kepada bayi dan anak sesuai dengan
tingkat kegawatan dan kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek
tumbuh kembangnya, misalnya menggunakan alat dan bahan khusus untuk
anak dan tidak disamakan dengan orang dewasa
c. Selama proses evakuasi, transportasi, sheltering dan dalam pemberian
pelayanan fasilitas kesehatan, hindari memisahkan anak dari orang tua,
keluarga atau wali mereka

Pasca bencana
a. Usahakan kegiatan rutin sehari-hari dapat dilakukan sesegera mungkin
contohnya waktu makan dan personal hygiene teratur, tidur, bermain dan
sekolah
b. Monitor status nutrisi anak dengan pengukuran antropometri
c. Dukung dan berikan semangat kepada orang tua
d. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan adekuat, cairan dan emosional
e. Minta bantuan dari ahli kesehatan anak yang mungkin ada di lokasi evakuasi
sebagai voluntir untuk mencegah, mengidentifikasi,mengurangi resiko
kejadian depresi pada anak pasca bencana.
f. Identifikasi anak yang kehilangan orang tua dan sediakan penjaga yang
terpercaya serta lingkunganyang aman untuk mereka
2.5.2 Tindakan yang sesuai untuk kelompok beriiko pada ibu hamil dan menyusui
Dalam memberikan pelayanan keperawatan pada berbagai macam kondisi kita
harus cepat dan bertindak tepat di tempat bencana, petugas harus ingat bahwa dalam
merawat ibu hamil adalah sama halnya dengan menolong janinnya sehingga
meningkatkab kondisi fisik dan mental wanita hamil dapat melindungi dua kehidupan,
ibu hamil dan janinnya. Perubahan fisiologis pada ibu hamil, seperti peningkatan
sirkulasi darah, peningkatan kebutuhan oksigen, dan lain-lain sehingga lebih rentan
saat bencana dan setelah bencana (Farida, Ida. 2013).
Menurut Ida Farida (2013) hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penanggulangan ibu
hamil
a. Meningkatkan kebutuhan oksigen
Penyebab kematian janin adalah kematian ibu. Tubuh ibu hamil yang
mengalami keadaan bahaya secara fisik berfungsi untuk membantu
menyelamatkan nyawanya sendiri daripada nyawa si janin dengan mengurangi
volume perdarahan pada uterus.
b. Persiapan melahirkan yang aman
Dalam situasi bencana, petugas harus mendapatkan informasi yang jelas dan
terpercaya dalam menentukan tempat melahirkan adalah keamanannya. Hal
yang perlu dipersiapkan adalah air bersih, alat-alat yang bersih dan steril dan
obat-obatan, yang perlu diperhatikan adalah evakuasi ibu ke tempat perawatan
selanjutnya yang lebih memadai.

Pra bencana
a) Melibatkan perempuan dalam penyusunan perencanaan penanganan
bencana
b) Mengidentifikasi ibu hamil dan ibu menyusui sebagai kelompok rentan
c) Membuat disaster plans dirumah yang disosialisasikan kepada seluruh
anggota keluarga
d) Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif dalam mitigasi bencana

Saat bencana
a) Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidak meningkatkan risiko
kerentanan bumil dan busui, misalnya:
1. Meminimalkan guncangan pada saat melakukan mobilisasi dan
transportasi karena dapat merangsang kontraksi pada ibu hamil
2. Tidak memisahkan bayi dan ibunya saat proses evakuasi
b) Petugas bencana harus memiliki kapasitas untuk menolong korban bumil
dan busui

Pasca bencana
1. Dukung ibu-ibu menyusui dengan dukungan nutrisi adekuat, cairan dan
emosional
2. Melibatkan petugas-petugas kesehatan reproduktif di rumah penampungan
korban bencana untuk menyediakan jasa konseling dan pemeriksaan kesehatan
untuk ibu hamil dan menyusui.
3. Melibatkan petugaspetugas konseling untuk mencegah, mengidentifikasi,
mengurangi risiko kejadian depesi pasca bencana

