.
Pemeriksaan kesehatan selama hamil dan setelah persalinan pada petugas kesehatan
dibutuhkan untuk mendeteksi kelainan yang mungkin dapat membaha- yakan jiwa ibu
dan bayi.
Kenyataannya hal ini dilakukan oleh hampir semua ibu-ibu kedua suku tetapi tidak
lengkap empat kali selama hamil dan dilakukan sambil berobat karena demam, pusing,
flu dan sebagainya.
Penduduk menganggap urusan kehamilan adalah urusan perempuan dan itu hal yg
alami sehingga cukup ditangani oleh perempuan saja.
Laki” tidak perlu /tidak mau tahu sehingga tidak perlu dilibatkan atau ikut campur,
apakah ibu mau memeriksakan diri ke dukun atau ke petugas kesehatan.
Anggapan ini tidak berdampak positif bagi ibudimana ibu bebas menentukan langkah
yg juga bias dilakukan dengan keliru.
Dampak negative tidak di libatkannya suami dalam pemeliharaan kesehatan ibu yaitu:
Suami tidak harus berpikir dan memberikan pendapat, tanggung jawab dan dukungan
yg lebih baik.
Penduduk masih sangat mempercayai pengobatan tradisional, sehingga pengobatan
modern adalah option ke 2 setelah pengobatan tradisional.
Karena ibu” merasa lebih dekat dan percaya dengan Dukun.
PERSALINAN
Persalinan dapat terjadi secara alami atau tanpa pertolongan namun dapat
membahayakan nyawa ibu dan bayi seperti :
Perdarahan
Partus Lama
Eklampsi
Infeksi
Kematian janin
Dll…
BUDAYA /PERILAKU IBU-IBU SUKU AMUNGME
DAN KAMORO DALAM PERSALINAN
Penduduk percaya bahwa darah /kotoran persalinan akan menimbulkan penyakit bagi laki-
laki dan anak-anak, sehingga ibu bersalin harus di sembunyikan atau di jauhkan diluar radius
500 meter dari perkampungan.
Di desa pemukiman baru ini meskipun mereka sudah tinggal selama lebih dari 10 tahun,
masih tetap ada akar budaya jijik atau takut terhadap perempuan yang sedang bersalin. Hal
ini terlihat dari tempat ibu-ibu melakukan persalinan di rumah bisa; di dalam kamar mandi, di
dapur, di bawah rumah, atau di tempat khusus yang dibuat di belakang rumah/hutan (bivak).
Ini menunjukkan bahwa meskipun sudah tinggal di pemukiman baru, ibu tetap tidak berani
melanggar tradisi dengan me- ngurung diri di bagian belakang rumah sementara suami dan
anak-anak menunggu di ruang depan rumah. Kepercayaan ini sangat memojokkan posisi
perempuan dan sangat merugikan kesehatannya, saat perempuan yang berjuang untuk tugas
reproduksi yang berbahaya tidak mendapat perhatian dari suamin ya. Cara penanganan
persalinan juga sering bertentangan dengan cara pelayanan kesehatan modern misalnya posisi
jongkok di toilet, pemotongan dan pengikatan tali pusat dengan tali rafia atau akar pohon.
Perempuan di anggap tabu membuka paha di depan orang belum dikenal. Meskipun
untuk pengobatan atau persalinan. Kepercayaan ini makin memperkuat ibu-ibu untuk
tidak berani meminta melakukan persalinan di rumah sakit, klinik, Puskesmas
meskipun jaraknya dekat dan tidak membayar sama sekali. Dia khawatir disalah
artikan oleh suami bahwa dia mau melanggar tradisi memanjakan diri makan tidur
sementara di rumah, tetangga atau suami yang mencarikan makanan bagi diri dan anak-
anaknya. Bila ada indikasi yang mengharuskan untuk minta bantuan pihak lain, maka
perlu dirembukkan dulu atau minta izin suami dan keluarganya karena ini merupa- kan
tanggung jawab semua kerabat.
Bagi suku Kamoro prinsip ini merupakan prinsip Iwoto
(kasih sayang atau kepedulian terhadap keluarga).
Asap kayu bakar dalam persalinan membawa kekuatan dari mbii.
Penduduk meyakini bahwa asap kayu bakar membawa kekuatan bagi orang yang sakit atau
lemah termasuk ibu yang sedang melahirkan.
Untuk prinsip iwoto itu juga,maka suami membantu dalam proses persalinan istrinya
dengan menghidupkan dan menjaga api kayu bakar, apinya selalu hidup dan asapnya
bertiup mengarah ke tempat ibu dan bayi.
Dalam proses persalinannya ibu berusaha mendapat kekuatan dengan menghirup asap
sebanyak-banyaknya, karena yakin asap membawa kekuatan dari roh atau mbii untuk
melancarkan persalinan.
Keyakinan ini secara fisik merugikan kesehatan ibu dan bayi yang memungkinkan
terjadinya sesak nafas dan infeksi saluran nafas.
Kematian ibu dipercayai karena ibu mendapat kutukan dari tuan tanah (teheta) atau roh
nenek moyang.
Kemalangan yang menimpa ibu karena ketidaktahuan dan tidak adanya bantuan pelayanan
yang seharusnya menjadi hak kesehatan reproduksinya dianggap wajar karena kesalahannya
sendiri.
Prinsip ini membuat nasib kaum perempuan Papua makin terpinggirkan. Peristiwa kematian
ibu kurang mendapat perhatian selayaknya bagi banyak penduduk pedesaan, mereka
menganggap itu peristiwa yang wajar dianggap mati syahid bahkan akan masuk surga.
