Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pasien kritis dengan perawatan di ruang ICU (Intensive Care Unit) memiliki morbiditas
dan mortalitas yang tinggi. Mengenali ciri-ciri dengan cepat dan penatalaksanaan dini yang
sesuai pada pasien beresiko kritis atau pasien yang berada dalam keadaan kritis dapat
membantu mencegah perburukan lebih lanjut dan memaksimalkan peluang untuk sembuh
(Gwinnutt, 2006 dalam Jevon dan Ewens, 2009). Comprehensive Critical Care Department
of Health-Inggris merekomendasikan untuk memberikan perawatan kritis sesuai filosofi
perawatan kritis tanpa batas (critical care without wall), yaitu kebutuhan pasien kritis harus
dipenuhi di manapun pasien tersebut secara fisik berada di dalam rumah sakit (Jevon dan
Ewens, 2009). Hal ini dipersepsikan sama oleh tim pelayanan kesehatan bahwa pasien kritis
memerlukan pencatatan medis yang berkesinambungan dan monitoring penilaian setiap
tindakan yang dilakukan.Dengan demikian pasien kritis erat kaitannya dengan perawatan
intensif oleh karena dengan cepat dapat dipantau perubahan fisiologis yang terjadi atau
terjadinya penurunan fungsi organ-organ tubuh lainnya (Rab, 2007).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep keperawatan kritis?
2. Apa saja peran danfungsi perawat kritis?
3. Bagaiamana proses keperawatan pada area keperawatan kritis?
4. Bagaiamana efek kondisi kritis terhadap pasien dan keluarga?
5. Bagaimana isu end of life dikeperawatan kritis?
6. Bagaiman psikososial aspek dari keperawatan kritis?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum
Untuk memahami dan mendalami konsep keperawatan kritis.
2. Tujuan Khusus
Memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Keperawatan Kritis


2.1.1 Pengertian Keperawatan Kritis
1. Ilmu perawatan kritis adalah bidang keperawatan dengan suatu fokus pada penyakit
yang kritis atau pasien yang tidak stabil. Perawat kritis dapat ditemukan bekerja pada
lingkungan yang luas dan khusus, seperti departemen keadaan darurat dan unit gawat
darurat (Wikipedia, 2013)
2. Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang
mengancam jiwa. Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang
bertanggung jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga-
keluarga mereka menerima kepedulian optimal (American Association of Critical-
Care Nurses).
3. Kritis adalah penilaian dan evaluasi secaracermat dan hati-hati terhadap suatu kondisi
krusial dalam rangka mencari penyelesaian/jalan keluar. Keperawatan kritis
merupakan salah satu spesialisasi di bidang keperawatan yang secara khusus
menangani respon manusia terhadap masalah yang mengancam hidup.
4. Keperawatan kritis adalah suatu bidang yang memerlukan perawatan pasien yang
berkualitas tinggi dan konperhensif. Untuk pasien yang kritis, waktu adalah vital.
Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat
keperawatan kritis dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat.
5. Proses keperawatan adalah susunan metode pemecahan masalah yang meliputi
pengkajian, analisa, perencanaan ,implementasi, dan evaluasi. The American
Asosiation of Critical care Nurses (AACN) menyusun standar proses keperawatan
sebagai asuhan keperawatan kritikal.

2
2.1.2 Konsep Dasar Keperawatan Kritis menurut AACN
Scope critical care nursing menurut AACN (American Association of Critical Care Nurse)
dibagi 3 :
a. The critically ill patient
1. Masalah yang aktual dan potensial mengancam kehidupan pasien dan membutuhkan
observasi dan intervensi mencegah terjadinya komplikasi.
2. Pasien sakit kritis didefinisikan sebagai pasien yang beresiko tinggi untuk masalah
kesehatan aktual atau potensial mengancam jiwa. Semakin sakit kritis pasien,
semakin besar kemungkinan dia adalah untuk menjadi sangat rentan, tidak stabil dan
kompleks, sehingga membutuhkan intens dan waspada asuhan keperawatan.
3. Mengidentifikasi pasien yang berisiko efek samping karena status gizi mereka adalah
kompetensi inti dari praktisi gizi, direkomendasikan oleh pedoman praktek klinis,
dan diamanatkan oleh lembaga akreditasi. Melekat dalam diskusi ini risiko gizi
adalah bahwa pasien dengan risiko tinggi lebih mungkin untuk mendapatkan
keuntungan dari intervensi terapi nutrisi dari pada mereka yang berisiko rendah,
seperti baik ditunjukkan oleh Kondrup dan rekan. Skor atau alat penilaian banyak
ada untuk memungkinkan kuantifikasi risiko gizi. Untuk sebagian besar, alat ini
dikembangkan dan divalidasi dalam pengaturan rawat jalan atau rawat inap tapi tidak
secara khusus untuk pengaturan ICU. Pada kenyataannya, sebagian besar skor
menganggap bahwa semua pasien sakit kritis berada pada risiko tinggi dalam hal
scoring atau penilaian risiko mereka.
4. Kami mengandaikan bahwa hal ini tidak terjadi, dan bahwa tidak semua pasien sakit
kritis adalah sama dalam hal risiko gizi mereka. Bukti untuk pernyataan ini berasal
dari studi yang menunjukkan efek perlakuan yang berbeda dari nutrisi buatan dalam
subkelompok yang berbeda dari pasien ICU. Dalam analisis terakhir, kami
mengamati hubungan terbalik linier yang signifikan antara kemungkinan kematian
dan total kalori harian yang diterima. Peningkatan dari 1.000 kalori per hari dikaitkan
dengan pengurangan secara keseluruhan dalam kematian (rasio odds untuk mortalitas
60 hari 0.76, interval kepercayaan 95% (CI), 0,61-0,95, P=0.014). Namun, efek
pengobatan yang bermanfaat dari peningkatan kalori pada kematian diamati pada
pasien dengan indeks massa tubuh (BMI) di bawah 25 atau 35 dan di atas yang tidak

