BAB I
DEFINISI
DEFINISI
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP 1979),
nyeri adalah “suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang nyata atau
yang berpotensi untuk menimbulkan kerusakan jaringan”. Dari definisi
tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri bersifat subyektif dimana
individu mempelajari apa itu nyeri, melalui pengalaman yang langsung
berhubungan dengan luka (injuri), yang dimulai dari awal masa
kehidupannya.
Pada tahun 1999, The Veteran’s Health Administration mengeluarkan
kebijakan untuk memasukkan nyeri sebagai tanda vital kelima, jadi perawat
tidak hanya mengkaji suhu tubuh, nadi, tekanan darah, dan respirasi tetapi
juga harus mengkaji tentang nyeri.Sternbach (1968) mengatakan nyeri
sebagai “konsep yang abstrak” yang merujuk kepada sensasi pribadi tentang
sakit, suatu stimulus berbahaya yang menggambarkan akan terjadinya
kerusakan jaringan, suatu pola respon untuk melindungi organisme dari
bahaya.
1
BAB II
RUANG LINGKUP
2
BAB III
TATA LAKSANA
A. Identifikasi pasien dengan rasa nyeri pada pengkajian awal dan pengkajian
ulang
1. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri merupakan pngkajian yang dilakukan terhadap pasien
jika di dapatkan data subyektif dan/ data obyektif bahwa pasien mengalami
nyeri.
Pengkajian dan manajemen nyeri dlakukan untuk semua pasien rawat
jalan maupun rawat inap di RSUD Muntilan. Pengkajan ini dilakukan oleh dokter
dan perawat yang kompeten sesuai perizinan, undang-undang dan peraturan
yang berlaku.
2. Skrening awal
Merupakan proses yang dilakukan oleh perawat dan/atau dokter untuk menilai
adakah keluhan nyeri pada pasien. Skrening awal dilakukan pada semua pasien
yang datang ke Rumah Sakit
a. Pengkajian awal nyeri
Pengkajian yang dilakukan sejak awal pasien masuk rumah sakit
Tujuan dilakukan pengkajian awal adalah
1) Memahami pelayanan apa yang di cari pasien
2) Memilih jenis pelayanan yang terbaik bagi pasien
3) Menetapkan diagnosis awal
4) Memahami respon pasien terhadap pengobatan sebelumnya.
Pengkajian awal nyeri merupakan proses pengumpulan informasi
pasien tentang nyeri yang dirasakan pasien jika pada skrening awal
ditemukan adanya keluhan nyeri. Pengkajian awal nyeri akan menghasilkan
data tentang derajat nyeri, skala nyeri, tipe nyeri dan sifat nyeri. Isi dari
pengkajian awal nyeri mencakup hal-hal dibawah ini:
1) Onset (O)
Merupakan waktu kapan nyeri mulai dirasakan pasien.
2) Paliative/provocating (P)
Merupakan informasi tentang penyebab nyeri dan apa yang
menyebabkan nyeri semakin berat dirasakan pasien
3
3) Quality (Q)
Merupakan kualitas nyeri yang dirasakan pasien. Seperti apa
(bagaimana) nyeri dirasakan oleh pasien, apakah seperti tertusuk, panas,
terbakar, tertindih, dan sebagainya
4) Region (R)
Merupakan lokasi dimana nyeri dirasakan oleh pasien. Jika terasa
menyebar maka ke arah mana penyebaran rasa nyeri itu dirasakan.
5) Severity (S)
Merupakan intensitas nyeri yang dirasakan oleh pasien. Biasanya
menggunakan skala dan derajat nyeri
6) Time (T)
Merupakan mulai dan lamanya nyeri. Catat kapan pasien mulai
merasakan nyeri. Apakah konstan atau kadang-kadang? Bagaimana
lamanya? Tiba-tiba atau bertahap? Bagaimana frekuensinya?
b. Pengkajian Ulang Nyeri
Pengkajian ulang dilakukan pada pasien selama proses pelayanan pada
interval tertentu berdasarkan kebutuhan dan rencana pelayanan. Pengkajian
ulang merupakan kunci untuk memahami apakah keputusan pelayanan
sudah tepat dan efektif.
c. Pengkajian Lanjutan Nyeri
Merupakan proses pengkajian yang dilakukan dengan prosedur khusus
untuk mendapatkan informasi nyeri pasien dengan lebih detail dan lengkap,
seperti EMG, pemeriksaan radiologi seperti foto polos, MRI, CT Scan dan
lain-lain.
3. Pengkajian Nyeri
a. Pengkajian nyeri menggunakan NIPS (Neonatal Infant Pain scale).NIPS
direkomendasikan untuk pengkajian nyeri pada bayi usia 0 – 1 bulan.
Tabel 3,1 Skala Nyeri NIPS (Neonatal Infant Pain scale).
4
4 Lengan 0 Tertahan
0 Rileks
1 Fleksi
1 Ektensi
5 Tungkai 0 Tertahan
0 Rileks
1 Fleksi
1 Ektensi
6 Keadaan 0 Tidur
terangsang
0 Bangun
1 Rewel
TOTAL
Terdiri dari 6 parameter yaitu Ekspresi wajah, Menangis, Pola nafas, Lengan,
Tungkai, Keadaan terangsang. Total skor 6 parameter tersebut menentukan
tingkat keparahan nyeri dengan skala 0-10.
