Anda di halaman 1dari 15

ASUHAN KEPERAWATAN

PERSIAPAN PASIEN PRE DAN POST KATETERISASI JANTUNG


Dosen pembimbing : Shobirun, MN
Mata Kuliah : Medikal Bedah I

Disusun oleh :
Indah Kartikasari
P1337420618020

S1 TERAPAN KEPERAWATAN SEMARANG


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SEMARANG
TAHUN AJARAN 2019/2020
I. KONSEP DASAR
A. Pengertian
Penyakit jantung koroner merupakan penyakit jantung yang diakibatkan
oleh adanya stenosis pada arteri koroner.
Penyakit jantung koroner adalah penyakit jantung yang timbul akibat
penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibros di dinding
pembuluh darah yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri yang
disebut aterosklerosis.Kelainan pada arteri koroner akibat aterosklerosis
menyebabkan suplai darah ke jantung tidak adekuat dan sel-sel otot jantung
kekurangan komponen darah. Hal ini menimbulkan iskhemia pada otot-otot
jantung sehingga pasien akan mengalami nyeri dada dan pada kondisi iskhemia
yang lebih berat dapat disertai dengan kerusakan sel jantung yang berifat
irreversible (Brown & Edwars, 2004; Smeltzer & Bare, 2008)
Angiografi koroner adalah tindakan memasukkan kateter melalui
arterifemoralis (Judkins) atau arteri brachialis (Sones) yang didorong sampai ke
aorta assendens dan diarahkan ke arteri koronaria yang dituju dengan bantuan
fluoroskopi (Woods, Ffroelicher, Motzer & Bridges ,2005). Diagnostik invasif
kardiovaskuler adalah suatu tindakan pemeriksaan diagnostik untuk menentukan
diagnosa secara invasif pada kelainan jantung dan pembuluh darah. Dikatakan
invasif, karena tindakan ini memasukkan selang/tube kecil (kateter) ke dalam
jantung, melalui pembuluh darah baik vena atau arteri. Oleh karena itu biasa
disebut juga pemeriksaan kateterisasi jantung
(Rokhaeni & Purnamasari, Rahayoe,2001).
Kateterisasi jantung adalah suatu pemeriksaan jantung dengan memasukkan
kateter ke dalam sistem kardiovaskular untuk memeriksa keadaan anatomi dan
fungsi jantung. Angiografi koroner atau penyuntikan bahan kontras ke dalam arteri
koronaria meru!akan tindakan yang paling sering digunakan untuk menentukan
lokasi, luas dan kp!arahan sumbatan dalam arteri koronaria (Price & Wilson
,2006). Price dan wilson (2006) menyebutkan bahwa angiografi koroner dapat
memberikan informasi tentang lokasi lesi atau sumbatan pada korone, derajat
obstruksi, adanya sirkulasi kolateral, luasnya gangguan jaringan pada area distal
koroner yang tersumbat dan jenis morfologi lesi.

B. Macam Kateterisasi Jantung

Menurut Rokhaeni, Purnamas ari & Rahayoe (2001) pemeriksaan kateterisasi


terbagi atas :
1. Kateterisasi jantung kanan (untuk kelainan Pada jantung kanan), misalnya stenosis
pulmonal.
2. Kateterisasi jantung kiri (untuk kelainan Pada jantung kiri), misalnya penyakit
jantung koroner, koartasio aorta.
3. Kateterisasi jantung kanan Dan kiri (untuk kelainan jantung kanan Dan kiri),
misalnya Tetralogi Of fallot, transposisi arteri besar.
Lebih lanjut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe (2001) menyebutkan bahwa
pemeriksaan kateterisasi menurut Pada Intinya terbagi atas 2 tindakan yaitu angiogram Dan
penyadapan.
1. Angiogram/ angiography
Yaitu memasukan media/zat kontras Ke dalam suatu anatomi/aliran darah,
kemudian merekam/mendokumentasikannya Ke dalam film/CD/Video sebagai
data.
2. Penyadapan
Yaitu tindakan menyadap/merekam/mendokumentasikan tekanan, kandungan
oksigen, sistem listrik jantung, tanpa menggunakan media kontras.

