Anda di halaman 1dari 16

ASPEK SOSIAL BUDAYA DALAM PELAYANAN KEBIDANAN DAN KESEHATAN

Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Pra Perkawinan


Pada masyarakat indonesia banyak sekali budaya yang ada, dan masih banyak sekali para masyarakat masih
meninggikan budaya mereka dan percaya dengan mitos. Pada perkawinan terjadi beberapa tahap terlebih dahulu
sebelum menginjak ke jenjang pernikaha, di sini tahap-tahapnya adalah perkenalan satu sama lain dan keluarga
masing-masing atau tahap pacaran, kemudian terjadi pinangan atau lamaran, bila sudah terlaksana itu pasti akan
meningkat kejenjang pernikah, setelah itu masih banyak tahap yang perlu di lalui, lebih mengarah ke perkenalan
lebih lanjut, saling menerima dan mengti atas kekurangan masing-masing, saling melengkapi kenyataan
kekurangan dan peredaan yang nyata terlihat setelah memasuki jenjang pernikahan, bila mereka dapat melalu
semua kenyataan tersebut maka mereka akan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.
Pelayanan kebidanan diawali dengan pemeliharaan kesehatan para calon ibu. Remaja wanita yang akan
memasuki jenjang perkawinan perlu dijaga kondisi kesehatannya. Kepada para remaja di beri pengertian
tentang hubungan seksual yang sehat, kesiapan mental dalam menghadapi kehamilan dan pengetahuan tentang
proses kehamilan dan persalinan, pemeliharaan kesehatan dalam masa pra dan pasca kehamilan.
Promosi kesehatan pranikah merupakan suatu proses untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam
memelihara dan meningkatkan kesehatannya yang ditujukan pada masyarakat reproduktip pranikah. Remaja
yang tumbuh kembang secara biologis diikuti oleh perkembangan psikologis dan sosialnya. Alam dan pikiran
remaja perlu diketahui. Remaja yang berjiwa muda memiliki sifat menantang, sesuatu yang dianggap kaku dan
kolot serta ingin akan kebebasan dapat menimbulkan konflik di dalam diri mereka. Pendekatan keremajaan di
dalam membina kesehatan diperlukan. Penyampaian pesan kesehatan dilakukan melalui bahasa remaja.
Pemeriksaan kesehatan bagi remaja yang akan menikah dianjurkan. Tujuan dari pemeriksaan tersebut adalah
untuk mengetahui secara dini tentang kondisi kesehatan para remaja. Bila ditemukan penyakit atau kelainan di
dalam diri remaja, maka tindakan pengobatan dapat segera dilakukan. Bila penyakit atau kelainan tersebut tidak
diatasi maka diupayakan agar remaja tersebut berupaya untuk menjaga agar masalahnya tidak bertambah berat
atau menular kepada pasangannya. Misalnya remaja yang menderita penyakit jantung, bila hamil secara teratur
harus memeriksakan kesehatannya kepada dokter. Remaja yang menderita AIDS harus menjaga pasanganya
agar tidak terkena virus HIV. Upaya pemeliharaan kesehatan bagi para calon ibu ini dapat dilakukan melalui
kelompok atau kumpulan para remaja seperti karang taruna, pramuka, organisaai wanita remaja dan sebagainya.
Selain itu bidan juga berperan dalam mencegah perkawinan dini pada pasangan pra nikah dimana masih
menjadi masalah penting dalam kesehatan reproduksi perempuan di Indonesia. Pernikahan dini menunjukkan
posisi perempuan yang lebih lemah secara ekonomi maupun budaya. Secara budaya, perempuan
disosialisasikan segera menikah sebagai tujuan hidupnya. Akibatnya, perempuan memiliki pilihan lebih terbatas
untuk mengembangkan diri sebagai individu utuh. Sedangkan bagi perempuan, menikah artinya harus siap
hamil pada usia sangat muda.

Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Perkawinan


Pembinaan yang dilakukan oleh bidan sendiri antara lain mempromosikan kesehatan agar peran serta ibu dalam
upaya kesehatan ibu, anak dan keluarga meningkat. Pelayanan kesehatan ibu dan anak yang meliputi pelayanan
ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, pemeriksaan bayi, anak balita dan
anak prasekolah sehat.
Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan ibu dan anak tersebut diyakini memerlukan pengetahuan aspek sosial
budaya dalam penerapannya kemudian melakukan pendekatan-pendekatan untuk melakukan perubahan-
perubahan terhadap kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung peningkatan kesehatan ibu dan anak.
Fakta-fakta kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi - konsepsi mengenai berbagai pantangan,
hubungan sebab - akibat antara makanan kondisi sehat - sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan sering kali
membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya pada
dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Misalnya di Jawa
Tengah adanya anggapan bahwa ibu hamil pantang makan telur karena akan mempersulit persalinan dan
pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan yang banyak. Jawa Barat ibu yang kehamilannya
memasuki 8-9 bulan sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah
dilahirkan, Masyarakat Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat
menyebabkan ASI menjadi asin. Sikap seperti ini akan berakibat buruk bagi ibu hamil karena akan membuat ibu
dan anak kurang gizi.

Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Kehamilan


Perawatan kehamilan merupakan salah satu faktor yang amat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya
komplikasi dan kematian ketika persalinan, disamping itu juga untuk menjaga pertumbuhan dan kesehatan
janin. Memahami perilaku perawatan kehamilan (ante natal care) adalah penting untuk mengetahui dampak
kesehatan bayi dan si ibu sendiri.
Fakta di berbagai kalangan masyarakat di Indonesia, masih banyak ibu-ibu yang menganggap kehamilan
sebagai hal yang biasa, alamiah dan kodrati. Mereka merasa tidak perlu memeriksakan dirinya secara rutin ke
bidan ataupun dokter. Masih banyaknya ibu-ibu yang kurang menyadari pentingnya pemeriksaan kehamilan ke
bidan menyebabkan tidak terdeteksinya faktor-faktor resiko tinggi yang mungkin dialami oleh mereka.
Contohnya di kalangan masyarakat pada suku bangsa nuaulu (Maluku) terdapat suatu tradisi upacara kehamilan
yang dianggap sebagai suatu peristiwa biasa, khususnya masa kehamilan seorang perempuan pada bulan
pertama hingga bulan kedelapan. Namun pada usia saat kandungan telah mencapai Sembilan bulan, barulah
mereka akan mengadakan suatu upacara. Masyarakat nuaulu mempunyai anggapan bahwa pada saat usia
kandungan seorang perempuan telah mencapai Sembilan bulan, maka pada diri perempuan yang bersangkutan
banyak diliputi oleh pengaruh roh-roh jahat yang dapat menimbulkan berbagai bahaya gaib. Dan tidak hanya
dirinya sendiri juga anak yang dikandungannya, melainkan orang lain disekitarnya, khususnya kaum laki-laki.
Untuk menghindari pengaruh roh-roh jahat tersebut, si perempuan hamil perlu diasingkan dengan
menempatkannya di posuno. Masyarakat nuaulu juga beranggapan bahwa pada kehidupan seorang anak
manusia itu baru tercipta atau baru dimulai sejak dalam kandungan yang telah berusia 9 bulan. Jadi dalam hal
ini ( masa kehamilan 1-8 bulan ) oleh mereka bukan dianggap merupakan suatu proses dimulainya bentuk
kehidupan.
Permasalahan lain yang cukup besar pengaruhnya pada kehamilan adalah masalah gizi. Hal ini disebabkan
karena adanya kepercayaan-kepercayaan dan pantangan-pantangan terhadap beberapa makanan. Sementara,
kegiatan mereka sehari-hari tidak berkurang ditambah lagi dengan pantangan-pantangan terhadap beberapa
makanan yang sebenamya sangat dibutuhkan oleh wanita hamil tentunya akan berdampak negatif terhadap
kesehatan ibu dan janin. Tidak heran kalau anemia dan kurang gizi pada wanita hamil cukup tinggi terutama di
daerah pedesaan.
Beberapa kepercayaan yang ada misalnya di Jawa Tengah, ada kepercayaan bahwa ibu hamil pantang makan
telur karena akan mempersulit persalinan dan pantang makan daging karena akan menyebabkan perdarahan
yang banyak. Sementara di salah satu daerah di Jawa Barat, ibu yang kehamilannya memasuki 8-9 bulan
sengaja harus mengurangi makannya agar bayi yang dikandungnya kecil dan mudah dilahirkan. Di masyarakat
Betawi berlaku pantangan makan ikan asin, ikan laut, udang dan kepiting karena dapat menyebabkan ASI
menjadi asin. Hal ini membuat ibunya kurang gizi, berat badan bayi yang dilahirkan juga rendah. Tentunya hal
ini sangat mempengaruhi daya tahan dan kesehatan si bayi.

Aspek Sosial Budaya Yang Berkaitan Dengan Persalinan, Nifas, Dan Bayi Baru Lahir (BBL)
Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena segala
kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Sejumlah faktor
memandirikan peranan dalam proses ini, mulai dari ada tidaknya faktor resiko kesehatan ibu, pemilihan
penolong persalinan, keterjangkauan dan ketersediaan pelayanan kesehatan, kemampuan penolong persalinan
sampai sikap keluarga dalam menghadapi keadaan gawat.
Tingginya angka kematian ibu dan anak di Indonesia berkaitan erat dengan faktor sosial budaya masyarakat,
seperti tingkat pendidikan penduduk, khususnya wanita dewasa yang masih rendah, keadaan sosial ekonomi
yang belum memadai, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan
yang masih rendah dan jauhnya lokasi tempat pelayanan kesehatan dari rumah-rumah penduduk kebiasaan-
kebiasaan dan adat istiadat dan perilaku masyarakat yang kurang menunjang dan lain sebagainya.
Tingkat kepercayaan masyarakat kepada petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih
percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang
berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Di daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai
dukun beranak untuk menolong persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Beberapa penelitian yang pernah
dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek-praktek persalinan oleh dukun yang dapat
membahayakan si ibu, seperti "ngolesi" (membasahi vagina dengan minyak kelapa untuk memperlancar
persalinan), "kodok" (memasukkan tangan ke dalam vagina dan uterus untuk rnengeluarkan placenta) atau
"nyanda" (setelah persalinan, ibu duduk dengan posisi bersandardan kaki diluruskan ke depan selama berjam-
jam yang dapat menyebabkan perdarahan dan pembengkakan).
Selain pada masa hamil, pantangan-pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca
persalinan. Pantangan ataupun anjuran ini biasanya berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya,
ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI, ada pula makanan
tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan bayi. Secara tradisional, ada praktek-
praktek yang dilakukan oleh dukun beranak untuk mengembalikan kondisi fisik dan kesehatan si ibu, Misalnya
mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula, memasukkan ramuan-ramuan
seperti daun-daunan kedalam vagina dengan maksud untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena
proses persalinan atau memberi jamu tertentu untuk memperkuat tubuh.
Sebenarnya, kelancaran persalinan sangat tergantung faktor mental dan fisik si ibu. Faktor fisik berkaitan
dengan bentuk panggul yang normal dan seimbang dengan besar bayi. Sedangkan faktor mental berhubungan
dengan psikologis ibu, terutama kesiapannya dalam melahirkan. Bila ia takut dan cemas, bisa saja persalinannya
jadi tidak lancar hingga harus dioperasi. Ibu dengan mental yang siap bisa mengurangi rasa sakit yang terjadi
selama persalinan. Disini peran bidan sangat diperlukan dalam memberikan informasi yang tepat untuk
mempersiapkan mental dan fisik ibu hamil dalam menghadapi pesalinan dan pasca persalinan.
Secara medis penyebab klasik kematian ibu akibat melahirkan adalah perdarahan, infeksi dan eklamsia
(keracunan kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat
berakibat fatal bagi ibu dalam proses persalinan.
Kuranganya pengetahuan dan ilmu menyebabkan salah kaprah dalam menyikapi kesehatan ibu dan bayi,
meraka tidak mementingkan kebutuhan nutrisi dan vitamin serta gizi meraka bahkan tidak tahu tentang suatu
ancaman bahaya yang mengintai mereka sehingga menyebabkan kematian pada ibu dan bayi, kasus lain sering
di temukan pada bayu baru lahir. Mereka memperlakukan bayi baru lahir dengan setidak mana mestinya, karena
mereka masih berpegang teguh dengan mitos dan kurangannya pengetahuan.

