Anda di halaman 1dari 14

NAMA : FITRI INSORAKI RUMAWAK

NIM : 2019071014030
KELAS :F

UJIAN AKHIR SEMESTER GASAL 2021-2022


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS CENDERAWASIH
MATA KULIAH: ETNOGRAFI PAPUA
DOSEN PENGASUH: Dr. A. E. DUMATUBUN. M.Si.

SOAL:
A. Soal Ujian AKHIR
Masalah makanan bagi ibu hamil dan Balita menjadi kasus yang penting terutama dalam
hal kebutuhan GIZI bagi kesehatan Ibu Hamil dan Balita. Saudara diminta untuk
membuat PAPER dan menganalisa masalah Kuliner Tradisional salah satu suku bangsa di
Papua yang anda tahu dengan baik tentang pengetahuan mereka yang terkait dengan
pola pengolahan, pola penyajian, dan pola makan suku bangsa tersebut. Saudara
diminta untuk mengkolaborasikan pengetahuan tradisional mereka dengan
pengetahuan kesehatan moderen tentang asupan GIZI. Saudara diminta untuk membuat
suatu analisa solusi bagi mengatasi tingkat kesehatan GIZI dikalangan suku bangsa
tersebut dengan suatu model analislis terpadu. Analisa dengan menggunakan referensi
dan buku-buku yang terkait.

JAWABAN :
I. KESEHATAN (SEHAT DAN SAKIT)
I.I KESEHATAN GIZI IBU HAMIL DAN BAYI
Kesehatan adalah suatu hal dalam kehidupan yang dapat membuat keluarga
bahagia. Pada kehamilan terjadi perubahan fisik dan mental yang bersifat alami dimana
para calon ibu harus sehat dan mempunyai kecukupan gizi sebelum dan setelah hamil.
Agar kehamilan berjalan sukses,keadaan gizi ibu pada waktu konsepsi harus dalam
keadaan yang baik dan selama hamil mendapatkan tambahan protein, minimal seperti
zat besi dan kalsium,vitamin,asam folat dan energi. Kekurangan atau kelebihan
makanan pada masa hamil dapat berakibat kurang baik bagi ibu,janin yang dikandung
serta jalannya persalinan.Oleh karena itu, perhatian terhadap gizi dan pengawasan berat
badan(BB)selama hamil merupakan salah satu hal penting dalam pengawasan kesehatan
pada masa hamil. Selama hamil, calon ibu memerlukan lebih banyak zat-zat gizi dari
pada wanita yang tidak hamil, karena makanan ibu hamil dibutuhkan untuk dirinya dan
janin yang dikandungnya,bila makanan ibu terbatas janin akan tetap menyerap
persediaan makanan ibu sehingga ibu menjadi kurus, lemah,pucat,gigi rusak,rambut
rontok dan lain-lain.