3
memberikan manfaat bagi pasien dengan BMI antara 25 atau kurang dari35. Hasil
yang sama diperoleh saat membandingkan meningkatkan asupan protein dan efeknya
pada kematian dalam kelompok BMIyang berbeda. Salah satu kesimpulan utama dari
pekerjaan ini adalah bahwa tidak semua pasien ICU adalah sama sehubungan dengan
tanggapan mereka terhadap nutrisi buatan.
5. Jadi bagaimana kita mulai mendekati 'risiko gizi' diskriminatif dalam pengaturan
perawatan kritis? Dalam sebuah pernyataan Pedoman Konsensus Internasional baru-
baru ini, Jensen dan rekan menawarkan beberapa tanah melanggar definisi malnutrisi
menghubungkannya dengan baik kekurangan gizi akut dan kronis dan peradangan.
Konsisten dengan definisi ini, kami menyajikan model konseptualkita tentang
bagaimana langkah-langkah kelaparan akut dan kronis dan peradangan dapat
mempengaruhi status gizi di ICU dan akhirnya berdampak pada hasil pasien. Tujuan
utama kami adalah untuk mengembangkan nilai menggunakan variabel yang
disajikan dalam model yang akan mengukur risiko seorang pasien mengembangkan
efek samping dan yang mungkin berpotensi dimodifikasi oleh intervensi gizi agresif
atau memadai. Bahkan, untuk memvalidasi nilai kita, kita tidak hanya harus
menunjukkan bahwa diskriminas irisiko antara kelompok heterogen pasien ICU,
tetapi juga bahwa hubungan antara skor risiko dan hasil yang dimodifikasi oleh
penemuan gizi.

b. The critical-care nurse


Perawat perawatan kritis praktek dalam pengaturan dimana pasien memerlukan
pengkajian yang kompleks, terapi intensitas tinggi dan intervensi dan berkesinambungan
kewaspadaan keperawatan. Perawat perawatan kritis mengandalkan tubuh khusus
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman untuk memberikan perawatan kepada pasien
dan keluarga dan menciptakan lingkungan yang menyembuhkan, manusiawi dan peduli.
Terutama, perawat perawatan kritisa dalah advokat pasien. AACN mendefinisikan
advokasi sebagai menghormati dan mendukung nilai-nilai dasar, hak-hakdan keyakinan
pasien sakit kritis.

4
Dalam peran ini, perawat perawatan kritis:
1. Menghormati dan mendukung hak pasien atau pengganti pasienyang ditunjuk
untuk pengambilan keputusan otonom.
2. Campur tangan ketika kepentingan terbaik pasien yang bersangkutan.
3. Membantu pasien mendapatkan perawatan yang diperlukan.
4. Menghormati nilai-nilai, keyakinan dan hak-hak pasien.
5. Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu pasien atau pengganti
pasien yang ditunjuk membuat keputusan.
6. Mewakili pasien sesuai dengan pilihan pasien.
7. Mendukung keputusan dari pasien atau pengganti yang ditunjuk, atau perawatan
transfer keperawat perawatan kritis sama-sama berkualitas.
8. Berdoa bagi pasien yang tidak dapat berbicara untuk diri mereka sendiri dalam
situasi yang memerlukan tindakan segera.
9. Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien menerima.
10. Bertindak sebagai penghubung antara pasien, keluarga pasien dan profesional
kesehatan lainnya.

c. The Critically Care Environment


Ruang perawatan intensif adalah lingkungan yang berpotensi memusuhi pasien
yang rentan terhadap sakit kritis. Selain stres fisik akibat penyakit, nyeri, obat penenang,
intervensi, dan ventilasi mekanik, ada stress psikologi dan psikososial yang dirasakan
oleh pasien. Salah satu faktor tambahan adalah lingkungan ICU yang juga diduga
berkontribusi terhadap sindrom yang dikenal dengan ICU psikosis/delirium. Sering
melaporkan faktor stres lingkungan adalah kebisingan, cahaya, pembatas mobilitas, dan
isolasi sosial.

2.1.3 Pelayanan Intensive Khusus


 Bedah jantung : CABG, MVR/DVR (Mitral/Double Valve Replacement), VSD
(Ventrikel Septal Defek), ASD (Atrial Septal Defek).
 Isolasi pasien kritis: Avian Influenza, Flu Meksiko, MRSA (Methicyllin Resistan
Staphylococcus Aureus), ESBL (Ekstendet Beta Lactamasa), TB Paru

5
2.1.4 Prinsip Keperawatan Kritis
Pasien kritis adalah pasien dengan perburukan patofisiologi yang cepat dan dapat
menyebabkan kematian. Ruangan untuk mengatasi pasien kritis di RS terdiri dari:
unit gawat darurat (UGD), dimana pasien diatasi pertama kali; unit perawatan intensif
(ICU), bagian yang mengatasi keadaan kritis, sedangkan bagian yang lebih
memusatkan perhatian pada penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah koroner
disebut dengan unit perawatan intensif koroner (ICCU). Baik UGD, ICU, dan ICCU
adalah unit perawatan kritis dimana perburukan patofisiologis dapat terjadi secara
cemat dan berakhir dengan kematian.
Pada kenyataannya, praktik penatalaksanaan kritis ini telah dimulai di tempat
kejadian maupun dalam waktu pengangkutan ke RS yang disebut dengan fase
prehospital. Tindakan yang dilakukan adalah resusitasi dan stabilisasi sambil
memantau perubahan yang mungkin terjadi dan tindakan yang diperlukan.