• 0 = tidak nyeri
• 1-3= nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas sehari-hari)
• 4-6= nyeri sedang (gangguan nyata terhadap aktivitas sehari-hari)
• 7= nyeri berat (tidak dapat melakukanaktivitas sehari-hari)
b. Pengkajian nyeri menggunakan FLACC (Face, Activity, Cry and
Consolability)
1) Indikasi: digunakan pada pasien anak-anak <3 tahun yang belum dapat
berkomunikasi,atau pasien pediatric yang tidak dalam pengaruh sedasi;
Tabel 3.2 Skala Nyeri FLACC (Face, Leg, Activity, Cry and Consolability)
Pengkajian 0 1 2 Nilai
Wajah Tersenyum/ Terkadang Sering
tak ada meringis/menarik menggetarkan
ekspresi diri dagu dan
khusus mengatupkan
rahang
Kaki Gerakan Tidak tenang/ Kaki dibuat
normal/ tegang menendang/menar
relaksasi ik diri
Aktivitas Tidur, posisi Gerakan Melengkungkan
normal mudah menggeliat punggung/kaku/me
bergerak berguling, kaku nghentak
Menangis Tidak Mengerang, Menangis terus
menangis(ban merengek-rengek menerus, terisak,
gun/tidur) menjerit
5
Bersuara Bersuara Tenang bila Sulit untuk
normal, tenang dipeluk, ditenangkan
digendong atau
diajak bicara
Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak-anak berusia > 8 tahun yang
sudah dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang
dirasakannya. Pasien ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan
dilambangkan dengan angka 0-10. Angka yang ditunjuk merupakan level nyeri
yang dirasakan :
• 0 = tidak nyeri
1) Indikasi: pada pasien (dewasa atau anak-anak >3 tahun) yang tidak dapat
menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka;
6
2) Instruksi: pasien diminta menunjuk/memilih gambar mana yang paling sesuai
dengan yang ia rasakan.
0 = tidak nyeri
1 = sedikit rasa nyeri
2–3 = nyeri ringan
4–6 = nyeri sedang
7–9 = nyeri berat
10 = nyeri sangat berat
1) Digunakan untuk pasien yang tidak sadar atau yang sedang terpasang ventilator
2) Instruksi : perawat atau dokter mengukur nyeri dengan cara mengkaji ekspresi
wajah, gerakan tubuh, ketegangan otot, mengikuti ventilator dan penggunaan
obat.
0 =tidak nyeri
1 – 3=nyeri ringan
4 – 6=nyeri sedang
7 – 10 =nyeri berat
Tabel 3.3 Critical Care Pain Observation Tools
Kategori 0 1 2
Ekspresi Wajah Tidak tampak Dahi mengkerut, Kontraksi dapat diatasi
kontraksi otot penurunan alis dengan mata memejam
wajah mata, kontraksi cepat
wajah lain
Gerakan tubuh Tidak Gerakan lambat Berusaha mencabut
7
bergerak berusaha selang (tube), berusaha
sama sekali menyentuh duduk, gerakan tangan/
daerah nyeri kaki tidak mematuhi
perintah, mencoba
melompat
Ketegangan otot Tidak ada Ada tahanan saat Tahanan yang kuat
(Evaluasi dengan tahanan saat digerakan sampai tidak bisa
menggerakan digerakan dikerjakan
lengan secara
pasif)
Mengikuti Alarm tidak Alarm berbunyi Asinkroni, alarm sering
ventilator berbunyi, tetapi berhenti berbunyi
(terintubasi) ventilasi sendiri
atau lancar
vokalisasi Mengeluh atau Menangis atau berteriak
(ekstubasi) Bicara mengerang
secara
normal
Penggunaan obat Tidak Memakai obat Memakai obat terus
(Drugs) memakai intermiten menerus (continous)
obat
d. COMFORT Scale
Untuk menilai derajat sedasi yang diberikan pada pasien anak dan
dewasa , yang dirawat di ruang rawat intensif/kamar operasi/rawat inap yang tidak
dapat dinilai menggunakan Numeric Rating Scale atau Wong Baker FACES Pain
Scale. Pemberian sedasi bertujuan untuk mengurangi agitasi, menghilangkan
kecemasan dan menyelaraskan napas dengan ventilator mekanik. Tujuan dari
penggunaan skala ini adalah untuk pegenalan dini dari pemberian sedasi yang
terlalu dalam ataupun yang tidak adekuat.
Comfort scale terdiri dari 9 parameter :
1) Kewaspadaan
2) Ketenangan
3) Distress pernapasan
4) Menangis
5) Pergerakan
6) Tonus otot
7) Tegangan wajah
8) Tekanan darah basal
9) Denyut jantung basal
8
Tabel. 3.4 COMFORT Scale.
Nilai
NO Kategori Skor
Skor
1 – Tidur pulas/nyenyak
2 – tidur kurang nyenyak
1 Kewaspadaan 3 – gelisah
4 – sadarsepenuhnya dan waspada
5 – hiper alert
1 – tenang
2 – agak cemas
2 Ketegangan 3 – cemas
4 – sangat cemas
5 – panic
9
1 – otot rileks sepenuhnys, tidak ada tonus
otot
2 – penurunan tonus otot
3 – tonus otot normal
6 Tonus otot
4 – peningkatan tonus otot dan fleksi jari
tangan dan kaki
5 – kekakuan otot ekstrim dan fleksi jari
tangan dan kaki
10
menerus ≥15%
Berat ringannya nyeri berdasarkan skala nyeri dibagi menjadi 3 yaitu nyeri
ringan,nyeri sedang dan nyeri berat.
- Nyeri Ringan
Nyeri ringan merupakan nyeri intensitas ringan dengan skala nyeri1-3.
Pada nyeri ringan biasanya pasien masih dapat berkomunikasi dengan baik.
- Nyeri Sedang
Nyeri sedang merupakan nyeri intensitas sedangdengan skala nyeri 4-6. Pada
nyeri sedang pasien tampak mendesis, menyeringai, masih dapat
menunjukkan lokasi nyeri dan dapat mendiskripsikan nyeri yang dirasakan
serta masih dapat mengikuti perintah dengan baik.
- Nyeri Berat
Nyeri berat merupakan nyeri intensitas beratdengan skala nyeri 7-10. Pada
nyeri berat pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih
memberikan respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri tetapi
tidak dapat mendiskripsikannya dan nyeri ini tidak dapat diatasi dengan alih
baring maupun nafas panjang.
Setelah perawat melakukan pengkajian nyeri, apabila pasien mengalami nyeri,
maka dilakukan rencana asuhan nyeri. Rencana asuhan nyeri ditulis dalam
Formulir Rencana Asuhan Nyeri.