I.II PANDANGAN ORANG PAPUA TENTANG IBU HAMIL, MELAHIRKAN, NIFAS


SECARA UMUM
Orang Papua mempunyai konsepsi dasar berdasarkan pandangan kebudayaan
mereka masing-masing terhadap berbagai penyakit demikian halnya pada kasus tentang
kehamilan, persalinan, dan nifas berdasarkan persepsi kebudayaan mereka. Akibat
adanya pandangan tersebut di atas, maka orang Papua mempunyai beberapa bentuk
pengobatan serta siapa yang manangani, dan dengan cara apa dilakukan pengobatan
terhadap konsep sakit yang berkaitan dengan kehamilan, persalinan, perdarahan,
pembengkakan kaki selama hamil, berdasarkan pandangan kebudayaan mereka. Sebagai
ilustrasi dapat disajikan beberapa contoh kasus pada orang Papua ( Orang Hatam, Sough,
Lereh, Walsa, Moi Kalabra). Hal yang sama pula ada pada suku bangsa-suku bangsa
Papua lainnya, tetapi secara detail belum dilakukan penelitian terhadap kasus ibu hamil,
melahirkan, dan nifas pada orang Papua.
Interpretasi Sosial Budaya Orang Hatam dan Sough tentang Ibu hamil, melahirkan,
nifas, didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan kebudayaan mereka secara turun
temurun. Hal ini jelas didasarkan atas perilaku leluhur dan orang tua mereka sejak
dahulu kala sampai sekarang. Bagi orang Hatam dan Sough, kehamilan adalah suatu
gejala alamiah dan bukan suatu penyakit. Untuk itu harus taat pada pantangan-
pantangan secara adat, dan bila dilanggar akan menderita sakit. Bila ada gangguan pada
kehamilan seorang ibu, biasanya dukun perempuan (Ndaken) akan melakukan
penyembuhan dengan membacakan mantera di air putih yang akan diminum oleh ibu
tersebut. Tindakan lain yang biasanya dilakukan oleh Ndaken tersebut juga berupa,
mengurut perut ibu hamil yang sakit. Sedangkan bila ibu hamil mengalami
pembengkakan pada kaki, berarti ibu tersebut telah melewati tempat-tempat keramat
secara sengaja atau pula telah melanggar pantangan-pantangan yang diberlakukan
selama ibu tersebut hamil. Biasanya akan diberikan pengobatan dengan memberikan air
putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum ibu tersebut. Juga dapat diberikan
pengobatan dengan menggunakan ramuan daun abrisa yang dipanaskan di api, lalu
ditempelkan pada kaki yang bengkak sambil diuruturut.
Ada juga yang menggunakan serutan kulit kayu bai yang direbus lalu airnya diminum.
Disini posisi seorang dukun perempuan atau Ndaken sangatlah penting, sedangkan
dukun laki-laki tidak berperan secara langsung. Bagaimana persepsi orang Hatam dan
Sough tentang perdarahan selama kehamilan dan setelah melahirkan ? Hal itu berarti
ibu hamil telah melanggar pantangan, suaminya telah melanggar pantangan serta belum
menyelesaikan masalah dengan orang lain atau kerabat secara adat. Bila perdarahan
terjadi setelah melahirkan, itu berarti pembuangan darah kotor, dan bagi mereka adalah
suatu hal yang biasa dan bukan penyakit. Bila terjadi perdarahan, maka Ndaken akan
memberikan air putih yang telah dibacakan matera untuk diminum oleh ibu tersebut.
Selain itu akan diberikan ramuan berupa daun-daun dan kulit kayu mpamkwendom yang
direbus dan airnya diminum oleh ibu tersebut. Bila terjadi pertikaian dengan kerabat
atau orang lain, maka suaminya secara adat harus meminta maaf. Di sini peranan dukun
perempuan (ndaken) dan dukun laki-laki (Beijinaubout, Rengrehidodo) sangatlah
penting. Persalinan bagi orang Hatam dan Sough adalah suatu masa krisis. Persalinan
biasanya di dalam pondok (semuka) yang dibangun di belakang rumah. Darah bagi orang
Hatam dan Sough bagi ibu yang melahirkan adalah tidak baik untuk kaum laki-laki,
karena bila terkena darah tersebut, maka akan mengalami kegagalan dalam aktivitas
berburu. Oleh karena itu, seorang ibu yang melahirkan harus terpisah dari rumah
induknya. Posisi persalinan dalam bentuk jongkok, karena menurut orang Hatam dan
Sough dengan posisi tersebut, maka bayi akan mudah keluar. Pemotongan tali pusar
harus ditunggu sampai ari-ari sudah keluar. Apabila dipotong langsung, maka ari-ari
tidak akan mau keluar.
Bagi orang Kaureh yang berada di kecamatan Lereh, juga mempunyai interpretasi
tentang ibu hamil, melahirkan dan nifas berdasarkan pemahaman kebudayaan mereka.
Orang Kaureh melihat kehamilan sebagai suatu masa krisis, dimana penuh resiko dan
secara alamiah harus dialami oleh seorang ibu, untuk itu perlu taat terhadap pantangan-
pantangan dan aturan-aturan secara adat. Bila melanggar, ibu hamil akan memderita
sakit Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002 dan bisa
meninggal. Biasanya bila seorang ibu hamil mengalami penderitaan (sakit), akan
diberikan ramuan berupa air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum. Yang
lebih banyak berperan adalah kepala klen atau ajibar/pikandu. Sedangkan bila seorang
ibu hamil mengalami pembengkakan pada kaki, itu berati ibu tersebut telah melewati
tempat-tempat terlarang atau keramat. Di samping itu pula bisa terjadi karena buatan
orang dengan tenung/black magic, atau terkena suanggi. Pengobatannya dengan cara
memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum, atau seorang
dukun/kepala klen (ajibar/Pikandu) akan mengusirnya dengan membacakan mantera-
mantera. Apabila seorang ibu hamil mengalami perdarahan dan setelah melahirkan
mengalami perdarahan, itu bagi mereka adalah suatu hal yang biasa saja. Perdarahan
berarti pembuangan darah kotor, dan bila terjadi banyak perdarahan berarti ibu
tersebut telah melanggar pantanganpantangan secara adat dan suami belum
