Anda di halaman 1dari 23

BAB III

TATA LAKSANA
Penatalaksanaan nyeri memberi petunjuk penanganan nyeri secara tepat dan benar dengan cara
sebagai berikut:
1. Persiapan Pasien, Keluarga Dan Petugas Kesehatan
a. Persiapan Pasien:
1. Pasien dapat berkomunikasi sehingga dapat memberikan informasi tentang
nyeri yang dideritanya kepada dokter dan perawat.
2. Pasien dapat menerima penjelasan dari dokter dan perawat tentang nyeri yang
dideritanya
3. Pasien dapat menerima penjelasan dari dokter tentang program dan jenis
pengobatan nyeri, tujuan pengobatan dan efek samping yang mungkin timbul
serta cara mengatasinya.
4. Membuat surat persetujuan pengobatan nyeri terutama pada kanker, atau
tindakan invasif lainya.

b. Persiapan Keluarga
1. Keluarga pasien dapat berkomunikasi sehingga dapat memberikan informasi
tentang nyeri yang diderita pasien terutama bila pasien tidak dapat
berkomunikasi atau tidak sadar.
2. Dapat menerima penjelasan dari dokter tentang program dan jenis pengobatan
nyeri kanker, tujuan pengobatan dan efek samping yang mungkin timbul dan
cara pengatasannya.
3. Membuat surat persetujuan pengobatan nyeri untuk pasien anak-anak dan
pasien dewasa yang tidak sadar.

c. Persiapan Petugas Kesehatan:


1. Memahami tentang nyeri dan mampu melaksanakan pemeriksaan, asesmen dan
pengobatannya.
2. Mendengarkan dan mempercayai setiap keluhan penderita.
3. Meluangkan waktu untuk dapat memberikan keterangan secara jelas dan
bijaksana tentang dan pengobatannya kepada penderita dan keluarga.
4. Mampu mencegah dan menanggulangi kemungkinan timbulnya efek samping
obat.

4
2. Asesmen Nyeri
a. Anamnesis
1. Riwayat penyakit sekarang :
a. Onset nyeri: akut atau kronik, traumatik atau non-traumatik.
b. Karakter dan derajat keparahan nyeri: nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia.
c. Pola penjalaran / penyebaran nyeri
d. Durasi dan lokasi nyeri
e. Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual/muntah, atau gangguan keseimbangan / kontrol motorik.
f. Faktor yang memperberat dan memperingan.
g. Kronisitas.
h. Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk respons
terapi.
i. Gangguan / kehilangan fungsi akibat nyeri / luka.
j. Penggunaan alat bantu.
k. Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur, dan aktivitas hidup dasar
(activity of daily living).
l. Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan Sindrom Cauda Equina.

b. Riwayat pembedahan / penyakit dahulu

c. Riwayat psiko-sosial
1. Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika.
2. Identifikasi pengasuh/perawat utama (primer) pasien.
3. Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri.
4. Pembatasan/restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangkan juga aktivitas penggantinya.
5. Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
6. program penanganan/manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/psikofarmaka.
7. Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/keluarga.

d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar; merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.

e. Obat-obatan dan alergi

1. Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu studi
menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen / herbal, dan
36% mengkonsumsi vitamin).
2. Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan
efek samping.
3. Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan
dengan efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat keluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik.

g. Asesmen sistem organ yang komprehensif


1. Evaluasi gejala kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi,
reumatologi, genitourinaria, endokrin, dan muskuloskeletal.
2. Gejala konstitusional: penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat
malam, dan sebagainya

3. Asesmen Derajat Nyeri


Perawat atau dokter melakukan Asesmen Awal Nyeri terhadap semua pasien yang
datang ke bagian IGD, poliklinik, ataupun pasien rawat inap.
A. Penilaian secara subyektif antara lain:
1. Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
a. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 14 tahun
yang kooperatif dengan menggunakan angka untuk melambangkan

5
intensitas nyeri yang dirasakannya.
b. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan
dan dilambangkan dengan angka antara 0 – 10.
1. 0 = tidak nyeri
2. 1 – 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
3. 4 – 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitassehari-hari)
4. 7 – 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari)

Numeric Rating Scale

2. Pada pasien yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya


dengan angka ataupun pasien yang tidak kooperatif, gunakan asesmen
Wong Baker FACES Pain Scale (gambar wajah tersenyum –
cemberut – menangis).
Instruksi: pemeriksa mengamati wajah pasien dan mencocokannya
dengan gambar yang ada pada Wong Baker Faces Pain Scale.
1. 0 - 1 = sangat bahagia karena tidak merasa nyeri sama sekali
2. 2 – 3 = sedikit nyeri
3. 4 – 5 = cukup nyeri
4. 6 – 7 = lumayan nyeri
5. 8 – 9 = sangat nyeri
6. 10 = amat sangat nyeri (tak tertahankan)