C. Idikasi dan Kontra Indikasi Kateterisasi Jantung dan Angiografi Koroner


Kateterisasi atug bertujuan untuk mendapat gambaran dan data objektif secara
pasti tentang perubahan anatomis dan fisiologis akibat berbagai kelaia pada jantung
dan pembuluh darah. Dengan kateterisasi jantung dapat diketahui ada tidaknya
kelainan jantung, jenis kelainan jantung , derajat, kelainan tersebut, cara pengobatan
yang tepat, dan menilai hasil pengobatan. selain itu, kateterisasi jantung juga dapat
digunakan untuk mengetahui tekanan pada ruang-ruang di jantung. melihat bagaimana
darah melewati adanya hambatan pada pembuluh darah, menginjeksikan zat kontras
untuk melihat adanya hambatan pada pembuluh darah, atau abnormalitas dari ruang
jantung, serta melakukan koreksi pada kelainan jantung tersebut.
Indikasi kateterisasi jantung secara umum menurut Rokhaeni, Purnamasari & Rahayoe
(2001) dilakukan untuk beberapa kondisi yaitu:
1. Penyakit jantug koroner yang jelas/ didiagnosis.
2. Sakit dada (angina pektoris) yang belum jelas penyebabnya.
3. Angina pektoris yang tidak stabil /bertambah.
4. Infark miokard yang tidak berespon dengan obat-obatan.
5. Gagal jantung kongestif
6. Gmbaran EKG abnormal (injuri, iskemik, infark), usia 50 tahun ke atas,
asimtomatik.
7. Treadmill test positif
8. Evaluasi bypass koroner.
9. Abnormal irama (bradi/takhikardia)
10. Kelainan katub jantung.
11. kelainan jantung bawaan.
12. Kelainan pembuluh perifer.
Kontraindikasi dari kateterisasi jantung ini sangat bervariasi. Halini bergantung
pada kemajuan teknik, peralatan serta keterampilan operator.
Seiringberkembangnya pengetahuan mengenai kateterisasi jantung , hampir
dikatakan tidak ada lagi kontraindikasi absolut, yang ada hanya kontraindikasi
relatif.
Hal-hal yang termasuk dalam kontraindikasi relatif adalah:
1. Ventrikel iritabed yang tidak dapat dikontrol.
2. Hipokalemia/intoksikasi digitalis yang tidak dapat dikoreksi.
3. Hipertensi yang tidak dapat dikoreksi.
4. Penyakit demam berulang.
5. Gagal jantung dengan edema perut akut.
6. Gagal ginjal hebat/anuria
7. Gangguan pembekuan: waktu protrombin >18 detik
8. Alergi bahan kontras
9. Riwayat perdarahan yang tidak berhenti
10. Kehamilan
Sedangkan satu-satunya yang dianggap sebagai kontraindikasi absolut
adalah ap
abila pasien dan keluarganya menolakuntuk dilakukan kateterisasi.
D. Komplikasi
Berdasarkan Nuray dkk (2007) komplikasi yang ditemukan dibagi menjadi
komplikasi mayor dan komplikasi minor.
1. Komplikasi mayor/utama
Komplikasi utama meliputi reoklusi akut , miokard infark baru,
perdarahan hebat di selangkangan kaki, tamponade jantung akibat pecah
atau robeknya dinding arteri koroner atau jantug ruang dan kematian.
2. Komplikasi minor
Komplikais minor PCA antara lain oklusi cabang pembuluh koroner
, ventrikel/ atrium aritmia, bradikardi, hipotensi, perdarahan, arteri
trombus, emboli koroner. Komplikasi minor lain adalah kehilangan darah
yang parah dan membutuhkan transfusi, iskemia pada ekstremitas tempat
penusukan femoral sheath, penurunan fungsi ginjal karena media kontras,
emboli sistemik dan hematoma di selangkangan, hematoma reprotional,
pseudoaneurisma, fistula AV.
Komplikasi yang timbul pasca angiografi koroner melalui arteri
arteri femoral dipengaruhi oleh strategi untuk mengurangi komplikasi
vaskuler yang terkait dengan kateterisasi jantung melalui identifikasi
faktor resiko yang terkait dan pelaksanaan strategi pengurangan resiko.
Antara ahli jantung dan perawat memainkan peran penting dalam
pengenalan dini dan pengelolaan komplikasi ini. Mengidentifikasi faktor-
faktor resiko individu pasien merupakan aspek penting dari perawatan
selama katetrisasi jantung. Hal-hal yang dapat meningkatkan resiko untuk
pengembangan komplikasi vaskular pasca kateterisasi jantung yaitu usia (
yakni usia lebih dari 70 tahun), jenis kelamin perempuan, sangat kurus atau
gemuk tidak sehat, adanya penyakit pembuluh darah perifer, hieprtensi
(PA-PSRS, 2007)
E. Persiapan Pasien Pre Kateterisasi
1. Persiapan fisik
 Penjelasan tentangprosedur tindakan oleh dokter
 Rekaman EKG 12 lead
 Puasa 4-6 jam sebelum tindakan perlu diperhatikan adalah puasa
makan saja, pasien boleh minum dan obat-obatan tetap diberikan
sesuai resep dokter
 Sehari sebelumnya meminum obat yang diinstruksikan dokter
