Anda di halaman 1dari 5

NAMA : Rivandra Asrina Dinata

NIM : 18027149

Matkul : Sejarah Pemikiran Modren

Dosen pengampuh : Rifqi Aulia Zaim, S.pd ,M.Pd.T.

Dr. Syafwandi, M.Sn.

BUDAYA PERKAWINAN SEDARAH DAN SISTEM SOSIAL KEKERABATAN DI


MASYARAKAT SUKU POLAHI, GORONTALO

1. PENDAHULUAN :
Suku Polahi merupakan salah satu suku terasing yang terpencar menjadi kelompok-
kelompok kecil di pedalaman hutan Pegunungan Boliyohuto, Provinsi
Gorontalo. Kelompok ini merupakan kelompok mayoritas di Gorontalo dan Gorontalo Utara.
Yang uniik dari komunitas ini adalah mereka mnerapkan perkawinan sedarah atau incest dan
hal itu masih terdengar taboo di telinga masyarakat pada umumnya.

Pola pernikahan yang seperti itu memberikan kebebasan kepada setiap anggota
keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga dan atau yang masih memiliki
hubungan darah. Dan tidak menutup kemungkinan untuk menikah dengan kakak, adik atau
bahkan dengan ibu kandung sendiri, itu bagi seorang anak laki-laki bagi anak perempuan pun
sama. Pola hubungan sedarah seperti itu dinilai sangat membayakan genetik keturunan yang
nantinya lahir. Anak yang lahir dari hubungan sedarah tersebut mungkin bisa memiliki cacat
genetik, karena perkawinan sedarah tersebut. Pernikahan sumbang semacam itu juga
menimbulkan kerumitan dalam masalah silsilah keluarga karena adanya perkawinan dalam
satu keluarga bisa satu generasi dan antar generasi.

Selain itu banyak faktor yang memengaruhi terjadinya perkawinan yang tak biasa
tersebut. Salah satunya yakni masih cukup primitifnya keadaan masyarakat suku Polahi dan
bersifat tertutup dengan perubahan. Karena perkawinan sedarah tersebut hanya akan
menimbulkan keterisolasian kurangnya jaringan sosial dengan masyarakat luar.

2. PEMBAHASAN :
1.1. Asal Mula Suku Polahi dan Budaya Perkawinan Sedarahnya
Suku Polahi merupakan suku yang hidup di hutan pedalaman gorontalo, yang dikenal
masih cukup primitif. Mereka hidup berpencar menjadi kelompok-kelompok kecil dan
menetap di dalam hutan.

Semua leluhur mereka berasal dari


Suku Gorontalo yang hidup pada abad ke-19, dan pada saat itu merupakan masih masa
pendudukan Pemerintah Kolonial Belanda.Dan pada saat itu pula Pemerintah Kolonial
menetakan pajak yang dinilai masyarakat memberatkan masyarakat suku Gorontalo. Lantas
mereka berbondong-bondong masuk kehutan untuk menghindari pajak yang ditetapkan oleh
Pemerintah Belanda. Mengetahui dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut,
Pemerintah Kolonial Belanda pun akhirnya menghentikan pajak paksa, sehingga sebagian
dari mereka yang semula melarikan diri ke hutan mau kembali lagi ke kampung halamannya.

Namun sebagian lagi tidak mau kembali dan tetap memilih tinggal di hutan. Kelompok
inilah yang kemudian secara turun-temurun disebut dengan komunitas atau Suku Polahi. Dan
belum ada yang dapat memastikan jumlah mereka secara keseluruhan karena pola tinggal
mereka yang berpencar-pencar. Komunitas mereka dalam satu lingkungan hanya terdiri
beberapa orang saja, yang lainnya hidup di lingkungan yang lain karena pola tempat tinggal
yang berpencar pencar.

Dalam setiap kelompok kecil, komunitas Polahi terdiri dari satu


keluarga batih, yang meliputi suami, istri, anak-anak, dan terkadang juga cucu-cucu. Jumlah
kelompok mereka tidak pernah menjadi banyak karena seringkli anak-anak yang sudah
dewasa akan kawin dan keluar
dari kelompoknya, membentuk kelompok baru. Yang terasa tidak lazim bagi norma-norma
masyarakat umum adalah, keluarga-keluarga Polahi banyak yang menjalankan perkawinan
incest. Mereka kawin dengan
saudara kandungnya sendiri dan kemudian membentuk kelompok baru, meninggalkan
orangtuanya.

