Anda di halaman 1dari 40

BAB I

DEFINISI

A. DEFINISI NYERI

Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya


kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensirik dan
emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan.

Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki
hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit.

Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama. Nyeri
kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses oenyembuhan dan
sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti.(International Association for the
Study of Pain)

B. PENILAIAN DERAJAT / SKALA NYERI

Pengukuran derajat / skala nyeri pasien sebaiknya dilakukan dengan tepat karena
sangat dipengaruhi oleh faktor subjektifitas seperti faktor fisiologi, psikologi, lingkungan
(pengalaman, budaya, prognosis, strategi mengatasi masalah, rasa takut, ansietas).Oleh
karena itu adalah penting untuk dilakukan suatu anamnesis pada pelaporan mandiri
pasien yang bersifat sensitif dan konsisten.

Pada keadaan dimana tidak mungkin mendapatkan penilaian mandiri pasien seperti
pada keadaaan gangguan kesadaran, gangguan kognitif, pasien anak, kegagalan
komunikasi, tidak adanya kerjasama atau ansietas hebat, dibutuhkan cara pengukuran
yang lain.

Modalitas yang sering digunakan untuk memberikan informasi tambahan


mengenai derajat nyeri yang dialami oleh pasien antara lain derajat hiperalgesia (ambang
respon mekanik), respon stress (kortisol plasma), respon perilaku (ekspresi wajah), tidak
mampu batuk, serta respon fisiologis (perubahan laju jantung).Kebutuhan analgesia

1
pasien (contoh total dosis opioid yang dibutuhkan pasien) juga dapat digunakan sebagai
pengukuran post-hoc nyeri.

Saat ini derajat nyeri ditetapkan sebagai tanda vital kelima yang bertujuan untuk
meningkatkan kepedulian akan rasa nyeri yang dialami oleh pasien dan diharapkan dapat
memperbaiki tatalaksana nyeri akut.

Untuk dapat melakukan penilaian terhadap nyeri yang dialami oleh pasien, maka
diperlukan suatu metode atau skala untuk menilai.Terdapat beberapa skala nyeri yang
digunakan dan pemilihan skala nyeri yang digunakan ini tergantung dari keadaan /
kondisi pasien.

Adapun penilaian derajat nyeri di RS ELIM RANTEPAO adalah :

1. Penilaian nyeri dengan menggunakan Numeric Rating Scale atau Visual Analog Scale
(VAS). Skala ini digunakan pada usia ˃ 7 tahun.
Pasien ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan dengan
angka 0 – 10 atau menggunakan gambar visual analog scale, yaitu:
0 = tidak nyeri
1-3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktifitas)
4-6 = nyeri sedang ( gangguan nyata terhadap aktifitas sehari-hari)
7-10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari)

2. Pengkajian nyeri dengan menggunakan FLACCPAIN SCALE yaitu :


F : Face (Wajah)
L : Leg (Kaki)

2
A : Activity (aktifiatas)
C : Cry (Menangis)
C : Consolability
Skala ini digunakan pada usia ˃ 2 bulan sampai 7 tahun

KATEGORI SKORING

0 1 2
Face (wajah) Tidak ada Kadang meringis atau Sering cemberut konstan,
ekspresi tertentu mengerutkan kening, rahang terkatup, dagu
atau senyum, menarik diri, tidak tertarik, bergetar, kerutan yang
kontak mata dan wajah terlihat cemas, alis dalam di dahi, mata
bunga di diturunkan, mata sebagian tertutup, mulut terbuka,
lingkungan tertutup, pipi terangkat, garis yang dalam di sekitar
mulut mengerucut hidung / bibir

Leg (kaki) Posisi normal Tidak nyaman, gelisah, Menendang atau kaki
atau santai tegang, tonus meningkat, disusun, hipertonisitas
kaku, fleksi / ekstensi fleksi / ekstensi anggota
anggota badan intermiten badan secara berlebihan,
tremor

Activity Berbaring Menggeliat, menggeser Melengkung, kaku, atau


(Aktivitas) dengan tenang, maju mundur, tegang, menyentak, posisi tetap,
posisi normal, ragu-ragu untuk bergerak, goyang, gerakan kepala
bergerak dengan menjaga, tekanan pada dari sisi ke sisi,
mudah dan bagian tubuh. menggosok bagian tubuh.
bebas

Cry (Menangis) Tidak ada Erangan atau rengekan, Terus menerus menangis,
teriakan / sesekali menangis, menjerit, isak tangis,
erangan (terjaga mendesah, sesekali mengerang, menggeram,
atau tertidur) mengeluh. sering mengeluh

3
Consolability Tenang, santai, Perlu keyakinan dengan Sulit untuk dibujuk atau
tidak sekali-sekali menyentuh dibuat nyaman
memerlukan sesekali, memeluk,

Menghibur atau 'berbicara'. Perhatian


mudah beralih

Ket :
Area nyeri : Di isi sesuai area nyeri pasien
Gambaran Nyeri : Di isi sesuai skala nyeri
Frekuensi : Di isi sesuai Frekuensi nyeri pasien
Durasi : Di isi sesuai durasi / lama nyeri pasien
Skor : Di isi sesuai intensitas nyeri pasien dari skala nyeri
yang digunakan

3. Pengkajian nyeri dengan menggunakan : Neonatal Infant Pain ScaleNIPS


Skala ini digunakan pada usia 0 bulan sampai 2 bulan.

PENGKAJIAN NYERI
0 – otot-otot relaks Wajah tenang, ekspresi netral
Ekspresi wajah
1 - meringis Otot wajah tegang, alis berkerut, dagu dan rahang tegang
(ekspresi wajah negatif – hidung, mulut dan alis)
Menangis
0 – Tidak menangis Tenang, tidak menangis
1 - Mengerang Merengek ringan, kadang-kadang
2 - Menangis keras Berteriak kencang, menaik, melengking, terus menerus
(catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi
diintubasi yang dibuktikan melalui gerakan mulut dan
wajah yang jelas)
Pola Pernafasan
0 – Bernafas relaks Pola bernafas bayi yang normal
1 – Perubahan Pola Tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak, nafas
Pernafasan tertahan
Lengan
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan tangan acak sekali-sekali

4
1 – Fleksi/Ekstensi Tegang, lengan lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat
ekstensi, fleksi
Kaki
0 – Relaks/terikat Tidak ada kekakuan otot, gerakan kaki acak sekali-sekali
1 – Fleksi/Ekstensi Tegang, kaki lurus, kaku, dan/atau ekstensi cepat ekstensi,
fleksi
Keadaan kesadaran
0 – tidur/terjaga Tenang, tidur damai atau gerakan kaki acak yang terjaga
1 – rewel Terjaga, gelisah, dan meronta-ronta

Ket :
Area nyeri : Di isi sesuai area nyeri pasien
Gambaran Nyeri : Di isi sesuai skala nyeri
Frekuensi : Di isi sesuai Frekuensi nyeri pasien
Durasi : Di isi sesuai durasi / lama nyeri pasien
Skor : Di isi sesuai intensitas nyeri pasien dari skala nyeri
yangdigunakan

4. Pengkajian nyeri dengan menggunakanBehavioral Pain Scale (BPS)


Skala ini digunakan pada pasien kesadaran menurun.

KATEGORI PENILAIAN SKOR


Tenang/relaks 1
Sebagian diperketat (misalnya penurun alis) 2
Ekspresi wajah Sepenuhnya diperketat (misalnya penutupan
3
kelopak mata)
Meringis 4
Tidak ada pergerakkan 1
Sebagian ditekuk 2
Anggotabadan sebelah atas
Sepenuhnya ditekuk dengan felksi jari-jari 3
Retraksi permanen 4
Pergerakkan yang dapat ditoleransi 1
Kepatuhan dengan ventilasi
Batuk dengan pergerakkan 2
(diisibila pasien dg
Melawan ventilator 3
ventilator)
Tidak dapat mengontrol ventilasi 4

5
Kurangnya vokalisasi 1
Vokalisasi
Mendengus kecil dan tidak memperpanjang 2
(diisi bila pasien tanpa
Mendengus sering dan memperpanjang 3
ventilator)
Berteriak atau menangis 4

Ket :
Area nyeri : Di isi sesuai area nyeri pasien
Gambaran Nyeri : Di isi sesuai skala nyeri
Frekuensi : Di isi sesuai Frekuensi nyeri pasien
Durasi : Di isi sesuai durasi / lama nyeri pasien
Skor : Di isi sesuai intensitas nyeri pasien dari skala nyeri yang
digunakan

6
RS ELIM ALUR
START
TATALAKSANA
NYERI
PERAWAT

Kaji derajat Nyeri dan


didokumentasikan

TDK NYERI : 0
Pemantauan setiap
pergantian jaga

PERAWAT DPJP -Perawat DPJP

 Skala nyeri 1-3 : Ringan  Skala Nyeri 4-6 : Sedang  Skala Nyeri 7-10 : Berat
 Pemantauan derajat nyeri  Lapor DPJP  Lapor DPJP
setiap pergantian jaga  Tatalaksana penanganan  Konsul Tatalaksana Nyeri
dan didokumentasikan nyeri oleh DPJP  Tatalaksana Nyeri oleh Tim
 Edukasi manajemen nyeri  Pemantauan derajat nyeri Tatalaksana Nyeri
setiap 2 jam  Pemantauan derajat nyeri
setiap 1 jam

NYERI
TERATASI

 Pemantauan derajat nyeri


setiap pergantian jaga
dan didokumentasikan
 Edukasi manajemen nyeri

7
C. PEMANTAUAN DERAJAT NYERI SELAMA PERAWATAN

Pemantauan derajat nyeri selama perawatan adalah melakukan penilaian ulang


(re-assessment) derajat / skala nyeri pasien yang dilakukan secara kontinu untuk melihat
efek dari tatalaksana nyeri yang sudah didapatkan serta melihat efek samping yang dapat
muncul dari pemberian tatalaksana nyeri. Jika terdapat perubahan derajat nyeri, dapat
dilakukan perubahan tatalaksana nyeri yang diberikan sesuai kondisi pasien terakhir.