seperti aspilet 2 tablet pada malam hari dan 1 tablet pada pagi hari,
clopidogrel 4 tablet pada malam hari dan 2 tablet pada pagi hari.
 Cukur area penusukan (daerah inguinalis kanan dan kiri bila arteri
femoralis atau daerahradialis kanan bila dari arteri radialis)
 Memasang condom catheter atau dowe cathetetr untuk pasien yang
akan dilakukan tindakan PTCA, Ablasi, dan sejenisnya kecuali
koroner angiografi.
 Memasang infus pada pasien, untuk tindakan koroner angiografi
pada umumnya tidak dipasang infus kecuali pada pasien dengan
hasil kreatinin lebih dari 1,5 diberikan caira NaCl 0,9%. Pada
pasien yang akan dilakukan PTCA, ablasi dan sejenisnya yang
memerlukan waktu yang lama diberikan cairan RL dan cairan NaCl
0,9% untuk pasien dengan creatinin lebih dari 1,5
 Mengukur tanda-tanda vital pasien (tekanan darah, heart rate,
respirasi, dan suhu)
 Mengukur berat badan dan tinggi badan
 Hasil pemeriksaan laboratorium seperti:
a. Pemeriksaa HB, Hb yang tinggi akan mempengaruhi
tindakan kateterisasi dimana lebih mudah terjadi
pembekuan darah pada kateter, begitu juga Hb yang rendah
karena kemungkinan terjadi pendarahan selama tindakan.
b. Leuokosit, untuk mengetahui fungsi ginjal pasien
berhubungan dengan penggunaan zat kontras saat tindakan,
bila hasilnya tinggi dilakukan hidrasi terlebih dahulu
dengan obat oral flumucyl 2 tablet dan loading cairan NaCl
0,9% sesuai intruksi dokter (biasa diberikan 100 cc). zat
kontras yang osmolaritasnya lebih rendah , (misalnya
omnipaque) dan dosis yang lebih sedikit
c. CT, BT, PT, APTT untuk mengetahui apakah memanjang
waktu pendarahan dan pembekuan karena berhubungan
dengan saat pencabutan sheath.
d. HbsAg untuk mencegah terjadinya penularan baik terhadap
petugas maupun kepasien lain.
 Mencatat obat yang diminum, ditunda atau dihentikan
pemberiannya. Obat hipertensi dan obat diuretik tetap diberikan,
sedangkan obat DM, anti koagulan, ditunda pemberiannya sesuai
dengan instruksi dokter.
 Menanyakan riwayat alergi pasien terhadap obat-obatan.
 Mengkaji keluhan pasien apakah ada nyeri dada, sesak nafas, pusing
atau keluhan yang lain.
 Mengganti pakaian pasien dengan pakaian rumah sakit, termasuk
pakaian dalam dilepas.
 Memberitahu kepada pasein bahwa alat bantu seperti kaca mata, alat
bantu dengar, gigi palsu boleh tetap dipakai selama tindakan untuk
memudahkan berkomunikasi dengan pasien tetapi tetap
diinformasikan saat serah terima pasien dengan petugas diruang
tindakan.
 Melakukan allent test bila tindakan dilakukan melalui arteri radialis,
untuk melihat sirkulasi darah ditangan pasien. Teknik menilai
allentest:
a. Anjurkan pasien untuk mengepal tangannya dengan kuat
selama 3-15menit.
b. Periksa pulsasi arteri radialis kemudian tekan arteri radialis
dengan tiga jari tangan kiri/ ibu jari dan tekan arteri urinaris
dengan tiga jari tangan kanan/ ibu jari secara bersamaan.
c. Buka kepalan tangan pasien, telapak tangan akan terlihat
pucat.
d. Lepas tekanan arteri ulnaris, arteri radialis tetap ditekan
e. Lihat jika refskuler 1-3detik berarti ulnaris baik dan tindakan
dpaat dilakukan melalui arteri radialis.
2. Persiapan mental
 Mengkaji pengetahuan pasien mengenai tindakan kateterisasi
jantung.
 Bila pasien belum mendapat penjelasan, fasilitasi agar
dokter/asisten dokter untuk menjelaskannya.
 Memberi penjelasan hal-hal yang mungkin diperlukan saat
dilakukan tindakan seperti cara nafas dalam dan batuk efektif
dan juga memberitahukan keluhan yang mungkin timbul saat
tindakan kepada petugas atau perawat.
 Melakukan pendekatan spiritual dengan mengajak berdoa.
3. Persiapan pasien dari ruangan / rawat inap
Persiapan sama seperti pasien datang dari rumah, hanya saja
persiapannya dilakukan serah terima pasien dengan petugas ruangan
dan memriksa kembali kelengkapan persiapan administrasi fisik dan
mental pasien serta membuat form laporan kateterisasi jantung
untuk pasien yang akan dilakukan tindakan koroner angiografi dan
form laporan angioplasti koroner untuk pasien yang akan dilakukan
tindakan PTCA, ablasi dan sejenisnya.
4. Persiapan administrasi
a. Surat ijin tindakan/ inform concent
b. Surat pernyataan pembayaran (keuangan)
c. Persiapan mental
d. Pemberian pendidikan kesehatan tentang prosedur kateterisasi
jantung (apa, bagaimana , tujuan, manfaat, komplikasi dan
prosedur kerja)

