Anda di halaman 1dari 133

Tips Klasifikasi Dokumen

Elektronik Perusahaan Agar


Aman dari Jerat UU ITE
Perlu ada kriteria pengelolaan dokumen dan pembatasan akses.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d0df8faa846a/tips-klasifikasi-dokumen-
elektronik-perusahaan-agar-aman-dari-jerat-uu-ite

Pelatihan hukumonline bertema “Strategi Keamanan Siber: Penanganan,


Pencegahan, dan Penanggulangan Serangan Siber”, Rabu (19/6)
mengulas keamanan dan perlindungan data dari ancaman keamanan.
Berkaitan dengan pelaku usaha, ada ketentuan mengenai perlindungan
data pribadi yang tidak bisa dianggap remeh.
Ketua Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi,
menjelaskan bahwa setiap perusahaan memiliki tanggung jawab untuk
mengupayakan perlindungan data pribadi yang disimpannya. Kelalaian
dalam upaya mengamankan berbagai data pribadi bisa saja membuat
perusahaan berurusan dengan UU No. 11 Tahun 2008sebagaimana
dkiubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE) dan berbagai peraturan pelaksanaanya.
Jika membaca sekilas perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, sanksi
pidana hanya ditujukan kepada pelaku kejahatan siber yang secara
sengaja dan tanpa hak mengakses data pribadi. Padahal, ada kewajiban
yang tetap harus dipenuhi agar perusahaan tidak ikut terjerat UU ITE.
Pasal 32 juncto Pasal 48 UU ITE menyebutkan setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hokum dengan cara apapun
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik
diancam pidana paling lama 8 tahun dan/atau denda dua miliar rupiah.
Jika perbuatannya adalah memindahkan atau mentransfer informasi atau
dokumen elektronik ke sistem elektronik orang lain hukumannya naik
menjadi maksimal 9 tahun penjara dan/atau denda 3 miliar rupiah. Jika
aktivitas itu membuka rahasia yang seharusnya disimpan, ancamannya
dinaikkan menjadi 10 tahun penjara dan/atau denda hingga 5 miliar rupiah.
Teguh berbagai tips agar perusahaan bebas dari kemungkinan ikut dijatuhi
sanksi hukum akibat serangan kejahatan siber. “Perlu melakukan
klasifikasi dokumen perusahaan”, ujarnya. Dokumen yang dimaksud
Teguh adalah berbagai bentuk dokumen elektronik yang memuat data
pribadi.
(Baca juga: Penyelesaian Sengketa Data Pribadi).
Perusahaan perlu melakukan pemilahan sejak awal berbagai dokumen
elektronik yang disimpan berdasarkan isi. Berbagai dokumen berisi data
pribadi harus diperlakukan berbeda sebagai bentuk iktikad baik dalam
melindungi data pribadi. “Fungsinya agar perusahaan memperlakukan
data dengan tepat, tidak semua data itu sama”, Teguh menambahkan saat
diwawancarai hukumonline.
Klasifikasi sejak awal ini akan menjadi dasar bagi perusahaan untuk
menyatakan diri telah mengupayakan perlindungan data pribadi. “Selain
itu, pihak manajemen bisa melakukan mitigasi yang tepat saat terjadi risiko
yang tidak diinginkan,” katanya lagi. Misalnya dengan enkripsi khusus bagi
dokumen elektronik berisi data-data rahasia. Dokumen semacam ini juga
harus dibatasi aksesnya secara ketat oleh kalangan tertentu dalam
perusahaan.

Teguh memberikan saran beberapa klasifikasi minimal dari berbagai


dokumen elektronik yang ada di perusahaan. “Setidaknya ada klasifikasi
sangat rahasia, rahasia, terbatas, dan biasa,” ujarnya. Dengan demikian,
perusahaan telah menunjukkan upaya pencegahan dari serangan
kejahatan siber terhadap data pribadi.
Teguh menjelaskan sebenarnya Peraturan Menteri Komunikasi dan
Informatika No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi Dalam
Sistem Elektronik (Permenkominfo Perlindungan Data Pribadi) telah
memberikan rambu-rambu soal klasifikasi dokumen. Pasal 12 ayat (1)
Permenkominfo ini menyebutkan bahwa data pribadi hanya dapat diolah
dan dianalisis sesuai kebutuhan penyelenggara sistem elektronik yang
telah dinyatakan secara jelas saat memperoleh dan mengumpulkannya.
Ketentuan ini menguatkan dasar penting klasifikasi dokumen elektronik
sebagai pencegahan kegagalan melindungi data pribadi. “UU ITE memang
tidak mewajibkan klasifikasi data, namun jelas dibutuhkan untuk
memenuhi kewajiban perusahaan mencegah kegagalan perlindungan data
pribadi,” Teguh menjelaskan.
Di era revolusi industri 4.0 yang dibanjiri data digital, perusahaan tak bisa
mengelak untuk ikut menjadi penyelenggara sistem elektronik dimana data
pribadi konsumen atau pelanggan berada. Permenkominfo tersebut turut
mengikat banyak pelaku usaha di sektor industri apapun selama
menyelenggarakan sistem elektronik.
Kebijakan Pemerintah mengatur perlindungan data pribadi muncul sejak
adanya UU ITE. Keberadaan data pribadi dalam sistem elektronik mulai
dirasa perlu untuk dilindungi sebagai bagian dari hak individu. Dasarnya
adalah hak asasi yang secara konstitusional disebutkan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Dalam UU ITE, perlindungan data pribadi disebutkan dalam pasal 26 yang
kembali ditegaskan pelaksanaannya oleh Pasal 15 PP No. 82 Tahun 2012
tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Perlindungan
data pribadi dalam sistem elektronik itu kemudian diperjelas oleh
Permenkominfo Perlindungan Data Pribadi mencakup perlindungan
terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,
penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan,
dan pemusnahannya.
Siap-siap, Litigasi Lewat E-
Court Dimulai Tahun Ini
Menyongsong era baru peradilan Indonesia yang hemat waktu, tenaga,
dan biaya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d08d96f10a83/siap-siap--litigasi-lewat-e-court-
dimulai-tahun-ini