Contoh - Contoh Aspek Soisal Budaya Yang Berkaitan Dengan Praperkawinan, Perkawinan, Kehamilan,
Persalinan, Nifas Dan Bayi Baru Lahir (BBL)
1. Adanya tahap taaruf sebelum menikah,
2. Melakukan pacaran setelah pernikahan,
3. Sebelum hari pernikahan mempelai wanita di culik terlebih dahulu oleh calon prianya,
4. Sebelum pernikahan para calon pengantin tidak boleh pergi kemana-mana,
5. Mas kawin atau srah-srahan dalam pernikahan seorang laki-laki harus banyak, karena untuk menunjukan
bahwa dia mampu menghidupi sang istri,
6. Pada saat hamil ketika keluar malam harus membawa gunting atau pisau kecil, agar tidak di ganggu oleh
makhluk halus,
7. Ada kepercayaan kalau pada saat hamil perutnya bulat, berati bayi perempuan,
8. Minum jamu pada saat hamil, akan membuwat ibu dan bayinya sehat,
9. Pada saat hamil tidak boleh menyakui telor, di percaya pada saat persalinan akan sulit atau di kenal istilah
bebelen,
10. Wanita hamil tidak boleh makan buah nanas dan duren, karen bisa menyebabkan keguguran,
11. Saat hamil tidak boleh membicarakan orang lain tentang kejelekannya karna dapat berbalik pada anak
yang di kandungnya,
12. Saat hamil juga di larang untuk membangun rumah,karena bisa membuat janin yang di kandung
keguguran,
13. Ketika hamil tidak boleh menyakui sesuatu yang kemudian di diamkan di kantong secara lama dan tidak
di ambil dan mengusap minyak sembarangan d bagian tubuh ,karena menyebabkan adanya toh (tanda lahir)
yang banyak di seluruh tubuh,
14. Pada saat hamil tidak boleh mengkonsumsi santan,karena manyebabkan bayinya kotor,
15. Pada saat upacara jutuh bulan seorang ibu membuat rujak buah, katanya kalau rasa rujaknya itu enak
anaknya cewek, kalau tidak enak berarti anaknya cowok,
16. Kemudian ada ritual suami pecah kelapa, jika pecahanya lurus dan pas anaknya cowok, tapi kalau
melenceng anaknya cewek,
17. Pada saat pitonan di adakan pengajian yang di beri nama berjanjen (Sejenis pembacaan solawat-
solawat, dan membaca ayat-ayat suci),
18. Pada saat kakinya sakit atau pegal-pegal di suruh memberi air ludah pertama setelah bangun tidur,
sebelum turun dari tempat tidur,
19. Sebelum persalinan ibunya tidak boleh tidur dan harus berjalan-jalan sampai pembukaan lengkap,
20. Setelah persalinan ibu di larang tidur,
21. Ketika masa nifas harus minum ramuan-ramuan agar darahnya tidak bau amis,
22. Sebelum persalinan meminum minyak kelapa agar mudah untuk persalinan,
23. Pada masa nifas ibu pantangan memakan makanan yang pedas, karena menyebabkan ASI nya juga pedas,
24. Bayi baru lahir di bedakin tepung kanji agar rambut kecil di tubuh atau lanugo hilang,
25. Bayi baru lahir tidak boleh di bawa jauh keluar rumah sebelum 40 hari,karan di takutkan terkena penyakit
orang lain dan di ganggu mahluk halus,
26. Menggunting bulu mata bayi agar bisa lentik,
27. Bayi di pakaikan gurita agar perutnya kecil dan tidak kembung,
28. Ketika memasuki azan magrib, bayi harus di gendong atau di pangku, agar bayi tidak menangis di ganggu
roh jahat,
29. Jika anak demam,pasti di bawa ke dukun untuk dalam istilahnya di suwok,
30. Ketika anak demam di kompres menggunakan parutan ketimun,
31. Jika masuk angin di kerokin menggunakan bawang merah,
32. Pada saat anak mengalami gangguan nafas seperti nafasnya susah atau mengalami gangguan seperti ada
suara wheezing dan ronkhi di obati menggunakan darah haid ibunya dengan cara dalam istilahnya di cekokin,
33. Jika anak terkena flu, kepalanya di beri bawang merah yang di haluskan,
34. Kalau anak terkena step (kejang) di beri setetes kopi.

Pandangan Agama Yang Berhubungan Dengan Praktik Kebidanan


1. Keluarga Berencana
Pandangan agama islam terhadap pelayanan keluarga berencana. Ada dua pendapat mengenai hal tersebut yaitu
memperbolehkan dan melarang penggunaan alat kontrasepsi. Karena ada beberapa yang mengatakan
penggunaan alat kontrasepsi itu adalah berlawanan dengan takdir/kehendak Allah.

Pandangan agama yang memperbolehkan pemakaian alat kontrasepsi IUD:

Pemakaian IUD bertujuan menjarangkan kehamilan.


Dengan menggunakan kontrasepsi tersebut keluarga dapat merencanakan jarak kehamilan sehingga ibu tersebut
dapat menjaga kesehatan ibu, anak dan keluarga dengan baik.
Pemakaian IUD bertujuan menghentikan kehamilan.
Jika didalam suatu keluarga memiliki jumlah anak yang banyak, tentunya sangat merepotkan dan membebani
perekonomian keluarga. Selain itu bertujuan memberikan rasa aman kepada ibu. Karena persalinan dengan
factor resiko/resiko tinggi dapat mengancam keselamatan jiwa ibu. Agar ibu dapat beristirahat waktu keseharian
ibu tidak hanya digunakan untuk mengurusi anak dan keluarga.

Pandangan agama yang melarang pemakaian kontrasepsi IUD :