2.1.5 Alasan Pasien Masuk ke Intensive Care


Secara umum, pasien masuk ke unit perawatan karena membutuhkan monitoring
intensif dan perawatan diberikan untuk dukungan kehidupan. Pasien masuk ICU
dapat berasal dari kamar bedah, UGD, dan berbagai unit lain. Berikut ini beberapa
alasan yang menyebabkan pasien dirawat di ruang intensive:
 Kesulitan/kerusakan sisten pernapasan yang mengakibatkan ketidakmampuan
klien mempertahankan ventilasi dan oksigen. Masalah ventilasi dan oksigen
umumnya terjadi pada pasien penumonia, emboli paru, overdosis obat, dan distres
pernapasan. ICU mempunyai fasilitas dan alat untuk menjamin kepatenan
oksigenasi dan ventilasi.
 Masalah Sirkulasi seperti hipotensi, gangguan irama jantung: Pasien infark
miokard akut (heart attack), irama jantung tidak teratur yang membutuhkan
monitoring secara rutin, perdarahan internal atau eksternal, pasien hemodinamik
tidak stabil.
 Gangguan neurologis. Pasien tidak sadar atau gangguan status mental yang
membutuhkan monitoring status neurologis secara intensif untuk mendapat data
tentang perfusi sentral.

6
 Ancaman infeksi (risiko), seperti luka bakar atau sepsis, membutuhkan perawatan
intensif untuk mengontrol tekanan dan mempertahankan perfusi jantung, otak,
paru, ginjal. Contoh lain adalah pasien sepsis dan luka bakar terbuka yang sangat
membutuhkan perawatan intensif terhadap pemberian obat dan manajemen cairan.
 Pasien dengan masalah metabolik, seperti ketidakseimbangan elektrolit karena
diabetes, gagal ginjal, ketidakseimbangan asam basa yang membutuhkan
monitoring intensif dan titrasi pengobatan untuk mengontrol dan mencegah
komplikasi.
 Pasien pasca bedah jantung terbuka, bedah thoraks, bedah otak, bedah abdomen
(laparatomi), bedah ortopedi dimasukkan ke ICU karena membutuhkan
monitoring intensif. Pasien yang tidak ada prosedur intensif tapi memiliki riwayat
penyakit jantung atau pernapasan, dapat juga dimasukkan ke unit perawatan
intensif untuk observasi dan membutuhkan frekuensi pengkajian intensif.

2.1.6 Tujuan Perawatan Intensif


 Menyelamatkan kehidupan
 Mencegah terjadinya kondisi memburuk dan komplikasi melalui observasi dan
monitoring yang ketat disertai kemampuan menginterpretasikan setiap data yang di
dapat dan melakukan tindak lanjut.
 Meningkatkan kualitas hidup pasien dan mempertahankan kehidupan.
 Mengoptimalkan kemampuan fungsi organ tubuh pasien.
 Mengurangi angka kematian pasien kritis dan mempercepat proses penyembuhan
pasien.

2.1.7 Klasifikasi ICU


1. ICU Primer : Tingkat 1 (RS Tipe D/Kecil)
 Memantau dan mencegah penyulit pasien dan bedah yang berisiko
 Ventilasi mekanik dan pemantauan kardiovaskuler sederhana selama beberapa
jam
 Ruangan dekat dengan kamar bedah
 Kebijakan / criteria pasien masuk, keluar dan rujukan

7
 Kepala : dokter spesialis anestesi
 Dokter jaga 24 jam, mampu RJP
 Konsultan dapat dihubungi dan dipanggil setiap saat
 Jumlah perawat cukup dan sebagian besar terlatih
 Pemeriksaan Laborat : Hb, Hct, Elektrolit,GD, Trombosit
 Kemudahan Rontgen dan Fisioterapi
2. ICU Sekunder : Tingkat 2
 Memberikan pelayanan ICU umum: bedah, trauma, bedah syaraf, vaskuler dsb.
 Tunjangan ventilasi mekanik lebih lama.
 Ruangan khusus dekat kamar bedah
 Kebijakan dan kriteria pasien masuk, keluar dan rujukan
 Kepala intensivis, bila tidak ada SpAn.
 Dokter jaga 24 jam mampu RJP ( A,B,C,D,E,F )
 Ratio pasien : perawat = 1 : 1 untuk pasien dengan ventilator, RT dan 2 : 1 untuk
pasien lainnya.
 50% perawat bersertifikat ICU dan pengalaman kerja minimal 3 tahun di ICU
Mampu melakukan pemantauan invasife Lab, Ro, fisioterapi selama 24 jam
3. ICU Tersier : Tingkat III (RS Tipe A/B)
 Tempat khusus tersendiri di Rumah Sakit
 Memiliki kriteria klien masuk, keluar dan rujukan
 Memilki dokter sepesialis dan sub spesialis yang dapat dipanggil setiap saat.
 Dikelola oleh seorang ahli anestesiologi konsultan intensif care atau ahli yang
lain, yang bertanggung jawab secara keseluruhan.
 Ada dokter jaga 24 jam dan mampu melakukan CPR (BHD dan BHL).
 Ratio pasien : perawat = 1:1 untuk pasien dengan ventilator, dan 2 : 1 untuk
pasien lainnya.
 75% perawat bersertifikat ICU atau minimal pengalaman kerja di ICU 3 tahun
 Mampu melakukan pemantauan / terapi non invasive maupun invasive.
 Laborat, Ro, Fisioterapi selama 24 jam
 Mempunyai pendidikan medik dan perawat

8
 Memiliki prosedur pelaporan resmi dan pengkajian, Memiliki staf administrasi,
rekam medik dan tenaga lain.

2.1.8 Standar Minimun Pelayanan Instalasi Perawatan Intensive


 Resusitasi Jantung Paru (BHD)
 Air Way Management
 Terapi Oksigen: Ventilator
 Monitoring EKG, Pulse Oximetri
 Pemeriksaan Lab
 Terapi Titrasi
 Tehnik khusus sesuai pasien

