Anda di halaman 1dari 51

Rancangan Modul Ajar

Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan


KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat
rahmat dan karunian-nyalah penulis dapat menyelesaikan draft modul ajar Agen
Penyakit Berbasis Lingkungan dalam rangka meningkatkan proses pembelajaran
pada program studi ilmu kesehatan masyarakat universitas jambi.
Selama penulisan modul ini penulis banyak mendapat bimbingan, dukungan
dan bantuan dari berbagai pihak secara moril maupun materil. Oleh karena itu
dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan bimbingan dan
masukannya kepada penulis.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan draft modul ini,
oleh sebab itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya yang membangun dari
semua pihak dalam rangka menyempurnakan draft modul ini. Akhir kata penulis
berharap akhirnya modul ajar Agen Penyakit Berbasis Lingkungan ini dapat
memberikan kontribusi yang positif bagi kita semua.

Jambi, Desember 2019


Penulis,

Fajrina Hidayati, S.K.M.,M.KL

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
DAFTAR SI

MODUL 1 Ekologi Nyamuk Hubungan dengan Penyakit DBD

MODUL 2 Pengendalian vektor DBD

MODUL 3 Ekologi Nyamuk Hubungan dengan Penyakit Malaria

MODUL 4 Pengendalian Vektor Malaria

MODUL 5 Pengendalian vektor tikus

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Kode Mata Kuliah : CKM157
Nama Mata Kuliah : Agen Penyakit Berbasis Lingkungan
Jumlah SKS : 2 (Dua)
Semester : V (Lima)
Mata Kuliah Pra syarat : -
Deskripsi Mata Kuliah :
Agent penyakit berbasis lingkungan merupakan materi perkuliahan yang
melakukan kajian pada konsep vektor penyakit, sejarah perkembangan
pengendalian vektor, prinsip dan metode pengendalian vector, survey entomologi,
manajemen lingkungan dalam pengendalian vector, evaluasi pengendalian vektor,
serta penggerakan masyarakat dalam pengendalian vektor penyakit.

Capaian Pembelajaran (Learning Outcome) Mata Kuliah


Mampu mengaplikasikan, mengkaji, membuat desain, memanfaatkan IPTEKS
dalam menyelesaikan masalah-masalah kesehatan masyarakat sehubungan
dengan Agent penyakit berbasis lingkungan

Mampu menguasai konsep teoritis agent penyakit berbasis lingkungan dengan


mempelajari sejarah pengendalian vektor penyakit, entomologi vector penting
beberapa penyakit yang terkait dengan faktor lingkungan, serta intervensi
lingkungan dalam rangka pengendalian vektor tersebut.

Bentuk/Metode Pembelajaran
Ceramah, tanya jawab, Diskusi/ Presentase

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Rancangan Pembelajaran

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
MINGGU KE KEMAMPUAN BAHAN KAJIAN BENTUK/MET BOBOT DOSEN
AKHIR YANG ODE NILAI
DIHARAPKAN PEMBELAJAR
(Sub CP-MK) AN
1 Mahasiswa Pendahuluan Ceramah, 5% FEP
memahami situasi a. SAP & kontrak tanya jawab,
entomologi perkuliahan Diskusi
penyakit b. Entomologi dan presentase
bionomik vektor
penyakit
1) Kondisi
entomologi
beberapa
vektor di
indonesia.
2) Bionomik
vektor penting
di indonesia
(Anopheles,
Ades sp, dll)
2 Menguasi teknik Teknik Survey Ceramah, 5% FEP
survei entomologi a. Identifikasi vektor tanya jawab,
(larva dan dewasa) Diskusi
b. Teknik survey presentase
entomologi
3 Memahami Pengendalian vektor Ceramah, 5% FEP
konsep terpadu tanya jawab,
pengendalian Diskusi
vektor penyakit presentase
4 Memahami Survey lapangan Ceramah, 5% FEP
kondisi vektor Identifikasi faktor tanya jawab,
dan lingkungan lingkungan yang Diskusi
berperan dalam presentase,
perkembangan vektor Observasi
lapangan
5 Mampu a. Konsep Ceramah, 5% FEP
Menjelaskan pengendalian, tanya jawab,
pengendalian b. Tujuan Diskusi
vektor pengendalian presentase
vektor
6 Mampu a. Biologi lipas Ceramah, 5% WN
Menjelaskan b. Masalah kesehatan tanya jawab,
pengendalian akibat lipas Diskusi
c. Metode presentase
pengendalian
7 Mampu a. Survai kepadatan Ceramah, 5% WN
Menjelaskan lalat tanya jawab,
pengendalian dan b. Peranan, Lalat Diskusi
survai lalat sebagai vektor presentase
c. Pengendalian lalat
d. Metode survailans
lalat
8 UTS 15% FEP
9 Mampu a. Hubungan vektor Ceramah, 5% WN
Menjelaskan dengan manusia tanya jawab,
hubungan vektor b. Penularan penyakit Diskusi
dengan manusia bersumber nyamuk presentase
10 Mampu Pengendalian (PSN) Ceramah, tanya 5% WN
Pengendalian (PSN) Zat kimia ionitas (lemah/ jawab, Diskusi
kuat), Zat kimia agent presentase
occupational, Zat kimia
fibrotic pneumokoniosis
11 Mampu a. Ekologi nyamuk Ceramah, tanya 5% FH
Menjelaskan Aedes Aegypti jawab, Diskusi
Ekologi Nyamuk b. Penyakit Demam presentase
Rancangan Modul Ajar
Hubungan dengan Berdarah Dengue
Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Penyakit DBD (DBD)
c. Ekologi Nyamuk
Aedes Aegypti
Sistem penilaian/Rubrik Penilaian
a. Rubrik Penilaian Sikap
No. NAMA MAHASISWA, SIKAP YANG DIMILIKI MAHASISWA
NIM
Nilai Etika Kerja Disip Tang- Semangat Komitmen Konstribusi Menghargai Total
Kemanu Akade sama lin jawab Kejuangan Nilai
siaan mik
1.
2.
3.
4.
5.
DS
T
b. Rentang Penilaian Sikap
No INTERVAL NILAI KRITERIA
.
1. 0-25 SANGAT NEGATIF
2. 25-50 NEGATIF
3. 51-75 POSITIF
4. 76-100 SANGAT POSITIF

c. Rubrik Penilaian Tugas (Contoh)


A. TUJUAN TUGAS Mahasiswa mampu membuat laporan survey lapangan identifikasi faktor
lingkungan yang berperan dalam perkembangan vektor
B. URAIAN TUGAS:
1. Obyek garapan Identifikasi faktor lingkungan yang berperan dalam perkembangan vektor
2. Batasan obyek Pembuatan laporan kegiatan lapangan dan presentasi hasil kunjungan
lapangan
3. Yang harus dikerjakan Kajilah setiap obyek garapan sesuai dengan batasan di atas, dan buatlah
laporan dengan sistematika:
Bab pertama: Pendahuluan (latar belakang, tujuan, manfaat dan pertanyaan
kajian).
Bab kedua : Pembahasan (aplikasi teori dan hasil observasi lapangan).
Bab ketiga: Simpulan dan Saran.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Daftar Rujukan.
4. Deskripsi luaran tugas Berupa paper ditulis dalam huruf Arial font 12, spasi 1,5 berwarna biru untuk
kelompok tulisan yang bersumber dari referensi (kutipan), berwarna hitam untuk yang
ditulis/hasil kajian sendiri. Paper dikumpulkan sesuai jadwal, hard copy satu
exemplar, soft copy berupa file digital, dengan identitas yang jelas.
Presentasi menggunakan program powerpoint.

3. KRITERIA PENILAIAN: Format Penilaian dengan Rubrik Holistik berikut:

DIMENSI Sangat Baik Cukup BOBOT Nilai total


Baik
Skor 80-100 70-79 60-69
MAKALAH:
1. Kualitas makalah/hasil kajian 20%
2. Ketepatan isi dan kelengkapan 20%
referensi
3. Kualitas penggunaan Bahasa 10%
PRESENTASI:
4. Kualitas presentasi (visual dan 20%
oral)
5. Kemampuan Komunikasi dan 20%
menjawab Pertanyaan
6. Kerjasama, etika, kejujuran 10%

NILAI AKHIR 100%

d. Rubrik penilaian Ujian


1. UTS : 15%
2. UAS : 15%

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
MODUL 1

Ekologi Nyamuk dan


Hubungannya dengan Penyakit
DBD

Ekologi Nyamuk Aedes aegypti


Ekologi berasal dari kata oikos (rumah/ tempat tinggal), dan logos (telaah/ studi).
Kata ekologi tersebut digunakan pertama kali oleh seorang ahli biologi dari Jerman
bernama Ernest Haekel pada tahun 1869.Ekologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya (Ralph and
Mildred B., 1970:3 dalam Mukono, 2006). Studi ekologi adalah suatu studi
penemuan secara empirik terhadap suatu kelompok yang berlaku sebagai unit
analisis (Mukono, 2002).
Ekologi terbagi menurut bidang kajiannya menjadi autekologi yaitu mempelajari
interaksi organisme dengan lingkungan yaitu siklus hidup organisme, adaptasi
terhadap lingkungan, sinekologi mempelajari interaksi kelompok organisme di
daerah tertentu yaitu ekologi populasi, ekologi komunitas. Menurut habitat terbagi
menjadi ekologi darat, perairan, dan lain-lain. Menurut taksonomi terbagi menjadi
ekologi tumbuhan, manusia, dan lain-lain, menurut hubungan keilmuan terbagi
menjadi ekologi kesehatan.
Ilmu lingkungan merupakan hasil akhir dari bermacam-macam ilmu antara lain
ilmu biologi, sosial/ekonomi, politik dan kedokteran. Dari masing-masing bidang
ilmu tersebut antara lain akan muncul ilmu ekologi, dan makro ekonomi. Ilmu-ilmu
yang jangkauannya masih luas tersebut akan menjadi ilmu yang jangkauannya
makin sempit antara lain: ekologi manusia, ekologi lingkungan, ekologi politik.
Pengkhususan ekologi manusia akan menjadi ekologi kesehatan dan seterusnya
(misalkan ekologi DHF) (Mukono, 2006).

Karakteristik Nyamuk Aedes aegypti


Menurut Richard dan Davis (1977) yang dikutip oleh Soegijanto (2006),
kedudukan nyamuk Aedes aegypti dalam klasifikasi hewan adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia Filum :
Arthropoda
Kelas : Insecta
Bangsa : Diptera
Suku : Culicidae
Marga : Aedes
Jenis : Aedes aegypti L. (Soegijanto, 2006)

Morfologi Nyamuk Aedes aegypti


Menurut Gillot (2005), nyamuk Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) disebut black-
white mosquito, karena tubuhnya ditandai dengan pita atau garis-garis putih
keperakan di atas dasar hitam. Panjang badan nyamuk kini sekitar 3-4mm dengan
bintik hitam dan putih pada badan dan kepalanya, dan juga terdapat ring putih

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
pada bagian kakinya. Di bagian dorsal dari toraks terdapat bentuk bercak yang
khas berupa dua garis sejajar di bagian tengah dan dua garis lengkung di tepinya.
Bentuk abdomen nyamuk betinanya lancip pada ujungnya dan memiliki cerci yang
lebih panjang dari cerci pada nyamuk-nyamuk lainnya. Ukuran tubuh nyamuk
betinanya lebih besar dibandingkan nyamuk jantan (Gillot, 2005).

Gambar 1. Perbandingan nyamuk aedes aegypti jantan dan betina


Siklus Hidup Nyamuk Aedes aegypti
Menurut Soegijanto (2006), masa pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Aedes
aegypti dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa, dan nyamuk
dewasa,sehingga termasuk metamorfosis sempurna atau holometabola
(Soegijanto, 2006).

