Anda di halaman 1dari 22

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Motivasi
Istilah motivasi, dalam kehidupam sehari-hari memiliki pengertian
yang beragam baik yang berhubungan dengan perilaku individu maupun
perilaku organisasi. Namun apapun pengertiannya, motivasi merupakan
unsur penting dalam diri manusia yang berperan dalam mewujudkan
keberhasilan dalam usaha maupun pekerjaan manusia. Dasar pelaksanaan
motivasi oleh seorang pimpinan adalah pengetahuan dan perhatian
terhadap perilaku manusia yang dipimpinnya sebagai suatu faktor penentu
keberhasilan organisasi.
Istilah motivasi berasal dari kata Latin “movere” yang berarti
dorongan atau menggerakkan. Motivasi mempersoalkan bagaimana cara
mengarahkan daya dan potensi agar bekerja mencapai tujuan yang
ditentukan (Hasibuan: 2010-141). Menurut Sutrisno (2011:109) Motivasi
adalah suatu faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan suatu
aktifitas tertentu, oleh karena itu motivasi sering kali diartikan pula
sebagai faktor pendorong perilaku seseorang.

B. Teori Motivasi
1. Teori Movitasi Isi
a. Teori Kebutuhan Manusia dari Abraham Maslow
Abraham H. Maslow adalah seorang ahli psikologi yang
merupakan salah satu pelopor dalam mengembangkan teori
motivasi, dimulai pada dekade tahun empat puluhan dan hasil-hasil
pemikirannya yang dituangkan dalam buku dengan judul
Motivation and Personality. Teori motivasi versi Maslow tersebut
dikaitkan dengan pemuasan berbagai kebutuhan manusia.
Umar (1998 :37) menyatakan bahwa menurut Maslow
manusia mempunyai sejumlah kebutuhan yang diklasifikasikannya
pada lima tingkatan kebutuhan (hierarchy of needs), yaitu :
 Kebutuhan fisiologis
 Kebutuhan akan rasa aman
 Kebutuhan sosial
 Kebutuhan mencerminkan harga diri
 Kebutuhan aktualisasi diri

Dan secara skematik dapat digambarkan seperti pada Gambar 2.1


sbb :

Tinggi

Rendah AKTUALISASI
DIRI

PENGHARGAAN

SOSIALISASI

RASA AMAN

FISIOLOGIS

Gambar 2.1

Kebutuhan yang bersifat fisiologis sering diidentikan


dengan kebutuhan yang bersifat materi atau kadang kala disebut
juga sebagai kebutuhan primer. Kebutuhan tersebut merupakan
kebutuhan nyata, bahkan sejak seseorang masih dalam kandungan
ibunya dan berlanjut hingga yang bersangkutan memasuki liang
kubur (from womb to tomb). Kenyataan menunjukkan bahwa
kebutuhan fisiologis tidak pernah berhenti pada titik tertentu dan
karena itu pemuasannya pun tidak pernah tuntas. Pangan, sandang
dan papan dijadikan contoh pembahasan berikut ini.
Seseorang yang tingkat kemampuannya sangat terbatas
dalam memuaskan kebutuhan mendasar ini, tidak terlalu peduli
soal pemuasan 2000 unit kalori dan 50 gram protein per hari.
Baginya ungkapan ‘empat sehat lima sempurna’ hanya sebagai
slogan para penyuluh pertanian dan kesehatan. Baginya
pemahaman tentang pentingnya makanan bergizi tinggi, vitamin,
mineral, karbohidrat, makanan yang mengandung serat tinggi,
tidaklah teramat penting. Sebagai seorang awam dalam bidang
pangan dan kesehatan, arti ‘makan’ baginya adalah ‘kenyang’.
Sebaliknya jika kemampuan ekonomi seseorang meningkat, hal-hal
tersebut menjadi perhatian.
Demikian pula halnya dengan sandang, Jumlah, jenis dan
mutu sandang seseorang tidak ‘berhenti’ pada satu kondisi tertentu.
Makin tinggi kedudukan dan kemampuan seseorang, kebutuhan
sandangnya makin beraneka ragam karena busana yang dipakainya
untuk berbagai kepentingan, berbeda satu sama lain. Pakaian yang
dikenakan di rumah dalam suasana santai, lain dari busana yang
dikenakan ketika menerima tamu. Makin banyak jenis olah raga
yang diminati oleh seseorang, makin beragam pula pakaian olah
raga yang diperlukannya. Jika seseorang menerima undangan, jenis
pakaian yang dipakaipun lain tergantung pada sifat undangan itu.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa kebutuhan sandang sungguh
beraneka ragam, tergantung pada kedudukan dan status seseorang
di organisasi dan di masyarakat.
Pemuasan kebutuhan papan pun tidak mengenali titik
jenuh, ukuran rumah, jumlah kamar di dalamnya, lokasinya, bahan
bangunan yang digunakannya, merupakan kriteria yang terus
berubah seirama dengan perubahan kemampuan, status dan
kedudukan seseorang.
Perihal keamanan, sebagai kebutuhan tidak hanya
menyangkut keamanan fisik ditempat kediaman, dipemukiman,
dalam perjalanan, dan di tempat pekerjaan, meskipun hal itu
termasuk penting, akan tetapi juga keamanan mental psikologis
dalam meniti karier, dalam arti mendapat perlakuan yang
manusiawi dan tidak selalu dihantui oleh pengenaan sanksi apalagi
pemutusan hubungan kerja.
Kebutuhan sosial timbul dan harus dipenuhi, karena salah
satu predikat yang diberikan kepada manusia adalah sebagai
makhluk sosial. Pentingnya hal itu telah dibahas pada bab
sebelumnya, oleh karena itu tidak akan diulangi lagi di sini. Yang
masih perlu ditambahkan ialah pentingnya penciptaan dan
pemeliharaan iklim kekeluargaan, kebersamaan dan kerja sama
dalam kehidupan berorganisasi. Dengan semangat demikian,
kalaupun para anggota organisasi harus bersaing dalam kekaryaan,
persaingan yang terjadi akan berupa persaingan sehat dan
pelaksanaan tugas pekerjaan akan didasarkan pada pendekatan
sinergi.
Yang tidak kalah pentingnya bagi manajemen ialah,
memuaskan kebutuhan yang mencerminkan pengakuan atas harkat,
martabat dan harga diri para bawahan. Pemuasan kebutuhan itu
pada umumnya tercermin pada simbol-simbol yang sangat
beraneka ragam, seperti tanda pangkat, tanda jabatan, tanda-tanda
penghargaan, tanda-tanda jasa, piagam, letak ruangan kerja,
luasnya ruang kerja termasuk tipis tebalnya karpet, sarana dan
fasilitas kerjanya seperti ukuran dan bentuk kursi dan meja kerja,
mempunyai nomor telepon sendiri atau tidak, kendaraan dinas
pribadi, pengemudi, sekretaris pribadi, tempat parkir khusus
bahkan juga jenis pakaian yang dikenakan misalnya berdasi atau
tidak. Kebutuhan tersebut pun merupakan kebutuhan nyata dan
pengamatan menunjukkan, bahwa makin tinggi kedudukan
seseorang dalam organisasi, makin banyak simbol-simbol
statusnya. Sepanjang pemenuhan kebutuhan tersebut masih dalam
batas-batas kemampuan organisasi dan sesuai dengan budaya
organisasi, hal itu harus dilakukan, karena merupakan fakor
motivasional yang kuat. Hanya saja harus diperhatikan, jangan
sampai pemberian simbol-simbol status tersebut dan
penggunaannya oleh yang besangkutan menjadi ‘sekat-sekat
pemisah’ antara berbagai hierarki manusia dalam organisasi.
Kebutuhan terakhir menurut teori Maslow ialah aktualisasi
diri, perwujudannya yang paling nyata dan menonjol ialah
kesempatan untuk menimba ilmu dan pengetahuan baru serta
menggali keterampilan baru. Wahana utamanya ialah kesempatan
memperoleh pendidikan dan pelatihan tambahan, baik di dalam
maupun di luar organisasi. Pentingnya kebutuhan ini terpenuhi
terlihat pada keinginan yang bersangkutan untuk melaksanakan
tugas sekarang dengan lebih baik dan pemutakhiran ilmu dan
keterampilannya agar sesuai dengan tuntutan organisasi di masa
yang akan datang. Kebutuhan ini harus dipuaskan karena dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian
pesat. Pengetahuan dan keterampilan seseorang akan cepat
‘ketinggalan zaman’.
Suatu catatan penting yang perlu ditambahkan dalam
pembahasan teori Maslow ialah, dewasa ini diketahui bahwa
klasifikasi kebutuhan manusia menjadi lima golongan tetap berlaku
dan dapat digunakan sebagai instrumen analisis. Yang dipandang
tidak tepat ialah, penggunaan istilah ‘hierarki kebutuhan’, karena
jika kebutuhan manusia hierarkis, itu berarti bahwa pemuasannya
analog dengan naik tangga. Anak tangga kedua hanya dinaiki
setelah anak tangga pertama. Berarti jika konsep ini yang
digunakan, kebutuhan kedua hanya akan diupayakan
pemenuhannya setelah kebutuhan pertama terpuaskan dan
seterusnya. Padahal dalam kenyataannya tidaklah demikian halnya.
Artinya kelima jenis kebutuhan tersebut dapat timbul simultan
meskipun pada tingkat intensitas yang berbeda-beda.

b. Teori X dan Y dari Douglas Mc Gregor


Douglas Mc Gregor adalah seorang ilmuwan yang
mengembangkan teori motivasi, hasil pemikirannya dituangkan
dalam karya tulis dengan judul The human Side of Enterprise.
Kesimpulan yang menonjol dalam karya Mc Gregor ialah
pendapatnya yang menyatakan bahwa para manajer
menggolongkan para bawahannya pada dua kategori berdasarkan
asumsi tertentu. Asumsi pertama ialah, bahwa para bawahan tidak
menyenangi pekerjaan, pemalas, tidak senang memikul tanggung
jawab dan harus dipaksa agar menghasilkan sesuatu. Para bawahan
yang diasumsikan berciri seperti itu dikategorikan sebagai
‘manusia X’. Sebaliknya dalam organisasi terdapat pula para
karyawan yang senang bekerja, kreatif, menyenangi tanggung
jawab dan mampu mengendalikan diri, mereka dikategorikan
sebagai ‘manusia Y’.
Para manajer akan lebih berhasil menggerakkan manusia
‘X’ jika menggunakan ‘motivasi negatif’, sedangkan menghadapi
para bawahan yang termasuk kategori ‘Y’, motivasi positiflah yang
lebih efektif. Misalnya upaya mendorong manusia ‘X’
meningkatkan produktivitasnya adalah berupa imbalan disertai
dengan ancaman bahwa jika yang bersangkutan tidak bekerja
dengan lebih baik, kepadanya akan dikenakan sangsi organisasi.
Sebaliknya pujian atau penghargaan akan merupakan senjata yang
ampuh untuk mendorong manusia ‘Y’ meningkatkan
produktivitasnya.
Dari uraian mengenai teori motivasi menurut Douglas Mc
Gregor diatas, dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja karyawan
sangat ditentukan oleh bagaimana seorang manajer dalam
organisasi mendefinisikan sikap dan perilaku karyawannya,
sehingga pimpinan tersebut memutuskan gaya kepemimpinan yang
harus dipilih (dijalankan). Jadi jelaslah bahwa gaya kepemimpinan
(peranan para manajer) sangat mempengaruhi motivasi kerja
karyawannya.

c. Teori 2 Faktor dari Frederick Herzberg


Diakhir tahun 1950-an Frederick Herzberg dan kawan-
kawannya pada Osychological Service of Pattsburgh, melakukan
suatu penelitian dimana mereka memberi pertanyaan kepada
sekitar 200 orang insinyur dan akuntan dari 11 perusahaan berbeda,
untuk mengingat-ingat kembali kejadian dalam pengalaman lalu
yang membuat mereka merasa sangat bangga atau merisaukan
pekerjaan mereka. Hasil dari penelitian tersebut menjadi rumusan
penting dari teori dua faktor Hersberg dalam mengembangkan teori
tentang motivasi.
Timpe (2000 : 190) menyatakan bahwa inti dari teori dua
faktor ini adalah menegaskan bahwa kepuasan kerja dan
ketidakpuasan kerja merupakan dua hal yang berbeda namun tidak
saling berlawanan, dalam arti bahwa lawan dari kepuasan bekerja
bukanlah ketidak puasan bekerja tetapi lebih cenderung karena
tidak adanya kepuasan bekerja, dan lawan dari ketidakpuasan
bekerja bukan kepuasan bekerja tetapi karena tidak adanya ketidak
puasan bekerja. Dengan mengikuti pendekatan ini Herzberg
mengidentifikasikan sekelompok faktor “higienis“ seperti
kebijakan dan administrasi perusahaan, pengawasan, hubungan
antar pribadi, kehidupan pribadi, kondisi kerja, penggajian dan
jaminan, dimana faktor-faktor ini dianggap mendasar dan bilamana
terjadi kekurangan maka dapat menciptakan ketidakpuasan bekerja,
tetapi dalam keadaan normal tidak mampu memotivasi pegawai
untuk bekerja lebih keras. Kemudian diidentifikasi pula
sekelompok faktor sebagai “motivator“ dimana tercakup
pencapaian, pengakuan atas pencapaian, pekerjaan itu sendiri,
tanggungjawab dan pertumbuhan atau kemajuan, faktor-faktor ini
mampu menciptakan kepuasan bekerja hanya saja harus ada faktor
higienis pada tingkat yang dapat diterima.
Akan lebih bermanfaat jika memandang faktor higienis dan
motivator itu terdapat dalam diri manajemen maupun pegawai
yang terdapat dalam semacam hubungan bayangan dalam kaca.
Dengan kata lain terdapat faktor yang menyebabkan manajer tidak
puas dengan pegawai tetapi tidak akan mengarah ke imbalan bagi
manajer dalam bentuk kenaikan jasa atau kedudukan dengan
tanggung jawab yang lebih besar. Begitu juga terdapat faktor
serupa seperti faktor motivator Herzberg yang dapat menyebabkan
manajer memperoleh imbalan tetapi dengan prasyarat bahwa faktor
higienis berada pada tingkat yang dapat diterima.

d. Perbandingan Ketiga Teori


Dari uraian mengenai teori motivasi menurut Maslow
diatas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi antara laian adalah sebagai berikut :
 Gaji dan jaminan sosial untuk memenuhi kebutuhan
fisiologisnya dan rasa aman baik secara fisik maupun mental,
psikologikal dan intelektual.
 Harapan untuk berkarir, untuk memenuhi kebutuhan prestis
yang pada umumnya tercermin dalam simbol-simbol status
yang diakui dalam lingkungan sosial (sosialisasi, penghargaan
dan aktualisasi diri).

Sedangkan dari uraian mengenai teori motivasi menurut


Douglas Mc Gregor, dapat disimpulkan bahwa motivasi kerja
karyawan sangat ditentukan oleh bagaimana seorang manajer
dalam organisasi mendefinisikan sikap dan perilaku karyawannya,
sehingga pimpinan tersebut memutuskan gaya kepemimpinan yang
harus dipilih (dijalankan). Jadi jelaslah bahwa gaya kepemimpinan
(peranan para manajer) sangat mempengaruhi motivasi kerja
karyawannya.
Kemudian dari uraian teori 2 faktor dari Frederick Herzberg
diatas maka dapat disimpulkan bahwa pekerja dalam melaksanakan
pekerjaannya dipengaruhi oleh dua faktor utama yang merupakan
kebutuhan, yaitu :
1) Faktor-faktor pemelihara (Maintenance Factors). Faktor ini
juga sering disebut sebagai faktor ekstrinsik, adalah merupakan
faktor-faktor pemeliharaan yang berhubungan dengan hakekat
pekerja yang ingin memperoleh ketenteraman badaniah.
Kebutuhan ini akan berlangsung terus menerus, seperti
kebijakan perusahaan, supervisi yang diberikan (peranan para
manajer), hubungan antar pribadi terutama dengan atasan
dengan rekan sekerja (lingkungan kerja), kondisi kerja
(kelengkapan kerja), gaji dan jaminan sosial. Jadi faktor-faktor
ini bukanlah sebagai motivator, tetapi merupakan keharusan
bagi perusahaan. Namun demikian faktor ekstrinsik ini tetap
memegang peran penting sebagai faktor yang menyehatkan
karyawan.
2) Faktor-faktor pemotivasi (Motivation Factors). Faktor ini
sering juga disebut sebagai faktor intrinsik, adalah merupakan
faktor-faktor motivasi yang menyangkut kebutuhan psikologis
yang berhubungan dengan penghargaan terhadap pribadi yang
secara langsung berkaitan dengan pekerjaan (harapan untuk
berkarir), misalnya perasaan berprestasi, pengakuan, tanggung
jawab, pekerjaan itu sendiri (jenis pekerjaan) dan kemungkinan
untuk maju atau kesempatan berkarir. Keberadaan faktor ini
akan menggerakkan tingkat motivasi yang kuat bagi seorang
pekerja (karyawan).

2. Teori Motivasi Proses


a. Teori 3 kebutuhan dari Mc Clelland
Salah satu teori motivasi yang populer di kalangan para
praktisi manajemen ialah teori yang dikembangkan oleh David Mc.
Clelland, yaitu seorang ahli psikologi dari Universitas Harvard
bersama rekan-rekannya. Teori tersebut dikenal dengan istilah teori
kebutuhan, yang secara luas dan mendalam dibahas dalam karya
tulis yang berjudul The Achieving Society. Sculler & Susan
(1996:256) teori motivasi prestasi dari Mc Clelland
menggolongkan kebutuhan manusia menjadi tiga jenis yaitu :
1) Kebutuhan untuk berprestasi, yakni suatu kebutuhan untuk
berhasil bersaing.
2) Kebutuhan untuk berafiliansi, yakni kebutuhan untuk
bersahabat yang hangat dengan orang lain.
3) Kebutuhan untuk berkuasa, yang disebut sebagai kebutuhan
untuk mengendalikan atau mempengaruhi orang lain.

Mengenai kebutuhan yang disebut pertama dapat


dikatakan bahwa, ingin berhasil merupakan kebutuhan seorang
manusia. Tidak ada manusia yang senang jika dikatakan ‘telah
gagal’. Akan tetapi sebaliknya, seseorang tidak seharusnya dihantui
oleh ketakutan akan kegagalan karena ada uangkapan yang
mengatakan, bahwa seseorang yang tidak pernah gagal tidak akan
memahami arti keberhasilan.
Mengenai kebutuhan kedua, kebutuhan akan kekuasaan
telah diuraikan dalam pembahasan terdahulu apa yang dimaksud
dengan kekuasaan, apa landasannya dan bagaimana
menggunakannya. Serendah apa pun jabatan dan kedudukan
seseorang dalam organisasi, ia tetap ingin berkuasa dan
berpengaruh terhadap orang lain.
Kebutuhan afiliasi perlu mendapat perhatian untuk
dipuaskan karena predikat manusia sebagai makhluk sosial.
Keinginan disenangi, dicintai, kesediaan bekerja sama, iklim
bersahabat dan saling mendukung dalam organisasi, merupakan
bentuk-bentuk pemuasan kebutuhan ini.
Setiap manajer memiliki tingkat kebutuhan seperti diatas
yang berbeda, sebagian manajer memiliki kebutuhan yang lebih
besar untuk berprestasi, sedangkan yang lainnya memiliki
kebutuhan yang lebih besar untuk berkuasa. Adapun Manajer yang
paling sempurna adalah yang memiliki kebutuhan untuk
berprestasi yang dikembangkan dengan baik tetapi keberhasilan
dalam dunia yang penuh persaingan ini sering muncul dari
dorongan ingin berkuasa.

b. Teori Keadilan dari J. Stacy Adam


Berry dan Houston (1993) mengatakan bahwa teori
keadilan yang dikemukakan oleh J. Stacy Adam pada tahun 1965
merupakan teori kognitif motivasi kerja. Teori keadilan
menyatakan bahwa manusia mempunyai pikiran, perasaan, dan
pandangan yang mempengaruhi pekerjaan mereka. Teori ini
diciptakan secara khusus untuk memprediksi pengaruh imbalan
terhadap perilaku manusia. Adam mengemukakan bahwa individu-
individu akan membuat perbandingan-perbandingan tertentu
terhadap suatu pekerjaan. Perbandingan-perbandingan tersebut
sangat mempengaruhi kemantapan pikiran dan perasaan mereka
mengenai imbalan, serta menghasilkan perubahan motivasi dan
perilaku.
Teori ini menjelaskan bahwa individu membandingkan
rasio usaha mereka dan imbalan dengan rasio usaha dan imbalan
pihak lain yang dianggap serupa (similar). Teori motivasi ini
didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dimotivasi oleh
keinginan untuk diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya.
Persepsi keadilan tersebut akan menjelaskan berbagai sikap dan
perilaku kerja. Teori ini berbasis pada teori pertukaran sosial
(Tyler, 1994). Setiap individu mengharapkan bahwa mereka akan
mendapatkan pertukaran usaha dan imbalan secara adil dari
organisasi.

Teori keadilan mempunyai empat asumsi dasar, yaitu :


1) Individu berusaha untuk menciptakan dan mempertahankan
satu kondisi keadilan.
2) Apabila dirasakan ada kondisi ketidakadilan, kodisi ini
menimbulkan ketegangan yang memotivasi individu untuk
menguranginya atau menghilangkannya.
3) Semakin besar persepsi ketidakadilannya, semakin besar
motivasinya untuk bertindak mengurangi kondisi ketegangan
itu.
4) Individu akan mempersepsikan ketidakadilan yang tidak
menyenangkan (misalnya, menerima gaji terlalu sedikit) lebih
cepat daripada ketidakadilan yang menyenangkan (misalnya,
mendapatkan gaji terlalu besar).
c. Teori Harapan dari Victor Vroom
Teori Pengharapan (Expectancy Theory) pertama sekali
dikemukakan oleh Victor Vroom yang mengatakan bahwa
motivasi seseorang mengarah pada suatu tindakan yang bergantung
pada kekuatan pengharapan. Tindakan tersebut akan diikuti oleh
hasil tertentu dan bergantung pada hasil bagi seseorang tersebut.
Teori pengharapan beragumen bahwa para karyawan menentukan
terlebih dahulu tingkah laku apa yang dilaksanakan dan nilai yang
diperoleh atas perilaku tersebut. Teori ini berpendapat bahwa
seseorang akan termotivasi untuk melakukan sesuatu hal dalam
mencapai tujuan apabila mereka yakin bahwa tingkah laku mereka
mengarah pada pencapaian tujuan tersebut. Menurut Vroom, ada
tiga aspek yang mempengaruhi motivasi yaitu ekspektansi,
instrumen dan valensi.
1) Ekspektansi (E) yaitu seberapa besar kemungkinan jika mereka
melakukan perilaku tertentu mereka akan mendapatkan hasil
kerja yang diharapkan (yaitu prestasi kerja yang tinggi).
2) Instrumen (I) yaitu seberapa besar hubungan antara prestasi
kerja dengan hasil kerja yang lebih tinggi (yaitu penghasilan,
baik berupa gaji ataupun hal lain yang diberikan perusahaan).
3) Valensi (V) yaitu seberapa penting seseorang menilai
penghasilan yang diberikan perusahaan kepadanya, misalnya
jika hal yang paling didambakan oleh se-seorang pada suatu
saat, promosi, maka itu berarti baginya promosi menduduki
valensi tertinggi.

Kreitner dan Kinicki (2007: 247-249) menjelaskan bahwa


teori pengharapan memilik tiga konsep kunci yaitu pengertian
bahwa pengharapan (E) adalah harapan akan usaha dan kinerja
(effort-performance), instrumentalitas (I) adalah persepsi kinerja-
hasil (performance-outcome), dan valensi (V) merujuk pada nilai
yang diberikan seseorang terhadap hasil (outcome). Dari
penjelasan diatas maka Vroom membentuk motivasi adalah fungsi
dari valensi, harapan dan instrumentasi.

Motivasi = Expectancy x Instrumentasi x Valensi

Menurut Robbins, et al. ( 2005:107) teori pengharapan


merupakan penjelasan paling menyeluruh mengenai motivasi yang
ada saat ini. Victor H. Vroom mengemukakan bahwa : Motivasi
adalah produk tiga faktor, Valence (V) menunjukan seberapa kuat
keninginan seseorang untuk memperoleh suatu reward, misalnya
jika hal yang paling didambakan oleh seseorang pada suatu saat,
promosi, maka hal itu berarti baginya promosi menduduki valensi
tertinggi; Expectacy (E), menunjukan kemungkinan keberhasilan
kerja (performance probability). Probability itu bergerak dari 0,
(nol, tiada harapan) ke 1(satu, penuh harapan). Instrumentality (I),
menunjukkan kemungkinan diterimanya reward jika pekerjaan
berhasil. Victor Vroom mengemukakan bahwa teori harapan
mencakup tiga variabel atau hubungan yaitu :
1) Pengharapan atau kaitan usaha-kinerja, adalah kemungkinan
yang dirasakan oleh orang tersebut bahwa melakukan sejumlah
usaha tertentu akan menghasilkan tingkat kinerja tertentu.
2) Instrumentalitas atau kaitan kinerja-imbalan yakni tingkat
sejauh mana orang tersebut percaya bahwa bekerja pada tingkat
tertentu itu menjadikan sarana untuk tercapainya hasil yang
diinginkan.
3) Valensi atau daya tarik imbalan yakni bobot yang ditempatkan
oleh orang tersebut ke potensi hasil atau imbalan yang dapat
dicapai di tempat kerja. Valensi mempertimbangkan sasaran
dan juga kebutuhan orang tersebut.
d. Teori Z dari W. Ouchi
Teori Z adalah teori yang lebih menekankan pada peran
dan posisi pegawai atau karyawan dalam perusahaan yang dapat
membuat para pekerja menjadi nyaman, betah, senang dan merasa
menjadi bagian penting dalam perusahaan. Dengan demikian maka
karyawan akan bekerja dengan lebih efektif dan efisien dalam
melakukan pekerjaannya. Teori Z ini pertama kali diusulkan oleh
William Ouchi (1981), muncul dari hasil observasi terhadap
perbedaan-perbedaan, antara bekerja di perusahaan Jepang dan di
perusahaan Amerika Serikat.

“Teori Z menganggap, rasa aman (security) secara khusus punya


arti penting.”

Dalam sistem manajemen Jepang, keamanan itu terjamin


karena sebagian besar pekerja memiliki masa kerja seumur hidup
(lifetime employment) di satu perusahaan. Organisasi gaya Jepang
ini berkomitmen pada hubungan jangka panjang tersebut, dengan
tinjauan kinerja secara reguler dan tegas, yang memberikan umpan-
balik yang dituntut sebagian besar karyawan, agar bisa berfungsi
efektif.
Teori Z juga menekankan perkembangan hubungan
kepercayaan (trust relationship) antara pemimpin dan yang
dipimpin. Penekanan itu didasarkan pada asumsi bahwa motivasi
orang pertama-tama bersifat internal. Namun, perasaan-perasaan
itu harus diperkuat oleh komitmen jelas terhadap karyawan dari
pihak majikan atau pimpinan. Teori Z melihat pengambilan
keputusan kolektif dan tanggung jawab kelompok memberikan
dukungan sosial yang diperlukan bagi tercapainya kinerja puncak.
Hal itu terjadi lewat penciptaan rasa aman, yang memungkinkan
para karyawan membangkitkan ide-ide baru tanpa takut ditolak
atau takut gagal.

Secara keseluruhan dan utuh teori Z diwujudkan dalam tujuh


prinsip, yaitu :
1) Life Time Employment (Pekerjaan Seumur Hidup)
Di dalam hal bekerja, orang Jepang cenderung untuk
bekerja seumur hidup pada sebuah perusahaan saja dan tidak
pernah berpikir untuk pindah apabila tidak ada sebab-sebab
yang luar biasa. Sebaliknya orang Amerika terkesan merasa
malu apabila dia tidak berpindah-pindah ke perusahaan-
perusahaan lain dengan kedudukan yang lebih tinggi (better
achievement). Dari pihak perusahaan Jepang sendiri tidak akan
memutuskan hubungan kerja dengan karyawan (PHK) apabila
karyawan tidak sengaja berbuat kriminal, anarkis, atau amoral.
Perusahaan Jepang dalam keadaan bermasalah lebih suka
menurunkan upah daripada mem- PHK karyawan. Pada
perusahaan Amerika adalah lebih lazim untuk melakukan lay-
off , apabila perusahaan tidak bisa beroperasi penuh. Jadi
berorientasi jangka pendek
2) Slow Promotion and Evaluation (Promosi yang lamban dan
proses evaluasi)
Karena karyawan Jepang cenderung bekerja sampai
pensiun dalam sebuah perusahaan maka mereka menjalani
promosi perlahan-lahan. Dalam waktu kerja 10 tahun pertama,
biasanya karyawana Jepang belum mempunyai ”pangkat”
apapun, dalam masa tersebut terjadi kenaikan gaji dari waktu
ke waktu yang tidak didasarkan pada ”prestasi individual”
tetapi lebih berdasarkan para rumus rata-rata seluruh karyawan.
Sebaliknya karyawan Amerika merasa terlambat dipromosikan
maka mereka segera mencari perusahaan lain yang dapat
memberi gaji dan pangkat lebih tinggi. Bagi orang Amerika,
kesetiaan pada profesi lebih penting daripada kesetiaan pada
perusahaan.
3) Non Specialized Career Path (Tidak spesialisasi dan jalur karir
luas)
Dalam manajemen Jepang, karyawan tidak akan
menempuh satu jalur karir dengan spesialisasi pada bidang
tertentu saja. Yang lebih sering terjadi adalah job rotation pada
jabatan yang tingkatnya sama. Selain itu karena kebanyakan
dari mereka sudah pernah bertugas pada berbegai departemen,
maka mereka saling mengetahui kesulitan atau masalah-
masalah dalam masing-masing departemen, sehingga hal ini
sangat membantu mereka dalam hal melakukan diskusi antar
departemen.
Sebaliknya dalam manajemen Amerika, jalur karir
boleh dikatakan sangat sempit. Spesialisasi sangat diutamakan
dalam career planning. Seorang salesman, misalnya, dalam
karirnya ia akan bermuara pada jabatan sales manajer atau
marketing manajer. Seorang karyawan accounting pada
akhirnya akan menduduki karir sebagai financial manajer.
4) Concencual (Collective) Decision Making (Pengambilan
Keputusan Bersama)
Banyak yang menilai bahwa orang Jepang terlalu lama
dalam pengambilan suatu keputusan karena setiap keputusan
harus dirundingkan dahulu secara selektif. Tetapi sekali
keputusan itu diambil semua staf atau karyawan akan
mendukung dan menerima secara kompak (acceptance).
Pada perusahaan Amerika, keputusan biasanya dibuat
dengan cepat tetapi biasanya justru akan menemui kesulitan
dalam pelaksanaannya sebab tidak semua staf dan karyawan
mengerti dengan benar apa ”rationale” (fundamental reason) di
balik keputusan itu. Pada dasarnya bila seseorang merasa
diikutsertakan dalam proses pengambilan suatu keputusan
maka ia akan mendukung sepenuh hati pelaksanaannya.
5) Colective Responsibility (Tanggung Jawab Bersama)
Orang Jepang menekankan pentingnya tanggungjawab
kelompok sedangkan orang Amerika lebih menekankan pada
tanggung jawab pribadi daripada pencapaian target kelompok
(Super tim VS Super star).
6) Implicit Control Mechanism (Mekanisme Pengawasan
Melekat)
Sistem control dalam manajemen Jepang lebih bersifat
“melekat” sedangkan di Amerika cenderung untuk
menyuratkan segala macam kontrol dengan rinci dan tertulis.
Dengan sistem kontrol yang melekat, memberi peluang bagi
tiap karyawan untuk juga mengontrol dirinya sendiri.
7) Wholistic Concern (Perhatian Menyeluruh Pada Karyawan)
Manajemen Jepang memandang karyawannya sebagai
manusia seutuhnya, sedangkan manajemen Amerika
memandang karyawan dalam batas ikatan formalnya saja.
Untuk melaksanaan kebijakan wholistic concern, dibentuk
paguyuban-paguyuban yang memungkinkan atasan dan
bawahan beserta keluarganya bertemu di luar tugas formal
dimana masalah-masalah kesejahteraan keluarga karyawan
dapat dibicarakan.

C. Hubungan Motivasi Dengan Kepuasan Kerja


1. Kaitan Tujuan dan Motivasi
Pengertian motivasi berdasarkan beberapa teori motivasi yang
telah ada seperti Abraham Maslow, Douglas Mc Gregor menjelaskan
bahwa pengertian motivasi adalah alasan yang mendasari sebuat
perbuatan yang dilakukan oleh individu. Oleh karena itu, pengertian
motivasi berbeda dengan pengertian semangat. Hal ini jelas bahwa,
seseorang yang memiliki motivasi yang tinggi artinya memiliki alasan
yang besar untuk mencapai tujuan tersebut sedangkan semangat
memiliki arti sempit yang berarti hanya berkeinginan. Alasan dalam
pengertian motivasi dimaksudkan sebagai diri dan lingkungan individu
sedangkan semangat lebih mengarah ke kondisi individu saja.
Manusia pada dasarnya bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidup, sehingga dalam situasi sulit kita sering mendengar ungkapan
dari seseorang: “pekerjaan apa saja, yang penting bisa menyambung
kehidupan”.
Kebutuhan hidup tidak hanya bersifat materi saja, tetapi juga
immaten, berupa kepuasan batin, kesenangan dan kegembiraan karena
prestasi kerja, Karena itu manusia juga memerlukan pengakuan
terhadap prestasi kerjanya supaya ia mencapai kepuasan batin.
Aktivitas perilaku biasanya muncul karena ada tujuan, maka
para pemimpin atau atasan dalam memotivisir bawahannya dalam
organisasinya harus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Kepentingan individu itu melekat pada masing-masing orang dan
dibawa ke dalam organisasi.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam sebuah
organisasi terdapat dua pola kepentingan, yaitu kepentingan individu
dan kepentingan organisasi. Tingkat kepuasan dan pengabdian
seseorang kepada organisasi pada dasarnya tergantung pada sejauh
mana kedua bentuk kepentingan itu saling bersesuaian. Dalam konteks
inilah diperlukan peran pimpinan organisasi untuk mengadakan
bimbingan kepada bawahan, agar kepentingan bawahan tersebut tidak
kontradiktif dengan kepentingan organisasi. Jika penyesuaian ini
mengalami kegagalan dimana masing-masing individu menjadikan
organisasi sebagai alat untuk memperoleh kepentingan pribadinya.
2. Cara Menciptakan Iklim Motivasi
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis dan rasa aman
Ada hubungan timbal balik antara antara orang bekerja
dengan tujuan sebuah organisasi. Orang bekerja untuk memenuhi
kebutuhan pokok pribadi yaitu sandang dan papan. Kebutuhan
fisiologi adalah sarana untuk mempertahankan kelangsungan
hidup. Apabila manusia ingin mempertahankan eksistansinya,
maka ia harus berusaha untuk mencari kebutuhan makan dan
papan. Cara itu hanya akan didapatkan bila ia bekerja. Demikian
juga eksistensi sebuah organisasi, akan terus hidup manakala
digerakkan oleh manusia. Memenuhi kebutuhan fisiologis yang
mencukupi bagi karyawan adalah salah satu meningkatkan
motivasi dalam bekerja.
b. Meningkatkan hubungan sosial
Kehidupan manusia tidak akan berjalan, tanpa bantuan
orang lain. Orang yang bekerja dalam sebuah perusahaan
membutuhkan kerjasama dengan orang lain. Kerjasama ini bisa
dilandasi berdasarkan keterikatan karena pekerjaan, atau
keterikatan berdasarkan kebutuhan sosial. Dikatakan terikat dengan
pekerjaan karena bagian dari pekerjaannya merupakan bagian dari
pekerjaan orang lain. Contoh, seorang wali kelas membutuhkan
nilai dari guru lain, apabila akan mengisi rapot. Adapun keterikatan
yang berdasarkan kebutuhan sosial, misalnya mengadakan koperasi
sekolah.
Organisasi wajib memberikan iklim yang dibutuhkan oleh
keryawannya. Membuat iklim kerja yang kondusif, membuat iklim
kerja dalam suasana kekeluargaan menjadi tanggungjawab staf
manajemen.
c. Mengikutsertakan keputusan dalam kebijakan organisasi
Karyawan merupakan aset yang berharga dari sebuah
perusahaan. Keputusan yang diambil oleh perusahaan hendaknya
diambil bersama antara jajaran staf manajemen dan karyawan, bila
menyangkut kebijakan-kebijakan yang dipandang perlu untuk
kemaslahatan bersama. Dalam hal ini kedudukan karyawan sama
dengan staf manajemen. Dengan demikian posisi karyawan
dipandang penting dalam memutuskan kebijakan.
e. Mendelegasikan tugas-tugas penting
Adakalanya staf manajemen dalam suatu waktu tidak dapat
mengerjakan tugas tertentu. Karena tugas harus tetap jalan, maka
tidak ada salahnya bila mendelegasikan tugas kepada karyawan.
Dengan demikian, karyawan mendapat kepercayaan dari staf
manajemen
f. Menentukan jenjang karier yang transparan
Salah satu upaya memacu motivasi bagi karyawan adalah
dengan menginformasikan jenjang karier yang transparan. Dalam
arti, perusahaan memberi peluang yang seluas-luasnya untuk
menempati jabatan tertentu, dengan syarat yang telah ditentukan.
Upaya ini ditempuh agar jabatan diamanatkan pada orang yang
tepat, sesuai dengan visi dan misi perusahaan.
g. Menciptakan iklim aktualisasi diri
Ada beberapa orang yang dengan tingkat prestasi tinggi
menganggap tugas merupakan hal yang menyenangkan secara
pribadi. Mereka tidak mengharapkan atau menginginkan
penghargaan material. Uang bukan untuk kepentingan pribadi.
Mereka mencari sebagai bentuk umpan balik atau ukuran atas apa
yang mereka lakukan. Jika diminta memilih, antara tugas mudah
dengan upah tinggi atau tugas lebih sulit dengan upah lebih rendah,
orang sukses mungkin memilih yang kedua.

3. Hubungan Motivasi dan Kepuasan Kerja


Motivasi kerja dapat didefinisikan sebagai suatu dorongan
secara psikologis kepada seseorang yang menentukan arah dari
perilaku (direction of behavior) seseorang dalam organisasi, tingkat
usaha (level of effort), dan tingkat kegigihan atau ketahanan di dalam
menghadapi suatu halangan atau masalah (level of persistence). Jadi
motivasi kerja dapat diartikan sebagai semangat kerja yang ada pada
karyawan yang membuat karyawan tersebut dapat bekerja untuk
mencapai tujuan tertentu (George and Jones, 2005).
Menurut Sutrisno (2012), kepuasan kerja karyawan merupakan
masalah penting yang diperhatikan dalam hubungannya dengan
produktivitas kerja karyawan dan ketidakpuasan sering dikaitkan
dengan tingkat tuntutan dan keluhan pekerjaan yang tinggi. Pekerja
dengan tingkat ketidakpuasan yang tinggi lebih mungkin untuk
melakukan sabotase.
Robbins & Judge (2011) mendefinisikan kepuasan kerja
sebagai perasaan positif pada suatu pekerjaan, yang merupakan
dampak atau hasil evaluasi dari berbagai aspek pekerjaan tersebut.
Kepuasan kerja merupakan penilaian dan sikap seseorang atau
karyawan terhadap pekerjaannya dan berhubungan dengan lingkungan
kerja, jenis pekerjaan, hubungan antar teman kerja, dan hubungan
sosial di tempat kerja. Secara sederhana kepuasan kerja atau job
satisfaction dapat disimpulkan sebagai apa yang membuat seseorang
menyenangi pekerjaan yang dilakukan karena mereka merasa senang
dalam melakukan pekerjaannya.
Seorang karyawan yang memiliki kepuasan kerja yang baik
akan membuat karyawan semakin mempunyai motivasi kerja untuk
menjadi lebih baik lagi dalam melakukan segala pekerjaannya,
sehingga karyawan tersebut merasa telah memiliki komitmen
organisasional terhadap perusahaan. Karyawan yang bekerja dengan
motivasi kerja dan kepuasan kerja yang tinggi akan memberikan hasil
kerja yang maksimal dan memuaskan bagi perusahaan.

Anda mungkin juga menyukai