4. Anamnesis
a. Riwayat Penyakit Sekarang
1) Onset nyeri akut atau kronis, traumatik atau non traumatik;
2) Karakter dan derajat keparahan nyeri, nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidak nyaman, kesemutan, neuralgia;
3) Pola penjalaran/ penyebaran nyeri;
4) Durasi dan lokasi nyeri;
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan,
mual, muntah, atau gangguan keseimbangan/ kontrol motorik;
11
6) Faktor yang memperhambat atau memperingan;
7) Kronisitas;
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumnya, termasuk
respon terapi;
9) Gangguan atau kehilangan fungsi akibat nyeri/luka;
10) Penggunaan alat bantu;
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, lama tidur dan aktivitas hidup
dasar (activity of daily living);
12) Singirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan seperti
adanya fraktur yang tidak stabil, gejala neurologis progresif cepat
yang berhubungan dengan kauda equina.
b. Riwayat pembedahan/penyakit dahulu
c. Riwayat psiko-sosial
12
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi rasa
nyeri (studi menunjukkan bahwa 14% populasi di Indonesia
mengkonsumsi suplemen herbal dan 36% mengkonsumsi vitamin);
f. Riwayat keluarga
5. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Umum
b. Status Mental
c. Pemeriksaan Sendi
13
3) Nilai dan catat pergerakan pasif dari sendi yang terlibat abnormal
atau dikeluhkan olrh pasien (saat menilai pergerakan aktif).
Perhatikan adanya limitasi gerak, raut wajah meringis atau asimetris;
d. Pemeriksaan Motorik
Nilai dan catat kekuatan motorik pasien dengan kriteria seperti pada
Tabel 3.4:
e. Pemeriksaan Sensorik
Lakukan pemeriksaan: sentuhan ringan, nyeri (tusukan jarum, pin prick),
gerakan dan suhu
f. Pemeriksaan Neurologis lainnya
1) Evaluasi nervus kranial I-XII, terutama jika pasien mengeluh nyeri
wajah atau servikal dan sakit kepala;
14
Biseps C5
Brakioradialis C6
Triseps C7
Tendon patella L4
Hamstring medial L5
Achilles S1
g. Pemeriksaan Khusus
1) Terdapat 5 tanda non organik pada pasien dengan gejala nyeri tetapi
tidak ditemukan etiologi secara anatomi. Pada beberapa pasien
dengan 5 tanda ini ditemukan mengalami hipokondriasis, histeria,
dan depresi;
2) Kelima tanda ini adalah:
a) Distribusi nyeri superfisial atau non anatomik;
b) Gangguan sensorik atau motorik non anatomik;
c) Verbalisasi berlebihan akan nyeri (over reaktif);
d) Reaksi nyeri yang berlebihan saat menjalani tes pemeriksaan
nyeri;
e) Keluhan akan nyeri yang tidak konsisten (berpindah-pindah) saat
gerakan yang sama dilakukan pada posisi distraksi.
h. Pemeriksaan Sensorik Kuantitatif
1) Pemeriksaan sensorik mekanik (tidak nyeri): getaran;
2) Pemeriksaan sensorik mekanik (nyeri): tusukan jarum, tekanan;
3) Pemeriksaan sensasi suhu (dingin, hangat, panas);
4) Pemeriksaan sensasi persepsi.
i. Pemeriksaan Radiologi
Indikasi:
1) Pasien nyeri dengan kecurigaan penyakit degeneratif tulang
belakang;
2) Pasien dengan kecurigaan adanya neoplasma, infeksi tulang
belakang, penyakit inflamatorik dan penyakit vaskuler;
3) Pasien dengan defisit neurologis motorik, kolon, kandung kemih, atau
ereksi;
4) Pasien dengan riwayat pembedahan tulang belakang;
5) Gejala nyeri yang menetap >4 minggu.
Pemilihan pemeriksaan radiologi bergantung pada lokasi dan
karakteristik nyeri:
15
1) Foto polos: untuk skrining inisial pada tulang belakang (fraktur,
asimetris vertebra, spondilosis, neoplasma);
2) MRI gold standart;
3) CT-scan.
j. Pengkajian Psikologi
1) Nilai mood pasien, adakah ketakutan, depresi;
2) Nilai adanya gangguan tidur, masalah yang terkait pekerjaan;
3) Nilai adanya dukungan sosial, interaksi sosial.
B. Memberikan informasi kepada pasien bahwa rasa nyeri dapat merupakan
akibat terapi, prosedur atau pemeriksaan
Nyeri adalah indicator adanya suatau yang salah di dalam tubuh.
Nyeri dibedakan menjadi beberapa kategori,
1. Berdasarkan waktu berlangsungnya nyeri dapat dibedakan menjadi :
a. Nyeri Akut : didefinisikan sebagai nyeri yang terjadi segera setelah adanya
kerusakan atau berpotensi untuk mengalami kerusakan dan dimulai dengan
terjadi rangsangan pada reseptor nyeri. Kondisi sakit dan tidak nyaman
yang biasanya mucul tiba-tba dan hanya terjadi senertar. Kondisi nyeri akut
umumnya terjadi akibat adanya cedera di jaringan tubuh seperti tulang,
otot,maupun organ dalam, Contoh nyeri akut seperti nyeri paska bedah,
nyeri pada trauma atau nyeri pada luka bakar.
b. Nyeri Kronik : Kondisi yang terjadi dalam kurun waktu lama sering
didefinisikan sebagai nyeri yang telah berlangsung sedikitnya tiga sampai
enam bulan dengan etiologi yang berhubungan kelainan neoplastik atau
berhubungan dengan penyakit kronis; atau nyeri dengan durasi yang
melebihi masa penyembuhan jaringan pada suatu kerusakan jaringan yang
menyebabkan gangguan fungsi serta keadaan umum pasien. Nyeri kronik
yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan
sering sekali tidak diketahui penyebab pastinya. Nyeri kronik terdiri dari
nyeri kanker dan non-kanker.
1) Nyeri Kronik Non-kanker dihubungkan dengan kerusakan jaringan yang
dalam masa penyembuhan atau tidak progresif.
