Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN ISPA

1. DEFINISI PENYAKIT
Infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) adalah infeksi yang terutama mengenai struktur
saluran pernafasan di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran
atas dan bawah secara simultan atau berurutan (Behrman, 2000 : 885)
ISPA adalah penyakit yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran
pernafasan mulai dari hidung hingga alveoli, termasuk sinus, rongga telinga tengah dan
pleura (Nelson, 2003:725).
Kesimpulan dari penulis ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang menyerang organ
seperti tenggorokan, hidung, dan paru-paru yang disebabkan oleh bakteri dan virus.
Common Cold
Istilah common cold/selesma biasanya digunakan untuk menunjukkan gejala-gejala infeksi
saluran napas atas. Ditandai oleh kongesti nasal, sakit tenggorok, dan batuk. Selesma
sangat menular karena pasien mengandung virus selama sekitar 2 hari sebelum timbul
gejala dan selama bagian pertama fase gejala (Smeltzer & Bare, 2002 : 545)

2. ETIOLOGI
Etiologi ISPA terdiri dari lebih 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab
ISPA antara lain dari genus streptokokus, stafilikokus, pneumokokus, hemorillus,
bordetele, adenovirus, korinobakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan
miksovirus, adenovirus, koronavirus, pikornavirus, mikoplasma, herpes virus dan lain-
lain. Virus merupakan penyebab tersering infeksi saluran pernafasan, mereka menginfeksi
mukosa hidung trachea dan bronkus. Infeksi virus primer pertama kali ini akan
menyebabkan mukosa membengkak dan menghasilkan banyak mucus lendir dan terjadilah
akumulasi sputum di jalan nafas.

3. MANISFESTASI KLINIK
Kongesti nasal, sakit tenggorok, bersin-bersin, malaise, demam, menggigil, dan sering
sakit kepala serta sakit otot. Dengan berkembangnya selesma, biasanya timbul batuk.
Secara lebih spesifik, istilah cold mengacu pada afebris, infeksius, inflamasi akut
membran mukosa rongga nasal. Lebih luas lagi, istilah tersebut mengacu pada infeksi
saluran napas, sementara istilah seperti rinitis, faringitis, laringitis, dan chest cold
membedakan letak gejala utamanya.

Gejala berlangsung 5 hari sampai 2 minggu. Jika terdapat demam yang signifikan atau
gejala pernapasan sistemik yang lebih berat, maka gejala ini bukan lagi merupakan gejala
common cold tetapi merupakan salah satu gejala infeksi saluran pernapasan atas akut.
Lebih dari 200 virus yang berbeda, dikelomppokan kedalam lima kelompok utama,
diketahui menyebabkan common cold: pikornavirus, koronavirus, miksovirus, dan para
virus, dan adenovirus. Rhinovirus, “the classic head cold,” dan anggota dari kelompok
pikornavirus, bertanggung jawab terhadap 30% sampai 40% dari semua selesma. Kondisi
alergik juga dapat menyerang hidung dan menyerupai gejala selesma (Smeltzer & Bare,
2002 : 545)

Cold lebih berat pada anak kecil dari pada anak yang lebih tua atau dewasa. Pada umunya,
anak yang berumur 3 bulan sampai 5 tahun menderita demam pada awal perjalanan
infeksi, kadang-kadang beberapa jam sebelum tanda-tanda yang berlokalisasi muncul.
Bayi yang lebih muda biasanya tidak demam, dan anak yang lebih tua dapat menderita
demam ringan, komplikasi purulen terjadi lebih sering dan parah pada umur-umur yang
lebih muda. Sinusitis persisten dapat terjadi pada semua umur.

Pada awal bayi yang umurnya lebih dari 3 bulan adalah demam yang timbul mendadak,
iritabilitas, gelisah, dan bersin. Ingus hidung mulai keluar dalam beberapa jam, segera
menyebabkan obstruksi hidung, yang dapat menggangu pada saat menyusu, pada bayi
kecil yang mempunyai ketergantungan lebih besar pada pernapasan hidung, tanda-tanda
kegawatan pernapasan sedang dapat terjadi. Selama 2-3 hari pertama membrana timpani
biasanya mengalami kongesti, dan cairan dapat ditemukan di belakang membrana tersebut,
yang selanjutnya dapat terjadi otitis media purulenta atau tidak. Sebagian kecil bayi
mungkin muntah, dan beberapa penderita menderita diare. Fase demam berakhir dari
beberapa jam sampai 3 hari, demam dapat berulang dengan komplikasi purulen dan infeksi
faring. Pada anak yang tua gejala awalnya adalah kekeringan dan iritsi dalam hidung dan
tidak jarang, di dalam faring. Gejala ini dalam beberapa jam diserti dengan bersin, rasa
menggigil, nyeri otot, ingus hidung yang encer, dan kadang-kadang batuk. Nyeri kepala,
lesu, anoreksia, dan demam ringan mungkin ada. Dalam 1 hari sekresi biasanya menjadi
lebih kental dan akhirnya menjadi purulen. Obstruksi hidung menyebabkan pernapasan
mulut, dan hal ini, melalui pengeringan membrana mukosa tenggorokan, menambah rasa
nyeri. Pada kebanyakan kasus, fase Akut berakhir selama 2-4 hari (Nelson, 2003: 1456)

4. PATOFISIOLOGI
Virus masuk melalui udara/droplet dan melalui tangan sehingga virus mengfiltrasi epitel
dan epitel terkikis, menyebabkan peradangan hingga terjadi peradangan menyebabkan
suhu tubuh meningkat yang berakibat tubuh menjadi lemah dan hipertermi, dari keadaan
ini didapatkan diagnosa intoleransi aktivitas. Nyeri tenggorokan, produksi sekret dan
terjadi pembengkakan mengakibatkan pasien sulit bernapas, RR meningkat, menggunakan
otot bantu pernapasan dan tidak menggunakan retraksi dinding dada sehingga didapatkan
diagnosa pola napas tidak efektif, ketidaktahuan orang tua akan kondisi anak dan cemas
(Rasmaliah, 2004 : paragraf 5).
5. KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi adalah otitis media, yang ditemukan pada bayi-bayi kecil
sampai sebanyak 25% nya. Walaupun komplikasi ini dapat terjadi awal pada perjalanan
cold, ia biasanya muncul sesudah fase Akut nasofaringitis. Dengan demikian otitis media
harus dicurigai jika memang berulang. Kebanyakan ISPA juga melibatkan saluran
pernapasan bawah. Dan banyak kasus, fungsi paru menurun walaupun gejala pernapasan
bawah tidak mencolok atau tidak ada. Sebaliknya, laringotrakheobronkitis, bronkiolitis,
atau pneumoni dapat berkembang selama perjalanan nasofaringitis akut. Nasofaringitis
virus juga sering merupakan pemicu gejala asma pada anak dengan saluran pernapasan
reaktif (Nelson, 2003: 1457).

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Diagnosis ISPA oleh karena virus dapat ditegakkan dengan pemeriksaan
laboratorium terhadap jasad renik itu sendiri. Pemeriksaan yang dilakukan adalah
biakan virus, serologis, diagnostik virus secara langsung.
Sedangkan diagnosis ISPA oleh karena bakteri dilakukan dengan pemeriksaan
sputum, biakan darah, biakan cairan pleura.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang ISPA menurut Catzel & Roberts (2000 : 452).
1. Pemeriksaan kultur/ biakan kuman (swab); hasil yang didapatkan adalah biakan
kuman (+) sesuai dengan jenis kuman.
2. Pemeriksaan hitung darah (deferential count); laju endap darah meningkat disertai
dengan adanya leukositosis dan bisa juga disertai dengan adanya thrombositopenia
3. Pemeriksaan foto thoraks jika diperlukan.

8. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap ISPA. Penatalaksanaan ISPA terdiri atas
terapi simptomatik. Beberapa tindakan dapat mencakup pemberian cairan yang adekuat,
istirahat, pencegahan menggigil, dekongestan nasal aqueous, vitamin C, dan ekspektoran
sesuai kebutuhan. Kumur air garam hangat dapat melegakan sakit tenggorokan, dan
aspirin atau asetominofen meredakan gejala konstitusional umum. Antibiotik tidak
mempengaruhi virus atau mengurangi insiden komplikasi bakteri, namun demikian,
antibiotik mungkin digunakan sebagai profilatik bagi pasien yang berisiko tinggi terhadap
kondisi pernapasan (Smeltzer & Bare, 2002 : 545).

9. PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan ISPA menurut Smeltzer & Bare (2002 : 545)
a. Penyuluhan kepada keluarga tentang cara memutuskan infeksi
b. Pendidikan pasien berupa :
1. Mencuci tangan untuk mencegah penyebaran organisme
2. Menghindari kerumunan orang banyak
3. Menutup mulut ketika batuk
4. Meningkatkan masukan cairan
5. Mengintruksikan pada pasien untuk meningkatkan drainase seperti inhalasi uap

10. PENCEGAHAN
Vaksin yang efektif belum ada. Gamma glubulin atau vitamin C tidak mengurangi
frekuensi keparahan infeksi dan penggunaan tidak dianjurkan. Karena selesma cold
terdapat dimana-mana, maka tidak mungkin mengisolasi anak dari keadaan ini. Namun
karena komplikasi pada bayi yang amat muda dapat relatif serius, maka harus dilakukan
beberapa upaya untuk melindungi bayi dari kontak dengan orang-orang yang berpotensi
terinfeksi. Penyebaran infeksi adalah dengan aerosol (bersin, batuk) atau kontak langsung
dengan bahan yang terinfeksi (tangan) (Berhman, 2000 : 1457).

11. ANALISA DATA


Symptom Etiologi Problem
1. Biasanya pasien Penupukan secret Bersihan jalan nafas
ditandai dengan adanya
secret, suara
ronchi/wising, otot bantu
pernafasan, cuping
hidung, dada terasa sesak.
2. Adanya penupukan
secret, infeksi pada Kongesti hidung Pola nafas tidak efektif
saluran pernafasan,
adanya otot bantu
pernafasan
3. Ditandai adanya,
sianosis, otot bantu Ventilasi pervusi Gangguan pertukaran
pernafasan, expansi gas
didinding dada, suara
ronchi/wising
4. Ditandai
dengan penuran BB Input/autput tidak
sebnyak 20%, kulit kriput, adekuat Gangguan nutrisi kurang
klien terlihat kurus, nafsu dari kebutuhan tubuh.
makan menurun, mual
muntah, nyeri abdomen
5. Adanya tanda-tanda
infeksi seperti: tumor,
dolor, calor, rubor, dan
disfusilaesa. Dan cek Agen bakteri/virus Resiko infeksi
leukosit tinggi/ rendah
6. Ditandai dengan
adanya panas lebih dari
37,6°C, akral panas, bibir
merah, wajah tampak Proses infeksi Hipertermi
merah.

12. DIAGNOSE KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL


a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
muskus (secret)
b. Gangguan pola nafas berhubungan dengan kongesti hidung
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi
d. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
e. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan agen virus/bakteri
f. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
13 . RENCANA INTERVENSI
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi
muskus (secret)
Tujuan :
setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan masalah bersihan jalan nafas
dapat teratasi dengan kreteria hasil: hidung bersih, tidak ada secret klien dapat
bernafas dengan lancer, tidak ada pernafasan menggunakan cuping hidung.

Rencana tindakan:
· Observasi sistem pernafasan dan adanya subatan
· Bersihkan jika ada sumbatan
· Berikan posisi semi fowler
· Anjurkan klien untuk minum yang hangat
· Ajarkan batuk efektif
· Masase punggung dan dada klien
· Kalaborasi pemberian O2
· Kalaborasi pemberian obat

2) Gangguan pola nafas berhubungan dengan kongesti hidung


Tujuan :
setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah gangguan pola nafas
teratasi dengan kreteria hasil: klien tidak sesak lagi, sudah tidak ada sumbatan,
inspirasi dan ekspirasi tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Rencana tindakan:
· Berikan posisi semi fowler
· Kalaborasi pemberian O2
· Kalaborasi pemberian obat

3) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi


Tujuan :
setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah gangguan pertukaran gas
teratasi dengan kreteria hasil: klien tidak sesak lagi, sudah tidak ada sumbatan,
inspirasi dan ekspirasi tidak menggunakan otot bantu pernafasan.
Rencana tindakan:
Berikan posisi semi fowler
· Anjurkan klien untuk minum yang hangat
· Ajarkan batuk efektif
· Masase punggung dan dada klien
· Kalaborasi pemberian O2
· Kalaborasi pemberian obat

4) Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia


Tujuan :
setelah dilakukan tidak keperawatan diharapkan masalah gangguan nutrisi teratasi
dengan kreteria hasil: nafsumakkan klien meningkat, klien tidak mual dan muntah,
peningkatan BB, wajah terlihat segar.
Rencana tindakan:
· Observasi adanya gangguan nutrisi
· Observasi pola makan
· Njurkan klien untuk makan sedikit tapi sering yaitu 2 jam sekali
· Anjurkan diit yang sehat
· Kalaborasi dengan tim gizi
· Kalaborasi pemberian obat

5) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan agen virus/bakteri


Tujuan :
setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah resiko tinggi infeksi dapat
teratasi dengan kreteria hasil: tidak ada tanda-tanda infeksi, pemeriksaan leukosit
dalam batas normal.
Intervensi
· Observasi adanya tanda-tanda infeksi seperti: tumor, dolor, rubor, color, dan
disfusilaesa.
· Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
· Menggunakan APD untuk proteksi diri dank lien
· Kolaborasi dalam pemberian obat

6) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit


Tujuan :
setelah dilakukan tindak keperawatan diharapkan masalah hipertermi klien dapat
teratasi dengan kreteria hasil, suhu dalam rentang normal 36,5°C-37,5°C, akral tidak
panas, bibir tidak kering, turgor kulit elastic.
Intervensi:
· Observasi adanya peningkatan dan penurunan suhu
· Observasi vital sign
· Berikan kopres pada lipatan tubuh
· Anjurkan klien untuk menggunakan baju yang tipis dan menyerap keringat
· Lakukan kalaborasi pemberian obat

14. ASUHAN KEPERAWATAN


I. PENGKAAJIAN

a. Identitas Pasien

 Umur :Kebanyakan infeksi saluran pernafasan yang sering mengenai


anak usia dibawah 3 tahun, terutama bayi kurang dari 1 tahun. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa anak pada usia muda akan lebih sering
menderita ISPA daripada usia yang lebih lanjut(Anggana Rafika, 2009).
 Jenis kelamin :Angka kesakitan ISPA sering terjadi pada usia kurang dari
2 tahun, dimana angka kesakitan ISPA anak perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki di negara Denmark (Anggana Rafika, 2009).
 Alamat : Kepadatan hunian seperti luar ruang per orang, jumlah
anggota keluarga, dan masyarakat diduga merupakan faktor risiko untuk
ISPA. Penelitian oleh Kochet al (2003) membuktikan bahwa kepadatan
hunian (crowded) mempengaruhi secara bermakna prevalensi ISPA berat
.Diketahui bahwa penyebab terjadinya ISPA dan penyakit gangguan
pernafasan lain adalah rendahnya kualitas udara didalam rumah ataupun
diluar rumah baik secara biologis, fisik maupun kimia. Adanya ventilasi
rumah yang kurang sempurna dan asap tungku di dalam rumah seperti
yang terjadi di Negara Zimbabwe akan mempermudah terjadinya ISPA
anak (Anggana Rafika, 2009)
b. Riwayat kesehatan
 Keluhan utama (demam, batuk, pilek, sakit tenggorokan)
 Riwayat penyakit sekarang (kondisi klien saat diperiksa)
 Riwayat penyakit dahulu (apakah klien pernah mengalami penyakit
seperti yang dialaminya sekarang)
 Riwayat penyakit keluarga (adakah anggota keluarga yang pernah
mengalami sakit seperti penyakit klien)
 Riwayat sosial (lingkungan tempat tinggal klien)

aaaaaPemeriksaan fisik difokuskan pada pengkajian sistem pernafasan


a. Inspeksi
 Membran mukosa hidung-faring tampak kemerahan
 Tonsil tampak kemerahan dan edema
 Tampak batuk tidak produktif
 Tidak ada jaringan parut pada leher
 Tidak tampak penggunaan otot-otot pernafasan tambahan,
pernafasan cuping hidung.
b. Palpasi
 Adanya demam
 Teraba adanya pembesaran kelenjar limfe pada daerah leher/nyeri
tekan pada nodus limfe servikalis
 Tidak teraba adanya pembesaran kelenjar tyroid
c. Perkusi
 Suara paru normal (resonance)
d. Auskultasi
 Suara nafas vesikuler/tidak terdengar ronchi pada kedua sisi paru
DAFTAR PUSTAKA

Andaners. (2009). Prevalensi ispa pada anak. Rertrived 18 Juni 2014. From (http://prevalensi
repository child.usu.ac.id/bitstream)
Berhman. (2000). Ilmu kesehatan anak. (Edisi ke lima belas). Jakarta: EGC
Nelson. (2003). Ilmu kesehatan anak. (Edisi ke lima belas). Jakarta: EGC
Nursalam. (2005). Buku pengkajian keperawatan. Jakarta: EGC
Rasmaliah. (2004). Patofisiologi ispa. Rertrived 18 Juni 2014. From (http://Patofisiologi
epository.usu.ac.id/bitstream
Smeltzer, S. C, Bare, B. G. (2002). Keperawatan Medikal Bedah. (Edisi ke delapan). Jakarta:
EGC.
Wong, D. L. (2009). Buku ajar keperawatan pediatrik. (Edisi 6). Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai