Anda di halaman 1dari 50

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN NOVEMBER, 2018


UNIVERSITAS TADULAKO

ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

Disusun Oleh :
NABILA AULIA RAMADHANTY
N 111 17 056

Pembimbing :
dr. Christian Lopo, Sp.THT-KL

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Angiofibroma nasofaring yang sering juga disebut dengan angiofibroma


nasofaring belia (juvenile nasopharyngeal angiofibroma) merupakan tumor jinak
yang sering ditemukan di nasofaring, dan sering ditemukan pada remaja pria
berusia antara 14 -25 dan diperkirakan hanya 0.05 % dari semua tumor jinak
yang ada di kepala dan leher. Istilah juvenile nasopharyngeal angiofibroma ini
adalah istilah yang kurang tepat karena tumor juga dapat ditemukan pada usia
kurang dari 10 tahun, usiayang lebih tua, wanita dan ibu hamil. Insiden pada usia
dewasa sangat jarang ditemukan.1
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.
Tumor ini secara histopatologis merupakan tumor jinak, tetapi secara klinis
bersifat destruktif. Tumor ini tumbuh relatif cepat dan dapat mendestruksi tulang
disekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa pterigomaksila, fossa
infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar tengkorak dan rongga
intrakranial. Perluasan ke intrakranial 10 -30 % dari semua kasus dengan bagian
yang sering dikenai adalah kelenjar hipofise, fossa cranii anterior dan media.
Secara histopatologis tumor mengandung dua unsur, yaitu unsur jaringan ikat
fibrosadan unsurpembuluh darah. Dinding pembuluh darah tidak mengandung
jaringan ikat elastis dan lapisan otot, sehingga mudah terjadi perdarahan hebat
saat disentuh.2
Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Diagnosis pasti ditegakkan
berdasarkan pemeriksaan histopatologis jaringan tumor pasca operasi. Tindakan
biopsi sebaiknya dihindari atau dilakukan dalam kamar operasi dengan
peralatanoperasiyang telah dipersiapkan,mengingat bahaya perdarahan yang
biasanya sukar dikontrol. 2
.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi
1. Anatomi Hidung
a. Hidung Bagian Luar
Hidung berbentuk piramid dengan puncaknya di atas dan di bagian
bawah terdapat dasar. Piramid hidung terdiri dari tulang dan tulang
rawan yang dilapisi oleh otot dan kulit.3
Sepertiga atas hidung luar merupakan tulang dan duapertiga bawah
merupakan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari dua tulang hidung
yang bertemu di garis tengah dan pada bagian atas dari prosesus nasalis
os frontal dan keduanya melekat diantara prosesus frontalis os maksila.
Bagian tulang rawan terdiri dari sepasang kartilago nasalis lateralis
superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (kartilago alar
mayor), kartilago alar minor dan kartilago septum. 3

Gambar 1. Anatomi hidung bagian luar

3
b. Hidung Bagian Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi
kavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian
depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares
posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.
3

Gambar 2. Anatomi hidung bagian dalam

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga


sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga
meatus yaitu meatus inferior, medius dan superior. Meatus inferior
terletak di antara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium)
duktus nasolakrimalis. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung
dan dibentuk oleh os Maksila dan os palatum. Dinding superior atau
atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang
memisahkan rongga tengkorak dan rongga hidung. 3

4
c. Vaskularisasi pada hidung
Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-
cabang a.sfenopalatina,a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan
a.palatina mayor yangdisebut Pleksus Kiesselbach (Little’s area).
Pleksus Kiesselbach letaknya superfisial dan mudah cidera oleh
trauma,sehingga sering menjadi sumber epistaksis(pendarahan hidung)
terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama
dan berjalan berdampingan dengan arteri. Vena di vestibulum dan
struktur luar hidung bermuara kev.oftalmika yang berhubungan dengan
sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
hingga ke intrakranial. 3

Gambar 3. Vaskularisasi pada hidung

5
d. Persyarafan pada hidung
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris,
yang berasal dari n.oftalmikus (N.V). Rongga hidung lainnya, sebagian
besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion
sfenopalatinum. Ganglion sfenopalatinum selain memberikan
persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau
otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut
sensoris dari n.maksila (N.V), serabut parasimpatis dari n.petrosus
superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus
profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak di belakang dan sedikit di
atas ujung posterior konka media. 3
Nervus olfaktorius turun dari lamina kribrosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir pada sel-sel reseptor penghidu
pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 3

Gambar 4. Inervasi pada hidung

6
e. Fisiologi Hidung
 Sebagai Jalan Nafas
Pada saat inspirasi, udara masuk melalui nares anterior lalu naik
ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada saat ekspirasi udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi tetapi di bagian
depan aliran udara terpecah, sebagian kembali ke belakang
membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari nasofaring.4
 Pengatur kondisi udara
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara diperlukan untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi
ini dilakukan dengan cara :
 Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim
dingin akan terjadi sebaliknya.
 Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka
dan septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung
kurang lebih 37o C. 4
 Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum
nasi, silia dan, palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel –partikel yang besar
akan dikeluarkan dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan

7
dialirkan ke nasofaring oleh gerakan silia. Enzim yang dapat
menghancurkan beberapa jenis bakteri, disebut lysozime. 4
 Indera Penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indera penghirup dengan adanya
mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah
ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas
dengan kuat. 4
 Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara. 4
 Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan
dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh :
iritasi mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas
terhenti. Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur,
lambung dan pankreas. 4

f. Histologi Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologi dan
fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa penghidu.
Saluran napas atas terdiri daril ubang hidung yang melanjut kecavum
nasi, faring, epiglottis dan laring bagian atas.Sebagian besar bagian
konduksi dilapisi dengan epitel kolumner berlapis semu bersiliayang
dikenal sebagai epitel pernapasan. Epitel ini setidaknyaterdiri dari
lima jenis selyang melekat pada membrana basalis.5
 Sel kolumner bersilia adalah jenis sel yang paling banyak,
masing-masing sel memiliki sekitar 300 silia pada permukaan
apikal.

8
 Sel goblet juga berlimpah di beberapa daerah epitel pernapasan,
pada bagian apikalnya teriisi dengan butiran musin glikoprotein.

Gambar 5. Epitel Pada Hidung5

Gambar 6. Epitel kolumner berlapis semu pembesaran 400x5

9
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang
penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi
akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai
daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan jugauntuk mengeluarkan
benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan
hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh
pengeringan udara yang berlebihan,radang, sekret kental dan obat – obatan.