2.5.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada lansia


Pra bencana
a. Libatkan lansia dalam pengambilan keputusan dan sosialisasi disaster plan di
rumah
b. Mempertimbangkan kebutuhan lansia dalam perencanaan penanganan bencana.
Menurut Ida Farida (2013) Keperawatan bencana pada lansia sebelum bencana yakni
1) Memfasilitasi rekonstruksi komunitas
Sejak sebelum bencana dilaksanakan kegiatan penyelamatan antara penduduk
dengan cepat dan akurat, dan distribusi barang bantuan setelah itu pun berjalan
secara sistematis. Sebagai hasilnya, dilaporkan bahwa orang lansia dan
penyandang cacat yang disebut kelompok rentan pada bencana tidak pernah
diabaikan, sehingga mereka bisa hidup di pengungsian dengan tenang.
2) Menyiapkan pemanfaatan tempat pengungsian
Diperlukan upaya untuk penyusun perencanaan pelaksanaan pelatihan praktek
dan pelatihan keperawatan supaya pemanfaatan yang realistis dan bermanfaat
akan tercapai.
Saat bencana
a. Melakukan usaha/bantuan penyelamatan yang tidka meningkatkan risiko
kerentanan lansia, misalnya meminimalkan guncangan/trauma pada saat
melakukan mobilisasi dan transportasi untuk menghindari trauma sekunder.
b. Identifikasi lansia dengan bantuan/kebutuhan khusus contohnya kursi roda,
tongkat, dll.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan lansia saat bencana adalah


1. Tempat aman
Yang diprioritaskan pada saat terjadi encana adalah memindahkan orang
lansia ke tempat yang aman. Orang lansia sulit memperoleh informasi karena
penuruman daya pendengaran dan penurunan komunikasi dengan luar
2. Rasa setia
Selain itu, karena mereka memiliki rasa setia yang dalam pada tanah dan ruma
sendiri, maka tindakan untuk mengungsi pun berkecenderungan terlambat
dibandingkan dengan generasi yang lain.
3. Penyelamatan darurat
(Triage, treatment, and transportation) dengan cepat. Fungsi indera orang
lansia yang mengalami perubahan fisik berdasarkan proses menua, maka skala
rangsangan luar untuk memunculkan respon pun mengalami peningkatan
sensitivitas sehingga mudah terkena mati rasa

Pasca Bencana
a. Program inter-generasional untuk mendukung sosialisasi komunitas dengan lansia
dan mencegah isolasi sosial lansia, diantaranya :
1.) Libatkan remaja dalam pusat perawatan lansia dan kegiatan-kegiatan sosial
bersama lansia untuk memfasilitasi empati dan interaksi orang muda dan
lansia (community awareness)
2.) Libatkan lansia sebagai sebagai storytellers dan animator dalam kegiatan
bersama anak-anak yang diorganisir oleh agency perlindungan anak di
posko perlindunga korban bencana
b. Menyediakan dukungan sosial melalui pengembangan jaringan sosial yang sehat
di lokasi penampungan korban bencana
c. Sediakan kesempatan belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan skill lansia.
d. Ciptakan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan secara mandiri
e. Berikan konseling unuk meningkatkan semangat hidup dan kemandirian lansia.

Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada lansia setelah bencana adalah
1. Lingkungan dan adaptasi
Dalam kehidupan di tempat pengungsian, terjadi berbagai ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh fungsi fisik yang dibawa oleh setiap
individu sebelum bencana dan perubahan lingkungan hidup di tempat pengungsian.
Kedua hal ini saling mempengaruhi, sehingga mengakibtkan penurunan fungsi fisik
orang lansia yang lebih parah lagi.
2. Manajemen penyakit dan pencegahan penyakit sekunder
Lingkungan di tempat pengungsian mengundang tidak hanya ketidakcocokan dalam
kehidupan sehari-hari bagi orang lansia, tetapi juga keadaan yang serius pada tubuh.
Seperti penumpukan kelelahan karena kurnag tidur dan kegelisahan.
3. Orang lanjut usia dan perawatan pada kehidupan di rumah sendiri
Lansia yang sudah kembali ke rumahnya, pertama membereskan perabotannya di luar
dan dalam rumah. Dibandingkan dengan generasi muda, sering kali lansia tidak bisa
memperoleh informasi mengenai relawan, sehingga tidak bisa memanfaatkan tenaga
tersebut dengan optimal.
4. Lanjut usia dan perawatan di pemukiman sementara
Lansia yang masuk ke pemukiman sementara terpaksa mengadaptasikan
/menyesuaikan diri lagi terhadap lingkungan baru (lingkungan hubungan manusia dan
lingkungan fisik) dalam waktu yang singkat
5. Mental Care
Orang lansia mengalami penurunan daya kesiapan maupun daya adaptasi, sehingga
mudah terkena dampak secara fisik oleh stressor. Namun demikian, orang lansia itu
berkecenderungan sabar dengan diam walaupun sudah terkena dampak dan tidak
mengekspresikan perasaan dan keluhan.

