Makeg Fikih - Modul 1-1 PDF
Makeg Fikih - Modul 1-1 PDF
MODUL 1
TATA CARA TAHARAH DAN SALAT
Penyusun:
H. Andi Achruh AB. Pasinringi
Pokok-Pokok Materi
1. Pengertian Taharah
2. Ketentuan dan tata cara bersuci dari najis
3. Ketentuan dan tata cara wudu
4. Ketentuan dan tata cara mandi besar
5. Hikmah bersuci dari najis dan hadas
Uraian Materi
A. Pengertian Taharah
Taharah adalah bersuci sedangkan menurut istilah membersihkan diri, pakaian
dan tempat dari hadas dan najis. Bersuci dalam Islam terbagi dua yaitu pertama
bersuci dari hadas ini hanya bisa terjadi pada badan bukan pada pakaian dan tempat
karena yang dimaksud dengan hadas adalah kondisi yang dialami oleh seseorang
mukalaf yang menghalanginya untuk dapat melaksanakan ibadah sebelum mereka
bersuci, dan yang kedua adalah bersuci dari najis. Hal ini bisa terjadi pada badan
pakaian dan tempat.
اع ٍم يَطْ َع ُمهُ إِالَّ أَن يَ ُكو َن َمْي تَ ًة أ َْو َدماً َّم ْس ُفوحاً أ َْو ََلْ َم ِخن ِزي ٍر
ِ ََل ُُمَّرماً علَى ط ِ ِ
َ َ َّ َ ِقُل الَّ أَج ُد ِِف َما أ ُْوح َي إ
-١٤٥- ور َّرِح ٌيم ٍ ِ فَِإنَّه ِرجس أَو فِسقاً أ ُِه َّل لِغَ ِْي
ْ اّلل بِِه فَ َم ِن
ٌ ك َغ ُفَ َّاضطَُّر غَ َْْي ََب ٍغ َوالَ َعاد فَِإ َّن َرب ْ ه ْ ْ ٌ ْ ُ
Katakanlah aku tidak jumpai di dalam wahyu yang disampaikan kepadaku
makanan yang diharamkan kecuali bangkai, atau darah yang mengalir/
memancar, atau daging babi, karena itu adalah najis. (QS al-An’am/6: 145).
Bangkai meliputi bangkai binatang darat yang memiliki darah mengalir ketika
disembelih, bukan bangkai binatang belalang dan bukan bangkai binatang laut.
Karena Rasulullah secara tegas bersabda:
(اَلل ميتته ) اخرجه البخارى
هو الطهور ماءه و ه
Dia (air laut) itu suci dan halal bangkainya. (HR. Bukhari).
Juga termasuk bangkai binatang yang tidak mempunyai darah mengalir seperti
semut, lebah dan lain-lain, maka ia adalah suci. Jika ia jatuh ke dalam suatu dan mati
di sana, maka tidaklah menyebabkan bernajis.
واما الدمان فالكبد والطحال ) رواه أمحد، اما امليتتان فاَلوت واجلراد: احل لنا ميتتان ودمان
ه
(والشافعى وابن ماجه والبيهقى والدارقطىن
Dihalalkan kepada kita dua macam bangkai dan darah, adapun dua bangkai
ialah bangkai ikan dan belalang, sedang mengenai darah ialah hati dan limpa.
(HR. Ahmad, Syafi’i, Ibnu Majah, Baihaqi, dan Daraquthni).
b. Anjing dan Babi serta hewan yang dilahirkan dari keduanya.
Adapun dalil najisnya anjing adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim dari Nabi saw.. bersabda:
اذا ولغ الكلب ىف إانء احدكم فلْيقه مث ليغسله سبع مرات
Jika seekor anjing menjilat bejana salah seorang diantara kalian, maka
bersihkanlah kemudian basuhlah sebanyak tiga kali....(al-hadis)
c. Potongan daging dari anggota badan binatang yang masih hidup
Mengambil sebagian daging dari anggota badan binatang yang masih hidup
adalah najis. Hal ini didasarkan kepada hadis dari Abu Waqid al-Laits yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda:“Sesuatu yang dipotong dari
seekor binatang, sedang ia masih hidup maka potongan tersebut termasuk
bangkai.”
d. Muntah, air kencing dan kotoran manusia.
Semua ulama sepakat bahwa muntah, air kencing dan kotoran manusia adalah
najis. Kecuali jika muntahnya itu sedikit, maka dimaafkan. Hal ini didasarkan kepada
sabda Rasulullah saw.:
اذا قاء احدكم ىف صالته او قلس فلينصرف وليتوضأ
Apabila muntah salah seorang diantara kamu dalam keadaan salat, maka
hendaklah keluar dari salatnya dan berwudulah.
4
Selain muntah sebagai najis, air kencing dan kotoran pun dihukumi najis,
karena sesuatu yang keluar dari qubul maupun dubur dihukumi najis. Tetapi, diberi
keringanan bagi air kencing bayi laki-laki yang belum makan kecuali air susu ibunya.
e. Sesuatu yang keluar dari dubur atau kubul
Setiap sesuatu yang keluar dari dubur maupun kubul adalah najis, baik berupa
cairan maupun benda padat. Di antara sesuatu yang keluar dari kubul adalah wadi,
mazi, dan mani. Adapun wadi adalah air yang berwarna putih, kental, sedikit
berlendir yang keluar mengiringi keluarnya air kencing dikarenakan kelelahan.