Gambar 7. Mukosa olfaktori dan konka superior pembesaran 100x5

Gambar 8. Daerah transisi mukosa olfaktori pembesaran 80x


2. Faring
a. Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang bentuknya seperti
corong, yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah serta
terletak pada bagian anterior kolum vertebra.6

10
Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke
esophagus setinggi vertebra servikal ke-6. Ke atas, faring berhubungan
dengan rongga hidung melalui koana, ke depan berhubungan dengan
rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dengan laring di bawah
berhubungan melalui aditus laring dan ke bawah berhubungan dengan
esophagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang
lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding faring yang
terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar) selaput
lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. 6
Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). 6

Gambar 9. Anatomi Faring Potongan Sagital6

Faring terdiri atas :


1) Nasofaring
a) Anatomi
Nasofaring merupakan suatu ruangan yang berbentuk mirip kubus,
terletak dibelakang rongga hidung. Di atas tepi bebas palatum molle
yang berhubungan dengan rongga hidung dan ruang telinga melalui
koana dan tuba eustachius. Atap nasofaring dibentuk oleh dasar
tengkorak, tempat keluar dan masuknya saraf otak dan pembuluh darah.
Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle. Dinding
depan dibentuk oleh koana dan septum nasi di bagian belakang. Bagian
belakang berbatasan dengan ruang retrofaring, fasia prevertebralis dan
otot dinding faring. Pada dinding lateral terdapat orifisium yang
berbentuk segitiga, sebagai muara tuba eustachius dengan batas

11
superoposterior berupa tonjolan tulang rawan yang disebut torus
tubarius. Sedangkan ke arah superior terdapat fossa Rossenmuller atau
resessus lateral.3

Gambar 10. Anatomi Faring6

b) Vaskularisasi
Nasofaring diperdarahi oleh cabang arteri karotis eksterna, yaitu
faringeal asenden dan desenden serta cabang faringeal arteri
sfenopalatina. Darah vena dari pembuluh darah balik faring pada
permukaan luar dinding muskuler menuju pleksus pterigoid dan vena
jugularis interna. Daerah nasofaring dipersarafi oleh saraf sensoris yang
terdiri dari nervus glossofaringeus (N IX) dan cabang maksila dari saraf
trigeminus (N V), yang menuju ke anterior nasofaring. Sistem limfatik
daerah nasofaring terdiri dari pembuluh getah bening yang saling
menyilang di bagian tengah dan menuju ke kelenjar Rouviere yang
terletak pada bagian lateral ruang retrofaring, selanjutnya menuju ke

12
kelenjar limfa di sepanjang vena jugularis dan kelenjar limfa yang
terletak di permukaan superfisial. 3
c) Persyarafan
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat
di atas otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari
serabut sensoris saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus
(X) dan serabut saraf ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar
saraf sensoris nasofaring berasal dari saraf glossofaringeus, hanya
daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim tuba yang mendapat
persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion sfenopalatina yang
berasal dari cabang maksila saraf trigeminus. 3

d) Histologi
Mukosa nasofaring dewasa mempunyai luas permukaan sekitar 50
cm2. Sebagian besar dilapisi oleh epitel skuamous berlapis dan sekitar
40% dilapisi oleh epitel kolumnar tipe respiratorius. Epitel skuamous
terutama melapisi dinding anterior dan posterior bagian bawah, juga
bagian anterior dinding lateral. Epitel kolumnar bersilia terutama
melapisi regio posterior nares (choanae) dan atap dari dinding posterior.
Sambungan antara skuamous dan kolumnar dapat secara langsung atau
berupa zona intermediet atau transisional, yang terdiri atas sel-sel
basaloid dengan sitoplasma minimal dan biasanya berbentuk bulat atau
kuboid. Kadang-kadang pada saat biopsi zona ini diduga sebagai daerah
displasia atau karsinoma in situ. Mukosa mengalami invaginasi
membentuk kripta yang menjorok ke dalam stroma. Stroma kaya akan
jaringan limfoid yang sering dengan folikel limfoid yang reaktif.
Permukaan mukosa dan kripta biasanya diinfiltrasi oleh sel-sel limfoid
yang banyak, yang meluas dan mengubah epitel sehingga menghasilkan
pola retikular. Beberapa kelenjar seromusinus dapat dijumpai, tetap
tidak sebanyak yang terdapat di mukosa hidung.5

13
Gambar 11 . Sel epitel transisional, pelapis nasofaring7

Gambar 12. Submukosa nasofaring dengan agregat limfoid merupakan keadaan


normal dan tidak boleh diinterpretasi sebagai suatu proses peradangan5

14
Permukaan nasofaring berbenjol-benjol, karena dibawah epitel terdapat
banyak jaringan limfosit, sehingga berbentuk seperti lipatan atau kripta.
Hubungan antara epitel dengan jaringan limfosit ini sangat erat, sehingga
sering disebut “Limfoepitel”. Bloom dan Fawcett membagi mukosa
nasofaring atas empat macam epitel :
1. Epitel selapis torak bersilia “Simple Columnar Cilated Epithelium”
2. Epitel torak berlapis “Stratified Columnar Epithelium”
3. Epitel tora berlapis bersilia “Stratified Columnar Ciliated Epithelium”
4. Epitel torak berlapis semu bersilia “Pseudo-Stratified Columnar
Ciliated Epithelium”

60% dari mukosa nasofaring dilapisi oleh epitel berlapis gepeng, dan
80% dari dinding posterior nasofaring dilapisi oleh epitel ini, sedangkan pada
dinding lateral dan depan dilapisi oleh epitel transisional, yang merupakan
epitel peralihan antara epitel berlapis gepeng dan torak bersilia. Epitel
berlapis gepeng ini umumya dilapisi keratin, kecuali pada kripta yang dalam.
Dipandang dari sudut embriologi, tempat pertemuan atau peralihan 2 macam
epitel adalah tempat yang subur untuk tumbuhnya suatu karsinoma. 8
Nasofaring memiliki banyak jaringan limfatik dan saluran getah bening
sehingga dapat mempermudah dan mempercepat terjadinya metastasis.
Kelenjar getah bening eselon pertama berada di ruang parafaring dan
retrofaring, dimana terdapat kelenjar getah bening yang berpasangan, yang
dinamakan Rouviere node. Drainase ke daerah jugular dapat melalui kelenjar
getah bening parafaring atau melalui saluran langsung. Sedangkan di bagian
segitiga posterior terdapat jalur langsung terpisah yang mengarah ke kelenjar
getah bening di tulang belakang. Drainase lebih lanjut dapat terjadi ke leher
bagian kontralateral, ke bagian servikal, kemudian ke kelenjar getah bening di
supraklavikua.8

2. Orofaring
Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatu

15
molle sampai ke pinggir atas epiglotis. Batas-batas orofaring antara lain;
a. Batas superior permukan bawah palatum molle.
b. Batas inferior permukaan anterior epiglotis dan tonsil linguae.
c. Batas anterior isthmus oropharynx (isthmus faucium).
d. Batas posterior corpus vertebrae cervicalis dua dan bagian atas corpus
vertebrae cervicalis tiga. 8