Gambar 2. Siklus hidup nyamuk aedes aegypti

1. Stadium Telur
Menurut Herms (2006), telur nyamuk Aedes aegypti berbentuk ellips atau oval
memanjang, berwarna hitam, berukuran 0,5 – 0,8mm, dan tidak memiliki alat
pelampung. Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telur-telurnya satu persatu pada
permukaan air, biasanya pada tepi air di tempat-tempat penampungan air bersih
dan sedikit diatas permukaan air. Nyamuk Aedes aegypti betina dapat
menghasilkan hingga 100 telur apabila telah menghisap darah manusia. Telur pada
tempat kering (tanpa air) dapat bertahan sampai 6 bulan. Telur-telur ini kemudian
akan menetas menjadi jentik setelah sekitar 1-2 hari terendam air (Herms, 2006).
2. Stadium Larva (Jentik)
Menurut Herms (2006), larva nyamuk Aedes aegypti mempunyai ciri khas memiliki

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
siphon yang pendek, besar dan berwarna hitam. Larva ini tubuhnya langsing,
bergerak sangat lincah, bersifat fototaksis negatif dan pada waktu istirahat
membentuk sudut hampir tegak lurus dengan permukaan air. Larva menuju
kepermukaan air dalam waktu kira-kira setiap ½-1 menit, guna mendapatkan
oksigen untuk bernapas. Larva nyamuk Aedes aegypti dapat berkembang selama
6-8 hari (Herms,2006).
Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), ada empat tingkat (instar) jentik sesuai
dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu:
a. Instar I: berukuran paling kecil,yaitu 1-2mm
b. Instar II: 2,5-3,8mm
c. Instar III: lebih besar sedikit dari larva instar II
d. Instar IV: berukuran paling besar, yaitu 5 mm (Depkes RI, 2005)
3. Stadium Pupa
Menurut Achmadi (2011), pupa nyamuk Aedes aegypti mempunyai bentuk tubuh
bengkok, dengan bagian kepala dada (cephalothorax) lebih besar bila
dibandingkan dengan bagian perutnya, sehingga tampak seperti tanda baca ‘koma’
Tahap pupa pada nyamuk Aedes aegypti umumnya berlangsung selama 2-4 hari.
Saat nyamuk dewasa akan melengkapi perkembangannya dalam cangkang pupa,
pupa akan naik kepermukaan dan berbaring sejajar dengan permukaan air untuk
persiapan munculnya nyamuk dewasa (Achmadi, 2011).
4. Nyamuk Dewasa
Menurut Achmadi (2011), nyamuk dewasa yang baru muncul akan beristirahat
untuk periode singkat di atas permukaan air agar sayap- sayap dan badan mereka
kering dan menguat sebelum akhirnya dapat terbang. Nyamuk jantan dan betina
muncul dengan perbandingan jumlahnya 1:1. Nyamuk jantan muncul satu hari
sebelum nyamuk betina, menetap dekat tempat perkembangbiakan, makan dari
sari buah tumbuhan dan kawin dengan nyamuk betina yang muncul kemudian.
Setelah kemunculan pertama nyamuk betina makan sari buah tumbuhan untuk
mengisi tenaga, kemudian kawin dan menghisap darah manusia. Umur nyamuk
betinanya dapat mencapai 2-3 bulan (Achmadi, 2011).

Bionomik Nyamuk Aedes aegypti


1. Tempat Perindukan atau Berkembang Biak
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2005
yang dikutip oleh Supartha (2008), tempat perkembangbiakan utama nyamuk
Aedes aegypti adalah tempat-tempat penampungan air bersih di dalam atau di
sekitar rumah, berupa genangan air yang tertampung disuatu tempat atau bejana
seperti bak mandi, tempayan, tempat minum burung, dan barang-barang bekas
yang dibuang sembarangan yang pada waktu hujan akan terisi air. Nyamuk ini
tidak dapat berkembang biak di genangan air yang langsung berhubungan dengan
tanah (Supartha,2008).
Menurut Soegijanto (2006), tempat perindukan utama tersebut dapat
dikelompokkan menjadi: (1) Tempat Penampungan Air (TPA) untuk keperluan
sehari-hari seperti drum, tempayan, bak mandi bak WC, ember, dan sejenisnya, (2)
Tempat Penampungan Air (TPA) bukan untuk keperluan sehari-hari seperti
tempat minuman hewan, ban bekas, kaleng bekas, vas bunga, perangkap semut,
dan sebagainya, dan (3) Tempat Penampungan Air (TPA) alamiah yang terdiri dari
lubang pohon, lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, kulit kerang, pangkal
pohon pisang, dan lain-lain (Soegijanto,2006).

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
2. Perilaku Menghisap Darah
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), nyamuk betina membutuhkan protein
untuk memproduksi telurnya. Oleh karena itu, setelah kawin nyamuk betina
memerlukan darah untuk pemenuhan kebutuhan proteinnya. Nyamuk betina
menghisap darah manusia setiap 2-3 hari sekali. Nyamuk betina menghisap darah
pada pagi dan sore hari dan biasanya pada jam 09.00–10.00 dan 16.00–17.00 WIB.
Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit lebih dari
satu orang. Posisi menghisap darah nyamuk Aedes aegypti sejajar dengan
permukaan kulit manusia.Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti sekitar 100 meter
(Depkes RI, 2004).
3. Perilaku Istirahat
Berdasarkan data dari Depkes RI (2004), setelah selesai menghisap darah, nyamuk
betina akan beristirahat sekitar 2–3 hari untuk mematangkan telurnya. Nyamuk
Aedes aegypti hidup domestik, artinya lebih menyukai tinggal di dalam rumah
daripada di luar rumah. Tempat beristirahat yang disenangi nyamuk ini adalah
tempat-tempat yang lembap dan kurang terang seperti kamar mandi, dapur, dan
WC. Di dalam rumah nyamuk ini beristirahat dibaju-baju yang digantung, kelambu,
dan tirai. Sedangkan di luar rumah nyamuk ini beristirahat pada tanaman-tanaman
yang ada di luar rumah (Depkes RI, 2004).
4. Penyebaran
Menurut Depkes RI (2005), nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di daerah tropis
dan subtropis. Di Indonesia, nyamuk ini tersebar luas baik dirumah-rumah
maupun tempat-tempat umum. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak
sampai ketinggian daerah ±1.000m dari permukaan air laut. Diatas ketinggian
1.000m nyamuk ini tidak dapat berkembang biak, karena pada ketinggian tersebut
suhu udara terlalu rendah, sehingga tidak memunginkan bagi kehidupan nyamuk
tersebut (Depkes RI, 2005).
5. Variasi Musim
Menurut Depkes RI (2005), pada saat musim hujan tiba, tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti yang pada musim kemarau tidak terisi
air, akan mulai terisi air. Telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan
menetas. Selain itu, pada musim hujan semakin banyak tempat penampungan air
alamiah yang terisi air hujan dan dapat digunakan sebagai tempat berkembang
biaknya nyamuk ini. Oleh karena itu, pada musim hujan populasi nyamuk Aedes
aegypti akan meningkat. Bertambahnya populasi nyamuk ini merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan peningkatan penularan penyakit dengue (Depkes
RI, 2005).

Ukuran Kepadatan Populasi Nyamuk Penular


Berdasarkan data dari Depkes RI (2005), untuk mengetahui kepadatan populasi nyamuk Aedes
aegypti di suatu lokasi dapat dilakukan beberapa survei di beberapa rumah, seperti:

1. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara penangkapan nyamuk dengan umpan orang di dalam dan
di luar rumah, masing-masing selama 20 menit per rumah dan penangkapan nyamuk yang
hinggap di dinding dalam rumah yang sama. Penangkapan nyamuk biasanya dilakukan dengan
menggunakan aspirator.
Indeks nyamuk yang digunakan:
a. Biting/Landing Rate =

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap umpan orang Jumlah
penangkapan x Jumlah jam penangkapan

b. Resting per rumah =


Jumlah Aedes aegypti betina tertangkap pada penangkap nyamuk hinggap Jumlah rumah
yang dilakukan penangkapan

2. Survei Jentik (Pemeriksaan Jentik)


Menurut Depkes RI (2005), untuk mengetahui keberadaan jentik Aedes aegypti di
suatu lokasi dapat dilakukan survei jentik sebagai berikut:
a. semua tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes
aegypti diperiksa (dengan mata telanjang) untuk mengetahui ada tidaknya jentik.
b. untuk memeriksa tempat penampungan air yang berukuran besar, seperti: bak mandi,
tempayan, drum, dan bak penampungan air lainnya, jika pandangan atau
penglihatan pertama tidak menemukan jentik, tunggu kira-kira ½–1menit untuk
memastikan bahwa benar jentik tidak ada.
c. untuk memeriksa tempat-tempat perkembang biakan yang kecil, sepertivas
bunga/pot tanaman air/botol yang airnya keruh, seringkali airnya perlu
dipindahkan ke tempat lain.
d. untuk memeriksa jentik di tempat yang agak gelap atau airnya keruh biasanya
digunakan senter.
Metode survei jentik antara lain:
a. Single larva
Cara ini dilakukan dengan mengambil satu jentik disetiap genangan air yang
ditemukan jentik untuk diidentifikasi lebih lanjut.
b. Visual
Cara ini cukup dilakukan dengan melihat ada tidaknya jentik disetiap tempat
genangan air tanpa mengambil jentiknya.
Ukuran kepadatan populasi jentik dapat ditentukan dengan mengukur:

3. Survei Perangkap Telur


Menurut Depkes RI (2005), survei perangkap telur dilakukan dengan cara memasang
ovitrap yaitu berupa bejana, seperti potongan bambu, kaleng, atau gelas plastik, yang bagian
dalam dindingnya dicat warna hitam, kemudian diberi air secukupnya. Ke dalam bejana
tersebut dimasukkan padel berupa potongan bambu yang berwarna gelap sebagai
tempat untuk meletakkan telur bagi nyamuk. Kemudian ovitrap diletakkan di tempat

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
gelap di dalam dan luar rumah. Setelah1 minggu dilakukan pemeriksaan ada tidaknya
telur nyamuk di padel.
Perhitungan ovitrap index adalah:
Jumlah padel dengan telur
x 100%
Jumlah padel diperiksa

Untuk mengetahui gambaran kepadatan populasi nyamuk penular secara lebih tepat,
telur-telur pada padel tersebut dikumpulkan dan dihitung jumlahnya. Kepadatan
populasi nyamuk berdasarkan jumlah telur pada padel:
telur

Jumlah ovitrap yang digunakan

=.......telur / ovitrap

Ekologi Nyamuk Aedes Aegypti Kaitannya dengan Penyakit DBD


Nyamuk dapat berkembang biak dengan baik apabila lingkungan dimana nyamuk
berada sesuai dengan kebutuhannya. Kepentingan manusia dalam mengelola lahan
pertanian, perikanan, perkebunan, peternakan akan dimanfaatkan untuk
perkembangbiakan larva nyamuk, sehingga berpengaruh terhadap kepadatan
maupun perilaku nyamuk di suatu tempat. Penyebaran DHF ditentukan oleh
beberapa faktor diantaranya Agent, Host (penjamu) dan lingkungan yang saling
berinteraksi. Agent (parasit) hidup dalam tubuh manusia (intermediate) dan tubuh
nyamuk (definitif).
Dalam tubuh nyamuk agent berkembang menjadi bentuk infektif, siap menularkan ke
manusia yang berfungsi sebagi host intermediate bisa terinfeksi dan menjadi tempat
berkembangnya agent. (Vytilingam, 1992). Vektor utama yang berperan dalam
penyebaran penyakit DHF adalah nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk ini tersebar luas di
daerah tropik dan subtropik. Nyamuk Aedes aegypti hidup di sekitar pemukiman
manusia, di dalam dan di luar rumah terutama di daerah perkotaan dan berkembang
biak dalam berbagai macam penampungan air bersih yang tidak berhubungan
langsung dengan tanah dan terlindung dari sinar matahari. Larvanya tumbuh subur
sebagai pemakan di dasar (bottom feeder) dalam air bersih yang mengandung bahan
organik, sehingga larvisida bentuk granul sangat sesuai untuk membasmi nyamuk ini.
Faktor lingkungan merupakan faktor utama yang menentukan dalam penularan DBD.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Azizah dan dkk. (2010) menyatakan bahwa
mobilitas penduduk yang tinggi menjadi salah satu faktor yang berperan dalam status
endemisitas suatu wilayah. Faktor kepadatan penduduk juga dinyatakan sebagai
salah satu faktor yang berperan dalam endemisitas DBD. Hal ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Setianingsih (2009), Rahayani (2010), dan Munsyir
(2010). Faktor lain yang dianggap berperan dalam endemisitas DBD adalah
lingkungan biologi berupa densitas larva Aedes aegypti. Penelitian Ishak dkk (2009)
serta Sudibyo dkk (2012) menyatakan bahwa densitas larva mempunyai hubungan
yang signifikan dengan tinggi rendahnya endemisitas DBD .

Daftar Pustaka Daftar Pustaka

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Achmadi UF.,2008.Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah.Rajawali Pers, Jakarta.
Azizah dan Betty. 2010. Analisis Faktor Risiko Kejadian Demam Berdarah Dengue di
Desa Mojosongo Kabupaten Boyolali. Eksplanasi Volume 5 Nomor 2 Edisi
Oktober 2010.
Christophers, S. Rickard. 1960. Aedes aegypti (L.),The Yellow Fever Mosquito, its
life history, bionomics and structure”, Cambridge at The University Press.
Dahlan, MS. ,2006. Besar Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan.
Arkans, Jakarta.
DepkesRI, 1999. Demam Berdarah dapat Dicegah Dengan Pemberantasan Jentik
Nyamuknya. Jakarta: Ditjen PPM & PLP.
Gandahusada, 2008. Parasitologi Kedokteran. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
UI, Jakarta.
Gillot, C., 2005. Entomology. Plenum Press, New York.
Herms, W. ,2006. Medical Entomology.The Macmillan Company, United States of
America.
Ishak, Hasanuddin dkk. (2009). Analisis Faktor Faktor Densitas Larva Aedes aegypti
dan Endemisitas Penyakit Demam Berdarah Dengue di Kabupaten
Bulukumba, Sulawesi Selatan. Disajikan pada Seminar Nasional Hari
Nyamuk 2009 Tanggal 10 Agustus 2009.
James, MT. and Harwood, RF. 1969. Herm’s Medical Entomology.
6th Ed. The Macmillan Company USA.
Kementrian Kesehatan RI, 2010. Demam Berdarah Dengue. Buletin Jendela
Epidemiologi. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta.
LAWUYAN, S. 1996. Demam Berdarah Dengue di Kotamadya Surabaya. Seminar
Sehari Demam Berdarah Dengue. Tropical Disease Center, Universitas
Airlangga, Surabaya 28 Oktober 1996.
Mukono, H.J., 2002. Epidemiologi Lingkungan. Airlangga University Press, Surabaya.
Mukono, H.J, 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University
Press, Surabaya.
Murti, B., 2003. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Munsyir, Mujida Abdul. 2010. Pemetaan dan Analisis Kejadian Demam Berdarah
Dengue di Kabupaten Bantaeng Propinsi Sulawesi Selatan Tahun 2009.
Thesis tidak diterbitkan. Universitas Hasanuddin: Makassar
Rahayani, Berta Ratri. 2010. Analisis Spasial Faktor Kepadatan Penduduk, Angka
Bebas Jentik, dan Cakupan Penanggulangan Fokus dengan Kejadian Demam
Berdarah Dengue di Kot Surabaya Tahun 2006 – 2009. Skripsi tidak
diterbitkan. Fakultas Kesehatan Masyarakat.
Rahim, S. dkk. 2013. Hubungan Faktor Lingkungan Dengan TIingkat Endemisitas
DBD Di Kota Makassar. Diunduh pada tanggal 29 Oktober 2016 melalui:
https://www.researchgate.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
MODUL 2

Pengendalian Vektor DBD

Masalah Kesehatan Yang Ditimbulkan oleh Vektor DBD


7 Penyakit yang ditimbulkan oleh gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus
betina yang telah terinfeksi virus adalah Demam Berdarah Dengue (DBD). Demam
Dengue atau Demam Berdarah Dengue disebabkan oleh virus yang termasuk ke dalam
genus Flaviridae. Virus tersebut menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler
dan pada sistem pembekuan darah sehingga mengakibatkan pendarahan. DBD tidak
menular melalui kontak manusia dengan manusia dan hanya ditularkan melalui nyamuk
yang telah terinfeksi virus sebagai vektornya. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk
kedalam kelompok arthropod borne diseases. Dengue Virus memiliki 4 jenis serotipe
yang beredar khususnya di Indonesia, yaitu Dengue Virus (DV) 1, DV 2, DV 3, dan DV4 (Xu
et al, 2006; Suwandono et al, 2007).
Masa inkubasi penyakit berkisar antara 1 hingga 4 hari, timbul demam sehari sebelum
demam. Dengan teknik diagnosis deteksi NS1, maka antigen virus telah bisa di deteksi.
Sebelumnya deteksi atau diagnosis DBD mendasarkan kepada antigen-antibodi yang baru
bisa dideteksi pada hari ke-3 atau 4 setelah demam berlangsung, atau hari ke-7 setelah
infeksi berjalan (WHO, 1999; Depkes, 2005).
“The Secondary Heterologus Infection Hypothesis” yang dikemukakan oleh Halstead
(1980) menyebutkan bahwa seseorang dapat menderita DBD jika mendapat infeksi
ulangan tipe virus dengue berbeda. Misalnya : infeksi pertama 8 oleh virus dengue tipe–1
(DEN-1) menyebabkan terbentuknya antibodi DEN -1, apabila kemudian terkena infeksi
berikut oleh virus dengue tipe-2 (DEN-2) dalam waktu 6 bulan sampai 5 tahun pada
sebagian dari yang mendepat infeksi kedua itu dapat terjadi suatu reaksi imunologis
antara virus DEN-2 sebagai antigen dengan antibody DEN – 1 yang dapat mengakibatkan
gejala demam berdarah dengue. Demam berdarah baru terjadi apabila telah terinfeksi
oleh virus dengue untuk kedua kalinya, atau mendapat virus dari sumber yang tidak
sama.
Infeksi yang pertama dengan atau tanpa obat, demam tersebut sering sembuh sendiri
atau berlalu begitu saja tanpa disadari oleh penderitanya. Orang yang terinfeksi kedua
kalinya pada darah atau pipa-pipa pembuluh darah dalam di dalam tubuh yang telah
terkontaminasi virus dengue itu menjadi lebih sensitif terhadap serangan yang kedua kali
sehingga dalam tubuh mereka yang telah terkena virus dengue biasanya akan terjadi
reaksi hypersensitivity, reaksi yang berlebihan itulah yang sesungguhnya menimbulkan
tanda atau gejala yang disebut demam berdarah (Indrawan, 2001).
Pada dasarnya penyebab utama ialah virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk kedalam
tubuh manusia hingga akhirnya manusia tersebut di diagnosa penyakit demam berdarah
dengue. Nyamuk Aedes aegypti ini muncul dengan adanya lingkungan yang mendukung,
seperti halnya: kubangan air, maupun timbunan barang bekas yang nyaman sebagai
sarang nyamuk. Didukung pula dengan kondisi fisik manusia yang sedang mengalami
penurunan imunitas, maka akan mempercepat penyebaran virus dengue tersebut. Faktor
mobilitas penduduk, kepadatan penduduk maupun perilaku masyarakat yang
berhubungan dengan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) juga berpotensi
menimbulkan kejadian luar biasa/wabah. Berdasarkan gejalanya DBD dikelompokkan
menjadi 4 tingkatan yaitu (WHO, 2009):
1. Derajat I : demam tinggi disertai gejala tidak khas. Satu – satunya tanda perdarahan
adalah tes torniquet positif atau mudah memar.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
2. Derajat II : gejala derajat I ditambah dengan perdarahan spontan di kulit atau di
tempat lain. 9 c) Derajat III : ditemukan tanda-tanda kegagalan sirkulasi (nadi cepat,
lemah, hipotensi, kaki/tangan dingin, lembab, sianosis, gelisah) d) Derajat IV : terjadi
syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah yang tidak dapat
diperiksa.

Cara Penularan
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu
manusia, virus dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui
gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan
beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor
yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut mengandung virus dengue pada saat
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di
kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period)
sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya.
Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transsovarian
transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat
masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan menularkan
virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan masa tunas 4-6
hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari
manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang
sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam
timbul (Depkes RI, 2004).
Riwayat Alamiah Penyakit
1. Fase Suseptibel (rentan)
Fase suseptibel dari demam berdarah dengue menurut Gurbler et al, dalam Sumantri
(2008) adalah pada saat nyamuk Aedes aegypti yang tidak infektif kemudian menjadi
infektif setelah menggigit manusia yang sakit atau dalam 10 keadaan viremia (masa virus
bereplikasi cepat dalam tubuh manusia). Nyamuk Aedes aegypti yang telah menghisap
virus dengue menjadi penular sepanjang hidupnya. Ketika menggigit manusia nyamuk
mensekresikan kelenjar saliva melalui proboscis terlebih dahulu agar darah yang akan
dihisap tidak membeku. Bersama sekresi saliva inilah virus dengue dipindahkan dari
nyamuk antar manusia. Disini keadaannya manusia masih dikatakan sehat meskipun
sudah rentan akan virus dengue, sedangkan nyamuk telah terinfeksi dan siap menjadi
penular DBD.
2. Fase Subklinis (asismtomatis)
Fase subklinis dari demam berdarah dengue adalah setelah virus dengue masuk bersama
air liur nyamuk ke dalam tubuh, virus tersebut kemudian memperbanyak diri dan
menginfeksi sel-sel darah putih serta kelenjar getah bening untuk kemudian masuk ke
dalam sistem sirkulasi darah. Virus ini berada di dalam darah hanya selama 3 hari sejak
ditularkan oleh nyamuk (Lestari, 2007). Pada fase subklinis ini, jumlah trombosit masih
normal selama 3 hari pertama (Rena, 2009).
Sebagai perlawanan, tubuh akan membentuk antibodi, selanjutnya akan terbentuk
kompleks virus-antibodi dengan virus yang berfungsi sebagai antigennya. Kompleks
antigen-antibodi ini akan melepaskan zat-zat yang merusak sel-sel pembuluh darah, yang
disebut dengan proses autoimun. Proses tersebut menyebabkan permeabilitas kapiler
meningkat yang salah satunya ditunjukkan dengan melebarnya pori-pori pembuluh
darah kapiler. Hal tersebut akan mengakibatkan bocornya sel-sel darah, antara lain
trombosit dan eritrosit (Widoyono, 2008).
Virus telah masuk pada tubuh manusia, namun belum menunjukkan tanda maupun

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
gejala. Jika hal ini terjadi, maka penyakit DBD akan memasuki fase klinis dimana sudah
mulai ditemukan gejala dan tanda secara klinis adanya suatu penyakit.

Upaya Pengendalian Penanggulangan DBD


Untuk melakukan penanggulangan DBD di Indonesia diperlukan strategi pengendalian
DBD. Berdasarkan visi, misi, kebijakan dan tujuan pengendalian DBD, maka strategi yang
dirumuskan sebagai berikut :
1. Pemberdayaan masyarakat
Meningkatkan peran aktif masyarakat dalam pencegahan dan pengendalian penyakit
DBD merupakan salah satu kunci keberhasilan upaya pengendalian DBD. Untuk
mendorong meningkatnya peran aktif masyarakat, maka KIE, pemasaran sosial, advokasi
dan berbagai upaya penyuluhan kesehatan lainnya dilaksanakan secara intensif dan
berkesinambungan melalui berbagai media massa maupun secara berkelompok atau
individual dengan memperhatikan aspek sosial budaya yang lokal spesifik.
2. Peningkatan kemitraan berwawasan bebas dari penyakit DBD
Upaya pengendalian DBD tidak dapat dilaksanakan oleh sektor kesehatan saja, peran
sektor terkait pengendalian penyakit DBD sangat menentukan. Oleh sebab itu maka
identifikasi stake-holders baik sebagai mitra maupun pelaku potensial merupakan
langkah awal dalam menggalang, meningkatkan dan mewujudkan kemitraan. Jejaring
kemitraan diselenggarakan melalui pertemuan berkala guna memadukan berbagai
sumber daya yang tersedia dimasing-masing mitra. Pertemuan berkala sejak dari tahap
perencanaan sampai tahap pelaksanaan, pemantauan dan penilaian melalui wadah
Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL DBD) di berbagai tingkatan administrasi.
3. Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program SDM
Peningkatan Profesionalisme Pengelola Program SDM yang terampil dan menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu unsur penting dalam mencapai
keberhasilan pelaksanaan program pengendalian DBD.
4. Desentralisasi Optimalisasi pendelegasian wewenang pengelolaan kegiatan
pengendalian DBD kepada pemerintah kabupaten/kota, melalui SPM bidang
kesehatan.
5. Pembangunan Berwawasan Kesehatan Lingkungan
Meningkatkan mutu lingkungan hidup yang dapat mengurangi risiko penularan DBD
kepada manusia, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan akibat infeksi
Dengue/DBD.

