Karya:
Al-Haafidz Syihaabu Ad-Diin Abul-Fadhl
Ahmad Bin Ali Bin Hajar Al-Asqolaany رحمه ﷲ
Bersama:
Ustadzah Ummu Dihyah حفظها ﷲ
Pelajaran Pertama
Kitab Bulughul Maram Min Adillati
Al-Ahkam karya Al Haafid Syihabu Ad-Din
Abulfadhl Ahmad bin Ali bin Hajar
Al-Asqolaany.
Masyhur dengan nama Al-Imam Ibnu
Hajar Al-Asqolaany. Yang wafat pada
tahun 852 H.
الميَاة
ِ ابُ َب
Fawaaid hadits:
1. Hadits ini adalah hadits yang shohih, dishahihkan oleh sejumlah imam besar
seperti Al Imam Al Bukhari, juga dishahihkan oleh Al-Albani. Merupakan
salah satu Hadits yang tegas menyebutkan kesucian air laut dan halal
bangkainya.
2. Dalam hadits ini dipahami bahwasanya air laut itu suci, yaitu bisa diminum
dan mensucikan, yaitu bisa dipakai berwudhu mandi wajib dan
menghilangkan najis.
3. Semua bangkai hewan laut halal, sehingga hewan darat yang mati di laut
tidak halal bangkainya.
Dan tidak menjadi permasalahan apakah bangkai tersebut mati dengan
sendirinya ataukah dibunuh dan diburu. Baik matinya nya ketika di laut
maupun di darat. Semua hukumnya halal seluruhnya. Selama masih hewan
laut.
Sebelum Kita lanjudkan fawaid² yang berkaitan dengan hadits abu Hurairah
Radhiyallahu 'Anhu tentang laut, kita terlebih dahulu mengetahui kelengkapan
riwayat hadist tersebut.
،يا رسول ﷲ
ْ ُ ﱠ َ ٌ ْ
ِ إن ت ََوضﱠأنَا به َعظ ْشنَا أ َفنَت َوضﱠأ بِ َم
اء البَحْ ِر ِ َو نَحْ ِم ُل َم َعنَا قَ ِل ْيﻼ ِمنَ ال َم،اِنﱠا ن َْر َكبُ ْالبَحْ َر
ْ َ ف،اء ْ ً
".....bangkainya halal...."
"Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut
Dari pendapat² diatas, pendapat yang dikuatkan oleh jumhur ulama, yaitu
pendapat yang menghalalkan secara mutlak dengan keumuman hadits Abu
Hurairah dan firman Allah ta'ala di surat Al Maidah : 96.
Hadats : sifat maknawi yang ada pada badan, penghalang shalat dan
ibadah semisal yang mempersyaratkan thaharah (mis. baca
Qur'an,tawaf dengan sebagian pendapat)
Jawab:
wudhu kita tidak batal,karena najis (berupa air kencing) itu tidak termasuk dari
pembatal-pembatal wudhu dan cara membersihkannya cukup degan mencuci
bagian yang terkena najis degan air agar najis tersebut hilang.
3. Apabila kita sholat kemudian kita kentut apakah sholat kita batal dan perlukah
kita berwudhu kembali?
jawab :
batal wudhu & sholat kita,karen hadats (kentut) termasuk salah satu dari
pembatal-pembatal wudhu dan wajib bagi kita untuk berwudhu' kembali dan
mengulangi sholat.
Jawab:
Keputihan tidak termasuk najis karna tidak adanya dalil yang menyebutkan hal
tersebut.
Dan ahsannya sebelum berwudhu dibersihkan dulu kemaluan dan mengganti
celana yang terkena cairan keputihan tersebut.
Tapi perlu diperhatikan apabila kita lupa menggantinya maka wudhu dan
5. Bagaimana cara membedakan darah haid dan darah istihadah, dan bagaimana
cara mensucikannya?
Jawab:
Cara membedakan yaitu:
darah haid berwarna hitam,kental,memiliki bau yang tidak sedap dan darah haid
putus sendiri ketika masa siklus selesai. Sedangkan darah istihadah mengalir
diluar waktu haid dan nifas dengan sangat deras dari urat yang disebut
dengan al'aadzil,berwarna merah,tidak berbau dan tidak kental.
Dan cara mensucikannya yaitu nencuci kemaluannya untuk menghilangkan darah
yang keluar setiap kali mau shalat,ia letakkan pada lubang kemaluannya kapas
atau semisalnya untuk menahan darah yang keluar dan ia tekan untuk
menahannya supaya tidak jatuh,lalu berwudhu untuk setiap kali masuk waktu
shalat.
