Cyber Law PDF
Cyber Law PDF
Untuk mewujudkan hal itu, kata Syamsul Maarif, selain diperlukan payung
hukum sebagai landasan pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan
persidangan elektronik, diperlukan juga persiapan teknologi informasi.
“Dengan melihat kebutuhan tersebut, maka Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik di
Pengadilan mendesak untuk diubah dengan peraturan yang dapat
mengakomodasi kebutuhan persidangan elektronik,” ungkap Syamsul
Maarif.
Rencananya, peraturan MA yang selama ini menjadi landasan
pelaksanaan aplikasi pengadilan elektronik akan dicabut dan digantikan
dengan peraturan MA yang baru. “Rencananya peraturan MA yang baru
tersebut akan diberi judul Administrasi Perkara dan Persidangan di
Pengadilan Secara Elektronik,” tegasnya.
Selain itu, aplikasi e-court yang selama ini dipergunakan untuk melakukan
pendaftaran secara elektronik (e-filing), pembayaran secara elektroni (e-
payment), dan pemanggilan secara elektronik (e-summon) dikembangkan
sedemikian rupa untuk kepentingan perbaikan dan ditambahkan dengan
menu baru yakni e-litigation.
Dengan e-litigation juga nantinya para pihak akan dapat mengakses amar
putusan/penetapan atas perkaranya pada saat sidang pembacaan
putusan dilakukan. “Sementara mengenai salinan putusan, kita masih
harus mematangkan beberapa persoalan sebelum akhirnya bisa
dinormakan dalam peraturan MA yang baru,” katanya.
Cara Melacak Pelaku Teror
SMS
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt514001330fc00/cara-melacak-pelaku-
teror-sms
Pertanyaan
Sudah hampir empat bulan ini saya menerima teror sms yang berisi fitnah,
ancaman, dan penghinaan. Selain itu si pelaku juga mengaku membuntuti setiap
gerak gerik saya, dan menyebar fitnah di lingkungan kantor, lingkungan rumah
dan keluarga saya. Apakah saya bisa menuntut dengan pencemaran nama baik,
perbuatan tidak menyenangkan, fitnah, teror dan ancaman. Apa yang sebaiknya
saya lakukan, sementara saya tidak mengenal dan tidak tahu sama sekali siapa
pelakunya? Dan nomor handphone yang digunakan pun selalu berganti-ganti.
Mohon dibantu penjelasannya karena hal ini sudah sangat meresahkan. Terima
kasih.
Ulasan Lengkap
Pembaca hukumonline yang baik,
Kami turut prihatin dengan masalah Anda. Berdasarkan pengamatan dan diskusi kami dengan
Penyidik Kepolisian maupun Penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika ("Kementerian
Kominfo"), kasus serupa sangat banyak terjadi. ‘Teror’ khususnya melalui layanan pesan singkat
(“SMS”) merupakan cara yang sering digunakan banyak orang untuk menyebarkan fitnah,
ancaman, maupun penghinaan. Hal ini disebabkan lemahnya sistem pengawasan melalui
registrasi identitas pengguna nomor telepon seluler di Indonesia. Kemudahan untuk
mendapatkan nomor telepon selular baru dan tidak adanya verifikasi pendaftar nomor telepon
seluler baru, memicu para pelaku ‘teror’ untuk menggunakan nomor telepon dalam melakukan
aksi fitnah, ancaman, maupun penghinaan terhadap orang lain.
Sejauh pengetahuan kami, melacak pelaku ‘teror’ dengan nomor yang tidak diketahui pasti
identitasnya tidaklah mudah. Namun demikian, pelacakan nomor tersebut bukan berarti mustahil
dilakukan. Pada saat pelaku teror SMS mengirimkan SMS fitnah misalnya, lokasiBase Tranceiver
Station (“BTS”) pengirim SMS dapat secara otomatis diketahui berdasarkan data Cell ID (“CID”)
dari nomor handphone pengirim. Cell ID adalah angka unik yang biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi suatu BTS berdasarkan Location Area Code (LAC). Informasi LAC CID
tersebut dapat diperoleh oleh Penegak Hukum secara sah melalui Call Data Record (“CDR”)
yang disimpan oleh setiap operator telekomunikasi untuk periode 3 bulan.Beberapa operator
bahkan menyimpan CDR hingga 6 bulan. Cell IDtersebut biasanya digunakan menjadi bukti
petunjuk untuk mengetahui lokasi dari pengirim SMS. Dari situlah penyidikan dikembangkan
untuk mengungkap pelaku. Metode demikian memang tidak menjamin pelaku akan diketahui,
namun hal tersebut setidaknya dapat dijadikan salah satu cara untuk mengungkap suatu tindak
pidana disamping cara-cara lainnya yang dimiliki oleh Aparat Penegak Hukum.
Saran kami, sebaiknya Anda segera melaporkan permasalahan tersebut kepada penyidik
Kepolisian atau Penyidik Kementerian Kominfo agar dapat ditindaklanjuti.
Bunyi lengkap Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE adalah sebagai berikut:
(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
Ancaman pidana dari kedua pasal tersebut adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [1] UU ITE).
Dasar Hukum Besaran
Honorarium Advokat
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ce66718518de/dasar-hukum-besaran-
honorarium-advokat
Pertanyaan
Perkenalkan saya klien dari seorang lawyer, telah bayar mahal dia diatas 100
juta. Tapi baru timbul dan mau bertanya apa dasar hukum atau besaran standard
untuk tarif bayaran lawyer?
Ulasan Lengkap
Lawyer (Advokat) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU
18/2003.[1]
Mengenai tarif bayaran yang Anda maksud, berdasarkan UU 18/2003 disebut dengan
istilah Honorarium, yaitu imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat
berdasarkan kesepakatan dengan Klien.[2]
Sebagaimana kita perhatikan bahwa terdapat hak untuk menerima Honorarium bagi
Advokat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 sebagai
berikut:
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
Kliennya.
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Klien.[3]
Lalu bagaimana penentuan dasar besaran Honorarium? Anda dapat mengacu ke Pasal
21 ayat (2) UU 18/2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien.[4] Kewajaran tersebut juga memperhatikan
kemampuan finansial Klien dengan tidak membebankan biaya-biaya yang tidak perlu,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d dan e Kode Etik Advokat
Indonesia (“KEAI”) berikut ini:
Pasal 4 KEAI
Kembali ke bunyi Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003 sebelumnya, seolah-olah secara implisit
ditegaskan bahwa penentuan besaran honorarium ada pada kesepakatan antara
Advokat dan Klien. Sehingga bunyi kesepakatan pada perjanjian akan menghasilkan
berapa besaran untuk pembayaran Honorarium atas jasa hukum seorang Advokat.
Dalam artikel Bingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium
Advokat, menurut Binoto Nadapdap dalam buku Menjajaki Seluk Beluk Honorarium
Advokat, bahwa setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode
penghitungannya, ialah:
Memang ada faktor yang menjadikan “standar” sebelum Klien sepakat dengan besaran
Honorarium yang ditawarkan oleh Advokat kepadanya.
Mengambil pendapat Bono Daru Adji sebagai Managing Partner dari firma hukum
Assegaf, Hamzah & Partners pada sumber artikel berita yang sama, ia mengungkapkan
tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat
yang menangani. Bagi Advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif
berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun
berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. Ada international
publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The
Legal 500, Asia Law.
Sehingga faktor penentu besaran Honorarium Advokat agar Klien yakin hingga
mencapai kesepakatan ialah melihat jam terbang yang pernah dilakukan seorang
advokat.
Perbedaan Pro Bono dengan
Bantuan Hukum (Legal Aid)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5cb826745c95d/perbedaan-pro-bono-
dengan-bantuan-hukum-ilegal-aid-i
Pertanyaan
Apakah antara Pro Bono dan Legal Aid merupakan istilah hukum yang sama?
Ulasan Lengkap
Sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel Perbedaan Pro Bono dengan Pro Deo,
pengertian pro bono adalah suatu pemberian layanan/bantuan hukum yang diberikan
secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Pro bonomenurut The Law
Dictionary, yaitu:
A latin term meaning for the public good. It is the provision of services that are free to
safeguard public interest.
Bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro bono) adalah jasa hukum yang diberikan
advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.[2]
Pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang
yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk
menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Termasuk dalam kategori pencari
keadilan tidak mampu adalah orang atau kelompok yang lemah secara sosial-politik,
sehingga kesempatannya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak sama dengan
anggota masyarakat lainnya.[3]
Pelaksanaan pro bono tunduk kepada Kode Etik Advokat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[4] Pemberian pro bono pun tidak terbatas di dalam
ruang sidang/ pengadilan (pada setiap tingkat proses peradilan), tetapi juga dilakukan di
luar pengadilan.[5]
Dalam memberikan pro bono, advokat harus memberikan perlakuan yang samadengan
pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium.[6]
Kewajiban pro bono oleh advokat disebutkan di Pasal 11 Peraturan Peradi 1/2010:
Pro bono dapat dilaksanakan oleh advokat melalui atau bekerjasama dengan lembaga-
lembaga bantuan hukum.[7]
Free or inexpensive legal services provided to those who cannot afford to pay full price.
Legal aid atau dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum (“UU 16/2011”) dikenal dengan istilah bantuan hukum yaitu
jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
penerima bantuan hukum.
Dalam artikel Bedakan, Tak Semua Bantuan Hukum Bisa Disebut Pro
Bonodijelaskan bahwa pengaturan bantuan hukum (legal aid) tertuang dalam UU
16/2011, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (“PP
42/2013”), dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di
Pengadilan (“Perma 1/2014”).
Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum (“LBH”) atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU
16/2011.[8] Sedangkan yang disebut dengan penerima bantuan hukumadalah orang
atau kelompok orang miskin.[9]
Pemberian bantuan hukum dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum, yang harus
memenuhi syarat yang meliputi:[10]
a. berbadan hukum;
b. terakreditasi;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program bantuan hukum.
Pada pelaksanaannya, bantuan hukum dibiayai oleh negara melalui APBN yang
dialokasikan pada anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi.[12]
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Bedakan, Tak Semua Bantuan Hukum
Bisa Disebut Pro Bono, memberikan bantuan bantuan hukum secara cuma-cuma atau
pro bono dinyatakan wajib oleh UU 18/2003 bagi profesi advokat. Ketentuan lebih lanjut
bahkan diatur dengan Peraturan Pemerintah PP 83/2008 dan Peraturan Peradi 1/2010.
Menurut Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) “Rumah Bersama
Advokat”, Luhut M.P. Pangaribuan, hal mendasar yang perlu diingat baik-baik para
advokat Indonesia bahwa bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) memiliki kriteria
tersendiri. Harus dibedakan antara pro bono dengan program bantuan hukum (legal aid)
lainnya. Lebih lanjut, Luhut menjelaskan bahwa bantuan hukum merupakan derma
atau kebijakan bidang kesejahteraan sosial dari pemerintah, sementara pro bono
berasal dari value system para advokat yang harus menjaga kehormatan
profesinya itu.
Lebih lanjut Luhut mengatakan bahwa advokat yang menangani perkara di organisasi
bantuan hukum atau Pos Bantuan Hukum (“Posbakum”) tidak dihitung dalam pro bono.
Masih dari sumber yang sama, Patra M. Zen yang pernah bergiat dalam jaringan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengakui bahwa konsep pro
bono di Indonesia berbeda dengan di negara lain. Di beberapa negara lain tidak
dibedakan antara pro bono dengan bantuan hukum, tapi di Indonesia, dalam aturan dan
praktik dibedakan.
Sebagai salah satu perumus UU 16/2011, Patra mengatakan bahwa rujukan soal pro
bono adalah UU 18/2003, sedangkan pemberian bantuan hukum (legal aid) mengacu
UU 16/2011. Perbedaan berikutnya, pemberian bantuan hukum (legal aid)
diselenggarakan oleh organisasi bantuan hukum ataupun organisasi kemasyarakatan
dengan program bantuan hukum. Mereka tunduk pada kriteria dan syarat pada UU
16/2011. Sedangkan pro bono kewajibannya melekat pada individu advokat.
Dasar Hukum:
https://thelawdictionary.org/
Meskipun kewajiban pro bono adalah tanggung jawab moral, Asep melihat
bahwa strategi untuk membudayakannya perlu menjadi perhatian. Bentuk
yang paling tepat adalah insentif ketimbang paksaan untuk melakukan
apalagi memberikan sanksi jika lalai.
Selain itu Anggara juga mengusulkan agar pelaksanaan pro bono dengan
bantuan hukum dari pemerintah tidak dipisahkan. Menurutnya persoalan
yang utama adalah tersedianya layanan akses kepada keadilan bagi
masyarakat miskin.
Baca:
Benang Kusut Pro Bono Advokat, Pro Deo Pengadilan, dan Bantuan
Hukum Pemerintah
Tangani Kasus Perempuan Sebagai Korban, Advokat Perlu Perspektif Ini
Dilema Advokat Menjalankan Pro Bono, Adakah yang “Gratis”?
Pro bono, pro deo, dan bantuan hukum secara cuma-cuma kerap kali
dianggap sama oleh masyarakat. Kalangan praktisi hukum pun sering
tidak bisa membedakannya dengan jelas. Apalagi melaksanakannya
secara tepat untuk pihak yang berhak. Persoalan ini menjadi diskusi serius
dalam merumuskan panduan pro bono advokat yang diselenggarakan The
Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7) lalu.
Para peserta diskusi terarah mengungkapkan setidaknya ada tiga undang-
undang yang menyebutkan soal pemberian bantuan hukum secara
gratis. Pertama, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 56 KUHAP mengatur soal bantuan hukum secara cuma-
cuma bagi kalangan tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau
lebih berat.
Bantuan tersebut diberikan oleh penasihat hukum atas dasar penunjukkan
pejabat di tingkat penyidikan atau pengadilan. KUHAP memberikan
definisi penasihat hukum sebagai seorang yang memenuhi syarat atas
dasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Belum dikenal
istilah advokat dalam KUHAP saat itu.
Kedua, Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat)
yang menyebutkan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kewajiban
profesi ini melekat pada setiap individu advokat.
Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 83 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma (PP Bantuan Hukum Cuma-cuma). Selain itu Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) juga menerbitkan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma.
Ketiga, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan
Hukum). Undang-undang ini hadir atas dasar tanggung jawab negara
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang miskin.
Tujuannya sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Ketentuan lebih
lanjut diatur dalam PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP
Bantuan Hukum).
Ketiga undang-undang ini ternyata tidak semuanya menjadi landasan soal
pro bono advokat. Saor Siagian, salah satu pengurus Peradi ‘Rumah
Bersama Advokat’ menekankan bahwa pro bono adalah bantuan hukum
gratis dari advokat secara murni tanpa didanai oleh pemerintah. Ia
membedakan bantuan hukum dalam KUHAP dan UU Bantuan Hukum
karena ada pendanaan dari pemerintah untuk advokat yang terlibat
memberikan jasa hukum.
Peserta diskusi lainnya, Asep Ridwan, menyampaikan pendapat yang
sama. “Dalam pemahaman kami, pro bono memang tidak ada bayaran
sepeser pun. Ini bagian dari kewajiban moral,” kata Partner di firma
Assegaf Hamzah & Partners ini.
(Baca juga: Perbedaan Pro Bono dengan Bantuan Hukum (Legal Aid)).
Rezim UU Bantuan Hukum yang mengatur pendanaan pemerintah pada
bantuan hukum gratis menjadi salah satu poin diskusi. Sebagian peserta
merasa konsep pro bono sebagai tanggung jawab profesi advokat menjadi
campur aduk dengan konsep bantuan hukum sebagai tanggung jawab
negara.
Pro bono, pro deo, legal aid
Kata pro bono atau secara lengkap pro bono publico berasal dari Bahasa
Latin yang artinya for the public good (untuk kepentingan masyarakat
umum). Penjelasan ini ditemukan dalam laman Black's Law
Dictionary Free Online Legal Dictionary.
Deklarasi Internasional tentang pro bono yang digagas oleh International
Bar Association pada 16 Oktober 2008 menyatakan hal serupa: "Pro bono
is derived from the Latin phrase pro bono publico, which refers to work or
actions carried out for the public good".
Istilah pro bono publico memiliki makna sebagai sebuah penyediaan
layanan yang cuma-cuma/gratis untuk kepentingan umum/publik. Kamus
Besar Bahasa Indonesia daring pun telah memuat lema pro bono publico
dengan makna untuk untuk kebaikan umum.
Sementara itu, bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara dianggap
berasal dari konsep legal aid. Penjelasan soal itu ditemukan masih dalam
laman Black's Law Dictionary Free Online Legal Dictionary, edisi
kedua. "Free or inexpensive advice, assistance, or representation
concerning the law. Given to those cannot afford it, based on jurisdictional
criteria".
Berbeda dari pro bono, pemberian bantuan hukum menekankan kriteria
berdasarkan regulasi di masing-masing yurisdiksi. Itu sebabnya ada
pendanaan dari pemerintah dalam pelaksanaan bantuan hukum.
Sementara itu pro bono sebagai kewajiban profesi advokat cukup
memperhatikan adanya kepentingan masyarakat umum untuk dibantu.
Masih ada satu konsep lagi yang muncul dalam diskusi soal bantuan
hukum secara gratis. Para peserta dari kalangan hakim membedakan
konsep pro deo yang saat ini diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Selain advokat dan staf Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM, hadir pula Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. “Pro deo itu membebaskan biaya
perkara untuk masyarakat tidak mampu, dengan surat keterangan tidak
mampu dari pejabat berwenang,” kata Syahlan, Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, kepada hukumonline.
Lema pro deo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk kata
serapan dari bahasa latin yang berarti untuk Tuhan; dengan cuma-cuma;
gratis. Perma No. 1 Tahun 2014 tersebut tidak menggunakan istilah
bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun intinya menyediakan layanan
hukum bagi masyarakat tidak mampu secara gratis.
Pasal 6 Perma No.1 Tahun 2014 menyatakan seluruh biaya layanan
dibebankan pada negara melalui anggaran Mahkamah Agung. Selain itu,
layanan hukum tersebut ternyata tidak hanya pembebasan biaya perkara.
Ada layanan posbakum yang tersedia di setiap pengadilan.
Pasal 29 Perma tersebut menyebutkan bahwa Pengadilan memberikan
imbal jasa untuk advokat yang bekerja di posbakum. Tugasnya adalah
memberikan informasi, konsultasi, dan nasehat hukum. Termasuk pula
pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan masyarakat tidak
mampu dalam berperkara.
Mengacu pengaturan tersebut, ternyata advokat pun terlibat dalam
membantu masyarakat tidak mampu yang sedang berperkara di
pengadilan lewat posbakum. Hanya saja mereka mendapatkan imbal jasa
yang dibayarkan oleh pengadilan dari anggaran Mahkamah Agung.
Draft panduan pro bono yang didiskusikan berusaha mengusulkan secara
jelas kriteria pro bono yang dilakukan advokat. Pertama, aktivitas pro bono
meliputi seluruh wilayah kegiatan pelayanan hukum. Artinya tidak terbatas
pada mewakili kepentingan klien dalam proses peradilan, tetapi meliputi
seluruh urusan hukum bekerja.
Mulai dari penelitian hukum, pendidikan hukum, legislasi hukum atau
pemberdayaan hukum bisa diakui sebagai bentuk pro bono. Dalam hal ini
advokat pro bono dapat mengambil perannya dari hulu hingga ke hilir
sepanjang hukum itu sendiri bekerja.
(Baca juga: Syarat untuk Memperoleh Bantuan Hukum).
Kedua, ada beberapa kondisi yang diusulkan tidak dapat dihitung sebagai
pro bono. Misalnya memberikan bantuan hukum kepada orang lain secara
gratis tanpa mengukur kondisi kemiskinan penerima atau apakah
perkaranya berdampak pada kepentingan umum.
Pelayanan jasa hukum yang masih menerima imbal jasa apapun juga
dianggap bukan pro bono. Apalagi jika bantuan hukum dibiayai oleh
negara. Bahkan advokat yang berdonasi untuk membiayai kegiatan pro
bono pun dianggap bukan sedang melakukan pro bono.
Upaya Mengungkap Pemilik
Korporasi Sesungguhnya Oleh:
Bagus Aidtya*)
Perpres 13/2018 secara umum telah secara baik mendiskusikan
bagaimana cara mengidentifikasi siapa pemilik perusahaan yang
sesungguhnya. Tetapi, harus diakui masih terdapat beberapa masalah
yang cukup krusial pada beberapa pengaturannya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d280d5951fca/upaya-mengungkap-pemilik-
korporasi-sesungguhnya-oleh--bagus-aidtya?utm_source=dable
Hal yang menjadi tren dalam skala global saat ini adalah adanya
peningkatan upaya untuk menjadikan suatu bisnis menjadi lebih
transparan dengan tujuan untuk menanggulangi upaya pencucian uang
dan pendanaan kegiatan terorisme. Presiden Joko Widodo, pada tahun
2018, menetapkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam
Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018). Dalam
peraturan tersebut korporasi diwajibkan untuk melaporkan siapa Pemilik
Manfaat dari korporasi.
Kemudian, beberapa waktu lalu terbit Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi
(Permenhukham 15/2019) sebagai peraturan pelaksana dari Perpres
13/2018.
Penilaian Subjektif
Tidak dapat dihindari bahwa penentuan terhadap beberapa kriteria Pemilik
Manfaat sebagaimana diatur dalam Perpres 13/2018 dan Permenhukham
15/2019 memerlukan penilaian yang subjektif.
Kesimpulan
Artikel ini mencoba untuk mengidentifikasikan beberapa masalah penting
seputar ketentuan mengenai keterbukaan informasi Pemilik Manfaat atas
korporasi terutama yang terkait dengan perseroan terbatas. Isu yang
penulis temukan adalah terkait dengan kualitas informasi yang diberikan,
risiko atas akses data pribadi, dan penilaian subjektif terhadap penentuan
kriteria Pemilik Manfaat.
*)Bagus Aditya SH, LL.M adalah Konsultan Hukum pada sebuah kantor
hukum di Jakarta Selatan.
Marak Praktik Ilegal, Perlukah
UU Khusus Mengatur Fintech?
UU ITE dinilai belum melindungi data digital pribadi para pengguna
ekonomi digital seperti e-commerce atau e-payment.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c9904b58ae/marak-praktik-ilegal--perlukah-
uu-khusus-mengatur-fintech?&utm_source=dable
Menurutnya, saat ini regulator seperti OJK belum memiliki payung hukum
kuat dalam menindak fintech ilegal. Sehingga, tindakan yang diambil OJK
saat ini bersifat pemblokiran karena tidak ada UU Fintech tersebut.
1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pentingnya Aturan Trust Bagi
Perkembangan Industri Fintech
Agar industri fintech dapat berkembang pesat, maka diperlukan
landasan hukum yang kuat sehingga tercipta keamanan bagi pemberi,
pengguna dan pengelolanya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1b5111945b0/pentingnya-aturan-trust-bagi-
perkembangan-industri-fintech?utm_source=dable
“Di masalah kedua ini, yang sering kita khawatirkan adalah jangan sampai
dikasih pinjaman uang, kemudian dibawa kabur uang itu,” kata Hendrikus
saat berbincang dengan Hukumonline, akhir Juni lalu.
Baca:
Mencari Regulasi Ideal Industri Fintech P2P
Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech
Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech
Abi berpendapat bahwa fintech yang dimaksud pada masa kini telah
mengembangkan berbagai produk serupa perbankan dan jasa keuangan
lainnya yang lebih efisien. Sehingga akhirnya menghasilkan industri
tersendiri yang produknya beririsan dengan komoditas berbagai lembaga
keuangan konvensional. Meskipun adapula produk dari
industri fintech yang menggandeng produk dari lembaga keuangan
konvensional seperti perusahaan perbankan, investasi, dan
perasuransian.
Industri fintech ini terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap
perkembangan dengan bergantung suntikan dana investor. Tentunya, para
investor menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal
berdasarkan berbagai regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan
kepercayaan pengguna fintech dalam hal perlindungan konsumen,
berbagai produk fintech juga membutuhkan pengakuan dari regulator.
Peluang Besar Jasa Konsultan
Hukum dalam Industri Fintech
Konsultan hukum berperan memastikan rencana investor tersebut
sesuai dengan aturan main di Indonesia. Selain itu, konsultan hukum
juga dapat mendampingi pelaku usaha saat berhadapan dengan
regulator untuk memperoleh perizinan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d116cf7344bf/peluang-besar-jasa-konsultan-
hukum-dalam-industri-fintech
Di tengah kondisi ini, tidak hanya membuka peluang dari sisi bisnis fintech,
ternyata jasa konsultan hukum sangat dibutuhkan dari hulu hingga hilir
industri ini. Konsultan hukum memainkan peranan penting untuk
membantu investor memahami aturan main industri fintech di Indonesia.
Sebab, investor membutuhkan konsultan hukum yang dapat memberi
masukan sehingga kegiatan bisnis suatu perusahaan sesuai dengan
aturan yang berlaku.
“Dalam 5-10 tahun lalu, kita belum kenal industri ini namun dalam waktu
singkat sudah jadi bagian masyarakat. Lalu, apa artinya bagi konsultan
hukum? Dengan perkembangan signifikan banyak uncertainty dan
kebijakan mengambang sehingga ini jadi ruang bagi konsultan hukum agar
pelaku usaha dapat kepastian hukum,” jelas Abi.
Menurutnya, salah satu kebutuhan fintech terhadap pasar modal yaitu
dalam pemunuhan kebutuhan perizinan. Konsultan hukum berperan
memastikan rencana investor tersebut sesuai dengan aturan main di
Indonesia. Selain itu, konsultan hukum juga dapat mendampingi pelaku
usaha saat berhadapan dengan regulator untuk memperoleh perizinan.
Tren paling penting dicermati saat ini yaitu perusahaan fintech semakin
ekspansif kegiatan bisnisnya. Abi menjelaskan perusahaan fintech
mengarah pada akusisi, merger, pendanaan hingga penawaran saham
publik (initial public offering/IPO). “Sehingga, potensi kerja konsultan
hukum sangat besar,” jelasnya.
Menurut Abi, penting bagi konsultan hukum memahami hukum dan bisnis
industri fintech. Sebab, terdapat perbedaan signifikan antara fintech
dengan jasa keuangan konvensional. Dia juga mengimbau agar konsultan
hukum meningkatkan kapasitasnya dengan mempelajari dinamika fintech
di yurisdiksi lain. Menurutnya, peningkatan kompetensi tersebut seiring
pertambahan minat investor asing menanamkan modal pada sektor
fintech.
“Majelis etika ini bertugas memberi sanksi pada anggota yang melanggar
aturan dan pedoman perilaku,” jelas Kuseryansyah.
Dia juga menyampaikan saat ini asosiasi, pemerintah dan aparat penegak
hukum kesulitan memberantas fintech ilegal. Hal ini disebabkan mudahnya
fintech ilegal membuat aplikasi layanan baru setelah ditutup regulator.
Sehingga, dia mengimbau agar masyarakat lebih hati-hati sebelum
melakukan pinjaman online tersebut.
“Jumlah fintech lending ilegal yang beredar masih banyak. Kami mohon
masyarakat tetap waspada dan berhati-hati sebelum memilih perusahaan
fintech lending. Gunakan fintech lending yang sudah terdaftar di OJK
sebanyak 106 perusahaan,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi,
Tongam L. Tobing, (Senin (29/4), ketika dikonfirmasi.
Tidak hanya fintech ilegal, ternyata kegiatan usaha investasi ilegal juga
terus bermunculan. Sebelumnya pada 24 April, Satgas Waspada Investasi
juga menghentikan 73 kegiatan usaha yang diduga melakukan kegiatan
usaha tanpa izin dari pihak berwenang dan berpotensi merugikan
masyarakat. Sehingga, total kegiatan usaha yang diduga merupakan
investasi ilegal dan dihentikan Satgas Waspada Investasi selama tahun
2019 sejumlah 120 entitas.
1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Uniknya, berbagai kasus investasi ilegal ini paling rentan terjadi di daerah
perkotaan besar seperti Jakarta yang seharusnya memiliki pemahaman
lebih mengenai literasi keuangan. Ketua Satgas Waspada Investasi,
Tongam Lumban Tobing, menjelaskan masyarakat perkotaan rentan
terjadi karena mayoritas perputaran modal terjadi di wilayah perkotaan.
Sehingga, masyarakat perkotaan justru lebih rentan dibanding pedesaan.
Kiat untuk mengenali investasi berizin antara lain, masyarakat diminta teliti
terhadap legalitas lembaga dan produk yang ditawarkan dalam
berinvestasi. Kemudian, perlu memahami proses bisnis yang ditawarkan.
Masyarakat juga harus mengetahui manfaat dan risiko dari produk yang
diinvestasikan. Lalu, masyarakat juga harus memahami hak dan kewajiban
sebagai investor.
“Saat ini, sangat mudah buat aplikasi. Lalu, pinjaman online ini sangat
diminati masyarakat Indonesia khususnya bependapatan menengah
bawah. Kami hanya bisa memblokir secara rutin,” kata Tongam.
Risiko dari pinjaman online ilegal ini antara lain jeratan bunga pinjaman
yang tinggi. Selain itu, pencurian data pribadi hingga penagihan intimidatif
dan pelecehan seksual juga dilakukan entitas fintech ilegal tersebut.
Fintech jenis lainnya yang berkembang di dunia antara lain, Robo advisor,
Blockchain, Information and Feeder Site, dan lain-lain.
Seluruh Fintech tersebut memberikan kemudahan bagi konsumen
keuangan untuk membeli dan menggunakan produk dan jasa keuangan
pada saat ini.
Sumber: OJK
Sumber: OJK
Pengawasan
Bagi advokat yang fokus pada perkara penanganan perlindungan
konsumen, David Tobing, selayaknya perkembangan industri yang
berbasis teknologi dapat memberikan kemudahan dan keamanan bagi
konsumen. Jika kemudahan tidak diimbangi dengan keamanan maka akan
muncul konflik seperti yang sedang terjadi saat ini.
Meski OJK telah mengeluarkan regulasi terkait pinjaman online ini, namun
sayangnya regulasi tersebut hanya berlaku bagi fintech peer-to-peer yang
sudah terdaftar di OJK. Menurut David, mayoritas pokok permasalahan
yang terjadi justru melibatkan pelaku usaha pinjaman online ilegal dan
konsumen. Dalam hal ini, David menilai pemerintah terkesan terlambat
dalam pengawasan dan penindakannya. Bahkan tak jarang, aplikasi yang
sudah diblokir akan muncul kembali dengan nama yang berbeda.
“Jadi dalam hal ini bagaimana supaya tidak banyak orang jahat merugikan
pengguna internet, ya itu harus benar-benar diawasi,” tambahnya.
Sebelum memutuskan sepakat dengan perjanjian yang ditawarkan oleh
pihak pinjaman online, David mengingatkan konsumen harus membaca isi
perjanjanjian secara detail. Konsumen harus berhati-hati terhadap
penawaran yang menggiurkan, namun penuh dengan jebakan-jebakan
yang merugikan.
“Kalau sudah meyangkut fisik atau psikis, itu tentu sudah bisa dilaporkan
kepada pihak yang berwajib. Kalaupun mau melakukan gugatan karena
mengalami kerugian ya harus dibuktikan dia mengalami kerugian apa.
Kalau akibat cara penagihan atau data dibuka, foto di hp tersebar dari itu
bisa dituntut,” tegasnya.
Atas kondisi tersebut, Abi yang juga merupakan salah satu anggota
Komite Etik AFPI menilai perlu ada koordinasi antara OJK dengan asosiasi
dalam penyusunan regulasi tersebut. Sehingga, setiap ketentuan yang
disusun dapat diimplementasikan para penyelenggara fintech P2P.
Wakil Ketua Bidang Riset, Hukum dan Etika AFPI, Ivan Tambunan,
menyatakan pihaknya sedang menyempurnakan regulasi fintech P2P.
Salah satu yang jadi fokus sehubungan dengan batasan maksimal
pinjaman. Dia mengusulkan agar batasan pinjaman tersebut ditingkatkan
menjadi Rp 10 miliar.
“Kami sekarang lagi mendekati OJK agar batasan pinjaman tersebut dapat
ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar. Batasan ini agar disamakan dengan
industri equity crowdfunding. Saat ini, kebutuhan (pendanaan) keseluruhan
debitur jadi enggak bisa terpenuhi,” jelas Ivan.
Pertanyaan
Saya ingin bertanya, apa perbedaan fintech dan inovasi keuangan digital?
Apakah POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang inovasi keuangan digital di
sketor jasa keuangan ada kaitanya dengan POJK nomor 77/POJK.01/2016
tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi? Apabila
perusahaan pembiayaan ingin melakukan inovasi keuangan digital, apa
kemungkinan kerugian yang akan dialaminya?
Ulasan Lengkap
Untuk pertanyaan ini, akan dijawab satu per satu sesuai dengan topik yang
bersangkutan.
Inovasi Keuangan Digital (“IKD”) merupakan terminologi yang digunakan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (“OJK”) pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa
Keuangan (“POJK 13/2018”). POJK 13/2018 mendefinisikan IKD sebagai aktivitas
pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai
tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.[1]
Mudahnya, IKD merupakan sebutan dari OJK bagi Fintech.[2] Kemudian, apakah ada
hubungan antara IKD dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (“POJK 77/2016”)?
Jawabannya adalah ada dan sangat erat. IKD sebenarnya berfungsi sebagai wadah
pertama bagi ekosistem Fintech baru dengan menggunakan apa yang disebut
sebagai Regulatory Sandbox.[3]
Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk
menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola
penyelenggara.[4]
Melalui regulatory sandbox, OJK akan mengawasi pelaku fintech model baru yang
belum diakomodasi oleh kerangka hukum manapun, contohnya
adalah insurtech atau smart contract. Jika telah ada peraturan spesifik yang mengatur,
maka pelaku fintech tersebut akan keluar dari regulatory sandbox dan harus tunduk
pada kerangka hukum yang lebih spesifik.
POJK 77/2016 sendiri sebenarnya adalah kerangka hukum bagi fintech jenis Peer-to-
Peer Lending (“P2PL”) yang mana sebenarnya adalah model fintech yang lebih
spesifik.[6] Akan tetapi, patut diingat bahwa POJK 77/2016 telah keluar lebih dahulu
sebelum POJK 13/2018, sehingga pelaku P2PL tidak mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti regulatory sandbox dan langsung wajib tunduk dengan POJK 77/2016.
Ulasan selengkapnya tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (P2PL) dapat Anda simak dalam artikel Dasar Hukum Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Apa saja risiko yang dihadapi oleh penyelenggara IKD? Menurut hemat kami, tentunya
banyak risiko, beberapa di antaranya:
1. Risiko bisnis, karena sifat dari IKD sendiri yang harus inovatif, maka tahap
perkembangan awal menjadi sangat menentukan apakah IKD yang dikembangkan akan
sukses atau tidak;
2. Risiko hukum, dimana ada kemungkinan IKD yang dibuat akan dikeluarkan peraturan
yang bersifat spesifik (seperti P2PL dan Equity Crowdfunding), maka dengan demikian
perusahaan pembiayaan terkait wajib untuk mengikuti kerangka hukum yang baru; dan
3. Risiko teknologi informasi, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kebocoran data
yang menyebabkan hilangnya trust dari masyarakat.
Dasar Hukum :
Referensi:
[7] Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) POJK 35/2018. Lihat juga Pasal 1 angka
4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan
“Peran legal untuk mengedukasi secara hukum seperti apa dan turunan
hukumnya juga bagaimana? Setiap institusi seperti BI dan OJK sangat
sadar mengenai blockchain ini karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai
hal seperti remitence dan transaksi peer to peer,” jelas Edward dalam
Diskusi Computational Law and Blockchain Festival Jakarta di Kantor
Hukumonline, Kamis (28/3).
Seseorang tidak dapat memilih kombinasi angka dan huruf untuk address
yang ia gunakan, karena ditentukan random oleh jaringan blockchain itu.
Sehingga, Sehingga, tidak diketahui identitas seseorang karena akunnya
terdiri dari sebuah kombinasi huruf dan angka random.
Atas rencana tersebut, Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas mata uang
menyatakan pihaknya sedang mempelajari mata uang kripto Libra ini.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Onny Widjanarko,
menyatakan mata uang Libra ini merupakan produk baru sehingga perlu
kajian lebih mendalam dibandingkan mata uang kripto yang telah beredar.
Bahkan, Onny juga belum dapat menjelaskan mengenai risiko dari mata
uang Libra ini. “Ini (Libra) produk baru yang perlu dipelajari dan dipahami
dahulu. Apalagi barangnya belum ada dan baru plan,” jelas Onny, Rabu
(19/6).
Bambang juga menilai penggunaan mata uang kripto ini juga menimbulkan
permasalahan hukum. Selain itu, terdapat juga risiko moneter, persaingan
usaha, perlindungan data pribadi hingga pencucian uang.
“Menurut saya nanti peredaran Libra sulit dilarang karena jika dilarang
maka pemerintah harus melarang google pay, apple pay. Jadi menurut
saya pemerintah harus memiliki kebijakan dengan mewajibkan
penggunaan bank di Indonesia dalam aktiviras transaksi Libra nantinya.
Jadi, sistem pembayaran Rupiah juga bisa menggunakan
teknologi blockchain,” jelasnya.
Pertanyaan
Sejauh mana pencegahan penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan
penyelenggara fintech perihal terjadi penyalahgunaan data pribadi untuk
meminjam uang? (Contoh menggunakan data orang lain untuk meminjam uang
di fintech). Adakah upaya yang bisa dilakukan jika
penyelenggara fintech menyalahgunakan data pribadi tanpa izin?
Ulasan Lengkap
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Aturan dan Risiko Bisnis Inovasi
Keuangan Digital, fintech (Financial Technology) secara umum dapat diartikan sebagai
penggunaan teknologi pada sektor jasa keuangan yang digunakan
untuk mengembangkan dan mengotomatisasikan penyerahan dan penggunaan jasa
keuangan. Penekanan di sini diberikan pada pengembangan, atau dapat juga dengan
inovasi, dari jasa keuangan itu sendiri, sehingga penggunaan teknologi yang tidak
mengembangkan atau juga tidak bersifat inovasi tidak dapat dianggap sebagai Fintech
(contoh: internet banking, digital banking, dll).
Kedua jenis perjanjian di atas dituangkan dalam dokumen elektronik, yang paling sedikit
memuat:[4]
Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga
kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.[5] Data perseorangan tertentu adalah
setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik
langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu yang pemanfaatannya
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]
Perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan pada saat:[8]
Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung harus diverifikasi ke
pemilik data pribadi. Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara tidak langsung
harus diverifikasi berdasarkan hasil olahan berbagai sumber data.[9]
Untuk melakukan perolehan dan pengumpulan data pribadi, pihak fintech wajib
melakukannya berdasarkan persetujuan atau peraturan perundang-undangan, dengan
cara menyediakan formulir persetujuan dalam Bahasa Indonesia untuk meminta
persetujuan dari pemilik data pribadi yang dimaksud.[13]
Perolehan dan pengumpulan data pribadi dibagi menjadi dua, yakni secara langsung
dan secara tidak langsung.
Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung harus diverifikasi ke
pemilik data pribadi.[14] Sedangkan data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan
secara tidak langsung harus diverifikasi berdasarkan hasil olahan berbagai sumber data
dan memiliki dasar hukum yang sah.[15]
Terkait dengan pertanyaan Anda, data pribadi orang lain kami asumsikan menggunakan
identitas orang lain sebagai dasar untuk melakukan pinjaman
kepada fintech. Pihak fintech tentunya harus dengan cermat melakukan verifikasi bahwa
data yang digunakan adalah data yang otentik. Sehingga di sini dapat mencegah
penyalahgunaan data pribadi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hendri Sasmita Yuda, Pemerhati Kebijakan
Telematika, bahwa dalam menentukan data pribadi tidaklah mudah, ada proses-proses
yang harus dilalui. Termasuk identifikasi dan verifikasi, terkait hal itu dalam
memberitahukan pihak yang bersangkutan harus dilakukan dengan jelas, dan untuk apa
data pribadi itu digunakan. Dalam fintech tentunya penyelenggara harus melakukan apa
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dalam melakukan pencegahan
penyalahgunaan data pribadi.
Disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”):
Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) UU
19/2016 dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.[17]
a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala
macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa
tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan
pribadi dan data seseorang.
PMH diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”) yang berbunyi:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.
Selain itu, atas pelanggaran ketentuan perlindungan data pribadi menurut Pasal 36 ayat
(1) Permenkominfo 20/2016 dapat diberikan sanksi sanksi peringatan lisan maupun
tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha dan/atau diumumkan melalui situs
dalam jaringan (website online), berikut bunyi pasal selengkapnya:
a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pengumuman di situs dalam jaringan (website online)
Hal senada juga disampaikan dalam artikel Kenali Batasan Pemanfaatan Data Pribadi
Konsumen Agar Terhindar dari Jerat Hukum, bila terjadi penyalahgunaan data
pribadi atau bahkan perusahaan penyedia sistem ‘gagal’ dalam melindungi data pribadi
pengguna, ada dua langkah hukum yang bisa dilakukan pengguna. Pertama, pengguna
dapat mengajukan complain ke Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia (“Kominfo”) dengan dasar bahwa penyedia sistem informasi elektronik telah
gagal melindungi data pribadi pengguna. Dalam konteks upaya hukum yang ditempuh
adalah complain, maka unsur kerugian yang dihasilkan dalam kasus pelanggaran data
pribadi yang terjadi tak perlu dibuktikan. Adapun sanksi atas pelanggaran ketentuan
perlindungan data pribadi, diatur dalam Pasal 36 Permenkominfo 20/2016, yakni berupa
sanksi peringatan lisan maupun tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha
dan/atau diumumkan melalui situs dalam jaringan (website online). Hanya saja jika
pengguna menghendaki adanya ganti kerugian, lebih tepatnya bisa menempuh
langkah kedua, yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan.
Catatan:
Pendapat Hendri Sasmita Yuda, S.H., M.H, CLA dikutip dalam Pelatihan Hukumonline
2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic Dalam Sistem Hukum
Indonesia (Angkatan Keenam), Rabu 23 Januari 2019.
[4] Pasal 19 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) POJK 77/2016
Pertanyaan
Apakah sudah ada aturan dan sudah legal mengenai aplikasi yang memberikan
layanan pinjam uang seperti Kredit Gogo, Halo Money dll. Di beberapa media,
aplikasi seperti ini diatur dalam aturan fintech. Apakah OJK mengatur bahwa
aplikasi tersebut memiliki batasan jumlah uang yang bisa dipinjam?
Ulasan Lengkap
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita mengacu pada aturan mengenai layanan pinjam
uang berbasis aplikasi atau elektronik yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”).
Menurut Pasal 3 ayat (1) huruf e Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial(“POJK 19/2017”) bahwa
layanan pinjam uang berbasis aplikasi atau teknologi informasi merupakan salah satu
jenis Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Fintech) kategori Jasa
Keuangan/Finansial Lainnya.[2]
Hal senada juga disampaikan dalam artikel Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak
Berpraktik ‘Shadow Banking’, hadirnya fintech khususnya model bisnis layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Peer to Peer Lending), dapat
memangkas proses panjang dalam mengajukan kredit. Ketua Dewan Komisioner OJK,
Wimboh Santoso mengatakan bahwa hadirnya fintech yang berkembang cepat/pesat
memerlukan kebijakan yang cepat dan tepat dari regulator. Setelah melihat pesatnya
penyelenggara Peer to Peer Lending, OJK buru-buru mengeluarkan payung
hukum lewat POJK 77/2016.
Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas dapat didirikan dan dimiliki
oleh:[4]
Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85%.[5]
Modal
Kegiatan Usaha
Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjamankepada
pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi
Pinjaman.[8]
1. Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang
mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
2. Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang
karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Untuk menjawab pertanyaan Anda terkait batasan jumlah uang yang bisa dipinjam
melalui penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, Pasal 6 POJK 77/2016 mengatur sebagai berikut:
Jadi memang ada batasan jumlah pinjaman yang ditetapkan OJK dalam
penyelenggaraan layanan pinjaman berbasis aplikasi, yaitu maksimum Rp 2 miliar.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
[2] Pasal 3 ayat (1) huruf e POJK 19/2017 jo. Pasal 2 ayat (1) POJK 77/2016
Salah satu aturan yang diterbitkan OJK adalah Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang mewajibkan
Penyelenggara/platform fintech lending untuk mengedepankan
keterbukaan informasi terhadap calon pemberi pinjaman dan peminjamnya
agar dapat menilai tingkat risiko peminjam dan menentukan tingkat bunga.
“Jadi mereka membuat aplikasi di situs, appstore gawai tanpa memiliki izin
atau terdaftar di OJK,” kata Tongam.
Sumber: OJK
Kewajiban CDD/EDD
Analis Eksekutif Senior pada Fungsional Pengendalian Kualitas dan
Monitoring Pengawasan Sektoral-Grup Penanganan APU PPT Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), Dewi Fadjarsarie Handajani, menjelaskan ada
beberapa pembagian kewajiban pelaksanaan uji tuntas customer oleh
PJK fintech, yakni CDD(customer due diligence) secara sederhana dan
EDD (enhance due diligence). CDD sederhana, wajib dilakukan
PJK fintech terhadap kostumer berisiko rendah TPPU/TPPT, sedangkan
EDD wajib dilakukan terhadap nasabah/kostumer berisiko tinggi.
Proses CDD dan EDD tersebut masuk dalam skema pelaksanaan APU
PPT sebagaimana diatur dalam POJK No. 12 Tahun 2017 tentang
Penerapan Program APU PPT di SJK. Penting dicatat, Dewi menyebut
implementasi kewajiban APU PPT khusus untuk fintech P2P Lending baru
mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang. “Tujuannya untuk memberikan
keleluasaan dulu untuk industri yang baru tumbuh ini,” ungkap Dewi.
“Kira-kira begitu. Karena risiko itu juga bergantung pada nominal, setelah
itu baru dilakukan monitoring. Disitu dapat dilihat bahwa yang
namanya risk base approach itu enggak serta merta semuanya dipukul
rata. Bisa dilihat sesuai dengan profilnya,” jelas Dewi.
Selain dilihat dari nominal transaksi, kategori AML high risk dapat juga
dilihat dari seberapa besar perusahaan, bentuk perusahaan
(yayasan/Koperasi/PT),profil nasabah, lokasi daerah, bidang layanan
korporasi hingga Beneficial Owner (pemilik manfaat sebenarnya/BO) dari
korporasi tersebut.
Terhadap PEP asing, selain menerapkan CDD, PJK fintech juga perlu
melakukan EDD secara berkala, setidaknya dengan melakukan analisis
terhadap informasi mengenai nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner), sumber dana dan sumber kekayaan. Bahkan bila PJK fintech
melakukan hubungan usaha atau transaksi yang berasal dari Negara
berisiko Tinggi (high risk countries) yang dipublikasikan oleh FATF,
maka penting diambil langkah pencegahan (countermeasures). Disitu, PJK
tak sekedar diwajibkan melakukan EDD, namun juga harus meminta
konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas yang berwenang.
“Jadi tetap pelaporan TKM harusnya ke PPATK, karena PPATK lah yang
merupakan tempat untuk mengkonfirmasi TKM,” ungkapnya.
Bila merujuk definisi PJK pada Pasal 1 ayat (4) Perka PPATK No. PER-
09/1.02.2/PPATK/09/12 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan
Tunai Bagi Nasabah Penyedia Jasa Keuangan, memang P2P Lending tak
dimasukkan dalam kategori PJK yang diwajibkan untuk lapor TKM
berdasarkan Perka PPATK a quo, baru entitas fintech payment
gateway yang diatur. Kendati belum ada kewajiban P2P sebagai pelapor,
tetap tak ada halangan bagi masyarakat untuk melapor ke PPATK.
“Industri apapun yang berbasis teknologi digital dan tidak bisa ditembusi
oleh kewajiban pelaporan, pastinya peluang untuk dijadikan sarana
pencucian uang tinggi. Dia lebih tidak rentan untuk terendus karena
kelihatannya tertutup,” tukasnya.
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing,
mengingatkan bahwa seluruh fintech P2P Lending sudah diwajibkan untuk
mendaftarkan perusahaannya di OJK sesuai POJK No. 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Alasan diwajibkannya pendaftaran ini disebut Tongam tak lepas dari
kekhawatiran tersusupnya praktik TPPU/TPPT di Industri fintech. Bila tak
terdaftar di OJK, katanya, maka laporan keuangan terkait sumber
pendanaan fintech akan sulit ditelusuri.
“Jadi kita juga tak tahu data peminjamnya, berapa total pinjamannya?
Dananya dari mana? Ini yang menjadi krusial sebenarnya. Itulah mengapa
kegiatan ini harusnya terdaftar di OJK,” jelas Tongam.
Soal sanksi, memang belum ada ketentuan pidana khusus yang mengatur
soal fintech. Sehingga ketika terjadi tindak pidana, ia menjelaskan bahwa
sanksinya masih masuk dalam kategori tindak pidana umum yang dijerat
menggunakan KUHP, baik itu delik penipuan. Bila penagihannya
mengganggu maka bisa dimasukkan dalam jerat perbuatan tak
menyenangkan atau bahkan bisa disanksi menggunakan ketentuan UU
ITE.
Miliki Potensi Besar di Pasar
Fintech, OJK Concern Lindungi
Masyarakat
Teknologi mengubah perilaku dan kepercayaan orang, ini berlaku di
sektor keuangan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c792f08b27b0/miliki-potensi-besar-di-pasar-
fintech--ojk-i-concern-i-lindungi-masyarakat
“Kami harapkan assasmentnya kita mitigasi, dan ini potensi besar sekali.
Indonesia merupakan contoh di dunia, dan kita selalu sampaikan ini
segara akan ada prinsipal yang disepakati. Ini akan menjadi agenda di
2019, kita akan aktif di situ karena kita punya pengalaman. Kita
memberikan koridor agar kepentingan masyarakat terlindungi,” kata
Wimboh dalam press rilis yang diterima oleh hukumonline, Jumat (1/3).
Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam
kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh
penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga
mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses
hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah
penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini
merupakan pelanggaran hak atas privasi.
Menurutnya, saat ini regulator seperti OJK belum memiliki payung hukum
kuat dalam menindak fintech ilegal. Sehingga, tindakan yang diambil OJK
saat ini bersifat pemblokiran karena tidak ada UU Fintech tersebut.
1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BERITA TERKAIT
Menjaga Rasa Nyaman Konsumen dan Produsen di Bisnis Daring
Ada Fintech Syariah, Bagaimana Payung Hukumnya?
Pentingnya Aturan Trust Bagi Perkembangan Industri Fintech
Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab Permasalahan di Era Digital
Ini bukan berarti fee advokat tidak punya ukuran sama sekali. Dalam praktik,
ada kokbeberapa jenis honorarium advokat yang perlu diketahui sebelum
bernegosiasi menentukan honorarium. UU Advokat hanya menyebutkan bahwa
honorarium “ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah
pihak” (pasal 21 ayat 2). Sedangkan KEAI hanya menambahkan agar “Advokat
wajib mempertimbangkan kemampuan klien” (pasal 4 huruf d).
Sebelum disahkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata
Uang) hingga terbitnya Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban
Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih
ada advokat yang menetapkan honorarium dengan tarif dolar kepada kliennya.
Pembayaran pakai dolar membuat profesi advokat menjadi salah satu pilihan
utama bagi lulusan fakultas hukum.
Memang, sulit untuk memastikan berapa besar anggaran yang harus disiapkan
membayar honorarium advokat. Apalagi informasi lengkap mengenai tarif jasa
advokat bukan hal yang mudah didapat untuk membandingkan advokat mana
yang sesuai budgetAnda.
Ahmad Fikri Assegaf, pendiri firma hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP)
mengamini tidak ada standar yang baku tentang biaya jasa advokat. Skema
pembayaran honorarium bisa berbeda antara advokat yang satu dengan yang
lain. Pria yang telah berpraktik advokat sejak 1993 ini menyebutkan salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah apakah advokat bekerja sendiri atau dengan
tim seperti firma.
Partner pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Abdul Haris
Muhammad Rum menjelaskan pada dasarnya tiap advokat menetapkan tarif jasa
berdasarkan perhitungan biaya operasional kantor hukumnya. “Kantor hukum
adalah unit usaha. Artinya biaya yang keluar dari proses pemberian jasa hukum
harus tertutupi dengan pemasukan yang diperoleh,” katanya.
Hitungan biaya operasional ini yang akan mempengaruhi tarif yang ditetapkan
tiap kantor hukum. Jika melibatkan pegawai, advokat juga terikat ketentuan
pengupahan tenaga kerja. Masing-masing kantor hukum mempunyai layanan
berbeda bagi kliennya yang juga menjadi komponen biaya operasional.
Tarif per jam artinya setiap unit jam yang digunakan advokat untuk memberikan
jasa hukum bagi klien dihargai dengan nilai pembayaran tertentu. Klien harus
memastikan sejak awal berapa tarif per jam dari advokat yang akan dipakai
jasanya. Hitungan ini meliputi bentuk jasa apapun yang digunakan klien per jam
mulai dari konsultasi via telepon, pembuatan surat menyurat untuk legal opinion,
hingga tindakan lainnya yang dilakukan advokat dalam satuan per jam.
Tarif retainer dibayarkan secara berkala dalam besaran dan periode tertentu
yang diperjanjikan. Pembayaran honorarium tidak tergantung pada ada atau
tidaknya jasa yang diberikan advokat kepada klien dalam periode tersebut.
Advokat akan menyediakan waktunya untuk memberikan jasa kepada klien
kapanpun diminta dalam periode itu. Digunakan atau tidak jasa advokat dalam
periode perjanjian, klien wajib membayar honorarium. Bisa dalam periode
bulanan atau tahunan.
Adapun tarif pasti adalah jenis honorarium advokat yang dinilai dan dibayarkan
sekaligus dimuka untuk menyelesaikan suatu perkara hingga tuntas. Apapun
yang terjadi dalam perkara, advokat tidak akan menagih tambahan honorarium
untuk perkara yang ditangani hingga selesai. Menang atau kalah, honorarium
advokat sudah dilunasi di awal. Bisa juga dibayarkan secara bertahap, namun
besar honorarium tidak dapat dikurangi oleh klien dari besaran yang telah
disepakati.
Di luar dari tarif tersebut untuk membayar honorarium advokat, masih bisa
diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara
sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi
besarannya pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
(Baca juga: Ternyata Fee Advokat Paling Banyak Dikeluhkan Pencari Keadilan)
Perlukah Diatur?
Pertanyaan dasarnya apakah memang honorarium advokat itu perlu diatur agar
tidak tanpa batas? Apakah larangan menggunakan tarif dolar perlu dipertegas?
Bono Daru Adji berpendapat walaupun saat ini di kalangan corporate
lawfirm sudah tidak lagi menggunakan tarif dolar sesuai hukum yang berlaku,
tarif yang disodorkan pada klien hanya mengonversi tarif sebelumnya dengan
kurs dolar terhadap rupiah. “Nilainya masih sama saja,” ujarnya.
(Baca juga: Persaingan Kian Ketat, HKHPM Gagas Aturan Biaya Jasa
Hukum Pasar Modal dan Keuangan)
Sebagai benchmarking, Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sejak tahun 2016
menentukan tarif batas bawah honorarium untuk jasa audit Akuntan
Publik. Tujuannya agar Kantor Akuntan Publik (KAP) melakukan audit sesuai
kode etik dan tidak sembrono hanya demi meraup untung dalam persaingan
pasar.
Ada indikator batas bawah tarif penagihan (billing rate) per jam ditetapkan
berdasarkan klasifikasi berjenjang (tabel) yang berlaku di layanan jasa akuntan
publik.
Junior Senior
Kategori Supervisor Manager Partner
Auditor Auditor
Wilayah (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp) (Rp)
Luar
70.000 125.000 200.000 500.000 1.200.000
Jabodetabek
Pada dasarnya, UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan
Publik) dan Kode Etik Akuntan Publik tidak mengatur batasan honorarium
Akuntan Publik. Namun dalam rangka menjaga standar jasa layanan audit,
asumsi IAPI menetapkan nilai tersebut sebagai indikator minimal acuan bahwa
prosedur audit yang memadai sesuai Kode Etik dan peraturan perundangan
dapat terpenuhi.
Jika dikaitkan dengan jasa advokat, hal ini masih menjadi perdebatan tersendiri.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syarkawi Rauf mengusulkan ada
standar minimal layanan jasa ketimbang standar honorarium bagi layanan
seperti jasa hukum. “Saya tidak merekomendasikan (standar honorarium), di
asosiasi ini lebih baik bikin standar pelayanan minimum di jasa konsultan
hukumnya itu seperti apa,” katanya dalam seminar HKHPM Agustus silam.
Pendapat tersebut senada dengan pendapat Arsul Sani, kini anggota DPR,
dalam seminar hukumonline “Standar Jasa Hukum Advokat dan
Pertanggungjawabannya Terhadap Klien” 2013 silam soal perlindungan hukum
bagi klien dalam menggunakan jasa advokat. Menurut Arsul, diperlukan standar
layanan yang jelas dari jasa profesional advokat agar klien sebagai konsumen
dapat menagih lebih jelas hak yang sebanding dengan honorarium yang
dibayarkan.
Kini, Anda sudah mengenal penentuan honorarium advokat, kan? Menurut Anda,
perlukah batasan honorarium diatur?
Penelitian Tordillas: Pasal
Penghinaan dan Pencemaran
Nama Baik Paling Banyak
Digunakan
Era digital mengubah perilaku masyarakat, dan potensi terjadinya
pidana makin besar.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ccfdeaaf0eaa/penelitian-tordillas--pasal-
penghinaan-dan-pencemaran-nama-baik-paling-banyak-digunakan
Pertanyaan
Perkenalkan saya klien dari seorang lawyer, telah bayar mahal dia diatas 100
juta. Tapi baru timbul dan mau bertanya apa dasar hukum atau besaran standard
untuk tarif bayaran lawyer?
Ulasan Lengkap
Lawyer (Advokat) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU
18/2003.[1]
Mengenai tarif bayaran yang Anda maksud, berdasarkan UU 18/2003 disebut dengan
istilah Honorarium, yaitu imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat
berdasarkan kesepakatan dengan Klien.[2]
Sebagaimana kita perhatikan bahwa terdapat hak untuk menerima Honorarium bagi
Advokat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 sebagai
berikut:
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
Kliennya.
Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Klien.[3]
Lalu bagaimana penentuan dasar besaran Honorarium? Anda dapat mengacu ke Pasal
21 ayat (2) UU 18/2003 yang berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien.[4] Kewajaran tersebut juga memperhatikan
kemampuan finansial Klien dengan tidak membebankan biaya-biaya yang tidak perlu,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d dan e Kode Etik Advokat
Indonesia (“KEAI”) berikut ini:
Pasal 4 KEAI
Kembali ke bunyi Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003 sebelumnya, seolah-olah secara implisit
ditegaskan bahwa penentuan besaran honorarium ada pada kesepakatan antara
Advokat dan Klien. Sehingga bunyi kesepakatan pada perjanjian akan menghasilkan
berapa besaran untuk pembayaran Honorarium atas jasa hukum seorang Advokat.
Dalam artikel Bingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium
Advokat, menurut Binoto Nadapdap dalam buku Menjajaki Seluk Beluk Honorarium
Advokat, bahwa setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode
penghitungannya, ialah:
Memang ada faktor yang menjadikan “standar” sebelum Klien sepakat dengan besaran
Honorarium yang ditawarkan oleh Advokat kepadanya.
Mengambil pendapat Bono Daru Adji sebagai Managing Partner dari firma hukum
Assegaf, Hamzah & Partners pada sumber artikel berita yang sama, ia mengungkapkan
tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat
yang menangani. Bagi Advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif
berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun
berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. Ada international
publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The
Legal 500, Asia Law.
Sehingga faktor penentu besaran Honorarium Advokat agar Klien yakin hingga
mencapai kesepakatan ialah melihat jam terbang yang pernah dilakukan seorang
advokat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Binoto Nadapdap. Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat. Jakarta: Jala Permata,
2008.
Pertanyaan
Saya ingin menanyakan, bagaimanakah prosedur dalam permintaan ganti rugi
atas kasus suatu pidana? Siapakah yang menentukan besarnya ganti rugi?
Apabila si terdakwa ditetapkan mendapat ancaman kurungan sekian waktu oleh
pengadilan, apakah pihak yang menjadi korban tetap dapat meminta ganti rugi
terhadap si terdakwa? Berapakah biasanya besar ganti rugi untuk kasus
pencemaran nama baik di depan umum, pengrusakan barang, pemukulan yang
mengakibatkan si korban luka, dan pemfitnahan kepada seseorang sekaligus?
Terima kasih atas perhatiannya.
Ulasan Lengkap
Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan
melalui tiga cara yaitu;
1) melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2) melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3) melalui Permohonan Restitusi.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
3. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
4. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional
Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi
Kasus Pencemaran Nama Baik
Dinyatakan P-21, Bisakah
Pengaduan Dicabut?
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55cb56841b028/kasus-pencemaran-
nama-baik-dinyatakan-p-21--bisakah-pengaduan-dicabut
Pertanyaan
Dalam kasus pencemaran nama baik jika sudah P-21 adakah batas waktu untuk
tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya? Jika ada berapa lama? Apakah
pencemaran nama baik dapat dilaporkan oleh orang lain selain korban?
Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan
yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. KUHP membagi tindak pidana penghinaan
menjadi enam macam. Penjelasan lebih lanjut soal pencemaran nama baik dapat Anda simak
dalam artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.
Selain itu, terhadap perbuatan penghinaan tersebut, korban juga dapat meminta ganti rugi
materiil melalui gugatan perdata. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang
berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, dapat diajukan
gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata:
Jika hasil penyidikan dinyatakan lengkap dan perkara siap dilimpahkan ke kejaksaan, maka
tahap berikutnya adalah tahap penuntutan di pengadilan. Penuntut umum mempunyai
wewenang, di antaranya adalah untuk melimpahkan perkara ke pengadilan.[1] Terkait dengan
kewenangannya itu, penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang mengadili.[2]
Menjawab pertanyaan Anda, aturan soal jangka waktu penyerahan perkara pidana umum dari
kejaksaan ke pengadilan tidaklah ditentukan oleh KUHAP. Akan tetapi, ada jangka waktu
penahanan yang boleh dilakukan oleh penuntut umum. Penjelasan selengkapnya dapat Anda
simak dalam artikel Jangka Waktu Penyerahan Terdakwa dari Kejaksaan ke Pengadilan.
Terkait apakah bisa perkara tersebut tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya, yang mana ini berarti
tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan, perlu diketahui bahwa tindak pidana pencemaran nama
baik adalah delik aduan. Dalam delik aduan, orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik
kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.[3]
Ini berarti terkait delik pengaduan, bisa tidaknya pengaduan dicabut tidak bergantung pada
apakah ada batas waktu untuk tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya setelah tahap penyidikan,
tetapi pencabutan pengaduan bergantung pada apakah telah lewat jangka waktu tiga bulan sejak
orang tersebut melakukan pengaduan.
Ini artinya, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada polisi.
Menjawab pertanyaan Anda, karena merupakan delik aduan, maka tuntutan pidana dapat
diproses hukum apabila ada aduan dari korban langsung, bukan dari orang lain.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
Ganti rugi akibat penipuan dan pencemaran
nama baik
http://ismailmuzakki.com/ganti-rugi-
akibat-penipuan-dan-pencemaran-nama-
baik/
Ganti rugi untuk korban tindak pidana seperti penipuan dan pencemaran nama
baik pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1. melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2. melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum,
3. melalui Permohonan Restitusi.
Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam KUHAP, Pasal
98 sampai Pasal 101. Pasal 98 ayat 1 KUHAP menentukan bahwa, “Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan
ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak
hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat 3 KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan
mengalami hal yang sama (Pasal 100 ayat 1 KUHAP). Namun, apabila perkara
pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan
ganti rugi tidak diperkenankan banding (Pasal 100 ayat 2 KUHAP).
Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa
dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini,
Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya
putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh
Pelaku (Tergugat).
Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan
Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban dan PP No. 44 Tahun 2008 tentang pemberian
konpensasi, restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban serta Peraturan LPSK
No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan
Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf b jo Pasal 7 ayat 2 UU
13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau
setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (Pasal 21 PP 44/2008)
Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup
dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada
Pengadilan melalui LPSK.