Ada pula masyarakat yg menganggap kematian saat persalinan adalah suatu peristiwa yang
mengerikan, misalnya arwah ibu dapat menjadi kuntilanak atau leak.
Karena itu sering kematian itu disembunyikan atau tidak dilaporkan.
Ibu baru boleh mandi dan boleh berhubungan seks, setelah upacara adat 1-2 minggu pasca
persalinan.
Adanya larangan bagi ibu untuk mandi sebelum pesta kerabat yang biasanya diadakan 1-2 minggu
setelah persalinan. Dalam kesempatan ini ibu boleh mandi sendiri atau dimandikan ibu-ibu lain sambil
bernyanyi beramai-ramai.
Setelah itu diberikan kebebasan bagi ibu untuk melakukan hubungan seksual dengan suami. Selama
belum diadakan pesta suami dilarang makan minum dan tidur di rumah, harus di rumah keluarga yang
lain atau di rumah tetangga.
Akibat negatif bagi kesehatan ibu dari larangan mandi ini yaitu akan timbul berbagai macam penyakit
infeksi yang juga dapat menular kepada bayinya.
Hubungan seksual 1-2 minggu setelah persalinan bagi tubuh ibu yang belum pulih sempurna, dapat
menyebabkan kerusakan dan infeksi pada alat kelamin ibu. Ibu memaksakan diri, tegang dan nyeri
sehingga tidak bisa menikmati hubungan seks aman dan menyenangkan yang merupakan hak
reproduksinya
Upacara Kelahiran Suku Asmat
Upacara kelahiran suku Asmat merupakan suku yang sangat memperhatikan nasib
generasi penerusnya.
Suku asmat akan menjaga dengan baik calon generasi penerusnya mulai dari saat masih
di dalam kandungan sang ibu agar bisa lahir kedunia dengan selamat.
Proses itu pun berlanjut hingga sang bayi lahir. Tak lama setelah lahir, keluarga akan
mengadakan upacara sederhana bersama anggota suku yang lain. Menurut Puji Setriya,
upacara ini adalah acara pemotongan tali pusar dengan menggunakan sembilu, alat
yang terbuat dari bambu yang di lanjarkan. Selanjutnya sang bayi akan di beri Asi
sampai sang bayi berusia 2-3 tahun (PujiSetriya, 2012). Semua itu merupakan wujud
cinta dan kasih sayang mereka terhadap generasi penerus mereka.
TRADISI MASA NIFAS SUKU ASMAT
Tradisi melahirkan pada suku Asmat berlangsung di tengah hutan, dibawah pohon besar, dan di gubuk
bersalin.
Tradisi ini didasari falsafah masyarakat pedalaman tentang hutan dan pohon.
Hutan adalah ibu yg memberikan sumber kehidupan bagi manusia, seperti ibu yg melahirkan benih
kehidupan.
Masyarakat pedalaman identic dengan hutan dan kebun.
Pohon yg besar dan tinggi bermakna sumber kekuatan hidup.
Pohon yg tinggi menaungi dan melindungi tanaman lain yg lebih kecil.
Tradisi demikian beresiko terhadap keselamatan ibu dan bayi.
Proses persalinan yg dilakukan berdasarkan adat menjadi tragedy kematian ibu dan bayi tanpa bantuan
medis, keduanya akhirnya meninggal.
Kematian ibu dan jabang bayinya menyiratkan bahwa mengubah kebiasaan bersalin dari yg tradisional ke
modern bukanlah hal mudah. Terlebih kondisi social budaya dan geografis masyarakat yg tidak mendukung.
KESIMPULAN DAN SARAN
Ibu-ibu kedua suku Papua dalam penelitian ini sebagian besar berusia 15-35 tahun, pendidikan rendah (tidak
pernah sekolah sampai tamat SD), pekerjaan sehari-hari meramu yang dikategorikan sebagai petani atau
nelayan. Hampir separuh ibu- ibu melahirkan tidak dengan petugas kesehatan.
Persalinan di rumah ditolong oleh dukun, anggota keluarga, tetangga, atau tanpa pertolongan siapapun.
Persalinan dilakukan di kamar mandi, dapur, bawah rumah, atau di tempat-tempat ibu meramu. Cara
penanganan persalinan juga masih tidak sesuai dan tidak layak dibandingkan dengan cara pelayanan
kesehatan modern misalnya posisi jongkok di toilet, pemotongan dan pengikatan tali pusat, mengisap asap
kayu bakar, larangan mandi dan boleh berhubungan seks dalam masa nifas.
Perilaku ibu-ibu dalam penanganan persalinan ini dilandasi oleh beberapa tema budaya antara lain;
menganggap persalinan adalah peristiwa menjijikkan dan dapat menyebarkan penyakit berbahaya karena itu
harus disingkirkan. Beberapa tema budaya tersebut sangat diskriminatif, dan beberapa larangan menjauhkan
ibu untuk memperoleh hak-hak pelayanan kesehatan reproduksi. Ibu-ibu meninggal dalam persalinan dianggap
mendapat kutukan dari mbii (roh, tuan tanah).
Perlu metode khusus yang dirancang untuk merubah secara perlahan tradisi penduduk Papua. Metode ini perlu
diujicobakan dulu pada penduduk dalam suatu desain penelitian action research . Program yang langsung
diterapkan tanpa mendalami perilaku dan budaya setempat, sulit membuahkan hasil.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH.