Anda di halaman 1dari 13

PERSPEKTIF MANAJEMEN PADA TRAUMA ABDOMEN

Patrick Weledji dan Joshua Tambe. Journal of Universal Surgery. 2018. Vol. 12. No.2:217.

ABSTRAK

Konsekuensi utama pada trauma abdomen adalah perdarahan dan sepsis.


Kematian lebih awal setelah trauma abdomen sering disebabkan oleh perdarahan.
Sepsis adalah penyebab tersering kematian yang terjadi lebih dari 48 jam setelah
cedera. Jadi prioritas pertama untuk ahli bedah adalah melakukan laparotomi pada
trauma abdomen adalah untuk mengontrol perdarahan dan pencegahan tumpahnya
konten organ visceral pada cedera viscerl adalah prioritas kedua. Pada pasien
tertentu perbaikan definitif ditunda sampai masa resusitasi intensif diikuti dengan
pembedahan untuk kontrol kerusakan. Diagnosis atau menyingkirkan cedera
organ berongga dapat menjadi masalah. Menyingkirkan prinsip umum pada
laparotomi trauma dan prosedur definitif intra-abdomen, artikel ini mendiskusikan
penilaian klinis dan membuat keputusan yang akan memastikan bahwa cedera
tidak terlewatkan selama laparotomi sehingga menurunkan angka mortalitas.

Kata kunci: Abdomen; Trauma; Penilaian; Penunjang; Laparotomi.

LATAR BELAKANG

Dalam praktik sehari-hari, sekitar 20% cedera akibat trauma yang


melibatkan abdomen membutuhkan pembedahan. Trauma perut bisa berupa
tumpul atau tajam (penetrasi), tetapi umumnya, trauma tumpul lebih sering
daripada penetrasi dan biasanya terjadi setelah kecelakaan lalu lintas jalan.
Namun, dalam praktik sehari-hari di perkotaan Amerika, trauma tajam lebih
sering terjadi daripada trauma tumpul, luka tembak lebih sering terjadi daripada
luka tikam. Di Inggris luka tusuk mendominasi. Dalam praktik militer, luka
penetrasi abdominal angkanya lebih besar daripada tumpul dengan mortalitas
tinggi pada luka akibat rudal / peluru / luka berkecepatan tinggi. Diagnosis cedera
abdomen dengan pemeriksaan klinis saja kurang dapat diandalkan dan, dengan

1
demikian dalam manajemen awal trauma abdomen pada orang dewasa setelah
asesmen awal dan resusitasi yang tepat merupakan kunci penting.

DISKUSI

Mekanisme cedera

Mekanisme cedera khususnya terjadi dengan trauma tumpul abdomen.


Luka akibat benturan setir mobil biasanya melibatkan sternum (dengan risiko
kontusio miokard), hati, dan limpa. Fraktur pelvis dapat dikaitkan dengan cedera
uretra dan kandung kemih dan pecahnya diafragma. Berbagai jenis fraktur
vertebra lumbar akibat cedera akselerasi atau deselerasi, dikaitkan dengan
berbagai cedera abdomen.

Fraktur prosesus transversus spinosus dapat disertai trauma ginjal dan


fraktur horizontal vertebra melalui tubuh berhubungan dengan cedera pankreas,
duodenum, atau mesenterium usus halus. Penting untuk memahami konsep
distribusi kematian trimodal (%) selama kecelakaan lalu lintas. Fase pertama
adalah kematian yang dapat terjadi dalam hitungan detik hingga menit (40%) dari
dampak tabrakan (energi diubah dari satu bentuk ke bentuk lain menurut hukum
termodinamika pertama) yang menyebabkan kerusakan instan pada otak, jantung
dan pembuluh darah besar serta servikal.

