TINJAUAN PUSTAKA
3
merupakan yang paling banyak dari kelenjar endokrin yang lain, aliran darah
kedalam tiroid per gram jaringan sekitar 5ml/menit/gram tiroid, kira-kira 50x
lebih banyak dibanding aliran darah dibagian tubuh lainnya.4
Pada bagian anterior kelenjar tiroid menempel musculus sternothyroideus
dan musculus sternohyoideus.Otot-otot ini diinervasi oleh cabang akhir nervus
kranialis hipoglossus desendens. Pada bagian superfisial kelenjar tiroid ditutupi
oleh fasia kolli profunda dan superfisial yang membungkus musculus
sternokleidomastoideus dan vena jugularis eksterna. Bagian lateral tiroid
berbatasan dengan arteri karotis komunis, vena jugularis interna, trunkus
simpatikus, dan arteri tiroidea inferior. Bagian posterior dari sisi medialnya
terdapat kelenjar paratiroid, nervus rekuren laringeus dan esofagus.4
4
sekresi dari kelenjar tiroid ke sirkulasi, yang dikenal sebagai negative feedback.
Mekanisme feedback terhadap hipotalamus dan hipofisis dilakukan oleh T3 dan
T4. Sel-sel follikular kelenjar tiroid mensintesis tiroksin dan tiroglobulin, dimana
tiroksin berikatan dengan tiroglobulin. Tiroksin yang terkandung dalam
tiroglobulin disekresikan ke koloid. Iodine dari darah masuk ke dalam sel folikel
dengan bantuan iodine pump menuju ke koloid dan akan berikatan dengan tiroksin
yang terkandung dalam tiroglobulin. Iodine yang terikat pada MIT dan DIT
dipergunakan kembali dan T3 dan T4 kemudian dilepaskan ke dalam darah. TSH
berperan untuk mempertahankan meningkatkan sekresi hormon tiroid dari
kelenjar tiroid. Meningkatnya sekresi TRH atau TSH akan meningkatkan kerja
saraf simpatis.4
2.3 Epidemiologi
Penyakit hipertiroid dapat terjadi pada semua umur, dan sering ditemukan
pada perempuan dibandingkan laki-laki.2 Berdasarkan riset yang dilakukan oleh
riskesdas pada tahun 2007 kecurigaan adanya penyakit hipertiroid pada laki-laki
5
sebesar 12,8% dan perempuan sebesar 14,7%. Pada tahun 2013 Riskesdas
mencatat bahwa terdapat 0,4% penduduk indonesia dengan usia di atas 15 tahun
yang didiagnosa hipertiroid. Jawa Timur merupakan salah satu dari tiga propinsi
di Indonesia dengan kasus Hipertiroid terbanyak yaitu sebesar 0,6% setelah DI
Yogyakarta (0,7%) dan DKI Jakarta (0,7%).1
2.4 Patofisiologi
Patogenesis penyakit hipertiroid sampai sejauh ini belum diketahui secara
pasti. Diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam mekanisme
tersebut. Penyakit Graves’ dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, sebab
ditemukannya antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone
– Receptor Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar yang bervariasi. Pada penyakit
Graves’, limfosit T mengalami perangsangan terhadap antigen yang berada
didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan merangsang limfosit B untuk
mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut. Antibodi yang disintesis akan
bereaksi dengan reseptor TSH didalam membran sel tiroid sehingga akan
merangsang pertumbuhan dan fungsi sel tiroid, yang dikenal dengan TSH-R
antibodi.2 TSHR-Ab selain menyebabkan hipersekresi hormone tiroid namun juga
dapat menyebabkan hipertropi dan hyperplasia folikel-folikel kelenjar tiroid
sehingga mengakibatkan pembesaran kelenjar tiroid.3
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik
Pada penyakit Graves’ terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri tiroidal
berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme akibat sekresi
hormon tiroid yang berlebihan. Gejala-gejala hipertiroidisme berupa manifestasi
hipermetabolisme dan aktifitas simpatis yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah,
gemetar, tidak tahan panas, keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab,
berat badan menurun walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare
dan kelemahan serta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati dan
infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah. Oftalmopati yang
6
ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai dengan mata melotot, fissura
palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag (keterlambatan kelopak mata dalam
mengikuti gerakan mata) dan kegagalan konvergensi. Gambaran klinik klasik dari
penyakit Graves’ antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter difus dan
eksoftalmus. Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum ditemukan antara lain palpitasi, nervous, mudah capek, hiperkinesia, diare,
berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang cuaca dingin. Pada wanita
muda gejala utama penyakit Graves’ dapat berupa amenore atau infertilitas. Pada
anak anak, terjadi peningkatan pertumbuhan dan percepatan proses pematangan
tulang. Sedangkan pada penderita usia tua ( > 60 tahun ), manifestasi klinis yang
lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan miopati, ditandai
dengan adanya palpitasi, dyspnea d’effort, tremor, nervous dan penurunan berat
badan.2
Hasil anamnesis pada pasien dengan tirotoksikosis memiliki gejala antara
lain; berdebar-debar, tremor, intoleran terhadap panas, keringat berlebihan,
penurunan berat badan, peningkatan rasa lapar (nafsu makan bertambah), diare,
gangguan reproduksi (oligomenore/amenore dan libido turun), mudah lelah,
pembesaran kelenjar tiroid, sukar tidur, rambut rontok, dengan faktor risiko
memiliki penyakit Graves (autoimun hipertiroidisme) atau struma multinodular
toksik. Sedangkan hasil Pemeriksaan Fisik didapatkan antara lain; benjolan di
leher depan, Takikardia, Demam, Exopthalmus, serta Tremor. Pemeriksaan fisik
yang spesifik untuk penyakit Grave diidapatkan : Oftalmopati (spasme kelopak
mata atas dengan retraksi dan gerakan kelopak mata yang lamban, eksoftalmus
dengan proptosis, pembengkakan supraorbital dan infraorbital), Edema pretibial,
Kemosis, Ulkus kornea, Dermopati, Akropaki, dan Bruit.8
7
penyakit Graves’ dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme
umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar iroid.
Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti L-tiroksin (T4) dan tri
odotironin (T3) berada dalam keseimbangan dengan thyrotropin stimulating
hormon (TSH). Artinya, bila T3 dan T4 rendah, maka produksi TSH akan
meningkat dan sebaliknya ketika kadar hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH
akan menurun. Pada penyakit Graves’, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon tiroid
secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi. Kadar hormon
tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar hipofisis, sehingga kadar
TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang tidak terdeteksi. Pemeriksaan
TSH generasi kedua merupakan pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap
hipertiroidisme, oleh karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat
mendeteksi kadar TSH sampai angka mendekati 0,05mIU/L. Untuk konfirmasi
diagnostik, dapat diperiksa kadar T4 bebas (free T4/FT4).2
2.6 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaannya terutama ditujukan untuk mengontrol keadaan
hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal ada tiga jenis pengobatan terhadap
hipertiroidisme akibat penyakit Graves’, yaitu: Obat anti tiroid, pembedahan dan
terapi yodium radioaktif. Pilihan pengobatan tergantung pada beberapa hal antara
lain berat ringannya tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat
antitiroid dan respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang
menyertainya.
Terdapat 2 kelas obat anti tiroid golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan imidazol
dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat golongan tionamid lain
yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya sama dengan metimazol. Obat
golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid. Mekanisme aksi
intratiroid yang utama ialah mencegah dan mengurangi biosintesis hormon tiroid
T3 dan T4, dengan cara menghambat oksidasi dan organifikasi iodium,
menghambat coupling iodotirosin, mengubah struktur molekul tiroglobulin dan
8
menghambat sintesis tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang
utama ialah menghambat konversi T4 menjadi T3 di jaringan perifer. Atas dasar
kemampuan menghambat konversi T4 ke T3 ini, PTU lebih dipilih dalam
pengobatan krisis tiroid yang memerlukan penurunan segera hormon tiroid di
perifer. Sedangkan kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis
hormon lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.2 Obat-obat anti tiroid diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obat-obat antitiroid
biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi keadaan eutiroid secara
klinis, diberikan dosis pemeliharaan. 2
Propiltiourasil mempunyai kelebihan dibandingkan methimazole karena
dapat menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga efektif dalam penurunan
kadar hormon secara cepat pada fase akut dari penyakit Graves’. Methimazole
mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat diberikan dosis tunggal sekali
sehari. Terapi dimulai dengan dosis methimazole 40 mg setiap pagi selama 1-2
bulan, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 5-20 mg perhari. Besarnya dosis
tergantung pada beratnya tampilan klinis, tetapi umumnya dosis PTU dimulai
dengan 3 x 100-200 mg/hari dan metimazol/tiamazol dimulai dengan 20-40
mg/hari dosis terbagi untuk 3-6 minggu pertama. Setelah periode ini dosis dapat
diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan biokimia. Apabila respons
pengobatan baik, dosis dapat diturunkan sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari
dan metimazol/ tiamazol 5-10 mg/hari yang masih dapat mempertahankan
keadaan klinis eutiroid dan kadar T4 bebas dalam batas normal. Bila dengan dosis
awal belum memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di
naikkan bertahap sampai dosis maksimal. Agranulositosis merupakan efek
samping yang berat sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid
dan dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif.
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan, dimana untuk
mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika. Efek samping lain yang jarang
terjadi namun perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus
Kholestatik, Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
9
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum memulai terapi
perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk leukosit darah dan tes fungsi hati,
dan diulang kembali pada bulan-bulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek
samping, penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan yang lain
atau operasi. Bila timbul efek samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat
dicoba diganti dengan obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau
sebaliknya.2
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat penyakit
Graves’ adalah penyakitautoimun yang tidak bisa dipastikan kapan akan terjadi
remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan sekali/bulan untuk menilai
perkembangan klinis dan biokimia guna menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis
dinaikkan dan diturunkan sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat
mencapai keadaan eutiroid.19 Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis
terkecil yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi.2
2.7 Prognosis
Penyakit grave’s dan hipertiroid dapat sembuh secara spontan terutama jika
sifatnya ringan. Jika penyakit ini terjadi saat kehamilan, sekitar 30% kemungkinan
dapat terjadi remisi pada trimester ketiga. Apabila terjadi komplikasi eksoftalmus
dapat menjadikan penyakit ini memburuk jika tidak di terapi dengan adekuat.
Terapi yang adekuat dan follow up jangka panjang dapat memberikan prognosis
yang baik. Hipotiroid dapat terjadi paska pemberian terapi selama beberapa bulan
hingga beberapa tahun.3
10