Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya,
mau tidak mau” (al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, jilid 2, hal. 91)
“Tidaklah yang baik itu mendatangkan sesuatu kecuali yang baik pula” (HR al-Bukhari
dan Muslim).
Tak heran jika para ulama akhlak mempersyaratkan diterimanya suatu amal ditopang
dengan makanan yang halal.
Hal ini dianalogikan kepada hadits tentang sedekah, di mana sedekah tidak diterima
kecuali yang berasal dari usaha yang halal.
“ غلُو ٍل
ُ ص َدقَةً ِم ْن
َ ور َو َﻻ ُ ص َﻼة ً ِبغَي ِْر
ٍ ط ُه َ ار َك َوت َ َعالَى َﻻ َي ْق َب ُل َ ِإ ﱠن
َ ﷲ ت َ َب
Sesungguhnya tabaraka wata‘ala tidak menerima suatu shalat tanpa bersuci dan tidak
menerima sebuah sedekah yang berasal dari ghulul (khianat/curang).” (HR Abu
Dawud).
berdasarkan pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam kepada sahabat Sa‘d radliyallahu ‘anhu.
يؤتاه عاصﻲ
Aku mengeluhkan buruknya hapalanku kepada Imam Waki‘ Beliau
menyarankan kepadaku untuk meninggalkan maksiat Dan beliau berkata,
ketahuilah ilmu ialah cahaya Sedangkan cahaya Allah tak diberikan kepada
ahli maksiat Walau as-Syafi‘i tidak menyebutkan sulitnya menerima ilmu
akibat makan makanan yang tak halal, tetapi dapat dipahami bahwa makan
makanan tak halal itu termasuk perbuatan maksiat. (Lihat: Muhammad ibn
Khalifah, Thalibul ‘Ilmi bainal Amanah wat-Tahammul, [Kuwait: Gharas]: 2002,
Jilid 1, hal. 18).
Makanan tak halal, kemaksiatan, dan perbuatan dosa secara umum juga
berdampak pada malasnya beribadah, sebagaimana yang pernah dirasakan
oleh Imam Sufyan al-Tsauri, “Aku terhalang menunaikan qiyamullail selama
lima bulan karena satu dosa yang telah aku perbuat.” (Lihat: Abu Nu‘aim,
Hilyatul Auliya, [Beirut: Darl KItab], 1974, Jilid 7, hal. 17I).
Ancaman siksa neraka yang bersifat umum
akibat makanan tak halal juga disampaikan
Rasulullah shallallah ‘alaihi wasallam
“ ار أ َ ْولَى ِب ِه َما
ُ ت ﻓَالنﱠ ُ ُك ﱡل لَ ْح ٍم َو َد ٍم نَبَتَا ِم ْن
ٍ س ْح
Setiap daging dan darah yang tumbuh dari
perkara haram, maka neraka lebih utama
terhadap keduanya,” (HR Al-Thabrani).
untuk hewan yang haram, di samping disebutkan
oleh dalil nash seperti babi, ada juga yang
disebutkan indikasinya.
enam indikasi yang membuat suatu hewan haram
dimakan, yaitu
1. termasuk kategori kotor (khabits),
membahayakan (dhārrah),
2. hewan yang diperintahkan untuk dibunuh,
3. Hewan yang dilarang untuk dibunuh,
4. hewan buas yang bertaring,
5. Hewan berkuku tajam untuk memangsa,
6. hewan yang mayoritas makannya barang najis
dan kotor,
jika sudah terindentifikasi jenis hewannya
apakah masuk kategori boleh dimakan atau
disebut sebagai ma’kul al-lahm, maka harus
dipastikan persyaratan berikutnya, proses
penyembelihan dan pengolahannya
Kaidahnya, daging hewan yang halal dikonsumsi
itu belum boleh dikonsumsi selama belum ada
kejelasan tentang proses penyembelihan dan
pengolahannya. Dalam konteks bisnis produk
pangan, di sinilah urgensi pemeriksaan, auditing,
dan sertifikasi halal, guna memberikan jaminan
kepada konsumen akan kehalalan produk
Beberapa benda najis lain yang kita ketahui
antara lain adalah babi dan anjing, benda cair
yang memabukkan, tinja, air kencing, nanah,
darah dan muntahan. Status benda-benda najis
ini haram dikonsumsi.
Dalam suatu hadits yang diriwayatkan dalam Shahih Al-
Bukhari,
Rasulullah ditanya tentang adanya bangkai tikus yang
jatuh di permukaan mentega (sementara ulama
mengartikannya dengan lemak) yang padat. Nabi
menjawab, “Jika mentega itu padat, maka buanglah tikus
itu dan buang juga mentega di sekitar daerah yang
kejatuhan tikus itu. Jika mentega itu cair, maka jangan
digunakan.”
Bangkai tikus adalah najis. Permukaan mentega yang
terkena bangkai tersebut, adalah barang yang mutanajjis
(terkena najis). Dari situ diketahui bahwa benda padat
yang terpapar najis, selama masih bisa dihilangkan
wujudnya maka ia bisa dikonsumsi kembali. Namun jika ia
bercampur, maka bangkai itu menjadikan seluruh bagian
dari benda cair itu menjadi najis.
Ikan adalah jenis binatang halal, bahkan
bangkainya. Rasulullah SAW bersabda tentang laut.
ُور َما ُؤهُ ْال ِح ﱡل َم ْيتَتُه ُه َو ﱠArtinya, “Laut adalah suci
ُ الط ُه
menyucikan airnya. Halal bangkai binatangnya,” (HR
Abu Daud dan At-Tirmidzi dan disahihkan olehnya).
Meski bangkai ikan dihukumi suci dan halal,
menurut pendapat yang kuat dalam madzhab
Syafi’i, kotorannya tetap dihukumi najis.
Berkaitan dengan hukum mengonsumsi ikan yang ikut tertelan kotorannya,
ulama berbeda pendapat.
Menurut pendapat yang dikutip Imam Al-Qamuli dalam kitab Al-Jawahir dari
pendapat kalangan Syafi’i tidak diperbolehkan baik ikan besar maupun kecil.
Menurut Imam An-Nawawi dan Ar-Rafi’I, diperbolehkan untuk jenis ikan kecil,
sebab sulitnya membersihkan kotoran di dalamnya. Syekh Zainuddin Al-
Malibari dalam Fathul Mu’in menegaskan. ب َﻻ َي ُج ْو ُز أ َ ْك ُل ِ ص َحا َ َونَقَ َل ِﻓﻲ ْال َج َوا ِه ِر
ْ َ ع ِن ْاﻷ
ص ِغي ِْر ِه لَ ِك ْن َذ َك َر َ ظا ِه ُرهُ َﻻ ﻓَ ْرقَ َبيْنَ َك ِبي ِْر ِه َوَ ت َو ِ ي ِمنَ ْال ُم ْستَ ْقذَ َراْ َع َما ِﻓ ْﻲ َج ْو ِﻓ ِه أ ْ ََس َمكٍ ُم ِل َﺢ َولَ ْم يُ ْنز
ص ِغي ِْر َم َع َما ﻓِ ْﻲ َج ْوﻓِ ِه ِلعُ ْس ِر ت َ ْن ِقيﱠ ِة َما ﻓِ ْي ِهَان َج َوازَ أ َ ْك ِل ال ﱠ ِ ش ْيخ ال ﱠArtinya, “Al-Qamuli dalam
kitab Al-Jawahir mengutip dari kalangan Syafi’i bahwa tidak diperbolehkan
mengonsumsi ikan asin yang tidak dibersihkan kotoran-kotoran di dalamnya.
Zhahir dari kutipan Al-Qamuli ini tidak membedakan antara ikan besar dan
kecil. Tetapi dua guru besar madzhab Syafi’i (Al-Nawawi dan Ar-Rafi’i)
menyebutkan, diperbolehkan mengonsumsi ikan kecil beserta kotoran di
dalam perutnya, sebab sulitnya membersihkan kotoran tersebut.”
Bahkan menurut Imam Ar-Ramli, kebolehan mengonsumsi ikan beserta
kotorannya juga berlaku untuk ikan yang besar. Syekh Ahmad bin Umar As-
Syathiri dalam Syarah Bughyatul Mustarsyidin juz 1, halalaman 337
menegaskan. ص ِغي ِْر س َم ِك ال ﱠف ال ﱠ
ِ ارةِ َما ﻓِ ْﻲ َج ْوَ ط َه َ علَى َ َوقَ ِد اتﱠفَقَ ا ْبنَا َح َج ٍر َو ِزيَا ٍد َو م ر َو
َ غي ُْر ُه ْم
علَ ْي ِه م ر ْال َكبِي َْر أَيْضا ً )قوله ﻓﻲ َ س بِ ِه ال ﱡد ْه ُن بَ ْل َج َرى ُ ث َو َج َو ِاز أ َ ْك ِل ِه َمعَهُ َوأَنﱠهُ َﻻ يَ ْن ُج ِ الر ْو
ِمنَ الد ِﱠم َو ﱠ
ِ شقﱠ ِة ِﻓﻲ ِإ ْخ َر
اج ِه ْ
َ ث ِل َع َد ِم ال َم
ِ الر ْو
ع ﱠما ﻓِ ْﻲ َج ْو ِﻓ ِه ِمنَ ﱠ ْ
َ ع َد َم ال َع ْف ِوَ الكبير أيضا( َوا ْعتَ َم َد اب ُْن َح َج ٍر َوا ْب ُن ِز َيا ٍد
.ً ِإ َذا َكانَ َك ِبيْراArtinya, “Ibnu Hajar, Ibnu Ziyad dan Ar-Ramli sepakat sucinya
(dalam arti ma’fu) darah dan kotoran ikan kecil dan diperbolehkan
mengonsumsi ikan tersebut beserta darah dan kotorannya serta tidak dapat
menajiskan minyak. Bahkan Ar-Ramli memberlakukan hukum tersebut untuk
ikan besar juga. Sementara Ibnu hajar dan Ibnu Ziyad tidak menghukumi
ma’fu kotoran ikan besar, sebab tidak ada masyaqqah (keberatan) dalam
membersihkannya”. Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
mengonsumsi ikan beserta kotorannya diperbolehkan menurut sebagian
ulama. Tetapi bila masih memungkinkan membersihkan kotoran ikan saat
mengolahnya (Jawa: mincati), maka hal tersebut lebih baik. Sebab keluar dari
perbedaan ulama hukumnya sunah, terlebih menjaga kebersihan makanan
juga merupakan perkara yang dianjurkan agama.
Seperti yang dijelaskan dalam hadits
الحﻼل بين والحرام بين وبينهما مشتبهات ﻻ يعلمها كثير من الناس ﻓمن
“ اتقى الشبهات استبرأ لعرضه ودينه