Anda di halaman 1dari 8

Pneumothoraks

Definisi
Pneumothoraks adalah keadaan dimana rongga pleura terisi udara, yang mengakibatkan paru
paru menguncup dan mengganggu respirasi.

Embriologi pleura

Bulan pertama kehamilan, kira-kira minggu ke-3 terjadi pemisahan splanchnopleura dan
somatopleura yang kelak akan menjadi pleura visceralis dan pleura parietalis. Pemisahan ini
mengakibatkan perbedaan anatomis antara keduanya, karena vaskularisasi dan persarafannya
akan berkembang sendiri-sendiri.

Anatomi pleura
Pleura visceralis melekat dan meliputi seluruh paru. Pada hilus paru pleura visceralis ini
menyambung sebagai pleura parietalis menuju ke mediastinum, dinding thoraks dan diafragma.
Rongga pleura kanan dan kiri terpisah, sehingga bila ada kelainan seperti misalnya
pneumothoraks, tidak akan mengenai kedua pleura. Rongga pleura didaerah costophrenicus dan
costomediastinum longgar untuk memberikan ruang pada paru untuk ekspansi maksimal pada
waktu inspirasi.

Tebal lapisan pleura 30 – 40 μm dan tersusun dari sel mesothelial yang mempunyai
microvilli, berfungsi untuk fagositosis dan sebagai lubrikans pada pergerakan paru. Pendarahan
atau vaskularisasi pleura visceralis berasal dari cabang pembuluh darah paru-paru, sedangkan
pleura parietalis langsung dari pembuluh darah sistemik.

Penting diperhatikan perbedaan persarafan pleura. Pleura visceralis tidak mempunyai


saraf somatik, sedangkan pleura parietalis selain mempunyai saraf simpatis dan parasimpatis
juga somatik. Akibatnya pleura visceralis tidak mempunyai rangsang nyeri, sedangkan pleura
parietalis - seperti juga peritoneum parietalis - sensitif pada rangsangan nyeri bila mengalami
peradangan atau trauma.

Fisiologi pleura
Fungsi mekanis pleura adalah meneruskan tekanan negatif thoraks kedalam paru-paru, sehingga
paru-paru yang elastis dapat mengembang. Tekanan pleura pada waktu istirahat (resting
pressure) dalam posisi tiduran pada adalah -2 sampai -5 cm H2O; sedikit bertambah negatif di
apex sewaktu posisi berdiri. Sewaktu inspirasi tekanan negatif meningkat menjadi -25 sampai -
35 cm H2O.

Selain fungsi mekanis, seperti telah disinggung diatas, rongga pleura steril karena mesothelial
bekerja melakukan fagositosis benda asing; dan cairan yang diproduksinya bertindak sebagai
lubrikans.

Cairan rongga pleura sangat sedikit, sekitar 0.3 ml/kg, bersifat hipoonkotik dengan konsentrasi
protein 1 g/dl. Gerakan pernapasan dan gravitasi kemungkinan besar ikut mengatur jumlah
produksi dan resorbsi cairan rongga pleura. Resorbsi terjadi terutama pada pembuluh limfe
pleura parietalis, dengan kecepatan 0.1 sampai 0.15 ml/kg/jam. Bila terjadi gangguan produksi
dan reabsorbsi akan mengakibatkan terjadinya pleural effusion.
Fungsi pleura yang lain mungkin masih ada karena belum sepenuhnya dimengerti.

A. Pembagian pneumothoraks
1. Berdasarkan penyebabnya
• Spontan / Non-trauma
a. Primer
Pneumothoraks spontan dinamakan primer, bila tidak didahului oleh kelainan pada paru
sebelumnya. Sering terjadi pada orang laki-laki muda sekitar 25 – 35 tahun yang badannya
tinggi, meskipun bisa saja terjadi pada bayi sampai orang tua. Laki-laki kemungkinannya 6 kali
lebih besar dibandingkan wanita, dan di Amerika didapati 10.000 kasus baru pertahunnya.
Walaupun dikatakan tidak ada kelainan pada paru, biasanya penyebabnya adalah adanya bleb
subpleura atau kista paru yang asimptomatik. Kemungkinan lain adalah adanya inflamasi pada
jalan napas, terbukti dari tingginya angka pneumothoraks spontan primer pada perokok berat.
Penelitian menunjukkan bahwa perokok ringan (1.3 batang perhari) kemungkinannya 7 kali
dibanding bukan perokok; sedangkan pada perokok berat ( lebih dari 22 batang perhari)
kemungkinannya meningkat tajam menjadi 100 kali.

