Patrick Weledji dan Joshua Tambe. Journal of Universal Surgery. 2018. Vol. 12. No.2:217.
ABSTRAK
LATAR BELAKANG
1
demikian dalam manajemen awal trauma abdomen pada orang dewasa setelah
asesmen awal dan resusitasi yang tepat merupakan kunci penting.
DISKUSI
Mekanisme cedera
Fase kedua disebut 'golden hour' karena kematian terjadi dalam hitungan
menit hingga jam (30%) dan dengan demikian dapat ditindak lanjuti secara klinis
dan kematian dapat dicegah. Fase 'golden hour' ini mendasari penilaian awal
berupa (ABCDE) sistem manajemen Advanced Trauma Life Support (ATLS) di
mana cedera yang mengancam jiwa segera diidentifikasi dan ditatalaksana dalam
urutan yang benar. Hal terdiri dari A (Airway)-jalan nafas dengan kontrol tulang
servikal, B (Breathing)-pernapasan dengan oksigen, C (Circulation)-sirkulasi
dengan kontrol perdarahan, D (Disabiliy)- dengan melihat kerusakan sistem saraf
pusat, E (Exposure) mencari cedera tersembunyi atau tanda-tanda perdarahan
eksternal dan untuk menghindari hypothermia. Cedera pada fase ini mungkin
melibatkan otak (hematoma yang dapat diterapi), paru-paru (haemo dan
2
pneumotoraks), abdomen (perdarahan) dan kerangka (panggul dan tulang
panjang).
Fase ketiga adalah kematian dalam hitungan beberapa hari hingga minggu
(30%) akibat infeksi, kegagalan organ multipel, abdomen (perdarahan) dan cedera
pada tulang (panggul dan tulang panjang).
Patofisiologi
Sepsis adalah penyebab paling umum pada kematian yang terjadi lebih
dalam 48 jam setelah cedera. Cedera viskus berongga dengan kebocoran isi usus
adalah penyebab umum sepsis intra-abdominal setelah trauma dan sering terjadi
akibat trauma penetrasi. Pada luka tusuk, lebih mudah untuk memprediksi organ
yang terluka karena luka biasanya terbatas pada jalur penusukan. Namun pada
luka tembak tidak boleh mengasumsikan bahwa rudal membentuk lintasan lurus.
Selain itu, luka rudal berkecepatan tinggi memiliki efek kavitasi yang dapat
meluas beberapa sentimeter di luar lintasan rudal. Trauma abdomen tumpul juga
dapat menyebabkan ruptur viscera berongga intra-abdominal, retroperitoneal dan
3
pelvis. Ledakan adalah penyebab kuat trauma tumpul pada lingkungan militer,
terutama yang mengenai organ viscera yang dipenuhi oleh gas.
Penilaian
Penialain awal dan resusuitasi pada pasien yang mengalami cedera harus
mengikuti urutan ATLS yaitu airway, breathing, dan circulation sebagaimana
gangguan pada jalan napas menyebabkan kematian dalam hitungan detik,
gangguan pernapasan menyebabkan kematian dalam hitungan menit dan
gangguan sirkulasi menebabkan kematian dalam hitungan jam. Syok, dengan
adanya cedera abdomen yang jelas, harus segera dilakukan laparotomi untuk
mengontrol perdarahan (laparotomi resusitasi) selama fase ciculation pada
penilaian awal. Penilaian pada pasien trauma setelah resusitasi yaitu termasuk
mendapatkan riwayat mendetail pada kejadian sebelum dibawa ke rumash sakit.
Informasi mengenai detail kecelakaan (seperti, penggunaan sabuk pengaman,
perkiraan kecepatan, adanya penumpang lain yang mengalami cedera atau yang
meninggal) dapat membantu dokter untuk membangun gambaran mekanisme
trauma yang mungkin. Pemeriksaan abdomen adalah bagian dari penilaian
sekunder dan harus termasuk pemeriksaan rektal, penis, dan vagina. Pemeriksaan
4
fisik pada abdomen pada pasien trauma mungkin nihil dan suatu pemeriksaan fisik
yang negatif tidak mengeksklusi cedera yang serius. Pemantuan rutin dan
pencatatan dari hasil pemeriksaan sangat penting oleh karena hasil pemeriksaan
fisik dapat berubah seiring berjalannya waktu. Ada banyak cedera yang tidak
segera mengancam nyawa namun akan menjadi fatal jika tidak didiagnosis dan
ditangani segera. Sehingga, menjadi peran pada penilaian sekunder. Keputusan
pada suatu cedera menentukan tindakan operasi yang penting masih sulit dan
menangani perdarahan terkadang masih sulit dan baik jika ditangani oleh ahli
bedah yang berpengalaman.