Perkawinan itu terjadi karena setiap hari mereka tidak pernah bersosialisasi dengan dunia
luar selain dengan kelompoknya sendiri. Interaksi yang ada pun hanya dengan satu keluarga
sendiri jadi hal itu yang menyebabkan perkawinan sedarah dengan saudaranya sendiri yang
harus dilakukannya. Jika menurut pada hukum yang berlaku tersebut maka bisa disimpulkan
bahwa perkawinan sedarah yang terjadi di suku polahi tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku atau dianggap tidak sah secara hukum. Namun suku Poolahi seperti memeiliki dunia
sendiri dan memiliki peraturan yang mereka buat sendiri besserta kearifan lokal yang mereka
pegan kuat.

1.2. Sistem Sosial Kekerabatan Suku Polahi


Suku polahi suka berkumpul dan berkelompok sehingga membentuk suatu komunitas
kecil yang tersebar di dalam hutan, dengan perilku primitiv yang dilakukankannya, sehingga
pada kegiatan keperempuanan, misalnya melahirkan, sakit dll tidak memerlukan pengobatan
medis, para polahi ini mengandalkan tumbuhan lingkungan sekitar sebagai obat untuk
mengobati tubuhnya disamping itu para polahi juga memiliki ilmu kesaktian yang dilakukan
untuk mengobati sakitnya dan berjalan cepat untuk berbagai aktivitasnya.

Sistem Kekerabatan suku polahi sangat erat dan dalam sebuah kelompok kecil, yang
dalam kelompok kecil tersebut semuanya memiliki ikatan darah. Dan karena mereka
menganut perkawinan sedarah maka nantiya anak dari keluarga tersebut akan kawin dengan
saudaranya yang lain. Lalu nantinya berkemungkinan untuk pindah dan membuat kelompok
sendiri yang terpisah dari orang tuanya setelah kawin.

Selain itu sikap para polahi di penuhi dengan aktivitas dan perlaku yang ingin bebas,
membuat mereka tidak tersentuh dengan etika, karena mereka hidup dengan keterasingan
dengan sentuhan pendidikan, sosial dan agama. Kehidupan polahi secara turun temurun
sangat termarginalkan dan tidak mengenal tata social pada umumnya.

Mereka juga tidak mengenal baca tulis karena kehidupannya tidak menganut agama.
Aktivitas lainnya oleh para perempuan polahi, biasanya mereka melangsungkan perkawinan
tanpa melalui pemahaman dasar Agama dan mereka menganut perkawinan sedarah.
Perkawinan sedarah yang mereka anut memberi dampak bagi hubungan antar keluarga yang
aneh karena bisa saja seorang anak laki-laki menikahi ibunya dan mempunyai anak. Lalu
anak tersebut memiliki status dalam keluarga yang semu yakni ia bisa dibilang anak dari ibu
dan ayahnya, dan juga bisa sebagai cucu dari kakek yang notabene adalah suami ibunya.
Perkawinan sedarah dalam suku tersebut di karenakan para polahi tidak mengenal
dirinya beragama Islam, Kristen, Hindu ataupun Budha karena mereka memang hidup
bersama tanpa mengenal batas muhrim dan menikahdengan yang masih memiliki hubungan
darah, terlebih lagi kehidupan social masyarakat mereka tidak menganal status sosial, karena
walaupun satu keluarga mereka sangat menuntut kemandirian baik laki-laki maupun
perempuan.