Pemantauan derajat nyeri selama perawatan ini ditujukan untuk seluruh pasien di
ruang perawatan di RS Elim Rantepao. Pemantauan derajat nyeri di rawat inap dilakukan
setiap 8 jam (pergantian jaga) secara berkala pada pasien dengan derajat nyeri VAS 1-3.
Sedangkan untuk pasien dengan derajat nyeri VAS4-6, pemantauan dilakukan lebih
sering (dapat setiap dua jam sampai nyeri teratasi).Sedangkan nyeri VAS 7-10
pemantauan dilakukan setiap 1 jam sampai nyeri teratasi.

Pasien kembali diminta untuk menyebutkan berapa skor nyeri yang dialaminya
pada saat itu serta pasien diminta untuk mendeskripsikan hal-hal yang berkaitan dengan
timbulnya nyeri, seperti misalnya nyeri timbul pada istirahat atau pergerakan, menarik
nafas, batuk, dll. Pasien juga diminta untuk menyebutkan adanya efek samping yang
mungkin timbul dari pemberian obat-obatan anestesi seperti mual atau muntah, gatal-
gatal, gangguan berkemih, gangguan pergerakan pada panggul atau ekstrimitas. Untuk
menilai keberhasilan terapi, pasien juga diminta untuk menilai derajat kepuasannya
terhadap terapi nyeri yang sudah diberikan. Hasil pemantauan tersebut kemudian dicatat
untuk dibandingkan dengan penilaian sebelumnya. Jika terdapat perbaikan/perburukan
hasil penilaian, tatalaksana nyeri dapat segera diubah sesuai kondisi pasien.

8
BAB II

RUANG LINGKUP

Pelayanan nyeri di RS ELIM Rantepao meliputi semua pasien yang datang baik
pasien di Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Gawat Darurat (IGD), pelayanan One Day Care
(ODC), maupun Ruang Rawat Inap biasa serta Ruang Rawat Inap khusus

Pelayanan nyeri yang diberikan mencakup, pasien neonatus, bayi, dan anak, pasien
dewasa, pasien psikiatri, pasien dengan keadaan kritis/ kesadaran menurun seperti di ICU,
pasien dengan end of life care, pasien dengan nyeri kronik, serta pasien ibu hamil saat
menjalani persalinan.

9
BAB III

TATA LAKSANA

A. Penilaian Nyeri meliputi :


P (Provocation) : Mengkaji faktor pencetus nyeri termasuk faktor yang memperberat
nyeri yang dialami pasien.
Q (Quality) : Mengkaji gambaran nyeri yang dirasakan pasien
R (Radiasi) : Mengkaji penyebaran nyeri pada organ sekitar area nyeri
S (Severity) : Mengkaji skala nyeri dengan menggunakan 4 metodesesuai dengan
kondisi pasien atau usia pasien.
T (Time) : Mengkaji durasi nyeri yang dirasakan oleh pasien.

B. Tatalaksana nyeri Mandiri


1. Anamnesis
a. Riwayat penyakit sekarang
1) Onset nyeri : akut atau kronik, traumatik atau non traumatik
2) Karekter dan derajat keparahan nyeri ; nyeri tumpul, nyeri tajam, rasa
terbakar, tidk nyaman, kesemutan, neuralgia.
3) Pola penjalaran/ penyebaran nyeri
4) Durasi dan lokasi nyeri
5) Gejala lain yang menyertai misalnya kelemahan, baal, kesemutan, mual/
muntah atau gangguan keseimbangan/ kontrol motorik.
6) Faktor yang memperberat dan memperingan
7) Kronisitas
8) Hasil pemeriksaan dan penanganan nyeri sebelumya termasuk respons terapi
9) Gangguan/ kehilangan fungsi akibat nyeri/ luka
10) Penggunaan alat bantu
11) Perubahan fungsi mobilitas, kognitif, irama tidur dan aktivitas hidup dasar
(activity aof daily living)
12) Singkirkan kemungkinan potensi emergensi pembedahan, seperti adanya
fraktur yang tidak stabi, gejala neurologis progresif cepat yang berhubungan
dengan sidrom kauda ekuina

10
b. Riwayat pembedahan/ penyakit dahulu
c. Riwayat psiko-sosial
1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotik
2) Identifikasi pengasuh/ perawat utama (primer) pasien
3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan
eksaserbasi nyeri
4) Pembatasan/ restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi
menimbulkan stres. Pertimbangakan juga aktivitas penggantinya
5) Masalah psikiatri (misalnya depresi, cemas, ide ingin bunuh diri) dapat
menimbulan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan
program penanganan/ menajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan
masalah psikiatri, diperlukan dukungan psikoterapi/ psikofarmataka
6) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi
pasien/ keluarga
d. Riwayat pekerjaan
Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda
berat, membungkuk atau memutar, merupakan pekerjaan tersering yang
berhubungan dengan nyeri punggung.
e. Obat-obatan dan alergi
1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri (suatu
studi menunjukkan bahwa 14% populasi di AS mengkonsumsi suplemen/
herbal dan 36% mengkonsumsi vitamin)
2) Cantumkan juga mengenai dosis, tujuan minum obat, durasi, efektifitas, dan
efek samping
3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memperhatikan obat-obatan dengan
efek samping kognitif dan fisik.

f. Riwayat kelluarga
Evaluasi riwayat medis keluarga terutama penyakit genetik
g. Assesmen sistem organ yang komprehensif
1) Evaluasi gejal kardiovaskular, psikiatri, pulmoner, gastrointestinal, neurologi),
reumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal)

11
2) Gejala konstitusional ; penurunan berat badanm nyeri malam hari, keringat
malan dan sebagainya.
2. Cara meringankan nyeri atau mengurangi nyeri sampai tingkat kenyamanan yang
dapat diterima klien, antara lain :
a. Distraksi
Suatu metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian
klien pada hal-hal lain sehingga klien akan lupa terhadap nyeri yang dialami
Adapun Tipe Distraksi adalah sebagai berikut :
1) Distraksi visual
- Membaca/ menonton TV
- Menonton pertandingan
- Imajinasi terbimbing
2) Distraksi Auditori
- Humor
- Mendengar musik
3) Distraksi Taktil
- Bernapas perlahan & berirama
- Masase
- Memegang mainan
4) Distraksi Intelektual
- Teka teki silang
- Permainan kartu
- Hobi (menulis cerita)

b. RELAKSASI
Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada klien yang
mengalami nyeri kronis. Rileks sempurna yang dapat mengurangi ketegangan
otot, rasa jenuh, kecemasan sehingga mencegah menghebatnya stimulus nyeri.
Tiga hal utama yag dibutuhkan dalam teknik relaksasi adalah :
a. Posisi klien yang tepat
b. Pikiran istirahat
c. Lingkungan yang tenang

12
Prosedur pelaksanaan
a. Atur posisi klien agar rileks, posisi dapat duduk atau berbaring
b. Instruksikan klien untuk menghirup nafas dalam sehingga rongga paru berisi
udara yang bersih
c. Instruksikan klien secara perlahan untuk menghembuskan udara dan
membiarkannya keluar dari setiap anggota bagian tubuh. Bersamaan dengan
ini minta klien untuk memusatkan perhatian ”betapa nikmat rasanya”
d. Instruksikan klien untuk bernafas dengan irama normal beberapa saat (1-2
menit)
e. Instruksikan klien untuk nafas dalam, kemudian menghenbuskan perlahan-
lahan dan merasakan saat ini udara mengalir dari tangan, kaki menuju ke
paru kemudian udara dibuaang keluar. Minta klien memusatkan perhatian
pada kaki dan tangan, udara yan dikeluarkan dan merasakan kehangatannya
f. Instruksikan klien untuk mengulangi prosedur no.5 dengan memusatkan
perhatian pada kaki, tangan, punggung, perut dan bagian tubuh yang lain.
g. Setelah klien merasa rileks, minta klien secara perlahan menanbah irama
pernafasan. Gunakan pernafasan dada atau abdomen. Jika nyeri bertambah
gunakan pernafasan dangkal dengan frekuensi yang lebih cepat.

