Anda di halaman 1dari 7

PRAKTIK BUDAYA YANG DIGUNAKAN OLEH MASYARAKAT

UNTUK MENGATASI MASALAH KESEHATAN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas


Mata Ajar Psikososial dan Budaya Keperawatan

Dosen Pembimbing :Yuyun Sarinengsih, S.Kep., Ners, M.Kep

Disusun oleh:

Kelompok 1

Aditio Febryan 191FK03043 Mayang Ayodya K. 191FK03048


Amelia Pebe P. 191FK03047 Putri Indriani 191FK03050
Derista 191FK03051 Susilawati 191FK03045
Ginda Aditya E. 191FK03052 Widia Permatasari 191FK03049
M. Azril F. 191FK03044 Widilah Azzahra 191FK03046

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA
JANUARI 2021
A. Sistem Medis Tradisional Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu
Kaharingan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah
1. Praktik budaya
Suku Dayak dalam kepercayaan Hindu Kaharingan, yang disebut
suku DHK sebagai salah satu suku bangsa yang tersebar di Indonesia,
secara turun-temurun telah mengembangkan sistem kesehatan atau
pengobatan secara tradisional yang populer disebut obat kampung dan
praktisi medisnya disebut dengan tabit atau lasang, (dukun). Hingga kini,
walaupun ilmu dan teknologi kedokteran sudah mengalami kemajuan
pesat, namun peran dan eksistensi tatamban obat kampung sebagai sumber
alternatif masih tetap berfungsi dalam masyarakat suku DHK. Masyarakat
suku DHK memiliki keyakinan bahwa tabit, dan lasang masih dianggap
mampu membangun hubungan dengan dunia roh sehingga masyarakat
terhindarkan dari suatu penyakit.
Bagi orang suku DHK, dalam melakukan perawatan terhadap suatu
penyakit yang diderita, pelaksanaannya diawali dengan ritual-ritual
pengobatan yang dilaksanakan di rumah penderita sakit atau dapat juga
dilaksanakan di tempat tabit atau lasang (dukun/penyembuh). Kondisi ini
terjadi menurut berbagai kalangan karena obat kampung ini di samping di
anggap masih fungsional secara sosial dan lebih murah biayanya, juga
cukup efektif dalam menyembuhkan berbagai penyakit atau golongan
penyakit.
Bagi masyarakat suku DHK, sakit di pandang tidak hanya
merupakan gejala biologis yang bersifat individual, tetapi di pandang
berkaitan secara holistik dengan alam, manusia dan Tuhan, maka setiap
upaya kesehatan yang dilakukan tidak hanya menggunakan obat sebagai
sarana pengobatan, tetapi juga menggunakan sarana ritual-ritual tertentu,
kajian-kajian atau mantra-mantra yang termuat dalam bahasa Sangiang
sebagai bagian dari proses tersebut. Dengan demikian, menyembuhkan
atau menanggulangi suatu penyakit tertentu umumnya yang ditangani oleh
tabit atau lasang, bukan hanya aspek biologis dari pasien, tetapi juga aspek
sosial-budaya dan spiritual.
Tindakan pengobatan suku DHK pada awalnya dilakukan dengan
mempergunakan air tawar seribu. Apabila tidak sembuh maka penderita
sakit akan dimungul (pengambilan penyakit dengan sarana minyak dan
batu). Pengobatan yang telah dilakukan tersebut juga tidak mendatangkan
kesembuhan maka barulah pasien sakit dirujuk ke rumah sakit. Apabila
dengan pengobatan rumah sakit juga mengalami hal yang sama, maka
dilakukan pengobatan terakhir dengan balian sangiang atau tenung
(Sukiada, 2015).
2. Bagaimana Perawat Menyikapi Budaya Tersebut
Budaya pasien perlu dipertahankan bila budaya pasien tidak
bertentangan dengan kesehatan. Perencanaan dan Implementasi
keperawatan diberikan sesuai nilai-nilai yang relevan yang telah dimiliki
klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan status
kesehatannya. Tetapi perawat juga akan bernegosiasi dan atau melarang
keluarga atau pasien apabila mereka melakukan suatu kegiatan yang tidak
terjamin keamanannya atau tidak diijinkan dokter. perawat perlu
melakukan restrukturisasi budaya bila budaya yang dimilikinya merugikan
status kesehatan dan apabila hal tersebut tidak berhasil, perawat akan
memberikan inform consent yang wajib ditandatangani oleh pasien
maupun keluarga. Restrukturisasi budaya perlu dilakukan untuk menolong
klien mengubah atau memodifikasi cara hidup klien agar lebih baik dan
memperoleh pola perawatan yang lebih menguntungkan dengan
menghargai keyakinan dan nilai yang dimiliki klien sesuai budayanya (Siti
Lestari, W Widodo, 2014).