Wong Baker FACES Pain Scale

6
B. Penilaian Nyeri Secara Objektif Antara Lain:

1. FLACC Behavioural Pain Assessment Scale


FLACC adalah pengukuran yang digunakan untuk menilai rasa sakit
untuk anak - anak antara usia 2 bulan dan 7 tahun atau individu yang tidak
dapat mengomunikasikan rasa sakit mereka.
Skala nyeri ini terdiri dari 10 point dan didasarkan pada respon perilaku pasien,
dan direkomendasikan untuk digunakan pada pasien dewasa yang tidak
kooperative terhadap penilaian keperawatan. Skala FLACC juga terbukti
akurat untuk digunakan dengan orang dewasa di Unit Perawatan Intensif
(ICU) yang tidak dapat berbicara karena intubasi . Skala FLACC menawarkan
evaluasi nyeri yang sama dengan skala Checklist of Nonverbal Pain Indicators
(CNPI) yang digunakan di ICU.
Intruksi: pada pasien yang sadar baik lakukan observasi dan penilaian selama 5
menit pada kaki atau bagian tubuh yg tidak tertutup, pada pasien yang tidur
observasi nilai kaki dan bagian tubuh yang tidak tertutup jika memungkinkan
posisikan pasien dan sentuh tubuhnya.

Gambar: FLACC behavioural pain assessment scale


SKOR
KRITERIA
0 1 2 NILAI
tidak ada ekspresi sesekali meringis dagu gemetaran
Face (Wajah)
tertentu atau senyum atau mengerutkan secara berkala
kening, menarik diri, atau konstan,
tidak tertarik rahang
mengepal
posisi normal atau gelisah, khawatir, Menendang atau
Legs (Kaki)
santai tegang menarik hati
berbaring tenang, menggeliat, mondar- melengkung,
Activity
posisi normal, mandir, tegang kaku atau
(Aktivitas)
menyentak
bergerak dengan
mudah

7
tidak ada teriakan mengerang atau menangis secara
Cry (Tangis)
(terjaga atau tertidur) merintih, sesekali terus menerus,
mengeluh menjerit atau
isak tangis,
sering
mengeluh
Puas senang, santai sesekali diyakinkan Sulit untuk
Consolability
dihibur atau
(Bersuara) dengan sentuhan,
merasa nyaman
pelukan atau diajak
berbicara, dialihkan

Total Skor
nilai 0 = tdk nyeri nilai 1-3 = nyeri ringan

nilai 4-6 = nyeri sedang nilai 7-10 = nyeri berat sekali

2 Neonatal-Infant Pain Scale ( NIPS )

NO PARAMETER SKOR

1. Ekspresi wajah :
 Wajah tenang, ekspresi netral 0
Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan rahang tegang (ekspresi wajah 1
negative- hidung, mulut dan alis)

2. Menangis
 Tenang, tidak menangis 0
 Merengek ringan, kadang-kadang 1
 Berteriak kencang, menarik, melengking, terus-terusan (catatan : menangis
lirih mungkin dinilai jika bayi diintubasi yang dibuktikan melalui gerakan 2
mulut dan wajah yang jelas.
3. Pola pernafasan
 Pola pernafasan bayi normal 0
 Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak, nafas tertahan 1
4. Lengan
 Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan acak sekali-sekali 0
 Tegang, lengan lurus, kaku dan atau ekstensi, cepat ekstensi, fleksi 1

8
5. Kaki
 Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak sekali-sekali 0
 Tegang, kaki lurus, kaku dan atau ekstensi, cepat ekstensi, fleksi 1
6. Kesadaran
 Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak yang terjaga 0
 Terjaga, gelisah dan meronta-ronta 1

TOTAL SKOR

Nama dan paraf yg melakukan penilaian


Keterangan : Intervensi :
Skala nyeri : 1. Tidak ada
1. 0-2 : Nyeri ringan- tidak 2. Intervensi tanpa obat, dievaluasi selama 30
nyeri menit
2. 3-4 : Nyeri sedang- nyeri 3. Intervensi tanpa obat, bila masih nyeri bisa
ringan diberikan analgesic dan dievaluasi selama
3. > 4 : Nyeri hebat 30 menit.