Kebijakan Nasional Pengendalian DBD Kebijakan Nasional untuk pengendalian DBD


sesuai KEPMENKES No 581/MENKES/SK/VII/1992 (Lampiran 2) tentang
Pemberantasan Penyakit Demam Berdarah Dengue, adalah sebagai berikut :
1. Meningkatkan perilaku dalam hidup sehat dan kemandirian terhadap pengendalian
DBD.
2. Meningkatkan perlindungan kesehatan masyarakat terhadap penyakit DBD.
3. Meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi program pengendalian DBD.
4. Memantapkan kerjasama lintas sektor/ lintas program.
5. Pembangunan berwawasan lingkungan. Penanggulangan DBD di Indonesia juga
dapat dilakukan dengan cara melakukan pengendalian vector.
Pengendalian Vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan oleh vektor
dengan meminimalkan habitat perkembangbiakan vektor, menurunkan kepadatan dan
umur vektor, mengurangi kontak antara vektor dengan manusia serta memutus rantai

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
penularan penyakit Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim, permukiman, habitat
perkembangbiakan); lingkungan sosial-budaya (Pengetahuan Sikap dan Perilaku) dan
aspek vektor.
Pada dasarnya metode pengendalian vektor DBD yang paling efektif adalah dengan
melibatkan peran serta masyarakat (PSM). Sehingga berbagai metode pengendalian
vektor cara lain merupakan upaya pelengkap untuk secara cepat memutus rantai
penularan. Berbagai metode PengendalianVektor (PV) DBD, yaitu: - Kimiawi - Biologi -
Manajemen lingkungan - Pemberantasan Sarang Nyamuk/PSN - Pengendalian Vektor
Terpadu (Integrated Vector Management/IVM).
1. Kimiawi
Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida merupakan salah
satu metode pengendalian yang lebih populer di masyarakat dibanding dengan cara
pengendalian lain. Sasaran insektisida adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena
insektisida adalah racun, maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak
terhadap lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping itu
penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan syarat yang penting
untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor. Aplikasi insektisida yang berulang
di satuan ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi serangga sasaran.
2. Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi seperti predator/pemangsa,
parasit, bakteri, sebagai musuh alami stadium pra dewasa vektor DBD. Jenis predator
yang digunakan adalah Ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung,
3. Manajemen lingkungan
Lingkungan fisik seperti tipe pemukiman, sarana-prasarana penyediaan air, vegetasi dan
musim sangat berpengaruh terhadap tersedianya habitat perkembangbiakan dan
pertumbuhan vektor DBD. Nyamuk Aedes aegypti sebagai nyamuk pemukiman
mempunyai habitat utama di kontainer buatan yang berada di daerah pemukiman.
Manajemen lingkungan adalah upaya pengelolaan lingkungan sehingga tidak kondusif
sebagai habitat perkembangbiakan atau dikenal sebagai source reduction seperti 3M plus
(menguras, menutup dan memanfaatkan barang bekas, dan plus: menyemprot,
memelihara ikan predator, menabur larvasida dll); dan menghambat pertumbuhan
vektor (menjaga kebersihan lingkungan rumah, mengurangi tempat-tempat yang gelap
dan lembab di lingkungan rumah dll).
4. Pemberantasan Sarang Nyamuk / PSN-DBD
Pengendalian Vektor DBD yang paling efisien dan efektif adalah dengan memutus rantai
penularan melalui pemberantasan jentik. Pelaksanaannya di masyarakat dilakukan
melalui upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue (PSN-DBD)
dalam bentuk kegiatan 3 M plus. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, kegiatan 3 M
Plus ini harus dilakukan secara luas/serempak dan terus menerus/berkesinambungan.
PSN DBD dilakukan dengan cara ‘3M-Plus’, 3M yang dimaksud yaitu:
a. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti bak mandi/wc,
drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
b. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/tempayan, dan
lain-lain (M2)
c. Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air
hujan (M3).
d. Selain itu ditambah (plus) dengan cara lainnya, seperti:

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
1) Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-tempat lainnya yang
sejenis seminggu sekali.
2) Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
3) Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan lain-lain (dengan
tanah, dan lain-lain)
4) Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang sulit dikuras atau
di daerah yang sulit air
5) Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan air
6) Memasang kawat kasa
7) Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
8) Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
9) Menggunakan kelambu
10) Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
5. Pengendalian Vektor Terpadu (Integrated Vektor Management)
IVM merupakan konsep pengendalian vektor yang diusulkan oleh WHO untuk
mengefektifkan berbagai kegiatan pemberantasan vektor oleh berbagai institusi. IVM
dalam pengendalian vektor DBD saat ini lebih difokuskan pada peningkatan peran serta
sektor lain melalui kegiatan Pokjanal DBD, Kegiatan PSN anak sekolah, dll.
Kegiatan pengendalian vektor pada KLB DBD Pada saat KLB, maka pengendalian vektor
harus dilakukan secara cepat, tepat dan sesuai sasaran untuk mencegah peningkatan
kasus dan meluasnya penularan. Langkah yang dilakukan harus direncanakan
berdasarkan data KLB, dengan tiga intervensi utama secara terpadu yaitu pengabutan
dengan fogging/ULV, PSN dengan 3 M plus, larvasidasi dan penyuluhan penggerakan
masyarakat.

Daftar Pustaka Daftar Pustaka

Depkes RI. 2005. Buku Pencegahan Dan Pemberantasan DBD; Subdit Arbovirosis, Dit
PPBB, Ditjen PP&PL. Jakarta.
Depkes RI. 2004. Buku Modul Entomologi, Subdit. Pengendalian Vektor. Jakarta.
Depkes RI. 2003. Buku Pencegahan Dan Penanggulangan Demam Dengue dan Demam
Berdarah Dengue (Terjemahan WHO Regional Publication SEARO No.29). Jakarta.
Kemenkes. 2010. Permenkes nomor : 374/Menkes/Per/III/2010 tentang Pengendalian
Vektor. Jakarta.
Rencana Strategis 2005-2009. 2005. Program Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue. Direktorat Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
Kemenkes RI.
Achmadi, U.F. 2010. Manajemen Demam Berdarah Berbasis Wilayah. Buletin Jendela
Epidemiologi. 2 Agustus. Jakarta

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
MODUL 3

Ekologi Nyamuk Hubungannya dengan


Penyakit malaria

Nyamuk Anopheles
Nyamuk Anopheles merupakan nyamuk malaria. Terdapat 400 spesies nyamuk Anopheles,
namun hanya 30-40 menyebarkan malaria (contoh, merupakan ”vektor” secara alami.
Anopheles gambiae adalah paling terkenal akibat peranannya sebagai penyebar parasit
malaria (plasmodium falciparum) dalam kawasan endemik di Afrika, sedangkan
Anopheles sundaicus adalah penyebar malaria di Asia. Anopheles juga merupakan vektor
bagi cacing jantung anjing dirofilaria immitis.
Nyamuk Anopheles dikenal sebagai salah satu jenis nyamuk yang menyebabkan penyakit
malaria. Nyamuk malaria banyak terdapat di rawa-rawa, saluran-saluran air, dan
permukaan air yang terekspos sinar matahari. Ia bertelur di permukaan air. Nyamuk ini
hinggap dengan posisi menukik atau membentuk sudut. Sering hinggap di dinding rumah
atau kandang. Warnanya bermacam-macam, ada yang hitam, ada pula yang kakinya
berbercak-bercak putih. Waktu menggigit biasanya dilakukan malam hari.
Banyak jenis nyamuk Anopheles yang bisa menyebabkan penyakit malaria. Ada Anopheles
sundaicus yang banyak terdapat di air payau, seperti di Kepulauan Seribu. Nyamuk ini
berkembang biak di lingkungan yang banyak ditumbuhi ganggang. Ia akan meletakkan
telurnya di ganggang hijau yang banyak reniknya, sehingga begitu menetas, jentiknya
langsung mendapat makanan renik yang hidup di antara ganggang tersebut. Ada lagi
Anopheles maculatus dan Anopheles balabacensis yang banyak terdapat di perbukitan dan
bertelur di mata air, di air rembesan atau di sungai yang tak deras airnya. Nyamuk
Anopheles aconitus banyak hidup di daerah pesawahan atau saluran-saluran air yang ada
rumputnya. Menurut Soeroto ada sekitar 70 jenis nyamuk ini. Penyakit malaria yang
ditimbulkan pun jenisnya bermacam-macam, tergantung jenis parasitnya (malaria
falsiparum, vivak, ovale, dan malariae). Selain itu, nyamuk Anopheles bisa juga
menyebabkan penyakit kaki gajah.
Ciri-ciri nyamuk Anopheles: sangat dipengaruhi kelembapan, dan suhu, menggigit pada
malam hari, jarak terbang 0,5-3 km, umur di laboratorium dewasanya 3-5 minggu. Ciri-ciri
jentik nyamuk Anopheles: Bentuk siphon seperti tanduk, jentik nyamuk mansonia
menempel pada akar tumbuhan air, bagian toraks terdapat stoot spine.
Nyamuk Anopheles mempunyai siklus hidup yang termasuk dalam metamorfosa
sempurna, yang berarti dalam siklus hidupnya terdapat stage/fase pupa. Lama siklus
hidup dipengaruhi kondisi lingkungan, misal : suhu, adanya zat kimia/biologisdi tempat
hidup. Siklus hidup nyamuk Anopheles secara umum adalah:

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
1. Telur
Nyamuk dewasa mampu menghasilkan 50-200 buah telur langsung air dan terpisah dan
sifatnya tidak bergabung menjadi satu. Waktu yang dibutuhkan untuk menetas kurang
lebih 2-3 hari, kecuali daerah beriklim dingin bisa 2-3 minggu).

Gambar 3. Telur nyamuk Anopheles

2. Larva
Larva terbagi dalam 4 instar dengan posisi larva saat istirahat adalah sejajar dengan
permukaan perairan karena mereka tidak mempunyai siphon (alat bantu pernafasan).
Lama hidup kurang lebih 7 hari. Makanan untuk mempertahankan hidup dengan
memakan algae, bakteri dan mikroorganisme lainnya yang berada disekitarnya.

Gambar 4. Larva Anopheles sp

3. Pupa (kepompong)
Bentuk seperti koma dan setelah beberapa hari pada bagian dorsal terbelah sebagai
tempat keluar nyamuk dewasa.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Gambar 5. Pupa Anopheles sp.
4. Dewasa
Nyamuk dewasa mempunyai proboscis yang berfungsi untuk menghisap darah atau
makanan lainnya. Lama hidup nyamuk jantan bisa hidup sampai seminggu, sedangkan
nyamuk betina bisa mencapai sebulan. Perkawinan terjadi setelah beberapa hari setelah
menetas dan kebanyakan perkawinan terjadi di sekitar rawa (breeding place). Untuk
membantu pematangan telur, nyamuk menghisap darah dan beristirahat sebelum
bertelur. Salah satu ciri khas dari nyamuk Anopheles adalah pada saat posisi istirahat
menungging.

Gambar 6. Nyamuk Dewasa Anopheles sp.

Nyamuk Anopheles di seluruh dunia kurang lebih 2000 spesies, yang ada di Indonesia
berjumlah lebih dari 80 spesies, namun tidak semua jenis spesies Anopheles berperan
penting dalam penularan. Di Indonesia telah ditemukan sejumlah 24 spesies Anopheles
yang dapat menularkan malaria. Semua vektor tersebut hidup sesuai dengan kondisi
ekologi setempat. Berikut beberapa jenis vektor Anopheles yang predominan di Nusa
Tenggara Timur (Gunawan,2000):

1. Anopheles aconitus
Anopheles aconitus pertama kali di temukan oleh Donitz pada tahun 1902. Tempat
perindukan vektor Anopheles aconitus terutama di daerah persawahan dan saluran irigasi.
Persawahan yang berteras merupakan tempat yang baik untuk perkembangan nyamuk
ini. Vektor jenis Anopheles aconitus betina paling sering menghisap darah ternak
dibandingkan darah manusia. Perkembangan vektor jenis ini sangat erat hubungannya
dengan lingkungan dimana kandang ternak yang ditempatkan satu atap dengan rumah
penduduk. Nyamuk ini suka hinggap di daerah- daerah yang lembap seperti pinggir parit,
tebing sungai, dekat air yang selalu basah dan lembab. Vektor Anopheles aconitus biasanya
aktif mengigit pada waktu malam hari, hampir 80 persen dijumpai di luar rumah
penduduk antara pukul 18.00 - 22.00. Nyamuk jenis ini hanya mencari darah di dalam
rumah penduduk dan langsung keluar.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Gambar 7. Nyamuk Anopheles aconitus

2. Anopheles sundaicus
Ciri morfologi palpi gelang pucat, urat sayap dengan noda gelap, percabangan urat sayap 5
dengan noda pucat, kaki bertitik (bercak bercak). Pada vektor jenis ini umurnya lebih
sering menghisap darah manusia dari pada darah binatang. Nyamuk ini aktif menggigit
sepanjang malam tetapi paling sering antara pukul 22.00 - 01.00 dini hari. Pada waktu
malam hari nyamuk masuk ke dalam rumah untuk mencari darah, hinggap di dinding baik
sebelum maupun sesudah menghisap darah.
Vektor Anopheles sundaicus biasanya berkembang biak di air payau dengan kadar garam
optimum antara 12 -18 persen. Biasanya penyebaran jentik di tempat-tempat tertutup
seperti di antara tanaman air yang mengapung, sampah dan rumput - rumput di pinggir
sungai atau parit.