B. Praktek Budaya Suku Kampung Yepase Terkait Perawatan Kehamilan,


Nifas dan Bayi di Distrik Depapre Kabupaten Jayapura
Kampung Yepase merupakan salah satu Kampung yang terletak di
Distrik Depapre Kabupaten Jayapura, yang dipimpin oleh seorang Kepala
kampung dan dibantu oleh seorang sekretaris kampung, serta tujuh orang
kepala suku dan seorang Ondoafi (kepala adat). Suku besar yang mendiami
kampung tersebut yaitu berasal dari komunitas masyarakat penduduk asli
Yepase yang terdiri dari 7 suku yaitu Wafumilena, Yepasedanya, Wersay,
Yaroseray, Merangkerena, Yekarmilena, dan Afasedanya (Yufuai & Widadgo,
2013).
1. Praktik budaya
a. Praktek Perawatan Kehamilan Suku Yepase
Praktek perawatan kehamilan ANC pada masyarakat kampung Y
epase rendah karena dalam prakteknya ibu tidak melakukan K1-K4 de
ngan baik. K1 tidak dilakukan karena kehamilan pertama kali ibu mela
kukan pemeriksaan pada dukun, usia kehamilan 3 bulan ke atas. K2, k
unjungan ibu hanya pada kehamilan 4 bulan. Kehamilan 5-6 bulan ibu
akan kembali melakukan pemijatan oleh dukun untuk mengatur posisi
atau letak anak, mengeluarkan darah kotor dari kepala akibat sakit yan
g berlebihan. K3- K4 kunjungan ibu satu kali pada usia kandungan 7 b
ulan karena permintaan kader untuk mendapatkan tablet fe, mengetahu
i gizi dan timbang. Namun ibu tidak melakukan kunjungan kembali pa
da usia 9 bulan karena ada ritual pemijitan dengan menggunakan miny
ak kelapa dan ramuan untuk melancarkan kelahiran. Selain itu ibu juga
memilki pantangan-pantangan dalam merawat kehamilan baik makana
n dan perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh ibu dan sua
mi (Yufuai & Widadgo, 2013).
b. Praktek Perawatan Nifas Suku Yepase
Perawatan nifas di mulai setelah ibu menyusui bayi pertama kali
yaitu dengan memberikan sagu (papeda’ Phi’) panas-panas sekali untu
k ibu makan agar memperlancar peredaran darah dari dalam perut. Ter
kait dengan perawatan nifas yaitu dilakukan di rumah dalam kamar ata
u ruangan yang di sediakan khusus karena masih bauh darah dan amis,
dukun akan membuat air panas ibu di dudukan dengan posisi kaki terle
ntang ke depan kemudian handuk panas dicelupkan ke dalam air panas
lalu ibu di dudukan diatas uap handuk sampai darah kotor keluar (cara
sauna) setelah itu dengan tangan dukun akan memeriksa bagian dalam
apakah sudah bersih dilakukan selama 1 bulan sampai benar-benar bers
ih setelah itu diberikan minuman ramuan prakepei (tali kuning yang ter
gantung di pohon) untuk mengatasi gatal-gatal, daun siri untuk menger
ingkan luka, daun miyana untuk pendarahan dan daun turi untuk darah
putih. Setelah melakukan perawatan ibu hanya menggunakan hasduk
(handuk yang dijahit membentuk pembalut) setelah darah penuh lalu di
cuci dan pakai lagi selama masa nifas (Yufuai & Widadgo, 2013).
c. Praktek Perawatan Bayi Suku Yepase
Bayi yang baru dilahirkan pertama kali dengan kopi kental
dicampur air kemudian diminumkan, setelah itu bayi ditidurkan
dengan posisi tengkurap ke bawah untuk mengeluarkan kotoran dari
dalam mulut. Bayi diberikan air susu pertama yang berwarna hijau
kekuning-kuningan. Meskipun diberikan ASI pertama, jika ASI kurang
maka akan ditambah dengan air kelapa muda yang diambil dari atas