3. Critical Care Pain Observation Tool (CPOT) Penilaian nyeri untuk pasien
tidak sadar
Indikator Kondisi Score Keterangan
Ekspresi wajah Rileks 0 Tidak ada ketegangan otot

Kaku 1 Mengerutkan kening,

mengangkat alis
meringis 2 Menggigit selang ETT
Gerakan tubuh Tidak ada gerakan 0 Tidak bergerak (tidak kesakitan)
abnormal atau posisi normal (tidak ada
gerakan lokalisasi nyeri)
Lokalisasi nyeri 1 Gerakan hati hati, menyentuh
lokasi nyeri, mencari perhatian
melalui gerakan

9
gelisah 2 Mencabut ETT, mencoba untuk
duduk, tidak mengikuti perintah,
mengamuk, mencoba
keluar dari tempat tidur
Aktivasi alarm Pasien kooperatif 0 Alarm tidak berbunyi
ventilator mekanik Terhadap kerja
ventilator mekanik
Alarm aktif tapi 1 Batuk, alarm berbunyi
mati sendiri tetapi berhenti secara
spontan
Alarm selalu aktif 2 Alarm sering berbunyi
Berbicara bila Berbicara dalam nada 0 Bicara dengan nada pelan
pasien di ekstubasi normal atau tidak ada
suara
Mendesah, mengeran 1 Mendesah, mengeran
Menangis 2 Menangis, berteriak
Ketegangan otot Tidak ada ketegangan 0 Tidak ada ketegangan otot
otot
Tegang kaku 1 Gerakan otot pasif
Sangat tegang atau 2 Gerakan sangat kuat
kaku
Catatan:
Arti Skor Critical Care Pain Observation Tool (CPOT):

a. Skor 0 : tidak nyeri

b. Skor 1 – 2 : nyeri ringan

c. Skor 3 – 4 : nyeri sedang

d. Skor 5 – 6 : nyeri

e. berat Skor 7– 8 : nyeri sangat berat.

4. Rangkuman alat ukur yang digunakan untuk mengukur nyeri

Poin yang Alat Ukur Skala Keterangan


dinilai

10
Intensitias 0-10 Pasien dewasa atau anak – anak
NRS
nyeri umur > 9 tahun yang dapat
(subyektif) menggunakan angka
Intensitas nyeri 0-10 tidak bisa dengan angka Pasien
Wong Baker
(obyektif) dewasa dan anak > 3 tahun
0-10 Usia < 3 tahun Geriatri,Pasien
FLACC
dengan perubahan kesadaran.
NIPS 0-7 Usia 0 S/D 28 HARI
CPOT 0-8 Pasien tidak sadar
a. Pada pasien dalam pengaruh obat anestesi atau dalam kondisi sedasi sedang,
asesmen dan penanganan nyeri dilakukan saat pasien menunjukkan respon
berupa ekspresi tubuh atau verbal akan rasa nyeri.
b. Asesmen ulang nyeri: dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa
jam dan menunjukkan adanya rasa nyeri, sebagai berikut :
a. Lakukan asesmen nyeri yang komprensif setiap kali melakukan
pemeriksaan fisik pada pasien
b. Dilakukan pada: pasien yang mengeluh nyeri, 1 jam setelah tatalaksana
nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/ bangun), pasien yang
menjalani prosedur menyakitkan, sebelum transfer pasien, dan sebelum
pasien pulang dari rumah sakit.
c. Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen
ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obat intravena
d. Pada nyeri akut / kronik, lakukan asesmen ulang tiap 30 menit – 1 jam
setelah pemberian obat nyeri.
f. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan umum :
a. Tanda vital: tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu tubuh.

b. Ukurlah berat badan dan tinggi badan pasien.

c. Periksa apakah terdapat lesi / luka di kulit seperti jaringan parut akibat operasi,
hiperpigmentasi, ulserasi, tanda bekas jarum suntik.

d. Perhatikan juga adanya ketidaksegarisan tulang (malalignment), atrofi otot,


fasikulasi, diskolorasi, dan edema.

11
2. Status mental
a. Nilai orientasi pasien

b. Nilai kemampuan mengingat jangka panjang, pendek, dan segera.

c. Nilai kemampuan kognitif

d. Nilai kondisi emosional pasien, termasuk gejala-gejala depresi, tidak


ada harapan, atau cemas.
3. Pemeriksaan sendi
a. Selalu periksa kedua sisi untuk menilai kesimetrisan

b. Nilai dan catat pergerakan aktif semua sendi, perhatikan adanya


keterbatasan gerak, diskinesis, raut wajah meringis, atau asimetris.
c. Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlihat abnormal /
dikeluhkan oleh pasien (saat menilai pergerakan aktif). Perhatikan
adanya limitasi gerak, raut wajah meringis, atau asimetris.
d. Palpasi setiap sendi untuk menilai adanya nyeri
e. Pemeriksaan stabilitas sendi untuk mengidentifikasi adanya cedera ligamen.
4. Pemeriksaan motorik

a. Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan menggunakan kriteria


di bawah ini.
Derajat DEFINISI
5 Tidak terdapat keterbatasan gerak, mampu melawan
tahanan kuat
4 Mampu melawan tahanan ringan
3 Mampu bergerak melawan gravitasi
2 Mampu bergerak / bergeser ke kiri dan kanan tetapi
tidak mampu melawan gravitasi
1 Terdapat kontraksi otot (inspeksi / palpasi), tidak
menghasilkan pergerakan
0 Tidak terdapat kontraksi otot