Sedang mazi adalah air yang berwarna putih, bergetah yang keluar karena kuatnya
dorongan syahwat, akan tetapi keluarnya tidak disertai kenikmatan.
Keluarnya wadi dan mazi tidak diwajibkan mandi junub, tetapi cukup member-
sihkan kemaluannya dan berwudu, hal ini didasarkan kepada hadis yang diriwayat-
kan oleh Imam Bukhari dan Muslim:
Dari Ali bin Abi Thalib berkata, “Saya kerapkali mengeluarkan mazi, sedang
saya sendiri malu menanyakannya kepada Rasulullah saw., karena putrinya
menjadi isteriku, maka saya menyuruh Miqdad untuk menanyakannya. Miqdad
pun menanyakannya kepada beliau. Beliau menjawab, “Hendaklah ia basuh
kemaluannya, dan berwudulah.”
Adapun mani sebagian ulama berpendapat bahwa ia adalah suci, tetapi disunat-
kan mencucinya bila ia basah, dan mengoreknya bila kering. Aisah berkata, “Kuko-
rek mani itu dari kain Rasulullah saw. bila ia kering, dan kucuci bila ia basah.”
(Riwayat Daruquthni, Abu Uwanah dan al-Bazzar).
Dan dari Ibnu Abbas ra berkata:
وامنا يكفيك، امنا هو مبنزلة املخاط والبصاق: سئل النيب صلى هللا عليه وسلم عن املين يصيب الثوب فقال
(متسحه خبرقة او إبذرة )رواه الدارقطىن والبيهقى والطحاوى
Nabi saw. pernah ditanya mengenai mani yang mengenai kain. Maka jawab-
nya, “Ia hanyalah seperti ingus dan dahak, maka cukuplah bagimu menghapus-
nya dengan secarik kain atau dengan daun-daunan.” (Riwayat Daruquthni,
Baihaqi, dan Thawawi).
Meskipun mani dihukumi suci, namun mani menyebabkan seseorang diwajib-
kan untuk mandi junub. Mandi junub itu sendiri merupakan cara membersihkan
hadas besar.
f. Khamar
Khamar merupakan salah satu yang diharamkan oleh Allah swt. berdasarkan
firman-Nya:
اجتَنِبُوهُ لَ َعلَّ ُك ْم ِ ِ َي أَيُّها الَّ ِذين آمنُواْ إَِّمنَا ا ْْلمر والْمي ِسر واألَنصاب واأل َْزالَم ِرج
ْ َس هم ْن َع َم ِل الشَّْيطَان ف
ٌ ْ ُ َ ُ َ َ ُ َْ َ َُْ َ َ َ َ
-٩٠- تُ ْفلِ ُحو َن
Hai orang-orang beriman, sesungguhny khamar, judi, berhala, dan mengundi
nasib itu adalah najis, termasuk pekerjaan syaithan.” (QS al-Maidah/5: 90)
5
anjing, dibasuh tujuh kali, yang pertama atau salah satunya dengan tanah. Boleh juga
menggantikan tanah dengan sabun atau pembersih lain yang kuat.
Menurut pendapat Mahmud Syaltut, mantan Syaikh al-Azhar di Mesir, keten-
tuan pencucian bejana yang dijilat anjing, sebanyak tujuh kali, satu di antaranya
dengan air bercampur tanah, tidak harus dipahami secara harfiyah. Yang penting,
mencucinya beberapa kali sedemikian rupa sehingga diyakini bejana tersebut telah
bersih dari air liur anjing. Demikian pula tanah dapat diganti dengan sabun atau
pembersih lainnya yang kuat.
terlentang tidak membatalkan wudu sehingga mudhtaji’an di sana adalah tidur yang
lama.
Ulama Syafi’iyah: tidur yang membatalkan wudu adalah sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasul yaitu tidur terlentang, tidur duduk tidak membatalkan,
sekalipun tidurnya lama.
Ulama Malikiyah: tidur yang membatalkan wudu adalah tidur yang pulas
sebentar atau lama dalam setiap keadaan, duduk, sujud, atau berbaring. Tidur dengan
terlentang dalam keadaan lama tetapi gelisah tidak pulas tidak membatalkan wudu
tetapi disunnatkan wudu’.
Ulama Hanafiyah: tidur yang membatalkan wudu adalah tidur dalam tiga
keadaan: tidur terlentang, tidur bersandar ke dinding, dan tidur duduk dengan kepala
di atas lutut. Selain dari tiga keadaan tidur ini tidak membatalkan wudu.
c. Menyentuh wanita dengan syahwat
Menurut Imam Syafi’i menyentuh wanita membatalkan wudu, baik yang
disentuhnya laki-laki maupun perempuan tua ataupun muda tanpa ada kenikmatan
syahwat, tetapi dengan syarat tidak ada penghalang. Imam Hambali berpendapat
bahwa wudu menjadi batal apabila menyentuh wanita dengan syahwat tanpa
penghalang meskipun yang disentuhnya mahram, dalam keadaan hidup atau mati, tua
atau muda, kecil atau besar. Imam Malikiyah berpendapat bahwa wudu batal dengan
syarat: bagi yang menyentuh sudah balig dan bermaksud untuk mendapat kenik-
matan sekalipun tidak memperoleh kenikmatan. Syarat bagi yang disentuh jika dia
telanjang atau tertutup dengan kain tipis. Jika kain tebal tidak batal. Imam Hanafiyah
memandang tidak batal karena menyentuh sekalipun telanjang. Suami dan isteri yang
tidur dengan telanjang tidak batal wudunya. Kecuali dalam dua keadaan: keluar
sesuatu dan bersentuhan dua parji.