Gambar 8. Nyamuk Anopheles sundaicus

3. Anopheles maculatus
Menurut Hiswani 2005, vektor Anopheles maculatus pertama kali ditemukan oleh
Theobaldt pada tahun 1901. Vektor Anopheles maculatus betina lebih sering menghisap
darah binatang daripada darah manusia. Vektor jenis ini aktif mencari darah pada malam
hari antara pukul 21.00 hingga 03.00. Nyamuk ini berkembang biak di daerah
pegunungan. Tempat perindukan yang spesifik vektor ini di sungai yang kecil dengan air
jernih, mata air yang mendapat sinar matahari langsung, kolam dengan air jernih. Densitas
tinggi pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan vektor jenis ini agak berkurang
karena tempat perindukan hanyut terbawa banjir.
4. Anopheles barbirostris
Anopheles barbirostris pertama kali diidentifikasi oleh Van Der Wulp pada tahun 1884. Ciri
ciri palpi tanpa gelang pucat, palpi dan proboscis dengan bulu yang kasar, kosta, dengan
noda gelap kurang dari 4, kaki tidak bertitik, bagian bawah abdomen tidak terdapat bulu
bersisik putih. Di Sumatera dan Jawa jenis nyamuk ini jarang menggigit orang tetapi lebih
sering menggigit binatang, sedangkan daerah sulawesi, NTT, dan Timor Leste lebih sering
menggigit manusia daripada binatang. Jenis nyamuk ini biasanya mencari darah pada
waktu malam hingga dini hari berkisar antara pukul 23.00 - 05.00. Frekuensi mencari
darah tiap tiga hari sekali. Pada siang hari nyamuk jenis ini hanya sedikit yang dapat
ditangkap, di dalam rumah penduduk, karena tempat istirahat nyamuk ini adalah di alam
terbuka, paling sering hinggap pada pohon-pohon dan tanaman disekitar rumah. Tempat
perindukan vektor ini biasanya di sawah-sawah dengan saluran irigasinya, kolam, dan
rawa-rawa (Hiswani, 2004).

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
5. Anopheles balabacensis
Menurut Kirnowardoyo (2005) Anopheles balabacensis merupakan nyamuk hutan dan
telah terbukti berperan sebagai vektor malaria di Kalimantan Timur, dekat Balikpapan.
Ciri cirinya palpi dengan gelang pucat, proboscis seluruhya gelap, costa dengan noda gelap
lebih dari 4, kaki bertitik (bercak bercak, bagian tibia tarsal terdapat gelang putih yang
lebar. Nyamuk yang ini merupakan spesies yang antropofilik, lebih menyukai darah
manusia ketimbang darah binatang. Nyamuk ini mempunyai kebiasaan menggigit pada
tengah malam hingga menjelang fajar sekitar jam 4 pagi di luar rumah. Spesies ini
berkembang biak di genangan air tawar. Mereka lebih menyukai hutan-hutan atau semak
di sekitar pekarangan rumah.

6. Anopheles subpictus
Habitat ini menyukai kumpulan air yang permanen / sementara, celah tanah bekas kaki
binatang, tambak ikan dan bekas galian pantai (pantai utara pulau jawa). Bersifat
atropofolik > zoolik menggigit waktu malam di dalam mupun luar rumah. Jenis nyamuk
yang satu ini lebih menyukai darah ternak ketimbang darah manusia. Nyamuk ini aktif
sepanjang malam dan beristirahat di dinding rumah. Jentik nyamuk ini sering dijumpai
bersama jentik Anopheles sundaicus, namun lebih toleran terhadap salinitas yang rendah
mendekati tawar (Achmadi, 2005). Nyamuk ini dapat menyesuaikan diri terhadap
lingkungan yang bebeda beda kadar garamnya sehingga Anopheles subpictus dapat
ditemukan bersama Anopheles sundaicus atau spesies lain yang berkembang biak di air
tawar. Terbukti sebagai vektor malaria di Sulawesi Selatan tahun 1940 – 1941, Sulawesi
Tenggara 1942, Cirebon 1952, Banyuwangi dan Flores Barat 1979.
7. Anopheles flavirostris
Anopheles flavirostris pernah ditemukan positif mengandung sporozoit di Malili (Sulawesi
Selatan tahun 1949). Nyamuk ini berkembang biak dengan baik di air jernih yang mengalir
lambat dan kena sinar matahari, seperti sungai dan terutama mata air dan apabila bagian
tepinya berumput. Nyamuk ini bersifat zoofilik
8. Anopheles barbumbrosus
Habitat di pinggir sungai yang terlindung dengan air yang mengalir lambat dekat hutan di
dataran tinggi. Perilaku menggigit bionomiknya belum banyak di pelajari antropofilik.
Pernah di temukan positif mengandung sporozoid di Malili, Sulawesi Selatan (1949). Data
yang dapat menerangkan tata hidup nyamuk ini belum diketahui dengan baik.

Penyakit Malaria
Nyamuk sangat berperan terhadap penularan penyakit-penyakit tular vector diantaranya
adalah malaria. Khususnya nyamuk Anopheles sp. ada sekitar 400 spesies diseluruh dunia
dan hanya 69 spesies merupakan vektor malaria dalam kondisi alamiah. Pada infeksi
dengan spesies parasit malaria tertentu sebagian besar tidak dapat dijelaskan meskipun
ini tentu saja berhubungan dengan proses biokimia dalam tubuh nyamuk dan kebutuhan
nutrisional. Frekuensi pencarian makanan pada manusia adalah suatu relevansi khusus.
Faktor lain adalah rata-rata lama hidup dari populasi lokal dari suatu spesies Anopheles sp.
densitasnya dalam hubungannya dengan manusia.
Penyebaran nyamuk dapat berlangsung dengan 2 cara yaitu cara aktif yang ditentukan
oleh kekuatan terbang dan cara pasif dengan perantara angin. Pada kecepatan angin 11-14
meter per detik atau 25- 31 mil per jam akan menghambat terbang nyamuk (Santoso,
2008). Penularan malaria dipengaruhi oleh faktor parasit (Plasmodium), faktor manusia
(Host), faktor nyamuk Anopheles (vektor) dan faktor lingkungan baik lingkungan fisik,
kimia maupun biologi di sekitar habitat perkembangbiakan nyamuk dan musuh alami.
Nyamuk Anopheles sangat banyak macamnya dan berbeda-beda jenisnya antara daerah

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
yang satu dengan daerah yang lainnya. Jenis nyamuk Anopheles yang berperan dalam
penularan penyakit malaria di daerah tertentu sangat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan (Soedarto, 1992).
Nyamuk Anopheles berkurang pada ketinggian yang semakin bertambah. Semakin tinggi
suhu udara akan memperpendek waktu terbentuknya sporogoni sehingga tidak cukup
umur untuk ditularkan kepada host, sebaliknya semakin rendah (dalam batas tertentu)
semakin panjang waktu terbentuknya. Penyakit malaria disebabkan oleh protozoa genus
plasmodium yang ditandai dengan demam, panas dingin, berkeringat, anemia hemolitik
dan splenomegali. Penyebar malaria adalah nyamuk Anopheles sp. yaitu spesies yang
telah terbukti mengandung sporozoit di dalam kelenjar ludahnya. (Munif dan Imron,
2010).
Faktor yang mempengaruhi kepadatan larva vektor malaria, yaitu faktor biotik dan faktor
abiotik. Faktor biotik antara lain tumbuhan dan hewan, interaksi antara jasad, pemangsa,
pemakan bangkai, simbiosis parasitisme, dan manusia, sedangkan faktor abiotik antara
lain cahaya, suhu, curah hujan, arah dan kecepatan angin, dan kelembapan. Bila
lingkungan nyamuk sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan maka nyamuk dapat
berkembang biak dengan baik (Ewusie, 1980). Kondisi ekologi perindukan vektor malaria
di pantai mendukung kehidupan larva vektor malaria (Pebrianto, 2008). Berdasarkan
hasil survei nyamuk Anopheles yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun
2009, jenis Anopheles yang ditemukan adalah Anopheles kochi, Anopheles vagus,
Anopheles aconitus dan Anopheles sundaicus. Jenis nyamuk Anopheles sundaicus
merupakan vektor penyakit penular malaria utama yang berkembang biak pada air payau
daerah pantai.

Daftar Pustaka Daftar Pustaka

Achmadi, 2005, Nyamuk anoples, Penerbit Jakarta


Depkes RI, 2001, Pedoman Pelaksanaan Sanitasi Lingkungan dalam Pengendalian Vektor,
Ditjen PPM & PL, Jakarta
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan,
2008. Pedoman Penatalakasanaan Kasus
Malaria Di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Effendi, H. 2013. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Yogyakarta:Kanisius
Febriani, Devita. Studi Fauna Vektor Malaria Di Daerah Endemis Malaria Desa Way Muli
Kabupaten Lampung Selatan. [Skripsi]. Lampung : Universitas Malahayati; 201
Ernamaiyanti.,
A. Kasry., Z. Abidin. Faktor-faktor Ekologi Habitat Larva Nyamuk Anopheles sp di Desa Muara
Kelantan Kecamatan Sungai Mandau Kabupaten Siak Provinsi Riau Tahun 2009. Journal
of Environmental Science. [internet]. 2010. [disitasi 10 November 2014]. Tersedia
dari:http://ejournal.unri.ac.id/ findex.php.p df (Gunawan, 2000).
Kaswaini, M. Ekologi Anopheles spp dI Kabupaten Lombok Tengah. Buletin Penelitian
Kesehatan. [internet]. 2014[disitasi 10 November 2014]Tersedia dari:
http://ejournal.unri.com/ findex.pmhp.pdf.
Pentury K, Nusaly W. Analisa Kepadatan Larva Nyamuk Culicudae Dan Anophelidae Pada
Tempat Perindukan Di Negeri Kamarian Kecamtan Kairatu Kabupaten Seram Bagian
Barat (SBB). Molucca Medica. [internet]. 2011 [disitasi 10 November 2014]. Tersedia
dari: http://paparisa.unpatti.ac.id/paperrepo/ pp r_paperinfo_ink.php
Mukono H.J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga Univerty Press. Surabaya

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Munif A. dan Imron M. 2010 Panduan Pengamatan Nyamuk Vektor Malaria. Jakarta: CV.
Sagung Seto Setyaningrum E, Rosa E, Murwani S, Andananta K. Studi Ekologi
Perindukan Nyamuk Vektor Malaria Di Desa Way Muli, Kecamatan Rajabasa Lampung
Selatan. Prosiding Seminar Hasil dan Pengabdian Kepada Masyarakat Karya Peneliti
Universitas Lampung. Lembaga Penelitian Universitas Lampung [internet]. 2008.
[disitasi 10 November 2014]. Tersedia dari: http://blog.u.ac.
id/enianitaq/files/2013/06/jurnal-Perindukan-Nyamuk- Vektor- Malaria.pdf

MODUL 4
Pengendalian vektor Malaria

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
MODUL 5
Pengendalian vektor tikus

Identifikasi Vektor
Tikus merupakan binatang pengerat yang sudah menjadi musuh masyarakat
karena sebagai faktor penyakitdan identik dengan image kotor. Selain itu tikus
sering merusak property rumah kita karena sifat pengeratnya dan menjadi
musuh para petani karena sering merusak tanaman/sawah mereka. Berbagai
tindakan sering kita lakukan untukmembasmi tikus ini seperti dengan jebakan,
lem ataupundengan racun. Tikus adalah binatang yang termasuk dalam ordo
rodentia, sub ordo Myormorpha, family muridae. family muridae ini
merupakan family yang dominan dari ordo rodentia karena mempunyai daya
reproduksi yang tinggi, pemakan segala macam makanan (omnivorous
beradaptasi dengan lingkungan yang diciptakan manusia. Tikus adalah
mamalia yang termasuk dalam suku Muridae. Spesies tikus yang paling
dikenal adalah mencit (Mus spp.) serta tikus got (Rattus norvegicus) yang
ditemukan hampir di semua negara dan merupakan suatuorganisme model
yang penting dalam biologi.