c. Relaksasi Progresif
Teknik relaksasi otot dalam yang tidak memerlukan imajinasi, ketekunan atau
sugesti
Pelaksanaan Prosedur
a. Beritahu klien bagaimana cara kerja relaksasi progresif
b. Jelaskan tujuan dan prosedur
c. Demonstrasikan metode menegangkan dan relaksasi otot dengan cara
menegangkan kelompok otot sekitar 5-10 detik dan kemudian
melepaskannya selama kurang lebih 30 detik
d. Cuci tangan
e. Berikan privasi klien
f. Bantu klien ke posisi yang nyaman (pastikan bagian tubuh disangga dan
sendi agak fleksi tanpa ada tegangan atau tarikan otot)

13
g. Anjurkan klien untuk mengistirahatkan pikiran (meminta klien untuk
memandang sekeliling ruangan secara perlahan)
h. Minta klien untuk menegangkan dan merelaksasi setiap kelompok otot
Lakukan pada setiap kelompok otot, dimulai dari sisi yang dominan:
1) Tangan dan lengan bawah
2) lengan atas
3) Dahi
4) Wajah
5) Leher Dada, bahu dan punggung
6) Abdomen
7) Paha
8) Otot betis]
9) Kaki
i. Dorong klien untuk bernapas perlahan dan dalam.
j. Bicara dengan suara tenang yang mendorong relaksasi dan pimpin klien
untuk berfokus pada setiap kelompok otot (missal “ buat kepalan tangan
yang kuat, genggam kepalannya dengan sangat kuat, tahan tegangan 5-7
detik, lepaskan seluruh tegangan dan nikmati perasaan saat ototmu menjadi
relaks dan mengendur)
k. Kerutkan dahi keatas pada saat yang sama, tekan kepala sejauh mungkin ke
belakang, putar searah jarum jam dan kebalikannya, kemudian anjurkan
klien untuk mengerutkan otot muka : cemberut, mata dikedip-kedipkan,
bibir dimonyongkan kedepan, lidah ditekan ke langit-langit dan bahu
dibungkukkan 5-7 detik. Bimbing klien ke arah otot yang tegang, anjurkan
klien untuk memikirkan rasanya, dan tegangkan otot sepenuhnya kemudian
rileks 12-30 detik.
l. Lengkungkan punggung ke belakang sambil menarik nafas dalam, tekan
keluar lambung, tahan lalu rileks. Tarik nafas dalam, tekan keluar perut,
tahan, rileks.
m. Tarik jari dan ibu jari ke belakang mengarah ke muka, tahan, rileks. Lipat
ibu jari secara serentak, kencangkan betis paha dan pantat selama 5-7 detik,
bimbing klien ke arah otot yang tegang, anjurkan klien untuk

14
merasakannya, dan tegangkan otot sepenuhnya, kemudian rileks selama 12-
30 detik
n. Ulangi prosedur untuk kelompok otot yang tidak rilesk
o. Akhiri latihan relaksasi
- Minta klien untuk menggerakkan badan secara perlahan dari tangan,
kaki, lengan, tungkai, dan terakhir kepala, leher.
p. Dokumentasikan
d. ImajinasiTerbimbing
Persiapan
Sediakan lingkungan yang nyaman dan tenang
Pelaksanaan
1. Jelaskan tujuan prosedur
2. Cuci tangan
3. Berikan privasi klien
4. Bantu klien ke posisi yang nyaman
- Posisi bersandar dan minta klien untuk menutup matanya
- Gunakan sentuhan jika klien terasa nyaman
5. Implementasikan tindakan untuk menimbulkan relaksasi
- Minta klien untuk memikirkan hal-hal yang menyenangkan atau
pengalaman yang membantu penggunaan semua indra dengan suara yang
lembut.
- Ketika klien rileks, klien berfokus pada bayangannya dan saat itu perawat
tidak perlu bicara lagi
- Jika klien menunjukkan tanda-tanda agitasi, gelisah atau tidak nyaman,
hetikan latihan dan memulainya lagi ketika klien telah siap.
- Relaksasi akan mengenai seluruh tubuh. Setelah 15 menit, klien harus
memperhatikan tubuhnya. Biasanya klien rileks setelah menutup mata atau
mendengarkan musik yang lembut sebagai bagroud yang membantu
- Catat hal-hal yang digambarkan klien dalam pikiran untuk digunakan pada
latihan selanjutnya dengan menggunakan informasi spesifik yang
diberikan klien dan tidak membuat perubahan pernyataan klien.

15
e. Pemijatan (Masase)
Pengurutan dan pemijatan yang menstimulasi sirkulasi darah serta metabolisme
dalam jaringan.
1) Tujuan
- Mengurangi ketegangan otot
- Meningkatkan relaksasi fisik dan psikologis
- Mengkaji kondisi kulit
- Meningkatkan sirkulasi/peredaran darah pada area yang dimasasege
2) Persiapan Alat
- Pelumas (minyak hangat/lotion)
- Handuk
3) Prosedur pelaksanaan
Siapkan alat-alat yang dibutuhkan
- dentifikasi klien
- Jelaskan tujuan dan prosedur
- Cuci tangan Atur klien dalam posisi telungkup. Jika tidak bisa, dapat diatur
dengan posisi miring.
a. Letakkan Sebuah bantal kecil di bawah perut klien untuk menjaga posisi
yang tepat
b. Tuangkan sedikit lotion ke tangan. Usap kedua tangan sehingga lotion rata
pada permukaan tangan.
c. Lakukan masase pada punggung. Masase dilakuka dengan menggunakan
jari-jari dan telapak tangan, dan tekanan yang halus.
d. Metode masase :
- Selang-seling tangan. Masase punggung dengan tekanan pendek,
cepat,bergantian tangan

C. Tatalaksana Nyeri pada Pasien Dewasa

Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien harus dilakukan penilaian derajat
nyeri terlebih dahulu. Setiap DPJP berhak memberikan tatalaksana awal pada pasiennya
dengan derajat nyeri > 4. Pilihan obat yang dapat diberikan antara lain:

16
Tabel 4. Obat-obatan analgesia yang diberikan oleh DPJP

Obat Dosis Keterangan


Parasetamol 3 x 500-1000 mg KI : pada ggn fungsi hati
Oral, intra vena
Ketorolac 3 x 30 mg KI : hipersensitifitas, ulkus peptik aktif,
Intra vena gangguan fungsi ginjal
Tramadol 3 x 50-100 mg KI : hipersensitif, mendapatkan penghambat
Intra vena MAO. Perhatian: peningkatan TIK, ggn fs
ginjal dan hati
Profenid 3 x 100 mg KI :hati-hati pada pasien dengan riwayat alergi
Suppositoria Suppositoria obat dan asma bronchial, ulkus peptikum aktif,
penyakit tromboembolik,pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
Asam mefenamat 3 x 500 mg KI : riwayat penyakit tromboembolik,
Oral hipersensitifitas
Parecoxib IV 2-3 x 40 mg KI :analgetik post op CABG (Coronary Artery
Intra vena Bypass Graft), gagal jantung, ulkus peptik
aktif, riwayat alergi setelah mengkonsumsi
NSAID atau asam salisilat
Obat golongan
NSAID, opioid
lemah lainnya, dsb

Jika setelah tatalaksana yang optimal dari DPJP diberikan, namun pada penilaian
ulang masih didapatkan derajat nyeri pasien> 4, maka pasien dapat dikonsultasikan ke tim
penanganan nyeri dengan menggunakan surat rujukan internal.
Tatalaksana nyeri oleh tim penanganan nyeri akan dimulai dengan penilaian derajat
nyeri pasien menggunakan metode yang sesuai dengan usia dan kondisi pasien. Tim
tatalaksana nyeri dilakukan oleh spesialis Anestesi dan dokter spesialis lain yang ditunjuk,
akan melakukan terapi tatalaksana nyeri pada pasien rawat jalan serta pasien rawat inap.
Tim Tatalaksana Nyeri juga akan melakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisik,melihat hasil-hasil pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan derajat
/skala nyeri pasien dengan lebih tepat, serta mengetahui terapi analgetik apa saja yang
sudah diberikan kepada pasien dan apa reaksi yang ditimbulkan dari terapi tersebut.
Pilihan obat analgesia sistemik bolus secara intravena yang digunakan antara lain adalah
sebagai berikut :

17
1. Patient Controlled Analgesia (PCA) intravena opioid
Obat Dosis Keterangan
Morfin Bolus 1-5 mg Dapat disertai infus
Interval : 5-10 menit morfin kontinu sesuai
Dosis maksimal : 0,3 mg/kgBB/jam kebutuhan
(atau dapat lebih besar pada pasien
dengan intoleransi opioid)
Fentanyl Bolus 10-50 µg Dapat disertai infus
Interval : 5-10 menit fentanyl kontinu sesuai
Dosis maksimal : 30 µg/kgBB/jam kebutuhan
Pethidin Bolus 10-50 mg Dapat disertai infus
Interval : 5-10 menit pethidin kontinu sesuai
Dosis maksimal : 3 mg/kgBB/jam kebutuhan
Tabel 5. Obat-obatan analgesia yang diberikan melalui PCA IV
2. Analgesia multimodal : kombinasi dari berbagai modalitas nyeri untuk mendapatkan
terapi nyeri yang efektif dan efek samping yang minimal.
3. Analgesia Epidural :
Dapat diberikan dalam bentuk injeksi dalam jangka waktu tertentu (6 sampai 12 jam)
berupa obat anesthesia lokal, opioid atau kombinasi anesthesia lokal dan opioid sesuai
kebutuhan pasien. Besarnya dosis ditentukan jenis epidural (torakal atau lumbal),
jumlah segmen yang akan diblok ), jenis operasi , keadaan umum pasien dan penyakit
penyerta pada pasien.
Anestesia Lokal Opioid Interval Keterangan
Bupivakain 0.0625 Fentanyl 1 – 2 Setiap 6 – 12 jam Dosis pada
% - 0.125% 5 – mikgr/ cc 5 – 20 dewasa, pada
20 cc cc pediatrik
disesuaikan
dengan BB pasien.
Ropivakain 0.1% - Morfin 1 – 5 mg
0.25% 5 – 20 cc
Petidin 10 – 50
mg