2.5.3 Tindakan yang sesuai untuk kelompok berisiko pada orang dengan kecacatan dan
penyakit kronik
Menurut Ida Farida (2013) dampak bencana pada penyakit kronis akan
memberi pegaruh besar pada kehidupan dan lingkungan bagi orang-orang dengan
penyakit kronik. Terutama dalam situasi yang terpaksa hidup di tempat pengungsian
dalam waktu yang lama atau terpaksa memulai kehidupan yang jauh berbeda dengan
pra-bencana, sangat sulit mengatur dan memanajemen penyakit seperti sebelum
bencana. Walaupun sudah berhasil selamat dari bencana dan tidak terluka sekalipun
manajemen penyakit kronis mengalami kesulitan, sehingga kemungkinan besar
penyakit tersebut kambuh dan menjadi lebih parah lagi ketika hidup di pengungsian
atau ketika memulai kehidupan sehari-hari lagi.
Berdasarkan perubahan struktur penyakit itu sendiri, timbulnya penyakit
kronis disebabkan oleh perubahan gaya hidup sehari-hari. Bagi orang-orang yang
memiliki resiko penyakit kronis, perubahan kehidupan yang disebabkan oleh bencana
akan menjadi pemicu meningkatnya penyakit kronis seperti diabetes mellitus dan
gangguan pernapasan.
Pra bencana
a. Identifikasi kelompok rentan dari kelompok individu yang cacat dan
berpenyakit kronis
b. Sediakan informasi bencana yang bisa diakses oleh orang-orang dengan
keterbatasan fisik seperti: tunarungu, tuna netra, dll
c. Perlunya diadakan pelatihan-pelatihan penanganan kegawatdaruratan bencana
bagi petugas kesehatan khusus untuk menanganni korban dengan kebutuhan
khusus (cacat dan penyakit kronis)
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan pada fase persiapan sebelum bencana bagi
korban dengan penyakit kronik
a. Mempersiapkan catatan self-care mereka sendiri, terutama nama pasien,
alamat ketika darurat, rumah sakit, dan dokter yang merawat.
b. Membantu pasien membiasakan dii untuk mencatat mengenai isi dari obat
yang diminum, pengobatan diet, dan data olahraga
c. Memberikan pendidikan bagi pasien dan keluarganya mengenai penanganan
bencana sejak masa normal

Saat bencana
a. Sediakan alat-alat emergency dan evakuasi yang khusus untuk orang cacat dan
berpenyakit kronis (HIV/AIDS dan penyakit infeksi lainnya), alat bantu
berjalan untuk korban dengan kecacatan, alat-alat BHD sekali pakai, dll
b. Tetap menjaga dan meningkatkan kewaspadaan universal (universal
precaution) untuk petugas dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan.
Menurut Ida Farida (2013) keperawatan bencana pada penyandang cacat yakni :
1) Bantuan evakuasi
Saat terjadi bencana, penyandang cacat membutuhkan waktu yang lama untuk
mengevakuasi diri sehingga supaya tidak terlambat dalam mengambil
keputusan untuk melakukan evakuasi, maka informasi persiapan evakuasi dan
lain-lain perlu diberitahukan kepada penyandang cacat dan penolong evakuasi.
2) Informasi
Dalam penyampaian informasi digunakan bermacam-macam alat disesuaikan
dengan ciri-ciri penyandang cacat , misalnya internet (email, sms, dll) dan
siaran televisi untuk tuna rungu; handphone yang dapat membaca pesan masuk
untuk tuna netra; HP yag dilengkapi dengan alat handsfree untuk tuna daksa
dan sebagainya.