Perempuan yang sedang berdarah penyakit (istihadah) itu tetap wajib shalat.
6. Siapa sajakah yang termasuk dalam 4 Imam yang disebutkan pada hadits
pertama??
Jawab:
Hadits yang diriiwayatkan/dikeluarkan oleh empat imam, yaitu:
1) Al-Imam Abu Daud (hadits tersebut ada dalam kitabnya Sunan Abu Daud)
2) Al-Imam At Tirmidzi (tersebut dalam kitabnya Al-Jaami'u Al-Kabiir)
3) Al-Imam An Nasaai (tersebut dalam kitabnya As-Sunan As-Shughra)
4) Al-Imam Ibnu Maajah (tersebut dalam kitabnya Sunan Ibnu Maajah)
Sebagai tambahan:
Jika dijumpai istilah Tiga Imam, maka mereka adalah Abu Daud, At Tirmidzi
dan An Nasaai.
Jika dijumpai istilah dikeluarkan Lima imam
Maka yang dimaksud adalah : Abu daud, At TirmidI, An Nasaai, Ibnu
Maajah,
7. Apakah harus membaca bismillah ketika kita ingin membunuh hewan laut untuk
dimakan?
Jawab:
hewan laut jenis ikan telah lewat penjelasan kehalalannya walaupun mati dengan
kondisi apapun. Tapi selain ikan ada jenis hewan laut yang juga bisa hidup di
darat seperti penyu, anjing laut, dan semisalnya.
pendapat jumhur (Kebanyakan) ulama berpendapat hewan jenis ini hukumnya
halal dimakan walaupun tanpa disembelih.
Dan ada pendapat dari madzhab Hanabilah menyebutkan hewan laut jenis ini,
selain kepiting tidak halal kecuali dengan disembelih. Dan sembelihan tentunya
harus Baca Basmalah.
Jawab:
Boleh makan ikan dan binatang air lainya tanpa di sentuh api terlebih dahulu.
Karena keumuman dalil2 halalnya hewan laut secara mutlak, tanpa perincian.
dan jika dijumpai jenis ikan atau hewan air yang beracun dan membahayakan
tubuh. Maka dimasak terlebih dahulu, jika racun atau marabahayanya terangkat
Sehingga termasuk bangkai ikan yang terlalu lama yang sudah mengandung zat
zat berbahaya bagi tubuh, akan menjadi haram memakannya karena
memudharatkan dan membinasakan diri diharamakaan di dalam Islam.
II. Hadits ke 2
Dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda: “Sesungguhnya air itu suci tidak ada sesuatupun yang dapat
menajiskannya”
III. Hadits ke 3
إذَا َكانَ ْال َما ُء قُلﱠتَي ِْن لَ ْم يَحْ ِم ْل: سلﱠ َم
َ صلﱠى ﱠ ُ َعلَ ْي ِه َو َ ِ سو ُل ﱠ ُ قَا َل َر: ي ﱠ ُ َع ْن ُه َما قَا َل
َ ض ِ ع َم َر َرُ َو َع ْن َع ْب ِد ﱠ ِ ب ِْن
ْ َ ُ َ ْ
َ س أ ْخ َر َجهُ اﻷ ْربَعَة َو
َص ﱠح َحهُ ا ْبنُ ُخزَ ْي َمة َوال َحا ِك ُم َوا ْبنُ ِحبﱠان َ َ َْال َخب
ْ ث َوفِي لَ ْفظٍ لَ ْم يَ ْن ُج
Dari Abdullah Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa
Sallam bersabda: “Jika banyaknya air telah mencapai dua kullah maka ia tidak
mengandung kotoran.” Dalam suatu lafadz hadits: “Tidak najis”.
Dikeluarkan oleh Imam empat dan dishahihkan Ibnu khuzaimah dan Ibnu hibbaan.
Hadits ABu Sa'id Al Khudri adalah hadits yang shohih, masyhur dengan
hadits *(*بئر بضاعةsumur bidho'ah) sumur yang terletak didaratan rendah
negeri madinah,jika datang hujan,banjir dan angin menyebabkan
sampah,pembalut haid dan bangkai anjing masuk kedalam sumur tersebut.
Sehingga para sahabat bertanya kepada Rosululloh shalallohu 'alaihi
wasallam apakah boleh berwudhu dengan air sumur tersebut?
Maka Nabi shalallohu 'alaihi wasallam menjawab dengan penggalan hadits
Abu Sa'id al khudri Radhiyallohu'anhu diatas.
Adapun hadits Abu umamah Al-Bahily tambahan lafadz
“ط ْع ِم ِه َولَ ْونِه َ َإِﻻﱠ َما َغل.”
َ ب َعلَى ِري ِْح ِه َو
Adalah hadits dho'if(hadits lemah)didho'ifkan oleh sejumlah ulama hadits
diantaranya asy syaikh Al-Albani.
Akan tetapi secara pengamalan tetap diamalkan oleh para ulama bahwa
"tidak ada yang menyebabkan najis pada air kecuali telah berubah bau,rasa
atau warnanya"
Dengan dalil ijma'(kesepakatan ulama) tidak berdalilkan dengan hadits Abu
umamah diatas.
Hadits Abdulloh ibnu umar rodhiyallohu'anhu adalah hadits yang
diperselisihkan keshahihannya dan yang rojih adalah shohih. Telah
dishohihkan Al Albaany. hadits ini dinamakan Hadits Qullatain. (Hadits dua
Fiqih Hadits:
Hukum asal air adalah suci dan mensucikan berdasarkan keumumam hadits Abu
Sa'id Al khudri Radhiallohu 'anhu diatas.
Syaikh 'Ubaid Al Jaabiry menyimpulkan fikih hadits ketiga dan ke empat diatas
sebagai berikut:
1. Ulama bersepakat tentang air yang berubah salah satu sifatnya (warna atau
bau atau rasanya) disebabkan masuknya benda najis, maka air tersebut
najis (yaitu tidak suci dan mensucikan lagi) baik air sedikit maupun banyak.
2. Ulama bersepakat tentang air diatas 2 qullah tidak ada yang
menyebabkannya najis kecuali apabila benda najis telah merubah rasa air,
atau warnanya atau baunya.
3. Ulama bersepakat tentang air dibawah 2 qullah akan dihukumi najis
apabila benda najis merubah salah satu sifat dari tiga sifatnya.
Jadi, Perselisihan para ulama terjadi dalam menghukumi air yang dibawah dua
qullah jika terkena najis (benda najisnya tidak merubah sifat air)
Ada 2 pendapat. Apakah menghukumi najis dengan berpatokan perubahan
warna,rasa atau bau air.
Ataukah langsung dihukumi najis tanpa melihat perubahan sifatnya?
(Berdasarkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu diatas. Sebagian ulama
memahami lafadz "jika air telah mencapai dua kullah maka ia tidak mengandung
kotoran" maka "apabila air dibawah dua kullah akan mengandung kotoran (najis)
dengan sekedar masuknya benda najis walaupun tidak merubah sifat airnya.")
Pendapat yang benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang tetap
berpatokan pada perubahan sifat air.
(Ta'liqaat Al kiraam)
Faidah:
Air "Al Aajin" adalah air yang telah berubah dengan sendirinya karena lama
tersimpan disebuah tempat, perubahannya bukan karena kemasukan benda lain.
Maka air jenis ini masih boleh dipakai berwudhu. Berdasarkan pendapat jumhur
(kebanyakan) ulama.
(Al mughny Libni Qudaamah)
1. Dari pembahasan hadits 2,3 dan 4, maka dapat disimpulkan bahwasanya ada
berapa pembagian air?
Jawab:
Masalah pembagian air, dijumpai di kitab2 fiqih para ulama Ada yang
menyebutkan :
Adapun sebagian ulama fikih yang lainnya membagi air menjadi 3,yaitu:
1) Air thohuur ""طهور
(air yang suci lagi mensucikan yaitu air muthlaq )
2) Air thohir ""طاهر
(air yang suci tapi tidak mensucikan yang lain yaitu air yang berubah
sifatnya krena di dominasi benda suci lain)
3) Air najis ""نجس
(air yang tidak suci dan tidak mensucikan krena kemasukan najis dan
merubah salah satu sifatnya.)
pendapat ini yang dikuatkan oleh asy Syaikh Shalih Alus-syaikh dalam syarah
bulughul maram beliau.
2. Bagaimana hukumnya bagi keadaan org yang musafir misalnya, pergi kesuatu
tempat dipedalaman, kmdian tiba waktu sholat isya dan tidak ditemukan air
kecuali air yang brada dirumah kosong didalam jerigen dan sdh lama sekali,
airnya tetap bening namun baunya sdh bercampur dengan bau lumut
(dsebagai berikutkan waktu yang lama).
Bagaimana mnjelaskan keadaan yang demikian?
Jawab:
InsyaAlloh air didalam jerigen tersebut sah dipergunaakan untuk thaharah
karena kondisinya yang msih suci walaupun telah brubah baunya, karena tidak
tercampur oleh benda najis.
Dan air seperti ini dikatakan air Al aajin.
Sebagaimn yang telah dijelaskan.
3. Kalau seandainya terdapat sebuah danau dimana rasa dan baunya sedikit
tercemar dengan bangkai ikan yang tiba-tiba mati massal (mungkin disebabkan
kejadian alam semisal naik gas belerang), apakah boleh seseorg berwudhu
dengan air danau tersebut?
Jawab:
Asalnya air danau tersebut sah dipergunakan untuk berwudhu, karena bangkai
ikan halal hukumnya, namun apabila perubahan yang terjdi tersebut sangat
pekat baik bau ataupun rasanya sehingga apabila kita gunakan untuk
wudhu/mandi wajib bau tersebut menempel maka ahsannya tidak dipergunakan
untuk berwudhu dan mandi wajib.
Dari Abu Hurairah رضي ﷲ عنه, ia berkata: Rosululloh صلى ﷲ عليه وسلمbersabda:
"Janganlah salah seorang di antara kalian mandi dalam air yang tergenang dalam
keadaan ia junub ". (Riwayat Muslim)
Dalam riwayat Al Bukhari: "Janganlah salah seorang diantara kalian kencing pada
air tergenang yang tidak mengalir kemudian mandi di dalamnya."
Sedangkan riwayat Abu Dawud: "Dan tidak boleh mandi janabah di dalamnya."
Fawaid
Khilaf ulama:
Apakah larangan-larangan ini makruh atau haram?
Disebutkan dalam kitab ((Tawdhih Al Ahkaam karya Asy Syaikh Abdullah
Albassam))
Al-Maalikiyah berpendapat makruh.
Al Hanabilah dan Adz Dzhohiriyah (yang berpegang dengan dhohir hadits)
berpendapat haram.
Sebagian ulama lainnya berpendapat haram jika airnya sedikit dan makruh
jika airnya banyak.
TANBIH
Dikhususkan dalam pembahasan ini. Air yang tergenang dan luas seperti laut.
tidak termasuk dalam larangan. Berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama.
Jawab:
Kesimpulan hukumnya sama dengan hukum kencing di air tergenang. Bahkan
para ulama menilai lebih terlarang lagi, dipahami dari hadits-hadits yang sudah
disebutkan diatas.
Sehingga maksud pertanyaan nomor 1 adalah jangan sampai ada yang pahami
larangan dalam hadits hanya kencing, buang air besar tidak.
Jawab:
Jawabannya ada dua kondisi :
1) Kalau sekedar ceburkan diri tidak didahului kencing/BAB di air tergenang
tersebut maka mandi wajibnya sah dan ini pendapat yang mendekati dalil.
Tapi ingat, perbuatannya ada dosanya Karena melanggar larangan Nabi.
2) Adapun jika buang air terlebih dahulu kemudian mandi wajib di air tergenang
tersebut, maka sah/tidak sahnya, kembali kepada perubahan sifat air
tersebut.
Kalau airnya telah berubah sifatnya menjadi air najis maka sepakat mandinya
tidak sah. Tidak ada pembahasan air kurang 2 qullah atau lebih. Karena air
najis tidak bisa dipakai thaharah.
Tapi jika airnya tidak ada perubahan pada salah satu dari tiga sifatnya, maka
pendapat yang mendekati dalil adalah pendapat mandi wajibnya sah
dengan air tersebut. Tapi Dosa tetap ada Karena melanggar Hadits.
سو ُل ﱠ ِ – صلى ﷲ عليه وسلم – أَ ْن تَ ْغت َ ِس َل ُ نَ َهى َر:ي – صلى ﷲ عليه وسلم – قَا َل ص ِحب ال ﱠنبِ ﱠ
َ َو َع ْن َر ُج ٍل
ص ِحي ٌح َ ُ َوإِ ْسنَا ُده,ي ﱠ َ ْ َ َ ْ ْ َ ْ
َ َوالن. أخ َر َجهُ أبُو َد ُاو َد. َوليَغت َِرفا َج ِميعًا,ِض ِل ال َم ْرأة
سائِ ﱡ َ
ْ الر ُج ُل بِف َ
أ ْو ﱠ,الر ُج ِل ْ َْال َم ْرأَة ُ بِف
ض ِل ﱠ
Dari seorang lelaki yang bersahabat dengan Rasulullah shalallahu 'alahi wasallam
berkata: “Rasulullah melarang seorang wanita mandi menggunakan sisa air lelaki,
atau lelaki menggunakan sisa air wanita. Hendaklah keduanya menciduk bersama.”
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasaai, dan sanadnya shohih.
1. Bagaimana hukumnya kalau mandi junubnya di satu bak kamar mandi? Apakah ini
makruh?
Bak mandinya ukuran1x1m berarti air sisanya lumayan banyak, apakah harus
dibuang?