Kadang suku polahi juga melakukan perpindahan rumah. Perpindahan tempat tinggal
ini di pengaruhi oleh ada tidaknya anggota keluarga yang meninggal dunia. Setiap ada
anggota keluarga yang meninggal, mereka pun segera pindah dan mendirikan pondok di
tempat lain, tidak peduli sekalipun tanaman yang mereka tanam hampir panen. Kemungkinan
hal ini dilakukan untuk menghindari bau jenazah anggota keluarga yang meninggal, karena
mereka tidak mengenal penguburan jenazah. Dan belakangan ini mereka sudah mulai
berinteraksi dengan turun ke desa, mereka berinteraksi dengan warga desa. Yang keduanya
baik suku polahi maupun warga desa menggunakan Bahasa Gorontalo jadi hal itu
memudahkan untuk berkomunikasi dengan warga pinggiran desa. Dan dari pertama kali
mereka mulai berinteraksi dengan masyarakat desa sejak tahun 1990 sudah banyak dari
mereka yang menikah dengan warga desa tinggal menetap di desa dengan meninggalkan
kelompoknya.

1.3. Upaya Yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Suku Polahi Untuk Mengurangi
Perkawinan Sedarah.
Dinas Sosial Kabupaten Gorontalo pernah mengupayakan agar komunitas Polahi
bersedia menempati rumah-rumah layak huni yang dibangun oleh Dinas Sosial di lokasi yang
berdekatan dengan rumah-rumah penduduk desa. Di samping itu, dengan di bangunnya
rumahrumah tersebut di harapkan mereka mau bertempat tinggal menetap dan berbaur
dengan masyarakat di desa-desa sekitarnya. Hal itu sekaligus diharapkan untuk menghindari
perkawinan sedarah yang mereka lakukan karena mengenal lebih banyak masyarakat luar.

Akan tetapi ternyata sebagian besar dari mereka tidak bersedia dipindahkan ke rumah-
rumah tersebut. Sebagian lagi bahkan hanya mempergunakan rumah-rumah tersebut untuk
tempat persinggahan sementara ketika mereka turun ke desa. Dengan alasan mereka enggan
meninggalkan ladang mereka yang ada di dekat rumah mereka di dalam hutan. Dan juga
mereka akan kehilangan sumber mata pencaharian berburu di hutan.
Hingga saat ini Pemerintah Kabupaten Gorontalo bersama masyarakat desa di sekitar
hutan Pegunungan Boliyohuto tetap mengupayakan agar masyarakat Polahi dapat berbaur
dengan mereka. Dengan pembauran tersebut, diharapkan anak-anak masyarakat Polahi dapat
memperoleh pendidikan formal yang layak bagi anak-anak mereka, dan untuk meningkatkan
taraf kesejahteraan mereka.

3. KESIMPULAN :
Setiap kebudayaan tidak ada kata benar atau salah di mata masyarakatnya, namun sebuah
kebudayaan perlu dicerna lebih dulu, apakah membawa hal baik atau bahkan sebaliknya. Jika
hal tersebut membawa hal baik maka perlu di pertahankan dan di lestarikan, tapi jika lebih
membawa hal yang buruk maka perlu dipikirkan apakah masih perlu di pertahankan atau
tidak.

4. DAFTAR PUSTAKA :
.2015.Pengaruh Pernikahan Sedarah Terhadap Keturunan (Studi Analisis Tafsir Sains
Dalam QS. AN-NISA’:23).http://eprints.walisongo.ac.id/4526/1/114211084.pdf.
Diakses Pada : 27 Mei 2018 (22.03 WIB)
Ismadi, Hurip Danu.2013.Kebudayaan Indonesia:Lestarikan Apa Yang Hendak
Dilestarikan?. Gading Inti Prima : Jakarta
Madjowa, Feriyanto dan Samsi Pomalingo. Kearifan Lokal Masyarakat Polahi
Gorontalo.https://www.academia.edu/5564476/Jurnal_Polahi. Diakses pada : 27 Mei
2018
Rosyid,Asyar.2015.https://regional.kompas.com/read/2013/05/07/11091556/polahi.dan.cerita
.mistis.yang.melingkupinya. Diakses Pada : 28 Mei 2018 (20.12 WIB)
UU.Nomor.1.tahun.1974.tentang.Perkawinan.(https://docs.google.com/document/d/1uoCWh
4aNYuCDoLgIiMtMe9cEfiTBaOaxmkrfFV1YpaM/edit) Diakses pada : 28 Mei 2018

Anda mungkin juga menyukai