Pemakaian IUD bersifat aborsi, bukan kontrasepsi.
Mekanisme IUD belum jelas, karena IUD dalam rahim tidak menghalangi pembuahan sel telur bahkan
adanya IUD sel mani masih dapat masuk dan dapat membuahi sel telur (masih ada kegagalan).
Pemakaian IUD dan sejenisnya tidak dibenarkan selama masih ada obat-obatan dan alat lainnya. Selain itu
pada waktu pemasangan dan pengontrolan IUD harus dilakukan dengan melihat aurat wanita.
2. Khitan Pada Perempuan
Khitan secara bahasa diambil dari kata khotana yang berarti memotong. Khitan bagi laki-laki adalah
memotong kulit yang menutupi ujung zakar, sehingga menjadi terbuka. Sedangkan khitan bagi perempuan
adalah memotong sedikit kulit (selaput) yang menutupi ujung klitoris (preputium clitoris) atau membuang
sedikit dari bagian klitoris (kelentit) atau gumpalan jaringan kecil yang terdapat pada ujung lubang vulva bagian
atas kemaluan perempuan. Khitan bagi laki-laki dinamakan juga Izar dan bagi perempuan disebut khafd.
Sedangkan istilah secara internasional sunat perempuan adalah Female Genital Mutilation (FGM) atau Female
Genital Cutting (FGC).
Tindakan ini tidak dikenal sama sekali dalam dunia medis. Pemotongan atau pengirisan kulit sekitar klitoris
apalagi klitorisnya sangat merugikan. Tidak ada indikasi medis untuk mendasarinya. Seorang bidan di Jawa
Barat pernah mengulas tentang hal ini karena menemukan bekas-bekasnya pada pasiennya. Kenyataannya
memang ada kelompok yang meyakini bahwa anak perempuan pun diwajibkan bahkan di pusat-pusat pelayanan
kesehatan.
Sedangkan dalam pembahasannya mengenai khitan untuk perempuan para ulama berbeda pendapat dalam
menghukuminya seperti halnya Imam Syafii, dan Imam Ahmad berpendapat Khitan juga wajib bagi anak
perempuan, adapun sebagian besar ulama seperti mahzab Hanafi, Al-Maliky, Hambali berpendapat Khitan
disyariatkan dan disunnahkan bagi perempuan. Serta sebagaimana yang telah disabdakan NabiyuAllah
Muhammad SAW, dalam sebuah Hadist riwayat al-Zuhri:
Barang siapa yang masuk Islam, maka wajib baginya berkhitan walaupun ia sudah dewasa.

Alasan Pelaksanaan Sunat Perempuan:


WHO membedakan alasan pelaksanaan FGC menjadi 5 kelompok, yaitu:
1. Psikoseksual
Diharapkan pemotongan klitoris akan mengurangi libido pada perempuan, mengurangi/menghentikan
masturbasi, menjaga kesucian dan keperawanan sebelum menikah, kesetiaan sebagai istri, dan meningkatkan
kepuasan seksual bagi laki-laki. Terdapat juga pendapat sebaliknya yang yakin bahwa sunat perempuan akan
meningkatkan libido sehingga akan lebih menyenangkan suami.
2. Sosiologi
Melanjutkan tradisi, menghilangkan hambatan atau kesialan bawaan, masa peralihan pubertas atau wanita
dewasa, perekat sosial, lebih terhormat.
3. Hygiene dan estetik
Organ genitalia eksternal dianggap kotor dan tidak bagus bentuknya, jadi sunat dilakukan untuk meningkatkan
kebersihan dan keindahan.
4. Mitos
Meningkatkan kesuburan dan daya tahan anak.
5. Agama
Dianggap sebagai perintah agama, agar ibadah lebih diterima.

Peran Petugas Kesehatan (Bidan)/ Pemerintah


Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat, mempunyai peran yang
sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat, khususnya kesehatan ibu dan anak di
wilayah kerjanya.
Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan dengan kesehatan ibu
hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut. Seorang bidan juga harus memiliki
kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta tanggung jawabnya.
Dalam sebuah praktek kebidanan tidak sedikit hambatan dalam melaksanakanya terutama pada masyarakat
plosok desa dan yang masih menjunjung tinggi budaya dan mitos mereka. Kita sebagai tenaga kesehatan bidan,
harus bisa melakukan pendekatan kepada masyaratnya agar tidak salah kaprah tentang mitos-mitos yang di
percayai oleh mereka. Banyak akses untuk melakukan pendekatan sosial budaya dalam praktek kebidanan
terhadap orang awam, sehingga yang di inginkan orang-orang awam lebih tahu tentang masalah lingkup
kehatan, terutama keshatan untuk dirinya sendri, yang di harapkan bisa mencegah atau mengobati penyakit pada
dirinya sendri untuk penyakit tipe ringan, seperti demam.

Menurut Departemen Kesehatan RI, fungsi bidan di wilayah kerjanya adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat di rumah-rumah, mengenai persalinan, pelayanan
keluarga berencana, dan pengayoman medis kontrasepsi.
2. Menggerakkan dan membina peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, dengan melakukan
penyuluhan kesehatan yang sesuai dengan permasalahan kesehatan setempat.
3. Membina dan memberikan bimbingan teknis kepada kader serta dukun bayi.
4. Membina kelompok dasa wisma di bidang kesehatan.
5. Membina kerja sama lintas program, lintas sektoral, dan lembaga swadaya masyarakat.
6. Melakukan rujukan medis maupun rujukan kesehatan ke fasilitas kesehatan lainnya.
7. Mendeteksi dini adanya efek samping dan komplikasi pemakaian kontrasepsi serta adanya penyakit-
penyakit lain dan berusaha mengatasi sesuai dengan kemampuannya.

Melihat dari luasnya fungsi bidan tersebut, aspek sosial-budaya perlu diperhatikan oleh bidan. Sesuai
kewenangan tugas bidan yang berkaitan dengan aspek sosial-budaya, telah diuraikan dalam Permenkes, serta
sistem pemerintahan desa dengan cara:
1. Menghubungi pamong desa untuk mendapatkan peta desa yang telah ada pembagian wilayah
pendukuhan/RK dan pembagian wilayah RT serta mencari keterangan tentang penduduk dari masing-masing
RT.
2. Mengenali struktur kemasyarakatan seperti LKMD, PKK, LSM, karang taruna, tokoh masyarakat,
kelompok pengajian, kelompok arisan, dan lain-lain.
3. Mempelajari data penduduk yang meliputi:
- Jenis kelamin
- Umur
- Mata pencaharian
- Pendidikan
- Agama
4. Mempelajari peta desa
5. Mencatat jumlah KK, PUS, dan penduduk menurut jenis kelamin dan golongan.

Agar seluruh tugas dan fungsi bidan dapat dilaksanakan secara efektif, bidan harus mengupayakan hubungan
yang efektif dengan masyarakat. Salah satu kunci keberhasilan hubungan yang efektif adalah komunikasi.
Kegiatan bidan yang pertama kali harus dilakukan bila datang ke suatu wilayah adalah mempelajari bahasa
yang digunakan oleh masyarakat setempat.
Kemudian seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat
pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan
nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
Dengan kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk melakukan
promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di sela-sela acara kesenian
atau kebudayaan tradisional tersebut. Misalnya: Dengan Kesenian wayang kulit melalui pertunjukan ini
diselipkan pesan-pesan kesehatan yang ditampilkan di awal pertunjukan dan pada akhir pertunjukan.

Contoh-Contoh Lain Pendekatan Sosial Budaya Dalam Praktek Kebidanan:


Pendekatan melalui masing-masing keluarga, jadi setiap keluarga di lakukan pendekatan
Pendekatan melalui langsung pada setiap individunya sendiri, mungkin cara ini lebih efektif
Sering melakukan penyuluhan di setiap PKK atau RT tentang masalah dan menanggulangi masalah
kesehatan
Mengikuti arus sosial budaya yang ada dalam masyarakat tersebut, kemudian kalau sudah memahami, kita
mulai melakukan pendekatan secara perlahan-lahan
Melawan arus dalam kehidupan sosial budaya mereka, sehinnga kita menciptakan asumsi yang baru kepada
mereka, tapi cara ini banyak tidak mendapatkan respon positive

Contoh yang harus di lakukan pemerintah sebagai penunjang:


Membangun sarana kesehatan di setiap desa, seperti puskesmas, polindes, atau poliklinik
Menyediakan tenaga kesehatan yang berkompeten dan memadai
Fasilitas yang ada dalam sarana kesehatan harus memadai dan lengkap
Lebih sering di adakan penyuluhan tentang kesehatan kepada masyarakat
Menyediakan pelayanan kesehatan untuk orang yang tidak mampu seperti jamkes mas, jampersal, dll.

adirranyunn.blogspot.com

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aspek sosial dan budaya sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia. Di era globalisasi
sekarang ini dengan berbagai perubahan yang begitu ekstrem menuntut semua manusia harus
memperhatikan aspek sosial budaya. Salah satu masalah yang kini banyak merebak di kalangan
masyarakat adalah kematian ataupun kesakitan pada ibu dan anak yang sesungguhnya tidak
terlepas dari faktor-faktor sosial budaya dan lingkungan di dalam masyarakat dimana mereka
berada.

Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-
konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab- akibat antara makanan dan kondisi
sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun
negatif terhadap kesehatan ibu dan anak.

Menjadi seorang bidan bukanlah hal yang mudah. Seorang bidan harus siap fisik maupun mental,
karena tugas seorang bidan sangatlah berat. Bidan yang siap mengabdi di kawasan pedesaan
mempunyai tantangan yang besar dalam mengubah pola kehidupan masyarakat yang
mempunyai dampak negatif tehadap kesehatan masyarakat. Tidak mudah mengubah pola pikir
ataupun sosial budaya masyarakat. Apa lagi masalah proses persalinan yang umum masih
banyak menggunakan dukun beranak.

Ditambah lagi tantangan konkret yang dihadapi bidan di pedesaan adalah kemiskinan,
pendidikan rendah, dan budaya. Karena itu, kemampuan mengenali masalah dan mencari solusi
bersama masyarakat menjadi kemampuan dasar yang harus dimiliki bidan.

Untuk itu seorang bidan agar dapat melakukan pendekatan terhadap masyarakat perlu
mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat pengetahuan penduduk,
struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari, pandangan norma dan nilai,
agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan wilayah tersebut.
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh aspek sosial budaya pada pelayanan kebidanan?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh aspek sosial budaya pada pelayanan kebidanan.

BAB II

PEMBAHASAN
A. Aspek Sosial Budaya Perkawinan

Perkawinan merupakan wujud menyatukan dua sijoli ke dalam satu tujuan yang sama. Salah satu
tujuan perkawinan adalah mencapai kebahagiaan yang langgeng bersama pasangan hidup.
Namun, jalan menuju kebahagiaan tak selamanya mulus. Banyak hambatan, tantangan, dan
persoalan yang terkadang menggagalkan jalannya rumah tangga. Perbedaan latar sosial,
budaya, ataupun faktor lainnya merupakan penyebab munculnya hambatan dan konflik dalam
proses komunikasi dalam membina hubungan perkawinan, sebab karakter tiap individu berbeda-
beda antara satu dengan yang lainnya sehingga hal itu dapat berpengaruh pada cara
pandangnya. Dalam aspek sosial budaya perkawinan, ada faktor pendukung dan penghambat.

Faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal
saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling
terbuka antara suami dan istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami-istri
menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami
maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga
kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.

Faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam
hal baik suami maupun istri tidak dapat menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal
perkawinan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya
dan agama di antara suami dan istri, suami maupun istri tidak tau peran dan tugasnya dalam
rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi
perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam
perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga,
sehingga masing-masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.

B. Aspek Sosial Budaya Kehamilan

Selain menimbulkan kebahagiaan bagi wanita dan pasangannya, kehamilan juga dapat
menimbulkan kekhawatiran pada wanita pada trimester 1, 2 dan 3. Dengan menerapkan
manajemen asuhan kebidanan diharapkan bidan memperhatikan kebutuhan dasar manusia
dalam aspek bio-psiko-sosial-budaya dan spiritual. Tingkat kebutuhan tiap individu berbeda-
beda. Masa kehamilan dan persalinan pada manusia dideskripsikan oleh Bronislaw Malinawski
(1927) sebagai fokus perhatian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Ibu hamil dan
yang akan bersalin dilindungi secara adat, religi dan moral atau kesusilaan berdasarkan tujuan
untuk menciptakan keseimbangan fisik antara ibu dan bayi, serta terutama untuk mencapai
kesejahteraan dan kebahagiaan. Kondisi tersebut dihadapkan pada kenyataan adanya trauma
persalinan dalam masyarakat, yang mengakibatkan ansietas pada ibu hamil (Malinowski, 1927)

Pada dasarnya, masyarakat mengkhawatirkan masa kehamilan dan persalinan karena


menganggap masa tersebut kritis karena dapat membahayakan bagi janin dan atau ibunya.
Tingkat kekritisan ini dapat dipandang berbeda oleh setiap individu, dan direspon oleh
masyarakat dengan berbagai strategi atau sikap, seperti upacara kehamilan, anjuran dan
larangan secara tradisional. Di samping itu, masyarakat secara umum berperilaku
mementingkan memelihara kesehatan kehamilan, sesuai pengetahuan kesehatan modern dan
tradisional. Strategi-strategi tersebut dilakukan warga masyarakat agar dapat dicapai kondisi
kehamilan dan persalinan ideal tanpa gangguan (Danandjaja,1980; Swasono, 1998)
Terlepas dari sudut pandang masyarakat tentang masa kehamilan dan persalinan yang kritis,
terdapat berbagai pandangan budaya (tuntutan budaya), serta faktor-faktor sosial lainnya dalam
kepentingan reproduksi. Hal tersebut meliputi:

1. Keinginan ideal perorangan untuk memiliki anak dengan jenis kelamin tertentu.

2. Mengatur waktu kelahiran.

3. Sikap menerima tidaknya kehamilan.

4. Kondisi hubungan suami istri.

5. Kondisi ketersediaan sumber social.

6. Pengalama perorangan mengatasi dan menghadapi komplikasi persalinan dan lain-lain.

Berbagai pandangan budaya dan faktor-faktor sosial tersebut dapat menjadi stressor yang
mendukung pandangan bahwa masa hamil dan bersalin dianggap kritis dan mengakibatkan
kekhawatiran bagi warga masyarakat. Pada masa kehamilan dan saat menjelang kelahiran,
aspek financial juga dapat menjadi masalah jika ibu hamil dan pasangannya belum bekerja,
berhenti bekerja, atau dengan penghasilan yang kurang. Ibu hamil mungkin tinggal di rumah
kontrakan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan dalam lingkungan kumuh sehingga
membuat ibu rentan terhadap kekurangan gizi pada masa kehamilan. Dalam setiap masyarakat
ada mitos atau kepercayaan tertentu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosial budaya
dan adat istiadat tertentu, seperti mitos mitoni :

1. Tidak boleh makan makanan yang berbau amis.

2. Tidak boleh mempersiapkan keperluan untuk bayi sebelum lahir.

3. Ayah yang bekerja sebagai pencari nafkah berhak mendapat jumlah makanan yang lebih
banyak dan bagian yang lebih baik dari pada anggota keluarganya yang lain.

4. Anak laki-laki diberi makan lebih dulu dari pada anak perempuan dan lain sebagainya.

Yang menentukan kuantitas, kualitas, dan jenis-jenis makanan yang seharusnya dan tidak
seharusnya dikonsumsi oleh anggota-anggota suatu rumah tangga, sesuai dengan kedudukan,
usia jenis kelamin, dan situasi-situasi tertentu. Walaupun pola makan ini sudah menjadi tradisi
atau kebiasaan, yang paling berperan mengatur menu setiap hari dan mendistribusikan
makanan kepada keluarga adalah ibu. Dengan kata lain, ibu mempunyai peran sebagai gate-
keeper keluarga.

C. Aspek Sosial Budaya Persalinan

Persalinan normal adalah suatu proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang
telah cukup bulan atau dapat hidup di luar kandungan melalui jalan lahir secara spontan dengan
presentasi belakang kepala dan tanpa komplikasi. Persalinan/partus dibagi menjadi 4 kala, yaitu
kala I, II, III, dan IV.

1. Kala I

Periode persalinan ini dimulai dari pembukaan 1 cm sampai 10 cm (lengkap). Dalam kala ini ada
beberapa fase, yaitu :

a. Fase laten : pembukaan servik kurang dari 3 cm, servik membuka perlahan selama fase
ini dan biasanya berlangsung tidak lebih dari 8 jam

b. Fase aktif : kontraksi di atas 3 kali dalam 10 menit, lama kontraksi 40 detik atau lebih dan
mulas, pembukaan dari 4 cm sampai 10 cm (lengkap) dan terdapat penurunan bagian terbawah
janin.

2. Kala II

Periode ini dimulai dari ketika pembukaan lengkap sampai lahirnya seluruh tubuh janin. Tanda
dan gejala persalinan kala II meliputi :

a. Ibu ingin mengejan.

b. Perineum menonjol.

c. Vulva dan anus membuka.

d. Meningkatnya pengeluaran darah dan lender.

e. Kepala telah turun didasar panggul.

Diagnosis pasti persalinan kala II adalah bila saat dilakukan pemeriksaan dalam didapatkan
pembukaan serviks lengkap dan kepala bayi terlihat pada introitus vagina.

3. Kala III

Periode ini dimulai sejak bayi lahir sampai plasenta lahir. Normalnya pelepasan plasenta berkisar
15-30 menit setelah bayi lahir. Pada persalinan kala III miometerium akan berkontraksi mengikuti
berkurangnya ukuran rongga uterus ini menyebabkan pula berkurangnya ukuran tempat
pelekatan plasenta. Karena tempat pelekatan menjadi kecil, sedangkan ukuran plasenta tidak
berubah, plasenta akan terlepas dari dinding uteri. Setelah lepas, plasenta akan turun ke
segmen bawah rahim.

Tanda-tanda pelepasan plasenta meliputi:

a. Bentuk uterus globuler.

b. Tali pusat bertambah panjang (tanda afeld).

c. Semburan darah tiba-tiba.

Cara pelepasan plasenta ada dua, yaitu:

a. Cara Schultze
Pelepasan dimulai pada bagian tengah plasenta dan terjadi hematoma retroplasentae yang
selanjutnya mengangkat plasenta dari dasarnya. Plasenta dengan hematoma di atasnya
sekarang jatuh ke bawah dan menarik lepas selaput janin. Bagian plasenta yang tampak pada
vulva adalah permukaan fetal, sedangkan hematoma sekarang berada dalam kantong yang
berputar balik. Pada pelepasan secara Schultze tidak ada pendarahan sebelum plasenta lahir
atau sekurang-kurangnya terlepas seluruhnya. Baru seluruh plasenta lahir darah banyak
mengalir.

b. Cara Ducan

Pelepasan dimulai dari tepi plasenta. Darah mengalir antara selaput janin dan dinding rahim, jadi
pendarahan sudah ada sejak sebagian dari plasenta lepas dan terus berlangsung sampai
plasenta lepas secara keseluruhan. Pelepasan secara Ducan sering terjadi pada plasenta letak
rendah.

4. Kala IV

Periode ini dimulai setelah lahinya plasenta sampai 1 jam setelah itu. Pemantauan pada kala IV
meliputi:

a. Kelengkapan plasenta dan selaput ketuban,

b. Perkiraan pengeluaran darah,

c. Laserasi atau luka episiotomy pada perineum dengan pendarahan aktif, dan

d. Keadaan umum serta tanda-tanda vital ibu

Memasuki masa persalinan merupakan suatu periode yang kritis bagi para ibu hamil karena
segala kemungkinan dapat terjadi sebelum berakhir dengan selamat atau dengan kematian. Di
daerah pedesaan, kebanyakan ibu hamil masih mempercayai dukun beranak untuk menolong
persalinan yang biasanya dilakukan di rumah. Data survey kesehatan rumah tangga tahun 1992
menunjukkan bahwa 65% persalinan ditolong oleh dukun beranak. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan mengungkapkan bahwa masih terdapat praktek persalinan oleh dukun yang
dapat membahayakan ibu.

Pemilihan dukun beranak sebagai penolong persalinan pada dasarnya disebabkan oleh beberapa
alasan antara lain:

1. Dikenal secara dekat.

2. Biaya murah.

3. Mengerti dan dapat membantu dalam upacara adat yang berkaitan dengan kelahiran
anak.

4. Dapat merawat ibu dan bayi sampai 40 hari di samping akibat keterbatsan jangkauan
pelayanan kesehatan yang ada.

Interaksi antara kondisi kesehatan ibu hamil dengan kemampuan penolong persalinan sangat
menentukan hasil persalinan yaitu kematian atau bertahan hidup. Secara medis, penyebab klasik
kematian ibu akibat melahirkan adalah pendarahan, infeksi dan ekslamsia (keracunan
kehamilan). Kondisi-kondisi tersebut bila tidak ditangani secara tepat dan profesional dapat
berakibat fatal bagi ibu dan proses persalinan. Namun, kefatalan ini sering terjadi tidak hanya
karena penanganan yang kurang baik tetapi, juga karena ada faktor keterlambatan pengambilan
keputusan dalam keluarga. Umumnya, di daerah pedesaan, keputusan perawatan medis yang
akan dipilih harus dengan persetujuan kerabat yang lebih tua atau keputusan ada di tangan
suami yang sering kali menjadi panic melihat keadaan kritis yang terjadi. Kepanikan dan ketidak
tahuan akan gejala-gejala tertentu saat persalinan dapat menghambat tindakan yang
seharusnya dilakukan secara cepat. Tidak jarang pula nasihat yang diberikan oleh teman atau
tetangga mempengaruhi keputusan yang diambil.

Selain itu, sering kali kondisi tersebut diperberat oleh faktor geografis, karena jarak rumah ibu
dengan tempat pelayanan kesehatan cukup jauh, tidak tersedianya transportasi, atau kendala
ekonomi dan adanya tanggapan bahwa membawa ibu ke rumah sakit akan membutuhkan biaya
yang mahal. Selain faktor keterlambatan dalam pengambilan keputusan, faktor geografis dan
faktor ekonomi, keterlambatan mencari pertolongan disebabkan juga sikap pasrah dari
masyarakat bahwa segala sesuatu yang terjadi merupakan takdir yang tidak dapat dihindari.
Selain pada masa hamil, pantangan atau anjuran masih diberlakukan juga pada masa pasca
persalinan.

Pantangan atau anjuran yang berkaitan dengan proses pemulihan kondisi fisik misalnya:

1. Ada makanan tertentu yang sebaiknya dikonsumsi untuk memperbanyak produksi ASI

2. Ada makanan tertentu yang dilarang karena dianggap dapat mempengaruhi kesehatan
bayi.

Secara tradisional ada praktik-praktik yang dilakukan dukun beranak untuk mengembalikan
kondisi fisik dan kesehatan ibu. Misalnya;

1. Mengurut perut yang bertujuan untuk mengembalikan rahim ke posisi semula.

2. Memasukkan ramuan-ramuan seperti daun-daunan ke dalam vagina dengan maksud


untuk membersihkan darah dan cairan yang keluar karena proses persalinan.

3. Member jamu tertentu untuk memperkuat tubuh (Iskandar et al, 1996).

D. Aspek Sosial Budaya Masa Nifas

Masa nifas adalah masa pulih kembali mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan
kembali seperti sebelum hamil, lama masa nias yaitu 6-8 minggu (Rustam Mochtar, 1998, hal.
115). Tujuan perawatan masa nifas yaitu:

1. Memulihkan kesehatan umum penderita,

2. Mendapatkan kesehatan emosi yang stabil,

3. Mencegah terjadinya ineksi dan komplikasi,

4. Memperlancar pembentukan ASI, dan

5. Agar penderita dapat melaksanaan perawatan sampai masa nifas selesai dan
memelihara bayi dengan baik.
Keadaan psikologis pada masa nifas meliputi insting keibuan, yang merupakan perasaan dan
dorongan yang dibawa sejak manusia dilahirkan, yang ada dalam seorang wanita untuk menjadi
seorang ibu yang selalu memberi kasih sayang kepada anaknya. Sikap ini berada dengan sikap
pria dewasa. Walaupun mereka menyukai anak bayi, tetapi pendekatannya berbeda dengan
wanita. Reaksi ibu setelah melahirkan ditentukan oleh tempramennya. Bila ibu bertempramen
gembira, ibu biasanya menjadi ibu yang lebih sukses, sedangkan ibu yang selalu murung
kemungkinan mengalami kesulitan dalam tugasnya sebagai seorang ibu. Selain itu, kemungkinan
pula timbul reaksi kecemasan reaksi kekecewaan karena kedatangan bayinya belum diharapkan.
Untuk mengadakan penyesuaian tersebut kemungkinan ibu dapat mengatasinya sendiri atau
memerlukan bantuan. Oleh karena itu, tugas bidan untuk memberi bantuan yang merupakan
bimbingan agar ibu dapat mengatasi masalahnya. Kebutuhan ibu masa nifas meliputi:

1. Kebutuhan fisik,

Selama hamil umumnya menurun walaupun tidak sakit. Untuk memenuhi kebutuhan fisik seperti
istirahat, makanan yang bergizi, lingkungan bersih dilakukan pengawasan dan perawatan yang
sempurna serta pengertian dari lingkungan setelah ibu pulang nanti.

2. Kebutuhan psikologis.

Kebutuhan bagi tiap-tiap individu bahwa manusia butuh diakui, dihargai, diperhatikan oleh
manusia lain. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan psikologis, bidan dan keluarga harus
bersikap dan bertindak bijaksana dan menunjukan rasa simpati dan menghormati.

3. Kebutuhan sosial,

Ibu dipenuhi dengan memfasilitasi pasangan atau keluarga mendampingi ibu bila murung,
menunjukkan rasa saying pada bayi, memberi bantuan dan pelajaran yang dibutuhkan untuk
mengembalikan kesehatannya.

E. Aspek Sosial Budaya Terkait Bayi Baru Lahir

Bayi baru lahir adalah bayi baru lahir dari kehamilan yang aterm (37-42 minggu). Bayi baru lahir
yang dilahirkan dalam kondisi normal mempunyai cirri-ciri sebagai berikut:

1. Berat badan 2500-4000gram.

2. Panjang badan 48-52 cm.

3. Lingkar badan 30-38 cm.

4. Lingkar kepala 33-35 cm.

5. Bunyi jantung dalam menit pertama kira-kira 180 denyut/menit kemudian menurun
sampai 120-160 denyut/menit.

6. Pernafasan pada menit pertama kira-kira 80 kali/menit kemudian menurun sampai 40


kali/menit.

7. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan terbentuk dan diliputi verniks
kaseosa.
8. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut tampak sempurna.

9. Kuku agak panjang dan lemas.

10. Pada bayi laki-laki Testis sudah turun, pada bayi perempuan genetalia labia mayora telah
menutupi labia minora.

11. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik.

12. Reflek moro sudah baik, bayi dikagetkan akan memperlihatkan gerakan tangan seperli
memeluk.

13. Reflek Graff sudah baik, bila diletakkan suatu benda ke telapak tangan maka akan
menggenggam.

14. Eliminasi, urine dan mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama (Saifuddin, 2006)

Beberapa aspek sosial budaya yang dilakukan dikalangan masyarakat Indonesia terkait dengan
bayi baru lahir, antara lain:

1. Bayi harus memakai gurita supaya perutnya tidak membuncit.

2. Bayi dibedong supaya tidak mudah terkejut, juga dapat menghangatkan badannya.

3. Bayi saat dimandikan ditarik-tarik hidungnya agar menjadi lebih mancung.

4. Ari-arinya harus dicuci bersih sebelum di kubur supaya bau badan tidak bau nantinya.

5. Ibu tidak boleh membiasakan duduk dalam posisi tidur waktu menggendong bayi agar
dahi bayi tidak maju (jenong atau nonong).

6. Bayi baru lahir diberi minum grape water agar perutnya tidak kembung.

7. Bayi baru lahir diberikan minum kopi setets agar tidak terkena penyakit stroke.

8. Bayi baru lahir rambutnya dipotong atau di botakin dan diberi minyak kemiri atau lidah
buaya agar rambutnya tumbuh cepat dan hitam.

9. Bayi cegukan diberi tisu basah atau kertas dibasahi di kening agar cegukannya hilang.

10. Sapu lidi atau bangle bumbu dapur ditaruh di sebelah bantal untuk mengusir hantu jahat.

11. Bulu mata di gunting agar lentik.

12. Dagu lancip akibat sering ditarik.

13. Di bawah bantal bayi ditaruh gunting lipat dan di tempat tidurnya dipukul-pukul
menggunakan sapu lidi agar bayi tidur nyenyak.

14. Bayi yang baru lahir tidak boleh difoto agar tidak menjadi narsis ketika dewasa.

15. Bayi tidak boleh diajak keluar rumah sebelum berusia 40hari.

16. Terkait makanan pada bayi baru lahir, ibu dilarang makan pedas, nanti feses bayi ada cabe
rawit utuh, padahal maksudnya adalah mencegah bayi mengalami sakit perut jika ibu
menggonsumsi makanan pedas, makan semangka menyebabkan perut bayi besar dan keras
sebab sawan semangka dan sebagainya.

Diantara berbagai aspek sosial budaya yang dilakukan oleh masyarakat tersebut, yang terbukti
kebenarannya dan benar-benar tidak masuk akal kadang membuat masyarakat menjadi bingung.
Memang ada benarnya bebrapa aspek sosial budaya yang ada, yang terkadang jika kita ikuti
akan bermanfaat. Misalnya, Bayi tidak boleh keluar sebelum 40 hari, sebab fisik bayi belum
sekuat fisik orang dewasa jika kontak dengan udara luar akan menyebabkan sakit, dan supaya
bayi tidak tertular virus dari orang sakit yang kadang kita tidak sadari pada tempat yang ramai.
Sedangkan kerugiannya jika kita sangat mempercayai hal tersebut antara lain bayi pada usia
sebelum 40 hari mempunyai beberapa kebutuhan yang harus dipenuhi dan harus keluar rumah.
Misalnya untuk imunisasi, berubat ke pelayanan kesehatan ketika bayi mengalami demam atau
pilek, Bayi memakai gurita agar perutnya tidak buncit, padahal jika dikaitkan dengan kesehatan,
bayi memakai gurita terlalu kencang dapat mengurangi daya pernafasan pada bayi yang pada
akhirnya bayi tersebut sesak nafas, karena bayi lebih banyak menggunakan pola pernafasan
perut, berbeda dengan orang dewasa yang menggunakan dada.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Bidan sebagai salah seorang anggota tim kesehatan yang terdekat dengan masyarakat,
mempunyai peran yang sangat menentukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan ibu dan anak di wilayah kerjanya.

Seorang bidan harus mampu menggerakkan peran serta masyarakat khususnya, berkaitan
dengan kesehatan ibu hamil, ibu bersalin, bufas, bayi baru lahir, anak remaja dan usia lanjut.
Seorang bidan juga harus memiliki kompetensi yang cukup berkaitan dengan tugas, peran serta
tanggung jawabnya.

Seorang bidan perlu mempelajari sosial-budaya masyarakat tersebut, yang meliputi tingkat
pengetahuan penduduk, struktur pemerintahan, adat istiadat dan kebiasaan sehari-hari,
pandangan norma dan nilai, agama, bahasa, kesenian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
wilayah tersebut.

Melalui kegiatan-kegiatan kebudayaan tradisional setempat bidan dapat berperan aktif untuk
melakukan promosi kesehatan kepada masyaratkat dengan melakukan penyuluhan kesehatan di
sela-sela acara kesenian atau kebudayaan tradisional tersebut.

B. Saran

Penulis menyadari bahwa Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan yang diharapkan, karena
masih terbatasnya pengetahuan penulis. Olehnya itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun. Makalah ini perlu dikaji ulang agar dapat sempurna dan makalah ini
harus digunakan sebagaimana mestinya.

Anda mungkin juga menyukai