Jawab:
Yang dipahami dari hadits berdasarkan keterangan-keterangan yang ada
adalah sisa air dibejana yang menampung air sekiranya cukup untuk mandi saja.
Bagaimana dengan bak kecil yang tampungannya juga sedikit? Kalau Berbicara
hukum makruh dengan pendapat jumhur, maka bisa jadi seperti itu hukumnya.
Tapi di akhir faidah kita sebutkan pendapat Ibnu Utsaimin "larangan hadits ini
bersifat adab" , maksudnya larangan ini tiada hukum makruh. Hanya adab saja.
Dan pendapat ini cenderung yang kami kuatkan.
Sehingga maksudnya adalah larangan2 dalam hadits hanya seputar Adab saja.
Kalaupun berbicara hukum makruh, sisa air dibejana tidak bisa dibuang begitu
saja. Karena mubazir (buang-buang air tanpa hajat) juga perbuatan yang tidak
diperbolehkan dalam syariat.
Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam
bersabda: “Sucinya bejana seorang diantara kalian jika dijilat anjing, ialah dengan
dicuci tujuh kali, yang pertamanya dengan tanah.” Dikeluarkan oleh Muslim. Dalam
riwayat lain disebutkan: “Hendaklah ia membuang air itu.” Menurut riwayat Tirmidzi:
“Yang terakhir atau yang pertama ( dengan tanah)”.
1. Dalam riwayat lain disebutkan dengan lafadz "jika Anjing minum di bejana
salah seorang diantara kalian".
Dipahami dari hadits jika anjing mengerak gerakkan lidahnya dalam bejana
ataukah sekedar mengeluarkan ujung lidahnya untuk minum sisa air dalam
bejana, maka wajib bejana dicuci tujuh kali yang pertamanya dengan tanah.
2. Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan Lafadz "yang pertamanya dengan tanah"
ada 3 cara :
a) Cuci dengan air terlebih dahulu kemudian ditaburkan (digosokkan) tanah
diatasnya.
b) Taburkan (gosokkan) tanah pada bejana kemudian siramakaan air.
c) Mencampurkan tanah dan air.
Almuhim cucian pertama, disertakan tanah padanya.
3. Lafadz "hendaklah ia membuang air itu" yakni jika masih ada sisa air yang
diminum anjing di bejana atau wadah tersebut.
Dan dipahami dari lafadz "( "إناءbejana/wadah) adalah sesuatu tempat yang
kecil sehingga tentunya sisa airnya sedikit. Baik air itu berubah sifat
ataukah tidak.
4. Lafadz riwayat Tirmidzi "yang terakhir atau pertama (dengan tanah)" ini
bukan pilihan, tapi keragu-raguan dari periwayat haditsnya.
Sehingga yang Afdhal adalah cuci dengan tanah pada pencucian pertama.
Yaitu hadits riwayat imam Muslim dari sahabat Abdullah bin Mughaffal
dengan lafadz "jika anjing menjilat di dalam bejana maka cucilah 7 kali dan
lumurilah pada cucian ke-8 dengan tanah"
5. Air yang sedikit di sebuah bejana jika dijilati anjing langsung dihukumi najis
tanpa berpatokan pada perubahan sifat air tersebut.
6. Jika anjing menjilati selain bejana seperti menjilati pakaian atau anggota
badan maka dicuci 7 kali yang pertamanya dengan tanah seperti halnya
bejana.
7. Najis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
najis berat yaitu najisnya anjing
najis ringan yaitu dua jenis,
pertama : Kencing bayi laki2 yang belum memakan makanan selain ASI.
Kedua : madzi.
Karena membersihkannya cukup dipercikkan air pada sesuatu yang
terkena najis ringan tersebut.
najis sedang yaitu selain (dua) jenis najis diatas.
Termasuk diantaranya najis babi.
8. Anjing haram dimakan, karena "semua yang najis itu haram, dan tidak semua
yang haram itu najis"
Dan satu permasalahan yang sering dipertanyakan seputar hadits ini adalah:
Bagaimana kalau yang menjilati bejana lebih dari satu ekor anjing, berapa kali
pencucian ?
Jawab:
Tercukupi dicuci 7 kali pertamanya dengan tanah. Tanpa mengulangi dengan
hitungan per ekornya. Pendapat ini yang shohih dari kalangan Al malikiyah,
Syafi'iyah dan Hanabilah karena sebabnya satu, yaitu adanya liur anjing dibejana
tersebut.
Jawab:
Dari hadits diatas difahami bahwasanya tidak ada batasan tanah yang harus
dipergunakan untuk membersihkan bejana.
Jadi tanah yang digunakan diperkirakan saja secukupnya.