F. Perawatan Pasien Pasca Kateterisasi Jantung


Perawatn pasien pasca tindakan angiografi kororner menurut Rokhaeni,
Purnamasari & Rahayoe (2001) :
1. Observasi keluhan pasien.
2. Observasi tanda-tanda vital setiap 15 menit selama 1 jam dan 30 menit
selama 2 jam sampai stabil
3. Observasi perdarahan dengan melakukan tindakan:
a. Mengevaluasi area bekas tusuka femral sheath.
b. Gunakan penekanan dengan bantal pasir
c. Immbilisasi ekstremitas pada daerah tusukan selama 8-12 jam
post tindaka.
d. Libatkan keluarga/ pasien untuk mengamati daerah tusukan,
mungkin terjadi perdarahan.
4. Observasi tanda-tanda dan efek samping zat kontras
a. Observasi tanda-tanda alergi kontras seperti gatal-gatal,
menggigil, mual, dan muntah.
b. Observasi tanda hipotensi dan perubahan tanda vital.
c. Pemberian cairan/ volume peroral/parenteral.
5. Observasi tanda-tanda infeksi meliputi
a. Observasi daerah luka dari sesuatu yang tidak aseptik/septik
b. Selalu mejaga kesterilan area penusukan
c. Observasi adanya perubahan warna, suhu dan luka tusukan.
6. Observasi tanda-tanda gangguan sirkulasi ke perifer
a. Palpasi arteri poplitea, dorsalis pedis, pada sisi arteri yang kita
lakukan penusukan setiap 15 menit (1jam), 30 menit (2jam)
antara kanan dan kiri dibandingkan.
b. Bila terjadi gangguan (nadi lemah/ tak teraba), beritahu dokter
biasanya diberikan obat antikoagulan bolus atau bisa
dilanjutkan dengan pemberian terus menerua (kontinyu)
c. Observasi kehangatan daerah ekstermitas kanan dan kiri
kemudian bandingkan.

II. PENGKAJIAN RIWAYAT KLIEN


A. Pre Operatif
Riwayat kesehatan pasien adalah sumber yang sangat baik. Sumber berharga
lainnya adalah rekam medis dari riwayat perawatan sebelumnya. Penyakit yang diderita
pasien akan mempengaruhi kemampuan pasien dalam mentoleransi pembedahan dan
mencapai pemulihan yang menyeluruh. Pasien yang akan menjalani bedah sehari (one day
care) harus diperiksa secara teliti dan menyeluruh untuk menentukan kondisi kesehatan
yang mungkin akan meningkatkan resiko komplikasi selama atau setelah pembedahan.
Pengalaman bedah sebelumnya dapat mempengaruhi respons fisik dan psikologis paien
terhadap prosedur pembedahan. Jenis pembedahan sebelumnya, tingkat rasa,
ketidaknyamanan, besarnya ketidakmampuan yang ditimbulkan, seluruh tingkat perawatan
yang pernah diberikan adalah faktor-faktor yang mungkin akan diingat oleh pasien.
Perawat mengkaji semua komplikasi yang pernah dialami pasien. Informasi ini akan
membantu perawat dalam mengantisipasi kebutuhan pasien selama pra dan pascaoperatif.
Pembedahan sebelumnya juga dapat mempengaruhi tingkat perawatan fisik yang
dibutuhkan pasien setelah menjalani prosedur pembedahan, misalnya, pasien yang pernah
menjalani torakotomi untuk reseksi lobus paru mempunyai resiko komplikasi paru-paru
yang lebih besar daripada pasien dengan paru-paru yang masih utuh dan normal. Jika
pasien menggunakan obat yang telah diresepkan atau obat yan dibeli di luar apotik secara
teratur, maka dokter bedah atau ahli anestesi mungkin akan menghentikan memberikan
obat tersebut untuk sementara sebelum pembedahan atau mereka akan menyesuaikan
dosisnya. Beberapa jenis obat mempunyai implikasi khusus bagi pasien bedah. Obat yang
diminum sebelum pembedahan secara otomatis akan dihentikan saat pasien selesai
menjalani operasi kecuali dokter meminta pasien untuk menggunakannya kembali.
Pada pasien gawat darurat yang memerlukan pembedahan cito, pengkajian riwayat
kesehatan dilakukan secara ringkas terkait faktor-faktor yang mempengaruhi pembedahan
dan anestesi umum. Pasien dikaji tentang adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus,
tuberkolusis oaru, dan berbagai penyakit kronis yang akan berdampak pada peningkatan
resiko komplikasi intraoperative.
1. Riwayat alergi
Perawat harus mewaspadai adanya alergi terhadap berbagai obat yang mungkin
diberikan selama fase intraoperative. Apabila pasien mempunyai riawayat alergi satu
atau lebih, maka pasien perlu mendapat pita identifikasi alergi yang dipakai pada
pergelangan tangan sebelum menjalani pembedahan atau penulisan symbol alergi
yang tertulis jelas pada status rekam medis sesuai dengan kebijakan istitusi. Perawat
juga harus memastikan bagian depan lembar pencatatan pasien berisi daftar alergi
yang dideritanya.

2. Pengkajian nyeri
Nyeri adalah suatu pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan yang bersifat subjektif. Keluhan sensori yang dinyatakan
sebagai pegal, linu, ngilu, keju, kemeng, dan sebagainya dapat dianggap sebagai
modalitas nyeri. Penting bagi setisp perawat untuk mempercayai pasien yang
melaporkan rasa nyeri. Selain itu yang sama pentingnya adalah waspada terhadap
pasien yang mengabaikan nyeri. Misalnya mengungkapkan kenyataan bahwa
gangguan atau prosedur biasanya menimbulkan nyeri atau bahwa pasien tampak
meringis saat bergerak atau menghindari gerakan. Menggali alas an mengapa pasien
mengabaikan rasa nyeri juga sangat membantu. Banyak orang yang menyangkal nyeri
yang dialaminya karena mereka takut dengan pengobatan/tindakan yang mungkin
diberikan jika mereka mengeluh nyeri, atau takut menjadi ketergantungan jika obat-
obat ini diberikan untuk mengatasi nyerinya. Kondisi penyakit dan posisi dapat
menimbulkan nyeri pada pasien, perawat perlu mengkaji pengalaman nyeri pasien
sebelumnya, metode pengontrolan nyeri yang digunakan, sekap pasien dalam
menggunakan obat-obatan penghilang rasa nyeri, respons perilaku tehadap nyeri,
pengetahuan pasien, harapan, dan metode manajemen nyeri yang dipilih karena akan
memberi dasar bagi perawat dalam memantau perubahan kondisi pasien. Pengkajian
nyeri yang benar memungkinkan perawat perioperative untuk menetapkan status nyeri
pasien, lebih bertanggung jawab dan bertanggung gugat terhadap perawatan yang
diberikan, dan lebih berorientasi pada sifat kemitraan dalam melakukan
penatalaksanaan nyeri. Perawat harus mengembangkan hbungan terapeutik yang
positif dan memberi waktu kepada pasien untuk mendiskusikan nyeri. Perawat juga
harus mempelajari cara verbal dan nonverbal pasien dalam mengomunikasikan rasa
ketidaknyamanan. Meringis, menekuk salah satu bagian tubuh, dan postur tubuh yang
tidak lazim merupakan contoh ekspresi nyeri secara nonverbal.