5. Pemeriksaan sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum-pin prick), getaran,
dan suhu

12
6. Pemeriksaan neurologis lainnya

a. Evaluasi nervus kranial I – XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri


wajah atau servikal dan sakit kepala.

b. Periksa refleks otot, nilai adanya asimetris metris dan klonus. Untuk
mencetus klonus
Refleks Segmen spinal
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1

c. Nilai adanya refleks Babinski dan Hoffman (hasil positif menunjukkan


lesi upper motor neuron).

d. Nilai gaya berjalan pasien dan identifikasi defisit serebelum dengan


melakukan tes dismetrik (tes pergerakan jari-ke-hidung, pergerakan
tumit-ke-tibia), tes disdiadokokinesia, dan tes keseimbangan (Romberg
dan Romberg modifikasi).
7. Pemeriksaan khusus
a. Terdapat 5 tanda non-organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi tidak
ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien dengan 5 tanda ini
ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria, dan depresi.
b. Kelima tanda ini adalah:
1. Distribusi nyeri superfisial atau non-anatomik.
2. Gangguan sensorik atau motorik non-anatomik
3. Verbaliasi berlebihan akan nyeri (over-reactive)
4. Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes / pemeriksaan nyeri.
5. Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat gerakan yang
sama dilakukan pada posisi yang berbeda (distraksi).
8. Pemeriksaan Elektromiografi (EMG)
a. Membantu mencari penyebab nyeri akut / kronik pasien
b. Mengidentifikasi area persarafan / cedera otot fokal atau difus yang terkena

13
c. Mengidentifikasi atau menyingkirkan kemungkinan yang berhubungan dengan
rehabilitasi, injeksi, pembedahan, atau terapi obat.
d. Membantu menegakkan diagnosis
e. Pemeriksaan serial membantu pemantauan pemulihan pasien dan respons terhadap
terapi.
f. Indikasi: kecurigaan saraf terjepit, mono- / poli-neuropati, radikulopati.
9. Pemeriksaan sensorik kuantitatif
a. Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran
b. Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan
c. Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas)
d. Pemeriksaan sensasi persepsi
10. Pemeriksaan radiologi
a. Indikasi:
1. pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang belakang
2. pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang belakang,
penyakit inflamatorik, dan penyakit vascular.
3. Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau ereksi.
4. Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang
5. Gejala nyeri yang menetap ˃ 4 minggu.
b. Pemilihan pemeriksaan radiologi : bergantung pada lokasi dan karakteristik nyeri
1. Foto polos : untuk skrining inisialpada tulang belakang (fraktur, ketidak
segarisan vertebra, spondilolistesis, spondilolisis, neoplasma)
2. MRI: gold standard dalam mengevaluasi tulang belakang (herniasi diskus,
stenosis spinal, osteomyelitis, infeksi ruang diskus, keganasan, kompresi
tulang belakang, infeksi)
3. CT-scan: evaluasi trauma tulang belakang, herniasi diskus, stenosis spinal.
4. Radionuklida bone-scan: sangat bagus dalam mendeteksi perubahan
metabolisme tulang (mendeteksi osteomyelitis dini, fraktur kompresi yang
kecil/minimal, keganasan primer, metastasis tulang)
11. TATA LAKSANA NYERI SESUAI DENGAN MEKANISMENYA
a. Fakmakologi menggunakan WHO Step Ladder
1. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) efektif untuk nyeri ringan-sedang,
opioid efektif untuk nyeri sedang-berat.

14
2. Mulai dengan pemberian OAINS / opioid lemah dengan pemberian intermitten
opioid kuat bila diperlukan yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien.
3. Jika poin nomor 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang-berat, dapat
diganti dengan opioid kuat dan analgesik lain bila diperlukan dalam kurun
waktu 24 jam setelah poin nomor 1.
4. Penggunaan opioid harus dititrasi. opioid standar yang sering digunakan adalah
morfin, kodein.
5. Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid
ringan.
6. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewati, lakukan pengurangan dosis secara
bertahap
a) Intravena : Ketamin, OAINS (ketorolac), opioid (tramadol, fentanyl,
petidin), anestesi local (pehacain, lidocaine, bupivacaine);, agen sedasi
(propofol, midazolam), paracetamol
b) Oral : Antikonvulsan (fenitoin, asam valproate, diazepam, clobazam);
OAINS (asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, meloxicam, diclofenac);
kortikosteroid (dexamethasone, methylprednisolone); paracetamol
c) Rektal : ketoprofen
b. Farmakologi sesuai dengan jenis nyeri
1. Nyeri neuropatik
a) Antikonvulsan (fenitoin, asam valproate, diazepam, clobazam)
b) OAINS (asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, meloxicam, diclofenac)
c) Kortikosteroid (dexamethasone, methylprednisolone)
d) Opioid (tramadol, fentanyl, petidin)
2. Nyeri otot
a) OAINS (asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, meloxicam, diclofenac)
3. Nyeri inflamasi
a) OAINS (asam mefenamat, ibuprofen, ketoprofen, meloxicam,
diclofenac)
b) Kortikosteroid (dexamethasone, methylprednisolone)
4. Nyeri mekanis
Opioid dapat digunakan untuk mengatasi nyeri saat terapi lain diaplikasikan
c. Farmakologi untuk nyeri pada pediatric

15
1. “by the ladder” : pemberian analgesic secara bertahap sesuai dengan level nyeri
anak (ringan, sedang, berat)
a. Awalnya berikan analgesic ringan-sedang (level 1)
b. Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesic level 1, naiklah ke level 2
(pemberian analgesic yang lebih poten).
c. Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol tetap
diaplikasikan sebagai analgesic adjuvant.
d. Analgesik adjuvant
1) Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi
dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
2) Pada anak dengan nyeri neuropati dapat diberikan analgesic adjuvant
sebagai level 1.
3) Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri
neuropati
2. “by the clock” : mengacu pada waktu pemberian analgesic.
Pemberian haruslah teratur misalnya setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja
obat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh prn (jika perlu) kecuali
episode nyeri pasien benar-benar intermitten dan tidak dapat diprediksi.
3. “by the child” : mengacu pada pemberian analgesic yang sesuai dengan kondisi
masing-masing individu.
a. Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur
b. Sesuaikan dosis analgesic jika perlu
4. “by the mouth” : mengacu pada jalur pemberian oral
a. Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive, dan
efektif; biasanya per oral.
b. Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa
mereka mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan.
c. Untuk mendapatkan efek analgesic yang cepat dan langsung, pemberian
parenteral terkadang merupakan jalur yang palin efisien.
d. Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
e. Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuskuler karena nyeri dan
absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
f. Infus kontinyu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, IV, dan
subkutan intermitten yaitu : tidak nyeri, mencegah terjadinya

16
penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan control nyeri yang
kontinyu pada anak.
g. Indikasi : pasien nyeri di mana pemberian obat oral dan opioid parenteral
intermitten tidak memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat
(tidak dapat memberikan obat per oral).
5. Analgesic dan anestesi regional : epidural atau spinal
a. Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi
dengan terapi konservatif.
b. Harus dipantau dengan baik
c. Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan
peralatan resusitasi, dan pencatatan akurat mengenai tanda vital / skor nyeri.
6. Manajemen nyeri kronik : biasanya, memiliki penyebab multiple, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik.
a. Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh
b. Pemeriksaan penunjang yang sesuai
c. Evaluasi factor yang mempengaruhi
d. Program terapi : kombinasi terapi obat dan non obat
e. Lakukan pendekatan multidisiplin
7. Berikut adalah daftar obat non-opioid yang sering digunakan untuk anak
Obat Dosis Keterangan
Parasetamol 10-15 mg/kgBB oral setiap 4-6 Efek antiinflamasi kecil, efek
jam gastrointestinal dan hematologi
minimal
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB oral setiap 6-8 Efek antiiflamasi. Hati-hati pada
jam
pasien disfungsi renal.
Dosis maksimal 1 gram/hari
Diklofenak 1 mg/kgBB oral setiap 8-12 jam Efek antiinflamasi. Efek
samping sama dengan
ibuprofen. Dosis maksimal 50
mg/hari

8. Panduan penggunaan opioid pada anak

17
a. Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang, pilihlah
jalur oral.
b. Pada penggunaan infus kontinyu IV, sediakan obat opioid kerja singkat
dengan dosis 50-200% dari dosis infus per jam kontinyu bila perlu.
c. Jika diperlukan > 6 opioid kerja singkat prn dalam 24 jam, naikkan dosis
infus IV per jam kontinyu sejumlah; total dosis opioid prn yang diberikan
dalam 24 jam dibagi 24. Alternative lainnya adalah dengan menaikkan
kecepatan infus sebesar 50%.
d. Pilih opioid yang sesuai dosisnya.
e. Jika efek analgesic tidak adekuat dan tidak ada toksisita, tingkatkan dosis
sebesar 50%.
f. Saat tapering off atau penghentian obat : pada semua pasien yang
menerima opioid lebih dari satu minggu, harus dilakukan tapering off
(untuk menghindari withdrawl). Kurangi dosis 50% selama 2 hari, lalu
kurangi dosis 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan dosis morfin
oral (0.6 mg/kgBB/hari) opioid dapat dihentikan.

9. Manajemen efek samping


1. Opioid
a. Mual muntah : berikan antiemetik dan bila memungkinkan lakukan
pergantian dengan obat lain
b. Konstipasi : berikan stimulant buang air besar namun hindari pemberian
laksatif yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas
(kembung-kram perut) dan bila memungkinkan lakukan pergantian dengan
obat lain
c. Gatal : berikan antihistamin dan bila memungkinkan lakukan pergantian
dengan obat lain
d. Depresi pernafasan : berikan naloxone (mencampur 0,4 mg naloxone dengan
NaCl 0.9% sehingga totalvolume mencapai 10 mL). Berikan 0.02 mg (0.5
mL) bolus tiap menit hingga kecepatan pernafasan meningkat. Dapat diulang
jika pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.

2. OAINS

18
a. Gangguan gastrointestinal : diberikan obat dari golongan proton pump
inhibitor (PPI) seperti Lanzoprazole, Omeprazole dan pertimbangkan
pergantian analgesik jenis lain.
b. Perdarahan akibat disfungsi platelet : pertimbangkan pergantian OAINS
jenis lain yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
3. Kortikosteroid
a. Moon face : mengurangi dosis minum secara bertahap (titrasi dosis)
b. Peningkatan tekanan darah dan kadar gula darah : kontraindikasi untuk
pasien yang memiliki riwayat penyakit diabetes dan hipertensi
4. Antikonvulsan
a. Mengantuk : tidak dianjurkan untuk menjalankan kendaraan
b. Pusing
5. Anestesi local
a. Bupivacaine : penurunan tekanan darah, bradikardia dan retensi urine
b. Lidocaine : hypersensitive
Dilakukan pemantauan post anestesi
6. Agen sedasi
a. Midazolam : penurunan respiration rate, apnea
b. Propofol : kenaikan tekanan darah, pruritus, mual dan muntah
Dilakukan pemantauan post anestesi
7. Paracetamol
a. Gangguan hepar : pertimbangkan analgesic jenis lain. Jika tidak bias
dilakukan pergantian maka berikan sediaan paracetamol yang
dikombinasikan dengan asetilsistein.

12. NON-FARMAKOLOGI
Penatalaksanaan nyeri dengan tindakan nonfarmakologis dilakukan pada
nyeri dengan skala nyeri ringan. Saat ini marak dikembangkan terapi tambahan untuk
mengatasi nyeri, seperti:
a. Latihan nafas dalam.
Ritme dari bernapas sangat penting untuk mencapai relaksasi saat bersalin. Nyeri
persalinan, terutama saat fase laten, dapat menurun dengan teknik bernapas ini.
Teknik yang digunakan biasanya adalah dengan ritme yang lambat (6 – 12 napas /

19
menit) sampai sedang (30 – 60 napas / menit), tanpa melakukan
hiperventilasi. Ritme napas harus beradaptasi dengan intensitas kontraksi pasien.
Sebuah studi menunjukkan bahwa dibandingkan teknik lainnya, teknik bernapas
merupakan metode non-farmakologi yang paling banyak digunakan dalam
menurunkan rasa nyeri. Teknik ini juga dianggap pasien sangat bermanfaat dalam
menurunkan rasa nyeri saat persalinan, namun berdasarkan review sistematik
cochrane, bukti klinis yang ada masih insufisien dan penelitian lanjutan mengenai
korelasi dan kausalitas masih harus dilakukan.
a. Musik dan Audioganelsik
Stimulasi suara, seperti musik atau suara alam, dapat menjadi suatu distraksi bagi
pasien bersalin sehingga dapat menurunkan rasa nyeri. Selain itu, metode ini
juga dilaporkan mungkin dapat menurunkan rasa anxietas pada pasien. Metode ini
dapat dilakukan dengan pemilihan musik yang pasien pilih sebelum persalinan.
Studi terbaru menunjukkan bahwa musik dapat menurunkan rasa nyeri persalinan
pada fase laten, namun pada fase aktif tidak ditemukan adanya manfaat. Studi lebih
lanjut dibutuhkan untuk meneliti efikasi dari metode ini.
b. Kompres panas/dingin dengan buli – buli
Pemberian rasa dingin dan panas secara bergantian merupakan salah satu cara non-
farmakologi dalam menurunkan nyeri persalinan. Rasa dingin dapat menyebabkan
rasa baal, menstimulasi reseptor saraf perifer, dan melambatkan transmisi nyeri ke
sistem saraf pusat sehingga intensitas nyeri pada pasien dapat berkurang. Rasa
panas sendiri dapat melambatkan impuls saraf ke otak dengan menstimulasi
reseptor panas pada kulit dan jaringan yang lebih dalam. Aplikasi rasa dingin
biasanya diberikan pada lokasi punggung, abdomen bawah, paha, dan/atau
perineum. Sedangkan aplikasi rasa panas biasa diberikan pada daerah punggung
bawah ketika pasien merasa nyeri pada daerah punggung. Efikasi metode ini
ditemukan signifikan dalam menurunkan rasa nyeri pada beberapa studi. Selain itu,
aplikasi panas dan dingin juga ditemukan dapat memperpendek waktu persalinan.
Namun, perlu dicatat bahwa studi yang dilakukan masih memiliki jumlah sampel
yang kecil dan tanpa menggunakan enpoint yang objektif sehingga masih mungkin
terdapat bias. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan, juga untuk meneliti lama
dan metode terapi yang lebih spesifik.