3. Hipofaring
Hipofaring atau laringofaring terletak di belakang aditus laryngeus dan
permukaan posterior larynx. Batas-batas orofaring antara lain ;
a. Batas superior permukaa bawah pinggir atas epiglotis
b. Batas inferior permukaan atas karilago cricodea
c. Batas anterior aditus larynges
d. Batas posterior corpus vertebrae cervical tiga hingga enam.
e. Batas lateral disokong oleh kartilago thyroidea dan membrana thyroidea.
8

16
BAB III
ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

1. Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah tumor jinak pembuluh darah dan
jaringan penyokong tipe fibrosa. Tumor ini terdapat pada nasofaring
kemampuan untuk mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya
seperti sinus paranasalis, pipi, mata dan tengkorak. Perluasan intrakranial 10-
30% dari semua kasus dengan bagian yang sering dikenai adalah kelenjar
hipofisis, fossa cranii anterior media.9
Secara histologis pembuluh darah normal terdiri dari lapisan endotel,
jaringan ikat elastik, lapisan otot, namun pada tumor ini memiliki dinding
pembuluh darah yang hanya dilapisi oleh lapisan endotel sehingga mudah
terjadi perdarahan hebat.9

2. Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring belia (ANB) merupakan tumor dengan
kekerapan berkisar 0,05% dari semua tumor kepala dan leher, dengan frekuensi
satu diantara 5.000-60.000 dari pasien THT di Amerika Serikat. Meskipun
jarang, ANB mengenai secara eksklusif pada laki-laki. Usia saat terkena
umumnya pada dekade kedua, antara 7-19 tahun, dan jarang terjadipada usia
lebih dari 25 tahun. Data kunjungan pasien Rawat Jalan THT RSCM 3 tahun
terakhir(2012-2014)didapatkan pasien baru ANB berjumlah 65 orang dengan
usia termuda adalah 9 tahun dan 30 tahun usia tertua. 9

3. Etiologi
Penyebab ANB belum diketahui secara jelas, namun diduga berhubungan
dengan hormon seks. Pengamatan yang menunjukkan tumor secara khas
muncul pada remaja laki -laki, dan bahwa lesi sering regresi setelah
perkembangan lengkap karakteristik seks sekunder memberikan bukti
pengaruh hormonal pada pertumbuhan tumor. Beberapa literatur mengatakan

17
adanya kemungkinan tumor tumbuh dibawah pengaruh sirkulasi dan fluktuasi
hormon seksual selama masa pubertas. Pertumbuhan dari jaringan tumor
berkaitan dengan over produksi dari estrogen dan kurangnya produksi dari
hormon androgen. Akumulasi β-catenin yang merupakan koaktifator dari
androgen reseptor pada nukleus, menjelaskan mengapa tumor ini banyak pada
pasien dewasa muda, dan juga kadar hormon pada serum yang
normal.Disamping itu adanya dietilstilbestrol yang menurunkan potensial
pertumbuhan dari sel endotelial dan meningkatkan stimulasi dari jaringan
fibrosa.9
Faktor angiogenesis dan hormonal memang telah banyak menjadi subjek
penelitian pada ANB, walaupun data yang tersedia tidak cukup banyak dan
kurang representatif serta mekanisme yang masih belum jelas. 9

4. Patofisiologi
Pencitraan CT dan MRI mengindikasikan JNA berasal dari dalam pterygo-
palatine fossa pada bukaan kanal pterygoid. Melalui pterygo-palatine fossa,
tumor meluas medial ke nasal posterior dan nasofaring, secara submukosal
menyebabkan obstruksi nasal. Selanjutnya tumor menyebar ke arah superior
menuju sfenoid dan orbita, menyebabkan gangguan penglihatan. Secara lateral
menuju fossa infra temporal menyebabkan penonjolan klasik pada pipi dan
secara anterior menuju kavum nasal dan sinus.12
Radiologi mengindikasikan erosi basis prosesus pterygoid dan penyebaran
tumor menuju kanal vidian/kanal pterygoid. JNA intrakranial hampir selalu
ekstradural dan biasanya pada fossa kranial media.Penyebaran intrakranial
JNA dilaporkan pada 20% kasus.Penyebaran ke fossa kranial media biasanya
melalui salah satu dari tiga rute, yaitu melalui fisura orbital inferior menuju
orbita dan penyebaran posterior dari tumor orbital melalui fisura orbital
superior ke fossa kranial media, penyebaran tumor pada sinus spenoid dengan
erosi pada dinding lateral, serta penyebaran tumor melalui basis pterygoiddan
cancellous diploetulang sfenoid yang selanjutnya menyebabkan erosi superior
greater wing of sphenoiddengan penyebaran ke fossa kranial media. 10

18
5. Diagnosis
a) Anamnesis
Pasien mayoritas datang dengan keluhan hidung tersumbat dan
epistaksis spontan yang masif. Angiofibroma nasofaring umumnya muncul
sebagai sumbatan hidung unilateral, epistaksis dan adanya massa
dinasofaring. Epistaksis yang dikeluhkan pasien sifatnya berulang, banyak
dan memberat sehingga seringkali sulit ditangani dengan penanganan
epistaksis biasa. Angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat karena
pada tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan
pembuluh darah yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga
memudahkan terjadinya perdarahan.10,11
Pasien dengan massa yang besar dapat juga disertai dengan
proptosis, gangguan pendengaran konduktif, bengkak pada pipi, dan
bahkan defisit pada nervus kranialis III-VI. Pemeriksaan klinis harus
dengan menggunakan endoskopi untuk melihat regio nasal sampai
nasofaring.10

b) Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior dapat dilakukan
dengan inspeksi kita dapat melihat adanya massa berwarna keabu-abuan
hingga merah muda. Bagian tumor terlihat di nasofaring biasanya diliputi
oleh selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluar
keluar nasofaring berwarna putih dan abu-abu. Mukosanya mengalami
hipervaskularisasi dan tidak jarang ditemukan adanya ulserasi. Ketika
dipalpasi atau disentuh tanmpak massa yang konsistensinya kenyal. Pada
usia muda warnanya merah muda, pada usia yang lebih tua warnanya
kebiruan, karena lebih banyak komponen fibromanya.10

19
Gambar 13. Gambaran makroskopik angiofibroma nasofaring10

c) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologik dapat banyak membantu dalam
menegakkan diagnosis dan rencana tindakan selanjutnya. Pada
pemeriksaan radiologik konvensional akan terlihat gambaran klasik
angiofibroma nasofaring dini. Gambaran ini di sebut sebagai tanda
“Holman Miller”, yaitu pendorongan ke depan dinding posterior sinus
maksila dan pendorongan ke belakang prosesus pterigoideus, sehingga
fisura pterigo palatina melebar. Dari pemeriksaan ini juga akan terlihat
adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring, atau erosi dinding
orbita, arkus zigoma dan tulang di sekitar nasofaring.2