18
Tabel 6. Obat-obatan untuk pemberian analgesia epidural bolus

Dapat diberikan dalam bentuk infus kontinu berupa obat anestesia lokal, opioid atau
kombinasi anestesia lokal dan opioid . Besarnya dosis ditentukan jenis epidural
(torakal atau lumbal), jumlah segmen yang akan diblok ), jenis operasi , keadaan
umum pasien dan penyakit penyerta pada pasien.
Anestesia Opioid Dosis Dosis max Keterangan
Lokal
Bupivakain Fentanyl 1 – 2 2 – 12 ml / Infus Dosis pada
0.0625% - mikgr/ cc 2 – jam bupivakain, dewasa.
0.125% 2 -12 12 cc/ jam ropivakain Bila
cc/ jam maks 14 ml/ dibutuhkan
jam dosis dapat
dinaikkan
sesuai
kebutuhan
pasien
Ropivakain 0.1 Morfin 0.05 –
% - 0.25% 2 – 0.5 mg/jam
12 cc/jam
Tabel 7. Obat-obatan untuk pemberian analgesia epidural continu
Dapat juga diberikan dalam bentuk Patient Controlled Epidural Analgesia
(PCEA)
Pada PCEA , regimen dapat diberi dalam bentuk bolus saja tanpa infus kontinu
atau infus kontinu dan bolus.
Bolus Lock out interval Infus kontinu Dosis maks
Bupivakain 10 – 30 menit 4 – 6 ml/ jam 14 ml/jam
0.0625% - 0.125 %
2 – 4 cc + fentanyl
1 -2 mkgr/cc

19
Ropivakain 0.1 –
0.25% 2 -4 cc +
fentanyl 1 -2
mikgr/cc
Tabel 8. Obat-obatan untuk pemberian PCEA

4. Analgesia Intratekal
Dapat diberikan dalam bentuk injeksi obat anestesia lokal , opioid atau kombinasi
anestesia lokal dan opioid dalam interval waktu tertentu.
Anestesia Lokal Opioid Interval Keterangan
Bupivakain 0.0625 Fentanyl 10 – Setiap 6 – 12 jam Dosis pada
% - 0.125% 0.5 – 25mikgr dewasa, pada
5 cc pediatrik
disesuaikan
dengan BB pasien.
Ropivakain Morfin 0.05 – 0.5 Dosis opioid dapat
0.125% - 0.25% mg lebih bila
0.5 – 5 cc dibutuhkan pada
kasus tertentu
Tabel 9. Obat-obatan untuk pemberian analgesia intratekal
5. Analgesia Blok Perifer (Interskalenus, Supraklavikula, Femoralis, Sciatic)
Dapat diberikan dalam bentuk injeksi obat anestesia lokal dalam jangka waktu
tertentu.

Anestesia lokal Dosis Interval


Bupivakain 0.0625% - 10 – 30 cc 6 – 12 jam
0.125%
Ropivakain 0.125% - 10 – 30 cc 6 – 12 jam
0.25%

20
Tabel 10. Obat-obatan untuk pemberian analgesia blok perifer

Dapat juga diberikan dalam bentuk infus kontinu anestesia lokal


Anestesia Lokal Dosis
Bupivakain 0.0625% - 4 – 8 cc/jam
0.125%
Ropivakain 0.0.125% - 4- 8 cc/jam
0.25%

Setelah tatalaksana nyeri diberikan oleh tim tatalaksana nyeri, tim akan melakukan
evaluasi / penilaian ulang derajat nyeri pasien dan memantauhasil pemberian obat
analgesia secara kontinu. Interval pemantauan disesuaikan dengan jenis modalitas
analgesia.Jika masih didapatkan derajat nyeri masih > 4 setelah pemberian tatalaksana
nyeri, maka dilakukan evaluasi kembali penanganan nyeri pasien oleh tim tatalaksana
nyeriuntuk penambahan / perubahan modalitas nyeri yang diberikan.

D. Tatalaksana Nyeri pada Pasien di IGD

Tatalaksana nyeri pada pasien di IGD bertujuan untuk memberikan tatalaksana


nyeri yang efektif sehingga dapat dicegahnya morbiditas akibat nyeri pada pasien IGD.
Prosedur tatalaksana pasien di IGD diawali dengan dilakukannya triage oleh dokter dan
perawat triage. Penilaian derajat nyeri pada pasien IGD dilakukan dengan
memperhatikan kondisi klinis pasien. Pasien dengan keadaan mengancam jiwa segera
dilakukan resusitasi oleh tim IMET dan setelah pasien stabil dapat dilakukan penilaian
derajat nyeri. Sedangkan pasien yang stabil dilakukan penilaian derajat nyeri pada saat
triage dan didokumentasikan pada formulir triage di IGD.
Penatalaksanaan nyeri pasien di IGDditindak lanjuti oleh dokterjaga APS yang
dikonsultasikan dokter DPJP untuk tatalaksana nyeri. Nyeri yang tidak tertahankan dapat
dikonsulkan ke tim tatalaksana nyeri. Tim tatalaksana nyeri akan melakukan evaluasi
terhadap jenis nyeri (akut atau kronik), sumber nyeri (trauma,keganasan, pemasangan
WSD atau perawatan luka), derajat nyeri (menggunakan penuntun skala nyeri sesuai
dengan kondisi pasien, dan derajat nyeri pasien dengan menggunakan skala nyeri yang
sesuai.

21
Pemilihan obat dan teknik tatalaksana nyeri pasien di IGD harus disertai dengan
pertimbangan terhadap keadaan umum pasien, tanda vital, penyakit yang mendasari,
gangguan organ yang ada, efek samping serta kemungkinan alergi terhadap obat yang
akan diberikan.

E. Tatalaksana Nyeri pada Pasien Geriatri (usia 65 tahun keatas)

Tatalaksana nyeri pada pasien geriatri ini ditujukan untuk memberikan terapi nyeri
secara efektifdengan mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi
pada pasien-pasien geriatri.
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien geriatri harus dilakukan
penilaian derajat nyeri. Penilaian derajat / skala nyeri pada pasien geriatri dilakukan
menggunakan Numerical Rating Scale atau FACES pain scale.Hasil penilaian kemudian
dicatat dalam status penilaian derajat nyeri pasien.Pada pasien geriatrik dengan penurunan
kesadaran dapat digunakanNon verbal Pain Scale Revised.
Penentuan pilihan obat yang digunakan pada tatalaksana nyeri pada pasien geriatri
harus mempertimbangkan perubahan-perubahan fisiologis pada pasien geriatri.Obat-
obatan analgesia yang umumnya diberikan pada pasien-pasien geriatri antara lain adalah:
opioid (dengan dosis opioid yang diberikan adalah setengah dari dosis dewasa muda),
paracetamol dan NSAID (dengan pemantauan efek samping). Dapat juga dengan metode
PCA.

F. TatalaksanaNyeri pada Ibu Hamil dalam Persalinan (Analgesia Persalinan)

Tatalaksana nyeri pada ibu hamil bertujuan untuk memberikan kondisi yang
nyaman pada proses persalinan dimana ibu bersalin diberikan terapi yang menyebabkan
berkurang/hilangnya rasa nyeri selama proses persalinan.
Tatalaksana nyeri pada ibu hamil dimulai dengan penilaian kondisi pasien yang dapat
dilakukan pada kunjungan antenatal di poliklinik, maupun setelah permintaan analgesia
persalinan diterima oleh dokter anestesi di Kamar Bersalin. Saat kunjungan pra-anestesi,
konsulen DPJP melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian hasil pemeriksaan
penunjang untuk menetukan apakah terdapat indikasi/kontraindikasi analgesia persalinan.

22
Indikasi analgesia persalinan meliputi:
a. Permintaan pasien
b. Pasien yang hanya bisa sedikit mentolerir nyeri
c. Proses persalinan yang diduga berlangsung lama, misalnya persalinan kembar
Sedangkan kontraindikasinya meliputi :
a. Penolakan pasien
b. Pasien tidak kooperatif
c. Kelainan neurologis
d. Gangguan faal koagulasi
e. Infeksi pada tempat penyuntikan
f. Kondisi hipovolemia
Pada pasien juga harus dijelaskan mengenai proses, urutan prosedur, efek samping
yang mungkin timbul, serta langkah-langkah untuk menangani efek samping tersebut.
Pilihan-pilihan analegesia persalinan yang tersedia adalah sebagai berikut :
1. Spinal analgesia
2. General Analgesia
Pilihan tersebut dipengaruhi oleh kondisi ketersediaan alat dan preferensi dokter
anestesia yang melakukan. Pelaksanaan tindakan harus didahului dengan informed
consent sebelum prosedur dan tercatat pada status pasien.

1. Tatalaksana Nyeri Persalinan dengan Analgesia Epidural


Teknik analgesia epidural adalah menyuntikkan obat anestesia lokal dengan atau
tanpa obat tambahan lain ke ruang epidural untuk mengurangi nyeri pada proses
persalinan. Tujuan dari pemberian analgesia epidural ini adalah untuk meningkatkan
kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan.
Pemberian analgesia epidural ini diberikan dalam bentuk injeksi epidural dalam
jangka waktu tertentu (6 sampai 12 jam) berupa obat anestesia lokal, opioid atau
kombinasi anestesia lokal dan opioid sesuai kebutuhan pasien. Besarnya dosis
ditentukan jenis epidural (torakal atau lumbal), jumlah segmen yang akan diblok),
keadaan umum pasien, dan penyakit penyerta pada pasien.
Bila diberikan dalam bentuk infus kontinu berupa obat anestesia lokal, opioid
atau kombinasi anestesia lokal dan opioid, besarnya dosis ditentukan jenis epidural

23
(torakal atau lumbal), jumlah segmen yang akan diblok ), keadaan umum pasien, dan
penyakit penyerta pada pasien.
Regimen yang digunakan:
1. Induksi Analgesia:
a. Usahakan mencapai sasaran level sensorik sampai sekitar T 10
b. Untuk pasien dengan nyeri sedang sampai berat, sering diperlukan dosis total
ropivakain 0,2% 8-12 ml atau bupivakain 0,125% - 0,25% 8-12 mL dengan
fentanil 1-2 ug/mL
c. Untuk pasien dengan nyeri ringan atau yang sedang menunggu induksi dengan
infus oksitosin, dapat digunakan solusi yang lebih cair, dengan ropivakain 0,1
- 0,125% 8-12 ml atau bupivakain 0,0625%-0,125% 8-12 mL dengan fentanyl
1-2 ug/ml.
d. Seorang dokter anestesia dapat memberikan jenis dan campuran obat yang lain
sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang diharapkan.
e. Selalu perlakukan setiap pemberian obat sebagai test dose, dengan
menginjeksi tidak lebih dari 5ml dalam sekali pemberian.
f. Efek analgetik blok epidural seharusnya tampak dalam 10-20 menit
(tergantung jenis obat yang digunakan). Bila tidak, curigai penempatan yang
tidak benar dan lakukan reposisi kateter tersebut.
2. Pemeliharaan Analgesia, dapat dilakukan dengan cara infus kontinyu atau bolus
intermiten:
a. Infus kontinu: ropivakain 0,1% + fentanyl 1-3 ug/ml atau bupivakain 0,1%
dengan kecepatan 8-12 ml /jam.
b. Bila pasien masih nyeri, singkirkan kemungkinan kandung kemih penuh dan
kondisi berbahaya lain, seperti ruptur uterus, terutama pada pasien yang
sedang menjalani trial of scar. Periksa ketinggian blok, blok unilateral, atau
perpindahan kateter.
c. Bolus intermiten dengan pemberian top-up: dosis top-up ropivakain atau
bupivakain 5-10ml setiap 1 jam
d. Pada pasien yang mendekati tahap ke-2 persalinan mungkin memerlukan
konsentrasi yang lebih tinggi, seperti ropivakain 0,5%, Pemberian tambahan
fentanyl sampai 50ug dapat membantu pada tahap ini.

24
e. Kateter harus diaspirasi sebelum semua pemberian dosis top-up dan tiap dosis
diberikan paling banyak 3ml. Perlakukan setiap dosis top-up seperti test dose

2. Tatalaksana Nyeri Persalinan dengan Analgesia Spinal


Teknik analgesia spinal adalah menyuntikkan obat anestesia lokal dengan atau
tanpa obat tambahan lain ke ruang subarakhnoid untuk mengurangi nyeri pada proses
persalinan. Tujuan pemberian analgesia spinal adalah untuk meningkatkan
kenyamanan pasien pada saat melahirkan dan mencegah efek samping yang tidak
diinginkan dari analgesia persalinan yang lain.
Umumnya pada pemberian analgesia spinal, sesaat sebelum tindakan anestesia
spinal dilakukan, pasein diberikan cairan kristaloid (co-loading), dan pasien
diposisikan duduk atau berbaring miring ke lateral dan fleksi maksimal, serta
dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik pada area lumbal belakang sesuai protokol
aseptik dan antiseptik standar.
Jenis dan campuran obat spinal yang dapat digunakan antara lain Bupivakain,
Ropivakain, Fentanyl, dan Morfin. Namun dokter anestesi dapat memberikan jenis
dan campuran obat yang lain sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang
diharapkan. Apabila masih didapatkan nyeri, dapat dilakukan ulangan spinal dengan
dosis yang disesuaikan.

3. Tatalaksana Nyeri Persalinan dengan Analgesia CSEA (Combined Spinal


Epidural Analgesia)
Teknik analgesia CSE adalah menyuntikkan campuran anestetik lokal dengan atau
tanpa obat tambahan lain ke ruang subarakhnoid dan epidural untuk mengurangi nyeri
pada proses persalinan. Tujuan dari analgesia CSEA adalah meningkatkan
kenyamanan pasien dan mencegah efek samping yang tidak diinginkan dari
penggunaan metode analgesia persalinan yang lain.
Adapun Regimen yang digunakan adalah:
1. Induksi Analgesia:
a. Kombinasi bupivakain intratekal dan opioid dapat digunakan untuk
memberikan durasi analgesia yang lebih panjang.

25
b. Seorang dokter anestesia dapat memberikan jenis dan campuran obat yang lain
sesuai preferensinya untuk mendapatkan efek yang diharapkan.
2. Pemeliharaan Analgesia:
a. Kateter epidural harus selalu diaspirasi sebelum memasukkan obat untuk
memastikan tidak masuk ke dalam ruang subarakhnoid atau ruang
intravaskular.
b. Untuk mencapai blok yang diinginkan untuk nyeri persalinan, total ropivacain
0,2% atau bupivacain 0,0625-0,125% 5-10 ml sudah adekuat. Penambahan top
up fentanyl 50 ug mungkin dibutuhkan mendekati fase kedua dari persalinan.
c. Analgesia dapat terpelihara dengan infusan epidural kontinyu dari ropivacain
0,1-0,2% atau bupivacain 0,0625-0,125% 5-10 ml/jam ± Fentanyl 1-3mcg/ml.
Monitoring pada pasien dengan analgesia persalinan harus baik. Hal-hal yang harus
diperhatikan antara lain:
 Selalu jaga kontak verbal dan damping pasien minimal selama 20 menit setelah
pemberian dosis pertama dan tiap pemberian dosis top-up.
 Tekanan darah harus diperiksa setiap 5 menit pada 20 menit setelah pemberian
dosis pertama, dan dilanjutkan setiap 30 menit.
 Pastikan level blok yang diinginkan dengan menguji hilangnya sensasi dingin
secara bilateral.
 Pasien diinstruksikan untuk selalu berbaring miring ke salah satu sisi, dan untuk
berpindah sisi setiap jam. Mereka juga diminta untuk memberitahu staf
perawatan bila timbul rasa baal di dada, atau sulit bernapas.
 Perawat diminta tidak meninggalkan pasien tanpa pengawasan dan melaporkan
kepada anestesiologis bila pasien mengalami disorientasi, dispneu, hipotensi, atau
efek samping yang lain.
 Persalinan harus dimonitor ketat, terutama monitoring denyut jantung janin.
Anestesiologis harus menilai secara berkala kecukupan blok dan efek samping
atau komplikasinya.

26
G. Tatalaksana Nyeri pada Pasien dengan PCA IV (Patient-Controlled Analgesia
Intravenous)

Patient-controlled analgesia intravena(PCA-IV) adalah modalitas pemberian obat-


obatan anti nyeri secara intravenadimana pasien memegang kontrol untuk pemberian obat
yang ada dengan dosis obat disesuaikan dengan kebutuhan pasien.PCA-IV diberikan pada
pasien yang membutuhkan tatalaksana nyeri namun memenuhi kriteria pemasangan PCA-
IV yang sudah ditentukan, dan merupakan pasien RSUPN CM. Pemberian terapi nyeri
dengan menggunakan alat kontrol Patient Controlled Analgesia (PCA)diberikan oleh
dokter anestesiologi atau Tim Tatalaksana nyeri.
Pilihan obat-obatan yang dapat digunakan dengan alat PCA-IV adalah opioid iv
(morfin, fentanyl, petidin) dan anestesi lokal epidural (bupivakain, lidokain, dan
ropivakain) untuk PCEA.

Adapun indikasi terapi analgesia dengan menggunakan teknik PCA-IV adalah sebagai
berikut:
1. Pasien dengan pembedahan di daerah leher, toraks, abdomen, ekstremitas yang
diprediksi akan mengalami nyeri berat pasca bedah (VAS > 50mm)
2. Nyeri kanker
3. Nyeri kronik
Kontraindikasi terapi analgesia menggunakan PCA-IV meliputi:
1. Pasien menolak
2. Pasien dengan keterbatasan mental dan fisik untuk mengaktifasi tombol alat PCA
3. Alergi terhadap obat analgesia intravena PCA
Kriteria tambahan lainnya yang harus dipenuhi pasien yang akan mendapat modalitas
PCA-IV meliputi:
1. Pasien sadar penuh
2. Usia diatas 12 tahun
3. Mengerti cara menggunakan alat PCA IV, hanya mengaktifkannya bila merasa
sakit.
4. Tidak memiliki riwayat ketergantungan opioid

27
Pada pasien dengan nyeri atau pasien pasca bedah yang membutuhkan PCA-IV, dokter
spesialis anestesiologi akan memberikan instruksi regimen analgesia PCA-IV. Instruksi
ini akan meliputi jenis obat, dosis bolus inisiasi, dosis bolus, interval waktu, dan dosis
maksimal tiap jam. PCA-IV ini akan dihubungkan dengan jalur intravena pasien. Seluruh
catatan tersebut, beserta tanggal dan jam pemasangan PCA-IV harus dicatat dalam rekam
medis pasien yang bersangkutan.
Obat Dosis Keterangan
Morfin Bolus 1-5 mg Dapat disertai infus morfin
Interval : 5-10 menit kontinu sesuai kebutuhan
Dosis maksimal : 0,3 mg/kgBB/jam
(atau dapat lebih besar pada pasien
dengan intoleransi opioid)
Fentanyl Bolus 10-50 µg Dapat disertai infus
Interval : 5-10 menit fentanyl kontinu sesuai
Dosis maksimal : 30 µg/kgBB/jam kebutuhan
Pethidin Bolus 10-50 mg Dapat disertai infus
Interval : 5-10 menit pethidin kontinu sesuai
Dosis maksimal : 3 mg/kgBB/jam kebutuhan
Tabel 11. Regimen PCA iv yang dapat digunakan
Pasien yang mendapat PCA-IV harus dimonitor secara periodik di ruang pulih dan ruang
rawat oleh dokter anestesio atau tim tatalaksana nyeri, maupun oleh perawat ruangan.
Hal-hal yang harus dipantau meliputi:
1. Tanda vital pasien
2. Skala nyeri (dilakukan setiap 8 jam bila VAS < 4, setiap 2 jam bila VAS > 4)
3. A/D rasio (persentase keberhasilan penghantaran obat bolus dari sejumlah
permintaan pasien) setiap 12 jam
4. Pruritus, retensi urine, dan derajat sedasi setiap 24 jam

Hasil setiap kali observasi harus tercatat di dalam status pasien. Dan bila didapatkan
kelainan pada kondisi pasien, harus menghubungi DPJP pasien / dokter anestesi yang
bersangkutan / tim tatalaksana nyeri.
Pada pasien dengan tatalaksana PCA-IV dapat terjadi keadaan yang disebut dengan
”breakthrough pain”. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan skala nyeri (VAS > 4)
pada pasien dengan terapi analgesia PCA-IV. Dalam kondisi ini, tindakan yang harus
dilakukan adalah:

28
1. Memastikan alat PCA dalam keadaan baik
a. Apakah IV line tercabut?
b. Memastikan setting PCA IV sesuai dengan regimen yang dipilih
2. Menaikkan dosis bolus PCA IV berikutnya atau set background infusion
3. Menambahan analgesia intravena/oral
a. Golongan opioid : fentanyl, tramadol
b. NSAID : ketorolac, paracetamol
4. Menghubungi / melaporkan kepada DPJP / Tim tatalaksana nyeri apabila
didapatkan breakthrough pain
5. Kondisi pasien dan semua tindakan harus tertulis pada rekam medis yang
bersangkutan.
PCA-IV dapat pula memberikan efek samping dan komplikasi pada pemakainnya. Efek
samping/komplikasi yang dapat terjadi dan cara penanggulanannya antara lain:
1. Bila terjadi hipotensi :
a. Berikan cairan kristaloid atau koloid dengan jumlah sesuai keadaan umum
dan kondisi dasar pasien
b. Efedrin/vasopresor lainnya
c. Pertimbangkan untuk penyesuaian dosis PCA iv berikutnya
2. Bila terdapat bradikardia, :
a. SA
b. Adrenalin
c. Pertimbangkan untuk penyesuaian dosis PCA iv berikutnya
3. Bila sampai henti nafas dan henti jantung : berikan Bantuan Hidup Dasar dan
Bantuan Hidup Lanjut
4. Mual muntah dapat diberikan Antiemetik : ondansetron atau granisetron dengan
dosis sesuai keadaan dan kondisi pasien
5. Bila terjadi pruritus berikan Naloxone, dengan dosis titrasi, mulai 0,2 mg pada
dewasa
6. Bila terjadi retensi urine lakukan kateterisasi urin

29
H. Tatalaksana Nyeri pada Pasien dengan gangguan fungsi Ginjal

Tatalaksana nyeri pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal bertujuan untuk
memberikan tatalaksana nyeri yang efektif pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal
dengan menghindari efek samping dan komplikasi yang tidak diinginkan akibat fungsi
ginjal yang menurun.
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri pada pasien dengan penurunan fungsi
ginjal, setiap pasien harus dilakukan penilaian derajat nyeri terlebih dahulu. Pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal, dilakukan anamnesis mengenai riwayat penurunan fungsi
ginjal yang dimiliki pasien dan terapi apa saja yang sedang digunakan. Selain itu,
mungkin juga diperlukan pula pemeriksaan penunjang untuk mengetahui sejauh mana
gangguan atau penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Analgesia yang dapat diberikan pada
pasien gangguan ginjal, antara lain:
a. Fentanyl, ketamin, parasetamol.
b. Tramadol
c. Bupivakain, levobupivakain, lidokain digunakan dengan hati hati dengan
mengurangi total dosis yang diberikan
d. Amitriptilyne, klonidin, gabapentin, kodein, morphin, dihindarkan pada pasien
gangguan ginjal berat.
e. NSAID dan petidine sebaiknya dihindarkan pemberiannya pada pasien-pasien
dengan penurunan fungsi ginjal yang signifikan.
I. Tatalaksana Nyeri pada Pasien kritis di ICU

Tatalaksana nyeri pada pasien kritis di ICU bertujuan untuk memberikan tatalaksana
nyeri yang efektif pada pasien kritis sehingga mencegah morbiditas yang dapat terjadi
pada pasien yang dirawat di ICU. Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien
harus dilakukan penilaian derajat nyeri terlebih dahulu.
Penilaian nyeri pada pasien kritis yang mengalami nyeri dilakukan dengan
menggunakan skala nyeri BPS (Behavioral Pain Scale),Critical Care Pain Observation
Tools dan dikonfirmasi dengan keadaan klinis pasien (misalnya frekuensi nadi atau
tekanan darah). Dilakukan pula evaluasi sumber dan jenis nyerinya, apakah memang
memiliki sumber nyeri yang menetap (misalnya keganasan), akut (pada luka pasca
pembedahan), atau bersifat prosedur medis (suction, perawatan luka, pemasangan ETT,

30
kateter atau drainage, dll).Tatalaksana obat-obatan yang sudah didapat sebelumnya oleh
pasien juga perlu dievaluasi.
Pemilihan obat yang akan digunakan juga harus disertai pertimbangan terhadap
keadaan umum pasien, tanda vital, penyakit yang mendasari, gangguan organ yang ada
serta keadaan alergi terhadap obat yang akan diberikan. Pilihan obat yang dapat
digunakan antara lain:
1. NSAID untuk nyeri ringan, seperti asetaminophen, ketoprofen atau dexketoprofen.
2. Penggunaan NSAID yang disertai adjuvan opioid lemah seperti tramadol
3. Penggunaan opioid untuk nyeri yang bersifat menengah sampai berat. Opioid yang
dapat digunakan baik yang alami seperti morfin ataupun yang sintetik seperti fentanyl,
remifentanyl atau golongan pethidin
4. Anestesia lokal. Teknik pemberiannya adalah dengan menggunakan jalur intravena,
patient controlled analgesia (PCA), epidural analgesia, ataupun blok perifer .

J. Tatalaksana Nyeri pada Pasien Psikiatri

Tatalaksana nyeri pada pasien psikiatri adalah pemberian terapi untuk mengurangi
dan atau menghilangkan nyeri pada pasien dengan gangguan kejiwaan dengan
memperhatikan interaksi obat-obat nyeri dengan tatalaksana obat-obat pasien psikiatri.
Sebelum memberikan tatalaksana nyeri, setiap pasien harus dilakukan penilaian
derajat nyeri terlebih dahulu. Untuk pasien yang masih dapat berinteraksi dengan
dokternya, penilaian derajat nyeri dilakukan dengan skala nyeri numeric rating
scale/FACES scale.
Untuk pasien yang memiliki derajat nyeri <4, pasien dan/atau keluarga diberi
edukasi untuk tatalaksana nyeri yaitu bila merasakan nyeri harus segera melaporkan ke
perawat, DPJP atau anggota tim tatalaksana nyeri. Pasien dan atau keluarga juga
diingatkan untuk meminum obat atau regimen anti nyeri yang diberikansecara teratur.
Pada pasien dengan derajat nyeri >4, dilakukan tahapan-tahapn sebagai berikut:
1. Evaluasi Psikiatri, meliputi:
a. Gejala gangguan psikiatri yang ada saat ini, mencari tahu adanya hubungan yang
bermakna antara factor komorbid gangguan psikiatri dan terjadinya nyeri .