20
c. Pergerakan dan Posisi Maternal
Salah satu kunci dalam manajemen nyeri persalinan adalah dengan membuat
pasien merasa nyaman. Pasien sering kali bergerak, berjalan, dan mengubah
posisinya untuk mencapai rasa nyaman saat bersalin. Selain itu, posisi tertentu juga
dapat memberikan keuntungan pada pasien bersalin, seperti mempercepat
persalinan dan membantu memperbaiki masalah kegawatdaruratan persalinan.
Posisi-posisi, seperti hand-to-knee dan squatting sudah dinilai dapat
mempengaruhi diameter pelvis sehingga dapat mempercepat persalinan. Namun
sering kali saat pasien bersalin sudah masuk rumah sakit, pasien akan sangat sulit
bergerak karena sudah dipasang oleh alat-alat monitor medis. Efikasi metode
pergerakan dan posisi maternal pada kala satu dan dua sudah diteliti pada beberapa
studi. Beberapa studi menunjukkan bahwa posisi duduk dan banyak pergerakan
saat persalinan kala I memiliki skor intensitas nyeri yang lebih rendah dibanding
posisi terlentang. Menurut studi lain, posisi terlentang memberikan intensitas nyeri
yang lebih tinggi pada pasien dibandingkan dengan posisi lainnya. Selain itu, studi
Cochrane juga mengatakan bahwa pasien bersalin yang sering tegak dan banyak
bergerak memiliki waktu persalinan yang lebih cepat dan lebih jarang menjalani
operasi sesar. Keuntungan juga ditemukan pada persalinan kala II, dimana bantuan
pada persalinan, tindakan epistiotomi, gangguan denyut jantung janin lebih jarang
ditemukan pada pasien dengan posisi persalinan tidak terlentang tanpa anestesi
epidural. Namun, pada pasien persalinan kala II yang menggunakan anestesi
epidural tidak ditemukan adanya perbedaan efek analgesia yang diberikan oleh
pergerakan dan perubahan posisi.
d. Masase dan Sentuhan
Terapi masase merupakan manipulasi dari jaringan lunak tubuh yang bertujuan
untuk menurunkan rasa nyeri dan memberi efek relaksasi. Mekanisme terapi
masase dalam menurunkan nyeri diduga dengan meningkatkan produksi endorfin
dalam tubuh. Melalui peningkatan endorfin, transmisi sinyal antara sel saraf
menjadi menurun sehingga dapat menurunkan ambang batas persepsi terhadap
nyeri.

13. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT (GERIATRI)


a. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang – orang yang berusia ≥ 65 tahun.

21
b. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga dua kali lipatnya
dibandingkan dewasa muda.
c. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, reumatika polimialgia, dan penyakit
degenerative.
d. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama / penyangga tubuh, punggung,
tungkai bawah, dan kaki.
e. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
1) Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatric.
2) Asesmen nyeri yang tidak adekuat
3) Keengganan dokter untuk meresepkan opioid
4) Asesmen nyeri pada geriatric yang valid, reliabel, dan dapat diaplikasikan
menggunakan Functional Pain Scale seperti di bawah ini:
Functional Pain Scale
Skala Keterangan

nyeri
0 Tidak nyeri
1 Dapat ditoleransi (aktivitas tidak terganggu)
2 Dapat ditoleransi (beberapa aktivitas edikit terganggu)
3 Tidak dapat ditoleransi (tetapi masih dapat menggunakan telepon,

menonton TV, atau membaca)


4 Tidak dapat ditoleransi (tidak dapat menggunakan telepon,

menonton TV, atau membaca)