5
teknik ini dapat diandalkan dan digunakan berulang, namun tidak menyingkirkan
cedera retroperitoneum dan tidak dapat dilakukan pada anak-anak. Dan juga, pada
cairan infus lavage, yang mana tidak pernah dibershkan secara sempurna, dapat
mengganggu interpretasi pencitraan yang dilakukan setelahnya. Karena tidak
semua pasien dengan hemoperitoneum membutuhkan laparotomi, kelemahan
terbesar dari DPL adalah tingkat laparotomi non-terapeutik yang tinggi hingga
36%. Namun, DPL dapat terus memiliki peran sebagai pemeriksaan lini kedua
pada pasien yang mengalami gangguan neurologis untuk mengklarifikasi sifat
cairan dan dalam diagnosis cedera organ berongga.
Tujuan utama FAST adalah untuk mendeteksi cairan bebas (yang sebagian
besar diasumsikan sebagai darah dan lebih sedikit dari kandungan gastrointestinal)
dalam rongga peritoneum setelah trauma tumpul. Sensitivitas FAST pada trauma
abdomen adalah 88% dan karenanya merupakan pemeriksaan skrining yang ideal
untuk semua pasien trauma dan pasien yang tidak stabil karena penilaiannya yang
cepat. FAST yang normal tidak menyingkirkan adanya dengan tanda-tanda
kehilangan darah dan cedera viskus awalnya tidak begitu jelas. Jika kondisi
kardiovaskular pasien stabil, pemeriksaan dapat ditambah dengan pencitraan
computed tomography (CT) baik untuk mengkonfirmasi FAST negatif atau
menentukan cedera organ untuk manajemen non-operatif. Oleh karena
pemeriksaan ini dapat melewatan cedera yang tidak berhubungan dengan cairan
intraabdomen, FAST mungkin tidak terlalu berguna pada pasien yang secara
hemodinamik stabil. Oleh karena itu alat pemeriksaan ini merupakan pilihan pada
pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil sedangkan CT adalah
pilihan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pasien yang merespon
resusitasi sementara harus dikelola sebagai pasien yang tidak stabil. Keputusan
untuk melakukan pemeriksaan CT scan pada pasien tersebut harus dibuat hanya
oleh petugas yang berpengalaman, setelah penilaian risiko dan potensi manfaat
yang cermat, dan hanya jika hasilnya cenderung mempengaruhi tatalaksana
selanjutnya. Pada pasien cedera multipel yang tidak stabil, FAST yang positif
6
membutuhkan laparotomi dan pemeriksaan yang negatif harus diulang atau
dilakukan DPL.
MEMBUAT KEPUTUSAN
7
pemeriksaan berkala, dan g) tidak ada cedera abdomen yang memerlukan
laparotomi.
Laparotomi resusitasi
Pasien yang tidak stabil harusnya tidak menjalani operasi yang lama.
Segera setelah tindakan pembedahan resusitasi seperti menghentikan perdarahan
aktif dan kontaminasi telah menunjukkan tingkat keselamatan yang nyata, lebih
baik untuk menghentikan operasi sementara dengan tujuan yang dinyatakan untuk
mengembalikan pasien ke instalasi pembedahan (24-48 jam) kemudian ketika
hemoglobin dan volume yang bersirkulasi, hipotermia dan defisiensi faktor
pembekuan darah telah membaik. Hal ini merupakan dasar dari pembedahaan
untuk memperbaiki kerusakan di mana mengoreksi keadaan fisiologis lebih
diprioritaskan daripada operasi rekonstruksi anatomis pada pasien dengan kondisi
kritis. Karena kelangsungan hidup lebih ditentukan oleh keadaan fisiologis
daripada anatomis, hal ini akan menghindari atau membatasi trias kematian
(hipotermia <34 °C, asidosis pH <7,2 koagulopati PT> 16 detik). Peluang
bertahan hidup dapat hilang jika upaya operasi definitif dikejar dan keadaan
8
irreversibel akan tercapai dimana tindakan operasi sudah terlambat dan kematian
tidak terhindarkan.
Mekanisme trauma yang 'Buruk' yang terjadi pada 10-20% dari korban
trauma (energi tinggi, kerusakan multi-visceral, hipotensi yang berkepanjangan,
kehilangan darah yang masif) dilakukan tindakan perbaikan pada kerusakan.
Skenario ini terutama berlaku ketika seorang pasien mengalami perdarahan akibat
trauma utama pada hepar. Mengentikan perdarahan dengan cepat dengan
mengemas hepar lebih baik daripada mencoba perbaikan atau reseksi definitif.