Pada wanita usia subur, pneumothoraks spontan sering terjadi pada waktu menstruasi, yang
dinamakan catamenial pneumothorax. Diduga ada hubungannya dengan defek diafragma dan
endometriosis.

b. Sekunder
Pneumothoraks spontan sekunder terjadi karena sebelumnya telah diketahui adanya kelainan
pada paru, seperti misalnya tuberkulosis paru, pneumonia, asma, cystic fibrosis. Keganasan paru
juga sering menjadi penyebab terjadinya pneumothoraks spontan.

Karena telah ada kelainan paru sebelumnya, cadangan paru (pulmonary reserve) berkurang dan
keadaan umum penderita biasanya tidak begitu baik. Kematian sering terjadi pada
pneumothoraks sekunder. Selain itu, angka kekambuhan cukup tinggi, karenanya penanganannya
dianjurkan lebih agresif dibandingkan dengan pneumothoraks primer.

• Trauma
Saat ini trauma pada umumnya, dan trauma thoraks sering terjadi akibat kecelakaan lalu-lintas,
penggunaan senjata api dan kekerasan lainnya. Satu diantara empat korban trauma multipel
mengalami trauma thoraks. Kematian pada trauma thoraks kira-kira 10%. Sebagian besar
sebenarnya memerlukan pertolongan sederhana yang dapat dilakukan oleh dokter umum, hanya
15% yang perlu tindakan operatif oleh ahli bedah.

a. Tajam
Trauma tajam yang sering adalah luka tusuk dan luka tembak. Pada luka tusuk, kerusakan organ
rongga thoraks tidak sehebat luka tembak, yang karena masuknya peluru disertai dengan tekanan
sambil berputar, kerusakan paru dan organ-organ lain dapat sangat hebat.

b. Tumpul
Luka akibat kekerasan tumpul juga lebih luas dibandingkan dengan luka tajam karena tusukan.
Trauma tumpul dapat mengakibatkan fraktur iga, yang selain dapat menimbulkan
pneumothoraks juga kelainan lain seperti flail chest, kontusio paru dan perdarahan. Nyeri hebat
akibat fraktur iga berakibat merugikan faal paru dan perdarahan.

c. Iatrogenik
Tindakan yang sering menyebabkan terjadinya komplikasi antara lain biopsi thoraks,
pemasangan CVP, dan pemberian ventilasi. Karenanya bila melakukan prosedur yang beresiko
pneumothoraks, kita harus siap menanganinya.

2. Berdasarkan patofisiologi
a. Pneumothoraks simpel
Simple pneumothorax terjadi bila udara berada di rongga pleura, namun tidak terjadi desakan
pada mediastinum dan tidak ada mekanisme ventil. Akibatnya keadaan klinis penderita tetap
stabil.
Pneumothoraks spontan primer seringkali didapati sebagai simpel pneumothoraks. Karena tidak
ada desakan mediastinum dan udara sedikit, fungsi paru-paru hanya sedikit atau malahan tidak
terganggu samasekali, terutama pada penderita muda dengan pulmonary reserve yang masih
baik.

b. Pneumothoraks terbuka
Pneumothoraks terbuka terjadi bila terdapat luka yang cukup lebar pada rongga dada - defeknya
melebihi 2/3 diameter trakhea - sehingga udara memilih memasuki rongga thoraks melalui defek
tersebut. Udara yang keluar-masuk rongga thoraks menimbulkan bunyi seperti mengisap, disebut
sebagai “sucking chest wound”. Terjadi insufisiensi ventilasi, karena udara yang keluar masuk
rongga thoraks tidak ikut proses ventilasi di alveoli.

Meskipun tidak ada desakan mediastinum, berkurangnya ventilasi mengakibatkan hipoksia,


hiperkarbi dan mengancam jiwa penderita. Open pneumothorax memerlukan tindakan segera
untuk mengubahnya menjadi pneumothoraks tertutup tetapi tidak boleh menjadi tension
pneumothorax.

c. Tension pneumothorax
Tension pneumothorax merupakan keadaan emergensi yang mengancam jiwa penderita. Dapat
disebabkan oleh trauma yang menyebabkan luka pada parenkhim paru, spontan akibat pecahnya
bulla paru atau iatrogenik yang membentuk mekanisme ventil, yaitu udara dapat memasuki
rongga pleura tetapi tidak dapat keluar. Tidak jarang pneumothoraks simpel pada trauma dapat
berubah menjadi tension pneumothorax.