3. Pengkajian Psikososisokultural

Berbagai dampak psikologis yang dapat muncul adalah adanya ketidaktahuan akan
pengalaman pembedahan yang dapat mengakibatkan kecemasan dalam berbagai
bentuk seperti marah, menolak, atau apatis terhadap kegiatan keperawatan. Pasien
yang cemas sering mengalami ketakutan atau perasaan tidak tenang. Berbagai bentuk
ketakutan muncul seperti ketakutan akan perubahan citra diri da konsep diri.
Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, kecemasan merupakan stressor yang dapat
menurunkan sistem imunitas tubuh. Prosedur pembedahan akan memberikan suatu
reaksi emosional bagi pasien, untuk membedakan reaksi tersebut jelas atau
tersembuyi, ormal atau abnormal, sebagai contoh kecemasan pre operative merupakan
suatu respons antisipasi terhadap suatu pengalaman yang dapat dianggap pasien
sebagai suatu ancaman terhadap perannya dalam hidup, Integritas tubuh, atau bahkan
kehidupan itu sendiri, dapat diketahui bahwa pikiran yang bermasalah secara langsung
akan mempengaruhi fungsi tubuh. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi
ansietas yang dialami pasien. Denga mengumpulkan riwayat kesehatan secara cermat,
perawat akan menemukan kekhawatiran pasien yang didapat menjadi beban langsung
selama proses pembedahan. Pasien yang menghadapi pembedahan akan menemukan
kekhawatiran pasien yang didapat menjadi beban langsung selama proses
pembedahan. Pasien yang menghadapi pembedahan akan mengalami ketakutan,
termasuk ketakutan akan ketidaktahuan, kematian, anestesi dan kanker, kekhawatiran
mengenai kehilangan waktu kerja, kemungkinan kehilangan pekerjaan, tanggung
jawab terhadap keluarga, dan ancaman ketidakmampuan permanen yang lebih jauh.
Menurut potter (2005) reaksi pasien terhadap pembedahan didasarkn banyak faktor,
meliputi ketidaknyamanan dan perubahan-perubahan yang diantisipasi baik fisik,
finansial, psiklogis, spiritual, sosial, atau hasil akhir pembedahan yang diharapakan.
Bagian terpenting dari pengkajian kecemasan pre operative adalah untuk menggali
peran orang terdekat, baik dari keluarga, sahabat, adanya sumber dukungan orang
terdekat akan menurunkan kecemasan.
Pasien dengan konsep diri positif lebih baik mampu menerima operasi yang
dialaminya dengan tepat. Perawat mengkaji konsep diri pasien dengan cara meminta
pasien mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dirinya, pasien yang cepat
mengkritik mungkin mempunyai harga diri yang mudah atau sedang menguji
pendapat perawat tentang karakter mereka. Konsep diri yang buruk mengganggu
kemampuan beradaptasi dengan stress pembedahan dan memperburuk rasa bersalah
atau ketidakmampuannya.

B. Post Operatif
Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan perioperatif.
Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada menstabilkan kondisi pasien
pada keadaan equlibrium fisiologis pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan
komplikasi. Pengkajian yang cermat dan intervensi segera membantu pasien kembali
pada fungsi optimalnya dengan cepat, aman dan nyaman. Upaya yang dapat dilakukan
diarahkan untuk mengantisipasi dan mencegah masalah yang kemungkinan muncul
pada tahap ini. Pengkajian dan penanganan yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan
untuk mencegah komplikasi yang memperlama perawatan dirumah sakit atau
membahayakan diri pasien. Memperhatiakn hal ini asuhan keperawatan postoperative
sama pentingnya dengan prosedur pembedahan itu sendiri.
Faktor yang mempengaruhi yaitu :
1. Mempertahankan jalan nafas
Mempertahankan jalan nafas dengan mengatur posisi, memasanag suction
dan pemasangan NPA.
2. Mempertahankan ventilasi atau oksiegen
Ventilasi dan oksigenasi dapat dipertahankan dengan pemberian bantuan
nafas melalui ventilaot mekanik atau nasal kanul.
3. Mempertahankan sirkulasi darah
Mempertahankan sirkulasi darah dapat dilakukan dengan pemberian cairan
plasma ekspander.
4. Observasi keadaan umum, observasi vomitus dan drainase
Keadaan umum dari pasien harus diobservasi untuk mengetahui keadaan
pasien, seperti kesadaran dan sebagainya. Vomitus atau muntahan mungkin
saja terjadi akibat pengaruh anestesi sehingga perlu dipantau kondisi
vomitusnya. Selain itu drainase sangat penting untuk dilakukan observasi
terkait dengan kondisi perdarahan yang dialami pasien.
4. Balance cairan
Harus diperhatiakn untuk mengetahui input dan output cairan klien. Cairan
harus balance untuk mencegah komplikasi lanjutan, seperti dehidrasi akibat
perdarahan atau justru kelebihan cairan yang justru menjadi beban bagi
jantung dan juga mungkin terkait dengan fungsi eleminasi pasien.
5. Mempertahankan kenyamanan dan mencegah resiko injury
pasien post anastesi biasanya akan mengalami kecemasan, disorientasi dan
beresiko besar untuk jauh. Tempatkan pasien pada tempat tidur yang
nyaman dan pasang side railnya. Nyeri biasanya sangat dirasakan pasien,
diperlukan intervensi keperawatan yang tepat juga kolaborasi dengan terkait
dengan agen pemblok nyerinya.

III. Rumusan Diagnosa Keperawatan


Berikut ini adalah diagnosa keperwatan berdasarkan pengkajian keperawatan sebelum
tindakan kateterisasi:
 Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembedahan yang
akan dilaksanakan dan hasil akhir pasca operatif.
 Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang kemampuan
mengingat kembali, kurang familier dengan sumbersumber informasi.
Berikut merupakan diagnosis keperawatan setelah dilakukannya kateterisasi:
 Resiko penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan kontraktilitas,
gangguan frekuensi, iskemia ventrikel.
 Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler
alveolar, udema paru akut
 Keruskan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur
kateterisasi)
 Defisiensi pengetahuan (perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan kurang
kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi.

IV. Perencanaan
A. Pre Tindakan
1. Ansietas berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang pembedahan yang
akan dilaksanakan dan hasil akhir pasca operatif
Tujuan : Dalam waktu 1x24 jam tingkat kecemasan
pasien berkurang atau hilang dengan kriteria hasil:
a. Pasien menyatakan kecemasannya berkurang
b. Pasien mampu mengenali perasaan ansietasnya.
c. Pasien dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
mempengaruhi ansietasnya.
d. Pasien kooperatif terhadap tindakan
e. Wajah pasien tampak rileks
Intervensi:
a. Bantu pasien mengekspresikan perasaan marah, kehilangan dan takut.
b. Kaji tanda ansietas verbal dan non verbal. Dampingi pasien dan lakukan
tindakan bila pasien mulai menunjukkan perilaku merusak.
c. Jelaskan tentang prosedur pembedahan sesuai jenis operasi.
d. Beri dukungan pra bedah.
e. Hindari konfrontasi
f. Beri lingkungan yang tenang dan suasana penuh istirahat.
g. Tingkatkan kontrol sensasi pasien.
h. Orientasikan pasien terhadap prosedur rutin dan aktivitas yang
diharapkan.
i. Beri kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan ansietasnya.
j. Berikan privasi untuk pasien dan orang terdekat
k. Kolaborasi: pemberian anticemas sesuai indikasi contohnya diazepam.
2. Defisiensi pengetahuan (tindakan kateterisasi) berhubungan dengan kurang
pengalaman sebelumnya, kurang pemanjanan informasi, kurang kemampuan
mengingat kembali, kurang familier dengan sumber-sumber informasi.
Tujuan : Pasien dan keluarga akan mampu memperlihatkan pemahaman
mengenai tindakan kateterisasi jantung. menambah pendidikan kesehatan pasien
dan keluarag untuk mengurangi kecemasan / ketakutan pasien, mulai mencari
informasi/ mengajukan pertanyaan, berpartisipasi dalam proses belajar.
a. Periksa keakuratan umpan balik untuk memastikan bahwa pasien
memahami program terapi dan informasi lainnya yang relevan.
b. Beri penyuluhan sesuai tingkat pemahaman pasien, ulangi informasi
bila diperlukan.
c. Gunakan berbagai pendekatan penyuluhan seperti redemontrsi dan
berikan umpan balik secara verbal dan tertulis.
d. Bina hubungan saling percaya.
e. Ikut sertakan keluarga atau orang terdekat bila perlu.

B. Post Tindakan
1. Resiko penurunan cardiac output berhubungan dengan gangguan kontratilitas,
gangguan frekuensi, iskemia ventrikel.
Tujuan: diharapakan penurunan curah jantung teratasi, dengan kriteria klien akan,
menunjukkan tanda vital dalam batas normal, disritmia terkontrol atau hilang dan
bebas gejala gagal jantung warna kulit normal, melaporkan penurunan episode
dispnea, ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
a. Auskultasi nadi apical, kaji frekuensi, irama jantung
b. Catat bunyi jantung
c. Palpasi nadi perifer
d. Pantau tekanan darah
e. Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
f. Pantau haluaran urin, catat penurunan haluaran dan kepekatan/kosentrasi
urin
g. Kaji perubahan pada sensori, contoh latergi, bingung, disorientasi, cemas,
depresi.
h. Berikan istirahat pada tempat tidur atau kursi.
i. Berikan istirahat psikologi dengan lingkungan tenang; menjelaskan
manajemen medik/ keperawatan; membantu pasien menghindari situasi
stress, mendengr/ berespons terhadap ekspresi perasaan/ takut.
j. Istrirahatkan klien dengan tirah baring optimal dalam lingkungan yang
tenang.
k. Berikan pispot di samping tempat tidur. Hindari aktivitas respon valsalva,
contoh mengejan selama defekasi, menambah nafas selama perubahan posisi
l. Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/ masker dan obat sesuai
indikasi (kolaborasi)
m. Berikan obat sesuai indikasi (contohnya DIuretik, Vasodilator, Captopril,
Morfin sulfat, sedatif, antikoagulan)
n. Pemberian cairan IV, pembatasan jumlah total sesuai indikasi. Hindri cairan
garam
o. pantau/ ganti elektrolit
p. Panatau seri EKG dan perubahan foto dada.
q. Pantau pemeriksaan laboratorium (fungsi ginjal, fungsi hati,pemeriksaan
koagulasi)
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar,
udema paru akut
Tujuan: Pasien akan menunjukkan ekspansi paru simetris, mempunyai kecepatan dan
irama pernafasan normal, tidak mengalami ortopneu.
a. Kaji suara paru, rekuensi nafas, kedalaman dan usaha nafas
b. Pantau adanya pucat dan sianosis
c. Pantau saturasi oksigen
d. Pantau kader elektrolit dan statuse mental
e. Auskultasi suara nafas.
f. Berikan pasien posisi nyaman.
g. Berikan terapi oksigen jika diperlukan.
3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik (prosedur kateterissi)
Tujuan : menunjukkan perilaku/teknik untuk meningkatkan penyembuhan,
mencegah komplikasi, menunjukkan penyembuhan luka tepat waktu.
a. Lihat tempat insisi, evaluasi proses penyembuhan
b. Anjurkan menggunakan baju/celana yang tidak sempit, biarkan insisi
terbuka terhadap udara sebanyak mungkin.
c. perhatikan /laporkan pada dokter insisi yang tidak sembuh, pembukaan
kembali insisi yang telah sembuh, adanya darinase berupa darah atau
perulen, area lokal yang bengkak dengan kemerahan, rasa nyeri meningkat,
dan panas pada sentuhan.
d. Tingkatkan nutrisi dan masukan cairan adekuat.

4. Defisiensi pengetahuan (perawatan pasca kateterisasi) berhubungan dengan kurang


kemampuan mengingat kembali, kurang pemajanan informasi.
Tujuan : Pasien akan berpartisipasi dalam belajar, mulai mencari informasi/
mengajukan pertanyaan, mengungkapkan pemahamantentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan terpeutik.
a. Anjurkan untuk tidak mengangkat beban erat selama seminggu kedepan dan
pasien tidak dianjurkan untuk membawa kendaraan/ megemudi
b. Dorong periode istirahat bergantian dengan aktifitas, hindari mengangkat
berat.
c. Anjurkan mempertahankan masukan nutrisi dan cairan secara adekuat,
pertahankan diet yang dijalani.
d. Anjurkan untuk melanjutkan meminum obat-obatan yang telah ditentukan
oleh dokter
e. Anjurkan untuk melapor kepada dokter jika merasakan nyeri dada, sesak
nafas dan pusing
Daftar Pustaka

Potter, P. A, &Perry, A. G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan :Konsep,


proses dan Praktika, Edisi 4, Volume II. Jakarta: EGC.

Rokhaeni, H, Purnamasari, E, & Rahayoe, A, U. (2001). Buku Ajar Kardiovaskuler


Pusat Jantung Nasional (National Cardiovasculer center Harapan Kita).
Jakarta: Bidang Pendidikan dan Pelatihan Pusat Kesehatan Jantung dan
Pembuluh Darah Nasional “Harapan Kita”

Darliana, Devi. Perawatan Pasien Yang Menjalani Prosedur Kateterisasi Jantung.


Idea Nursing Jurnal, Volume III, No 3.

Haryani, Sri, Novita, Dwi, Dahliyanti. Efektivitas Support Family System Terhadap
Tingkat Kecemasan Pasien Pre Kateterisasi Jantung di SMC RS Telogorejo.
Nursing Jurnal.

Anda mungkin juga menyukai