2) Nyeri Kronik kanker adalah nyeri yang dihubungkan dengan kanker atau
proses penyakit lain yang progresif.
16
1). Nyeri Somatik:
(a) Diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang menyebabkan
pelepasan zat kimia dari sel yang cedera dan memediasi inflamasi
dan nyeri melalui noriseptor kulit.
(b) Karakter onset cepat, terlokalisasi dengan baik dan nyeri bersifat
tajam, menusuk atau seperti ditikam.
Contoh: nyeri akibat laserasi, sprain, fraktur, dislokasi.
C. Memberikan tata laksana untuk mengatasi rasa nyeri, terlepas dari mana
nyeri berasal, sesuai dengan regulasi rumah sakit
Manajemen nyeri yang dilakukan di RSUD Muntilan melalui dua cara yaitu non
farmakologis dan farmakologis.
Manajemen nyeri berdasarkan intensitas nyeri yang dirasakan pasien pada
pengkajian nyeri :
1. Intensitas Nyeri
17
Pada pasien dengan nyeri ringan skala 1-3, pada umumnya dapat diatasi
dengan tindakan non farmakologi yang disesuaikan menurut kemampuan
pasien.
Penanganan pasien dengan nyeri sedang skala 4-6 dilakukan melalui terapi
non farmakologi dikombinasi dengan terapi farmakologi.
Pasien dengan nyeri berat skala 7-10, dilakukan terapi farmakologis oleh
DPJP. Apabila terapi yang diberikan oleh DPJP tidak dapat mengatasi nyeri,
maka DPJP perlu melakukan kolaborasi dengan DPJP Anestesi.
2. Managemen Nyeri
a. Manajemen Nyeri Non Farmakologi
1) Stimulasi Kulit
Tehnik ini mengalihkan pasien dan memfokuskan perhatian pada
stimulas taktil jauh dari sensasi yang menyakitkan sehingga
mengurangi persepsi nyeri. Beberapa tindakan yang dapat
mengurangi rasa nyeri adalah:
a) Massage: Suatu tindakan untuk memberikan rasa nyaman
kepada pasien sehingga dapat membantu relaksasi dan
menurunkan ketegangan otot dan dapat mengurangi kecemasan.
b) Kompres panas atau dingin
18
Contohnya seperti mandi hangat, bantalan pemanas, kantong es,
massage es, kompres panas atau dingin, rendam air hangat atau
dingin. Tindakan ini secara umum dapat meredakan nyeri dan
meningkatkan pemulihan area cidera.
3) Tehnik distraksi
19
6) Aromaterapi
Terapi dengan menggunakan wangi-wangian alamiah yang
mengandung unsur herbal dengan pendekatan sistem keseimbangan
alam. Terapi dengan wewangian membuat efek rileks,
menghilangkan stress dan membuat pikiran menjadi tenang.
Wewangian tertentu diyakini dapat mempengaruhi sistem saraf
terutama otak.
20
- Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada
kulit dan tutp dengan kassa oklusif.
3) Parasetamol
- Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan
sampai sedang, dan anti piretik;
5) Ketorolak:
a. Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral.
Efektif untuk nyeri sedang sampai berat;
b. Bermanfaat jika ada kontraindikasi opioid atau dikombinasikan
dengan opioid untuk mendapat efek sinergistik dan
meminimalisasi efek samping opioid (depresi) pernapasan dan
sedasi.Sangat baik untuk terapi multi analgesik.
6) Terapi adjuvant dengan Antidepresan
- Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meninggalkan efek neurotransmiter tersebut
dan meningkatkan aktivitas neuron inhibisi nosiseptif;
- indikasi: nyeri neuropatik (neuropati diabetik, neuralgia pasca
herpetik, cedera saraf perifer, nyeri sentral);
- Contoh: obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine,
despiramin;
- Dosis: 50-300mg sekali sehari.
7) Anti Konvulsan
a) Carbamazepine
21
- Efek samping: somnolen, gangguan berjalan, pusing;
- Dosis: 400-1800 mg/hari (2-3 kali sehari) mulai dari dosis kecil
(2x100mg) ditingkaatkaan perminggu hingga dosis efektif.
b) Gabapentin
- Merupakaan obat pilihan pertama dalam mengobati nyeri
neuropatik;
- Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik
- Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).
-
c) Antagonis Kanal Natrium
- Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca operasi;
- Lidokain dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan
dengan 1-3 mg/kgBB/jam titrasi.
- Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.
d) Tramadol
- Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral
dengan efek samping yang lebih sedikit atau ringan.
Bersifat sinergistik dengan medikasi OAINS;
22
Protokol Dosis Jadwal Titrasi Direkomendasikan
Titrasi Inisiasi untuk
Titrasi 4x25mg 2x25mg selama 3 hari Lanjut usia
16 hari selama 3 hari Naikkan menjadi 3x25mg Risiko jatuh
selama 3 hari Sensitif pada
Naikkan menjadi 4x25 medikasi
selama 3 hari
Naikkan menjadi 2x50mg
dan 2x25mg selama 3 hari
Naikkan menjadi 4x50mg
Dapat dinaikkan sampai
tercapai efek analgesik
yang diinginkan
e) Opioid
23
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal
c) Sistem Saraf Pusat
Euforia, halusinasi, miosis, kekakuan otot
Pemakaian MAOI: pemberian petidin dapat menimbulkan
koma
d) Toksisitas Metabolit
Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching,
mioklonus, multilokal, kejang.
Petidin tidak boleh lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi
ginjal terutama pada pasien usia> 70 tahun.
e) Efek kardiovaskuler
Tergantung jenis, dosis dan cara pemberian: status
volume intravasculer, serta level aktivitas simpatik.