Fase kedua disebut 'golden hour' karena kematian terjadi dalam hitungan
menit hingga jam (30%) dan dengan demikian dapat ditindak lanjuti secara klinis
dan kematian dapat dicegah. Fase 'golden hour' ini mendasari penilaian awal
berupa (ABCDE) sistem manajemen Advanced Trauma Life Support (ATLS) di
mana cedera yang mengancam jiwa segera diidentifikasi dan ditatalaksana dalam
urutan yang benar. Hal terdiri dari A (Airway)-jalan nafas dengan kontrol tulang
servikal, B (Breathing)-pernapasan dengan oksigen, C (Circulation)-sirkulasi
dengan kontrol perdarahan, D (Disabiliy)- dengan melihat kerusakan sistem saraf
pusat, E (Exposure) mencari cedera tersembunyi atau tanda-tanda perdarahan
eksternal dan untuk menghindari hypothermia. Cedera pada fase ini mungkin
melibatkan otak (hematoma yang dapat diterapi), paru-paru (haemo dan

2
pneumotoraks), abdomen (perdarahan) dan kerangka (panggul dan tulang
panjang).

Fase ketiga adalah kematian dalam hitungan beberapa hari hingga minggu
(30%) akibat infeksi, kegagalan organ multipel, abdomen (perdarahan) dan cedera
pada tulang (panggul dan tulang panjang).

Patofisiologi

Konsekuensi utama dari trauma abdomen adalah perdarahan dan sepsis.


Kematian segera setelah trauma abdomen biasanya disebabkan oleh perdarahan.
Secara mengejutkan darah dapat menjadi tidak iritan dan volume yang besar dapat
berpindah ke dalam rongga perut sebelum tanda-tanda klinis tampak jelas. Trauma
tumpul sering menyebabkan cedera pada organ padat seperti limpa dan hati.
Transfer energi selama deselerasi dan kompresi merobek organ padat dan
mesenterium usus yang mengakibatkan perdarahan intraperitoneal. Gaya geser
yang disebabkan oleh deselerasi menyebabkan organ dan jaringan bergerak relatif
satu sama lain pada antarmuka antara struktur bergerak dan yang tidak bergerak
seperti pada bagian proksimal intra-peritoneal dan distal retroperitoneal yaitu
bagian superior dari duodenum dan pembuluh darah yang robek pada
persimpangan ini. Trauma penetrasi akibat penusukan, peluru dan fragmen
menyebabkan pendarahan dari organ padat serta arteri dan vena utama di
abdomen.

Sepsis adalah penyebab paling umum pada kematian yang terjadi lebih
dalam 48 jam setelah cedera. Cedera viskus berongga dengan kebocoran isi usus
adalah penyebab umum sepsis intra-abdominal setelah trauma dan sering terjadi
akibat trauma penetrasi. Pada luka tusuk, lebih mudah untuk memprediksi organ
yang terluka karena luka biasanya terbatas pada jalur penusukan. Namun pada
luka tembak tidak boleh mengasumsikan bahwa rudal membentuk lintasan lurus.
Selain itu, luka rudal berkecepatan tinggi memiliki efek kavitasi yang dapat
meluas beberapa sentimeter di luar lintasan rudal. Trauma abdomen tumpul juga
dapat menyebabkan ruptur viscera berongga intra-abdominal, retroperitoneal dan

3
pelvis. Ledakan adalah penyebab kuat trauma tumpul pada lingkungan militer,
terutama yang mengenai organ viscera yang dipenuhi oleh gas.

Cedera retroperitoneal (pankreas, duodenum, ureter, kolon asendens dan


desendens) sering didiagnosis terlambat karena cedera ini dapat memakan waktu
berhari-hari agar jelas secara klinis. Dengan demikian, seorang pasien yang telah
ditusuk dari belakang harus diawasi setidaknya selama 48 jam untuk
menyingkirkan tanda-tanda sepsis. Cedera kandung kemih dapat terlambat
terdiagnosis karena urin tidak menyebabkan iritasi pada peritoneum. Ketika
diagnosis kandung kemih yang pecah tidak terdeteksi, pasien mungkin sedang
mabuk atau tidak mencari bantuan medis, mungkin karena alasan sosial.
Diagnosis dipertimbangkan jika ada peningkatan kadar urea dan kreatinin, tidak
adanya urinasi yang normal dan nyeri tekan abdomen yang tidak jelas. Cedera
rektal akibat trauma tembus atau fraktur pelvis yang berhubungan juga dapat
terlewatkan, dengan sepsis pelvis dan sistemik yang disebabkan.