menyelesaikan persoalan dengan kerabat atau orang lain. Untuk itu biasanya
ajibar/Pikandu memberikan ramuan berupa air putih yang telah dibacakan mantera
yang diminum oleh ibu tersebut. Untuk masalah pertikaian maka suami harus meminta
maaf secara adat pada kerabat dan orang lain.
Sedangkan persalinan bagi orang Kaureh adalah suatu masa krisis, dan persalinan
harus dilakukan di luar rumah dalam pondok kecil di hutan karena darah sangat
berbahaya bagi kaum laki-laki. Posisi persalinan dengan cara jongkok, karena akan
mudah bayi keluar. Pemotongan tali pusar biasanya setelah ari-ari keluar baru
dilaksanakan, sebab bila dipotong sebelumnya maka ari-ari akan tinggal terus di dalam
perut. Bagaimana orang Walsa yang berada di kecamatan Waris daerah perbatasan
Indonesia dan Papua Niguni.
Mereka juga mempunyai kepercayaan tentang kehamilan, persalinan dan nifas yang
didasarkan pada pemahaman kebudayaan mereka secara turun temurun. Bagi orang
Walsa, kehamilan adalah kondisi ibu dalam situasi yang baru, dimana terjadi perubahan
fisik, dan ini bagi mereka bukan suatu kondisi penyakit. Sebagaimana dengan kelompok
suku bangsa yang lain, mereka juga percaya bahwa untuk dapat mewujudkan seorang
ibu hamil sehat, maka harus menjalankan berbagai pantangan-pantangan. Namun
demikian kadangkala bila ibu mengalami sakit bisa terjadi karena adanya gangguan dari
luar seperti terkena roh jahat, atau buatan orang lain yang tidak senang dengan keluarga
tersebut. Untuk mengatasi gangguan tersebut biasanya dukun (Putua/ Mundklok) akan
membantu dengan memberikan air putih yang telah dibacakan mantera untuk diminum,
atau dengan memberikan ramuan daun-daun yang direbus lalu diminum ibu hamil
tersebut. Sedangkan bila terjadi pembengkakan pada kaki, berarti ibu hamil telah
melanggar pantangan, menginjak tempat tempat keramat, terkena roh jahat, dan suami
belum melunasi mas kawin. Untuk mengatasi masalah tersebut, dukun akan
memberikan air putih yang dibacakan mantera untuk diminum, sedangkan untuk mas
kawin, maka suami harus lunasi dahulu kepada paman dari istrinya. Sedangkan bila
terjadi perdarahan selama hamil dan setelah bersalin, bagi orang Walsa itu hal biasa
saja, karena terjadi pembuangan darah kotor, atau ibu telah melanggar pantangan
secara adat, suami belum melunasi mas kawin dan ibu terkena jampi-jampi. Untuk
mengatasi masalah tersebut, biasanya dukun Putua/ Mundklok akan menyarankan
untuk menyelesaikan mas kawin, dan juga diberikan ramuan daun-daun untuk diminum.
Bagi orang Walsa persalinan adalah suatu masa krisis, untuk itu tidak boleh melanggar
pantangan adat. Dahulu melahirkan di pondok kecil (demutpul) yang dibangun di hutan,
karena darah bagi kaum laki-laki sangat berbahaya. Bila terkena darah dari ibu hamil,
berarti kaum laki-laki akan mengalami banyak kegagalan dalam usaha serta berburu.
Dalam proses persalinan biasanya dibantu oleh dukun Putua/Mundklok, tetapi
disamping itu ada bantuan juga dari dewa Fipao supaya berjalan dengan baik. Proses
persalinan dalam kondisi jongkok, biar bayi dengan mudah dapat keluar, dan tali pusar
dipotong setelah ari-ari keluar.
Orang Moi Kalabra yang berada di kecamatan Wanurian dan terletak di hulu sungai
Beraur Sorong mempunyai persepsi juga terhadap kehamilan, persalinan dan nifas bagi
ibu-ibu berdasarkan kepercayaan kebudayaan mereka secara turun temurun. Kehamilan
bagi mereka adalah si ibu mengalami situasi yang baru dan bukan penyakit. Untuk itu ibu
tersebut dan suaminya harus menjalankan berbagai pantangan-pantangan terhadap
makanan dan kegiatan yang ditata secara adat. Mereka juga percaya bila ada gangguan
terhadap kehamilan, itu berarti ibu dan suaminya telah melanggar pantangan, di
samping itu pula ada gangguan dari roh jahat atau buatan orang (suanggi). Untuk
mengatasi hal tersebut, dukun laki-laki (Woun) dan dukun perempuan (Naredi Yan
Segren) atau Biang akan membantu dengan air putih yang dibacakan mantera untuk
diminum, atau dengan menggunakan jimat tertentu mengusir roh jahat atau gangguan
orang lain Antropologi Papua (ISSN: 1693-2099) Volume 1. No. 1, Agustus 2002
(suanggi). Pembengkakan pada kaki ibu hamil berarti melanggar pantangan, terekan roh
jahat, disihir orang lain dan suami belum melunasi mas kawin, serta menginjak tempat-
tempat keramat. Sedangkan apabila terjadi perdarahan pada waktu hamil dan setelah
melahirkan itu adalah suatu hal biasa, karena membuang darah kotor. Bila terjadi
banyak perdarahan berati ibu tersebut melanggar pantangan serta disihir oleh orang
lain. Untuk itu maka akan diberikan ramuan daun-daun dan kulit kayu yang direbus lalu
diminum. Kadang diberi daun jargkli, bowolas pada tempat yang sakit oleh dukun Woun
atau Naredi Yan Segren, Biang. Adapun persalinan merupana suatu masa krisis untuk itu
tidak boleh melanggar pantangan adat. Biasanya proses persalinan dilakukan dalam
pondok kecil yang dibangun di hutan, karena darah bagi kaum pria adalah berbahaya,
bisa mengakibatkan kegagalan dalam berburu. Posisi persalinaan biasanya dalam kondisi
jongkok karena bayi akan mudah keluar, dan tali pusar dipotong setelah ari-ari telah
keluar. Untuk membantu persalinan biasanya dukun akan memberikan ramuan daun-
daun yang diminum dan pada bagian perut dioles dengan daun jargkli, gedi, jarak, kapas,
daun sereh untuk menghilangkan rasa sakit dan proses kelahiran dapat berjalan cepat.
Semua kegiatan persalinan dibantu oleh dukun perempuan (Naredi Yan Segren).

I.III JENIS- JENIS PENGOBATAN TRADIOSIONAL ORANG PAPUA SECARA UMUM


Sebagaimana dikemukakan bahwa secara “etik” dan “emik”, dapat diketengahkan
konsep sehat dan saklit, namun demikian secara konseptual dapatlah dikemukakan
konsep pengobatan secara “etik” dan “emik” berdasarkan pandangan para medis dan
masyarakat dengan berlandaskan pada kebudayaan mereka masing-masing. Untuk itu
dapat dikemukakan pola pengobatan secara tradisional orang Papua berdasarkan
pemahaman kebudayaan mereka yang dikemukakan oleh Djekky R. Djoht (2001: 14-15).
Berdasarkan pemahaman kebudayaan orang Papua secara mendalam, dapatlah
dianalisis bagaimana cara-cara melakukan pengobatan secara tradisional. Untuk itu
telah diklasifikasikan pengobatann tradisional orang Papua kedalam enam (6) pola
pengobatan , yaitu:
1. Pola Pengobatan Jimat. Pola pengobatan jimat dikenal oleh masyarakat di daerah kepala
burung terutama masyarakat Meibrat dan Aifat. Prinsip pengobatan jimat, menurut
Elmberg, adalah orang menggunakan benda-benda kuat atau jimat untuk memberi
perlindungan terhadap penyakit. Jimat adalah segala sesuatu yang telah diberi kekuatan
gaib, sering berupa tumbuhtumbuhan yang berbau kuat dan berwarna tua.
2. Pola Pengobatan Kesurupan. Pola kesurupan dikenal oleh suku bangsa di daerah sayap
burung, yaitu daerah teluk Arguni. Prinsip pengobatan kesurupan menurut van Longhem
adalah seorang pengobat sering kemasukan roh/mahluk halus pada waktu berusaha
mengobati orang sakit. Dominasi kekuatan gaib dalam pengobatan ini sangat kentara
seperti pada pengobatan jimat.
3. Pola Pengobatan Penghisapan Darah. Pola penghisapan darah dikenal oleh suku bangsa
yang tinggal disepanjang sungai Tor di daerah Sarmi, Marind-anim, Kimaam, Asmat.
Prinsip dari pola pengobatan ini menurut Oosterwal, adalah bahwa penyakit itu terjadi
karena darah kotor, maka dengan menghisap darah kotor itu, penyakit dapat
disembuhkan. Cara pengobatan penghisapan darah ini dengan membuat insisi dengan
pisau, pecahan beling, taring babi pada bagian tubuh yang sakit. Cara lain dengan
meletakkan daun oroh dan kapur pada bagian tubuh yang sakit. Dengan lidah dan bibir
daun tersebut digosok-gosok sampai timbul cairan merah yang dianggap perdarahan.
Pengobatan dengan cara ini khusus pada wanita saja. Prinsip ini sama persis pada
masyarakat Jawa seperti kerok.
4. Pola Pengobatan Injak. Pola injak dikenal oleh suku bangsa yang tinggal disepanjang
sungai Tor di daerah Sarmi. Prinsip dari pengobatan ini menurut Oosterwal adalah
bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan menginjak-injak
tubuh si sakit dimulai pada kedua tungkai, dilanjutkan ketubuh sampai akhirnya ke
kepala, maka injakan tersebut akan mengeluarkan roh jahat dari dalam tubuh.
5. Pola Pengobatan Pengurutan. Pola pengurutan dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di
daerah selatan Merauke yaitu suku bangsa Asmat, dan selatan kabupaten Jayapura yaitu
suku bangsa Towe. Prinsip dari pola pengobatan ini menurut van Amelsvoort adalah
bahwa penyakit itu terjadi karena tubuh kemasukan roh, maka dengan mengurut
seluruh tubuh si sakit, maka akan keluar roh jahat dari dalam tubuhnya. Orang Asmat
menggunakan lendir dari hidung sebagai minyak untuk pengurutan. Sedangkan pada
suku bangsa Towe penyebab penyakit adalah faktor empirik dan magis. Dengan
menggunakan daun-daun yang sudah dipilih, umunya baunya menyengat, dipanaskan
kemudian diurutkan pada tubuh si sakit.
6. Pola Pengobatan Ukup. Pola ukup dikenal oleh suku bangsa yang tinggal di selatan kabupaten
Jayapura berbatasan dengan kabupaten Jayawijaya yaitu suku bangsa Towe, Ubrup. Prinsip dari
pengobatan ini adalah bahwa penyakit terjadi karena tubuh kemasukan roh, hilang
keseimbangan tubuh dan jiwa, maka dengan mandi uap dari hasil ramuan daun-daun yang
dipanaskan dapat mengeluarkan roh jahat dan penyebab empirik penyakit.
I.IV CONTOH KHUSUS SUKU MUYU DI PAPUA
Suku Muyu: Masyarakat Cerdas dalam Lingkaran Belief Pada masa penjajahan
Belanda, suku Muyu mendiami kawasan kaki bukit dan lembah-lembah kecil. Diantaranya
kawasan Sentani, Nimboran, dan Ayamaru. Suku Muyu menempati wilayah
Onderafdeling Muyu (setara dengan distrik) di sebidang tanah sempit hampir berbentuk
bujur sangkar di sepanjang perbatasan Papua Nugini. Sebagian kecil dari kelompok etnis
itu menempati wilayah tetangga Papua Nugini . Saat ini, suku Muyu hidup tersebar di
beberapa daerah. Namun koloni terbesar suku Muyu berada di sekitar Distrik
Mindiptana yang merupakan ibu kota Onderafdeling Muyu pada zaman Belanda. Secara
administratif, Kecamatan Mindiptana merupakan bagian dari Kabupaten Boven Digoel .
Makanan pantangan berkaitan dengan jenis makanan tertentu yang harus kita
hindari. Secara khusus, hal ini berkaitan dengan kepercayaan dan isu-isu magisreligius.
Beberapa suku melakukannya untuk melestarikan sumber daya alam, sementara
beberapa lainnya untuk membuat ritual khusus lebih berkesan magis. Secara umum,
pantangan makanan dapat memperkuat identitas dan kohesi kelompok atau budaya
tertentu .
Pantangan makanan adalah bagian dari kepercayaan dan praktik budaya.
Sementara itu, masyarakat mewariskan pantangan makanan dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Proses ini berbarengan dengan pewarisan unsur budaya lainnya.
Proses pewarisan kepercayaan terkait pantangan makanan antar generasi ini
menjelaskan konsistensi pantangan makanan yang berlaku pada beberapa suku . Selain
di tingkat individu, pantangan makanan juga berlaku di tingkat komunal, terutama di
masyarakat yang masih kental dengan tradisi. Individu juga dapat berpantang makanan
dalam suatu kelompok kekerabatan, hal ini untuk memanifestasikan diri mereka sebagai
tetua adat .
Di suku-suku tertentu, mereka percaya makanan tabu memiliki konsekuensi
berbahaya bagi mereka yang melanggar batasan ini. Makanan pantangan bagi ibu
hamil, misalnya, diyakini dapat mempengaruhi bayi yang akan dilahirkan. Masyarakat
Jawa melarang ibu hamil makan nasi goreng, durian, nangka, nanas, dan tebu. Orang
Jawa percaya makanan ini menyebabkan komplikasi saat melahirkan . Ibu hamil suku
Madura di Indonesia pantang makan cumi, udang, nanas, ambarela, kol, air dingin.
Orang Madura percaya bahwa makanan ini memiliki efek buruk pada janin dalam
kandungan . Wanita etnis Tengger di Jawa Timur, Indonesia, berpantang makanan yang
dianggap tidak biasa, seperti makanan lengket atau kembar. Situasi tersebut karena
adanya pendekatan simbolik, fungsional, dan religius atau nilai. Jika wanita Tengger
mengkonsumsi makanan jenis ini, mereka percaya akan melahirkan anak sesuai dengan
ciri fisiknya. Selain itu, ibu hamil Tengger juga harus menghindari makanan panas. Jenis
makanan tersebut adalah cabai, merica, nanas, dan tape (makanan fermentasi). Suku
Tengger percaya jenis makanan ini menyebabkan janin kepanasan dan bisa
menyebabkan keguguran . Sementara, mitos di Nigeria Tenggara melarang anak-anak
setempat mengonsumsi daging bekicot. Ada ketakutan bahwa anak-anak akan berjalan
seperti siput .
Suku Muyu adalah salah satu dari lebih 250 suku yang mendiami pulau Papua di
wilayah administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia . Bagi orang Muyu, makanan
menempati posisi yang begitu penting. Makanan bagi kaum Muyu tidak bisa dilepaskan
begitu saja sebagai sumber energi, atau nutrisi, atau untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Pangan bagi suku Muyu memiliki nilai yang sentral, yang juga merupakan aktualisasi
kehidupan sehari-hari bagi keyakinan pada dimensi keagamaan yang dianut dan
dihayati. Suku Muyu yang tinggal di pedalaman Papua bagian Selatan seringkali
mengandalkan hutan sebagai lumbung makanan. Mereka menyediakan makanan pokok
hutan, sayuran, dan lauk pauk dengan sedikit usaha. Pola pengumpulan makanan dalam
kehidupan masyarakat Muyu ini erat kaitannya dengan dimensi keagamaan yang
berkembang lebih awal sebelum masa misi Katolik merasuki kehidupan masyarakat
Muyu,
zaman pemerintahan kolonial Belanda, suku Muyu sudah dikenal memiliki mental
dan daya saing yang baik dibandingkan dengan suku-suku lain di wilayah Papua. Orang
Muyu yang bertubuh tinggi banyak yang menjadi pejabat di pemerintahan Kabupaten
Boven Digoel, termasuk di beberapa kabupaten tetangga di bagian Selatan Provinsi
Papua . Meski akses transportasi dan informasi sudah mulai terbuka di wilayah suku
Muyu, kepercayaan tentang hal-hal magis tetap ada, termasuk kepercayaan yang
berkaitan dengan kesehatan. Misalnya, masyarakat Muyu percaya darah persalinan dan
darah haid dari wanita Muyu membawa udara kotor supranatural yang buruk, yang biasa
disebut iptém dalam bahasa Muyu. Orang Muyu percaya bahwa iptém menyebabkan hal-
hal buruk bagi orang-orang di sekitarnya, termasuk keluarga, terutama laki-laki. Pengaruh
iptém bisa berupa hosa (sesak napas), persendian membiru, hingga kematian. Untuk itu,
pihak keluarga mengasingkan ibu-ibu Muyu yang sedang melahirkan dari rumah tersebut.
Keluarga membuat gubuk terpisah sekitar 25 meter dari rumah untuk wanita Muyu.
Wanita Muyu yang melahirkan akan tinggal di tempat itu hingga 40 hari . Kepercayaan
kesehatan seperti itu tidak hanya diyakini dan berlaku bagi masyarakat biasa suku Muyu,
tetapi juga diyakini dan berlaku bagi tenaga kesehatan. Mereka adalah penduduk asli
Muyu yang telah mengenyam pendidikan kedokteran modern. Namun kenyataannya
dalam kehidupan sehari-hari masih sangat mempercayai kepercayaan kesehatan yang
melingkupi kehidupan masyarakat Muyu . Kepercayaan lain yang mendominasi
kehidupan sehari-hari masyarakat Muyu adalah waruk. Masyarakat Muyu percaya bahwa
waruk adalah kesaktian yang harus dimiliki oleh orang Muyu. Waruk adalah simbol
keberanian bagi seorang pria suku Muyu. Seorang pria Muyu yang tidak memiliki waruk,
yang didapatkan melalui inisiasi, belum menjadi seorang pria Muyu; dia masih
"perempuan". Waruk seringkali berupa mantra-mantra rahasia, yang bahkan saudara
kandungnya tidak mengetahui tentang mantra-mantra yang dimiliki saudaranya. Waruk
bersifat personal. Hanya pria itu dan guru spiritual yang segera memahami mantra waruk
yang dia miliki . Waruk untuk laki-laki Muyu dapat berasal dari orang tuanya yang
merupakan keturunan langsung, diperoleh dari seorang tetua adat melalui proses inisiasi,
atau diperoleh melalui usahanya sendiri. Waruk yang melalui usaha sendiri biasanya
berupa jimat atau benda sakti. Proses inisiasi harus dilalui untuk mendapatkan waruk dari
tetua adat. Masyarakat Muyu percaya bahwa sesepuh memiliki kemampuan spiritual,
dan hasl tersebut berlangsung sangat rahasia. Cukup menantang untuk mendapatkan
detail tentang proses inisiasi ini. Siapapun yang berani membicarakan inisiasi kepada
yang tidak seharusnya, apalagi suku lain, akan terkena kutukan sampai mati .
Makanan Mayoritas masyarakat Muyu mengandalkan hasil hutan untuk memenuhi
kebutuhan pangan seharihari. Ada yang berburu, mengumpulkan hasil hutan,
memelihara babi, dan mencari ikan di sungai. Sebagian kecil lainnya adalah bercocok
tanam dan menyadap getah karet dari sisa-sisa pohon karet pada zaman Belanda. Dalam
teknologi pengolahan makanan, suku Muyu tertinggal dari suku-suku di wilayah
Indonesia lainnya. Masyarakat Muyu masih terbiasa memasak dengan menggunakan
kulit kayu, daun, dan bambu sebagai media atau alat pengolah makanan. Tidak sampai
dua dekade yang lalu, mereka berkenalan dengan peralatan memasak modern semacam
panci, wajan, sendok, dan peralatan masak logam lainnya. Suku Muyu memiliki peralatan
masak yang unik, yang terpisah antara tungku perempuan (Gambar ) dan tungku laki-laki
(Gambar). Tungku perempuan ditempatkan di dapur keluarga, sedangkan tungku laki-laki
ditempatkan di kamar lakilaki, biasanya di ruang utama. Tungku laki-laki hanya berfungsi
untuk memasak makanan ringan sederhana, seperti untuk membakar batatas (ubi) dan
kasbi (singkong).

I.V MAKANAN KULINER SUKU MUYU DAN PANTANGANNYA


Makanan Pantangan Suku Muyu Suku Muyu memiliki pantangan terhadap beberapa
jenis makanan. Hambatan makanan ini berlaku untuk pria dan wanita, baik anak-anak
maupun orang dewasa. Makanan bisa dibilang tabu berdasarkan bentuk fisiknya, selain
karena kepercayaan masyarakat Muyu bahwa ada kualitas buruk yang melekat pada
bahan makanan tersebut. Mereka sering menggunakan makanan yang dianggap panas
sebagai alasan. Tabu makanan untuk pria paling erat kaitannya dengan praktik ritual
karena menjalani inisiasi sebagai tómkót. Tómkót adalah profil big man bagi Suku Muyu.
Tómkót adalah profil pemimpin yang sempurna bagi Suku Muyu. Dia berwibawa,
dihormati karena kepribadiannya; aura itu muncul dari dalam dirinya. Situasinya berbeda
dengan kawab, yang juga merupakan salah satu profil pemimpin Muyu. Hanya saja
kawab bisa mendapatkan kepemimpinannya melalui kekayaan dan kekuasaan dan
bahkan bisa bertindak kasar untuk mencapai tujuannya . Jenis pantangan makanan untuk
tómkót adalah ikan sembilang, udang biru, kuskus, dan ular. Jika seorang pria berani
mengambil risiko untuk memakan pantangan ini, maka aura kepemimpinannya dapat
memudar, karena itu berarti laki-laki Muyu tersebut tidak dapat menahan diri.
Kemampuan menahan diri adalah salah satu keutamaan tómkót bagi big man Suku
Muyu. Jika laki-laki Muyu melanggar pantangan makanan tersebut, kekuatan gaib
(waruk) mereka bisa berkurang, dan bahkan hilang.
Masyarakat Muyu sering kali memaksudkan pantangan makanan bagi perempuan
yang sedang hamil dan menyusui. Pantang bagi ibu hamil Muyu sering dikaitkan dengan
janin dalam kandungan. Setidaknya ada sebelas jenis makanan dari hewan dan dua
jenis buah atau sayuran yang wajib dihindari oleh kaum muyu sebagai pantangan bagi
ibu hamil dan menyusui. Jenis makanan tersebut adalah ikan sembilang - secara fisik
mirip dengan ikan lele tetapi lebih bulat dan bentuknya kuning. Kemudian tabu lainnya
adalah ikan tònkòròm atau ikan perut kuning, penyu, buaya, kaluang (kelelawar), burung
mamruk, kasuari, telur kasuari, onkéwét (tawon), telur ayam hutan, tuban (tikus hutan),
kuskus, dan ular. Sementara makanan pantangan dari jenis tumbuhan adalah pandan
kuning, pandan hijau, mentimun, dan kacang panjang. Ikan sembilang adalah amóp
(dilarang), yang dilarang keras dikonsumsi oleh ibu hamil karena orang Muyu khawatir
bayi yang dikandungnya akan memiliki penampilan fisik seperti ikan sembilang. Bayi akan
lahir dengan kepala lebih besar dari tubuhnya. Mereka khawatir bayi akan kesulitan
keluar dari jalan lahir ibunya. Jenis ikan lain yang harus dihindari wanita Muyu adalah
ikan tònkòròm (ikan perut kuning). Wanita hamil dan ibu menyusui sama-sama tidak
mengkonsumsi tònkòròm. Ikan yang hidup di air tawar, menurut kepercayaan
masyarakat Muyu, terutama Muyu bagian atas, dapat menyebabkan keluarnya darah dari
hidung bayi atau anak. Sedangkan buaya dijadikan tabu bagi ibu hamil Muyu karena
dikhawatirkan bayi atau janin yang dikandungnya akan mati di dalam kandungaN.
Suku Muyu melarang mengkonsumsi hewan yang bisa terbang bagi ibu hamil dan
menyusui. Terdiri dari kaluang atau kelelawar, burung mamruk, kasuari, dan burung
tawon-tawon (onkéwét). Kaluang ini cukup besar, seukuran kucing dewasa. Kaluang
dijadikan pantangan bagi ibu hamil karena dikhawatirkan bayi yang dikandungnya akan
bergelantungan seperti kelelawar di pohon, sehingga berkembang keyakinan bahwa bayi
akan sulit keluar.
Suku Muyu menggunakan burung cantik kebiruan dan bermahkota, burung mamruk,
sebagai pantangan bagi ibu hamil, ibu menyusui, dan anak-anak. Hal yang tabu karena
masyarakat Muyu percaya bahwa bayi yang dikandung oleh perempuan Muyu akan
memiliki kelainan pada anggota tubuh mereka ketika mereka dilahirkan nanti, sehingga
ketika berjalan, mereka terlihat sangat lambat, seperti burung mamruk. Burung kasuari,
termasuk telurnya, juga tabu bagi ibu hamil dan menyusui. Di suku Muyu, ada
kepercayaan yang berkembang bahwa kasuari dapat membuat bayi yang dikandung oleh
seorang wanita Muyu yang lahir mono (tuli-bisu), seperti kasuari, yang hanya menoleh
kiri-kanan, hanya bisa menatap matanya, tetapi tidak bisa mendengar. Pantangan juga
berlaku untuk telur kasuari.
penjaga kétpòn (tempat suci). Selain itu, ada juga larangan bagi wanita Muyu yang sedang
menstruasi. Orang Muyu melarang keras wanita Muyu yang sedang mengalami haid untuk
memakan makanan dari daging babi. Menurut Suku Muyu, mereka percaya daging babi
membuat darah haid keluar lebih banyak dari biasanya sehingga haid bisa lebih lama.
Mereka beranggapan darah babi itu bersifat panas.
Pantangan makanan untuk anak-anak, terutama untuk anak laki-laki, juga hampir
sama dengan pantangan bagi pria Muyu dewasa. Pantang ini berlaku untuk anak laki-laki
yang mereka persiapkan untuk menjadi tómkót, terutama saat menjalani proses inisiasi.
Sebelum memulai proses inisiasi, para calon tómkót harus menjalani beberapa jenis
pantangan makanan.
Suku Muyu melarang buah dan hewan tertentu (amóp), termasuk ketapang, sukun,
nibung, ular, ikan sembilang, udang, dan kuskus. Selain pantangan terhadap jenis makanan
tertentu, mereka juga melarang anak laki-laki Muyu yang memulai inisiasi menjadi tómkót
untuk makan makanan yang dimasak oleh perempuan. Walaupun mereka memasak
makanan yang tidak termasuk kelompok makanan pantangan, pelanggaran terhadap
pantangan tersebut akan menyebabkan penyakit pada anak laki-laki, yaitu radang alat
kelamin, luka, dan demam .
Secara umum, anak kecil harus menghindari beberapa makanan. Kali ini makanan
pantangan ini tidak terkait dengan proses inisiasi untuk menjadi tómkót. Makanan tersebut
adalah kacang-kacangan, kelapa, dan merica. Anak-anak sebaiknya menghindari pantangan
makanan seperti ini agar tidak cepat sakit, terutama batuk dan demam18 . Suku Muyu
menentukan beberapa pantangan makanan berdasarkan ciri fisik makanan tersebut.
Misalnya, pantangan makanan berwarna kuning karena khawatir perempuan Muyu akan
melahirkan anak berkulit kuning.
Pada prinsipnya, situasi ini sama dengan konsep makanan tabu yang dilaporkan
dalam penelitian di suku Tengger sebelumnya. Selain itu, masyarakat Muyu juga akrab
dengan ide makanan pantangan karena bersifat panas. Bedanya, makanan panas suku
Tengger berlaku untuk ibu hamil, sedangkan di suku Muyu berlaku untuk wanita yang
sedang haid. Makanan Pantangan: Antara Risiko dan Proteksi Menghindari makanan
tertentu yang berlaku bagi seluruh masyarakat Muyu dapat berdampak pada kesehatan. Ibu
menyusui, ibu hamil, dan anak-anak merupakan kelompok yang paling rentan. Mereka
adalah sasaran paling sering diteliti berkaitan dengan efek dari pantangan makanan.
Penyebab kerawanan selama periode tersebut karena kebutuhan nutrisi yang meningkat.
Beberapa penelitian menginformasikan bahwa pantangan makanan dapat menyebabkan
kekurangan gizi, terutama pada ibu hamil dan menyusui .
Orang Muyu harus menghindari makanan pantangan. Beberapa suku tertentu
meyakini menghindari makanan tertentu karena efek merusak dari makanan tersebut jika
dikonsumsi. Informasi dari beberapa hasil penelitian sebelumnya menemukan hasil
sebaliknya. Tidak makan makanan tertentu dapat memiliki konsekuensi berbahaya,
seringkali menjadi kekurangan gizi, termasuk anemia . Makanan pantangan membuat variasi
pilihan makanan menjadi terbatas. Kondisi ini membuat asupan makanan kurang dari yang
seharusnya. Ibu hamil yang berpantang terhadap jenis makanan tertentu seringkali
menjadikan ibu hamil rentan mengalami gizi buruk, meski tidak selamanya bersifat buruk.
Beberapa praktik berpantang makanan memiliki sisi positif. Tidak mengonsumsi makanan
tertentu berpotensi menghindari kebiasaan makan yang tidak sehat . Berpantang makan
daging babi untuk wanita Muyu misalnya, bisa menghindari makanan berlemak untuk
mencegah kelebihan berat badan . Beberapa penelitian lain juga melaporkan bahwa
berpantang makanan laut dapat menghindari alergen dan kolesterol berlebihan .
Berpantang mengkonsumsi makanan laut adalah pencegahan, karena makanan laut dikenal
sebagai alergen yang kuat. Makanan laut dapat memicu reaksi merugikan yang disebabkan
oleh antibodi imunoglobulin E pada individu yang sensitif.

I.VI SOLUSI MENGATASI KESEHATAN GIZI DI PAPUA


Apabila dikaji lebih lanjut tentang konsep sehat dan sakit menurut perspektif
kebudayaan orang Papua, maka paling sedikit ada dua kategori yang sama seperti apa yang
dikemukakan oleh Anderson/Foster, berdasarkan lingkup hidup manusianya. Kategori
pertama, memandang konsep sehat-sakit bersifat “supranatural” artinya melihat sehat-sakit
karena adanya gangguan dari suatu kekuatan yang bersifat gaib, bisa berupa mahluk gaib
atau mahluk halus, atau kekuatan gaib yang berasal dari manusia. Sedangkan kategori
kedua, adalah “rasionalistik” yaitu melihat sehat-sakit karena adanya intervensi dari alam,
iklim, air, tanah, dan lainnya serta perilaku manusia itu sendiri seperti hubungan sosial yang
kurang baik, kondisi kejiwaan, dan lainnya yang berhubungan dengan perilaku manusia.
Klasifikasi ini bila dikaitkan dengan sistem pengetahuan kesehatan pada orang Papua
nampaknya masih banyak berhubungan dengan kategori supranatural, terutama pada orang
Papua yang masih berada di daerah pedesaan dan pedalaman . Sedangkan untuk orang
Papua yang berada di daerah perkotaan kebanyakan sudah memadukan kategori
rasionalistik dalam menanggulangi masalah kesehatan mereka, walaupun masih ada
sebagian kecil yang mamadukan kategori pertama dengan kategori kedua. Bila dikaji secara
mendalam bahwa konsep kebudayaan dalam menanggapi masalah kesehatan secara emik,
masih dilaksanakan secara baik. Ini berarti orang Papua dengan keaneka ragaman
kebudayaannya, mempunyai konsepsi kesehatan bervariasi berdasarakan pengelompokkan
variasi lingkungan kebudayaannya secara
B. Soal Tugas
⚫ Saudara diminta menginventarisir pengetahuan masyarakat Papua tentang penyakit
“sakit mata”. Bagaimana pandangan masyarakat tentang sakit mata, bagaimana
masyarakat mengatasi penyakit tersebut dan ramuan apa yang digunakan dalam proses
pengobatan serta cara pengolahannya dan cara minumnya berapa kali sehari dan
berapa lama.
JAWABAN :

PENGOBATAN DAUN SIRIH BAGI KEBERSIHAN MATA


Mata adalah panca indera manusia yang sangat penting/esensial. Dapat
dibayangkan jika kita mengalami kerusakan mata atau kebutaan, kita tidak dapat menikmati
dan merasakan betapa indahnya alam semesta ini. Gangguan kesehatan mata yang umum
terjadi adalah penurunan fungsi penglihatan, gejala mata merah tanpa ada penurunan
fungsi penglihatan, dan mata merah dengan fungsi penglihatan turun. Sampai saat ini,
penyakit mata yang banyak diderita adalah katarak, glukoma, dan infeksi. Tanggapan orang
papua tentang sakit mata ini sering kali Kadang karena ada Suanggi/barang halus atau
orang tidak senang yang buat/ karena kurangnya mengonsumsi buah-buah.Bagaimana
cara mengatasinya?
Pengobatan Daun sirih nama latin piper betle, ini sangat berguna bagi mata . karena
daun Sirih mengandung sifat antibakteri yang bisa mengobati mata merah(iritasi mata).
Walupun disisi lain penggunaan yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sel
mata,solusinya pakai secukupnya. Karena PH asam daun sirih sangat berbahaya bagi kornea
mata. Bagian yang digunakan untuk penyembuhan mata yaitu bagian daun.
Salah satu satu Suku dipapua yang menggunakan Daun sirih sebagai Ramuan atau
obat untuk mata adalah masyarakat Marind, Merauke,Papua Indonesia.
CARA PENGOLAHAN :
1. Siapkan 5-7 Helai (Daun Sirih yang tidak terlalu mudah tidak terlalu tua)
2. Cuci Bersih daun sirih
3. Rebus air sampai mendidih
4. Tuangkan air Mendidih ke mangkok yang sudah diisi daun sirih
5. Setelah air dingin maka ramuan tersebut siap digunakan.

CARA PENGUNAAN :
1. Teteskan 1-2 tetes di mata
2. 1x1 se-hari Pakai secukupnya saat mata terasa iritasi.
3. Penggunaanya tergantung sakit mata jika masih sakit maka ramuan perlu di
konsumsi.
⚫ Saudara diminta menginventarisasi pengetahuan masyarakat Papua tentang mengatasi
“susah buang air besar” berdasarkan medis tradisional. Bagaimana cara atau proses
penanganannya, ramuan apa yang digunakan, dan siapa yang melakukan pengobatan.

JAWABAN :
PENGOBATAN PISANG BAKAR
Susah Buang air besar (Sembelit) dikenal juga dengan istilah konstipasi. Istilah ini
digunakan untuk menggambarkan gangguan atau masalah pada sistem pencernaan
seseorang. Gangguan yang dimaksud adalah suatu kondisi ketika seseorang mengalami
kesulitan saat melakukan Buang Air Besar (BAB), antara lain karena feses yang keras.
Sering kali, sembelit disebabkan karena usus besar (kolon) menyerap terlalu banyak
air dari feses. Hal ini dapat terjadi apabila pergerakan makanan berjalan lambat melalui
saluran pencernaan. Hal ini membuat usus besar punya lebih banyak waktu untuk menyerap
air dari olahan makanan tersebut. Tanggapan Orang Papua tentang Sembelit ini yaitu
karena terlalu banyak makan namun kurang mengonsumsi air. Bagaimana cara
mengatasinya ?
Salah satu satu Suku dipapua yang menggunakan pisang bakar sebagai Ramuan atau
obat untuk Sembelit adalah Suku Onate,Serui,Papua Indonesia.
CARA PENGOLAHAN :
1. Ambil Pisang Mengkal 2-3 buah(Tidak Tua, Tidak muda)
2. Bakar di Tungku Api
3. Sampai Kulitnya Hangus
4. Kemudian, di angkat dari Tungku

CARA PENGGUNAAN :
1. Di konsumsi(makan) dengan kulitnya yang Hangus tanpa di Kupas
2. 2 x sehari (Pagi dan sore) atau (siang malam)
3. Penggunaanya tergantung sakit mata jika masih sakit maka pisang bakar perlu di
konsumsi.

CATATAN. Saudara mengerjakan Take Home Exam (Kerjakan di rumah). Ujian AKHIR dan
Tugas dikerjakan pada ukuran A4 dengan diketik. Ujian AKHIR PAPER paling banyak sepuluh
lembar dan Tugas paling banyak dua lembar. Pekerjaan dikumpulkan paling lambat tanggal
3 Desember 2021 dan dikirim ke WA Grup Ujian-Tugas Etnografi Papua.

Anda mungkin juga menyukai