1) CT-Scan
Pada pemeriksaan CT-Scan dengan zat kontras akan terdapat
tampak secara tepar perluasan massa tumor serta dekstruksi tulang
ke jaringan sekitarnya. Pada angiofibroma nasofaring memiliki
karateristik pada pemeriksaan CT-Scan berupa :
 Lengkungan anterior dinding maksila posterior (Holman-
Miller sign).
 Erosi dasar sinus sfenoid dan penyebarantumor yang
berdekatan dari nasofaring ke sinus sfenoid.
 Erosi basis pterygoid
 Distribusi tumor khas dengan lobul yang bertambah banyak
dan tumor berbatas tegas melibatkan fossa infra temporal,

20
menyebar melalui fisura orbital inferior, orbital posterior,
dan fisura orbital superior.
 Erosi dan perluasan kanal vidian.2
CT scan setelah injeksi kontras intravena akan mengalami
ketebalan irisan 3mm. Teknik CT Scan konvensional digunakan,
dengan ketebalan bagian 1,3 mm setiap 0,7 mm slidenya.19
Quality Control slice thickness dilakukan dengan
menggunakan fantom acrylic dimana pada tiap ukuran slice
ditunjukkan dengan banyaknya garis yang terbentuk pada citra
aksial. Pengukuran menggunakan fantom acrylic ini sangat
sederhana dan menghemat waktu, namun akurasinya relatif rendah.
Untuk akurasi yang lebih baik, biasanya digunakan fantom CT
Performance Test. Pada fantom ini terdapat bagian untuk
mengukur slice thickness. Setelah diperoleh citra fantom pada
bagian pengukuran slice thickness, pengukuran slice thickness
biasanya menggunakan penggaris pada software pesawat CT
Scan.20
Slice Thickness merupakan tebal tipisnya suatu irisan citra
medis. Bisa diibaratkan sebuah roti tawar yang diiris tebal akan
menghasilkan sedikit irisan. Jika diiris tipis akan menghasilkan
banyak irisan. Jika roti itu diiris tebal-tebal, maka jika didalam roti
itu ada kismis yang ukurannya lebih kecil dari irisan, bisa saja
kismis tidak akan terlihat karena didalam irisan. Jika diiris tipis-
tipis maka kismis akan terlihat. Fenomena ini menjelaskan
bagaimana pengaruh ukuran slice thickness terhadap kualitas citra.
Semakin tipis slice thickness semakin baik kualitasnya. Tetapi,
disatu sisi ukuran slice thickness yang semakin tipis akan
menghasilkan noise yang tinggi. Selain itu, dengan mempertipis
irisan maka jumlah irisan akan bertambah banyak sehingga
semakin besar radiasi yang diterima oleh pasien. Sehingga untuk

21
aplikasi klinis, perlu dilakukan optimasi sesuai dengan keperluan
yang digunakan.20
Pada pemeriksaan organ yang berukuran kecil atau untuk
melihat kelainan yang berukuran kecil, digunakan slice thickness
tipis, demikian sebaliknya untuk organ yang berukuran besar dapat
menggunakan slice thickness yang tebal. Pada pemeriksaan yang
membutuhkan rekonstruksi gambar dalam potongan sagital
maupun coronal diperlukan slice thickness yang tipis, karena jika
menggunakan slice thickness yang tebal, gambar akan tampak
besar, sedangkan dengan slice thickness yang tipis gambar akan
nampak lebih halus. 20

Gambar 14. CT-Scan sinus paranasalis potongan Sagital2

22
Gambar 15. CT-Scan sinus paranasalis potongan coronal 2

Pada CT-scan: tampak gambaran massa dengan densitas isodens, memenuhi kavum
nasi, ekspansif, meluas dari anterior ke posterior. Tampak massa mendesak sinus
maksillaris sinistra. Tampak gambaran perselubungan pada kedua sinus maksilaris,
sinus ethmoid dan frontalis (sisi kiri). Tidak tampak destruksi tulang-tulang.
Nasofaring tenang. 2,9

Gambar 16. Pada CT-Scan potongan coronal menujukkan adanya lesi pada sinus
maxillaris, cavitas nasal, nasoethmoidal dan melewati sinus cavernosum dan dasar
dari otak12

23
Gambar 17. Gambar CT-Scan potongan koronal: Tumor memanjang
dari sel udara pterygoid pneumatis kanan (yang panah) ke nasofaring dan berlanjut
ke rongga mulut (garis titik)12

Gambar 18. Penampakan Holman Miller sign dan erosi pada basis pterygoid 12

2) MRI
MRI memberikan gambaran jaringan lunak lebih baik. Tumor
dapat menampilkan gambaran salt and pepper dengan komponen
fibrosa tumor berwarna putih dan komponen vaskular angiomatosa
berwarna gelap. Gambaran penyebaran tumor akan lebih jelas
dengan kontras gadolinium. MRI berguna untuk penilaian tumor
intrakranial yang berbatasan dengan sinus kavernosus dan internal
carotid arteri (ICA) dan untuk evaluasi lanjutan tumor
residual/tumor berulang.12

24
Gambar 19. (A, B) dengan potongan aksial dan koronal yang menunjukkan
penampilan “ salt and papper " dari JNA, dan perluasan tumordari fossa
pterygopalatine ke nasofaring, hidung, fossa infratemporal, dan orbital posterior 12

3) Angiografi
Prosedur arteriografi (DSA) cerebral melalui injeksi arteri karotis
eksterna dekstra (RECA) menunjukkan adanya tumor blush yang
mendapat suplai darah (feeding arteri) dari arteri maksillaris interna
dekstra.13
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis akan memberikan
gambaran yang khas yaitu :
a) Pendorongan arteri maksila interna ke depan sebagai akibat
pertumbuhan tumor dari nasofaring ke arah fossa pterigomaksila
b) Massa tumor terisi oleh kontras pada fase kapiler dan akan
mencapai maksimum setelah 3-6 detik zat kontras disuntikan.9
Angiografi memberi informasi suplai vaskular mayor dan untuk
embolisasi pre-operatif. Arterial mayor yang menyuplai tumor-tumor
ini adalah internal maxillary arteryipsilateral yang khas dengan
pembuluh darah tambahan ascending pharyngeal artery dan cabang-
cabang ICA kavernosa atau sistem karotid eksternal kontralateral.13

25
Gambar 20. (a) Feeding arteri tampak berasal dari arteri maksilaris interna dextra,
(b) Tampak massa idoens batas relatif tegas, tepi reguler ukuran sekitar 4,9 x 4,o x
3,3 cm kesan berasal dari sinus maksilaris dextra.13

Gambar 21. Digitasl subtracting arteriografi (DSA) cerebral melalui injeksi arteri
karotis externa dextra ( RECA). (a) Pre embolisasi ; tampak adanya tumor blush
yang mendapat suplai darah ( feeding artery) dari arteri maksillaris interna dextra
(panah kuning), (b) tampak tumor blush (panah biru), (c) Post embolisasi ; dengan
menggunkan PVA partikel pada arteri maksillaris interna dextra hingga tumor
blush pada sisi dextra yang mendapat suplai darah dari pembuluh darah ini tidak
tampak lagi (panah merah ). 13

4) Histopatologi
Biopsi pre operasi tidak dianjurkan pada setiap kasus mengingat
bahaya perdarahan yang terjadi akibat biopsi. Bila memungkinkan
dapat dilakukan arteriografi untuk menentukan vaskularisasi massa
tumor (feeding vessel), perluasan tumor ke daerah sekitarnya dapat
ditentukan dengan pemeriksaan CT Scan.

26
Gambar 22. Dinding Arteri, vena dan kapiler. Dinding arteri
dan vena memiliki suatu tunica intima, tunica media, dan tunica
externa (tunica adventitia) yang sepadan secara kasar dengan
endokardium. Miokardium, dan epikardium jantung. Suatu
arteri memilik tunica media yang lebih tebal dan lumen relatif
yang sempit. Suatu vena memiliki lumen yang lebih besar dan
tunica externa adalah lapisan yang paling tebal. Tunica intima
vena sering terlipat membentuk katup. Kapiler hanya sedikit
memiliki endotel, tanpa lapisan subendotel atau tunicanya
lainnya.5

Gambar 23.Tunica dinding vaskular. Pembandingan ketiga


lapisan utama atau tunica di arteri dan vena terbesar. (a) aorta,
(b) vena cava. Selapis sel endotel gepeng (panah) melapisi tunica
interna (I) yang memilik jaringan ikat longgar subendotel dan

27
dipisahkan dari tunica media oleh lamina elastica interna (IEL),
suatu lembar elastin yang mencolok. Tunica media (M)
mengandung lamela elastica dan serabut (EF) dan berbagai
lapisan otot polos yang tidak terlihat jelas disini. Tunica media
jauh lebih tebal di arteri besar ketimbang di vena, dengan lebih
banyak elastin. Serat elastin juga terdapat di tunica adventitia
(A) luar, yang relatif lebih tebal di vena besar.5

Gambar 24. Gambaran mikroskopik angiofibroma nasofaring. (a)


Pembuluh darah berbeda dengan berbeda dengan myxoid stroma
fibrosa yang tersusun rapat dan pembuluh darah juga mengalami
penebalan dinding (Pewarnaan HE, pembesaran (100x). (b)
Terdapat banyak area yang berhubungan dengan pembuluh kecil
terkompresi (pembesaran 200x).(c) Berbentuk Stellate dan
angulated fibroblast dan beberapa sel raksasa, pada umumnya sel-
sel yang berinti (pembesaran 400x). (d) Sebagian pembuluh
mengalami trombus (pembesaran 200x).14

28
Gambar 25. Gambaran Histologik Angiofibroma. (1) tampak proliferasi
pembuluh darah berisi eritrosit diantara proliferasi jaringan ikat ( panah
hitam), (2) Struktur vaskular yang berdinding tipis berisi eritrosit dengan
lapisan endothelium dan komponen fibrous yang banyak (panah biru), (3)
Proliferasi jaringan ikat dengan komponen sel fibroblast, lapisan
endothelium yang tipis. Tidak terdapat lapisan tunica muscularis pada
angiofibroma nasofaring juvenile.13

5. Staging
Sistem penderajatan angiofibroma nasofaring pertama kali
dikemukakan oleh Sessions dkk, lalu dimodifikasi oleh Fisch dan
Chandler. Klasifikasi menurut Session adalah :11
Stadium IA : Tumor terbatas di nares posterior dan atau nasofaringeal
voult.
Stadium IB : Tumor meliputi nares posterior dan atau nasofaringeal voult
dengan meluas setidaknya satu sinus paranasal.
Stadium IIA : Tumor meluas sedikit ke fossa pterigomaksila.
Stadium IIB : Tumor memenuhi pterigomaksila tanpa mengerosi tulang
orbita.
Stadium IIIA : Tumor telah mengerosi dasar tengkorak dan meluas sedikit
ke intrakranial.
Stadium IIIB : Tumor telah meluas ke intrakranial dengan atau tanpa
meluas ke sinus kavernosus.

29
Klasifikasi menurut Fisch sebagai berikut:
Stadium I : Tumor terbatas di rongga hidung, nasofaring tanpa
mendestruksi tulang.
Stadium II : Tumor menginvasi fossa pterigomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
Stadium III : Tumor menginvasi fossa infratemporal, orbita dengan atau
regio paraselar.
Stadium IV : Tumor menginvasi tumor kavernosus, regio kiasma optik
dan atau fossa pitultary.
Chandler seperti dikutip oleh Ungkanont membagi penderajatan tersebut
menjadi sebagai berikut:
Stadium I : Tumor terbatas di nasofaring
Stadium II : Meluas ke kavum nasi dan atau sinus sfenoid.

Stadium III : Meluas ke salah satu atau lebih sinus maksila dan etmoid,
fossa pterigomaksila dan infratemporal, orbita dan atau pipi
Stadium IV : Meluas ke rongga intra kranial.

6. Penatalaksanaan
a. Konservatif
Pasien dengan angiofibroma nasofaring akan datang dengan keluhan
epistaksis yang sulit dihentikan. Tatalaksana epistaksis dapat dilakukan
tampon hidung anterior, posterior, balon hidung, blok ganglion
sphenopalatina, hingga ligasi pembuluh darah.
a) Tampon hidung anterior
Pemasangan anteriornasal packing / tampon hidung anterior harus
dilakukan dengan hati-hati dan dengan teknik khusus. Forceps bayonet
dan spekulum nasal digunakan untuk melipat lembaran kasa sedalam
mungkin pada kavum nasi. Setiap lipatan harus di tekan sebelum
lembaran baru tambahkan diatasnya. Setalah cavun nasi terisi dengan

30
kasa, ujung kasa dapat ditempelkan diatas lubang hidung dan di ganti
berkala.Selain mengunakan kasa untuk anteriornasal packing, dapat
juga di gunakan spons (Merocel atau Doyle Sponge). Tampon
dimasukan dengan hati-hati pada dasar cavum nasi karena akan
mengembang apabila terkena darah atau cairan lain. Pemberian jel
lubrikan pada ujung tampon mempermudah pemasangan. Setelah
tampon terpasang, tetesi tampon dengan sedikit cairan vasokonstriktor
untuk mempercepat perhentian perdarahan. Tetesi saline kedalam
lubang hidung agar tampon dapat mengembang sempurna. Tampon
dapat dilepas setelah 3-5 hari terpasang dengan memastikan telah
terjadi formasi pembekuan darah yang adekuat.