Pertolongan pada penyandang cacat


a. Tunadaksa adalah kebanyakan orang yang jalannya tidak stabil dan mudah
jatuh, serta orang yang memiliki keterbatasan dalam perpindahan atau
pemakai kursi roda yang tidak dapat melangkah sendirian ketika berada di
tempat yang jalannya tidak rata dan menaiki tangga. Ada yang menganggap
kursi roda seperti satu bagian dari tubuh sehingga cara mendorongnya harus
mengecek keinginan si pemakai kursi roda dan keluarga.
b. Tuna netra
Dengan mengingat bahwa tuna netra mudah merasa takut karena menyadari
suasana aneh di sekitarnya, maka perlu diberitahukan tentang kondisi sekitar
rumah dan tempat aman untuk lari dan bantuan untuk pindah di tempat yang
tidak familiar. Pada waktu menolong mereka untukpindah, peganglah siku dan
pundak, atau genggamlah secara lembut pergelangannya karena berkaitan
dengan tinggi badan mereka serta berjalanlah setengah langkah di depannya.

c. Tuna rungu
Beritahukan dengan senter ketika berkunjung ke rumahnya karena tidak dapat
menerima informasi suara. Sebagai metode komunikasi, ada bahasa tulis,
bahasa isyarat, bahasa membaca gerakan mulut lawan bicara, dll tetapi belum
tentu semuanya dapat menggunakan bahasa isyarat
d. Gangguan intelektual
Atau perkembangannya sulit dipahami oleh orang pada umunya karena kurang
mampu untuk bertanya dan mengungkapkan pendapatnya sendiri dan
seringkali mudah menjadi panik. Pada saat mereka mengulangi ucapan dan
pertanyaan yang sama dengan lawan bicara, hal itu menandakan bahwa
mereka belum mengerti sehingga gunakan kata-kata sederhana yang mudah
dimengerti (Farida, Ida. 2013).

2.6 Sumber Daya yang Tersedia Dilingkungan untuk Kebutuhan Kelompok Beresiko.

Untuk mengurangi dampak yang lebih berat akibat bencana terhadap kelompok –
kelompok beresiko saat bencana baik itu dampak jangka pendek maupun jangka panjang,
maka petugas kesehatan yang terlibat dalam penanganan encana perlu mengidentifikasikan
sumber daya apa saja yang tersedia di lngkungan yang dapat digunakan saat bencana terjadi,
diantaranya (Enarson, 2000; Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010;
Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007 ) :

a. Terbentuknya desa siaga dan organisasi kemasyarakatan yang terus mensosialisasikan


kesiapsiagaan terhadap bencana terutama untuk area yang rentan terhadap kejadian
bencana.
b. Kesiapan rumah sakir atau fasilitas kesehatan menerima korban bencana dari
kelompok berisiko baik itu dari segi fasilitas maupun ketenagaan seperti : beberapa
jumlah incubator untuk bayi baru lahir, tempat tidur untuk pasien anak, ventilator
anak, fasilitas persalinan, fasilitas perawatan pasien dengan penyakit kronis, dsb
c. Adanya symbol – symbol atau bahasa yang bisa dimengerti oleh individu-individu
dengan kecacatan tentang peringatan bencana, jalur evakuasi, lokasi pengungsian dll.
d. Adanya system support berpa konseling dari ahli-ahli voluntir yang khusus
menangani kelompok beresiko untuk mencegah dan mengidentifikasi dini kondisi
depresi pasca bencana pada kelompok tersebut sehingga intervensi yang sesuai dapat
diberikan untuk merawat mereka.
e. Adanya agensi-agensi baik itu dari pemerintah maupun non pemerintah (NGO) yang
membantu korban bencana terutama kelompok-kelompok beresiko seperti : agensi
perlindungan anak dan perempuan, agency pelacakan keluarga korban bencana
( tracking centre), dll.

2.7 Lingkungan yang Sesuai dengan Kebutuhan Kelompok Beresiko


Setelah kejadian bencana , adalah penting sesegera mungkin untuk menciptakan
lingkungan yang kondusif yang memungkinkan kelompok berisiko untuk berfungsi
secara mandiri sebagaimana sebelum kejadian bencana, diantaranya (Enarson, 2000;
Federal Emergency Management Agency (FEMA), 2010; Indriyani, 2014; Klynman et
al., 2007; Powers & Daily, 2010; Veenema, 2007) :
a. Menciptakan kondisi/ lingkungan yang memungkinkan ibu menyusui untuk terus
memberikan ASI kepada anaknya dengan cara memberikan dukungan moril,
menyediakan konsultasi laktasi dan pencegahan depresi.
b. Membantu anak kembali melakukan aktivitas-aktivitas regular sebagaimana
sebelum kejadian bencana seperti : penjagaan kebersihan diri, belajar/ sekolah,
dan bermain.
c. Melibatkan lansia dalam aktivitas-aktivitas social dan program lintas generasi
misalnya dengan remaja dan anak-anak untuk mengurangi resiko isolasi social
dan depresi.
d. Menyediakan informasi dan lingkungan yang kondusif untuk individu dengan
keterbatasan fisik, misalnya area evakuasi yang dapat diakses oleh mereka.
e. Adanya fasilitas-fasilitas perawatan untuk korban bencana dengan penyakit
kronis dan infeksi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kelompok rentan adalah semua orang yang menghadapi hambatan atau
keterbatasan dalam menikmati standar kehidupan yang layak bagi kemanusiaan dan
berlaku umum bagi suatu masyarakat yang berperadaban. Jadi kelompok rentan dapat
didefinisikan sebagai kelompok yang harus mendapatkan perlindungan dari
pemerintah karena kondisi sosial yang sedang mereka hadapi. Kelompok masyarakat
yang rentan adalah orang lanjut usia, anak-anak, perempuan, dan penyandang cacat.
Untuk mengurangi dampak bencana pada individu dari kelompok-kelompok rentan
diatas, petugas-petugas yang terlibat dalam perencanaan dan penanganan bencana
perlu Mempersiapkan peralatan-peralatan kesehatan sesuai dengan kebutuhan
kelompok-keompok rentan tersebut, contohnya ventilisator untuk anak, alat bantu
untuk individu yang cacat, alat-alat bantuan persalinan, dll, melakukan pemetaan
kelompok-kelompok rentan, merencanakan intervensi-intervensi untuk mengatasi
hambatan informasi dan komunikasi, menyediakan transportasi dan rumah
penampungan yang dapat diakses, menyediakan pusat bencana yang dapat diakses.

3.1 Saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyarankan kepada para pembaca agar
memahami secara mendalam materi yang telah dipaparkan dalam makalah ini, karena
dalam kehidupan sehari-hari hal tersebut sangat bermanfaat untuk meningkatkan taraf
hidup kelompok rentan.
DAFTAR PUSTAKA

Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar I: Keperawatan


Bencana pada Ibu dan Bayi. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber
Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar II: Keperawatan
Bencana pada Anak. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya
Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar IV: Keperawatan
Bencana pada Penyakit Kronik. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Farida, Ida. 2013. Manajemen Penanggulangan Bencana Kegiatan Belajar V: Keperawatan
Bencana pada Penyandang Cacat. Jakarta: Badan Pengembangan dan Pemberdayaan
Sumber Daya Manusia, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Kesehatan.
Indriyani, S. 2014. Bias Gender dalam Penanganan Bencana. Diakses di http:
Iskandar Husein, Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (Wanita, Anak, Minoritas, Suku
Terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Makalah Disajikan dalam Seminar
Pembangunan Hukum Nasional ke VIII Tahun 2003, Denpasar, Bali, 14 - 18 Juli 2003
Kamus Besar Bahasa lndonesia, edisi ketiga, 2001, hlm. 948.
Klynman, Y., Kouppari, N., & Mukhier, M., (Eds.). 2007. World Disaster Report 2007:
Focus on Discrimination. Geneva, Switzerland: International Federation of Red Cross
and Red Crescent Societies.
Morrow, B. H. (1999). Identifying and mapping community vulnerability. Disasters, 23(1),
1-18.

Powers, R., & Daily, E., (Eds.). 2010. International Disaster Nursing. Cambridge, UK: The
World Association for Disaster and Emergency Medicine & Cambridge University
Press.
Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, hal.
21.
Veenema, T.G. 2007. Disaster Nursing and Emergency Preparedness for Chemical,
Biological, and Radiological Terorism and Other Hazards (2nd ed.). New York, NY:
Springer Publishing Company, LLC

Anda mungkin juga menyukai