d. Menyentuh kemaluan dengan tanpa penghalang
Menurut tiga imam seperti Imam Syafi’i, Maliki, dan Hambali bahwa menyen-
tuh kemaluan dengan tanpa penghalang adalah membatalkan wudu berdasarkan
sabda Rasulullah saw.:
من مس ذكره فليتوضأ
Barang siapa yang menyentuh kemaluannya, maka hendaklah berwudu.
Menurut Imam Hanafiyah menyentuh zakar tidak membatalkan wudu sekali-
pun dengan syahwat, tetapi disunahkan berwudu. Dalil yang digunakan oleh Imam
Hanafiyah adalah sabda Rasulullah saw.:
( (هل هو اال بضعة منك:ان النيب صلى هللا عليه وسلم سئل من رجل ميس ذكره ىف الصالة فقال
Sesungguhnya Nabi Saw. ditanya tentang seorang laki-laki yang menyentuh
kemaluannya dalam salat. Rasul pun menjawab: Tidaklah zakar (kemaluan) itu
kecuali seperti anggota tubuh darimu.
Hadis tersebut dapat dipahami bahwa menyentuh zakar sama dengan menyen-
tuh telinga, pipi, dan anggota tubuh lainnya, sehingga tidak membatalkan wudu.
8
Menurut Imam Hanafi, dalil yang digunakan oleh ketiga Imam di atas adalah anjuran
untuk mencuci tangan, bukan berwudu.
Adapun hadas besar adalah sesuatu yang mewajibkan mandi. Ada beberapa hal
yang mewajibkan mandi besar, yaitu:
1) Berjimak, baik keluar mani maupun tidak. Sabda Rasulullah saw.:
(اذا التقى اْلتاانن فقد وجب الغسل وان مل ينزل )رواه مسلم
Apabila dua khitan bertemu, maka sesungguhnya telah diwajibkan mandi,
meskipun tidak keluar mani. (HR. Muslim).
2) Mani. Sabda Rasulullah saw.:
عن ام سلمة ان ام سليم قالت َي رسول هللا ان هللا ال يستحىي من اَلق فهل على املرأة الغسل اذا
(احتلمت؟ قال نعم اذا رأت املاء )متفق عليه
Dari Ummi Salamah, Sesungguhnya Ummi Sulaim telah bertanya kepada
Rasulullah saw. “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu memperta-
nyakan yang hak. Apakah perempuan wajib mandi apabila bermimpi? Jawab
beliau, “Ya (wajib atasnya mandi), apabila ia melihat air mani. (Muttafaq
‘alaih).
3) Mati
Orang yang mati pun diwajibkan mandi, tentunya dimandikan oleh kerabat
atau orang khusus yang biasa memandikan mayat, kecuali orang yang mati syahid.
4) Haid /Nifas
Haid adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum hawa yang rutin setiap
bulan, minimal darah haid adalah setetes (sekecretan) dan maksimalnya adalah lima
belas hari. Lebih dari itu adalah darah penyakit yang disebut darah istihadhah. Atau
jika keadaan keluar darahnya secara terputus-putus, misalnya dua hari haid dan dua
hari suci, kemudian keluar lagi dan berhenti lagi, maka seluruh hari haid dan hari
suci dijumlah sehingga mencapai lima belas hari. Setelah itu, apabilah masih keluar
juga, maka ia dianggap darah istihadhah (darah penyakit).
Nifas adalah darah yang keluar dari rahim karena melahirkan walaupun dalam
keadaan keguguran. Lamanya tidak dapat ditentukan. Adakalanya sebentar saja,
tetapi pada umumnya selama empat puluh hari, dan paling lama enam puluh hari.
Darah nifas pada hakikatnya adalah kumpulan darah haid karena pada masa keha-
milan selama sembilan bulan seorang wanita hamil tidak mengalami haid.
Bagi wanita yang keluar haid/nifas ini diwajibkan mandi. Hal ini sebagaimana
sabda Rasulullah saw.:
قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم لفاطمة بنت اىب حبيش اذا اقبلت اَليضة فدعى الصالة واذا
ادبرت فاغتسلى وصلى رواه البخارى
Beliau berkata kepada Fatimah bin Abi Hubaisy, “Apabila dating haid itu,
hendaklah engkau tinggalkan salat, dan apabila habis haid itu, hendaklah
engkau mandi dan salatlah. (HR. Bukhari).
9
Setelah melahirkan seorang ibu pun diwajibkan untuk mandi, bukan mandi
karena keluar darah haid, melainkan mandi setelah melahirkan untuk menyegarkan
dan menyehatkannya setelah melahirkan seorang anak.
2. Tata Cara Bersuci dari Hadas
a. Wudu
Salah satu cara menghilangkan hadas kecil adalah dengan berwudu. Wudu
adalah membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala dan membasuh
kedua kaki sampai mata kaki. Hal ini sebagaimana firman Allah swt.:
ِ ُُالة فا ْغ ِسلُواْ وجوه ُكم وأَي ِدي ُكم إِ ََل الْمرافِ ِق وامسحواْ بِر
وس ُك ْم ِ الص
َّ ين َآمنُواْ إِذَا قُ ْمتُ ْم إِ ََل ََي أَيُّ َها الَّ ِذ
ُ ُ َ ْ َ ََ ْ َ َْ ْ َ ُُ َ
ِ َوأ َْر ُجلَ ُكم إِ ََل الْ َك ْعب
ني ْ َ
Hai orang-orang beriman, apabilah hendak menegakkan salat maka basuhlah
wajahmu, kemudian kedua tanganmu sampai siku, dan usapkanlah kepalamu,
dan basuhlah kedua kakimu sampai kedua mata kaki. (QS al-Maidah/5: 6).
1) Rukun Wudu
Berdasarkan ayat di atas, menurut al-Jaziri bahwa ulama mazhab berbeda pen-
dapat dalam menetapkan rukun wudu. Menurut Imam Hanafiyah bahwa rukun wudu
ada empat, yaitu: membasuh wajah, kedua tangan sampai siku, menyapu kepala, dan
membasuh kaki sampai mata kaki.
Imam Malikiyah berpendapat bahwa rukun wudu tidak sesingkat itu. Mereka
menyatakan bahwa rukun wudu ada tujuh, yaitu: niat, membasuh wajah, membasuh
kedua tangan sampai siku, menyapu seluruh kepala, membasuh kaki sampai mata
kaki, muwalat (segera jangan sampai kering) dan menyela-nyela anggota wudu
seperti kuku dan rambut.
Imam Hanabilah tidak memasukkan niat ke dalam rukun, sehingga rukun wudu
menurut mereka ada enam, yaitu: membasuh wajah, membasuh kedua tangan sampai
siku, menyapu seluruh kepala, membasuh kedua kaki, muwalat, dan tertib. Sedang-
kan menurut Imam Syafi’i yang banyak dipegang oleh mayoritas orang Indonesia
bahwa rukun wudu ada enam, yaitu: niat, membasuh wajah, membasuh kedua tangan
sampai siku, menyapu sebagian kepala, membasuh kedua kaki sampai mata kaki, dan
tertib.
Dari urain di atas, yang memasukkan niat sebagai rukun adalah Malikiyah dan
Syafi’iyah. Hal ini bukan berarti Hanafiyah dan Hanabilah tidak penting dengan niat.
Mereka berpendapat selain rukun (fardu), ada lagi sesuatu yang harus dipenuhi
dalam wudu. Mereka menyebutnya dengan syarat sehingga memasukkan niat ke
dalam syarat-syarat wudu. Sedangkan Syafi’iyah dan Malikiyah berpendapat bahwa
rukun dengan syarat tidak ada perbedaan. Keduanya sama-sama harus dipenuhi. Niat
menjadi sesuatu yang harus dipenuhi dalam segala aktivitas ibadah, termasuk wudu.
Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah saw.:
. امنا األعمال َبلنيات وامنا لكل امرئ ما نوى:ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قال
()رواه اجلماعة
10
بدأ مبق هدم رأسه مث ذهب هبما اَل قفاه مث،ا ن النيب صلى هللا عليه وسلم مسح رأسه بيديه فأقبل هبما وأدبر
ردمها( رواه اجلماعة)اَل املكان الذى بدأ منه
ه
Bahwa Nabi saw. menyapu kepalanya dengan kedua tangannya, maka
ditariknya dari muka ke belakang, dimulainya dari bagian depan kepalanya lalu
ditariknya kedua tangannya itu kea rah pundak, kemudian dibawanya kembali
ke tempat ia bermula tadi. (HR. Jama’ah).
Sedangkan alasan Syafi’iyah dan Malikiyah adalah meninjau bentuk lafaz
masaha yang merupakan bentuk muta’addi. Misalnya lafaz masaha zaedun ra’sahu
(Zaid telah menyapu kepalanya). Lafaz masaha tidak memerlukan huruf jar seperti
ba sebagaimana firman Allah swt.:
وامسحوا برُسكم
Sehingga mengusap pada ayat di atas berkonotasi sebagian kepala.
Dalam hadis-hadis Rasulullah saw. yang menceritakan kaifiyat wudu ada
beberapa lafaz yang menggunakan masaha ra’sahu dan masaha bi ra’sihi. Walaupun
demikian, Syafi’iyah menghukumi Sunah menyapu keseluruhan kepala dan tetap
menganggap sah mengusap sebagian kepala atau sepertiga atau seperempat dari
kepala.
Muwalat adalah turut-temurut dalam membasuh seluruh anggota wudu. Setelah
membasuh wajah tidak dibolehkan berhenti untuk melakukan aktivitas lain yang
kemudian membasuh kedua tangannya. Inilah yang bukan termasuk muwalat. Oleh
karena itu, muwalat dimasukkan ke dalam rukun wudu oleh Imam Malikiyah dan
Imam Hanabilah, sedangkan imam mazhab lainnya menghukumi sunah. Sunah
menurut para imam mazhab adalah perbuatan yang hampir tidak pernah ditinggalkan
oleh mereka.
Tertib adalah mendahulukan sesuatu yang harus didahulukan dan mengakhir-
kan sesuatu yang seharusnya diakhirkan. Menurut Syafi’iyah dan Hanabilah tertib
termasuk rukun dalam wudu karena wawu athaf pada ayat wudu menunjukkan
demikian. Berbeda dengan mereka, Hanafiyah dan Malikiyah memandang bahwa sah
berwudu dengan pertama kali membasuh kedua tangan kemudian wajah. Walaupun
demikian, mereka menghukumi sunah melakukan tertib dalam berwudu.
2) Sunah-sunah Wudu
Adapun sunah-sunah wudu meliputi:
a) Membaca Basmalah ketika memulai berwudu
11
b) Bersiwak
Pada zaman Rasul, bersiwak dilakukan untuk membersihkan gigi, menguatkan
gusi, dan dapat menghilangkan bau mulut dengan menggunakan kayu arak yang
berasal dari Hijaz. Pada zaman sekarang ini, fungsi tersebut dapat digantikan dengan
sikat gigi dan pasta gigi yang memiliki tujuan yang sama. Lebih bagus keduanya
dapat digunakan. Namun, kayu yang digunakan itu jarang didapat atau didapat tetapi
hamper tidak berfungsi dalam menghilangkan bau mulut. Anda dapat bandingkan
hasil sikat gigi dengan siwak dalam memberikan kenyamanan pada mulut Anda.
Sunah bersiwak berdasarkan hadis dari Abu Hurairah r.a:
a) Keluar darah tidak melalui dua jalan dubur dan kubul, seperti karena luka,
mimisan, dan berbekam. Demikian pula muntah, baik sedikit ataupun banyak,
tidak membatalkan wudu. Hal ini bukan berarti darah dan muntah boleh dibawa
salat. Darah dan muntah termasuk benda najis yang tidak boleh dibawa ketika
salat sehingga orang yang berwudu kemudian berdarah atau muntah, tetap harus
membersihkan pakaian atau anggota tubuhnya yang terkena darah dan ia tidak
perlu mengulangi wudunya. Oleh karena darah dan muntah harus dibersihkan
ketika hendak salat, maka golongan Hanafiyah menganggap keluarnya darah
melalui apapun juga, demikian pula muntah, dapat membatalkan wudu.
b) Memandikan mayat tidak membatalkan wudu. Bagi orang yang memandikan
mayit hanya dianjurkan untuk berwudu. Hal ini bukan berarti, membatalkan
wudunya karena sesuatu yang membatalkan wudu telah jelas ketentuannya.
c) Menyentuh isteri tanpa pembatas atau penghalang karena berdasarkan hadis
Aisyah r.a
إ هن القبلة ال:عن عائشة رضي هللا عنها أ هن رسول هللا صلى هللا عليه وسلم قبلها وهو صائم وقال
تنقض الوضوء وال تفطر الصائم
Rasulullah saw. pernah menciumnya, sedangkan pada saat itu beliau berpuasa.
Nabi saw. bersabda, ‘Sesungguhnya ciuman ini tidaklah membatalkan wudu
dan tidak pula membatalkan puasa.” (HR. Ishak bin Ruwaih)
5) Perkara yang wajib dilakukan dengan berwudu seseorang diwajibkan berwudu
untuk mengerjakan tiga perkara, yaitu sebagai berikut:
a) Salat apapun juga bentuknya, baik salat fardu maupun salat sunat, termasuk juga
bila ingin mengerjakan salat jenazah. Dengan demikian, tidak sah salat tanpa wudu.
Karena itu, ulama menjadikan wudu sebagai syarat sah salat. Hal ini didasarkan pada
sabda Rasulullah saw.: "Salat orang yang berhadas tidak diterima sebelum dia
berwudu" seorang laki-laki dari Hadhramaut bertanya" hai Abu Hurairah !apa hadas
itu? Abu Hurairah menjawab "kentut bersuara atau tidak"(HR. al-Bukhari)
b) Bahwaf di Baitullah, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a:
أحل فيه
الطواف صالة إال أن هللا ه: عن ابن عباس رضي هللا عنهما أن النيب صلى هللا عليه وسلم قال
( فمن تكلم فال يتكلم إاله خبْي ) رواه الرتمذى،الكالم
Nabi saw. bersabda, Thawaf itu merupakan salat, hanya saja Allah menghalal-
kan berbicara sewaktu mengerjakannya. Oleh karenanya, barang siapa yang
ingin berbicara ketika mengerjakan thawaf, maka hendaklah ia membicarakan
hal-hal yang baik-baik.”
Berdasarkan hadis di atas, thawaf disyaratkan untuk berwudu, karena thawaf
pada prinsipnya adalah ibadah seperti halnya salat. Bahkan, thawaf diserupakan
seperti salat tahiyatul masjid.
c) Menyentuh mushaf al-Quran. Ini menurut pendapat jumhur ulama berdasarkan
pada firman Allah dalam QS al-Waqiah/56: 79.
َّال َميَ ُّسهُ إَِّال الْ ُمطَ َّه ُرو َن
15
sehingga ia harus mengulangi dari waktu tidur yang terdekat di mana mani itu
mungkin keluar.
b) Hubungan kelamin, yaitu memasukan alat kelamin pria ke dalam alat kelamin
wanita, walau tidak sampai keluar mani, karena berdasarkan firman Allah Ta’ala:
“Dan jika kamu junub, maka mandilah....” (QS al-Maidah/5: 6). Menurut Syafi’i,
bahwa hakikat junub adalah hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan,
walaupun tanpa disertai orgasme.
c) Haid dan nifas jika sudah berhenti, berdasarkan firman Allah swt.:
Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, ‘Haid itu adalah suatu
kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu
haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintah Allah
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan
menyukai orang-orang yang menyucikan diri. (QS al-Baqarah/2: 222).
d) Melahirkan baik anak yang dilahirkan itu cukup umur maupun tidak, seperti
keguguran.
e) Mati, jika seorang menemui ajal kematiannya, maka ia wajib dimandikan berda-
sarkan ijma’ ulama.
f) Orang kafir jika sudah masuk Islam. Ia juga wajib mandi sebagai awal dari
penyucian dirinya.
2) Fardu (Rukun) Mandi
Menurut al-Jaziri, bahwa para ulama mazhab berbeda pendapat dalam
menetapkan fardu/rukun mandi. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa fardu mandi
ada tiga. Pertama berkumur-kumur, kedua, memasukkan air ke hidung dan ketiga,
membasuh seluruh badan dengan air. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa fardu
mandi ada lima, yaitu: niat, meratakan badan (zhahir) dengan air, muwalat,
menggosok-gosok seluruh badan dengan air, dan menyela-nyela anggota badan
seperti rambut.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa fardu mandi ada dua, yaitu: niat
meratakan seluruh anggota badan dengan air. Sedangkan ulama Hanabilah
berpendapat bahwa fardu mandi cukup meratakan seluruh badan dengan air termasuk
berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung.
3) Sunah-sunah Mandi
Seseorang yang mandi harus memperhatikan perkara-perkara yang pernah
dilakukan Rasulullah saw., pada saat mandi, yaitu sebagai berikut:
a) Mulai dengan mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali.
b) Kemudian membasuh kemaluan.
c) Lalu berwudu secara sempurna seperti halnya wudu pada saat ingin mengerjakan
salat. Ia juga boleh menangguhkan membasuh kedua kaki hingga selesai mandi,
bila ia mandi di tempat tembaga dan sebagainya.
d) Kemudian menuangkan air ke atas kepala sebanyak tiga kali sambil menyela-
nyela rambut agar air dapat membasahi urat-uratnya.
17
e) Lalu mengalirkan air ke seluruh badan dengan memulai sebelah kanan, lalu
sebelah kiri tanpa mengabaikan dua ketiak, bagian dalam telinga, pusar, dan jari-
jari kaki serta menggosok anggota tubuh yang dapat digosok.
4) Pendapat ulama Mazhab terhadap hal yang diharamkan bagi yang berjunub
Menurut mayoritas ulama seorang yang berhadas besar (junub) diharamkan
melakukan salat dan tawaf di sekitar Ka’bah, memegang, dan membawa mushaf al-
Quran, kecuali dalam keadaan darurat untuk menyelamatkannya atau mengembali-
kannya ke tempatnya semula setelah terjatuh dan sebagainya. Namun, al-Jaziri
mengungkapkan perbedaan para ulama mazhab berkaitan dengan membaca al-Quran
dan berdiam diri di masjid bagi orang yang berhadas besar.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub tidak boleh
membaca al-Quran kecuali dua syarat. Pertama, membaca suatu yang mudah dan
kedua, membaca dalam dua situasi: dengan tujuan menjaga dari musuh dan untuk
menunjukkan hukum syarak. Juga tidak dibolehkan masuk masjid, kecuali dua
keadaan, yaitu: tidak air untuk mandi, kecuali di masjid tetapi diharuskan
bertayamum sebelum masuk masjid dan tidak ada tempat penampungan dari bahaya
kecuali di masjid.
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan
membaca al-Quran sedikit atau banyak, kecuali dalam dua keadaan. Pertama, untuk
mengawali setiap urusan dengan membaca basmalah. Kedua, membaca ayat-ayat
pendek untuk berdoa. Juga diharamkan bagi yang berjunub masuk masjid, kecuali
dharurat. Misalnya tidak ada air untuk mandi kecuali di masjid, tetapi diharuskan
bertayammum terlebih dahulu.
Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang yang berjunub diharamkan
membaca al-Quran sekalipun satu huruf jika bermakud untuk membaca. Tetapi, jika
bermaksud untuk berzikir tidak diharamkan. Juga tidak dibolehkan diam di masjid,
kecuali hanya sekedar lewat itupun jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.
Ulama Hanabilah berpendapat bahwa orang yang berjunub dibolehkan
membaca al-Qur’an pada ayat-ayat pendek, tidak boleh lebih dari itu. Boleh juga
diam di masjid jika dirasa aman untuk tidak mengotori masjid.
Pada intinya pendapat para ulama mazhab di atas adalah untuk menjaga
kesucian kitab suci dan tempat ibadah, sehingga orang yang berjunub tidak
dibolehkan membaca al-Qur’an dan diam di masjid. Adapun dalil yang mereka
gunakan adalah sabda Rasulullah saw.:
فاما، هكذا ملن ليس جبنب:رأيت رسول هللا صلى هللا عليه وسلم توضأ مث قرأ شيئا من القرأن مث قال
.( ) رواه أمحد وابو يعلى وهذا لفظه قال البيهقى رجاله موثقون.اجلنب فال وال أية
Saya melihat Rasulullah saw. berwudu kemudian membaca sesuatu dari al-
Qur’an lalu ia bersabda, “Ini adalah bagi orang yang tidak berjunub. Adapun
orang yang berjunub, maka tidak boleh, bahkan satu ayat pun.” (HR. Ahmad,
Abu Ya’la dan beginilah susunan kata-katanya. Menurut Hatami: perawi-
perawinya dapat dipercaya).
18
Dan apabila kamu sekalian sakit atau dalam perjalanan, atau sehabis buang air
besar, atau bercampur dengan perempuan (isteri), kemudian kamu tidak
mendapatkan air (untuk bersuci), maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(suci). Sapulah muka dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi
Maha Pengampun. (QS al-Maidah/5: 6).
1) Sebab dilakukan tayamum
Adapun sebab-sebab disyariatkannya tayamum adalah:
a) Tidak ada air sama sekali atau ada air tetapi tidak cukup untuk dipakai bersuci,
berdasarkan hadis Imran bin Husein ra katanya:
فقال ما مينعك َي فالن ان، ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم رأى رجال معتزال مل يصل مع القوم
فقال عليك َبلصعيد فانه يكفيك.تصلى ىف القوم؟ فقال َي رسول هللا اصابتىن جنابة وال ماء
Bahwa Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki yang memencil dan tidak
salat bersama kaumnya. Rasul kemudian bertanya, “Kenapa Anda tidak salat?”
Ujarnya, “Saya dalam keadaan junub, sedang tidak ada air.” Maka Nabi
bersabda, “Pergunakanlah tanah, demikian itu cukup bagi Anda.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
b) Jika seseorang mempunyai luka atau ditimpa sakit dan ia khawatir dengan mema-
kai air itu penyakitnya jadi bertambah atau lama sembuhnya, baik hal itu diketa-
huinya sebagai hasil pengalaman atau atas nasihat dokter yang dapat dipercaya
berdasarkan hadis Jabir r.a katanya:
Suatu ketika kami pergi untuk perjalanan. Kebetulan salah seorang di antara
kami ditimpa sebuah batu yang melukai kepalanya. Kemudian orang itu
bermimpi, lalu menanyakan kepada teman-temannya: “Menurut tuan-tuan,
dapatkah saya ini keringanan untuk bertayamum?” ujar mereka: “Tak ada bagi
Anda keringanan, karena anda bisa mendapatkan air.” Maka orang itupun
mandilah dan kebetulan meninggal dunia. Kemudian setelah kami berada di
hadapan Rasulullah saw. kami sampaikan peristiwa itu kepadanya. Maka
ujarnya, “Mereka telah membunuh orang itu, tentu mereka dibunuh pula oleh
Allah! Kenapa mereka tidak bertanya jika tidak tahu? Obat bodoh tidak lain
hanyalah dengan bertanya! Cukuplah bila orang itu bertayamum dan menge-
ringkan lukanya, atau membalut lukanya dengan kain lalu menyapu bagian
atasnya, kemudian membasuh seluruh tubuhnya.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah
dan Daruquthni serta dishahihkan oleh Ibnu Sikkin).
c) Jika air terlalu dingin dan keras dugaannya akan timbul bahaya disebabkan
menggunakannya, dengan syarat ia tak sanggup memanaskan air tersebut, walau
hanya dengan jalan diupahkan. Atau jika seseorang tidak mudah masuk kamar
mandi, berdasarkan hadis Amar bin ‘Ash bahwa tatkala ia dikirim dalam
pertempuran berantai, ia berkata, “Pada waktu malam yang amat dingin saya
bermimpi. Saya khawatir akan mati jika saya terus juga mandi, maka sayapun
bertayamum lalu salat Subuh bersama para sahabat lainnya.” Kemudian tatkala
kami telah pulang kepada Rasulullah saw. hal itupun mereka sampaikan
kepadanya. Maka Rasulullah saw. bersabda:
20
َي عمرو صليت َبصحابك وانت جنب؟ فقلت ذكرت قول هللا عز وجل ) وال تقتلوا انفسكم ان هللا
فضحك رسول هللا ومل يقل شيئا) رواه امحد وابو داود واَلاكم.كان بكم رحيما( فتيممت مث صليت
(والدارقطىن وابن ماجه وابن حبان وعلقه البخارى
“Hai Amar! Betulkah anda melakukan salat bersama para sahabat padahal
ketika itu Anda dalam keadaan junub?” Jawabku, “Aku teringat akan firman
Allah Azza wa Jalla, “Janganlah kamu sekali membunuh dirimu! Sungguh
Allah maha penyayang terhadap kamu sekalian (al-Nisa/4: 29). Maka akupun
bertayamum lalu salat.” Rasulullah hanya tertawa dan tidak mengatakan apa-
apa." (HR. Ahmad, Abu Daud, Hakim, Daruquthni, dan Ibnu Hibban,
sementara Bukhari mengatakan hadis ini muallaq).
d) Apabila air yang tersedia hanya sedikit sekali dan diperlukan di waktu sekarang
atau masa depan yang dekat untuk minumnya atau minum orang lain, atau
binatang (walaupun seekor anjing) atau untuk memasak makanannya, atau
mencucui pakaian salatnya yang terkena najis.