5 Tidak dapat ditoleransi (dan tidak dapat berbicara karena nyeri)
Skor normal / yang diinginkan : 0-2

14. MANAJEMEN NYERI PADA PEDIATRIK

1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik,
trauma, sakit perut dan faktor psikologi
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respons yang berbeda
terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat.
3. Neonates lebih sensitif terhadap stimulus nyeri

22
4. Berikut adalah algoritma manajemen nyeri mendasar pada pediatrik:

a. Nilai Karakteristik nyeri


b. Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai
c. Mengevaluasi kemungkinan adanya keterlibatan mekanisme nonsiseptif dan neuropatik
d. Kajilah faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak.

a. Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saatini.


b. Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada.
c. Pikirkan faktor emosional, kognitif, dan perilaku

Obat : Non-obat
a. Analgesik a. Kognitif
b. Analgesik b. Fisik
adjuvant c. perilaku
c. anestesi

a. Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor


yang mempengaruhi nyeri kepada orang tua (dan anak).
b. Berikan rencana manajemen yang rasional dan
terintegrasi
c. Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
d. Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
e. Revisi rencana jika diperlukan

15. RELAKSASI :
Relaksasi otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merelaksasikan
keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik relaksasi mungkin perlu diajarkan
bebrapa kali agar mencapai hasil optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi
terhadap nyeri.

23
a. Latihan Relaksasi :
1. Ambil posisi senyaman mungkin, jangan silangkan tangan dan kaki anda.
2. Mulailah dengan konsentrasi untuk menarik nafas dalam.
3. Jika pikiran anda terpecah, kembalilah dengan konsentrasi pada nafas anda.
4. Jadikan diri anda menyadari dan merasakan irama nafas anda.
5. Rasakan setiap tarikan nafas anda melalui seluruh tubuh anda, memberikan
energi yang dapat membantu menyembuhkan diri anda.
6. Saat anda menghembuskan nafas, lepaskan ketegangan diri anda, lepaskan
semua keluhan anda.
7. Lemaskan seluruh serat otot anda mulai dari atas, kepala anda menjadi lemas
dan relaks, turunkan kebawah keleher anda, kedua tangan, dada, dan punggung
anda. Lanjutkan untuk melemaskan serat otot paha nada, betis dan kaki anda.
8. Hal ini akan menjadikan diri anda menjadi relaks lebih dalam, kenyamanan anda
mulai anda rasakan lebih baik.
9. Anda dapat mulai membayangkan hal yang dapat membuat anda lebih senang
dan nyaman, lanjutkan dengan lebih menikmati kondisi tersebut, resapi dan
hayati, dan nikmati lebih mendalam.
10. Kondisi relaks dan nyaman ini dapat anda rasakan dan anda dapatkan
kapanpun anda menginginkannya.

16. DISTRAKSI :
yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu selai pada nyeri, dapat
menjadi stategi yang sangat berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab pada teknik kognitif efektif lainnya ( Arntz dkk., 1991; Devine dkk.,
1990). Seseorang, yang kurang menyadari adanya nyeri atau memberikan sedikit
perhatian pada nyeri, akan sedikit terganggu oleh nyeri dan lebih toleransi terhadap
nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi sistem
control desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit stimuli nyeri yang ditransmisikan
ke otak.

24
Keefektifan distraksi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan
membangkitkan input sensori selain nyeri. Peredaan nyeri secara umum meningkat
dalam hubungan langsung engan parsitipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori
yang dipakai dan minat individu dalam stimuli. Karenanya, stimuli penglihatan,
pendengaran, dan sentuhan mungkin akan efektif dalam menurunkan nyeri disbanding
stimuli satu indera saja.

17. IMPLIKASI KEPERAWATAN


a) Perawat dituntut untuk mempunyai kapasitas yang memadai sebagai upaya untuk
memberikan asuhan keperawatan yang adekuat terhadap nyeri yang dirasakan oleh
pasien, untuk itu diperlukan suatu pendidikan khusus mengenai nyeri dan
penangannya dimana hal ini bisa dilakukan dalam masa pendidikan maupun dalam
bentuk pelatihan-pelatihan secara terpadu.
b) Mengingat kompleknya aspek nyeri, dan banyaknya keluhan ini ditemukan pada
pasien maka sudah saatnya perawat membentuk suatu tim keperawatan yang
khusus yang menangani nyeri baik di tatanan rawat jalan maupun rawat inap.
c) Perawat dituntut untuk mampu menjembatani kepentingan pasien terkait dengan
nyeri dan penanganannya sesuai dengan kebutuhan pasien.
d) Pengetahuan dan ketrampilan mengenai penanganan nyeri baik pendekatan non
farmakologis maupun farmakologis serta tindakan yang lainnya mutlak diperlukan
dan dikuasai oleh perawat.

25

Anda mungkin juga menyukai