Morfin menimbulkan vasodilatasi
Petidin menimbulkan takikardi
f) Mual dan muntah
Terapi untuk mual dan muntah
Pantau tekanan darah dengan adekuat
Hindari pergerakan berlebihan pasca bedah
Atasi kecemasan pasien
Pemberian obat anti emetic
6) Pemberian oral:
- Status efektifnya dengan pemberian parenteral pda dosis yang
sesuai
- Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi
oral
7) Injeksi Intavasculer
- Injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya tidak
dapat diandalkan
8) Injeksi Subkutan
9) Injeksi Intravena
24
- Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus menerus
(melalui infus)
a) OAINS efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, opioid efektif untuk
nyeri sedang sampai berat.
b) Pemberian OAINS/opioid lemah (langkah 1 dan 2) dengan pemberian
intermiten (pro renate) opioid yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasien.
25
c) Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif/nyeri menjadi sedang sampai berat,
dapat ditingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan analgesik
dalam kurun waktu 24 jam setelah langkah 1).
d) Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering diberikan
opioid ringan.
e) Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan
opioid ringan.
f) Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan dosis
secara bertahap:
Intravena: antikonvulsan, ketamin, OAINS, opioid.
Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolyte,
kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol.
Rektal (suppositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin.
Topikal: lidokain patch, EMLA.
Subkutan: opioid, anestesi lokal.
ya
tidak
• Saat dosis telah diberikan, lakukan Apakah diresepkan opioid IV? Minta untukdiresepkan
monitor setiap 5 menit selama
minimal 20 menit.
• Tunggu hingga 30 menit dari • Gunakan spuit 10ml
pemberian dosis terakhir sebelum
ya • Ambil 10mg morfin sulfat dan
mengulangi siklus. campur dengan NaCl 0,9%
• Dokter mungkin perlu untuk hingga 10ml (1mg/ml)
meresepkan dosis ulangan
• Berikan label pada spuit
Siapkan NaCl ATAU
Ya, tetapi • Gunakan spuit 10ml
telah • Ambil 100mg petidin dan
diberikan campur dengan NaCl 0,9%
Observasi rutin
dosis total ya hingga 10ml (10mg/ml)
26 • Berikan label pada spuit
tidak
ya
Nyeri Skor sedasi 0 atau 1? • Minta saran ke dokter senior
• Tunda dosis hingga skor sedasi <2 dan
tidak kecepatan pernapasan > 8 kali/menit.
Gambar 3.3 Algoritma Pemberian Opioid Intermiten
Keterangan:
Skor nyeri: Skor sedasi:
0 = tidak nyeri 0 = sadar penuh
1-3 = nyeri ringan 1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
27
Algoritma Pemberian Opioid Intermiten tersebut berlaku dengan syarat:
Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat instruksi.
Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin di ruang rawat inap
biasa.
Efek samping dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 menit sehingga
semua pasien harus diobservasi ketat selama fase ini.
Manajemen efek samping :
a. Opioid
- Mual dan muntah: antiemetik
- Konstipasi: berikan stimulan buang air besar, hindari laksatif yang
mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas, kembung,
kram perut.
- Gatal: pertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapatjuga
menggunakan antihistamin.
- Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid atau berikan
benzodiazepin untuk mengatasi mioklonus.
- Depresi pernapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4mg
nalokson dengan NaCl 0,95% sehingga total volume mencapai 10ml).
Berikan hingga kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika
pasien mendapat terapi opioid jangka panjang.
b. OAINS
Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (Proton Pump Inhibitor).
Perdarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti
OAINS yang tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet.
2) Pembedahan injeksi epidural, supraspinal, inflamasi anestesi loal di tempat nyeri.
3) Non Farmakologi:
a) Olah raga
b) Imobilisasi
c) Pijat
d) Relaksasi
e) Stimulasi saraf transkutan elektrik.
e. Follow up (Pengkajian Ulang)
Assesmen ulang sebaiknya dilakukan dengan interval yang teratur.
Panduan umum:
1) Pemberian parenteral: 30 menit
2) Pemberian oral: 60 menit
28
3) Intervensi non farmakologi: 30-60 menit
f. Pencegahan
Edukasi Pasien:
1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, sertatata laksananya.
2) Diskusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien.
3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika memiliki
pertanyaan/ingin berkonsultasi mengenai kondisinya.
4) Pasien dan keluarga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk
penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik dan jadwal kontrol).
g. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik.
Medikasi saat Pasien Pulang
1) Pasien dipulangkan segera setelah nyeri dapat teratasi dan dapat beraktivitas
seperti biasa/normal.
2) Pemilihan medikasi analgesik bergantung pada pasien
Anamnesis dan
pemeriksaan fisik
Asesmen nyeri
tidak
Nyeri bersifat tajam, menusuk, Nyeri bersifat difus, seperti Nyeri bersifat menjalar, rasa
terlokalisir, seperti ditikam ditekan benda berat, nyeri terbakar, kesemutan, tidak
tumpul spesifik.
29
Gambar 3.4 Algoritma Asesmen Nyeri Akut
tidak
Kembali ke kotak Mekanisme Analgesik adekuat?
‘tentukan nyeri sesuai?
tidak
mekanisme nyeri’ ya
ya
Efek samping Manajemen
pengobatan? efek samping
tidak
Follow-up /
nilai ulang
30
1) Nilai aktivitas hidup dasar (ADL), identifikasi kecacatan/disabilitas
31
Contoh: nyeri punggung dan leher (berkaitan dengan
strain/spain
ligamen/otot), degenerasi diskus, osteoporosis dengan fraktur
kompresi
Merupakan nyeri nosiseptif
Tata laksana: beberapa memerlukan dekompresi atau
stabilisasi
4. Pengkajian lainnya:
32
6) Ajaklah pasien untuk berpartisipasi aktif dalam manajemen nyeri.
7) Jadwalkan kontrol pasien secara rutin, jangan biarkan penjadwalan
untuk kontrol dipengaruhi oleh peningkatan level nyeri pasien.
8) Bekerja sama dengan keluarga untuk memberikan dukungan kepada
pasien.
9) Bantulah pasien agar dapat kembali bekerja secara bertahap.
10) Atasi keengganan pasien untuk bergerak karena takut nyeri.
11) Manajemen psikososial (atasi depresi, kecemasan, ketakutan
pasien).
Manajemen Level I
Menggunakan pendekatan standar dalam penatalaksanaan nyeri kronik
termasuk farmakologi, intervensi, non farmakologi dan terapi
pelengkap/tambahan.
Terapi berdasarkan jenis nyeri:
1) Nyeri Neuropatik
Atasi penyebab yang mendasari timbulnya nyeri:
- Kontrol gula darah pada pasien DM
- Pembedahan, kemoterapi, radioterapi untuk pasien tumor
dengan kompresi saraf
- Kontrol infeksi (ntibiotik)
Terapi simptomatik
- Antidepresan trisiklik (amitriptilin)
- Antikonvulsan: gabapentin, karbamazepin
- Obat topical (lidocaine patch 5%, krim anestesi)
- OAINS, kortikosteroid, opioid
- Anestesi regional: blok simpatik, blok epidural/intratekal, infus
epidural/intratekal
- Terapi berbasis stimulasi: akupunktur, stimulasi spinal, pijat
- Rehabilitasi fisik: bidai, manipulasi, alat bantu, latihan
mobilisasi, metode ergonomis
- Prosedur ablasi: kormiotomi, ablasi saraf dengan
radiofrekuensi
- Terapi lainnya: hipnosis, terapi relaksasi mengurangi tegangan
otot dan toleransi terhadap nyeri), terapi perilaku kogitif
(megurangi perasaan terancam atau tidak nyaman karena
nyeri kronis)
33
2) Nyeri Otot
34
1) OAINS dapat digunakan untuk nyeri ringan sampai sedang atau nyeri
non neurotik
2) Skor DIRE: digunakan untuk menilai kesesuaian aplikasi terapi opioid
jangka panjang untuk nyeri kronik non kanker
3) Intervensi: injeksi spinal, blok saraf, stimulator spinal, infus intratekal,
injeksi intra sendi, injeksi epidural
4) Terapi pelengkap/tambahan: akupunktur, herbal
b. LEVEL II
Manajemen Level II
1) Meliputi rujukan ke tim multidisiplin dalam manajemen nyeri dan
rehabilitasinya atau pembedahan (sebagai ganti stimulator spinal atau
infus intratekal)
Faktor Penjelasan
Diagnosis 1 = kondisi kronik ringan dengan temuan obyektif minimal atau
tidak adanya diagnosis medis yang pasti. Misalnya migrain, nyeri
punggung tidak spesifik
2 = kondisi progresif perlahan dengan nyeri sedang atau kondisi
nyeri sedang menetap dengan temuan obyektif medium. Misalnya
nyeri punggung dengan perubahan degeneratif medium, nyeri
neurotopik.
3 = kondisi lanjut dengan nyeri berat dan temuan obyektif nyata.
Misalnya penyakit iskemik vaskular berat, neuropatik lanjut,
stenosis spinal berat.
Intractability 1 = pemberian terapi minimal dan pasien terlibat secara minimal
(Keterlibatan) dalam manajemen nyeri.
2 = beberapa terapi telah dilakukan tetapi pasien tidak
sepenuhnya terlibat dalam manajemen nyeri, atau terdapat
hambatan (finansial, transportasi, penyakit medis)
3 = pasien terlibat sepenuhnya dalam manajemen nyeri tetapi
respon terapi tidak adekuat
Risiko (R) R = jumlah skor P + K + R + D
Psikologi 1 = disfungsi kepribadian yang berat atau gangguan jiwa yang
mempengaruhi terapi. Misalnya: gangguan kepribadian,
gangguan afek berat
2 = gangguan jiwa/kepribadian medium/sedang. Misalnya:
depresi, gangguan cemas
3 = komunikasi baik. Tidak ada disfungsi keepribadian atau
gangguan jiwa yang signifikan
Kesehatan 1 = penggunaan obat akhir-akhir ini, alkohol berlebihan,
35
penyalahgunaan obat
2 = medikasi untuk mengatasi stress atau riwayat remisi
psikofarmaka
3 = tidak ada riwayat penggunaan obat-obatan
Reliabilitas 1 = banyak masalah: penyalahgunaan obat, bolos kerja/jadwal
kontrol, komplians buruk
2 = terkadang mengalami kesulitan dalam komplians, tetapi
secara keseluruhan dapat diandalkan
3 = sangat dapat diandalkan (medikasi, jadwal kontrol dan terapi)
Dukungan 1 = hidup kacau, dukungan keluarga miimal, sedikit teman dekat,
social kehilangan peran dalam kehidupan normal
2 = Kurangnya hubungan dengan orang dan kurang berperan
dalam sosial
3 = Keluarga mendukung, hubungan dekt. Terlibat dalam
kerja/sekolah, tidak ada isolasi social
Efikasi 1 = fungsi buruk atau pengurangan nyeri minimal meski dengan
penggunaan dosis obat sedang sampai tinggi
2 = fungsi meningkat tetapi kurang efisien (tidak menggunakan
opioid dosis sedang sampai tinggi)
3 = perbaikan nyeri signifikan, fungsi dan kualitas hidup tercapai
dengan dosis yang stabil
Skor Total =D+I+R+E
Keterangan:
Skor 7-13 : tidak sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Skor 14-21 : sesuai untuk menjalani terapi opioid jangka panjang
Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
Assesmen nyeri
• Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan fungsi • Pasien dapat mengalami jenis
nyeri dan faktor yang
mempengaruhi yang beragam
Tentukan mekanisme nyeri
• Perifer (sindrom nyeri Nyeri miofasial • Artropati inflamasi • Nyeri punggung bawah
regional kompleks, neuropati (rematoid artritis) • Nyeri leher
HIV, gangguan metabolik) • Infeksi • Nyeri musculoskeletal
• Sentral (Parkinson,multiple • Nyeri pasca-oparasi (bahu, siku)
sclerosis, mielopati, nyeri • Cedera jaringan • Nyeri viseral
pasca-stroke, sindrom
fibromyalgia)
tidak
Apakah nyeri kronik? Pantau dan observasi
ya
ya
36 dapat
Apakah etiologinya Atasi etiologi nyeri sesuai
dikoreksi / diatasi? indikasi
tidak
Gambar 3.6 Algoritma Manajemen Nyeri Kronik
37
Prinsip level 1
Assesmen hasil
38
2. Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda
terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat
3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri
4. Pemberian analgesik:
a. ‘By the Ladder’: pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan
level nyeri anak (ringan, sedang, berat).
1) Awal: berikan analgesik ringan sampai sedang (level I)
2) Jika nyeri menetap denganpemberian analgesik level I, naikkan ke
level 2 (pemberian analgesi yang lebih poten).
3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol
tetap diaplikasikan sebagai analgesik adjuvant.
4) Analgesik adjuvant:
Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri
tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu.
Pada anak dengan nyeri neuropatik daat diberikan analgesik
adjuvant sebagai level 1.
Analgesi adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi
nyeri neuropatik.
Kategoti:
- Analgesik multi tujuan: antidepresan, agonis adrenergik alfa 2,
kortikosteroid, anestesi topikal.
- Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepresan, antikonvulsan,
agonis GABA, anestesi oral lokal.
- Analgesik untuk nyeri muskuloskeletal: relaksan otot,
benzodiazepin, inhibitor osteoklas, radiofarmaka.
b. ‘By the Clock’: mengacu pada waktu pemberian analgesik.
c. ‘By the Child’: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan
kondisi masingmasing individu.
1) Lakukan monitor dan assesmen nyeri secara teratur.
2) Sesuaikan dosis analgesik jika perlu.
d. ‘By the Mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral.
39
1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak
invasif dan efektif, biasanya per-oral.
2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal
bahwa mereka mengalami rasa nyeri atau tidak memerlukan
pengobatan.
3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung,
pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien.
4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral.
5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuskuler karena
nyeri dan absorbsi obat tidak dapat diandalkan.
6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan dengan
IM, IV dan subcutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah
terjadinya penundaan/keterlambatan pemberian obat, memberikan
kontrol nyeri yang kontinu pada anak.
Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian per oral dan opioid
parenteral intermitten tidak memberikan hasil yang memuaskan,
adanya muntah hebat (tidak dapat memberikan obat per oral).
e. Analgesik dan anestesi regional: epidural atau spinal.
1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang
sulit diatasi dengan terapi konservatif.
2) Harus dipantau dengan baik.
3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-
obatan dan peralatan resusitasi dan pencatatan yang akurat
mengenai tanda vital/skor nyeri.
f. Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat
melibatkan komponen nosiseptif dan neuropatik.
1) Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik menyeluruh.
2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai.
3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi.
4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non obat (kognitif, fisik dan
perilaku).
5) Lakukan pendekatan multidisiplin.
40
1) Pilih rute yang paling sesuai. Untuk pemberian jangka panjang pilih
jalur oral.
2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sedikan obat opioid kerja singkat
dengan dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn.
3) Jika diperlukan >6 kali opioid kerja singkat prn dalam waktu 24 jam,
nikkan dosis infus IV per jam kontinu sejumlah: total dosis opioid prn
yang diberikan dalm 24 jam. Alternatif lainnya adalah dengan
menaikkan kecepatan infus sebesar 50%.
4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya.
5) Jika efek analgesi tidak adekuat dan tida ada toksisitasnya,
tingkatkan dosis sebesar 50%
6) Saat tapering off atau penghentian obat: pada semua pasien yang
menerima opioid >1minggu, harus dilakukan tapering off(untuk
menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari,
lalu kurangi sebesar 25% setiap 2 hari. Jika dosis ekuivalen dengan
dosis morfin orl (0,6 mg/kgBB/hari), opioid dapat dihentikan.
7) Meperidin tidak boleh digunakan untk jangka lama karena dapat
terakumulasi dan menimbulkan mioklonu, hiperefleks dan kejang.
Tabel 3.7 Obat Non Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik
41
b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti
musik, cahaya, warna, mainan, permen, komputer, permainan, film dan
sebagainya.
c. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat
meningkatkan nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan
nyeri.
d. Terapi relaksasi: dapat berupa mengepalkan dan mengendurkan jari
tangan, menggerakkan kaki sesuai irama, menarik napas dalam.
Obat Non-obat
• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• anestesi • perilaku
42
4.Implementasi rencana manajemen
• Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri
kepada orang tua (dan anak)
• Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
• Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
• Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik10
Obat Non-obat
• Analgesik • Kognitif
• Analgesik adjuvant • Fisik
• anestesi • perilaku
• Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri
kepada orang tua (dan anak)
• Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi
• Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin
• Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri
• Revisi rencana jika diperlukan
Gambar 3.8 Algoritma Manajemen Nyeri pada Pediatrik
C. Manajemen Nyeri Pada Kelompok Usia Lanjut
1. Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang yang berusia ≥65 tahun.
2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya
dibandingkan dewasa muda.
43
3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker,
neuralgia trigeminal, neuralgia pasca herpetik, polimialgia dan penyakit
degeneratif.
4. Lokasi yang sering mengalami nyeri: sendi utama/penyangga tubuh,
punggung, tungkai bawah dan kaki.
5. Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah:
a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada
geriatri.
b. Assesmen nyeri yang tidak adekuat.
c. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid.
6. Assesmen nyeri pada geriatri yang valid, reliabel dan dapat diaplikasikan
menggunakan Function Pain Scale seperti di bawah ini:
7. Intervensi
a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nosiseptif
untuk menginduksi pelepasan opioid endogen.
b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan/perkutan dan akupunktur.
c. Blok saraf dan radiasi area tumor.
d. Intervensi medis pelengkap/tambahan atau alternatif: terapi relaksasi,
umpan balik positif, hipnosis.
e. Fisioterapi dan terapi okupasi.
8. Intervensi Farmakologi (tekankan pada keamanan pasien)
a. Non Opioid: OAINS, parasetamol, COX-2 inhibitor, antidepresan trisiklik,
amitriptilin, ansiolitik.
b. Opioid:
1) Resiko adisi rendah jika digunakan untuk nyeri akut (jangka pendek).
2) Hidrasi yang cukup dan konsumsi serat/bulking agent untuk
mencegah konstipasi (preparat senna, sorbitol).
3) Berikan opioid jangka pendek
44
4) Dosis rutin dan teratur memberikan efek analgesik yang lebih baik
daripada pemberian intermiten.
5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan.
6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat, dapat menaikkan opioid
sebesar 50%-100% dari dosis semula.
c. Analgesik Adjuvant
1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan toleransi opioid dan resolusi
nyeri.
2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepin, fenitoin, gabapentin,
tramadol, mexiletine → efektif untuk nyeri neuropatik.
3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigeminal.
Gabapentin: neuralgia pasca herpetik 1-3 x 100mg sehari dan dapat
ditingkatkan menjadi 300mg/hari.
9. Risiko efek samping OAINS meningkat pada lansia.
Insiden perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada
pasien >65 tahun.
10. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh penuaan, termasuk absorbsi,
distribusi, metbolisme dan eliminasi.
11. Pasien lansia cenderung memerlukan pengurangan dosis analgesik.
Absorbsi sering tidak teratur karena adanya penundaan waktu transit atau
sindroma malabsorbsi.
12. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia.
13. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih
singkat.
14. Lakukan monitor ketat jika merubah atau meningkatkan dosis pengobatan.
15. Efek samping penggunaan opioid yang paling sering dialami: konstipasi.
16. Penyebab tersering timbulnya efek saming obat: polifarmasi (misalnya
pasien mengkonsumsi analgesik, antidepresan dan sedasi secara rutin
harian).
17. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan
perlahan hingga tercapai dosis yang diinginkan.
45
b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat
menurunkan imunitas tubuh.
c. Kontrol nyeri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya
agitasi dan gelisah.
d. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak.
Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium.
19. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan/dihindari pada lansia:
a. OAINS: indometasin dan piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek
samping gastrointestinal lebih besar).
b. Opioid: pentazocine, butorphanol (merupakan campuran antagonis dan
agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia),
metadon, levorphanol (waktu paruh panjang).
c. Propoxyphene: neurotoksik.
d. Antidepresan: tertiary amine tricyclics (efek sampping antikolinergik).
20. Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebeumnya harus diberikan
kombinasi preparat senna dan obat pelunak feces (bulking agents).
21. Pemilihan analgesik: menggunakan 3 steps ladder WHO (sama dengan
manajemen nyeri pada nyeri akut)
a. Nyeri ringan sampai sedang: analgesik non opioid.
b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS dan
analgesik adjuvant.
c. Nyeri berat: opioid poten.
22. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian
dosis dan hati-hati dalam memberikan kombinasi.
46
e. Mengatur posisi senyaman mungkin dan ciptakan suasana yang nyaman
f. Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh pasien dan keluarga
g. Lakukan pengkajian yang komprehensif tentang nyeri, meliputi lokasi nyeri,
karakteristik, onset/durasi, frekuensi, kualitas (tebakar, tumpul, tertekan,
berat, tajam dan kram), intensitas, atau beratnya nyeri dan factor presipitasi.
h. Jelaskan tentang manajemen nyeri :
1) Nyeri ringan sampai dengan sedang (skala 0-5) maka lakukan terapi non
farmakologis yaitu:
a) Atur posisi yang nyaman
b) Lakukan perangsangan kutaneus dngan cara menggosok darah yang
nyeri,kompres panas atau dingin
c) Lakukan teknik distraksi dengan cara mengalihkan perhatian pasien
terhadap nyeri yang di alami
d) Lakukan relaksasi dengan cara tari nafas panjang melalui hidung dan
dikeluarkan lewat mulut secara perlahan – lahan
e) Lakukan terapi musik,terapi murottal,terapi bermain,terapi
aktivitas,kompres hangat
f) Ciptakan suasana yang tenang diiringi music dan humor
g) Kurangi cahaya
h) Kurangi interaksi verbal jika nyeri hebat
i) Observasi respon keluarga dan pasien selama pembelajaran
diberikan
j) Dorong pasien dan keluarga untuk aktif dalam diskusi
k) Catat pada form manajajemen nyeri pada CEPT yang di tanda
tangani ole PPA dan pasien/keluarga pasien
l) Simpan dalam dokumen rekam medis pasien.
2) Nyeri tak tertahankan (skala 6-10)kolaborasi dengan dokter dengan
pemberian terapi farmakologis
DAFTAR PUSTAKA
47
1. Joint Comission on Accreditation of Healthcare Organization. Pain: Current
Understanding of Assesment, Management, and Treatment. Nations
Pharmaceutical Council, Inc; 2001.
2. Wallace MS, Staats PS. Pain Medicine and Management: Just the Facts.
McGraw-Hill; 2005.
3. National Institute of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. Pain
Intensity Instrument: Numeric Rating Scale; 2003.
4. Wong D, Whaley L. Clinical Handbook of Pediatric Nursing. Editon 2 nd. St.Louis:
CV Mosby Company; 1986. P.373.
5. Ambuel, Hamlett KW, Marx CM, Blumer JL. Assesment Distress in Pediatric
Intensive Care Environments: The COMFORT Scale. J.Paed Psuch. 1992;
17:95-109.
6. Pain Management. www.hospitalsoup.com
7. Institute for Clinical System Improvement (ICSI). Healthcare Guideline:
Assesment and Management of Acute Pain. Edition 6th. ICSI; 2008.
8. Pain Management Task Group of The Hull & East Riding Clinical Policy Forum.
Adult Pain Management Guideline. NHS;2006.
9. Institute of Clinical System Improvement (ICSI). Healthcare Guideline:
Assesment and Management of Chronic Pain Management Secrets. Edition 5 th.
ICSI; 2011.
10. Argoff CE, McCleane G. Pain Management Secrets: Questions You Will be
Asked. Edition 3th. Philadelphia: Mosby Elvesier; 2009.
11. http://download/pengkajian-dan-intervensi-nyeri.html.
48