2.1.9 Tanggung Jawab Peran Perawat:


1. Mendukung dan menghargai otonomi pasien, serta pengambilan keputusan yang
diinformasikan
2. Menjadi penengah apabila ada keraguan kepentingan siapa yang dilayani
3. Membantu pasien untuk memperoleh perawatan yang diperlukan
4. Menghormati nilai, keyakinan, dan hak pasien
5. Memberikan edukasi kepada pasien/yang mewakilkan dalam pengambilan keputusan
6. Menerangkan hak pasien untuk memilih
7. Mendukung keputusan pasien/yang mewakilkan atau memindah tangankan perawatan
kepada perawat keperawatan kritis dengan kualifikasi yang setara
8. Menjadi perantara basi pasien yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan juga
pasien yang memerlukan intervensi darurat
9. Memonitor dan menjamin kualitas pelayanan
10. Berlaku sebagai penghubung antara pasien/keluarga pasien dan anggota tim kesehatan
lain

9
2.1.10 Ciri-ciri Seorang Perawat Kritis
Berikut ciri-ciri dari level spesialis keperawatan kritis menurut robertson et al, (1996)
adalah :
1. Mengelola pasien dengan standar industri yang konsiten
2. Hormat terhadap sejawat dan lainnya
3. Role model
4. Utilisasi pengetahuan dalam aplikasi dan mengintergrasikan pengetahuan dan
praktek
5. Respon terhadap perubahan lingkungan secara kontinyu
6. Utilisasi riset dalam praktek
7. Mendukung staf yang kurang pengalaman dan menunjukan kesadaran kebutuhan
dari keutuhan unit
1. Profesional yang aktif
2. Memperlihatkan keterampilan komunikasi yang aktif
3. Memperlihatkan keterampilan pengkajian tingkat tinggi
4. Intrepretasikan situasi yang kompleks
5. Bertindak sebagai koordinator perawatan

Setelah mengetahui ciri-ciri dari keperawatan kritis spesialis maka kita lebih mudah
dalam merumuskan kompetensi, elemen dan ujuk kerja/penampilan yang dibutuhkan.

2.2 Peran Perawat Perawatan Kritis


Perawat perawatan kritis bekerja dalam berbagai pengaturan, mengisi banyak peran
termasuk dokter samping tempat tidur, pendidik perawat, peneliti perawat, manajer perawat,
perawat spesialis klinis dan praktisi perawat. Dengan terjadinya managed care dan migrasi
yang dihasilkan dari pasien untuk pengaturan alternatif, perawat perawatan kritis merawat
pasien yang lebih sakit dari sebelumnya.
Manajemen keperawatan juga telah memicu permintaan untuk perawat praktek maju
dalam pengaturan perawatan akut. Perawat praktek maju adalah mereka yang telah
menerima pendidikan lanjutan di master atau tingkat doktor. Dalam pengaturan perawatan

10
kritis, mereka yang paling sering adalah spesialis klinis perawat (CNS) atau praktisi perawat
perawatan akut(ACNP).
Sebuah CNS adalah dokter ahli dalam spesialisasi tertentu- perawatan kritis dalam kasus
ini. The SSP bertanggung jawab atas identifikasi, intervensi dan pengelolaan masalah klinis
untuk meningkatkan perawatan untuk pasien dan keluarga. Mereka menyediakan perawatan
pasien langsung, termasuk menilai, mendiagnosa, perencanaan dan resep pengobatan
farmakologi dan nonfarmakologi masalah kesehatan.
ACNPs di kritis pengaturan perawatan fokus padamembuat keputusan klinis yang
berkaitan dengan perawatan pasien yang kompleks. Kegiatan mereka termasuk penilaian
risiko, interpretasites diagnostikdan pengobatan menyediakan, yang mungkin termasuk obat-
obatan resep.

Perawat critical care mempunyai berbagai peran formal, yaitu :


 Bedsite nurse  peran dasar dari keperawatan kritis. Hanya mereka yg selalu
bersama pasien 24 jam, dalam 7 hari seminggu
 Pendidik critical care  mengedukasi pasien
 Case manager  mempromosikan perawat yang sesuai dan tepat waktu
 Manager unit atau departemen (kepala bagian)  menjadi pengarah
 Perawat klinis spesialis  dapat membantu membuat rencana asuhan keperawatan
 Perawat praktisi  mengelola terapi dan pengobatan.

Pada akhirnya perawat critical care mengkoordinkasikan dengan tim


mengimplementasikan rencana askep, memodif rencana sesuai kebutuhan dan respon
pasien.

Adapun kompetensi perawat kritis adalah:

 Pengkajian klinis : mengumpulkan data tentang pasien, evaluasi praktik


 Pembuatan keputusan klinis: menilai/membuat keputusan berdasarkan data dan tanda
gejala
 Perawatan: memberi askep pada pasien
 Advokasi: melindungi hak pasien dan keluarga

11
 Memikirkan sistem: mengarahkan sistem pelayanan yang bermanfaat bagi pasien
 Fasilitator pembelajaran: sebagai edukator
 Berespons terhadap keberagaman: terima pasien dengan budaya yg berbeda
 Kolaborasi: kerjasama dengan profesi lain

AACN juga menjelaskan bahwa peran perawat kritis adalah peran advokat.
AACN mendefinisikan advokat adalah menghormati dan mendukung nilai-nilai
dasar, hak-hak, dan keyakinan pasien sakit kritis. Dalam peran ini, perawat kritis
melakukan hal:

 Menghormati dan mendukung hak pasien atau pengganti pasien yang ditunjuk
untuk pengambilan keputusan otonomi
 Menjadi penegah apabila ada keraguan kepentingan siapa yang dilayani.
 Membantu pasien mendapatkan perawatan yg dibutuhkan
 Menghormati nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, dan hak-hak pasien
 Menyediakan pendidikan dan dukungan untuk membantu pasien atau pengganti
pasien yg ditunjuk membuat keputusan.
 Mewakili pasien sesuai dengan pilihan pasien
 Mendukung keputusan pasien atau yang mewakilkan atau memindah tangankan
perawatan kepada perawat keperawatan kritis dengan kualifikasi yang setara.
 Menjadi perantara bagi pasien yang tidak bisa mengambil keputusan sendiri dan
juga pasien yang memerlukan intervensi darurat.
 Berdoa bagi pasien yang tidak dapat berbicara untuk mereka sendiri
 Memantau dan menjaga kualitas perawatan pasien
 Bertindak sebagai penghubung antara pasien, keluarga, dan profesional kesehatan
lainnya

12
2.3 Proses Keperawatan pada Area Keperawatan Kritis
Proses keperawatan memberikan suatu pendekatan yang sistematis, dimana perawat
keperawatan kritis dapat mengevaluasi masalah pasien dengan cepat.
2.3.1 Pengkajian
Dilakukan pada semua sistem tubuh untuk menopang dan mempertahankan
sistem-sistem tersebut tetap sehat dan tidak terjadi kegagalan. Pengkajian meliputi
proses pengumpulan data, validasi data, menginterpretasikan data dan
memformulasikan masalah sesuai hasil analisa data.
Pengkajian awal di dalam keperawatan intensive sama dengan pengkajian
umumnya yaitu dengan pendekatan sistem yang meliputi askep bio-psiko-sosio-
kultural-spiritual. Namun, jika klien dirawat dan telah terpasang alat-alat bantu
mekanik seperti alat bantu napas, hemodialisa, pengkajian juga diarahkan pada hal-
hal yang lebih khusus yakni terkait dengan terapi dan dampak dari penggunaan alat
tersebut. Data subjektif dan objektif harus selalu didapat dari pasien. Pada situasi
kritis, data subjektif lebih sedikit didapat dibandingkan data objektif, dikarenakan
wawancara tidak domain dipraktikkan untuk memperoleh data. Data objektif sering
dan representatif digunakan sebagai data pengkajian di unit keperawatan intensif
dengan tidak mengabaikan respon subjektif yang ada.
Adapun jenis pengkajian yg dilakukan:
 Pengkajian awal: di UGD
 Pengkajian dasar : menerapkan tindakan review of sistem, misalnya pengkajian
neurologis, karviovaskular. Aspek yang dilihat direpresentasikan ke sistem
 Pengkajian terus menerus (intens)
 Pengkajian khusus : pengkajian mesin-mesin pendukung kehidupan, seperti titrasi
obat, HD, dll.

2.3.2 Diagnosa Keperawatan


Setelah melakukan pengkajian, data dikumpulkan dan diinterpretasikan kemudian
dianalisa lalu ditetapkan masalah/diagnosa keperawatan berdasarkan data yang
menyimpang dari keadaan fisiologis, mengutamakan diagnosa aktual, risiko, problem
kolaboratif, dan syndrome diagnostic. Kriteria hasil ditetapkan untuk mencapai tujuan

13
dari tindakan keperawatan yg diformulasikan berdasarkan pada kebutuhan klien yang
dapat diukur dan realistis.
Diagnosa keperwatan ditegakkan untuk mencari perbedaan serta mencari tanda
gejala yg sulit diketahui untuk mencegah kerusakan/gangguan yang lebih luas.
Diagnosa keperawatan atau masalah area keperawatan kritis difokuskan pada kondisi
fisiologis yang menjadi alasan aktual pasien dirawat atau mengancam. Kondisi yang
membutuhkan perawatan kritis adalah gangguan (patologis) sistem pernapasan,
sistem kardiovaskular, sistem neurologis, calit, sistem perkemihan, nutrisi. Masalah
yang membutuhkan perawatan ICU adalah :
 Gagguan difusi gas
 Ketidakefektifan bersihan jalan napas
 Penurunan curah jantung
 Defisit volume cairan
 Kelebihan volume cairan
 Risiko defisit volume cairan
 Risiko ketidakseimbangan volume cairan
 Risiko ketidakseimbangan elektrolit
 Risiko infeksi
 Risiko syok
 Kecemasan
 Defisit perawatan dirin
 Risiko gg integritas kulit
 Problem Kolaboratif: potensial komplikasi gagal napas, potensial komplikasi
hipokalemia, potensial komplikasi hipernatremia
 Syndrome diagnostic: kumpulan diagnosa keperwatan yg dominan menghasilkan dx
baru.
2.3.3 Perencanaan
Sebelum dibuat rencana tindakan, terlebih dahulu memprioritaskan masalah.
Prioritas masalah dibuat berdasarkan pada ancaman/risiko ancaman hidup (contoh:
penurunan curah jantung, defisit volume cairan, bersihan jalan napas tdk efektif, gg

14
pertukaran gas, pola napas tdk efektif, inefektif perfusi jaringan (cerebral, ginjal,
abdomen).
Dx keperawatan dibuat untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan (cth: risiko
ketidakseimbangan cairan, risiko infeksi, risiko trauma) dan diagnosa keperawatan
untuk mencegah komplikasi (spt risiko gg integritas kulit). Yg terakhir adalah
mengidentifikasi diagnosa syndrome (cth: defisit perawatan diri).
Perencanaan tindakan mencakup 4 unsur kegiatan:
 Observasi/monitoring
 Terapi keperawatan
 Pendidikan
 Terapi kolaboratif.

Pertimbangan lain adalah kemampuan untuk melaksanakan rencana dilihat dari


keterampilan perawat, fasilitas, kebijakan, dan standar operasional prosedur.
Perencanaan tindakan perlu pula diprioritaskan dengan perencanaan ini untuk
membuat efisiensi sumber-sumber, mengukur kemampuan perawat dan
mengoptimalkan penyelesaian masalah. Perawatan harus dibuat berdasarkan pada
parameter yg objektif dan jelas.

2.3.4 Implementasi
Semua tindakan yang dilakukan dalam pemberian askep dilakukan sesuai dengan
rencana tindakan. Hal ini penting untuk mencapai tujuan. Tindakan keperawatan
dapat dalam bentuk observasi, tindakan prosedur tertentu, tindakan kolaboratif, dan
pendidikan kesehatan. Dalam tidnakan perlu ada pengawasan terus menerus terhadap
kondisi klien termasuk perilaku. Terapi ditujuan pada gejala yang muncul pertama
kali untuk mencegah krisis dan secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama
sampai dapat beradaptasi dengan tercapainya tingkat kesembuhan yang lebih tinggi
atau terjadi kematian.
Dokumentasi setiap tindakan yang telah dilakukan sehingga meyakinkan bahwa
setiap tindakan telah terlaksana dengan benar.

15
2.3.5 Evaluasi
Merupakan proses penentuan perbaikan kondisi pasien terhadap pencapaian hasil
yang diharapkan. Dilakukan secara tepat, terus menerus dan dalam waktu yg lama
untuk mencapai keefektifan masing-masing terapi/tindakan, secara terus menerus
menilai kriteria hasil untuk mengetahui perubahan situasi pasien. Dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pasien kritis prioritas pemenuhan kebutuhan tetap
mengacu pada hirarki dasar Maslow dengan tidak meninggalkan prinsip holistik.
Proses evaluasi terdiri atas 3 jenis:
 Evaluasi progres: dilakukan terus menerus, untuk menilai keberhasilan suatu
tindakan. Perbaikan masalah langsung dilakukan saat itu juga.
 Evaluasi intermitten: memiliki batas waktu dan indikator, pelaporan dilakukan di
akhir shift merupakan kesimpulan dari evaluasi progres.
 Evaluasi terminal: dilakukan pada saat pasien hendak dipindahkan ke ruang,
dirujuk, atau dipulangkan.

2.3.6 Dokumentasi Keperawatan


Dokumentasi adalah catatan yang berisi data pelaksanaan tindakan keperawatan
atau respon klien terhadap tindakan keperawatan sebagai petanggungjawaban dan
pertanggunggugatan terhadap asuhan keperawatan yang dilakukan perawat kepada
pasien dari kebijakan.
Dokumentasi keperawatan merupakan dokumentasi legal dalam sistem pelayanan
keperawatan, karena melalui pendokumentasikan yang baik, maka informasi
mengenai keadaan kesehatan klien dapat diketahui secara berkesinambungan.

2.4 Efek Kondisi Kritis Terhadap Pasien dan Keluarga


Penyakit kritis adalah kejadian dramatis emosional yang dialami pasien dan
keluarganya. Untuk beberapa situasi tertentu persiapan dari segi psikologis perlu
dilakukan. Perawat kritis berada di posisi yang paling tepat untuk memahami kondisi
yang dialami pasien dan keluarganya dan membantu mereka untuk beradaptasi dengan
situasi yang ada. Gejala fisik dari penyakit kritis yang mengancam jiwa, seperti nyeri

16
tingkat akhir atau perdarahan biasanya disertai dengan respon psikologis dari pasien dan
keluarganya, seperti:
1. Cemas
2. Takut
3. Panik
4. Marah
5. Perasaan bersalah
6. Distres spiritual

Respon psikologis tersebut dapat memperburuk gejala-gejala fisik yang diderita pasien.

2.4.1 Efek kondisi kritis pada pasien:


1. Stress
Muncul apabila pasien dihadapkan dengan stimulus yang menyebabkan
ketidakseimbangan antara fungsi fisiologis dan psikologis.

2. Kecemasan
Penyebab: perasaan terisolasi, dan perasaan kesepian.
Kecemasan terjadi saat seseorang mengalami hal-hal:
a. Ancaman ketidakberdayaan
b. Kehilangan kendali
c. Merasa kehilangan fungsi dan harga diri
d. Pernah mengalami kegagalan pertahanan
e. Rasa isolasi
f. Rasa takut sekarat

Respon terhadap kecemasan:


1. Respon fisologis  frekuensi nadi cepat, peningkatan tekanan darah, peningkatan
pernapasan, dilatasi pupil, mulut kering, dan vasokontriksi perifer dapat tidak
terdeteksi
2. Respon sosiopsikologis  respon perilaku yang menandakan kecemasan seringkali
didasari oleh sikap keluarga dan budaya.

17
2.4.2 Pola Adaptasi
Peran Perawat:
1. Menciptakan lingkungan yang menyembuhkan
2. Menumbuhkan rasa percaya
3. Memberikan informasi
4. Memberikan kendali
5. Kepekaan budaya
6. Kehadiran dan penenangan
7. Teknik kognitif

2.4.3 Efek kondisi kritis pada keluarga:


1. Stres
Stresor dapat berupa: fisiologis (trauma, biokimia, atau lingkungan), psikologis
(emosional, pekerjaan, sosial, atau budaya)
2. Rasa takut dan kecemasan
3. Peralihan tanggung jawab
4. Masalah keuangan
5. Tidak adanya peran sosial

2.5 Isu End of Life di Keperawatan Kritis


Perawatan end of life merupakan perawatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dengan membantu mengatasi masalah penderitaan fisik,
psikologis, sosial dan spiritual pada pasien yang tidak lagi responsif terhadap tindakan
kuratif.
End of life atau kematian terjadi apabila fungsi pernapasan dan jantung berhenti. Pada
umumnya, kematian disebabkan oleh penyakit atau trauma yang mengakibatkan mekanisme
kompensasi tubuh berlebihan. Penyebab langsung kematian adalah:
a. Gagal napas dan syok yang mengakibatkan berkurangnya aliran darah untuk
memenuhi kebutuhan organ vital seperti otak, ginjal, jantung.

18
b. Multiple organ dysfunction syndrome (MODS) merupakan problem patologis di unit
keperawatan kritis yang menjadi penyebab kematian.
c. Tidak adekuatnya aliran darah pada jaringan tubuh menjadikan sel kekurangan
oksigen. Pada keadaan hipoksia tubuh melakukan metabolisme tanpa menggunakan
oksigen (anaerob) disertai asidosis, hiperkalemia, dan iskemia jaringan.
d. Perubahan secara dramatis pada organ vital menunjukkan pelepasan dari toxin hasil
metabolisme dan kerusakan enzim. Ini adalah proses yg menjelaskan bahwa sudah
terjadinya MODS.

Kematian klinis adalah kematian yang terjadi setelah berhentinya denyut jantung dan
pernapasan berirama, tidak ada gangguan fungsi otak atau kematian batang otak. Pada
situasi ini dengan tindakan CPR masih mungkin berhasil memulihkan organ.
Bagaimanapun, CPR akan sia-sia bila pasien menderita penyakit terminal dan sudah
mengalami MODS.
American Association of Critical Nursing mempublikasikan 15 kompetensi dasar untuk
meningkatkan kualitas askep end of life:
1. Menggali perubahan dinamis tentang populasi demografi, pelayanan kesehatan yang
ekonomis, dan jasa layanan kesehatan yang mendukung peningkatan kesiapan askep
end of life.
2. Meningkatkan kepedulian terhadap kenyamanan asuhan pada kematian secara aktif,
yang diinginkan, dan mementingkan skill dan merupakan bagian integral dari askep
3. Komunikasi secara efektif dan penuh kasih sayang yang melibatkan klien dan keluarga
serta anggota team asuhan tentang isu end of life
4. Menggali sikap, perasaan, nilai dan harapan diri tentang kematian, budaya serta
kepercayaan rohani dan kebiasaan pasien.
5. Berperilaku rasa hormat terhadap pendapat dan harapan pasien selama asuhan
perawatan end of life
6. Kolaborasi antar anggota tim kesehatan lain saat sedang melaksanakan peran
keperawatan pada asuhan end of life
7. Gunakan alat yang standar yang didasari ilmu pengetahuan untuk mengkaji gejala dan
tanda yang diperlihatkan pasien saat kematian

19
8. Penggunaan data dari pengkajian gejala untuk membuat rencana tindakan, pada
manajemen gejala menggunakan standar pendekatan tradisional
9. Mengevaluasi dampak dari terapi tradisional, komplementer, dan teknologi berpusat
pada hasil akhir pasien
10. Mengkaji terapi dari berbagai sudut pandang meliputi kebutuha fisik, psikologis, sosial
dan spiritual untuk meningkatkan kualitas askep

2.5.2 Peran perawat dalam keperawatan end of life:


a. Memberikan dukungan perawatan fisik
b. Mengatasi semua gejala penyakit
c. Memberikan perawatan fisik dengan memandikan pasien
d. Merawat area tekan
e. Memberikan analgesik dan sedasi
f. Peran perawat advokasi : Mendengarkan, Memahami keinginan, Membantu dalam
pembuatan keputusan yang dibutuhkan, Mendukung pilihan keluarga terhadap
perawatan pasien

2.5.3 Tahapan Perawatan End Of Life


a. Tahap 1
1) Perawat mengenali kematian yang tidak bisa dihindari sebelum dokter dan
keluarganya
2) Mendorong dokter untuk mengkomunikasikan dan mendiskusikan beberapa
pilihan secara langsung dengan keluarga tentang tindakan penghentian dukungan
hidup dan peyampaian berita buruk
b. Tahap 2
Merencanakan pertemuan dengan keluarga untuk membantu keluarga membuat
keputusan sendiri dan siap menghadapi tindakan penghentian dukungan hidup pasien
c. Tahap 3
Ketika keluarga telah menentukan keputusan untuk penghentian dukungan hidup
dimana pasien dan keluarga butuh waktu untuk bersama

20
2.5.4 Dampak Perawatan End Of Life
1. Perawat merasa simpati dan kasihan kepada pasien
2. Perawat mengalami kecemasan dan depresi
3. Perawat merasa tidak berdaya, marah, frustasi, dan sedih
4. Perawat merasakan kesulitan dan gangguan emosional
5. Perawat juga mengalami distres

2.6 Psokososial Aspek dari Keperawtan Kritis


Aspek psikososial dari sakit kritis merupakan suatu tantangan yang unik bagi perawat
pada keperawatan kritis. Perawat harus secara seimbang dalam memenuhi kebutuhan fisik
dan emosional dirinya maupun kliennya dalam suatu lingkungan yang dapat menimbulkan
stress dan dehumanis. Untuk mencapai keseimbangan ini perawat harus mempunyai
pengetahuan tentang bagaimana keperawatan kritis yang dialami mempengaruhi kesehatan
psikososial pasien, keluarga dan petugas kesehatan.
2.6.1 Perawat
Fenomena Stres
ICU seringkali digambarkan sebagai suatu tempat yang penuh dengan stress, tidak
hanya bagi klien dan keluarganya tetapi juga bagi perawat. Pemahaman yang baik tentang
stres dan akibatnya akan membantu ketika bekerja pada unit keperawatan kritis. Pemahaman
ini dapat memungkinkan perawat untuk mengurangi efek destruktif stress dan meningkatkan
potensi positif dari stress baik pada pasien dan dirinya sendiri.
a. Stres
Stress didefinisikan sebagai respon fisik dan emosional terhadap tuntutan yang
dialami individu yang diiterpretasikan sebagai sesuatu yang mengancam
keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Stres merupakan suatu fenomena
komplek, dimana sekumpulan komponen saling berinteraksi dan bekerja serentak.
Ketika sesuatu hal mengubah satu komponen subsistem, maka keseluruhan sistem
dapat terpengaruh. Jika tuntutan untuk berubah menyebabkan ketidakseimbangan
(disequilibrium) pada sistem, maka terjadilah stress. Individu kemudian memobilisasi
sumber-sumber koping untuk mengatasi stress dan mengembalikan keseimbangan.
Idealnya, stress bergabung dengan perilaku koping yang tepat akan mendorong suatu

21
perubahan positif pada individu. Ketika stress melebihi kemampuan koping seseorang,
maka potensi untuk menjadi krisis dapat terjadi.
b. Stresor
Stressor merupakan faktor internal maupun eksternal yang dapat mengubah
individu dan berakibat pada terjadinya fenomena stress (Emanuelsen & Rosenlicht,
1986). Sumber stressor dapat berasal dari subsistem biofisikal, psikososial atau
masyarakat. Stressor biofisik antara lain organisme infeksius, proses penyakit atau
nutrisi yang buruk. Sedangkan contoh stressor psikososial adalah harga diri yang
rendah, masalah hubungan interpersonal, dan krisis perkembangan. Stressor ini berasal
dari masyarakat luas seperti fluktuasi ekonomi polusi dan teknologi tinggi.
Bagaimana orang mengalami suatu stressor tergantung pada persepsinya tentang
stressor dan sumber kopingnya. Stress juga merupakan tambahan (additive). Jika
seseorang mendapat serangan stressor yang multipel, maka respon stress akan lebih
hebat.
c. Respon stress
Rspon stress dapat diinduksi oleh stressor biofisik, psikososial atau stressor social.
Hans Selye dalam Emanuelsen & Rosenlicht (1986) mengemukakan temuanya tentang
stress kedalam suatu model stress yang disebut general adaptation syndrome (GAS).
GAS terdiri atas 3 tahap yaitu (a) alarm respon, (b) stage of resistance dan stage of
exhaustion.
a. Alarm respon. Merupakan tahap pertama dan ditandai oleh respon cepat,
singkat, melindungi/memelihara kehidupan dimana merupakan aktivitas total
dari system saraf simpatis. Tahap ini sering disebut dengan istilah menyerang
atau lari (fight-or-flight response).
b. Stage of resistance. Merupakan tahap kedua, dimana tubuh beradaptasi terhadap
ketidakseimbangan yang disebabkan oleh stressor. Tubuh bertahan pada tahap
ini sampai stressor yang membahayakan hilang dan tubuh mampu kembali
kekeadaan homeostasis. Jika semua energi tubuh tubuhnya digunakan untuk
koping, maka dapat terjadi tahap yang ketiga yaitu tahap kelelahan.

22
c. Stage of exhaustion. Saat semua energi telah digunakan untuk koping, maka
tubuh mengalami kelelahan dan berakibat pada terjadinya sakit fisik, gangguan
psikososial dan kematian.

2.6.2 Klien
Klien yang sakit dan harus masuk ke ruang ICU tidak saja bertambah menderita
akibat stress sakit fisiknya tetapi juga stress akibat psikososialnya. Konsekuensinya,
perawat yang melakukan asuhan keperawatan pada unit keperawatan kritis didesign
untuk memelihara atau mengembalikan semua fungsi fisik vital dan fungsi-fungsi
psikososial yang terganggu oleh keadaan sakitnya.
a. Respon psikososial
Respon psikososial klien terhadap pengalaman keperawatan kritis mungkin
dimediasi oleh fenomena internal seperti keadaan emosional dan mekanisme koping
atau oleh fenomena eksternal seperti kuantitas dan kualitas stimulasi lingkungan.
b. Reaksi emosional.
Intensitas reaksi emosional dapat mudah dipahami jika menganggap bahwa ICU
adalah tempat dimana klien berusaha menghindari kematian. Klien dengan
keperawatan kritis memperlihatkan reaksi emosional yang dapat diprediksi dimana
mempunyai ciri-ciri yang umum, berkaitan dengan sakitnya.
1. Takut dan kecemasan secara umum adalah reaksi pertama yang tampak. Klien
mungkin mengalami nyeri yang menakutkan, prosedur yang tidak nyaman,
mutilasi tubuh, kehilangan kendali, dan/atau meninggal.
2. Depresi seringkali muncul setelah takut dan kecemasan. Depresi seringkali
merupakan respon terhadap berduka dan kehilangan.pengalaman kehilangan dapat
memicu memori dimasa lalu muncul kembali dengan perasaan sedih yang lebih
hebat.
3. Marah dapat terjadi setelah atau selama depresi. Seringkali marah
menyembunyikan adanya depresi dan dapat mencegah klien jatuh ke dalam
depresi yang lebih dalam. Klien dapat merasa marah atau benci tentang sakitnya
dan seringkali mengeluh bahwa hidup tidaklah adil.

23
2.6.3 Mekanisme koping
Mekanisme koping merupakan sekumpulan strategi mental baik disadari maupun
tidak disadari yg digunakan untuk menstabilkan situasi yang berpotensi mengancam dan
membuat kembali ke dalam keseimbangan (Emanuelsen & Rosenlicht, 1986). Strategi
koping klien merupakan upaya untuk menimbulkan stabilitas emosional, menguasai
lingkungan, mendefinisikan kembali tugas/tujuan hidup, dan memecahkan masalah yang
ditimbulkan oleh karena sakit/penyakit. Beberapa contoh perilaku koping adalah humor,
distraksi, bertanya untuk suatu informasiberbicara dengan yang lain tentang
keluhan/perasaan-perasaannya, mendefinisikan kembali masalah kedalam istilah yang
lebih disukai, menghadapi masalah dengan dengan melakukan beberapa tindakan,
negosiasi kemungkinan pilihan/alternatif, menurunkan ketegangan dengan minum,
makan atau menggunakan obat, menarik diri, menyalahkan seseorang atau sesuatu,
menyalahkan diri sendirimenghindar dan berkonsultasi dengan ahli agama.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Keperawatan kritis adalah keahlian khusus di dalam ilmu perawatan yang
menghadapi secara rinci dengan manusia yang bertanggung jawab atas masalah yang
mengancam jiwa.Perawat kritis adalah perawat profesional yang resmi yang bertanggung
jawab untuk memastikan pasien dengan sakit kritis dan keluarga-keluarga mereka
menerima kepedulian optimal (American Association of Critical-Care Nurses).

25
DAFTAR PUSTAKA

Laura A. 1997. Pengkajian Keperawatan Kritis Edisi: 2. Jakarta: EGC


Morton, Patricia Gonce, dkk. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Holistik.
Jakarta: EGC
Tabrani. 2007. Agenda gawat darurat (Critical Care). P. T Alumni: Bandung. 2014. Critical
Care Nursing.

26

Anda mungkin juga menyukai