Gambar 26. Anterior Nasal Packing / Tampon Hidung Anterior

31
b) Tampon Hidung Posterior
Epistaksis posterior jarang terjadi dibandingkan epistaksis anterior
dan biasanya ditangani oleh dokter spesialis. Posterior nasal packing atau
tampon posterior dilakukan dengan memasukkan kateter melalui salah
satu lubang hidung atau keduanya ke nasofaring dan keluar melalui
mulut. Tampon kasa dikaitkan diujung kateter lalu ditempatkan di
nasofaring posterior, lalu kateter ditarik dari hidung sehingga tampon
kasa dapat berada di belakang koana dan menutupi aliran rogga hidung
posterior serta memberikan efek penekanan pada sumber perdarahan.
Prosedur ini memerlukan keterampilan khusus dan biasanya dilakukan
oleh dokter spesialis. Semua pasien dengan tampon posterior ini harus
dilakukan monitoring di rumah sakit.

Gambar 27. Posterior nasal packing/Tampon hidung posterior

b. Operasi

32
Pilihan utama terapi untuk ANJ adalah operasi dengan tujuan
untuk membuang tumor.Berbagai macam pendekatan operasi dapat
dilakukan sesuai dengan lokasi tumor dan perluasannya. Macam
pendekatan operasi yang lain, dapat dilakukan melalui transpalatal,
rinotomi lateral, rinotomi sublabial (sublabial mid-facial degloving),
kombinasi dengan kraniotomi frontotemporal atau endoskopi
transnasal. 9
a. Transnasal
Transnasal modifikasi merupakan tindakan ekstraksi tumor
melalui kavum nasi tanpa melakukan insisi di lateral hidung, atau
di daerah palatum. Transnasal merupakan teknik alternatif yang
digunakan sebagai pendekatan operasi tumor angiofibroma
nasofaring juvenil. Transnasal hanya dianjurkan untuk tumor kecil
yang terbatas pada nasofaring dan kavum nasi.9
Teknik transnasal meliputi pemakaian intubasi dan tampon
pita di orofaring, mulut penderita dipasang mouth gag, dan pada
kavum nasi yang normal dipasang kateter Nelaton, kemudian
disusul pada sisi dimana tumor berasal, menyiapkan pemasangan
tampon Belloque, menarik kateter dan memfiksir pada kocher,
tumor dipisahkan dari kavum nasi dan nasofaring dengan
rashperatorium dan tangan kiri operator menarik tumor dari
nasofaring melalui orofaring, perdarahan dirawat dengan tampon
Belloque dan tampon anterior di kavum nasi. 9

33
Gambar 28. Teknik operasi ekstraksi ANJ transnasal15

b. Teknik Transpalatal
Teknik transpalatal meliputi pemakaian intubasi dan
tampon pita di orofaring, mulut penderita dipasang mouth gag,
dan pada kavum nasi yang normal dipasang kateter Nelaton,
kemudian disusul pada sisi dimana tumor berasal, menyiapkan
pemasangan tampon Belloque, menarik kateter dan memfiksir
pada kocher,melakukan injeksi palatum durum dengan lidokain
2% adrenalin 1/200.000 U, melakukan insisi palatum durum
bentuk U (sebaiknya dekat dengan gigi),memisahkan mukosa,
otot dari tulang, sehingga terbentuk flap mukosa palatum,
melakukan fiksasi flap palatum dengan jahitan,menatah tulang
palatum durum di daerah tumor seluas mungkin sehingga
lapangan pandang lebar dan tang koanal dapat masuk, melakukan
insisi mukosa kavum nasi, tumor dipegang dengan tang tonsil
atau tang koanal, membuat insisi pada mukosa sekitar basis dan
melepas tumor dengan rashperatorium, melepaskan tumor,
mengangkat sisa tumor, memasang tampon Belloque dan tampon
anterior di kavum nasi.10\

34
Gambar 29. Teknik operasi ekstraksi ANJ transpalatal10

35
Gambar 30. Teknik operasi ekstaksi ANJ transpalatal10

Operasi ekstraksi ANJ termasuk operasi besar dan membutuhkan


persiapan obat dan persediaan darah yang lebih banyak.Operasi dengan
jumlah perdarahan yang lebihbanyak, akan menambah beban pada
penderita, antara lain penambahan obat-obatan, cairan dan persediaan
darah, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih banyak.10

c. Endoskopi Reseksi
Tatalaksana utama pada angiofibroma adalah melalui pembedahan.
Pembedahan endoskopik hadir sebagai pendekatan alternatif terhadap
tatalaksana angiofibroma nasofaring didukung oleh rendahnya morbiditas
dan tingkat rekurensi yang sama dibandingkan pendekatan pembedahan
secara terbuka.18
 Indikasi : 16
1. Tumor yang melibatkan rongga hidung, sinus paranasalis dan
nasofaring
2. Tumor dengan keterlibatan medial infra fossa temporal atau
keterlibatan extra parasel dengan ekstensi intrakranial yang terbatas
 Prosedur : 16
1. Suntikkan Lidocaine dengan epinefrin ke foramen palatine yang
lebih besar, septum, uncinate dan middle turbinate pada sisi dengan
tumor

36
2. Masukkan kedalam hidung ikat kapasoid yang direndam kedalam
oxymetazoline selama 10 menit
3. Pada sisi tumor, tumor diangkat pada bagian inferior tengah
menggunakan gunting

Gambar 31. Pengangkatan tumor melalui bagian tengah16

4. Melakukan tindakan uncinektomi dan antrostomi meatus


tengah lebar
5. Perbesar antrostomi meatus tengah hingga dinding posterior
sinus maksilaris terlihat jelas
6. Pertimbangkan melakukan septektomi posterior untuk
memungkinkan visualisasi dan akses yang lebih baik dari
rongga hidung yang berlawanan

37
Gambar 32. Gambar Intraoperatif (hidung kanan) setelah
antrostomi meatus tengah, menunjukkan crista
ethmoidalis dan dinding sinus maksila posterior16

7. Melakukan total ethmoidectomy dan identifikasi sphenoid


rostrum
8. Selesai sphenoidotomy untuk memastikan tumor tidak meluas
ke sphenoid
9. Melihat arteri sphenopalatina dan pedikel tumor dengan
mengangkat dinding posterior sinus maksilar.

Gambar 33. Gambar intraoperatif menunjukkan Kerrison


rongeur digunakan untuk menghilangkan dinding sinus
maksila posterior16

38
Gambar 34. Dinding posterior dari sinus maksilaris
dihilangkan di sepanjang arteri sphenopalatina16

Gambar 35. Tumor ini dibedah pada pedikel vaskular16

10. Isolasikan dan klip / ligate arteri sphenopala-tine lateral tumor,


bahkan jika telah di emboli
11. Jika tumor melampaui batas instrumen endoskopi misalnya di
luar fossa pterigopalatina ke fossa infra temporal, maka
pendekatan Caldwell-Luc atau prosedur terbuka mungkin
diperlukan untuk akses.

39
Gambar 36. Arteri sphenopalatina telah dipotong di fossa
pterigopalatina16

12. Membedah tumor dari struktur yang berdekatan; sering


melekat pada septum, sphenoid rostrum, dasar tengkorak, dan
nasofaring
13. Tumor dibedah sampai semua yang tersisa adalah pedikel
14. Jika belum dilakukan, aplikasikan haemoclips ke cabang
arterina sphenopalatina
15. Periksa seluruh area mukosa yang terlibat dengan tumor
16. Biopsi dapat dikirim untuk membersihkan margin
17. Dapatkan hemostasis yang teliti
18. Irigasi salin nasal dimulai pada hari pertama pasca operasi,
setidaknya dua kali sehari, untuk membersihkan hidung
19. Pasien diinstruksikan untuk tidak meniup hidung
20. Kunjungan pasca operasi pertama dijadwalkan pada 1 minggu

d. Insisi Midfasial Degloving


Tumor yang berada pada kavum nasi dan meluas ke anterior dan
inferior ke sinus maksila dapat dilakukan insisi midfasial degloving.
Insisi transoral ini diperkenalkan oleh Conley 1979 dimana letak insisi
adalah pada sulkus ginggivobukal dari tuberositas maksila ke tuberositas
maksila kontralateral dan diperluas hingga mencapai apertura piriformis

40
dan dinding anterior maksila ditembus sehingga massa dapat terekspos
maksimal.18

Gambar 37. Insisi midfasial degloving18

e. Rinotomi Lateral
Tumor yang meluas dan melibatkan sinus ethmoid dan nasofaring
dapat dilakukan pendekatan rinotomi lateral. Pendekatan yang dilakukan
harus memperhitungkan kedudukan tulang pada piramid hidung sebagai
sisi estetis jangka panjang. Tumor yang meluas dan melibatkan seluruh
kavum nasi dan sinus maksila dengan erosi dari dinding posterior sinus,
dapat dilakukan insisi Weber-Ferguson, dimana massa dapat terekspos
secara maksimal dengan diangkatnya prosesus maksila, dinding
nasoantral dibawah konka inferior, tulang lakrimal, lamina papirasea dan
sel etmoid anterior sampai posterior sampai pada lempeng kribriform,
sedang bagian yang dipertahankan ialah sakus lakrimal dan dustusnya
serta periosteum dari dinding medial orbita.18

41
Gambar 38. Rinotomi Lateral Insisi18

f. Embolisasi
Pada pasien angiofibroma nasofaring menjalani pre-operasi
embolisasi tumor sebelum dilakukan ekstirpasi tumor. Embolisasi
merupakan pengobatan minimal invasif yang mengoklusi atau memblok
satu atau lebih pembuluh darah atau saluran vaskuler yang mengalami
kelainan atau malformasi. Dimana prosedur embolisasi ini akan
menempatkan agen embolan melalui kateter pada pembuluh darah
(feeding arteri)utama dari target dan mencegah aliran darah ke tempat
tersebut. Pada kasus serial kami, arteri maksillaris interna cabang dari
arteri carotis eksterna merupakan feeding arteri utama, akan tetapi juga
terdapat feeding arterilainnya seperti arteri dari segmen C4 arteri karotis
interna dekstra dan arteri oftalmika dekstra. Setelah didapatkan feeding
arteri yang memvaskularisasi tumor tersebut, berupa tumor blush maka

42
dilakukan tindakan pre-operasi embolisasi tumor dengan menggunakan
agen partikel foam PVA. Pemilihan agen embolan ini karena agen ini
merupakan pilihan yang paling tepat untuk digunakan pada prosedur
embolisasi tumor khususnya pada tumor-tumor vaskuler juga embolan
ini memiliki frekuensi yang rendah terhadap terbentuknya rekanalisasi
pembuluh darah. PVA juga menghasilkan oklusi permanen dan tidak
menyerap. Pada kasus serial kami semua pasien mengalami anemia
sebelum maupun sesudah tindakan embolisasi tumor dan tindakan
ekstirpasi tumor. Setelah dilakukan tindakan embolisasi tumor semua
pasien menjalani prosedur pembedahan tumor berupa ekstirpasi tumor.
Selama dilakukan prosedur pembedahan risiko terjadinya perdarahan
hanya sedikit sekitar 500 cc dan setelah pasca operasi semua pasien dapat
rawat jalan setelah ± 5-6 hari perawatan dan tanpa adanya komplikasi
yang parah. 13

g. Hormonal
Terapi hormonal sebelum pembedahan juga dapat mengecilkan
ukuran dan mengurangi vaskularisasi tumor. Penggunaan estrogen
dilaporkan dapat mengecilkan ukuran tumor tapi menimbulkan efek
samping feminimisasi. Terapi hormonal preoperatif dapat mengecilkan
ukuran tumor. Penggunaan Flutamide ( androgen receptor blocker ) pada
kasus angiofibroma nasofaring stadium IIC –IIIB menurut klasifikasi
Radkowski. Dosis flutamide yang diberikan 10mg/kg BB dalam 3 dosis
selama 6 minggu sebelum pembedahan. Ukuran tumor dievaluasi dengan
MRI sebelum dan sesudah terapi dan didapatkan hasil berkurangnya
ukuran tumor 6% - 35% pada kasus post - pubertas. Sedangkan pada
kasus pre-pubertas responya tidak tetap dan minimal. Dua kasus dengan
gangguan penglihatan, terdapat perbaikan pada matanya. Penggunaan
Flutamid (nonsteroidal androgen receptor blocker) dapat mengecilkan
ukuran tumor sampai 44 % tetapi Labra dkk seperti yang dikutip oleh
Gleeson mendapatkan bahwa dengan menggunakan flutamid

43
menyusutnya ukuran tumor hanya mencapai 7.5%, jadi penggunaan
flutamid ini tidak signifikan. 16

h. Radioterapi
Melaporkan 80% tingkat kendali tumor dengan radioterapi primer
dosis pertengahan (30 sampai 35 Gy diberikan dalam 15 kali lebih dari
periode 3 minggu). Sinar radiasi eksternal dilakukan pada tumor yang
besar dan atau tidak dapat dilakukan pembedahan. Pasien yang dilakukan
radioterapi terbanyak karena mengalami rekurensi pasca pembedahan
dan atau adanya perlu menganjurkan penggunaan. Sinar radiasi eksternal
megavoltase dengan dosis 3000-3500 cGy merupakan terapi primer pada
semua penderita angiofibroma nasofaring juvenil, tidak memperhatikan
ukuran atau derajat perluasan.16
Walaupun radiasi telah dilaporkan sebagai terapi yang efektif
untuk angiofibroma nasofaring, komplikasi jangka panjang dapat terjadi.
Keganasan sekunder kepala dan leher menunjukkan gejala sisa yang
paling ditakuti akibat paparan radiasi. Komplikasi lainnya adalah
karsinoma tiroid, karsinoma sel basal, karsinoma sel skuamosa orbita,
fibrosarkoma nasofaring dan fibrosarkoma histiositoma, hipopituitarisme,
katarak, nekrosis lobus temporal dan endoftalmitis. 16

7. Diagnosis Banding
Diagnosis banding antara lain polip nasi, polip antrakoana,
teratoma, ensefalokel, dermoid, inverted papiloma, rabdomyosarkoma,
karsinoma sel squamosa.11

8. Prognosis
Tidak terdapat perbedaan angka kekambuhan yang signifikan
antara pendekatan eksternal dan teknik endoskopik, tetapi dipengaruhi

44
oleh perbedaan sistem staging dan strategi follow up. Studi Sun, dkk.
mengidentifikasi tiga faktor prediktif yang mungkin meningkatkan
kekambuhan, yaitu usia saat diagnosis (di bawah 18tahun), ukuran tumor
(>4 cm), dan staging berdasarkan klasifikasi Radkowski. 11

45
ALGORITMA ANGIOFIBROMA NASOFARING JUVENILE

ANAMNESIS :

 Sumbatan hidung unilateral


 Epistaksis yang berulang
 Gangguan lainnya : Tuli konduktif, bengkak pada pipi, defisit nervus cranialis III-IV

PEMERIKSAAN FISIK :

Tampak ada massa berwarna keabu-abuan , hingga merah muda dan


konsistensinya kenyal.

PEMERIKSAAN PENUNJANG :
 CT-SCAN
 MRI
 Angiografi
 Patologi Anatomi

KONSERVATIF : OPERATIF :

 Tampon hidung anterior  Transnasal


 Tampon hidung posterior  Transpalatal
 Endoskopi Reseksi
 Insisi midfasial degloving
 Rhinotomi Lateral
 Embolisasi

NON OPERATIF
:

 Hormonal
 Radioterapi

46
DAFTAR PUSTAKA

1. Yudianto, A, Tjekeg, Nuaba, A, 2013. Angiofibroma Nasofaring Pada Pasien


Usia Lanjut. Volume 44 Nomor 2. Bagian Ilmu Kesehatan THL-KL. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, Rumah Sakit Sanglah, Denpasar.
2. Rahman, S, Budiman, B.J, Azani, S.2014.Angiofibroma Nasofaring Pada
Dewasa. Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher ( THT-KL),
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Padang.
3. Dhingra PL, 2014. Disease of Ear Nose and Throat, sixth Edition,Elsevier.
4. Sherwood, L.2011. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem. Edisi 7. EGC ;
Jakarta
5. Mescher, A, 2011. Histologi Dasar Junqueira. Edisi 12.EGC ; Jakarta
6. Arjun S Joshi, 2011. Pharynx Anatomy. Available From :
http://emedicine.medscape.com/article/1949347overview#showall (Accessed:
15 November 2018)
7. Patton & Thibodeau, 2014. Anatomy & Physiolgy. Ninth Edition. Elsevier,
New York.
8. Snell, Richard, 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. EGC ; Jakarta
9. Firdaus, A, Rahman, S, Asyari, A. 2012. Penatalaksanaan Angiofibroma
Nasofaring Juvenil Dengan Pendekatan Transpalatal. Bagian Telinga Hidung
Tenggorok Bedah Kepala Leher ( THT-KL ). Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas ; Padang
10. Warasanti & Yusuf. 2013. Transnasal Modifikasi Sebagai Pendekatan
Operasi Angiofibroma Nasofaring Juvenil. Departeman Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga –
RSUD dr.Soetomo, Surabaya
11. Soepardi,dkk, 2016. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala dan Leher. Edisi ketujuh. FKUI ; Indonesia
12. Manjunath, et al, 2013. Juvenile Nasophrayngeal Angiofibroma, Case Report,
Departement of Oral Medicine and Radiology, VS Dental Collage and
Hospital, KR Road, Bengaluru, Karnataka, India.

47
13. Amran & Bahar, 2016. Embolisasi PVA partikel foam prasyarat preoperatif
pada pasien angiofibroma nasofaring. Departemen neurologi fakultas
kedokteran Universitas Hasannudin, Makassar.
14. Romero, et all, 2018. Nasopharygeal Angiofibroma : a Clinical,
histopathlogical and immunohistochemical study of 42 cases with Emphasis
on Stromal Features
15. Rogers,et all. 2017. Open Acess Atlas of Otolaryngology, Head and Neck
Operative Surgery.
16. Dewi, N. 2018. Tatalaksana Juvenile Nasophryngeal Angiofibroma. Vol.45,
No.3. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar.
17. Wardani, dkk, 2012. Bedah Sinonasal Endoskopik Angiofibroma Nasofaring
belia : Laporan seri kasus berbasis bukti ( Evidence Based ). Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. ORLI Vol
42, No 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; Jakarta.
18. Zahara, N.P. 2012. Penilaiai Rekurensi Angiofibroma Nasofaring Belia
Berdasarkan Karateristik Tumor. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung
dan Tengorokan, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Jakarta.
19. Mallick, et all, 2015. Long Term Treatment Outcomes of Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma Treated with Radiotherapy. Departement of
Radiation Oncology, All India of Medical Sciences, New Delhi, India.
20. Makmur, dkk, 2013. Evaluasi Ketebalan Irisan ( Slice Thickness ) Pada
Pesawat Ct-Scan Single Slice. Jurusan Fisika, Fakultas Sains dan
Matematika, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.

48
21. Wardani, dkk, 2012. Bedah Sinonasal Endoskopik Angiofibroma Nasofaring
belia : Laporan seri kasus berbasis bukti ( Evidence Based ). Departemen
Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher. ORLI Vol
42, No 2. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; Jakarta.
22. Faisal, H.H., 2016. Gambaran Karakteristik Karsinoma Nasofaring Dan
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Prognosis. Fakultas Kedokteran,
universitas Indonesia, Jakarta.

49
50

Anda mungkin juga menyukai