Kingdom Animalia
Filum Chordata
Sub Filum Vetebrata
Kelas Mammalia
Sub Kelas Theria
Ordo Rodentia
Sub Ordo Myomorpha
Famili Muridae
Sub Famili Murinae
Genus Bandicota, Rattus, Mus

Klasifikasi
Tikus dan mencit termasuk familia Muridae dari kelompok mamalia (hewan menyusui).

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Para ahli zoologi (ilmu hewan) sepakat untuk menggolongkannyakedalam ordo
Rodensia (hewan yang mengerat), subordo Myomorpha, family Muridae, dan
sub famili Murinae. Untuk lebih jelasnya, tikus dapatdiklasifikasikan sebagai
brikut :

Biologi
Anggota Muridae ini dominan disebagian kawasan didunia. Potensi
reproduksi tikus dan mencit sangat tinggi dan ciri yang menarik adalah gigi
serinya beradaptasi untuk mengerat (mengerat + menggigit benda-benda yang
keras).
Gigi seri ini terdapat pada rahang atas dan bawah, masing-masing
sepasang. Gigi seri ini secara tepat akan tumbuh memanjang sehingga
merupakan alat potong yang sangat efektif. Tidak mempunyai taring dan
graham (premolar). Karakteristik lainnya adalah cara berjalannya dan perilaku
hidupnya. Semua rodensia komensal berjalan dengan telapak kakinya.
Beberapa jenis Rodensia adalah Rattus norvegicus (tikus got), Rattus rattus
diardi (tikus rumah), Mus musculus (mencit).
Dalam tubuh tikus, terdapat beberapa hewan lain (parasit) yang ada di
dalam tubuh (endoparasit) dan diluar/menempel di tubuh (ektoparasit) yang
merupakan penular atau penyebab banyak sekali jenis penyakit. Endoparasit
tikus antara lain cacing, virus, jamur, protozoa, bakteri, dan rickettsia yang
mempunyai tempat hidup di bati dan ginjal tikus. Sedangkan ektoparasit tikus
meliputi: pinjal (fleas) : Xenopsylla cheopsis, Stivalus cognatus; kutu (lice) :
Polyp/ax spinulosa, Hoplopleura pasifica; larva tungau (chigger) ; tungau
(mite);dan caplak(ticks).

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Morfologi
Berikut adalah ciri-ciri morfologi dari R.norvegicus, R.rattus dan
Mus musculus :

Jenis-jenis Tikus
1. Tikus Rumah (Rattus tanezumi)
Tikus ini mempunyai panjang ujung kepala sampai ujung ekor

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
220-370 mm, ekor 101-180 mm, kaki belakang 20-39 mm, ukuran
telinga 13- 23 mm, sedangkan rumus mamae 2+3=10. Warna rambut
badan atas coklat tua dan rambut badan bawah (perut) coklat tua
kelabu. Yang terrnasuk dalam jenis tikus rumah (rattus rattus) yaitu
tikus atap (roof rat), tikus kapal (ship rat), dan black rat. Jika dilihat
dari jarak kedekatan hubungan antara aktifitas tikus dengan manusia,
tikus rumah merupakan jenis domestik, yaitu aktifitas dilakukan di
dalam rumah manusia atau disebut juga tikus komensal (comensal
rodent) atau synanthropic.
Umur tikus rumah rata-rata satu tahun dan mencapai dewasa
siap kawin pada umur 2-3 bulan baik pada tikus jantan maupun betina.
Masa bunting selama 21-23 hari dan seek or tikus betina dapat
melahirkan 6-12 (rata-rata 8) ekor anak tikus. Setelah 24-48 jam
melahirkan, tikus betina siap kawin lagi atau disebutpost partum
oestrus.
Tikus rurnah merupakan binatang arboreal dan pemanjat
ulung . Kemampuan memanjat tembok kasar dan turun dengan kepala
dibawab sangat lihai, dan hila jatuh dari ketinggian 5,5 meter tidak
akan menirnbulkan luka yang berarti bagi tikus. Makanan yang
dibutuhkan seekor tikus dalam sehari sebanyak 10- 15% dari berat
badannya. Perilaku makan tikus dengan memegang makanan dengan
kedua kaki depan, dan kebiasaan mencicipi makanan untuk menunggu
reaksi makanan tersebut dalam perutnya. Hal ini perlu diperhatikan
apabila kita memberantas tikus dengan racun. Tikus mempunyai
kebiasaan mencari makan dua kali sehari yaitu pada 1-2 jam setelah
matahari tenggelam dan pada l-2 jam sebelum fajar.

2. Tikus Got (Rattus norvegicus)


Tikus got ini mempunyai panjang ujung kepala sampai ekor
300-400 mm, panjang ekornya 170-230 mm, kaki belakang 42-47 mm,
telinga 18-22 mm dan mempunyai rumus mamae 3+3=12. Warna
rambut bagian atas coklat kelabu, rambut bagian perut kelabu. Tikus
ini banyak dijumpai diseluruh air/roil/got di daerah kota dan pasar.

3. Tikus Ladang (Rattus exulans)

Tikus ladang mempunyai panjang ujung kepala sampai ekor

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
139-365 mm, panjang ekor 108-147 mm, kaki belakang 24-35 mm dan
ukuran telinga 11-28 mm dan mempunyai rumus mamae 2+2=8.
Warna rambut badan atas coklat kelabu rambut bagian perut putih
kelabu. Jenis tikus ini banyak terdapat di semak-semak dan
kebun/ladang sayur-sayuran dan pinggiran hutan dan kadang-kadang
masuk ke rumah.

4. Tikus Sawah (Rattus Argentiveter)


Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer) merupakan hama
yang dapat menimbulkan kerugian bagi tanaman pertanian, yang
dapat menyerang tanaman padi, jagung, kedelai, kacang tanah dan
ubi-ubian.
Panjang tikus sawah dari ujung kepala sampai ujung ekor 270-
370 mm, panjang ekor 130-192 mm, dan panjang kaki belakang 32-39
mm, telinga 18-21 mm sedangkan rumus mamae 3+3=12. Warna
rambut badan atas coklat muda berbintik-bintik putih, rambut bagian
perut putih atau coklat pucat. Tikus jenis ini banyak ditemukan di
sawah dan padang alang-alang.
R. rattus argentiventer (tikus sawah) adalah merupakan
binatang pengerat. Tanda karakteristik binatang pengerat ditentukan
dari giginya. Gigi seri berkembang sepasang dan membengkok,
permukaan gigi seperti pahat. Selain itu terdapat diastema (bagian
lebar tidak bergigi yang memisahkan gigi seri dengan geraham), serta
tidak mempunyai taring. Gigi lainnya berada di bagian pipi terdiri dari
1 geraham awal (premolar) dan 3 geraham atau hanya tiga geraham
(Anonim, 1989).

5. Tikus Wirok (Bandicota indica)


Panjang dari tikus wirok ini dari ujung kepala sampai ekor 400-
580 mm, panjang ekornya 160-315 mm, kaki belakang 47-53 mm,
telinga 29-32 mm seangkan rumus mamae 3+3=12. Warna rambut
badan atas dan rambut bagian perut coklat hitam, rambutnya agak
jarang dan rambut di pangkal ekor kaku seperti ijuk, jenis tikus ini
banyak dijumpai di daerah berawa, padang alang-alang dan kadang-
kadang di kebun sekitar rumah.

6. Mencit (Mus musculus)


Mencit adalah binatang asli Asia, India, dan Eropa Barat.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Mencit (Mus musculus) adalah anggota Muridae (tikus-tikusan) yang
berukuran kecil. Mencit mudah dijumpai di rumah-rumah dan dikenal
sebagai hewan pengganggu karena kebiasaannya menggigiti mebel
dan barang-barang kecil

lainnya, serta bersarang di sudut-sudut lemari. Mencit percobaan


(laboratorium) dikembangkan dari mencit, melalui proses seleksi.
Sekarang mencit juga dikembangkan sebagai hewan peliharaan.
Tikus ini mempunyai panjang ujung kepala sampai ekor kurang
dari 175 mm, ekor 81-108 mm, kaki belakang 12-18 mm, sedangkan
telinga 8-12 mm, sedangkan rumus mamae 3+2=10. Warna rambut
badan atas dan bawah coklat kelabu.

2.1.2 Siklus Hidup Tikus


Tikus berkembang biak dengan sangat cepat, tikus menjadi dewasa
dalam arti dapat kawin mulai umur 3 bulan, masa bunting tikus betina sangat
singkat, kira-kira 3 minggu. Jumlah anak yang dihasilkan setiap kelahiran
berkisar antara 4 – 12 ekor (rata-rata 6 ekor) tergantung dari jenis dan
keadaan makanan di lapangan. Dan setelah 2-3 hari setelah melahirkan tikus-
tikus tersebut sudah siap kawin lagi.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
2.1.3 Perilaku Tikus
2.1.6.1 Kebiasaan dan Habitat
Tikus dikenal sebagai binatang kosmopolitan yaitu menempati hampir
di semua habitat. Habitat dan kebiasaan jenis tikus yang dekat hubungnnya
dengan manusia adalah sebagai berikut :

1. R. norvegicus
Menggali lubang, berenang dan menyelam, menggigit benda-benda
keras seperti kayu bangunan, aluminium dsb. Hidup dalam rumah, toko
makanan dan gudang, diluar rumah, gudang bawah tanah, dok dan saluran
dalam tanah/riol/got.

2. R. ratus diardii
Sangat pandai memanjat, biasanya disebut sebagai pemanjat
yang ulung, menggigit benda-benda yang keras. Hidup dilobang pohon,
tanaman yang menjalar. Hidup dalam rumah tergantung pada cuaca.

3. M. musculus
Termasuk rondensia pemanjat, kadang-kadang menggali lobang,

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
menggigit hidup didalam dan diluar rumah.

2.1.6.2 Kemampuan Fisik


1. Menggali
R. norvegicus adalah binatang penggali lubang. Lubang digali
untuk tempat perlindungan dan sarangnya. Kemampuan menggali
dapat mencapai 2-3 meter tanpa kesulitan.

2. Memanjat
R. komensal adalah pemanjat yang ulung. Tikus atap atau tikus
rumah yang bentuk tubuhnya lebih kecil dan langsing lebih
beradaptasi untuk memanjat dibandingkan dengan tikus riol/got.
Namun demikian kedua spesies tersebut dapat memanjat kayu
dan bangunan yang permukaannya kasar. Tikus riol/got dap
memanjat pipa baik di dalam maupun di luar.

3. Meloncat dan Melompat


R.norvegicus dewasa dapat meloncat 77 cm lebih (vertikal).
Dari keadaan berhenti tikus got dapat melompat sejauh 1,2 meter.
M.musculus meloncat arah vertikal setinggi 25 cm.

4. Menggerogoti
Tikus menggerogoti bahan bangunan/kayu, lembaran
almunium maupun campuran pasir, kapur dan semen yang
mutunya rendah.

5. Berenang dan menyelam


Baik R. norvegicus, R. rattus dan M. musculus adalah perenang
yang baik. Tikus yang dusebut pertama adalah perenang dan
penyelam yang ulung, perilaku yang semi akuatik, hidup disaluran
air bawah tanah, sungai dan areal lain yang basah.

2.1.6.3 Sarang Tikus


Sarang yang dibuat biasanya mempunyai lebih dari satu pintu, pintu
utama untuk jalan keluar dan masuk setiap hari, pintu darurat yang digunakan
dalam keadaan yang membahayakan, misalnya pada saat dikerjar oleh
predator ataupun pada saat dilakukan gropyokan, dan pintu yang menuju ke
sumber air sebagai minumnya. Pintu darurat ini disamarkan dengan cara

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
ditutupi dengan daun- daunan.Selain itu, sarang tikus juga terdiri dari lorong
yang berkelok-kelok; semakin banyak anggota keluarga tikus, semakin panjang
lorong yang dib Sarang tikus juga dilengkapi dengan ruangan/kamar yang
difungsikan untuk beranak dan kamar sebagai gudang tempat meyimpan
bahan makanan.

2.1.6.4 Makanan Tikus


Tikus merupakan hewan yang mempunyai preferensi makanan yang
banyak, baik yang berasal dari tumbuhan maupun dari hewan. Walaupun
demikian biji-bijian seperti gabah, beras dan jagung tampaknya lebih disukai
daripada yang lain. Seekor tikus dapat merusak 283 bibit padi per hariatau 103
batang padi bunting per hari. Setelah itu, tikus juga menyukai umbi-umbian
serperti ubi jalar dan ubi kayu. Makanan yang berasal dari hewan terutama
adalah serangga dan hewan-hewan kecil lainnya. Makanan dari hewan ini
merupakan sumber untuk pertumbuhan dan untuk memperbaiki bagian-
bagian tubuh yang rusak, sedangkan makanan yang berasal dari tumbuhan
dimanfaatkan sebagai sumber tenaga.
Hasil penelitian di laboratorium menunjukkan bahwa kebutuhan
makanan seekor tikus setiap hari kira-kira 10% dari bobot tubuhnya,
tergantung dari kandungan air dan gizi dalam makanannya.Tikus merupakan
hewan yang aktif pada maam hari sehingga sebagian besar aktivitas makannya
dilakukan pada malam hari.Tikus memiliki sifat “neo-fobia”, yaitu takut atau
mudah curiga terhadap benda- benda yang baru ditemuinya. Dengan adanya
sifat tikus yang demikian, maka makanan akan dimakan adalah makanan yang
sudah biasa ditemui. Dia akan mencicipi dulu makanan yang baru ditemuinya.

2.1.4 Indera Pada Tikus


1. Indera Penglihatan Tikus
Dilihat dari pengelihatannya menurut para ahli konon tikus
ternyata tikus mempunyai pengelihatan yang jelek, yaitu ternyata
tikus adalah hewan yang buta warna, artinya ia hanya dapat melihat
benda-benda berwarna hitam dan putih. Akan tetapi, tikus tampaknya
tertarik pada warna-warna hijau, kuning dan hitam. Warna hijau dan
kuning diduga merupakan warna daun dan malai tanaman padi yang
merupakan makanan utamanya di lapang. Sedangkan warna hitam
merupakan warna gelap yang terlihat pada malam hari. Kemampuan

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
tikus dalam melihat benda-benda yang ada di depannya dapat
mencapai 10 meter.

2. Indera Penciuman Tikus


Organ penciuman tikus sangat baik, terutama untuk mencium
bau makanannya. Tikus jantan dapat mencium bau tikus betina yang
sedang birahi untuk dikawininya.Tikus betina dapat mencium bau
anaknya yang keluar dari sarang berdasarkan air seni yang dikeluarkan
oleh anaknya.

3. Indera Pendengaran Tikus


Pendengaran tikus sangat baik. Tikus dapat mendengar suara-
suara dengan frekuensi tinggi, yang tidak dapat didengar oleh
manusia. Berdasarkan suara-suara yang dikeluarkan oleh tikus, dapat
dibagi menjadi beberapa suara, yaitu :
 Suara-suara pada saat akan melakukan perkawina
 Suara-suara menandakan adanya bahaya
 Suara-suara pada saat menemukan makanan
 Suara-suara pada saat tikus mengalami kesakitan

4. Indera Pengecap Tikus


Rasa mengecap pada tikus berkembang sangat baik. Tikus dan
mencit dapat mendekteksi dan menolak air minum yang mengandung
phenylthiocarbamide 3 ppm, pahit.

5. Indera Peraba atau Penyentuh Tikus


Rasa menyentuh sangat berkembang dikalangan rodensia
komensal, ini untuk membantu pergerakannya sepanjang jejak
dimalam hari. Sentuhan badan dan kibasan ekor akan tetap digunakan
selama menjelajah, kontak dengan lantai, dinding dan benda lain yang
dekat sangat membantu dalam orientasi dan kewaspadaan binatang
ini terhadap ada atau tidaknya rintangan didepannya.

2.1.5 Tanda-tanda Keberadaan Tikus


Untuk mengetahui ada tidaknya tikus pada suatu tempat dan mencegah
kemungkinan bahaya dari makanan yang tercemar oleh tikus adalah sebagai
berikut :

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
1. Droping
Adanya kotoran tikus yang ditemukan di tempat/ruangan yang
diperiksa. Tinja tikus mudah dikenal dari bentuk dan warna yang khas,
tanpa disertai bau yang mencolok, tinja tikus yang masih baru lebih
terang dan mengkilap serta lebih lembut (agak lunak), makin lama
maka tinja akan semakin keras.
2. Run ways
Jalan yang biasa dilalui tikus dari waktu ke waktu disuatu
tempat disebut run ways. Tikus mempunyai kebiasaan melalui jalan
yang sama, bila melalui lubang diantara eternit rumah, maka jalan
yang dilaluinya lambat laun menjadi hitam.

3. Grawing
Grawing merupakan bekas gigitan yang dapat ditemukan,
tikus dalam aktivitasnya akan melakukan gigitan baik untuk makan
maupun membuat jalan misalnya lubang dinding.
4. Borrow
Borrow adalah lubang yang terdapat pada sekitar
beradanya tikus seperti dinding, lantai, perabotan dan lain-lain.
5. Bau
Tikus akan mengeluarkan bau yang disebabkan oleh tubuh
tikus atau urinnya.
6. Tikus hidup
Tikus hidup akan berkeliaran walaupun hanya sebentar.
7. Ditemukannya bangkai tikus baru atau lama di tempat yang diamati.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
2.2 Aspek Kesehatan Masyarakat
2.2.1 Penularan dan Penyebaran Tikus
Tikus dan mencit yang termasuk hewan mengerat (rodensia). Jenis ini
lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang di gudang dan
hewan pengganggu/menjijikkan di perumahan. Belum banyak diketahui dan
disadari bahwa kelompok hewan ini juga membawa, menyebarkan dan
menularkan berbagai penyakit kepada manusia, ternak dan hewan
peliharaan. Rodensia komensal yaitu

rodensia yang hidup di dekat tempat hidup atau kegiatan manusia ini perlu
lebih diperhatikan dalam penularan penyakit.
Tikus dan mencit, penyakit bersumber rodensia yang disebabkan oleh
berbagai agen penyakit seperti virus, rickettsia, bakteri, protozoa dan cacing
dapat ditularkan kepada manusia secara langsung. sedangkan secara tidak
langsung dapat melalui feses, urin dan ludah, melalui gigitan vektor
ektoparasit tikus dan mencit (kutu, pinjal, caplak, tungau). Disamping itu kecoa
juga merupakan vektor penularan penyakit yang cukup penting yang sering
hidup di sekitar kita.
Data dari International Leptospirosis Society (ILS) menyebutkan bahwa
Indonesia dinyatakan sebagai negara insiden leptospirosis tingkat tiga di dunia
untuk mortalitas dengan kisaran kasus kematian antara 2,5%-16,45% atau
rata-rata 7,1%. Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang melaporkan
kasus suspek leptospirosis di Indonesia. Sejak tahun 2010 jumlah kasus
leptospirosis di Jawa Tengah mengalami peningkatan tercatat pada tahun
2010 ditemukan 133 kasus dan CFR 10,9% (14 orang). Kemudian pada tahun
2011 jumlah kasus meningkat menjadi 184 kasus dengan CFR 17,74 % (33
orang). Sampai dengan triwulan III tahun 2012 ini, di Jawa Tengah sudah
ditemukan 118 kasus dengan angka CFR 16,95% (20 orang). Dalam kurun
waktu tersebut Kota Semarang selalu menduduki peringkat tertinggi untuk
kasus dan angka kematian akibat leptospirosis. Pada tahun 2012, kasus
leptospirosis di Kota Semarang sebesar 81 kasus dengan angka kematian (CFR)
17, 28 % (14orang). Kecamatan Gunungpati adalah satu dari 16 kecamatan di
Kota Semarang yang menjadi daerah fokus leptospirosis karena sepanjang

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
tahun 2012 ditemukan 4 kasus dengan 1 orang meninggal dengan IR 5,36 dan
CFR 25 %.
Tikus merupakan reservoar penting bagi bakteri leptospira, karena
>50% tikus dapat mengeluarkan bakteri leptospira secara masif (terus
menerus) melalui urin (kencing) selama hidupnya, tanpa menunujukkan gejala
sakit. Serovar leptospira yang ditularkan oleh tikus merupakan serovar yang
paling berbahaya, dari semua reservoar yang ada. Lebih dari 50 jenis tikus
yang diidentifikasi ternyata mengandung berbagai serovar leptospira.
Sebanyak 24 serovar diisolasi dari tikus rumah R. tanezumi, 22 serovar dari
tikus got R. norvegicus dan 30 serovar dari mencit rumah Mus musculus. Tikus
merupakan hewan pengerat yang berbahaya bagi kesehatan sehingga perlu
dilakukan pengendalian pada tikus sebagai sumber penularan penyakit
(Assimina, 2008; Kate, 2007).

2.2.2 Penyakit yang Disebabkan Oleh Tikus


Tikus berperan sebagai tuan rumah perantara untuk beberpa jenis
penyakit yang dikenal Rodent Borne Disease. Penyakit-penyakit yang
tergolong Rodent Borne Disease adalah :

1. Leptospirosis
Leptospirosis merupakan infeksi akut disebabkan oleh bakteri
leptospira berbentuk spiral yang menyerang mamalia dan dapat hidup
di air tawar selama lebih kurang 1 bulan. Tetapi dalam air laut, selokan
dan air kemih yang tidak diencerkan akan cepat mati. Bakteri ini dapat
menyerang siapapun yang memiliki kontak dengan berbagai benda
maupun hewan lain yang mengalami infeksi leptospirosis. Bakteri ini
masuk ke dalam tubuh manusia melalui selaput lendir (mukosa) mata,
hidung, kulit yang lecet atau atau makanan yang terkontaminasi oleh
urine hewan terinfeksi leptospira.Masa inkubasi selama 4 - 19 hari.

 Gejala Klinis

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
 Komplikasi Leptospirosis
 Pada hati : kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6
 Pada ginjal : gagal ginjal yang dapat
menyebabkan kematian.
 Pada jantung : berdebar tidak teratur, jantung
membengkak dan gagal jantung yang dapat mengikabatkan
kematian mendadak.
 Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas.
 Perdarahan karena adanya kerusakan pembuluh darah dari
saluran pernafasan, saluran pencernaan, ginjal, saluran
genitalia, dan mata (konjungtiva).
 Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat dan lahir
mati.

 Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan membiasakan diri untuk ber-
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), melalui :

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
 Menyimpan makanan dan minuman dengan baik agar
terhindar dari tikus.
 Mencucui tangan dengan sabun sebelum makan.Mencucui
tangan, kaki serta bagian tubuh lainnya dengan sabun
setelah bekerja di sawah/ kebun/sampah/tanah/selokan dan
tempat-tempat yang tercemar lainnya.
 Menghindari adanya tikus di dalam rumah/gedung.
 Menghindari pencemaran oleh tikus.Melakukan desinfeksi
terhadap tempat-tempat tertentu yang tercemar oleh tikus
Meningkatkan penangkapan tikus.
 Sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene
perorangannya dilakukan dengan menjaga tangan selalu
bersih. Selain terkena air kotor, tangan dapat tercemar
kuman dari binatang piaraan yang sudah terjangkit penyakit
dari tikus atau hewan liar.
 Hindari kontak dengan kencing binatang piaraan.
 Biasakan memakai alat pelindung diri, seperti sarung tangan
karet sewaktu berkontak dengan air kotor, pakaian
pelindung kulit, beralas kaki, memakai sepatu bot, terutama
jika kulit ada luka, borok, atau eksim.
 Selalu membasuh tangan sehabis menangani binatang,
ternak, atau membersihkan gudang, dapur, dan tempat-
tempat kotor.

 Kebersihan lingkungan, khususnya rumah, harus dilakukan


secara terus menerus. Jangan memberi kesempatan tikus
berkembang biak di dalam rumah..

 Pengobatan
Pengobatan dini sangat menolong karena bakteri Leptospira
mudah mati dengan antibiotik yang banyak di jumpai di pasar seperti
Penicillin dan turunannya (Amoxylline) Streptomycine, Tetracycline,
Erithtromycine.Bila terjadi komplikasi, angka lematian dapat mencapai
20%, segera berobat ke dokter terdekat.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
2. Plague/Penyakit pes/Sampar/La Peste
Pes atau sampar atau plague atau la peste merupakan
penyakit zoonosis yang timbul pada hewan pengerat dan dapat
ditularkan pada manusia. Penyakit tikus ini menular dan dapat
mewabah. Penyebaran penyakit plague/pes Plague, disebut juga
penyakit pes, adalah infeksi yang disebabkan bakteri Yersinia pestis (Y.
pestis) dan ditularkan oleh kutu tikus (flea), Xenopsylla cheopis. Pess
terbagi menjadi 2 yaitu :
 Pes Bubo
Pes Bubo merupakan penyakit yang mempunyai gejala
demam tinggi, tubuh dingin, menggigil, nyeri otot, sakit kepala
hebat, dan ditandai dengan pembengkakan kelenjar getah bening
di pangkal paha, ketiak dan leher (bubo). Pada pemeriksaan cairan
bubo di laboratorium ditemukan kuman pes (Yersinis pestis).
 Pes Pneumonik
Pes pneumonik adalah penyakit yang mempunyai gejala batuk
secara tiba-tiba dan keluar dahak, sakit dada, sesak nafas, demam,
muntah darah.Pada pemeriksaan sputum atau usap tenggorok
ditemukan kuman pes (Yersinis pestis), dan apabila diperlukan
dilakukan pemeriksaan darah untuk menemukan zat antinya.
Penyakit ini menular lewat gigitan kutu tikus, gigitan/cakaran
binatang yang terinfeksi plague, dan kontak dengan tubuh
binatang yang terinfeksi. Kutu yang terinfeksi dapat membawa
bakteri ini sampai berbulan2 lamanya. Selain itu pada kasus
pneumonic plague, penularan terjadi dari dari percikan air liur
penderita yang terbawa oleh udara.