Penilaian

Penialain awal dan resusuitasi pada pasien yang mengalami cedera harus
mengikuti urutan ATLS yaitu airway, breathing, dan circulation sebagaimana
gangguan pada jalan napas menyebabkan kematian dalam hitungan detik,
gangguan pernapasan menyebabkan kematian dalam hitungan menit dan
gangguan sirkulasi menebabkan kematian dalam hitungan jam. Syok, dengan
adanya cedera abdomen yang jelas, harus segera dilakukan laparotomi untuk
mengontrol perdarahan (laparotomi resusitasi) selama fase ciculation pada
penilaian awal. Penilaian pada pasien trauma setelah resusitasi yaitu termasuk
mendapatkan riwayat mendetail pada kejadian sebelum dibawa ke rumash sakit.
Informasi mengenai detail kecelakaan (seperti, penggunaan sabuk pengaman,
perkiraan kecepatan, adanya penumpang lain yang mengalami cedera atau yang
meninggal) dapat membantu dokter untuk membangun gambaran mekanisme
trauma yang mungkin. Pemeriksaan abdomen adalah bagian dari penilaian
sekunder dan harus termasuk pemeriksaan rektal, penis, dan vagina. Pemeriksaan

4
fisik pada abdomen pada pasien trauma mungkin nihil dan suatu pemeriksaan fisik
yang negatif tidak mengeksklusi cedera yang serius. Pemantuan rutin dan
pencatatan dari hasil pemeriksaan sangat penting oleh karena hasil pemeriksaan
fisik dapat berubah seiring berjalannya waktu. Ada banyak cedera yang tidak
segera mengancam nyawa namun akan menjadi fatal jika tidak didiagnosis dan
ditangani segera. Sehingga, menjadi peran pada penilaian sekunder. Keputusan
pada suatu cedera menentukan tindakan operasi yang penting masih sulit dan
menangani perdarahan terkadang masih sulit dan baik jika ditangani oleh ahli
bedah yang berpengalaman.

Penunjang untuk permeriksaan klinis

Tidak seperti pada trauma penetrasi abdomen, dimana tatalaksananya


kebanyakan dapat ditentukan secara klinis, diagnosis pada trauma tumpul
abdomen dengan pemeriksaan klinis tidaklah mudah, apalagi pada pasien dengan
penurunan tingkat kesadaran. Konfirmasi oleh adanya atau tidak adanya cedera
banyak tergantung pada alat bantu diagsnostik. Pemilihan fasilitas pencitraan yang
akurat untuk tatalaksana non operatif, sangat penting, dan menurunkan tingkat
tatalaksanan terapi non laparotomi. Alat bantu lini pertama adalah ultrasonografi,
diagnostic peritoneal lavage, dan computed tomography (CT). pemeriksaan ini
saling melengkapan dan tidak saling menggantikan, dan kegunaannya tergantung
pada konteks keadaan klinis. Diagnostic peritoneal lavage (DPL) awalnya
diperkenalkan pada 1965 dan dengan cepat menjadi standar pemeriksaan hingga
berikutnya dignatikan oleh Focused Assessment with Sonography for Trauma
(FAST) di kamar operasi. DPL dapat mendeteksi darah pada rongga peritoneum
dengan sensitivitas pada 90% dan akurasi pada 97%. Prosedur ini tidak berbahaya.
DPL dilakukan menggunakan teknik perkutaneus terbuka atau tertutup melalui
umbilikus sebagai tindakan dibawah pengaruh anestesi lokal. Jumlah hitung sel
pada lavage 100.000 sel darah merah per mm3 mengindikasikan hemoperitonium
yang relevan secara klinis sedangkan adanya >500 sel darah putih/mm3 atau serat
sisa makan menandakan cedera organ berongga secara signifikan. Ditemukannya
parameter ini menandakan sebagai indikasi dilakukannya laparotomi. Meskiun