Akibat makin bertumpuknya udara dalam rongga pleura, parenkhim paru terdesak, kolaps,
mediastinum bergeser kearah dada yang sehat. Tekanan tinggi pada thoraks dan bergesernya
mediastinum yang berisi jantung dan pembuluh darah besar mengakibatkan venous return
berkurang. Penderita mengalami syok, vena-vena leher melebar dan trakhea terdorong kearah
yang sehat.

Tension pneumothorax adalah keadaan darurat yang mengancam nyawa dan diagnosisnya
ditegakkan secara klinis dengan menemukan adanya tekanan rongga thoraks yang besar. Tidak
diperlukan pemeriksaan radiologis, segera diambil tindakan untuk mengubah tension menjadi
pneumothoraks simpel.

B. Gambaran klinis
Pneumo thoraks simpel gejala klinisnya meliputi : nyeri hemithoraks yang terkena, dispnoe,
batuk, takhipnoe. Pada pemeriksaan fisik tampak hemitoraks yang tertinggal pada respirasi,
vesikuler melemah pada auskultasi dan sedikit hipersonor pada perkusi. Karena tidak ada
desakan mediastinum, maka vena leher tidak melebar, tidak ada tanda-tanda syok dan trakhea
tetap ditengah.

Pada pneumothoraks terbuka, terlihat seperti gejala-gejala pneumothoraks ditambah dengan


adanya luka mengisap di rongga dada. Juga tidak didapat desakan mediastinum, namun karena
terdapat gangguan ventilasi yang berat penderita tampak sangat sesak, bernapas cepat, mungkin
sianosis dan syok. Bila hal ini dibiarkan, berakhir dengan kematian penderita.

Tension pneumothorax merupakan keadaan yang paling mengancam nyawa dari kedua keadaan
pneumothoraks diatas. Pada inspeksi tampak penderita sesak hebat, takhipnoe, sianosis, sisi dada
yang terkena tertinggal pada pernapasan, pucat karena syok dan vena jugularis leher melebar.
Trakhea terdorong, bunyi napas pada hemithoraks yang terkena tidak terdengar pada auskultasi
dan hipersonor pada perkusi.

C. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting, sederhana dan non-invasif adalah foto thoraks. Selain
untuk diagnosis, foto thoraks bisa mengetahui kelainan paru penyebab pneumothoraks, dan pada
trauma untuk melihat fraktur iga atau adanya pneumomediastinum. Dengan foto thoraks pula
dapat diketahui luas pneumothoraks. Bila jarak dinding dada dan paru yang kolaps 2.5 cm,
diperkirakan prosentasi udara rongga pleura sekitar 30%. Ada pula rumus untuk menghitung
presentase rongga dada yang kolaps dengan lebih teliti memakai foto thoraks lateral.

Selain untuk diagnosis, foto yang dilakukan serial dapat mengikuti perjalanan pneumothoraks
dan pengembangan paru. Dengan demikian dapat menentukan tindakan selanjutnya, misalnya
kapan mencabut WSD atau memutuskan tindakan operatif.
Pemeriksaan penunjang lain yang sekarang lazim adalah CT-scan. CT-scan lebih sensitif dan
dapat mendeteksi pneumothoraks kecil, atau melihat fraktur iga yang tidak terlihat pada foto
thoraks. Juga kelainan paru seperti blebs, tumor atau kista dapat dideteksi lebih baik dengan CT-
scan.

Pemeriksaan penunjang lain dilakukan sesuai dengan kondisi penderita. Misalnya penderita
keganasan perlu biopsi, korban trauma dilakukan pemeriksaan lainnya dan monitoring seperti
misalnya analisa gas darah, pulse oxymetri dlsb.

D. Penatalaksanaan
Pengelolaan pneumothoraks berdasarkan penilaian klinis dan fisiologi pernapasan serta ventilasi,
dan bukan berdasarkan prosentase atau banyaknya udara dalam rongga pleura. Etiologi juga
mempengaruhi cara penanganan. Pneumothoraks karena trauma, lebih agresif ditangani, yaitu
dengan memasang WSD karena kemungkinan untuk menjadi tension pneumothoraks sangat
besar, serta terjadinya kegagalan fungsi lainnya seperti shock yang merupakan kelainan ikutan.
Apalagi bila penderita akan dilakukan transport udara, dilakukan tindakan operasi untuk kelainan
yang lain, sebaiknya WSD dipasang.

Pada pneumothoraks spontan simpel dan asimptomatik, dapat dilakukan observasi atau expectant
therapy, namun harus tetap diingat bahwa simpel pneumothoraks dapat berubah menjadi tension
pneumothorax kapan saja. Observasi dilakukan dengan mengikuti keadaan penderita secara
klinis dan radiologis. Diperlukan foto thoraks serial. Bila penderita bernapas dengan udara biasa,
udara dalam rongga pleura akan diserap 1.25% dari volume pleura tiap hari, atau rata-rata 50 –
70 ml perhari. Dengan pemberian suplemen oksigen 10 liter / menit mempergunakan face mask
kecepatan resorbsi dapat ditingkatkan 4.2% perhari. Yang perlu dipertimbangkan juga bila ingin
melakukan terapi konservatif adalah bila pneumothoraks tidak sembuh dalam waktu 2 minggu,
akan timbul jaringan fibrous yang mengakibatkan paru tidak bisa mengembang lebih jauh lagi.
Karenanya, bila pneumothoraks lebih dari 15% yang tidak bisa diresorbsi dalam waktu kurang
dari 2 minggu, lebih baik dilakukan tindakan intervensi.

Intervensi yang paling sederhana adalah dengan melakukan aspirasi. Aspirasi dilakukan pada
sela iga kedua garis mid-clavicula, menyusuri sisi atas iga ke-3 mempergunakan kateter vena
(intra venous catheter – iv cath) besar, minimal nomor 14 atau 16. Setelah jarum dicabut, kateter
vena dihubungkan dengan 3-way stopcock. Dengan syringe besar (60 cc) udara diisap sampai
habis, kemudian kateter vena dicabut dan dilakukan foto thoraks kontrol. Bila telah dikeluarkan
4 liter udara masih ada, menandakan masih adanya kebocoran rongga pleura. Aspirasi dihentikan
dan pasang chest tube dan WSD.

Chest tube standard merupakan terapi yang baik untuk pneumothoraks yang besar, sedangkan
percutaneous tube thoracostomy merupakan procedure of choice untuk pneumothoraks simpel
yang kecil. Percutaneous tube thoracostomy yang berukuran 9 sampai 16 F angka
keberhasilannya 85 – 90% untuk pneumothoraks simpel, yang tentu saja juga tergantung dari
etiologinya.
Chest tube standard yang biasa dipergunakan adalah nomer 28 F, dipasang pada sela iga ke 5
didepan garis mid-aksiler (atau diantara garis mid-aksiler dan garis aksiler anterior). Cara
pemasangan sebagai berikut: setelah dilakukan desinfeksi dan anestesi infiltrasi, dilakukan
sayatan dengan landasan iga ke-6. Setelah luka diperlebar secara tumpul, pleura ditembus
menyusuri tepi atas iga ke 6 (luka kulit dan saluran tidak sejajar agar terjadi “flap valve” yang
mencegah udara masuk ke pleura setelah tube dilepas nanti). Dengan jari telunjuk rongga pleura
diperiksa apakah ada perlekatan atau tidak, kemudian tube yang pangkalnya diklem, dimasukkan
dengan pertolongan klem bengkok kearah cranio-posterior, dengan semua lubang berada dalam
rongga thoraks. Pangkal tube kemudian dihubungkan dengan botol WSD atau Heimlich valve,
dan klem dilepas. Tergantung dari besarnya pneumothoraks dan ada tidaknya alat, pengeluaran
udara dan pengembangan paru dapat dibantu dengan vakum. Maksud pemasangan WSD untuk
mengeluarkan udara dan re-ekspansi paru-paru. Dengan berkembangnya paru-paru, lubang pada
pleura akan menutup. Chest tube dipilih yang besar, antara nomor 28 dan 32 F.

Kapan WSD dicabut? Tentu saja bila udara dalam rongga pleura sudah hilang atau berkurang,
paru-paru sudah mengembang dan faal paru kembali ke arah normal. Umumnya hal ini dicapai 2
atau 3 x 24 jam. Chest tube diklem beberapa jam, bila keadaan membaik, baik klinis maupun
radiologis, maka chest tube dicabut. Namun ada beberapa ahli menyarankan tidak usah dilakukan
klem terlebih dahulu, langsung dicabut bila keadaan membaik.

Pada pneumothoraks terbuka dengan sucking chest wound, untuk menghentikan udara masuk
rongga thoraks melalui luka, segera tutup luka pada 3 sisinya. Tujuan menyisakan satu sisi luka
tetap terbuka adalah agar sewaktu ekspirasi udara masih bisa keluar melalui sisi yang terbuka,
sedangkan sewaktu inspirasi kasa penutup luka menghalangi udara masuk ke rongga thoraks
(one-way valve atau ventil kebalikan dari tension pneumothorax). Pemasangan WSD diperlukan
untuk mengembalikan fungsi paru. Chest tube dipasang ditempat terpisah dari luka; sedangkan
lukanya sendiri dilakukan debridement dan ditutup rapat.

Tension pneumothorax merupakan keadaan emergensi yang mengancam nyawa, karenanya


keadaan tension-nya harus segera diatasi. Tension pada thoraks seperti kita ketahui disebabkan
oleh adanya mekanisme ventil. Untuk mengeluarkan udara yang terperangkap dalam rongga
pleura dengan jumlah dan tekanan yang makin besar ini, diperlukan lubang untuk pintu keluar
udara (kontraventil). Tindakan ini dinamakan needle thoracocentesis atau needle decompression
yang mengubah tension pneumothorax menjadi pneumothoraks simpel. Dekompresi dilakukan
dengan kateter vena besar (nomer 14) disela iga ke-2 pada garis mid-clavicula, menyusuri tepi
atas iga ke-3. Setelah tekanan rongga pleura kurang lebih sama dengan udara luar, akan terlihat
perbaikan klinisnya sangat dramatis. Penderita akan berkurang sesaknya, syok-nya teratasi dan
frekwensi pernapasannya membaik. Untuk tujuan mengeluarkan udara dengan cepat dan
mengembangkan paru, dilanjutkan dengan tindakan pemasangan WSD.

Pleurodesis adalah tindakan menyatukan / fusi pleura visceralis dan parietalis sehingga rongga
peura tidak ada lagi. Biasanya dilakukan bila ada cairan dirongga pleura (hydropleura, pleural
effusion) dan keganasan paru; sedangkan pada pneumothoraks jarang. Pneumothoraks berulang,
atau pneumothoraks persisten merupakan indikasi untuk melakukan pleurodesis. Yang pertama
dimaksudkan untuk menutup lubang yang menyebabkan berulangnya pneumothoraks, sedangkan
pada pneumothoraks persisten untuk menghilangkan rongga pleura.

Pleurodesis dilakukan dengan memasukkan bahan yang menyebabkan reaksi inflamasi yang
akhirnya akan melekatkan kedua pleura. Umumnya bahan yang memicu reaksi inflamasi yang
dipergunakan adalah talk, antibiotika oxy-tetrasiklin / doxycyclin dan antikanker seperti
bleomisin bila penyebab primernya suatu keganasan. Bahan lain yang juga dapat dipergunakan
antara lain nitrogen mustard, quinacrin; serta masih dalam percobaan : Corynebacterium parvum.
Bahan dimasukkan lewat chest tube menjelang pencabutan WSD.

Tindakan pembedahan dilakukan pada pneumothoraks spontan bila rekurens. Karena penyebab
pneumothoraks spontan adalah blebs subpleura yang umumnya di apex, dilakukan reseksi apex.
Pembedahan bisa dilakukan secara terbuka atau melalui thorakoskopi (VATS = video-assisted
thoracic surgery). Pada trauma bila pneumothoraks disebabkan oleh ruptur bronkhus atau cedera
organ lain, tindakan pembedahan tentunya diperlukan.

E. Prognosis
Prognosis tergantung dari banyak faktor. Antara lain umur penderita, etiologi, penyakit penyerta
atau juga underlying disease-nya, kecepatan therapi

Anda mungkin juga menyukai