Anda di halaman 1dari 2

Alat Ukur Stress Kerja

Manusia memiliki sistem circadian yang mengatur tubuh untuk bekerja atau beraktivitas di
siang hari (ergotrophic phase) dan beristirahat dan mengumpulkan energi kembali di malam
hari (throtopic phase) (Kroemer, 2003). Karyawan yang mendapat shift malam atau harus
bekerja di malam hari pada saat fase relaksasi dalam menimbulkan dampak fisik dan
psikologi. Aspek lainnya yang dapat dianggap beban oleh pekerja adalah terisolasinya dari
kehidupan sosial serta hubungan keluarga.

Kondisi ini menyebabkan timbulnya stres pada karyawan. Stres kerja merupakan reaksi
terhadap ketidaksesuaian tuntutan kerja dengan kemampuan karyawan dalam menyelesaikan
pekerjaanya (Kroemer, 2009). Stres juga merupakan faktor fisik, kimiawi, dan emosional
yang dapat menyebabkan tekanan pada tubuh atau mental dan dapat menjadi salah satu faktor
bagi timbulnya penyakit. Stres merupakan interaksi individu dengan lingkungan. Namun,
secara lebih terperinci stres merupakan suatu respon adaptif yang dihubungkan oleh
perbedaan individu dan atau proses psikologi yang merupakan konsekuensi tindakan, situasi,
atau kejadian eksternal (lingkungan) yang menempatkan tuntutan psikologi dan atau fisik
secara berlebihan (Luthans, 2006).

Penyebab stres kerja antara lain jenis pekerjaan, tingkat kesulitan kerja, beban kerja yang
kompleks, pekerjaan yang bersifat monoton, tanggung jawab yang berat, supervisor yang
tidak bersahabat tanpa alasan, lingkungan kerja, kurangnya pengakuan, kurangnya kontrol,
kurangnya rasa aman dalam bekerja, kurangnya dukungan sosial dari supervisor dan rekan
kerja, ancaman atau perilaku intimidasi dari atasan ataupun rekan kerja. Mengurangi tingkat
stres merupakan upaya yang lebih tepat dilakukan dibandingkan membuat karyawan
beradaptasi.

Menurut Admi, Tzischinsky, Epstein, Herer, dan Lavie (2008), shift kerja didefinisikan
sebagai perputaran delapan jam pergeseran jadwal kerja, termasuk shift pagi, sore, dan
malam. Perusahaan jasa yang memberikan pelayanan pada pelanggan, seringkali memiliki
jam kerja yang lebih panjang untuk memenuhi tuntutan pelanggan. Sehingga jam kerja dibagi
ke dalam beberapa shift. Kondisi ini menuntut karyawan bekerja dalam shift tertentu secara
terus-menerus dalam periode tertentu. Bekerja pada shift sore – malam atau pada jam yang
tidak biasa memiliki pengaruh pada kesehatan fisik dan stres kerja akibat kurangnya waktu
untuk bersosialisasi bagi karyawan (Kroemer, 2009). Kurangnya waktu untuk sosialisasi ini
disebabkan waktu luang karyawan, berbeda dengan waktu luang orang lain pada umumnya.
Selvi, Özdemir, Özdemir, Beşiroğlu, dan Aydin (2010), membuktikan bahwa shift kerja
menjadi faktor risiko potensial untuk meningkatnya morbiditas dan mengurangi kualitas
hidup antara perawat. Menurut van Mark, et al. (2006), shift kerja memberikan pengaruh
terutama pada fungsi fisiologis tubuh manusia ketika ritme dari circardian mengalami
gangguan. Kemudian Akbar, et al. (2005), mengatakan bahwa kerja shift dapat bertindak
sebagai stresor oksidatif dan dapat menyebabkan gangguan medis. Penuaan dan obesitas pada
pekerja shift membuat mereka lebih sensitif terhadap efek berbahaya.

Peningkatan stres bisa menurunkan produktivitas seseorang, sementara peningkatan kepuasan


kerja mempengaruhi peningkatan produktivitas (Halkos & Dimitrios, 2010; Harris, Artis,
Waltres, & Licata, (2006); Wangenheim, et al., 2007). Meskipun begitu, penelitian lain
menunjukkan bahwa sebuah sistem manajemen yang baik, yang memperhatikan kepuasan
dan wellbeing karyawan, pada akhirnya dapat mendukung organisasi dalam mencapai target-
target utamanya (Snipes, Oswald, LaTour, & Armenakis, 2005).

Mengingat semakin banyaknya pekerjaan yang dijalankan dengan shift kerja lebih dari satu
shift serta penelitian yang menunjukkan bahwa hal ini mempengaruhi tingkat stress
karyawan.

Anda mungkin juga menyukai