5
teknik ini dapat diandalkan dan digunakan berulang, namun tidak menyingkirkan
cedera retroperitoneum dan tidak dapat dilakukan pada anak-anak. Dan juga, pada
cairan infus lavage, yang mana tidak pernah dibershkan secara sempurna, dapat
mengganggu interpretasi pencitraan yang dilakukan setelahnya. Karena tidak
semua pasien dengan hemoperitoneum membutuhkan laparotomi, kelemahan
terbesar dari DPL adalah tingkat laparotomi non-terapeutik yang tinggi hingga
36%. Namun, DPL dapat terus memiliki peran sebagai pemeriksaan lini kedua
pada pasien yang mengalami gangguan neurologis untuk mengklarifikasi sifat
cairan dan dalam diagnosis cedera organ berongga.

Tujuan utama FAST adalah untuk mendeteksi cairan bebas (yang sebagian
besar diasumsikan sebagai darah dan lebih sedikit dari kandungan gastrointestinal)
dalam rongga peritoneum setelah trauma tumpul. Sensitivitas FAST pada trauma
abdomen adalah 88% dan karenanya merupakan pemeriksaan skrining yang ideal
untuk semua pasien trauma dan pasien yang tidak stabil karena penilaiannya yang
cepat. FAST yang normal tidak menyingkirkan adanya dengan tanda-tanda
kehilangan darah dan cedera viskus awalnya tidak begitu jelas. Jika kondisi
kardiovaskular pasien stabil, pemeriksaan dapat ditambah dengan pencitraan
computed tomography (CT) baik untuk mengkonfirmasi FAST negatif atau
menentukan cedera organ untuk manajemen non-operatif. Oleh karena
pemeriksaan ini dapat melewatan cedera yang tidak berhubungan dengan cairan
intraabdomen, FAST mungkin tidak terlalu berguna pada pasien yang secara
hemodinamik stabil. Oleh karena itu alat pemeriksaan ini merupakan pilihan pada
pasien dengan keadaan hemodinamik yang tidak stabil sedangkan CT adalah
pilihan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Pasien yang merespon
resusitasi sementara harus dikelola sebagai pasien yang tidak stabil. Keputusan
untuk melakukan pemeriksaan CT scan pada pasien tersebut harus dibuat hanya
oleh petugas yang berpengalaman, setelah penilaian risiko dan potensi manfaat
yang cermat, dan hanya jika hasilnya cenderung mempengaruhi tatalaksana
selanjutnya. Pada pasien cedera multipel yang tidak stabil, FAST yang positif

6
membutuhkan laparotomi dan pemeriksaan yang negatif harus diulang atau
dilakukan DPL.

Pasien yang tidak stabil setelah luka tusuk membutuhkan laparotomi


segera tetapi pada pasien yang stabil FAST harus digunakan untuk mendeteksi
perdarahan bebas intraperitoneal. Jika hasilnya negatif, laparoskopi dapat
dilakukan pada pasien yang stabil di ruang operasi. Pada sebagian besar pasien
laparoskopi tidak memiliki peran dalam evaluasi trauma abdomen terutama karena
memakan waktu dan mahal. Hal ini juga dibatasi oleh faktor-faktor teknis seperti
adanya darah dan kesulitan dalam menilai sepenuhnya struktur retroperitoneal dan
usus halus. Namun, indikasi untuk laparoskopi pada trauma tumpul adalah
penilaian untuk ruptur diafragma pada pasien stabil tertentu di mana ada
kecurigaan klinis. Diperlukan sigmoidoskopi rigid jika ada dugaan cedera rektum.

Selama penilaian awal, selang nasogastrik atau orogastrik harus dipasang


untuk mendekompresi lambung dan mengurangi kemungkinan aspirasi. Kateter
urin juga harus dipasang setelah pemeriksaan rektal dan perineum untuk
menghindari pembentukan saluran 'palsu'. Meskipun beberapa pihak berwenang
terus menganjurkan penggunaan radiografi abdomen tidak memiliki peran dalam
penilaian trauma tumpul abdomen. Pemeriksaan ini memberikan bukti secara
tidak langsung adanya cedera organ berongga dengan menunjukkan adanya udara
atau gas di peritoneum, tetapi tidak memiliki sensitivitas dan spesifisitas.
Radiografi dada dan panggul terus menjadi pemeriksaan tambahan penting untuk
penilaian awal. Pemeriksaan ini mungkin menunujkkan perdarahan di rongga
sekitar, tetapi tidak dapat menyingkirkan perdarahan intraabdominal atau cedera
visceral.

MEMBUAT KEPUTUSAN

Pada poin ini menentukan pilihan tatalaksan adalah: a) laparotomi


resusitasi, b) pembedahan untuk mengontrol kerusakan, c) resusitasi hipotensi, d)
laparotomi emergensi, e) kemungkinan laparotomi namun pemeriksaan dibutuhan
untuk diagnosis, f) kemungkinan laparotomi tapi dilakukan observasi dan

7
pemeriksaan berkala, dan g) tidak ada cedera abdomen yang memerlukan
laparotomi.

Laparotomi resusitasi

Resusitasi laparotomi diindikasikan untuk mengatai syok berat, yang tidak


berespon terhadap resusitasi dengan trauma tumpul atau penetrasi abdomen yang
jelas, dan tidak ada bukti perderahan dada, [elvis, dan ekstremitas. Pasien
membutuhkan intubasi endotrakeal, ventilasi dan laparotomi segera untuk
mengontrol perdarahan. Pada penilaian sekunder dapat dilakukan di bangsal.
Adanya penundaan operasi dengan melakukan pemeriksaan X-ray ekstremitas
lengkap, prosedur akses vaskular atau pemeriksaan hampir sering menyebabkan
kamatian lebih awal pada pasien. Walaupun laparotomi resusitasi telah dilakukan
di kamar resusitasi pada keadaan tertentu, prosedur ini harus selalu dilakukan di
instalasi pembedahan. Suatu laparotomi resusitasi tidak diindikasikan jika henti
jantung terjadi.

Pembedahan untuk kontrol perdarahan

Pasien yang tidak stabil harusnya tidak menjalani operasi yang lama.
Segera setelah tindakan pembedahan resusitasi seperti menghentikan perdarahan
aktif dan kontaminasi telah menunjukkan tingkat keselamatan yang nyata, lebih
baik untuk menghentikan operasi sementara dengan tujuan yang dinyatakan untuk
mengembalikan pasien ke instalasi pembedahan (24-48 jam) kemudian ketika
hemoglobin dan volume yang bersirkulasi, hipotermia dan defisiensi faktor
pembekuan darah telah membaik. Hal ini merupakan dasar dari pembedahaan
untuk memperbaiki kerusakan di mana mengoreksi keadaan fisiologis lebih
diprioritaskan daripada operasi rekonstruksi anatomis pada pasien dengan kondisi
kritis. Karena kelangsungan hidup lebih ditentukan oleh keadaan fisiologis
daripada anatomis, hal ini akan menghindari atau membatasi trias kematian
(hipotermia <34 °C, asidosis pH <7,2 koagulopati PT> 16 detik). Peluang
bertahan hidup dapat hilang jika upaya operasi definitif dikejar dan keadaan

8
irreversibel akan tercapai dimana tindakan operasi sudah terlambat dan kematian
tidak terhindarkan.