pohon dan tidak boleh di jatuhkan ke bawah karena nanti anak minum
bisa sakit atau buah ketepeng hutan yang tumbuh dipinggir pantai
dengan mengambil air perasan sarinya lalu di minumkan untuk
mencegah anak kehausan. Untuk MP ASI bayi diberikan sagu dan
betatas.
Perawatan tali pusat dukun atau orang tua menggunakan bakaran
bekas tempurung kelapa dan daun-daunan lalu panas api di panaskan
pada tangan kosong dan diraurau di pusat dan sekitar pusat anak
sampai dengan tali pusatnya jatuh. Untuk menghangatkan bayi anak di
tidurkan didekat asap bakaran kayu atau tempurung kelapa dalam
ruangan kamar, dan pada saat bayi 3 bulan dimandikan dengan air
dingin. Jika terjadi gangguan pada anak seperti tali pusat
mengeluarkan darah maka yang disalahkan adalah ibu dan suami.
Menurut mereka ibu tidak boleh masuk ke hutan dan bekerja berat
sendangkan suami tidak boleh memegang benda tajam dan menanam
tanaman jangka panjang karena anak akan terlambat melangkah.
Cara mereka mengatasi keluhan/gangguan kesehatan bayi adalah
dukun memberikan daun jambu (gejawas’ Guava’) untuk diare dan
memijit perut bayi dengan menekan dan memutar disekitar perut untuk
mengangkat tempat makan anak. Memberikan ramuan getah jarak
untuk mengeluarkan lendir pada tenggorokan. nafsu makan anak
berkurang dikarenakan gigi mau tumbu musim buah-buah mulai
banyak dan musim ikan di laut semakin berkurang (Yufuai &
Widadgo, 2013).
2. Bagaimana Perawat Menyikapi Budaya Tersebut
Sebaiknya Budaya didaerah tersebut dikaji terlebih dahulu apakah
semuanya seperti itu atau hanya sebagian kecil saja. Karena pada dasarnya
kita sebagai perawat Belum tentu bisa melakukan larangan atau seperti
kecaman dan sebagainya. Perlu diidentifikasi terlebih dahulu misalnya
seperti informasi dari Kepala daerahnya atau orang orang yang
bersangkutan. Karena Budaya lahir pasti karena sebab dan akibat.
Kemudian sebagai perawat juga hendaknya mampu bersikap tenang dan
mampu berdiskusi apabila misalnya terjadi kesenjangan budaya. perawat
perlu melakukan restrukturisasi budaya bila budaya yang dimilikinya
merugikan status kesehatan dan apabila hal tersebut tidak berhasil, perawat
akan memberikan inform consent yang wajib ditandatangani oleh pasien
maupun keluarga. Restrukturisasi budaya perlu dilakukan untuk menolong
klien mengubah atau memodifikasi cara hidup klien agar lebih baik dan
memperoleh pola perawatan yang lebih menguntungkan dengan
menghargai keyakinan dan nilai yang dimiliki klien sesuai budayanya (Siti
Lestari, W Widodo, 2014)
DAFTAR PUSTAKA

Siti Lestari, W Widodo, S. S. (2014). Pendekatan Kultural dalam Praktek Kepera


watan Profesional di Rumah Sakit Jogja International Hospital. Jurnal Keseh
atan Kusuma Husada, 5(1), 1–8.

Sukiada, K. (2015). Sistem Medis Suku Dayak dalam Kepercayaan Hindu Kahari
ngan di Kota Palangkaraya, Provinsi Kalimantan Tengah. Dharmasmrti Jurn
al Ilmu Agama Dan Kebudayaan, 8(26), 52–67.

Yufuai, A. R., & Widadgo, L. (2013). Praktek Budaya Suku Kampung Yepase Te
rkait Perawatan Kehamilan, Nifas dan Bayi di Distrik Depapre Kabupaten Ja
yapura. Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia, 8(2), 100–110. https://doi.org/
10.14710/jpki.8.2.100

Anda mungkin juga menyukai