3. Bagaimana kalau memakan masakan dimana masakan itu dimasak di bejana yang
telah digunakan memasak daging anjing/Babi/tikus Dan bejana tersebut tidak
dicuci dengann tanah tapi dicuci menggunakan sabun. Apa yang harus kami
lakukan.
Jawab:
Hukum memasak di bejana bekas makanan haram, tidak mengapa selama bejana
tersebut sudah dicuci sampai bersih dan hilang bekasnya. Walaupun yang lebih
afdhol adlah mencari bejana lain selain bekas masakan yang haram tersebut.
Ada kejadian di zaman Nabi ﷺsahabat bertanya tentang bejana orang kafir
bekas masakan babi, maka Nabi ﷺmengatakan : "jika kalian memiliki bejana lain
jangan makan dengan bejana mereka, namun apabila tidak ada bejana lain maka
cucilah dan makan dengan bejana tersebut. (Mutafaqun 'alaih)
Jadi ada perintah untuk mencuci bejana sampai bersih. Tidak menyebutkan
sampai tujuh kali.
Apakah termasuk juga bekas daging anjing? na'am dengan pendapat yang
najis dicuci 7 kali sebatas liur anjing.
Wallahu a'lam
4. Kalau kita mau mengambil air di sungai atau di kali tetapi sebelumnya ada anjing
yang minun di sungai atau di kali tersebut.Bagaimana hukumnya?
Jawab:
Air sungai atau kali yang dijilati anjing tidak dipermasalahkan oleh para ulama
karena hadits diatas jelas lafadznya "jika anjing minum/menjilat di bejana"
Sehingga dipahami jika air yang banyak tidak ada masalah. Kecuali ada
perubahan bau, warna atau rasa air setelah dijilati anjing maka dihukumi najis.
Wallahu a'lam
Jawab:
Masalah ini
Haditsnya jelas : Rasulullah ﷺbersabda:
“Kencing bayi perempuan itu dicuci, dan bayi laki-laki diperciki.” (riwayat Abu
Daud)
6. Semua yang najis itu haram dan tidak semua yang haram itu najis, apakah
contoh yang haram tapi tidak najis?
Jawab:
Contohnya:
a) Keledai piaraan (jinak) haram dimakan tapi bukan najis.
b) Makanannya kotoran (Hewan jalalah).
Contohnya ikan lele hukum asal halal,tapi ada sebagian yang lele tersebut
makanannya dari kotoran manusia,binatang ternak maka harom hukumnya
tapi lele itu sendiri tidak najis.
c) Khamr (minuman yang memabukkan) huk.harom namun sebagian ulama
berpendapat bukan najis.
Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺbersabda tentang kucing:
“Sesungguhnya ia tidaklah najis, karena ia termasuk binatang yang berkeliaran di
sekitar kalian”. Diriwayatkan oleh empat imam dan dishahihkan oleh Tirmidzi dan
Ibnu Khuzaimah.
(Penjelasan dan Fawaid dibawah ini Dirangkum dari Kalam asy-syaikh Ibnu 'Utsaimin
dari kitab Syarah bulughul maram beliau)
Fawaid Hadits
1. Diambil pelajaran dari hadits diatas Apabila seseorang melihat orang lain
merasa heran terhadap sesuatu maka hendaklah ia menghilangkan
keheranannya itu, dalilnya sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Qatadah
Di ikutkan dalam kaidah ini misalnya tikus, tidak najis karena hewan yang
berkeliaran di sekitar kita.
Bukankah Nabi ﷺbersabda tentang tikus mati di minyak samin "buanglah dia
dan apa yang disekitarnya" ?
Jika ada yang bertanya bagaimana dengan anjing peliharaan, atau anjing
penjaga yang berkeliaran disekitar kita, terkadang juga susah menghindar
dari (jilatan) anjing tersebut.
Maka kita katakan anjing tidak termasuk dalam kaidah ini karena anjing
memiliki Nash hadits yang jelas bahwa najisnya mughaladzoh.
Dari Anas bin Malik Radhiyallaahu ‘anhu berkata: “Seorang Arab Badui datang
kemudian kencing di sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi ﷺ
melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi ﷺmenyuruh untuk
diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” Muttafaqun
Alaihi.
((Dirangkum dari kitab Syarah bulughul maram Syaikh Ibnu Utsaimin ))رحمه اللـہ
1. Arab Badui adalah orang Arab yang tinggal di pedalaman, dan kebanyakan
dari mereka orang-orang jahil, dahulunya mereka kurang bergaul terlebih
khusus dari kalangan wanita,anak-anak dan orang tua.
2. Masjid yang dimaksud dalam hadits ini adalah masjid Nabi ﷺketika itu
sebagiannya beratap dan kebanyakannya bentangan kosong (tanah lapang)
hingga terkadang didirikan tenda di dalamnya. Orang tersebut masuk
masjid lalu kencing di salah satu sudutnya karena menganggap sama
dengan tanah kosong yang lain. Maka Para sahabat melihatnya sebagai
kemungkaran besar, dan itu kemungkaran yang nyata sehingga mereka
menghardiknya, mengapa ia melakukan kemungkaran ini?
Tetapi Nabi ﷺyang telah dikaruniai Rahmat dan hikmah melarang mereka
seraya bersabda: “Janganlah kalian memberhentikan
kencingnya”,biarkanlah dia kencing sampai selesai. Setelah orang itu
selesai dari kencingnya, Nabi ﷺmemanggilnya dan memerintahkan(Para
Sahabat) agar kencing itu disiram dengan setimba air untuk membersihkan
tempat tersebut.
Kemudian Nabi bersabda kepadanya, tanpa mencela dan tanpa bermuka
masam: “Sesungguhnya masjid ini tidak boleh dikencingi dan tidak boleh
dikotori”. Kemudian Nabi menjelaskan kepadanya kenapa masjid ini
dibangun: “Masjid dibangun hanya untuk mengingat Allah, shalat dan
Maksud ucapan Badui "jangan Engkau beri Rahmat kepada seorang pun"
yakni para sahabat, karena mereka telah menghardiknya.
Fawaid Hadits
1. Kebanyakan dari orang Arab Badui adalah jahil (bodoh). Karena itu
merupakan hajat besar untuk para penuntut ilmu (da'i) mendatangi
mereka, dalam rangka mengingatkan dan mengajari mereka terutama
para penuntut ilmu (da’i) yang sudah dikenal disisi mereka sehingga
mudah diterima ucapannya.
2. Haramnya kencing di dalam masjid, adapun Nabi ﷺmelarang sahabat
atas tindakan menghardiknya.
3. Wajibnya bersegera dalam mengingkari kemungkaran, karena para
sahabat segera mengingkari kemungkaran yang terjadi, kecuali jika lebih
bermaslahat kalau ditunda.
Orang Badui tersebut dibiarkan menyelesaikan kencing di masjid karena
hal itu lebih bermaslahat.
4. Seharusnya bagi orang yang ingin melarang suatu kemungkaran, dia
menjelaskan sebab kenapa dia melarang hal itu. KarenaNabi ﷺ
menjelaskan bahwa hal ini dilarang karena masjid adalah tempat yang
tidak diperbolehkan terdapat kotoran dan najis.
5. Sepantasnya bahkan wajib untuk setiap orang ketika menyikapi orang
lain sesuai dengan keadaannya.
Jika seandainya yang kencing di masjid adalah penduduk Madinah yang
telah mengetahui hukum-hukum syariat tentu Nabi ﷺakan menyikapinya
berbeda. Akan tetapi Nabi ﷺmenyikapi orang Badui ini demikian karena
kebanyakan dari mereka orang bodoh.
6. Baiknya penjagaan Nabi ﷺterhadap umat ini. karena Beliau melarang
para sahabat menghardik orang Badui tersebut, apabila orang Badui itu
bergerak pergi dari kencingnya pasti menimbulkan mudharat. Diantara
Apakah bisa diambil pelajaran dari hadits ini najisnya air kencing ??
Jawab: Ya.
Karena Rasulullah ﷺmemerintahkan untuk dibersihkannya tanah tersebut.
Fawaid Hadits
1. Bagaimana penjelasan scr ringkas, terkait hadits dhoif yang bisa dipakai
sebagai dasar hukum dg hadits dhoif yang tidak bisa dipakai sebagai dasar
hukum?
Karena ana kira, semua hadits doif itu tidak bisa dipakai sebagai dasar hukum.
Jawab:
Pada dasarnya hadits dhaif memang tidak bisa dijadikan sandaran hukum
kecuali jika dijumpai riwayat-riwayat lain yang menguatkan hadits dhaif
tersebut.
Penguat2 inilah dijumpai pada kitab-kitab ilmu musthalah hadits yang tidak
memungkinkan untuk disajikan satu-persatu pada tulisan ringkas seperti ini.
Diantara penguat hadits dhaif yang bisa kita petik dari hadits ke11 adalah
ucapan sahabat berkaitan dengan pensyariatan (penghalalan dan
pengharaman)
Karena secara otomatis ucapan sahabat ini dipahami tidaklah bersumber dari
hasil pikirannya semata, melainkan telah mendengarkan ini halal dan itu haram
dari ajaran/sabda Nabi ﷺ.