Mekanisme trauma yang 'Buruk' yang terjadi pada 10-20% dari korban
trauma (energi tinggi, kerusakan multi-visceral, hipotensi yang berkepanjangan,
kehilangan darah yang masif) dilakukan tindakan perbaikan pada kerusakan.
Skenario ini terutama berlaku ketika seorang pasien mengalami perdarahan akibat
trauma utama pada hepar. Mengentikan perdarahan dengan cepat dengan
mengemas hepar lebih baik daripada mencoba perbaikan atau reseksi definitif.
Alasan lain untuk melakukan operasi yang terbatas pada trauma mungkin
termasuk; keahlian bedah yang terbatas, kurangnya waktu karena banyak korban,
kurangnya produk darah; cedera vena mayor yang tidak dapat diakses; dan cedera
sistem tubuh lainnya yang membutuhkan operasi definitif.

Resusitasi hipotensi

Resusitasi hipotensi adalah konsep yang berbeda dan kontroversial.


Tujuannya adalah untuk mempertahankan perfusi organ penting seperti jantung,
otak, dan ginjal, namun tidak mengganggu bekuan darah yang telah terbentuk
pada daerah sekitar cedera. Mengembalikan tekanan darah normal tanpa terlebih
dahulu mengendalikan perdarahan dengan pembedahan menyebabkan
peningkatan kehilangan darah dan menyebabkan keadaan yang tidak dapar
dikontrol. Jadi, cairan tidak diberikan untuk mencapai tekanan darah ‘normal’
namun sebaiknya ditunda sampa kontrol pembedahan dicapai atau telah mencapai
target tekanan darah ‘terendah’. ‘Hipotensi yang jelas’ dan ‘observasi aktif’
dilakukan sementara pasien dipindahkan ke instalasi pembedahan untuk kontrol
perdarahan dan resusitasi yang simultan dilakukan. Pasien muda dan sehat dapat
bertahan dengan tekanan darah yang rendah dalam kurun waktu yang cukup lama.

Laparotomi emergensi

Merupakan pertimbangan praktis dan baik dengan segera memutuskan


laparotomi emergensi di ruang operasi jika salah satu dari berikut ini didiagnosis
selama pemeriksaan klinis dengan atau tanpa pemeriksaan penunjang; a)

9
merespon terhadap pemberian cairan tetapi terdapat darah dalam rongga
peritoneum, b) FAST positif pada pasien yang syok, c) DPL positif, d) didapatkan
tanda peritonitis pada pemeriksaan abdomen, e) ruptur diafragma, f) protrusi
organ melalui luka, g) perdarahan gastrointestinal, dan h) luka tembak abdomen.
Ada banyak cedera pada organ padat dapat ditangani secara non operatif. Jadi,
dengan pengalaman dan tempat rujukan pusat trauma (a) dan (c) mungkin saja
bisa di tangani secara konservatif dengan ‘observasi aktif’.

Cedera multipel

Membuat prioritas adalah hal yang penting ketika trauma abdomen


melibatkan trauma lain. Cedera yang mengancam jiwa mungkin harus
diprioritaskan daripada cedera abdomen ringan. Jika ada cedera lain yang luar
biasa maka mungkin tidak sesuai untuk memulai laparotomi. Sebagai tambahan,
pada lingkup militer dengan sumber yang tebatas, laparotmi tidak seharusnya
dilakukan jika terdapat cedera lain yang lebih bisa diselamatkan. Pasien dengan
cedera multipel, perdarahan sering terjadi pada lebih dari satu regio tubuh. Titik
potensial perdarahan harus segera diidentifikasi dan pembedahan mungkin
dibutuhkan dan dilakukan oleh lebih dari satu spesialis. Insisi pertama harus
dilakukan untuk mengekspos dan mengontrol titik perdarhan yang paling
mengancam jiwa. Keputusan ini harus ditetapkan segera, yang mana, terkadang
akan menhasilkan keputusan yang salah dan perbaian segera sangat dibutuhkan.

Kombinasi penyulit cedera

Cedera juga terjadi di zona 'perbatasan' antara dua spesialisasi bedah, mis.
Tepi terbawah rusuk dan panggul atau selangkangan dan membutuhkan
serangkaian keputusan yang cermat. Penting untuk ahli bedah mendiskusikan
pendekatan di ruang resusitasi untuk memprioritaskan dan memutuskan operasi
bertahap atau simultan. Dalam keadaan darurat ahli bedah harus memutuskan apa
yang harus dilakukan terlebih dahulu. Contohnya, kasus pasien yang syok dengan
luka pada anterolateral di dada bagian bawah. Drainase dada dengan cepat
menghabiskan 700 ml darah dan kemudian berhenti. Pasien akan membutuhkan

10
operasi darurat dan laparotomi dilakukan terlebih dahulu sebelum torakotomi.
pemeriksaan pilihan untuk memutuskan apakah laparotomi atau torakotomi
dilakukan pertama kali adalah FAST. Jika FAST menunjukkan efusi perikardial
dan cairan abdominal, torakotomi anterolateral kiri dilakukan terlebih dahulu.
Torakotomi dapat diperluas atau insisi yang kedua untuk laparotomi dapat dibuat.
Contoh kedua adalah pasien syok dengan luka tembak di pangkal paha yang
mengalami perdarahan signifikan yang tidak dapat dikontrol dengan penekanan
langsung pada luka. Pasien membutuhkan operasi darurat tetapi melalui sayatan
selangkangan yang memanjang. Jika ada kesulitan dengan kontrol proksimal,
laparotomi dilakukan dan perluasan insisi daerah paha jika kesulitan dengan
kontrol perdarahan distal.

Kombinasi tertentu dari trauma trauma tumpul juga membutuhkan


serangkaian keputusan yang cermat. Sebagai contoh, seorang pasien yang
mengalami kecelakaan mobil berespons terhadap pemberian cairan intravena
sementara, dan pemeriksaan menunjukkan adanya darah bebas intra-abdominal
pada USG dan fraktur pelvis membutuhkan operasi darurat. Fiksasi pelvis untuk
menstabilkan gangguan cincin pelvis dan mengatasi faktor perdarahan dilakukan
terlebih dahulu sebelum laparotomi.

Contoh kedua adalah pasien yang jatuh dari jembatan dan mengalami
keruskan pelvis serta fraktur kominutif tertutup pada femur, dan tidak merespons
terhadap pemberian cairan intravena. Pasien akan membutuhkan operasi darurat
tetapi, sekali lagi fiksasi eksternal panggul terlebih dahulu sebelum fiksasi internal
femur. Contoh umum ketiga adalah pasien syok dengan darah bebas intra-
abdominal dan cedera kepala dengan pupil yang midriasis dan teriksasi. Dia akan
membutuhkan operasi darurat tetapi laparotomi pertama untuk menghentikan
perdarahan dan mencegah cedera otak sekunder dari hipotensi sebelum
kraniotomi. CT scan kepala dilakukan setelah laparotomi. Secara optimal, operasi
dapat dilakukan secara berurutan selama anestesi yang digunakan sama.

11
Laparotomi setelah pemeriksaan

Mungkin sangat sulit untuk memutuskan apakah pasien memerlukan


laparotomi setelah trauma, terutama ketika pasien secara hemodinamik stabil dan
memiliki tanda-tanda cedera abdomen yang minimal. Pada beberapa pasien
kebutuhan laparotomi akan jelas setelah dilakukan pemeriksaan. Tes-tes ini
mungkin sangat berguna pada pasien yang pada pemeriksaan fisiknya tidak terlalu
bermakna (cedera kepala, alkoholisme, obat-obatan dan kelumpuhan), dan pada
pasien di mana seseorang tidak dapat melakukan pemeriksaan berkala.
Pemeriksaan khusus tidak memberikan jawaban mutlak dan risiko operasi yang
tertunda dan yang tidak diperlukan akan tetap ada. Sebagai contoh, meskipun
FAST adalah pemeriksaan yang sangat baik untuk hemoperitoneum, hingga 40%
pasien dengan hemoperitoneum akut menunujukkan bahwa perdarahan telah
berhenti dan bahwa cedera tidak memerlukan operasi. Secara umum, pada pasien
yang secara hemodinamik stabil, jika ada keraguan tentang cedera abdomen atau
jika pemeriksaan berkala tidak dapat dilakukan atau pasien memerlukan
pemindahan, pemeriksaan khusus pada organ yang khusus lebih lanjut harus
dilakukan.