Alasan lain untuk melakukan operasi yang terbatas pada trauma mungkin
termasuk; keahlian bedah yang terbatas, kurangnya waktu karena banyak korban,
kurangnya produk darah; cedera vena mayor yang tidak dapat diakses; dan cedera
sistem tubuh lainnya yang membutuhkan operasi definitif.
Resusitasi hipotensi
Laparotomi emergensi
9
merespon terhadap pemberian cairan tetapi terdapat darah dalam rongga
peritoneum, b) FAST positif pada pasien yang syok, c) DPL positif, d) didapatkan
tanda peritonitis pada pemeriksaan abdomen, e) ruptur diafragma, f) protrusi
organ melalui luka, g) perdarahan gastrointestinal, dan h) luka tembak abdomen.
Ada banyak cedera pada organ padat dapat ditangani secara non operatif. Jadi,
dengan pengalaman dan tempat rujukan pusat trauma (a) dan (c) mungkin saja
bisa di tangani secara konservatif dengan ‘observasi aktif’.
Cedera multipel
Cedera juga terjadi di zona 'perbatasan' antara dua spesialisasi bedah, mis.
Tepi terbawah rusuk dan panggul atau selangkangan dan membutuhkan
serangkaian keputusan yang cermat. Penting untuk ahli bedah mendiskusikan
pendekatan di ruang resusitasi untuk memprioritaskan dan memutuskan operasi
bertahap atau simultan. Dalam keadaan darurat ahli bedah harus memutuskan apa
yang harus dilakukan terlebih dahulu. Contohnya, kasus pasien yang syok dengan
luka pada anterolateral di dada bagian bawah. Drainase dada dengan cepat
menghabiskan 700 ml darah dan kemudian berhenti. Pasien akan membutuhkan
10
operasi darurat dan laparotomi dilakukan terlebih dahulu sebelum torakotomi.
pemeriksaan pilihan untuk memutuskan apakah laparotomi atau torakotomi
dilakukan pertama kali adalah FAST. Jika FAST menunjukkan efusi perikardial
dan cairan abdominal, torakotomi anterolateral kiri dilakukan terlebih dahulu.
Torakotomi dapat diperluas atau insisi yang kedua untuk laparotomi dapat dibuat.
Contoh kedua adalah pasien syok dengan luka tembak di pangkal paha yang
mengalami perdarahan signifikan yang tidak dapat dikontrol dengan penekanan
langsung pada luka. Pasien membutuhkan operasi darurat tetapi melalui sayatan
selangkangan yang memanjang. Jika ada kesulitan dengan kontrol proksimal,
laparotomi dilakukan dan perluasan insisi daerah paha jika kesulitan dengan
kontrol perdarahan distal.
Contoh kedua adalah pasien yang jatuh dari jembatan dan mengalami
keruskan pelvis serta fraktur kominutif tertutup pada femur, dan tidak merespons
terhadap pemberian cairan intravena. Pasien akan membutuhkan operasi darurat
tetapi, sekali lagi fiksasi eksternal panggul terlebih dahulu sebelum fiksasi internal
femur. Contoh umum ketiga adalah pasien syok dengan darah bebas intra-
abdominal dan cedera kepala dengan pupil yang midriasis dan teriksasi. Dia akan
membutuhkan operasi darurat tetapi laparotomi pertama untuk menghentikan
perdarahan dan mencegah cedera otak sekunder dari hipotensi sebelum
kraniotomi. CT scan kepala dilakukan setelah laparotomi. Secara optimal, operasi
dapat dilakukan secara berurutan selama anestesi yang digunakan sama.
11
Laparotomi setelah pemeriksaan
12
menunjukkan bahwa pencitraan CT pada abdomen yang normal memiliki nilai
prediksi negatif yang tinggi (99,63%), dan disimpulkan bahwa perawatan untuk
observasi mungkin tidak diperlukan. Cairan bebas intra-abdominal tanpa cedera
organ padat menjadi perhatian, terutama pada pasien yang mengalami gangguan
neurologis, dan harus ditempatkan dalam konteks klinis sehubungan dengan
mekanisme trauma dan tanda-tanda risiko tinggi, seperti seat-belt sign pada
abdomen. Dalam kebanyakan kasus, cairan tersebut merupakan darah dan tidak
ada konsekuensi lebih lanjut, tetapi kadang-kadang cairan tersebut mungkin
merupakan kandungan gastrointestinal dari cedera organ berongga yang tidak
terdeteksi. Pasien seperti itu harus ditangani oleh ahli bedah yang berpengalaman.
KESIMPULAN
13