Berikut adalah beberapa jenis penyakit Pes dan gejalanya, yaitu :

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
a. Pencegahan
 Orang atau binatang di sekitar penderita plague harus
diobati dengan antibiotic selambat-lambatnya 7 hari setelah
kontak dengan penderita.
 Memakai sarung tangan, baju panjang, masker, dan goggle
(kacamata) pada waktu kontak dengan penderita plague.
 Tidak mengijinkan kucing makan tikus, kelinci atau binatang
hidup berdarah panas lainnya.

 Tidak mengijinkan kucing bermain di luar rumah, terutama


di daerah yang banyak terdapat sarang tikus.
 Mengontrol populasi tikus dan kutu di lingkungan anda.
 Vaksinasi plague apabila akan bepergian ke daerah epidemi plague.

b. Pengobatan
Plague pada manusia dan kucing dapat diobati dengan
Streptomycin, Tetracyclin, Doxycyclin, Gentamycin. Streptomycyn
dosis tinggi terbukti lebih efektif mengobati plague.Penicilin tidak
efektif untuk penyakit plague.Diazepam diberikan untuk
mengurangi rasa lelah.Heparin biasanya diberikan apabila
terdapat gejala pembekuan darah.

3. Rat-Bit Fever atau demam gigitan tikus


Rat-gigitan demam (RBF) adalah penyakit sistemik yang
disebabkan oleh bakteri Moniliformis Streptobacillus yang dapat
diperoleh melalui gigitan atau goresan dari binatang pengerat atau
menelan makanan atau air yang terkontaminasi dengan kotoran tikus
dan biasanya dialami anak-anak di bawah 12 tahun dan penyakit ini
memiliki masa inkubasi selama 1 hingga 22 hari. Gejala-gejala yang
disebabkan oleh penyakit ini adalah demam, mual, muntah, sakit
kepala, nyeri punggung dan sendi.

4. Sindrom hantavirus paru (PS)


Hantavirus sindrom paru (HPS) adalah penyakit mematikan
yang ditularkan oleh tikus yang terinfeksi melalui urine, kotoran, atau

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
air liur. Manusia bisa terkena penyakit ini ketika mereka menghirup
virus aerosol. HPS pertama kali diakui pada tahun 1993 dan sejak itu
telah diidentifikasi di seluruh Amerika Serikat. Meskipun jarang, HPS
berpotensi mematikan. Rodent control di dalam dan sekitar rumah
tetap menjadi strategi utama untuk mencegah infeksi hantavirus.
maka gejala yang dapat diamati adalah diare, muntah, mual, dan kram
perut.

5. Salmonellisis
Salmonellisis merupakan penyaklit yang disebabkan bakteri
salmonella yang dapat menginfeksi hewan dan juga manusia. Tikus
yang terinfeksi bakteri ini akan dapat menyebabkan kematian pada
manusia dan salmonellisis dapat tersebar dengan melalui kontaminasi
feses. Gejalanya antara lain adalah gastroenteritis, diare, mual,
muntah dan juga demam yang diikuti oleh dehidrasi.

6. Murine typhus
Murine typhus adalah penyakit yang disebabkan oleh
Rickettsian typhi atau R. mooseri yang dapat ditularkan melalui gigitan
pinjal tikus. Gejalanya antara lain adalah kedinginan, sakit kepala,
demam, prostration dan nyeri di seluruh tubuh. Ada juga bintil-bintil
merah yang timbul di hari kelima hingga keenam.

7. Rabies
Rabies merupakan penyakit yang menyerang sistem saraf
pusat dan memiliki gejala khas yaitu penderita jadi takut terhadap air
dan karena inilah rabies juga sering disebut hidrofobia. Tikus
menyebarkan penyakit ini melalui gigitan. Gejala awal dari rabies
tidaklah jelas, umumnya pasien merasa gelisah dan tidak nyaman.
Gejala lanjut yang dapat diidentifikasi antara lain adalah rasa gatal di
area sekitar luka, panas dan juga nyeri yang lalu bisa saja diikuti
dengan sakit kepala, kesulitan menelan, demam dan juga kejang.

2.2.3 Pengendalian Vektor Tikus


Menurut WHO (2005), vektor adalah serangga atau hewan lain yang
biasanya membawa kuman penyakit yang merupakan suatu risiko bagi
kesehatan masyarakat.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Menurut Iskandar (1989), vektor adalah anthropoda yang dapat
memindahkan/menularkan suatu infectious agent dari sumber infeksi kepada
induk semang yang rentan. Sedangkan menurut Soemirat (2005), keberadaan
vektor penyakit dapat mempermudah penyebaran agent penyakit. Hal ini
menentukan bahwa masuknya agent baru ke dalam suatu lingkungan akan
merugikan kesehatan masyarakat setempat.

2.2.3.1 Pengendalian Kimia


Pengendalian secara kimiawi dilakukan semata-mata atas
pertimbangan bahwa pengendalian secara mekanis tidak memberikan hasil
yang optimal atau tidak memberikan hasil yang sesuai dengan harapan
pelanggan dan atau untuk aplikasi di luar bangunan. Pengendalian secara
kimiawi tidak digunakan pada lokasi yang terdapat aktifitas
pengolahan/produksi makanan / farmasi/ area sensitif lainnya. Penempatan
racun pada industri makanan hanya dilakukan di luar ruangan yang tidak
berhubungan dengan produksi dan dilakukan untuk jangka waktu terbatas dan
dibawah pengawasan yang ketat. Pengendalian dengan cara kimiawi dilakukan
dengan menggunakan umpan yang mengandung rodentisida (racun tikus).
Alat-alat untuk aplikasi rodentisida :

1. Tamper Resistant
Merupakan tempat racun padat yang yang dapat
melindungi dari pengaruh lingkungan.
a. Kotak umpan ber-kunci (Tamper Resistant)
dipergunakan untuk pengumpanan di dalam ruangan
umum dan ruangan terbuka.
b. Tempatkan sticker petunjuk dan kartu cek list di atas setiap
Kotak umpan berkunci.
c. Penempatan Tamper Resistant diletakkan jauh dari jangkauan anak-
anak.
d. Setiap tempat racun umpan harus diberi nomor
seri/pengenal/No. penempatan untuk memudahkan
monitoring dan pencatatan.
2. Racun Minum
Racun minuman merupakan pilihan terbaik dalam pengendalian tikus
,jika ketersediaan makanan di lokasi pemasangan banyak. Aplikasi

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
racun minuman dapat dilakukan bersamaan dengan umpan racikan
dengan hasil yang lebih baik. WARNING. Hati-hati dalam aplikasi racun
minuman, karena sifat racun minuman yang mudah menguap
sehingga dapat menyebabkan kontaminasi.
3. Penanganan Bangkai
Tikus Pasca Pengendalian Tikus Kumpulkan tikus yang
terperangkap / mati, musnahkan dengan cara membakar dan dikubur
dengan kedalaman sekurang-kurangnya 50 cm, begitu pula dengan
setiap bahan sisa atau sisa pembungkus umpan racun.
4. Peralatan Keselamatan Dan Pakaian Kerja
Dalam melaksanakan aktivitas pengendalian tikus, kelengkapan
keselamatan kerja yang harus dipenuhi meliputi :
a. Sarung tangan karet apabila berhubungan dengan
rodentisida, bangkai tikus.
b. Masker penutup hidung dan mulut apabila berhubungan
dengan bangkai tikus.
c. Helmet apabila bekerja di area kolong bangunan atau
daerah berbahaya atau bila ditentukan oleh
pemilik/penanggungjawab lokasi.
d. Sepatu safety dan safety glass dan tanda pengenal
lainnya bila ditentukan oleh pemilik/penanggungjawab
lokasi.
e. Pakaian kerja yang dipergunakan khusus melakukan pekerjaan.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
f. Pakai Tanda Pengenal Perusahaan yang masih berlaku

2.2.3.2 Pengendalian Lingkungan


Bila ditemukan tempat yang sanitasinya kurang baik dan bisa menjadi
faktor penarik tikus atau bahkan sumber makanan tikus atau menjadi tempat
sarang tikus, maka akan merekomendasikan diadakan perbaikan oleh klien.
Tikus akan berkembang biak dan hidup dengan baik pada situasi
dimana mereka dengan mudah mendapatkan makanan, air, tempat
berlindung dan tempat tinggal yang tidak terganggu.
Beberapa hal yang dapt dilakukan untuk meminimalisasi gangguan tikus :
a. Minimalisasi tempat bersarang/harborages antara lain :
eliminasi rumput/semak belukar
b. Meletakkan sampah dalam garbage/tempat sampah yang
memiliki konstruksi yang rapat, kuat, kedap air, mudah dibersihkan,
bertutup rapi dan terpelihara dengan baik.
c. Meniadakan sumber air yang dapat mengundang tikus, karena
tikus membutuhkan minum setiap hari
d. Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi
ditempat yang kedap tikus.
e. Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari.
f. Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat
sehingga tidak dapat dipergunakan tikus untuk berlindung atau
bersarang.

2.2.3.3 Pengendalian Biologis


Memelihara binatang pemangsa tikus (predator), seperti kucing.

2.2.3.4 Pengendalian Fisik dan Mekanik


1. Proofing Infestation
Memastikan bahwa seluruh konstruksi rumah tidak adanya
celah yang memungkinkan tikus masuk, baik dari bawah pintu, lubang
pembuangan air, atau dari bawah saluran air, mengeliminasi sarang
atau tempat persembunyian tikus serta memangkas ranting pohon
yang menjulur kebagunan, tidak membuat taman terlalu dekat dengan
struktur bangunan, contohnya dengan memasang plat besi pada

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
pohon. Pengendalian lainnya juga dapat dilakukan dengan
menggunakan perangkap, antara lain perangkap lem, perangkap jepit,
perangkap massal dan perangkap elektrik. Perangkap merupakan cara
yang paling disukai untuk membunuh atau menangkap tikus

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
pada keadaan dimana tikus yang mati disembarang tempat sulit
dijangkau dan dapat menimbulkan bau yang tidak sedap serta sulit.

2. Treatment Tikus (Rodent Control)


Pengendalian tikus menggunakan Rat Baiting. Penggunaan
trap untuk jangka panjang menimbulkan tikus jera umpan dan
neophobia terhadap trap. Penggunaan trap hanya untuk tempat-
tempat yang sangat khusus dengan populasi tikus yang rendah.
Penempatan Rodent Bait dilaksanakan pada area tertentu
yang akan menarik tikus dari dalam sarang ke luar, atau ketempat
yang tidak sensitive, seperti area parkir/garden, setelah itu baru
difokuskan untuk tikus yang aktifitasnya dengan radius pendek yakni
tikus nyingnying (mice/Mus musculus), umpan ditempatkan di dalam.
Keraguan akan adanya resiko bau bangkai dapat diatasi
dengan konfigurasi penempatan umpan untuk setiap kategori jenis
tikus, jadi dengan penempatan umpan pada suatu lokasi dapat
dideteksi sampai sejauh mana lokasi tempat tikus tersebut mati,
ditambah tenaga serviceman cukup berpengalaman mengatasi
masalah tikus di puluhan Rumah (housing), Mall, industri
(pergudangan), Rumah Sakit, Hotel / Apartemen.

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan
Daftar Pustaka

Husada,Bakti. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus Khusus


di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jendral pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. Jakarta : Departemen
Kesehatan RI
Jurnal Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/17538
/4/Chapter%20II.pdf. Diakses pada 24 Oktober 2015
Astuti,Desi Rini. 2013. Keefektifan Rodentisida Racun Kronis
Generasi II terhadap Keberhasilan PenangkapanTikus.
KEMAS 8.Vol.2. hal.183-189

Rancangan Modul Ajar


Agen Penyakit Berbaasis Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai