Anda di halaman 1dari 7

A.

Efek Samping Non neurologis1,5,8

1. Efek pada jantung


Antipsikotik potensi rendah lebih bersifat kardiotoksik dibandingkan dengan
antipsikotik potensi tinggi. Chlorpromazine menyebabkan perpanjangan interval QT dan
PR, penumpulan gelombang T, dan depresi segmen ST. Thioridazine, khususnya
memiliki efek yang nyata pada gelombang T dan disertai dengan aritmia malignan,
seperti torsade de pointes yang sangat mematikan. Selain itu kematian mendadak juga
disebabkan karena timbulnya takikardia ventrikuler atau fibrilasi ventrikuler. Untuk
mengantisipasi hal tersebut sebaiknya pada pasien yang berusia lebih dari 50 tahun
dilakukan pemeriksaan EKG serta pemberian serum potassium dan magnesium.1
2. Hipotensi ortostatik (postural)
Hipotensi ortostatik (postural) terjadi akibat penghambatan adrenergic yang paling
sering disebabkan oleh antipsikotik potensi rendah, khususnya chlorpromazine dan
thioridazine. Keadaan ini terjadi selama beberapa hari pertama terapi dan memiliki
toleransi yang cepat yaitu sekitar 2-3 bulan. Bahaya utama dari hipotensi ortostatik adalah
adanya kemungkinan pasien terjatuh, pingsan, dan mencederai dirinya.
Jika menggunakan antipsikotik potensi rendah intramuscular (IM), tekanan darah
pasien harus diperiksa sebelum dan setelah pemberian dosis pertama dalam beberapa hari
pertama terapi. Bila diperlukan edukasi tentang efek kemungkinan terjatuh dan pingsan
akan sangat membantu pasien sehingga pasien akan lebih berhati-hati. Bila hipotensi
terjadi pada pasien yang mendapatkan medikasi, gejala biasanya dapat ditangani dengan
membaringkan pasien dengan kaki lebih tinggi dibandingkan kepala. Ekspansi volume
dengan cairan sangat membantu. Pemberian epinefrin dikontraindikasikan karena dapat
memperburuk hipotensi. Metaraminol dan norepinefrin sebagai agen pressor adrenergic
α-1 murni adalah obat terpilih. Untuk antipsikosis dosis dapat diturunkan atau diganti
dengan obat yang tidak menghambat adrenergic.1,5,8
3. Efek hematologis
Gangguan hematologis yang membahayakan yang dapat terjadi akibat pemakaian
antipsikotik tipikal seperti chlorpromazine, thioridazine dan pada hamper semua
antipsikotik adalah agranulositosis. Agranulositosis adalah suatu kumpulan gejala yang
ditandai dengan penurunan bermakna jumlah granulosit yang beredar, neutropeni berat
yang menimbulkan lesi-lesi di tenggorokan, selaput lendir lain, saluran cerna dan kulit.
Pada kebanyakan kasus, gejala ini disebabkan oleh sensitasi terhadap obat-obatan, zat
kimia, radiasi yang mempengaruhi sumsum tulang dan menekan granulopoiesis.
Agranulositosis paling sering terjadi selama tiga bulan pertama terapi dengan
insidensi sekitar 5 dari 10.000 pasien yang diobati dengan antipsikotik. Jika pasien
melaporkan adanya suatu nyeri tenggorokan atau demam, hitung darah lengkap harus
segera dilakukan untuk memeriksa kemungkinan terjadinya agranulositosis. Jika indeks
darah rendah, antipsikotik harus segera dihentikan. Angka mortalitas dari komplikasi
setinggi 30%. Purpura trombositopenia, anemia hemolitik, atau pansitopenia kadang-
kadang dapat terjadi pada pasien yang diobati dengan antipsikotik. 1

4. Efek Antikolinergik Perifer


Efek kolinergik perifer sangat serimg ditemukan, terdiri dari mulut dan hidung
kering, hidung tersumbat, pandangan kabur, konstipasi, retensi urin, dan midriasis.
Beberapa pasien juga mengalami mual dan muntah. Obat antipsikotik tipikal seperti
chlorpromazine, thioridazine, dan trifluoperazine adalah antikolinergik yang poten.
Mulut kering merupakan efek yang mengganggu beberapa pasien dan dapat
mempengaruhi kepatuhan terapi. Pasien dapat dianjurkan sering membilas mulutnya
dengan air dan tidak mengunyah permen karet atau permen yang mengandung gula,
karena hal tersebut dapat menyebabkan infeksi jamur pada mulut dan peningkatan
insidensi karies gigi. Konstipasi harus diobati dengan perbanyak olahraga, cairan, diet
tinggi serat, serta preparat laksatif biasa, tetapi kondisi ini masih dapat berkembang
menjadi ileus paralitik. Pada kasus tersebut diperlukan penurunan dosis atau penggantian
dengan obat yang kurang antikolinergik. Pilocarpine mungkin berguna pada beberapa
pasien dengan retensi urin. 1,5,8

5. Efek Endokrin
Penghambatan reseptor dopamine pada saluran tuberinfundibular menyebabkan
peningkatan sekresi prolaktin, yang dapat menyebabkan pembesaran payudara,
galaktorea, impotensi pada laki-laki, dan amenore serta penghambatan orgasme pada
wanita. Untuk mengatasi efek samping tersebut dapat dilakukan penggantian obat
antipsikotik yang diberikan. Pada keadaan impotensi sebagai efek obat dapat diberikan
bromokriptin. Untuk gangguan pada orgasme maupun penurunan libido dapat diberikan
brompheniramine (bromfed), ephedrine (Primatene), phenylpropanolamin (Comtrex),
midrione, dan imipramin (tofranil). Priapisme dan laporan orgasme yang nyeri juga
dilaporkan, kemungkinan kedua hal tersebut terjadi akibat aktivitas antagonis adrenergic
α1. Peningkatan berat badan juga merupakan efek endokrin yang paling sering terjadi
akibat penggunaan antipsikotik tipikal. Peningkatan berat badan nantinya akan menjadi
resiko terjadinya DM tipe 2, hipertensi dan dislipidemia. Peningkatan berat badan juga
didaptkan karena adanya blok pada reseptor 5 HT2c1,5,8.
6. Efek Dermatologis
Dermatitis alergik dan fotosensitivitas dapat terjadi pada sejumlah kecil pasien,
paling sering terjadi pada mereka yang menggunakan antipsikotik tipikal potensi rendah,
khusunya chlorpromazine. Berbagai erupsi kulit seperti urtikaria, makulopapular, peteki,
dan erupsi edematous telah dilaporkan. Erupsi terjadi pada awal terapi, biasanya dalam
minggu pertama dan menghilang dengan spontan. Reaksi fotosensitivitas yang
menyerupai proses terbakar matahari (sunburn) yang parah juga terjadi pada beberapa
pasien yang menggunakan chlorpromazine. Pasien harus diperingatkan tentang efek
tersebut, yaitu agar tidak berada dibawah sinar matahari lebih dari 30-60 menit, dan harus
menggunakan tabir surya. Penggunaan chlorpromazine juga disertai beberapa kasus
diskolorasi biru-kelabu pada kulit pada daerah yang terpapar dengan sinar matahari. 1
7. Efek pada Mata
Thioridazine disertai dengan pegmentasi ireversibel pada retina bila diberikan
dalam dosis lebih besar dari 800 mg sehari. Gejala awal dari efek tersebut kadang-kadang
berupa kebingungan nocturnal yang berhubungan dengan kesulitan penglihatan malam.
Pigmentasi dapat berkembang menjadi kebutaan walaupun thioridazine dihentikan karena
tidak bersifat reversible.
Chlorpromazine berhubungan dengan pigmentasi mata yang relatif ringan,
ditandai oleh deposit granular coklat keputihan yang terpusat di lensa anterior dan kornea
posterior yang dapat timbul bila pasien mengingesti 1-3 kg chlorpromazine selama
hidupnya. Deposit dapat berkembang menjadi granula putih opak dan coklat kekuningan.
Keadaan ini hampir tidak mempengaruhi penglihatan pasien. 5,8
8. Ikterus
Ikterus obstruktif atau kolestatik adalah suatu efek samping yang relative jarang
terjadi dalam penggunaan antipsikotik tipikal. Biasanya ikterus muncul pada bulan
pertama terapi dan ditandai oleh nyeri abdomen bagian atas, mual, muntah, gejala mirip
flu, demam, ruam, bilirubin pada urin dan peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase
dan transaminase hati. Jika ikterus terjadi, maka terapi harus diberhentikan dan diganti.
Ikterus dilaporkan terjadi pada penggunaan promazine, thioridazine, dan sangat jarang
terjadi pada fluphenazine dan trifluoperazine. 3

9. Overdosis Antipsikotik
Gejala overdosis antipsikotik berupa gejala ekstrapiramidal, midriasis, penurunan
reflex tendon dalam, takikardia, dan hipotensi. Gejala overdosis yang parah adalah
delirium, koma, depresi pernapasan, dan kejang. Terapi overdosis antipsikotik harus
termasuk pemakaian arang aktif (activated charcoal), jika memungkinkan lavage lambung
dapat dipertimbangkan. Terapi kejang dengan diazepam serta hipotensi dengan
norepinefrin juga merupakan terapi overdosis antipsikotik atipikal.1

B. Efek Samping Neurologis


Obat antipsikotik tipikal memiliki efek samping neurologis yang mengganggu dan
beberapa efek neurologis yang kemungkinan bersifat serius. Efek neurologis tersebut
dikenal sebagai efek sindrom ekstrapiramidal. Pentingnya mengetahui efek samping
neurologis akibat terapi dibuktikan pada DSM-IV yang memasukkan efek samping
tersebut sebagai kelompok tersendiri gangguan pergerakan akibat medikasi. 1,2

1. Parkinsonisme akibat Neuroleptik


Efek samping berupa parkinsonisme terjadi pada kira-kira 25 % pasien yang
diobati dengan antipsikotik tipikal. Biasanya terjadi dalam 5-30 hari setelah awal terapi.
Gejala-gejala yang timbul berupa kekakuan otot atau rigiditas pipa besi (lead-pipe
rigidity), rigiditas gigi gergaji (cog-wheel rigidity), gaya berjalan menyeret, postur
membungkuk dan air liur menetes. Tremor menggulung pil (pill-rolling) pada
parkinsonisme idopatik jarang terjadi, tetapi tremor yang teratur dan kasar yang serupa
dengan tremor esensial mungkin ditemukan dan dinamakan sebagai tremor ppostural
akibat medikasi dalam DSM-IV. Suatu tanda fisik parkinsonisme adalah reflek ketukan
glabela yang positif yang ditimbulkan dengan mengetuk dahi antara alis mata. Dikatakan
reflek positif bila orbikularis okuli tidak dapat membiasakan diri dengan ketukan yang
berulang. Wajah yang mirip topeng, bradikinesia, akinesia (tidak ada inisitatif), dan
ataraksia (kebingungan terhadap lingkungan) merupakan gejala parkinsonisme yang
sering didiagnosis keliru sebagai gambaran gejala negative atau deficit pada skizofrenia.
1,3,8
Perbandingan wanita dengan laki-laki yang terkena parkinsonisme akibat
neuroleptik adalah 2:1 dan dapat terjadi pada setiap usia walaupun jarang terjadi pada
usia lebih dari 40 tahun. Semua antipsikotik tipikal dapat menyebabkan gejala
parkinsonisme, khususnya obat potensi tinggi dengan aktivitas antikolinergik yang
rendah.Penghambatan transmisi dopaminergik dalam traktus nigrostriatal adalah
penyebab dari parkinsonisme akibat neuroleptik. 1
Gangguan berupa parkinsonisme ini dapat diobati dengan pemberian obat
antikolinergik, amantadine atau diphenhydramine. Antikolinergik harus dihentikan
setelah 4-6 minggu untuk menilai apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi
terhadap efek parkinsonisme sebab kira-kira 50% pasien dengan parkinsonisme akibat
neuroleptik dapat meneruskan terapi.Pemberian anti Parkinson seperti levodopa lebih
baik jangan diberikan karena akan memperbuuk gejala psikotiknya.1,3,8
Pada pasien lanjut usia, setelah antipsikotik dihentikan, gejala parkinsonisme
dapat terus berjalan sampai 2 minggu dan bahkan sampai 3 bulan sehingga perlu
meneruskan pemberian antikolinergik setelah menghentikan antipsikotik sampai gejala
parkinsonisme pulih sepenuhnya. 1

2. Distonia Akut akibat Neuroleptik


Kira-kira terdapat 10% dari semua pasien yang diberikan terapi antipsikotik
tipikal mengalami distonia sebagai efek samping. Biasanya terjadi dalam beberapa jam
atau 90% pada tiga hari pertama terapi. Gerakan distonia disebabkan oleh kontraksi atau
spasme otot yang perlahan dan terus-menerus yang dapat menyebabkan gerakan
involunter. Distonia dapat mengenai leher (tortikolis atau retrokolis spasmodik), rahang
(pembukaan paksa yang menyebabkan dislokasi rahang atau trismus), lidah (prostrusi,
memuntir), dan keseluruhan tubuh (opistotonus). Terkenanya mata dapat menyebabkan
krisis okulorigik, ditandai oleh gerakan mata yang ke lateral atas. Tidak seperti tipe
distonia lainnya, krisis okulorigik dapat terjadi secara lambat dalam terapi. Distonia lain
berupa blefarospasme dan distonia glosofaringeal menyebabkan diartria, disfagia, dan
kesulitan bernapas yang dapat menyebabkan sianosis. 1,2
Distonia dapat terjadi pada semua umur dan pada kedua jenis kelamin tetapi
paling sering terjadi pada laki-laki muda (<40 tahun), dapat terjadi pada semua
antipsikotik dan paling sering disebabkan oleh antipsikotik potensi tinggi IM. Mekanisme
kerja diperkirakan merupakan suatu hiperaktivitas dopaminergik di ganglia basalis yang
terjadi jika kadar antipsikotik dalam SSP mulai menurun diantara pemberian dosis. 1,3,8
Profilaksis dengan antikolinergik atau obat yang berhubungan biasanya mencegah
berkembangnya distonia, walaupun risiko terapi profilaksis melebihi manfaatnya. Terapi
dengan antikolinergik IM atau diphenhydramine IV atau IM (50 mg) hampir selalu
menghilangkan gejala. Diazepam (10 mg IV), amobarbital (Amytal), caffeine sodium
benzoate dan hipnosis dilaporkan juga efektif. 1,3
3. Sindrom Neuroleptik Maligna
Sindrom neuroleptik maligna adalah komplikasi yang membahayakan yang dapat
terjadi setiap waktu selama pemberian terapi antipsikotik.Hal ini dapat terjadi karena
reaksi idiosinkrasi terhadap obat psikotik khususnya pada long acting.1
Gejala motorik dan perilaku adalah rigiditas otot dan distonia, akinesia, mutisme,
obtundasi, dan agitasi. Gejala otonomik adalah hiperpireksia, berkeringat dan peningkatan
kecepatan denyut nadi dan tekanan darah. Temuan laboratorium adalah peningkatan
hitung sel darah putih, kreatinin fosfokinase, enzim hati, mioglobin plasma, dan
mioglobinuria, kadang-kadang disertai dengan gagal ginjal. 1,3
Untuk pengobatan segera hentikan anti psikotik dan berikan perawatan suprotif
dan berikan obat dopamine agonist (bromokriptin 7,5-60 mg/h 3x sehari, l-dopa2x 100
mg/h atau amantadine 200 mg/h). Menurut kepustakaan lain, pengobatan dengan
datrolene juga efektif dengan dosis 0,8-2,5 mg/kgbb, setiap 6 jam iv, apabila gejala
berkurang diberikan oral dengan dosis 100-200 mg/hari dapat ditambahkan bromocriptin
dengan dosis 20-30 mg/hari dalam 4x pemberian, terapi berlangsung selama 5-20 hari,
bila pada penanganan SNM membaik maka pengobatan anti psikotik dapat dilanjutkan
kembali.1,3
4. Efek Epileptogenik
Pemberian antipsikotik ternyata menyebabkan perlambatan dan peningkatan
sinkronisasi EEG. Efek tersebut merupakan mekanisme dimana antipsikotik menurunkan
ambang kejang. Chlorpromazine dan antipsikotik potensi rendah lain diperkirakan lebih
epileptogenik dibandingkan obat potensi tinggi. 1,3,5
5. Sedasi
Sedasi terutama merupakan akibat dari penghambatan reseptor dopamine tipe-1.
Chlorpromazine adalah antipsikotik yang paling menimbulkan sedasi. Memberikan dosis
antipsikotik harian sebelum tidur biasanya menghilangkan masalah dari sedasi, dan
toleransi untuk efek merugikan tersebut dapat terjadi. 1,2
6. Efek Antikolinergik Sentral
Gejala aktivasi antikolinergik sentral adalah agitasi parah; disorientasi terhadap
waktu, orang dan tempat; halusinasi; kejang; demam tinggi; dilatasi pupil. Stupor dan
koma dapat timbul. Terapi toksisitas antikolinergik adalah pertama menghentikan obat
penyebab dan pemberian anticholinergic agents seperti injeksi sulfas atropine 0,25
mg(im), tablet trihexyphenidyl 3x2mg/hari. Hal ini juga dapat terjadi bila pengehntian
mendadak dari antipsikotik. 1,3

Anda mungkin juga menyukai