Jawab:
Apabila kita mendapatkan hadits-hadits yang telah diriwayatkan oleh Imam
Bukhari atau imam muslim dan hadits tersebut dimuat dalam kitab mreka yaitu
Shahih Bukhari dan Shahih muslim maka ulama menghukumi hadits tersebut
sebagai hadits Shahih karena tidaklah imam Bukhari dan imam muslim
memasukkan hadits-hadits dalam kitab mereka tersebut melainkan telah
diyakini keshohihannya.
Jadi hadits di atas Jika ditanya Siapa yang menshahihkan maka jelas yaitu Imam
Bukhari karena hadits di atas telah dimuat dalam kitabnya shahih Bukhari.
3. Disalah satu sayap lalat itu ada penyakit yakni penyakit fisik dan penyakit hati.
Penyakit fisik yang diakibatkan lalat conth-contohnya sperti apa?
Jawab:
Perlu dipahami kembali maksud ucapan Syeikh Ibnu utsaimin pada Faidah nomor
1 Beliau berkata diantara Faidah hadits ke 12 tentang lalat adalah penjelasan
syariat Islam (masalah penyakit) mencakup penyakit fisik dan penyakit hati.
Ucapan beliau ini bukan maksud menjelaskan "dampak penyakit pada lalat
yang bisa berupa penyakit fisik dan penyakit hati" tetapi maksud beliau adalah
sebelum menyampaikan faedah hadits lalat secara detail di sana ada Faidah
yang mulia yang tersirat dalam hadits ini yaitu syariat Islam ini sungguh
sempurna ajarannya, sehingga ajaran-ajarannya dijumpai
keterangan-keterangan baik masalah penyakit hati seperti Syirik ,bid'ah,
maksiat dan lain-lain. Begitu pula Islam menjelaskan masalah penyakit fisik
seperti pada hadits ke12 tentang lalat ini.
4. Pada point 4 (Fawaid Hadits) tertulis jika cicak tidak bisa disamakan dgn lalat.
pertanyaannya bagaimana hukum air dalam wadah/bak (untuk bersuci)
kemasukkan cicak dan kotorannya? apakah airnya tetap suci?
Jawab:
Sebagaimana hadits yang telah kita pelajari sebelumnya maka perhatikan 3
sifat air yaitu bau,rasa dan warnanya.
Apabila air kemasukan benda najis (cicak/kotorannya)maka lihat pada 3 sifat air
tersebut, apabila ada yang berubah salah satunya maka air tersebut dihukumi
najis,bila tidak ada yang berubah maka dihukumi suci air tersebut.
1. Lafadz Minuman dalam hadits ini bermakna umum sehingga meliputi semua
jenis minuman baik itu air, susu, kuah dll.
2. Ucapan Nabi " ﷺmencelupkannya", dipahami apabila yang dijatuhi lalat
adalah minuman yang cair, karena selain minuman cair (kental) tidak
memungkinkan untuk mencelupkan sesuatu didalamnya.
Misal minuman yang kental seperti madu tidak memungkinkan untuk
dicelupkan sesuatu padanya kecuali madu yang telah cair) baik dicampuri air
maupun susu.
3. Ucapan Nabi " ﷺKemudian membuangnya" yakni mengeluarkan lalat tersebut
dari minumannya, agar tidak ditelan bersama minuman.
4. Ucapan Nabi " ﷺKarena disalah satu sayapnya penyakit dan di sayap yang
lain ada obat" yaitu obat atau penawar dari penyakit yang di munculkan
pada salah satu sayapnya.
Dan lafadz obat pada hadits ini "umum", sehingga bisa juga dipahami
mencakup obat untuk penyakit lain.
Almuhim kita mengimani bahwa salah satu sayap lalat ada penyakit dan di
sayap yang lain ada kandungan obat,
dan ucapan Nabi ﷺmerupakan Wahyu dari Allah ﷻ.
Wallahu a'lam.
Diringkas dari Syarah bulughul maram karya Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah.
ٌِي َحيﱠةٌ – فَ ُه َو َميِّتَ ي ﷺ " َما قُ ِط َع ِم ْن ْالبَ ِهي َم ِة – َوه ّ ِ" َو َع ْن أَبِي َواقِ ٍد اللﱠ ْيث
قَا َل النﱠبِ ﱡ: قَا َل-رضي ﷲ عنه- ِ ي
ُ سنَهُ َواللﱠ ْف
ُظ لَه ي َو َح ﱠأ َ ْخ َر َجهُ أَبُو َد ُاود َوال ِت ّ ْر ِم ِذ ﱡ
Fawaid Hadits