31
b. Evaluasi interaksi tatalaksana psikiatri yang sudah didapat dengan tatalaksana
nyeri yang akan diberikan. Untuk mencegah timbulnya gejala psikiatri seperti
sedasi dan depresi akibat penggunan obat untuk tatalaksana nyeri.
2. Selama pemberian tatalaksana nyeri, tatalaksana terhadap gangguan psikiatri harus
tetap dilanjutkan atau dimulai, baik berupa terapi konseling maupun dengan obat-
obatan.
3. Edukasi psikologis yang dapat diberikan pada pasien :
a. Relaksasi untuk mengurangi ansietas dan respon stress terhadap nyeri
b. Meningkatkan kualitas tidur
c. Membangun perilaku dan sikap psoikologis yang positif terhadap nyeri
4. Penjelasan mengenai resiko, manfaat dan terapi-terapi alternatif perlu dijelaskan
kepada pasien dan/atau keluarganya :
a. Obat-obatan yang digunaan rentan menimbulkan penyalahgunaan.
b. Kemungkinan Interaksi obat-obatan untuk tatalaksana nyeri dengan
tatalaksana gangguan psikiatri juga perlu dijelaskan agar pasien dan/atau
keluarganya dapat menilai dengan baik apabila interaksi tersebut menimbulkan
efek yang tidak diharapkan.
c. Faktor Resiko mengenai multimodal terapi, akumulasi obat, interaksi obat,
penggunaan alkohol dan intoksikasi.
Pilihan obat-obatan yang dapat digunakan untuk memberikan tatalaksana nyeri pada
pasien psikiatri antara lain sebagai berikut:
1. Obat-obat golongan antidepresan dan anticonvulsant :
a. SNRI (serotonin-norepinefrin reutake inhibitor)
b. Amitriptilin dan nortriptilin
2. Penggunaan opioid sebagai terapi adalah mulai dengan dosis rendah dan tingkatkan
secara perlahan.
3. NSAID
4. Tramadol
5. Paracetamol

32
K. Tatalaksana Nyeri pada Pasien End of Life Care

Tatalaksana nyeri pada pasien end of life care adalah tatalaksana nyeri pada pasien yang
masuk dalam stadium terminal agar mendapatkan tatalaksana nyeri dengan baik sehingga
didapatkan kualitas hidup yang lebih baik.

Tatalaksana nyeri pada pasien end of life care dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu:
1. Farmakologis
Tatalaksana ini diberikan melalui obat-obatan analgesi, sedasi, dan obat-obat
tambahan yang dapat mengurangi ketidaknyamanan.Secara umum obat-obat
narkotik untuk menghilangkan nyeri, benzodiazepine untuk agitasi dan ansietas.
2. Non farmakologis
Hal-hal yang dapat dilakukan antara lain memastikan adanya pendampingan baik
keluarga / teman / pemuka agama sesuai yang dianut pasien, menyesuaikan ruang
rawat pasien agar lebih tenang dan privasi pasien dapat terjaga, serta memberikan
perawatan sehari-hari agar terakomodasinya perawatan pasien yan sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
Pada tatalaksana dengan pendekatan farmakologis, penentuan dosis awal didasarkan pada
hal-hal berikut:
a. Paparan pasien terhadap terapi narkotik sebelumnya karena toleransi dapat muncul
dengan cepat
b. Umur
c. Riwayat penyalahgunaan obat dan alcohol sebelumnya
d. Penyakit yang diderita
e. Adanya gangguan organ yang dialami pasien
f. Tingkat kesadaran pasien
g. Ketersediaan dukungan psikologis dan spiritual
h. Keinginan pasien terhadap pemberian sedasi
Penggunaan obat-obatan farmakologis membutuhkan titrasi dosis sampai didapatkan
dosis optimal, Titrasi dilakukan disesuaikan dengan keinginan pasien, tanda-tanda depresi
napas, tanda-tanda fisiologis, juga tanda-tanda nyeri lainya seperti wajah yang menahan
nyeri (menyeringai), menangis atau melalui kata-kata pasien.

33
L. Tatalaksana pada Nyeri Kronis

Nyeri kronik adalah nyeri dengan berbagai etiologi, yang tidak berhubungan
langsung dengan penyakit keganasan, tetapi berhubungan dengan kondisi medik
kronik tertentu atau nyeri akibat trauma jaringan yang durasinya lebih lama dari yang
biasa diderita pasien, serta mengganggu fungsi atau kesejahteraan individu tersebut.
Tatalaksana nyeri kronis ini bertujuan untuk mengoptimalisasi tatalaksana nyeri,
dengan menyadari bahwa keadaan “pain- free” kadang akan sulit dicapai pada nyeri
kronik. Diharapkan pasien dapat mengalami perbaikan kemampuan fungsional, fisik ,
psikologis serta kesejahteraan individu. Selain itu, tatalaksana ini bertujuan untuk
memperbaiki kualitas hidup pasien dengan meminimalisasi efek samping yang
mungkin terjadi.

Evaluasi pasien
Semua pasien dengan dugaan nyeri kronik dilakukan evaluasi melalui anamnesis dan
pemeriksaan fisik.Pada anamnesis terdapat beberapa hal yang harus digali, yaitu:
a. Riwayat medis secara umum dengan penekanan pada kronologi dan simptomatologi
nyeri yang dikeluhkannya.
b. Riwayat nyeri yang diderita pasien: onset, kualitas, distribusi, durasi, komponen
sensorik dan afektif nyeri, keadaan yang mencetuskan nyeri dan keadaan yang
menghilangkan nyeri.
c. Simptom tambahan yang ada, misalnya perubahan motorik, sensorik dan otonomik.
d. Pemeriksaan diagnostik terdahulu, terapi yang sudah didapat dan terapi yang saat ini
masih didapat pasien.
e. Catatan medik terdahulu, riwayat pembedahan, riwayat sosial termasuk penyalah
gunaan obat, riwayat keluarga, alergi.
f. Penyebab dan akibat nyeri (misalnya keterbatasan kemampuan fisik dan psikososial,
pengaruh terhadap mood, tidur, hubungan interpersonal, perubahan tingkah laku).

Pemeriksaan fisik rutin tetap dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran kesehatan


fisik pasien dan adakah gangguan anatomis yang kemungkinan memberikan pengaruh

34
pada muncul nyeri pada pasien.Selain itu dibutuhkan pula pemeriksaan neurologik dan
muskuloskeletal menyeluruh.
Pada pasien dengan nyeri kronis, dibutuhkan pula pemeriksaan psikososial.Hal ini
untuk memberikan tatalaksana yang holistik karena penyebab nyeri dapat pula
diakibatkan oleh gangguan pada psikologis.Pemeriksaan psikososial mencakup ada
tidaknya gejala psikologis (ansietas, depresi, marah), gangguan psikiatri, dan mekanisme
“coping”.
Untuk kasus tertentu, terkadang diperlukan pemeriksaan diagnostik untuk
menunjang dalam penegakkan diagnosis. Pemeriksaan yang dapat dilakukan sebelum
pemberian tatalaksana pada kasus nyeri kronis antara lain:
a. Non intervensional : CT scan. Radiologis dan sebagainya
b. Intervensional sesuai evaluasi pasien, misalnya: blok radiks saraf selektif, medial
branch block, facet joint injection, atau sacroiliac joint injection

Tatalaksana
Pada pasien dengan nyeri kronis, sebaiknya selalu menggunakan tatalaksana multimodal.
Jenis-jenis tatalaksana yang dapat dilakukan, antara lain:
1. Farmakologi
a. Antikonvulsan (2-delta-calcium channel antagonist seperti gabapentin dan
pregabalin, sodium channel antagonist dan membrane stabilizing agent seperti
lidokain) dapat menjadi bagian tatalaksana multimodal pada pasien nyeri kronik.
b. Antidepresan (tricyclic anti depressants dan serotonin norepinephrine reuptake
inhibitor) juga merupakan bagian tatalaksana multimodal pada nyeri kronik.
Selective serotonin reuptake inhibitor dapat digunakan pada pasien dengan
neuropati diabetik.
c. Non Steroid Anti Inflammation drug (NSAID)
d. Opioid kuat hanya dapat diberikan pada pasien tertentu setelah seleksi ketat,
misalnya: extended release oral morphin, transdermal fentanyl
e. NMDA antagonis hanya dapat diberikanpada pasien tertentu setelah melewati
seleksi ketat (dekstrometorphan, ketamin, nementine)
f. Skeletal muscle relaxants
g. Benzodiazepin

35
h. Obat topikal : lidokain, capsaicin
2. Terapi fisik atau restoratif, dapat digunakan sebagai komponen dalam terapi
multimodal pada nyeri kronik tertentu seperti low back pain.
3. Terapi psikologisseperti cognitive behavioral therapy, biofeedback, atau relaxation
training, dapat digunakan juga sebagai bagian terapi multimodal nyeri kronik.
Demikian juga dengan psikoterapi, group therapy atau konseling.
4. Injeksi trigger point, dapat dipergunakan untuk terapi nyeri pada nyeri myofascial
dan bagian dari komponen multimodal pada nyeri kronik lain.
5. Terapi ablatif, bisa dipertimbangkan setelah modalitas lain gagal memberikan hasil :
a. Denervasi kemikal (dengan alkohol, fenol atau anestesia lokal konsentrasi tinggi )
tidak boleh digunakan secara rutin pada pasien nyeri kronik non kanker.
b. Cryoablation dapat dilakukanpada pasien tertentu , misalnya low back pain,
sindrom nyeri pasca torakotomi dan nyeri saraf perifer.
c. IDET dapat dipertimbangkan pada pasien muda aktif dengan single level
degenerative disc dan well maintained disc height.
d. Ablasi radiofrekwensi/ Pulsed Radiofrequency
- ablasi radiofrekwensi konvensional (80°C) atau termal (67°C) atau dapat
dilakukan pada saraf medial branch dilakukan pada kasus facet joint pain
bila injeksi diagnostik terdahulu pada saraf tersebut memberikan hasil baik..
- ablasi radiofrekwensi konvemsional atau Pulsed Radiofrequencydapat
dilakukan pada kasus neck pain
6. Akupunktur, baik tradisional akupunktur maupun elektroakupunktur, merupakan
terapi ajuvan terhadap terapi konvensional (obat, latihan dan physical therapy) pada
low back pain nonspesifik dan non inflammasi.

7. Blok :
a. Blok sendi:
1) Injeksi intraarticular sendi facet dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri
pada facet mediated pain.
2) Injeksi sendi sacroiliac dapat digunakan menghilangkan nyeri pada sacroiliac
joint pain .
b. Blok saraf dan radiks saraf:

36
1) Blok pleksus celiac menggunakan anestesia lokal dengan atau tanpa steroid
dapat digunakan untuk menghilangkan nyeri pada pankreatitis kronik.
2) Blok simpatetik lumbal atau blok ganglion stelatum dapat merupakan salah
satu dari komponen terapi multimodal pada CRPS (Complex Regional Pain
Syndrome) bila setelah blok dijumpai perbaikan klinis yang konsisten dan
pemanjangan durasi bebas nyeri. Blok simpatetik tidak dianjurkan digunakan
untuk terapi jangka panjang CRPS atau pada nyeri neuropatik non- CRPS.
3) Blok medial branch dapat digunakan untuk tatalaksana facet mediated spine
pain.
4) Blok saraf somatik perifer tidak digunakan untuk terapi nyeri kronik.
8. Toksin botulinumdapat digunakan sebagai ajuvan pada sindrom piriformis. Untuk
nyeri miofasial, toksin botulinum tidak dianjurkan digunakan secara rutin.
9. Stimulasi saraf elektrik, termasuk di dalamnya neuromodulasi dengan stimulus
elektrik (stimulasi saraf perifer subkutaneus dan stimulasi medula spinalis) dan
stimulasi elektrik saraf transkutaneus (TENS : transcutaneous electrical nerve
stimulation)
a. Stimulasi saraf perifer subkutaneus dapat digunakan sebagai salah satu komponen
multimodal pada nyeri akibat cedera saraf perifer yang tidak memberikan respon
terhadap terapi lain.
b. Stimulasi medula spinalis dapat digunakan sebagai salah satu komponen
multimodal dari nyeri radikular yang menetap, CRPS, nyeri neuropatik perifer,
penyakit vaskular perifer atau neuralgia post herpetik yang tidak memberikan
respon terhadap terapi lain.
c. TENS dapat digunakan sebagai salah satu komponen terapi multimodal pada
pasien dengan nyeri pinggang kronik, nyeri leher dan phantom limb pain.
10. Steroid epidural dengan atau tanpa anestesia lokal dapat digunakan sebagai
komponen terapi multimodal pada pasien tertentu dengan nyeri radikular atau
radikulopati. Untuk injeksi epidural transforaminal, penyuntikan dilakukan dengan
mempertimbangkan komplikasi yang mungkin terjadi, dan hanya dapat dilakukan
dengan panduan radiologis untuk memastikan letak jarum dan penyebaran kontras
yang tepat sebelum menginjeksikan steroid.
11. Injeksi intratekal :

37
a. Blok neurolitik intratekal dengan alkohol dan fenol bukan merupakan tatalaksana
rutin pada pasien dengan nyeri kronik non kanker.
b. Injeksi obat non opioid intratekal : steroid bebas preservatif untuk neuralgia post
herpetik yang tidak respon dengan terapi lain.
c. Injeksi opioid intratekal dapat diberikan pada pasien nyeri kronik non kanker
dengan mempertimbangkan risiko yang dapat terjadi.
12. Prosedur spinal minimal invasif (seperti vertebroplasti) dapat digunakan untuk
terapi nyeri kronik yang berhubungan dengan fraktur kompresi vertebra.

M. Edukasi Tatalaksana Nyeri kepada Pasien

Edukasi tatalaksana nyeri pada pasien adalah pemberian informasi mengenai


tatalaksana nyeri yang diberikan kepada pasien baik pada saat nyeri, sebelum nyeri, atau
setelahnya.
Tujuan pemberian edukasi tatalaksana nyeri kepada pasien adalah untuk memberikan
penjelasan mengenai persiapan, prosedur, manfaat, efek samping dan komplikasi yang
mungkin timbul dari pemberian tatalaksana nyeri terhadap pasien.
Edukasi tatalaksana nyeri ini diberikan kepada seluruh pasien yang menjalani
tatalaksana nyeri di RSUD Lakipadada, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Edukasi mengenai tatalaksana nyeri ini diberikan kepada pasien sesuai dengan kebutuhan
pasien. Dalam pemberian edukasi sebaiknya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Jenis terapi yang akan dilakukan.
2. Obat-obatan analgesia yangakan digunakan, meliputi penjelasan mengenai kelebihan
maupun kegunaan serta kekurangan maupun komplikasi dari obat-obatan yang
digunakan.
3. Penjelasan tindakan pencegahan terhadap efek samping dan komplikasi yang mungkin
terjadi oleh karena obat-obatan tatalaksana nyeri.
4. Khusus bagi pasien yang akan pulang juga diberikan edukasi tatalaksana nyeri untuk
di rumah.
Pada pasien dengan derajat nyeri < 4, edukasi yang perlu disampaikan meliputi:
1. Bila merasakan nyeri harus segera melaporkan ke perawat, DPJP atau anggota tim
tatalaksana nyeri.
2. Obat atau regimen anti nyeri yang diberikan, diminum secara teratur.

38
Pemberian edukasi mengenai tatalaksana nyeri dilakukan oleh dapat dilakukan oleh
perawat, DPJP atau anggota tim tatalaksana nyeri. Edukasi yang diberikan kemudian
didokumentasikan dalam rekam medis pasien.
Setelah menerima penjelasan dan mengerti, pasien berhak menyetujui atau menolak
tindakan medis yang akan dilakukan. Jika pasien menyetujui dilakukan tindakan medis
seperti yang sudah dijelaskan, maka pasien akan menandatangani lembar Persetujuan
Tindakan Medis / Informed Concent. Jika pasien tidak menyetujui tindakan medis yang
akan dijalani,maka pasien akan diminta untuk menandatangani lembar Penolakan
Tindakan Medis.Persetujuan atau penolakan tindakan medis ditandatangani oleh pasien
dan keluarga yang bertanggungjawab, saksi, dan dokter yang memberikan penjelasan di
atas.

39
BAB IV
DOKUMENTASI

Pelayanan Nyeri di RS Elim Rantepao sudah diimplementasikan kepada semua pasien


yang datang tidak hanya untuk rawat jalan saja tetapi juga pada ruang rawat inap biasa dan
rawat inap khusus.Sosialisasi pun telah dilakukan kepada seluruh staff medis yang terkait
dalam memberikan pelayanan nyeri mengenai standar prosedur maupun petunjuk teknis
dalam memberikan pelayanan ini.
Dari formulir yang digunakan di RS Elim Rantepao, beberapa terdapat fomulir yang
mencantumkan penilaian awal maupun penilaian ulang derajat / skala nyeri, misalnya pada
formulir Triage, formulir status ICU, formulir Anak, formulir catatan rawat inap, serta
formulir terintegrasi. Semua penilaian derajat / skala nyeri yang dilakukan serta
tatalaksananya telah didokumentasikan dalam berkas rekam medis pasien untuk selanjutnya
dapat dilakukan evaluasi tercapainya target bersama dimana keselurahan pasien di RS Elim
Rantepao dapat tertangani rasa nyeri dengan baik, cepat, dan efektif sehingga bebas dari rasa
nyeri atau minimalnya rasa nyeri yang dialami oleh pasien saat berada di rumah sakit.
Demikian juga Edukasi dalam menangani rasa nyeri baik dalam persiapan sebelum
rasa nyeri timbul, saat rasa nyeri datang, maupun setelahnya telah diberikan kepada
pasien.Edukasi dilakukan secara terus-menerus tidak hanya oleh Tim Tatalaksana Nyeri
namun juga DPJP maupun perawat yang memberikan perawatan terintegrasi kepada pasien.
Sosialisasi kepada staff medis dan Edukasi kepada pasien akan terus dilakukan agar
ke depan dapat dilakukan evaluasi dan diharapkan dapat tercapai outcome yang baik.
Ditetapkan di Rantepao
Direktur RS Elim Rantepao

dr.Hendrik Saranga,Mars

40

Anda mungkin juga menyukai