2) Rukun-Rukun Tayamum
a) Niat
b) Debu yang suci, menurut pendapat empat mazhab yang diuraikan oleh al-Jaziri.
Menurutu ulama Syafi’iyah yang dimaksud al-sha’id al-thahur adalah debu yang
memiliki ghibar (ngebul). Menurut ulama Hanabilah, sha’id adalah jenis debu
yang suci. Menurut ulama Hanafiyah, segala macam yang termasuk dari jenis
bumi, seperti pasir, batu, kerikil dan lain sebagainya. Sedangkan menurut ulama
Malikiyah adalah segala yang ada di atas bumi.
c) Menyapu seluruh wajah
d) Menyapu kedua tangan sampai siku. Menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah
wajib menyapu tangan hanya sampai pergelangan. Adapun sampai ke dua siku
adalah sunah.
3) Kaifiyat Tayamum
Menurut Sayid Sabiq, hendaklah orang yang bertayamum berniat lebih dahulu,
kemudian membaca basmalah dan memukulkan kedua telapak tangan ke tanah yang
suci, lalu menyapukannya ke muka Begitupun kedua belah tangannya sampai
pergelangan tangan. Mengenai hal ini tak ada keterangan yang lebih sah dan lebih
tegas dari hadis Umar r.a. katanya, “Aku junub dan tidak mendapatkan air, maka aku
bergelimang dengan tanah lalu salat, kemudian kuceritakan hal itu kepada Nabi saw.,
maka beliau bersabda, “Cukup bila Anda lakukan seperti ini, dipukulkannya kedua
telapak tangannya ke tanah, lalu dihembusnya dan kemudian disapukannya ke muka
dan kedua telapak tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim).
Menurut Sayid Sabiq bahwa tayamum sama dengan wudu, tidak disyaratkan
masuknya waktu, serta bagi orang yang telah bertayamum dibolehkan melakukan
beberapa salat baik fardu maupun sunah sebanyak yang dikehendaki. Hal ini
didasarkan dari Abu Dzar r.a.:
21
“Bahwa Nabi saw. bersabda, “Tanah itu mensucikan orang Islam, walau ia
tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun. Maka seandainya ia telah mendapatkan
air, hendaklah dibasuhkannya ke kulitnya karena demikian lebih baik.” (HR. Ahmad
dan Turmudzi yang menyatakannya shahih).
Tayamum menjadi batal oleh sesuatu yang membatalkan wudu. Begitupun ia
batal disebabkan adanya air. Tetapi, bila seseorang melakukan salat dengan tayamum
kemudia ia menemukan air, maka ia tidak wajib mengulang salatnya walaupun
waktu salat masih ada. Hal ini didasarkan pada hadis dari Abu Said al-Khudri r.a.
berkata, “Dua orang laki-laki pergi melakukan suatu perjalanan. Maka datanglah
waktu salat sedang mereka tidak membawa air, maka mereka bertayamum dengan
tanah yang baik kemudiann mengerjakan salat. Kemudian tidak lama, mereka mene-
mukan air. Maka yang seorang mengulangi wudu dan sembahyang, sedang yang
seorang lagi tidak mengulangnya. Lalu mereka datang kepada Nabi saw. dan mence-
ritakan peristiwa itu. Nabi saw. pun bersabda kepada orang yang tidak mengulang:
“Anda telah berbuat sesuai dengan sunah, dan salat Anda telah terpenuhi”. Ia
bersabda pula kepada orang yang mengulang wudu dan salatnya, “Anda mendapat
ganjaran dua kali lipat.” (HR. Abu Daud dan Nasai).
Tetapi bila menemukan air itu, atau dapat menggunakannya setelah mulai salat
tapi belum selesai, maka tayamum jadi batal dan ia harus mengulangi bersuci dengan
memakai air. Seandainya orang junub atau perempuan haid bertayamum kemudian
salat, tidaklah wajib ia mengulangnya. Hanya ia wajib mandi bila telah dapat
menemukan air.
4) Mengusap di atas Pembalut (Perban atau Plaster)
a) Seorang penderita luka yang khawatir jika menggunakan air dalam wudu atau
mandi akan menambah parah lukanya itu atau memperlambat kesembuhannya,
dibolehkan mengusap (dengan tangan yang basah) anggota tubuhnya yang terluka.
Apabila hal itu membahayakan, hendaknya ia menutup luka itu dengan perban
atau pembalut lain. Sebagai pengganti bagian tubuhnya yang tertutup pembalut
dan tidak terkena air, hendaklah ia bertayamum. Boleh juga ia mendahulukan
tayamumnya sebelum wudu atau mandi.
b) Cara bersuci di atas pembalut seperti ini menjadi batal, apabila ia dibuka atau luka
itu telah sembuh. Segera setelah sembuh, pembalut harus dibuka dan sejak itu
harus bersuci kembali secara sempurna.
c) Apabila yang dibalutkan itu sekitar anggota wudu, maka dibolehkan mengusapkan
di atas pembalutnya itu dengan air, sekalipun tidak terkena anggota wudu, tetapi
salatnya harus diulangi. Jika sebelum dibalutkan ia dalam keadaan tidak berwudu.
Tetapi jika sebelum dibalutkan dalam keadaan berwudu, maka salatnya tidak
harus diulang.