CT scan dengan kontras intravena adalah pemeriksaan tunggal yang paling


berguna karena dapat menilai cairan intra-peritoneum, cedera organ padat,
hematoma retroperitoneal, duodenum (dengan kontras oral) dan cedera kolorektal
(dengan kontras rektal). Sensitivitas (92% -97,6%) dan spesifik pada (98,7%), dan
keunggulan utamanya adalah kemampuan untuk mendeteksi ekstravasasi kontras
pada arteri, tidak terisi atau sebagai pseudoaneurisma, yang memprediksi
kebutuhan untuk pembedahan atau embolisasi pembuluh darah. CT scan juga
secara akurat mengevaluasi retroperitoneum, tetapi kurang sensitif untuk
mendeteksi cedera organ berongga, meskipun kemampuan deteksi bertambah
dengan meningkatnya pengalaman. CT juga merupakan modalitas pilihan untuk
mendiagnosis cedera pada diafragma, yang dapat menyebabkan morbiditas dan
mortalitas utama jika tidak terdeteksi dan mungkin tidak ada sampai bertahun-
tahun setelah kejadian. Sebuah penelitian prospektif multisenter yang besar

12
menunjukkan bahwa pencitraan CT pada abdomen yang normal memiliki nilai
prediksi negatif yang tinggi (99,63%), dan disimpulkan bahwa perawatan untuk
observasi mungkin tidak diperlukan. Cairan bebas intra-abdominal tanpa cedera
organ padat menjadi perhatian, terutama pada pasien yang mengalami gangguan
neurologis, dan harus ditempatkan dalam konteks klinis sehubungan dengan
mekanisme trauma dan tanda-tanda risiko tinggi, seperti seat-belt sign pada
abdomen. Dalam kebanyakan kasus, cairan tersebut merupakan darah dan tidak
ada konsekuensi lebih lanjut, tetapi kadang-kadang cairan tersebut mungkin
merupakan kandungan gastrointestinal dari cedera organ berongga yang tidak
terdeteksi. Pasien seperti itu harus ditangani oleh ahli bedah yang berpengalaman.

Studi menggunakan kontras intravena menilai untuk fungsi ginjal dan


integritas saluran urologi. Kontras melalui rektal atau oral dapat juga digunakan
untuk menilai integritas saluran pencernaan bagian atas dan bawah. Laparoskopi
kadang-kadang digunakan secara diagnostik untuk menilai kerusakan peritoneum
pada trauma penetrasi, darah intraperitoneal dan konten organ berongga dan
laserasi diafragma. Pada pasien trauma tumpul abdomen tertentu, intervensi
terapeutik dapat dilakukan dengan aman dan layak.

KESIMPULAN

Pemahaman dan integritas pada advanced trauma life support (ATLS).


Perawatan pembedahan pada pasien kritis dan skill pembedahan trauma definitif
sangat penting manajemen trauma abdomen. Penegakan diagnosis cedera
abdomen dengan hanya menggunaan permeriksaan fisik tidak dapat diandalkan.
Walaupun pemeriksaan trauma tumpul abdomen merupakan hal yang menantang,
pemeriksaan yang tepat dan secara langsung akan meningkatkan kemampuan
diagnostik dan menentukan apakah intervensi pemebedahan segera atau
tatalaksana konservatif dibutuhkan. Dimana pasien tidak stabil dan kerusakan
abdomen yang jelas, membutuhkan pembedahan segara. Pasien dengan cedera
yang serius membutuhkan proses pengambilan keputusan yang terintegrasi.

13

Anda mungkin juga menyukai