Mahkamah Agung (MA) segera menerbitkan pengganti Peraturan


Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2018 tentang Administrasi
Perkara di Pengadilan Secara Elektronik (Perma e-Court). Perma yang
baru akan mengatur tata cara persidangan secara elektronik dengan e-
Court. Targetnya, Perma ini akan terbit pada Agustus 2019.
“E-filing, e-payment, dan e-summons sudah berjalan baik. Sekarang
sedang kami siapkan e-litigation,” kata Hakim Agung Syamsul Ma’arif,
Senin (17/6) di acara diskusi publik bertema ‘Rancangan Peraturan
Mahkamah Agung RI tentang Sistem Administrasi Perkara dan
Persidangan Secara Elektronik’.
Perma e-Court yang disahkan pada 4 April 2018 lalu mencakup layanan
administrasi perkara perdata, perdata agama, tata usaha militer, dan tata
usaha negara. Isinya mengatur proses pendaftaran perkara, pembayaran
biaya perkara, pemanggilan para pihak, penerbitan salinan putusan, serta
berbagai tata kelola administrasi online.
Meskipun baru berlaku satu tahun belakangan, MA menilai Perma e-
Courtharus segera disempurnakan dengan layanan litigasi secara
elektronik. Tujuannya agar e-Court berjalan efektif. Syamsul
mengutarakan bahwa e-Court yang efektif bisa menghemat waktu, biaya,
dan tenaga para pihak dan advokat yang kerap antri cukup lama saat
harus bersidang ke pengadilan.
“E-filing tidak akan berjalan optimal tanpa e-litigation. Kami sudah survei,
ini kebutuhan pencari keadilan untuk mendapatkan sistem yang lebih
baik,” kata Syamsul saat diwawancarai hukumonline. Ia bertugas sebagai
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Kemudahan Berusaha Mahkamah Agung
yang bertanggung jawab merevisi Perma e-Court.
(Baca juga: Perkuat e-Court, MA Kembangkan e-Litigation).
Mahkamah Agung menargetkan e-Court bisa berjalan efektif dalam empat
hingga lima tahun mendatang di berbagai pengadilan yang berkedudukan
di ibukota provinsi. Namun, Syamsul juga meyakinkan bahwa proses
transformasi ini akan berjalan secara bertahap. “Opsional, keinginan para
pihak. Kami juga mengukur kesiapan. Tapi political will pimpinan
mendorong sistem itu bisa jalan di seluruh pengadilan,” Syamsul
menambahkan.
Koordinator Tim Asistensi Pembaruan Peradilan, Aria Suyudi mengatakan
Perma e-Court yang baru nantinya melengkapi ketentuan yang belum
dimuat sebelumnya. Terutama teknis operasional pasal 1 angka 5 soal
definisi administrasi perkara secara elektronik. “Soal jawaban, replik,
duplik, dan kesimpulan belum diatur teknis operasionalnya,” kata Aria
kepada hukumonline.
Tertera dalam pasal 1 angka 5 bahwa definisi administrasi perkara secara
elektronik adalah serangkaian proses penerimaan gugatan/permohonan,
jawaban, replik, duplik dan kesimpulan, pengelolaan, penyampaian dan
penyimpanan dokumen perkara perdata/agama/ tata usaha militer/ tata
usaha negara dengan menggunakan sistem elektronik yang berlaku di
masing-masing lingkungan peradilan.
Berdasarkan penelusuran hukumonline, Perma e-Court yang terbit pada
2018 lalu memang belum mengatur bagaimana cara menyampaikan
jawaban, replik, duplik, dan kesimpulan secara elektronik. “Perma ini juga
memperluas pengguna terdaftar dalam sistem e-Court, yaitu bagi pihak
berperkara yang akan bersidang secara e-Court tanpa menggunakan
advokat. Mereka menjadi pengguna insidental,” Aria menambahkan.
Layanan e-Court yang dilengkapi Sistem Informasi Penelusuran Perkara
menunjukkan kesungguhan MA dalam melakukan pembaruan peradilan
bagi kepentingan para pencari keadilan. Terutama didorong kebutuhan
dunia usaha untuk memperoleh model penyelesaian sengketa yang efektif
dan efisien. “Memang perlu bertahap, ternyata responnya positif,” ujarnya.
Aria menjelaskan hasil survei MA menunjukkan pengguna layanan e-Court
sejak November 2018 hingga Mei 2019 mencapai rata-rata 1000 perkara
setiap bulan. “Pendaftaran secara secara elektronik rata-rata 1000
perkara, artinya banyak yang pakai, bisa diterima masyarakat,” katanya.
(Baca juga: Seberapa Puas Publik Terhadap Lembaga Peradilan? Ini Dia
Hasilnya).
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Thomas
E.Tampubolon menyambut baik rencana MA tersebut. Hadir di lokasi
acara diskusi publik sebagai tamu undangan, Thomas menyampaikan
sejumlah masukan kepada MA. Terutama yang berkaitan dengan respon
kalangan advokat sebagai salah satu pengguna e-Court.
“Menurut saya pengguna utamanya adalah advokat, karena masyarakat
biasanya menyerahkan perkara ke advokat, Peradi siap mendukung,” kata
Thomas saat dihubungi hukumonline. Namun, ia berharap agar proses
pembahasan selanjutnya dari rancangan Perma e-Court bisa melibatkan
organisasi advokat.
Kenyataannya, kata Thomas, tak sedikit advokat yang masih belajar
beradaptasi dengan e-Court. Oleh karena itu, ia menginginkan agar
advokat diajak duduk bersama membicarakan kebutuhan dalam e-
Court alih-alih hanya diberikan sosialisasi saat Perma sudah jadi. “Kami
ingin ini mudah digunakan para advokat. Kami sudah meyakinkan kepada
para anggota soal manfaat e-Court dan membantu sosialisasinya juga,”
ujar Thomas.
Selanjutnya Thomas mengatakan Peradi akan proaktif memberikan usulan
dalam rancangan Perma e-Court yang baru. “Kami belum tahu draft
rancangannya, tentu kami akan memberi masukan lebih lanjut. Kami akan
membentuk tim setelah ini untuk antisipasi,” katanya lagi.
Diskusi publik ini dihadiri sejumlah tamu undangan dari berbagai instansi
dan praktisi untuk memberikan masukan terhadap rancangan Perma e-
Court yang baru. Termasuk pula Ketua Federal Court Australia, James L.
Allsop beserta rombongan delegasi yang berkunjung ke Indonesia.
MA telah bekerja sama selama 15 tahun dengan peradilan Australia
(Federal Court of Australia dan Family Court of Australia) sejak tahun
2004. Kerja sama ini meliputi manajemen perkara, manajemen perubahan
dan kepemimpinan, kemudahan berusaha, kepercayaan dan keyakinan
publik, reformasi mediasi, reformasi pengadilan sederhana, reformasi
kepailitan dan sebagainya.
Perkuat E-Court, MA
Kembangkan E-Litigation
Persidangan yang biasanya dilaksanakan di ruang persidangan
sebagian akan dialihkan menjadi persidangan secara elektronik.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ce7be7c712c8/perkuat-e-court--ma-
kembangkan-e-litigation

Mahkamah Agung (MA) terus bergerak mengembangkan aplikasi


pengadilan elektronik yang populer dengan sebutan e-court. Belum genap
satu tahun setelah diluncurkan pada 13 Juli 2018 lalu, aplikasi tersebut kini
tengah diperbaharui dengan pengembangan menu persidangan secara
elektronik (e-litigation).

Hal tersebut terungkap dalam pertemuan Kelompok Kerja Kemudahan


Berusaha di Jakarta, Kamis-Sabtu (23-25/05/2019). Pertemuan ini dibuka
oleh Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Muhammad Syarifuddin dihadiri
oleh Hakim Agung Syamsul Maarif (Ketua Pokja Kemudahan Berusaha);
dan pejabat eselon di lingkungan MA.

Menurut, Ketua Pokja Kemudahan Berusaha Syamsul Maarif denggan


menu e-litigation nantinya dapat diselenggarakan persidangan secara
elektronik sesuai hukum acara yang berlaku. Seperti, acara penyampaian
gugatan/permohonan/bantahan/perlawanan, penyampaian replik, duplik,
kesimpulan, dan pembacaan putusan/penetapan.

“Persidangan yang biasanya dilaksanakan di ruang persidangan sebagian


akan dialihkan menjadi persidangan secara elektronik,” ujar Syamsul
Maarif seperti dikutip laman resmi MA. Baca Juga: MA: Tahun 2018 Era
Baru Menuju Peradilan Modern

Untuk mewujudkan hal itu, kata Syamsul Maarif, selain diperlukan payung
hukum sebagai landasan pelaksanaan dan tata cara pelaksanaan
persidangan elektronik, diperlukan juga persiapan teknologi informasi.
“Dengan melihat kebutuhan tersebut, maka Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 3 Tahun 2018 tentang Administrasi Perkara Secara Elektronik di
Pengadilan mendesak untuk diubah dengan peraturan yang dapat
mengakomodasi kebutuhan persidangan elektronik,” ungkap Syamsul
Maarif.
Rencananya, peraturan MA yang selama ini menjadi landasan
pelaksanaan aplikasi pengadilan elektronik akan dicabut dan digantikan
dengan peraturan MA yang baru. “Rencananya peraturan MA yang baru
tersebut akan diberi judul Administrasi Perkara dan Persidangan di
Pengadilan Secara Elektronik,” tegasnya.

Saat ini, rancangan Peraturan MA saat tengah dalam proses finalisasi


sebelum diajukan dalam Rapat Pimpinan (Rapim) untuk disahkan.
Bersamaan dengan pembahasan rancangan Peraturan MA, Tim
Pengembang Aplikasi juga tengah bekerja mempersiapkan aplikasi yang
akan dipergunakan untuk pelaksanaan persidangan secara elektronik
tersebut. Dalam pertemuan tersebut sempat dilakukan demo pelaksanaan
persidangan elektronik menggunakan aplikasi yang dipersiapkan.

Anggota Tim Pengembang Aplikasi Pengadilan Elektronik Puji Wiyono


mengatakan aplikasi yang tengah dikembangkan bersama timnya
melibatkan aplikasi Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) sebagai
manajemen perkara di pengadilan tingkat pertama, perubahan-perubahan
pada aplikasi e-court sebelumnya, serta penambahan menu e-litigation.

“Untuk memudahkan, aplikasi ini menggunakan metode sekali input data


untuk e-court dan SIPP,” ujar Puji Wiyono dalam pemaparannya.

Dengan metode sekali input data, aparatur pengadilan nantinya tidak


dihadapkan pada kemestian mengulang input data meskipun untuk
aplikasi yang berbeda.

Selain itu, aplikasi e-court yang selama ini dipergunakan untuk melakukan
pendaftaran secara elektronik (e-filing), pembayaran secara elektroni (e-
payment), dan pemanggilan secara elektronik (e-summon) dikembangkan
sedemikian rupa untuk kepentingan perbaikan dan ditambahkan dengan
menu baru yakni e-litigation.

Menurut Puji, di antara pengembangan yang dilakukan terhadap


aplikasi e-court antara lain dimungkinkannya mendaftarkan perkara
gugatan sederhana, bantahan dan permohonan,
dimungkinkannya temporary user, pengguna lain selain advokat untuk
memiliki hak akses terhadap aplikasi, dimungkinkannya penambahan turut
tergugat, penampilan jurnal biaya perkara dan lain-lain.

Dalam menu e-litigation, nantinya dimungkinkan dilakukan pertukaran data


antara para pihak dengan majelis hakim sesuai dengan acara
persidangan. Sebagai contoh, apabila Tergugat telah menyetujui untuk
beracara secara elektronik, nantinya Tergugat dapat mengirimkan jawaban
semenjak tundaan setelah pembacaan gugatan hingga sebelum dilakukan
persidangan untuk penyampaian jawaban.

Selama tenggang waktu sejak penundaan hingga sebelum persidangan


dengan agenda penyampaian jawaban tersebut, Tergugat dapat
mengubah jawabannya, karena jawaban tersebut belum diverifikasi oleh
Majelis Hakim. Saat persidangan, jawaban tersebut akan diverifikasi oleh
Majelis Hakim dan setelah itu terbuka kesempatan bagi Penggugat untuk
mengajukan replik.

“Apabila pada saat verifikasi ternyata Tergugat tidak menyampaikan


jawaban, berarti Tergugat tidak menggunakan haknya untuk
menyampaikan jawaban,” ungkap Puji.

Dengan e-litigation juga nantinya para pihak akan dapat mengakses amar
putusan/penetapan atas perkaranya pada saat sidang pembacaan
putusan dilakukan. “Sementara mengenai salinan putusan, kita masih
harus mematangkan beberapa persoalan sebelum akhirnya bisa
dinormakan dalam peraturan MA yang baru,” katanya.
Cara Melacak Pelaku Teror
SMS
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt514001330fc00/cara-melacak-pelaku-
teror-sms

Pertanyaan
Sudah hampir empat bulan ini saya menerima teror sms yang berisi fitnah,
ancaman, dan penghinaan. Selain itu si pelaku juga mengaku membuntuti setiap
gerak gerik saya, dan menyebar fitnah di lingkungan kantor, lingkungan rumah
dan keluarga saya. Apakah saya bisa menuntut dengan pencemaran nama baik,
perbuatan tidak menyenangkan, fitnah, teror dan ancaman. Apa yang sebaiknya
saya lakukan, sementara saya tidak mengenal dan tidak tahu sama sekali siapa
pelakunya? Dan nomor handphone yang digunakan pun selalu berganti-ganti.
Mohon dibantu penjelasannya karena hal ini sudah sangat meresahkan. Terima
kasih.

Ulasan Lengkap
Pembaca hukumonline yang baik,

Kami turut prihatin dengan masalah Anda. Berdasarkan pengamatan dan diskusi kami dengan
Penyidik Kepolisian maupun Penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika ("Kementerian
Kominfo"), kasus serupa sangat banyak terjadi. ‘Teror’ khususnya melalui layanan pesan singkat
(“SMS”) merupakan cara yang sering digunakan banyak orang untuk menyebarkan fitnah,
ancaman, maupun penghinaan. Hal ini disebabkan lemahnya sistem pengawasan melalui
registrasi identitas pengguna nomor telepon seluler di Indonesia. Kemudahan untuk
mendapatkan nomor telepon selular baru dan tidak adanya verifikasi pendaftar nomor telepon
seluler baru, memicu para pelaku ‘teror’ untuk menggunakan nomor telepon dalam melakukan
aksi fitnah, ancaman, maupun penghinaan terhadap orang lain.

Sejauh pengetahuan kami, melacak pelaku ‘teror’ dengan nomor yang tidak diketahui pasti
identitasnya tidaklah mudah. Namun demikian, pelacakan nomor tersebut bukan berarti mustahil
dilakukan. Pada saat pelaku teror SMS mengirimkan SMS fitnah misalnya, lokasiBase Tranceiver
Station (“BTS”) pengirim SMS dapat secara otomatis diketahui berdasarkan data Cell ID (“CID”)
dari nomor handphone pengirim. Cell ID adalah angka unik yang biasanya digunakan untuk
mengidentifikasi lokasi suatu BTS berdasarkan Location Area Code (LAC). Informasi LAC CID
tersebut dapat diperoleh oleh Penegak Hukum secara sah melalui Call Data Record (“CDR”)
yang disimpan oleh setiap operator telekomunikasi untuk periode 3 bulan.Beberapa operator
bahkan menyimpan CDR hingga 6 bulan. Cell IDtersebut biasanya digunakan menjadi bukti
petunjuk untuk mengetahui lokasi dari pengirim SMS. Dari situlah penyidikan dikembangkan
untuk mengungkap pelaku. Metode demikian memang tidak menjamin pelaku akan diketahui,
namun hal tersebut setidaknya dapat dijadikan salah satu cara untuk mengungkap suatu tindak
pidana disamping cara-cara lainnya yang dimiliki oleh Aparat Penegak Hukum.
Saran kami, sebaiknya Anda segera melaporkan permasalahan tersebut kepada penyidik
Kepolisian atau Penyidik Kementerian Kominfo agar dapat ditindaklanjuti.

Perbuatan pelaku dapat dipidana berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”)


khususnya pasal terkait penghinaan, fitnah, pengancaman, maupun perbuatan tidak
menyenangkan. Namun berdasarkan sifat lex specialis (hukum yang lebih khusus) dari perbuatan
tersebut, pendapat kami lebih tepat jika yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), khususnyaPasal 27 ayat
(3) mengenai Penghinaan dan Pasal 27 ayat (4) mengenai Pengancaman.

Bunyi lengkap Pasal 27 ayat (3) dan ayat (4) UU ITE adalah sebagai berikut:

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik.
(4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Ancaman pidana dari kedua pasal tersebut adalah pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar (Pasal 45 ayat [1] UU ITE).
Dasar Hukum Besaran
Honorarium Advokat
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ce66718518de/dasar-hukum-besaran-
honorarium-advokat

Pertanyaan
Perkenalkan saya klien dari seorang lawyer, telah bayar mahal dia diatas 100
juta. Tapi baru timbul dan mau bertanya apa dasar hukum atau besaran standard
untuk tarif bayaran lawyer?

Ulasan Lengkap

Klien dan Advokat

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang


Advokat (“UU 18/2003”) posisi Anda berarti sebagai Klien yang menerima jasa hukum
dari Advokat. Klien tidak terbatas orang-perorangan tetapi juga badan hukum, atau
lembaga lain.

Lawyer (Advokat) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU
18/2003.[1]

Simak juga artikel Apakah Perbedaan Pengacara dengan Penasihat


Hukum?dan Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan.

Mengenai tarif bayaran yang Anda maksud, berdasarkan UU 18/2003 disebut dengan
istilah Honorarium, yaitu imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat
berdasarkan kesepakatan dengan Klien.[2]

Kesepakatan Menentukan Besaran Honorarium

Sebagaimana kita perhatikan bahwa terdapat hak untuk menerima Honorarium bagi
Advokat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 sebagai
berikut:
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
Kliennya.

Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Klien.[3]

Lalu bagaimana penentuan dasar besaran Honorarium? Anda dapat mengacu ke Pasal
21 ayat (2) UU 18/2003 yang berbunyi sebagai berikut:

Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien.[4] Kewajaran tersebut juga memperhatikan
kemampuan finansial Klien dengan tidak membebankan biaya-biaya yang tidak perlu,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d dan e Kode Etik Advokat
Indonesia (“KEAI”) berikut ini:

Pasal 4 KEAI

d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan


kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Kembali ke bunyi Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003 sebelumnya, seolah-olah secara implisit
ditegaskan bahwa penentuan besaran honorarium ada pada kesepakatan antara
Advokat dan Klien. Sehingga bunyi kesepakatan pada perjanjian akan menghasilkan
berapa besaran untuk pembayaran Honorarium atas jasa hukum seorang Advokat.
Dalam artikel Bingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium
Advokat, menurut Binoto Nadapdap dalam buku Menjajaki Seluk Beluk Honorarium
Advokat, bahwa setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode
penghitungannya, ialah:

1. Honorarium Advokat berdasarkan porsi keuntungan yang dimenangkan klien


(contingent fee/tarif kontingensi).
2. Honorarium advokat berdasarkan unit waktu yang digunakan (time charge/hourly
rate/tarif per jam).
3. Honorarium berdasarkan periode waktu tertentu (retainer fee);
4. Honorarium berdasarkan nilai borongan perkara hingga selesai yang dibayar sekaligus
di muka atau bertahap (lump sum/fixed fee/tarif pasti).

Keempat metode perhitungan Honorarium Advokat tersebut tentunya harus berdasarkan


kesepakatan. Selain itu di luar 4 tarif tersebut, untuk membayar Honorarium Advokat,
masih bisa diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara
sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi besarannya
pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Sehingga pendapat Binoto memperkuat pernyataan bahwa memang dasar hukum


besaran Honorarium Advokat ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak. Untuk
penegasan bahwa kesepakatan pada perjanjian tersebut menjadi dasar hukum antara
Klien dan Advokat, Anda dapat melihat bunyi Pasal 1338Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPerdata”) berikut ini:

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai


undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Standar yang Menentukan Besaran Biaya Advokat

Memang ada faktor yang menjadikan “standar” sebelum Klien sepakat dengan besaran
Honorarium yang ditawarkan oleh Advokat kepadanya.

Mengambil pendapat Bono Daru Adji sebagai Managing Partner dari firma hukum
Assegaf, Hamzah & Partners pada sumber artikel berita yang sama, ia mengungkapkan
tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat
yang menangani. Bagi Advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif
berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun
berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. Ada international
publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The
Legal 500, Asia Law.

Sehingga faktor penentu besaran Honorarium Advokat agar Klien yakin hingga
mencapai kesepakatan ialah melihat jam terbang yang pernah dilakukan seorang
advokat.
Perbedaan Pro Bono dengan
Bantuan Hukum (Legal Aid)
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5cb826745c95d/perbedaan-pro-bono-
dengan-bantuan-hukum-ilegal-aid-i
Pertanyaan
Apakah antara Pro Bono dan Legal Aid merupakan istilah hukum yang sama?

Ulasan Lengkap

Pro Bono (Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma)

Sebagaimana pernah dijelasakan dalam artikel Perbedaan Pro Bono dengan Pro Deo,
pengertian pro bono adalah suatu pemberian layanan/bantuan hukum yang diberikan
secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu. Pro bonomenurut The Law
Dictionary, yaitu:

A latin term meaning for the public good. It is the provision of services that are free to
safeguard public interest.

Pengaturan mengenai pro bono mengacu pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun


2003 tentang Advokat (“UU 18/2003”), Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma (“PP 83/2008”), dan Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 1
Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara
Cuma-Cuma (“Peraturan Peradi 1/2010”), disebutkan bahwa advokat wajib
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak
mampu.[1]

Bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro bono) adalah jasa hukum yang diberikan
advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi pemberian konsultasi hukum,
menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum
lain untuk kepentingan pencari keadilan yang tidak mampu.[2]
Pencari keadilan yang tidak mampu adalah orang perseorangan atau sekelompok orang
yang secara ekonomis tidak mampu yang memerlukan jasa hukum advokat untuk
menangani dan menyelesaikan masalah hukum. Termasuk dalam kategori pencari
keadilan tidak mampu adalah orang atau kelompok yang lemah secara sosial-politik,
sehingga kesempatannya untuk mendapatkan bantuan hukum tidak sama dengan
anggota masyarakat lainnya.[3]

Pelaksanaan pro bono tunduk kepada Kode Etik Advokat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.[4] Pemberian pro bono pun tidak terbatas di dalam
ruang sidang/ pengadilan (pada setiap tingkat proses peradilan), tetapi juga dilakukan di
luar pengadilan.[5]

Dalam memberikan pro bono, advokat harus memberikan perlakuan yang samadengan
pemberian bantuan hukum yang dilakukan dengan pembayaran honorarium.[6]

Kewajiban pro bono oleh advokat disebutkan di Pasal 11 Peraturan Peradi 1/2010:

Advokat dianjurkan untuk memberikan Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma setidaknya


50 (lima puluh) jam kerja setiap tahunnya.

Pro bono dapat dilaksanakan oleh advokat melalui atau bekerjasama dengan lembaga-
lembaga bantuan hukum.[7]

Bantuan Hukum (Legal Aid)

Legal Aid menurut Black’s Law Dictionary 9th Edition adalah:

Free or inexpensive legal services provided to those who cannot afford to pay full price.

Legal aid atau dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011
tentang Bantuan Hukum (“UU 16/2011”) dikenal dengan istilah bantuan hukum yaitu
jasa hukum yang diberikan oleh pemberi bantuan hukum secara cuma-cuma kepada
penerima bantuan hukum.
Dalam artikel Bedakan, Tak Semua Bantuan Hukum Bisa Disebut Pro
Bonodijelaskan bahwa pengaturan bantuan hukum (legal aid) tertuang dalam UU
16/2011, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Syarat Dan Tata
Cara Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (“PP
42/2013”), dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang
Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di
Pengadilan (“Perma 1/2014”).

Pemberi bantuan hukum adalah lembaga bantuan hukum (“LBH”) atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan UU
16/2011.[8] Sedangkan yang disebut dengan penerima bantuan hukumadalah orang
atau kelompok orang miskin.[9]

Pemberian bantuan hukum dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum, yang harus
memenuhi syarat yang meliputi:[10]

a. berbadan hukum;
b. terakreditasi;
c. memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
d. memiliki pengurus; dan
e. memiliki program bantuan hukum.

Pendanaan bantuan hukum yang diperlukan dan digunakan untuk penyelenggaraan


bantuan hukum dalam arti legal aid sesuai dengan 16/2011 dibebankan kepada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (“APBN”). Pemerintah wajib mengalokasikan
dana penyelenggaraan bantuan hukum dalam APBN. Selain APBN, sumber pendanaan
bantuan hukum dapat berasal dari:[11]

a. hibah atau sumbangan; dan/atau


b. sumber pendanaan lain yang sah dan tidak mengikat.

Pada pelaksanaannya, bantuan hukum dibiayai oleh negara melalui APBN yang
dialokasikan pada anggaran Kementerian Hukum dan Hak Asasi.[12]

Perbedaan Pro Bono dan Legal Aid

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Bedakan, Tak Semua Bantuan Hukum
Bisa Disebut Pro Bono, memberikan bantuan bantuan hukum secara cuma-cuma atau
pro bono dinyatakan wajib oleh UU 18/2003 bagi profesi advokat. Ketentuan lebih lanjut
bahkan diatur dengan Peraturan Pemerintah PP 83/2008 dan Peraturan Peradi 1/2010.
Menurut Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) “Rumah Bersama
Advokat”, Luhut M.P. Pangaribuan, hal mendasar yang perlu diingat baik-baik para
advokat Indonesia bahwa bantuan hukum cuma-cuma (pro bono) memiliki kriteria
tersendiri. Harus dibedakan antara pro bono dengan program bantuan hukum (legal aid)
lainnya. Lebih lanjut, Luhut menjelaskan bahwa bantuan hukum merupakan derma
atau kebijakan bidang kesejahteraan sosial dari pemerintah, sementara pro bono
berasal dari value system para advokat yang harus menjaga kehormatan
profesinya itu.

Lebih lanjut Luhut mengatakan bahwa advokat yang menangani perkara di organisasi
bantuan hukum atau Pos Bantuan Hukum (“Posbakum”) tidak dihitung dalam pro bono.

Masih dari sumber yang sama, Patra M. Zen yang pernah bergiat dalam jaringan
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengakui bahwa konsep pro
bono di Indonesia berbeda dengan di negara lain. Di beberapa negara lain tidak
dibedakan antara pro bono dengan bantuan hukum, tapi di Indonesia, dalam aturan dan
praktik dibedakan.

Sebagai salah satu perumus UU 16/2011, Patra mengatakan bahwa rujukan soal pro
bono adalah UU 18/2003, sedangkan pemberian bantuan hukum (legal aid) mengacu
UU 16/2011. Perbedaan berikutnya, pemberian bantuan hukum (legal aid)
diselenggarakan oleh organisasi bantuan hukum ataupun organisasi kemasyarakatan
dengan program bantuan hukum. Mereka tunduk pada kriteria dan syarat pada UU
16/2011. Sedangkan pro bono kewajibannya melekat pada individu advokat.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;


2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian
Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum;
5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian
Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan;
6. Peraturan Peradi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma;

https://thelawdictionary.org/

Perlu Ada Insentif untuk


Membudayakan Pro Bono
Advokat
Penghargaan bagi advokat atau kantor hukum yang mendukung
pelaksanaan pro bono perlu dipertimbangkan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d287da8b8120/perlu-ada-insentif-untuk-
membudayakan-pro-bono-advokat

Ternyata urusan pro bono hanya sebatas tidak menerima pembayaran


honorarium atas jasa hukum advokat untuk membantu masyarakat tidak
mampu. Penjelasan tersebut ditemukan dalam UU No. 18 Tahun
2003 tentang Advokat (UU Advokat) dan PP No.83 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma (PP Bantuan Hukum Cuma-cuma). Lalu, bagaimana caranya
mendorong advokat secara aktif melakukan pro bono?

Pertanyaan tersebut mengemuka dalam sebuah diskusi terarah yang


diselenggarakan The Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7).
Diskusi untuk merumuskan panduan pro bono ini dihadiri sejumlah
akademisi, peneliti, advokat, birokrat, bahkan hakim.

Asep Ridwan, salah satu peserta diskusi menyampaikan pendapatnya.


“Minimal ada insentif dalam bentuk apapun, baik untuk adavokat maupun
firma hukum yang mendorong advokatnya melakukan pro bono,” kata
Partner di firma Assegaf Hamzah & Partners ini kepada Hukumonline.

Meskipun kewajiban pro bono adalah tanggung jawab moral, Asep melihat
bahwa strategi untuk membudayakannya perlu menjadi perhatian. Bentuk
yang paling tepat adalah insentif ketimbang paksaan untuk melakukan
apalagi memberikan sanksi jika lalai.

Salah satu peserta diskusi perwakilan pengurus Perhimpunan Advokat


Indonesia (Peradi) ‘Rumah Bersama Advokat’, Saor Siagian memang
sempat mengajukan usulan cukup tegas. Para advokat harus memberikan
laporan pelaksanaan pro bono sebagai syarat memperpanjang izin praktik
advokat.

Anggara Suwahju, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform


mengusulkan hal yang sama dengan Asep. “Kalau mau menumbuhkan
budaya justru yang harus didorong adalah penghargaan, insentif,” katanya
kepada hukumonline.

Selain itu Anggara juga mengusulkan agar pelaksanaan pro bono dengan
bantuan hukum dari pemerintah tidak dipisahkan. Menurutnya persoalan
yang utama adalah tersedianya layanan akses kepada keadilan bagi
masyarakat miskin.

“Kalau khawatir soal penyaluran dana pemerintah, bisa saja melalui


organisasi advokat,” ujarnya. Anggara menyoroti pemisahan pro bono
yang sama sekali tidak boleh menerima pendanaan pemerintah. Padahal
besar pendanaan tersebut pun tidak seberapa.

Ia melihat akan jauh lebih efektif mendorong advokat melakukan bantuan


hukum secara cuma-cuma jika ada dana bantuan yang bisa digunakan.
Perlu diingat bahwa dalam menangani perkara tidak hanya ada komponen
biaya honorarium namun juga berbagai keperluan akomodasi dan
administrasi perkara. “Ada advokat yang bersedia tidak dibayar jasanya,
tapi kesulitan untuk komponen biaya lainnya dalam perkara,” ujarnya.

Baca:
 Benang Kusut Pro Bono Advokat, Pro Deo Pengadilan, dan Bantuan
Hukum Pemerintah
 Tangani Kasus Perempuan Sebagai Korban, Advokat Perlu Perspektif Ini
 Dilema Advokat Menjalankan Pro Bono, Adakah yang “Gratis”?

Pasal 22 UU Advokat memang menyebutkan kewajiban profesi ini untuk


memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari keadilan
yang tidak mampu (pro bono). Ruang lingkup bantuan hukum tersebut
diatur lebih lanjut dalam PP Bantuan Hukum Cuma-cuma.

Disebutkan bahwa bantuan hukum secara cuma-cuma adalah jasa hukum


yang diberikan Advokat tanpa menerima pembayaran honorarium meliputi
pemberian konsultasi hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi,
membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan pencari
keadilan yang tidak mampu.
Rancangan panduan panduan pro bono yang didiskusikan mengusulkan
dua jenis pro bono berdasarkan pembebasan biaya. Pertama, aktivitas pro
bono biasa yang membebaskan biaya jasa/honorarium advokat kepada
pencari keadilan yang tidak mampu. Namun untuk biaya lainnya yang
timbul dalam penanganan perkara tidak ditanggung advokat yang
melakukan pro bono.

Misalnya biaya transportasi dan biaya akomodasi, biaya administrasi


perkara atau biaya sidang, dan biaya teknis dalam pelaksanaan pro bono
di luar pengadilan bisa dibuktikan pembayarannya. Biaya ini dapat
ditanggung sendiri oleh pencari keadilan atau diperoleh dari sumber
lainnya seperti bantuan dari Organisasi Advokat.

Kedua, pro bono ekslusif yaitu advokat sanggup memberikan pendanaan


penuh dalam melakukan pro bono. Bantuan hukum secara cuma-cuma
yang diberikan advokat tidak hanya gratis honorarium atas jasa hukum.
Pencari keadilan juga dibantu biaya operasional penanganan perkara dan
biaya teknis lainnya.

Sayangnya rancangan panduan ini tidak menganggap bantuan dana dari


firma hukum untuk keperluan pro bono sebagai salah satu bentuk
pelaksanaan pro bono. Padahal, Anggara mengatakan bahwa
menggalang dukungan dari kantor-kantor hukum untuk mendukung
pelaksanaan pro bono sangat diperlukan. “Justru mendorong komitmen
kantor hukum mempraktikkan bantuan hukum diperlukan,” ujarnya.
Suasana Pro Bono FGD yang diselenggarakan The Asia Foundation dan
Hukumonline, Selasa (9/7). Foto: HOL

Asep menjelaskan soal dukungan firma hukum tempatnya bekerja


meskipun tanpa dihitung sebagai pro bono para advokat pemilik kantor.
Assegaf Hamzah & Partners berkomitmen membiayai keperluan di luar
biaya jasa yang dikeluarkan para advokat mereka dalam menjalankan pro
bono.

“Bahkan waktu yang digunakan saat pro bono dihitung sebagai


pemenuhan kewajiban jam kerja di kantor,” kata Asep. Sangat
disayangkan bahwa bentuk dukungan semacam itu tidak menjadi
perhatian untuk dianggap sebagai bentuk pro bono dari para advokat
pemilik kantor-kantor hukum. Padahal, jika hal itu dihitung sebagai bentuk
pro bono dapat mendorong kantor-kantor hukum lainnya melakukan hal
serupa. Setidaknya bagi kalangan firma hukum besar yang sudah lebih
besar dalam kekuatan dana dan jumlah advokatnya.

Catatan lain dalam rancangan panduan ini adalah tidak menghitung


bantuan hukum oleh organisasi advokat sebagai pro bono. Artinya,
pengurus organisasi advokat yang melakukan pembelaan atau
penanganan perkara atas nama organisasi advokat tidak dihitung sedang
melakukan pro bono.
Catatan hukumonline menunjukkan setidaknya telah ada 100 Pusat
Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH Peradi) yang
dibentuk di berbagai cabang seluruh Indonesia. Belum lama ini Ketua
Umum Peradi Fauzie Yusuf Hasibuan meresmikan PBH Peradi Jakarta
Pusat sebagai cabang ke-100 secara nasional

Benang Kusut Pro Bono


Advokat, Pro Deo Pengadilan,
dan Bantuan Hukum
Pemerintah
Sama-sama gratis dan hanya untuk orang miskin, namun beda
penilaiannya
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d284e54b68b1/benang-kusut-pro-bono-
advokat--pro-deo-pengadilan--dan-bantuan-hukum-pemerintah

Pro bono, pro deo, dan bantuan hukum secara cuma-cuma kerap kali
dianggap sama oleh masyarakat. Kalangan praktisi hukum pun sering
tidak bisa membedakannya dengan jelas. Apalagi melaksanakannya
secara tepat untuk pihak yang berhak. Persoalan ini menjadi diskusi serius
dalam merumuskan panduan pro bono advokat yang diselenggarakan The
Asia Foundation dan Hukumonline, Selasa (9/7) lalu.
Para peserta diskusi terarah mengungkapkan setidaknya ada tiga undang-
undang yang menyebutkan soal pemberian bantuan hukum secara
gratis. Pertama, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP). Pasal 56 KUHAP mengatur soal bantuan hukum secara cuma-
cuma bagi kalangan tidak mampu yang diancam pidana lima tahun atau
lebih berat.
Bantuan tersebut diberikan oleh penasihat hukum atas dasar penunjukkan
pejabat di tingkat penyidikan atau pengadilan. KUHAP memberikan
definisi penasihat hukum sebagai seorang yang memenuhi syarat atas
dasar undang-undang untuk memberi bantuan hukum. Belum dikenal
istilah advokat dalam KUHAP saat itu.
Kedua, Pasal 22 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat)
yang menyebutkan kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara
cuma-cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu. Kewajiban
profesi ini melekat pada setiap individu advokat.
Ketentuan lebih lanjut diatur dalam PP No. 83 Tahun 2008 tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma (PP Bantuan Hukum Cuma-cuma). Selain itu Perhimpunan Advokat
Indonesia (Peradi) juga menerbitkan Peraturan Peradi No. 1 Tahun 2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-
Cuma.
Ketiga, UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (UU Bantuan
Hukum). Undang-undang ini hadir atas dasar tanggung jawab negara
memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang miskin.
Tujuannya sebagai perwujudan akses terhadap keadilan. Ketentuan lebih
lanjut diatur dalam PP No. 42 Tahun 2013 tentang Syarat dan Tata Cara
Pemberian Bantuan Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum (PP
Bantuan Hukum).
Ketiga undang-undang ini ternyata tidak semuanya menjadi landasan soal
pro bono advokat. Saor Siagian, salah satu pengurus Peradi ‘Rumah
Bersama Advokat’ menekankan bahwa pro bono adalah bantuan hukum
gratis dari advokat secara murni tanpa didanai oleh pemerintah. Ia
membedakan bantuan hukum dalam KUHAP dan UU Bantuan Hukum
karena ada pendanaan dari pemerintah untuk advokat yang terlibat
memberikan jasa hukum.
Peserta diskusi lainnya, Asep Ridwan, menyampaikan pendapat yang
sama. “Dalam pemahaman kami, pro bono memang tidak ada bayaran
sepeser pun. Ini bagian dari kewajiban moral,” kata Partner di firma
Assegaf Hamzah & Partners ini.
(Baca juga: Perbedaan Pro Bono dengan Bantuan Hukum (Legal Aid)).
Rezim UU Bantuan Hukum yang mengatur pendanaan pemerintah pada
bantuan hukum gratis menjadi salah satu poin diskusi. Sebagian peserta
merasa konsep pro bono sebagai tanggung jawab profesi advokat menjadi
campur aduk dengan konsep bantuan hukum sebagai tanggung jawab
negara.
Pro bono, pro deo, legal aid
Kata pro bono atau secara lengkap pro bono publico berasal dari Bahasa
Latin yang artinya for the public good (untuk kepentingan masyarakat
umum). Penjelasan ini ditemukan dalam laman Black's Law
Dictionary Free Online Legal Dictionary.
Deklarasi Internasional tentang pro bono yang digagas oleh International
Bar Association pada 16 Oktober 2008 menyatakan hal serupa: "Pro bono
is derived from the Latin phrase pro bono publico, which refers to work or
actions carried out for the public good".
Istilah pro bono publico memiliki makna sebagai sebuah penyediaan
layanan yang cuma-cuma/gratis untuk kepentingan umum/publik. Kamus
Besar Bahasa Indonesia daring pun telah memuat lema pro bono publico
dengan makna untuk untuk kebaikan umum.
Sementara itu, bantuan hukum sebagai tanggung jawab negara dianggap
berasal dari konsep legal aid. Penjelasan soal itu ditemukan masih dalam
laman Black's Law Dictionary Free Online Legal Dictionary, edisi
kedua. "Free or inexpensive advice, assistance, or representation
concerning the law. Given to those cannot afford it, based on jurisdictional
criteria".
Berbeda dari pro bono, pemberian bantuan hukum menekankan kriteria
berdasarkan regulasi di masing-masing yurisdiksi. Itu sebabnya ada
pendanaan dari pemerintah dalam pelaksanaan bantuan hukum.
Sementara itu pro bono sebagai kewajiban profesi advokat cukup
memperhatikan adanya kepentingan masyarakat umum untuk dibantu.
Masih ada satu konsep lagi yang muncul dalam diskusi soal bantuan
hukum secara gratis. Para peserta dari kalangan hakim membedakan
konsep pro deo yang saat ini diatur dalam Peraturan Mahkamah
Agung (Perma) No. 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Pemberian Layanan
Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Selain advokat dan staf Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian
Hukum dan HAM, hadir pula Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat. “Pro deo itu membebaskan biaya
perkara untuk masyarakat tidak mampu, dengan surat keterangan tidak
mampu dari pejabat berwenang,” kata Syahlan, Ketua Pengadilan Negeri
Jakarta Barat, kepada hukumonline.
Lema pro deo dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia merujuk kata
serapan dari bahasa latin yang berarti untuk Tuhan; dengan cuma-cuma;
gratis. Perma No. 1 Tahun 2014 tersebut tidak menggunakan istilah
bantuan hukum secara cuma-cuma. Namun intinya menyediakan layanan
hukum bagi masyarakat tidak mampu secara gratis.
Pasal 6 Perma No.1 Tahun 2014 menyatakan seluruh biaya layanan
dibebankan pada negara melalui anggaran Mahkamah Agung. Selain itu,
layanan hukum tersebut ternyata tidak hanya pembebasan biaya perkara.
Ada layanan posbakum yang tersedia di setiap pengadilan.
Pasal 29 Perma tersebut menyebutkan bahwa Pengadilan memberikan
imbal jasa untuk advokat yang bekerja di posbakum. Tugasnya adalah
memberikan informasi, konsultasi, dan nasehat hukum. Termasuk pula
pembuatan dokumen hukum yang dibutuhkan masyarakat tidak
mampu dalam berperkara.
Mengacu pengaturan tersebut, ternyata advokat pun terlibat dalam
membantu masyarakat tidak mampu yang sedang berperkara di
pengadilan lewat posbakum. Hanya saja mereka mendapatkan imbal jasa
yang dibayarkan oleh pengadilan dari anggaran Mahkamah Agung.
Draft panduan pro bono yang didiskusikan berusaha mengusulkan secara
jelas kriteria pro bono yang dilakukan advokat. Pertama, aktivitas pro bono
meliputi seluruh wilayah kegiatan pelayanan hukum. Artinya tidak terbatas
pada mewakili kepentingan klien dalam proses peradilan, tetapi meliputi
seluruh urusan hukum bekerja.
Mulai dari penelitian hukum, pendidikan hukum, legislasi hukum atau
pemberdayaan hukum bisa diakui sebagai bentuk pro bono. Dalam hal ini
advokat pro bono dapat mengambil perannya dari hulu hingga ke hilir
sepanjang hukum itu sendiri bekerja.
(Baca juga: Syarat untuk Memperoleh Bantuan Hukum).
Kedua, ada beberapa kondisi yang diusulkan tidak dapat dihitung sebagai
pro bono. Misalnya memberikan bantuan hukum kepada orang lain secara
gratis tanpa mengukur kondisi kemiskinan penerima atau apakah
perkaranya berdampak pada kepentingan umum.
Pelayanan jasa hukum yang masih menerima imbal jasa apapun juga
dianggap bukan pro bono. Apalagi jika bantuan hukum dibiayai oleh
negara. Bahkan advokat yang berdonasi untuk membiayai kegiatan pro
bono pun dianggap bukan sedang melakukan pro bono.
Upaya Mengungkap Pemilik
Korporasi Sesungguhnya Oleh:
Bagus Aidtya*)
Perpres 13/2018 secara umum telah secara baik mendiskusikan
bagaimana cara mengidentifikasi siapa pemilik perusahaan yang
sesungguhnya. Tetapi, harus diakui masih terdapat beberapa masalah
yang cukup krusial pada beberapa pengaturannya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d280d5951fca/upaya-mengungkap-pemilik-
korporasi-sesungguhnya-oleh--bagus-aidtya?utm_source=dable

Hal yang menjadi tren dalam skala global saat ini adalah adanya
peningkatan upaya untuk menjadikan suatu bisnis menjadi lebih
transparan dengan tujuan untuk menanggulangi upaya pencucian uang
dan pendanaan kegiatan terorisme. Presiden Joko Widodo, pada tahun
2018, menetapkan Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi Dalam
Rangka Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
Dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (Perpres 13/2018). Dalam
peraturan tersebut korporasi diwajibkan untuk melaporkan siapa Pemilik
Manfaat dari korporasi.

Kemudian, beberapa waktu lalu terbit Peraturan Menteri Hukum Dan Hak
Asasi Manusia Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat Dari Korporasi
(Permenhukham 15/2019) sebagai peraturan pelaksana dari Perpres
13/2018.

Dengan telah terbitnya Permenhukham 15/2019 maka sudah dapat dilihat


secara utuh bagaimana Pemerintah akan menerapkan kewajiban
mengenai pelaporan informasi Pemilik Manfaat dari korporasi. Artikel ini
akan fokus untuk membahas korporasi dalam bentuk perseroan terbatas
saja, mengingat sebagian besar usaha yang dilakukan di Indonesia
dilakukan melalui bentuk perseroan terbatas. Namun, secara terbatas,
beberapa isu tetap dapat berlaku terhadap bentuk badan usaha lainnya.

Siapa Pemilik Manfaat atas Perseroan Terbatas?


Kriteria mengenai Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas dijabarkan
dalam Perpres 13/2018 dan secara lebih rinci dalam Lampiran
Permenhukham 15/2019 sebagai berikut.

X adalah seorang Pemilik Manfaat dari perseroan terbatas apabila:


 Kondisi 1: X memiliki, secara langsung maupun tidak langsung, lebih dari 25%
saham dalam perseroan terbatas;
 Kondisi 2: X memiliki, secara langsung maupun tidak langsung, hak suara
lebih dari 25% pada perseroan terbatas;
 Kondisi 3: X menerima keuntungan atau laba lebih dari 25% dari keuntungan
atau laba yang diperoleh perseroan terbatas per tahun;
 Kondisi 4: X memiliki kewenangan, secara langsung maupun tidak langsung,
untuk mengangkat, menggantikan, atau memberhentikan anggota direksi dan
atau anggota dewan komisaris;
 Kondisi 5: X memiliki kewenangan untuk mengendalikan perseroan tanpa
harus mendapat otorisasi dari pihak manapun, termasuk RUPS (misal,
mengubah sifat bisnis perseroan, mengubah besaran pembagian laba,
membubarkan perseroan, dll.);
 Kondisi 6: X berhak atas dan/atau menerima manfaat dari perseroan terbatas
(uang/barang/jasa); dan/atau
 Kondisi 7: X tidak tercantum dalam dokumen perusahaan namun merupakan
pemilik sebenarnya dari dana atas kepemilikan saham perseroan terbatas.

Keakuratan Informasi Mengenai Pemilik Manfaat


Hal yang paling dikhawatirkan oleh masyarakat dan pengamat hukum
terhadap pengaturan terkait pemilik manfaat korporasi adalah terkait
kualitas atau kebenaran informasi yang disampaikan oleh perseroan.
Kementerian Hukum dan HAM tidak melakukan verifikasi apapun terhadap
keakuratan informasi yang diberikan kepada mereka oleh perseroan.
Kementerian juga tidak melakukan penyelidikan terhadap riwayat
profesional maupun personal dari Pemilik Manfaat. Hal ini memang sesuai
dengan Pasal 18 Perpres 13/2018 yang tidak mewajibkan instansi yang
berwenang untuk melakukan verifikasi apapun.

Namun demikian, Perpres 13/2018 mewajibkan perseroan untuk


menyertakan surat pernyataan mengenai kebenaran informasi yang
disampaikan. Permenhukham 15/2019 menambahkan ketentuan bahwa
Menteri (Menteri Hukum dan HAM) dapat melakukan verifikasi Pemilik
Manfaat dengan meneliti kesesuaian antara informasi dengan dokumen
pendukung yang diberikan. Dapat disimpulkan, Menteri, secara sewaktu-
waktu, dapat melakukan verifikasi tapi sifatnya tidak wajib. Tidak ada
ketentuan yang menyebutkan bahwa Menteri dapat menerima informasi
tambahan mengenai Pemilik Manfaat dari masyarakat.
Timbul kekhawatiran bahwa pihak yang tidak memiliki itikad baik akan
memberikan informasi yang tidak akurat. Apalagi proses pelaporan tidak
melibatkan profesi profesional untuk membantu proses verifikasi. Pasal 7
sampai Pasal 10 Permenhukham 15/2019 menyebutkan bahwa notaris
hanya memiliki fungsi untuk membantu perseroan dalam rangka
menyampaikan informasi kepada Kementerian Hukum dan HAM, baik
pada saat permohonan pendirian, pendaftaran, dan/atau pengesahan,
serta pada saat perseroan menyampaikan perubahan atau pembaruan
informasi. Dengan demikian, bagaimana kualitas informasi mengenai
Pemilik Manfaat yang dikumpulkan oleh Kementerian Hukum dan HAM
masih menjadi pertanyaan besar.

Akses Terhadap Informasi Pemilik Manfaat


Perpres 13/2018 dan Permenhukham 15/2019 mengatur bahwa dalam
rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang
dan tindak pidana pendanaan terorisme oleh Korporasi, Instansi
Berwenang dapat melaksanakan kerja sama pertukaran informasi Pemilik
Manfaat dengan instansi nasional maupun internasional. Secara terbatas,
Instansi yang dimaksud dalam peraturan adalah instansi penegak hukum;
instansi pemerintah; dan otoritas berwenang negara atau yuridiksi lain.
Selain itu, pertukaran informasi dapat juga dilakukan oleh pihak pelapor
yang menurut kententuan peraturan perundang-undangan wajib
menyampaikan laporan kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan.

Namun demikian, pada bagian lain Perpres 13/2018 maupun


Permenhukham 15/2019 juga disebutkan bahwa setiap orang dapat
meminta informasi Pemilik Manfaat kepada Menteri. Permintaan tersebut
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai keterbukaan informasi.
Pengaturan ini tidak konsisten dengan pengaturan sebelumnya yang
sudah sangat spesifik membatasi instansi mana saja yang dapat
memperoleh akses terhadap informasi Pemilik Manfaat. Lebih lanjut,
Perpres 13/2018 dan Permenhukham 15/2019 juga tidak mensyaratkan
bahwa pihak yang meminta informasi atas Pemilik Manfaat harus bisa
menunjukkan kepentingan dan tujuan sebagai justifikasi atas
permintaannya tersebut.

Perlu diperhatikan, berdasarkan Pasal 16 Perpres 13/2018 informasi


mengenai Pemilik Manfaat yang harus diberikan, paling sedikit mencakup,
antara lain, nama lengkap; nomor identitas kependudukan/paspor; tempat
dan tanggal lahir; dan alamat. Dokumen yang harus disampaikan
termasuk fotokopi dokumen identitas/paspor; dan fotokopi NPWP. Ini jelas
merupakan data-data pribadi milik individual, yang sifatnya sensitif dan
seharusnya tidak boleh diakses oleh pihak-pihak yang tidak memiliki
kepentingan.

Dengan mengatur bahwa pengelolaan informasi Pemilik Manfaat juga


mengikuti ketentuan dalam peraturan mengenai keterbukaan informasi
maka dapat diintepretasikan bahwa informasi mengenai Pemilik Manfaat
dianggap sebagai informasi publik. Artinya, masyarakat dapat mengajukan
permohonan untuk mengakses informasi tersebut dan pemberian atau
penolakan atas permohonan tersebut atau menentukan informasi apa saja
yang bisa diberikan terletak hanya pada diskresi Menteri Hukum dan HAM.
Ini merupakan hal yang paling kontroversial dalam peraturan mengenai
Pemilik Manfaat korporasi. Investor yang jujur berhak untuk memperoleh
perlindungan atas data pribadinya.

Penilaian Subjektif
Tidak dapat dihindari bahwa penentuan terhadap beberapa kriteria Pemilik
Manfaat sebagaimana diatur dalam Perpres 13/2018 dan Permenhukham
15/2019 memerlukan penilaian yang subjektif.

Misalnya, menunjukkan secara de facto “seseorang memiliki kewenangan


untuk mengendalikan perseroan tanpa harus mendapat otorisasi dari pihak
manapun” mensyaratkan pembuktian bahwa seseorang tersebut memang
secara signifikan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi dan organ-
organ lain dalam perseroan harus terbukti secara signifikan dapat
terpengaruh.

Seseorang mungkin berpikir bahwa dirinya merupakan Penerima Manfaat


karena menganggap dirinya mampu mempengaruhi kebijakan perseroan,
tapi Direksi perseroan ternyata tidak mengikuti instruksi atau nasihat dari
orang tersebut. Dari waktu ke waktu Direksi perseroan dapat saja
mendengarkan dan mempertimbangkan permintaan atau instruksi dari
orang lain, tapi ketika membuat keputusan final Direksi terikat dengan
ketentuan corporate governance dan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku pada sektor usahanya.

Kriteria dalam peraturan perundang-undangan mengenai Pemilik Manfaat


memberikan beban pembuktian yang sulit bahwa seseorang harus
memastikan bahwa pengaruhnya terhadap kebijakan perseroan
mengakibatkan perseroan berjalan sepenuhnya sesuai dengan keinginan
dan tujuannya.

Kesimpulan
Artikel ini mencoba untuk mengidentifikasikan beberapa masalah penting
seputar ketentuan mengenai keterbukaan informasi Pemilik Manfaat atas
korporasi terutama yang terkait dengan perseroan terbatas. Isu yang
penulis temukan adalah terkait dengan kualitas informasi yang diberikan,
risiko atas akses data pribadi, dan penilaian subjektif terhadap penentuan
kriteria Pemilik Manfaat.

Upaya untuk menemukan siapa sesungguhnya pihak yang dapat


mengendalikan perseroan sering kali menantang dan bertemu dengan
informasi yang sulit dianalisa karena tersembunyi dalam struktur
perusahaan yang kompleks. Namun, hal tersebut sering dilakukan oleh
perusahaan bukan untuk menyembunyikan tindak kejahatan tetapi untuk
melindungi pihak yang berkepentingan dari risiko kejahatan finasial,
kekerasan, intimidasi atau kerusakan reputasi.

Perpres 13/2018 secara umum telah secara baik mendiskusikan


bagaimana cara mengidentifikasi siapa pemilik perusahaan yang
sesungguhnya. Tetapi, harus diakui masih terdapat beberapa masalah
yang cukup krusial pada beberapa pengaturannya.

*)Bagus Aditya SH, LL.M adalah Konsultan Hukum pada sebuah kantor
hukum di Jakarta Selatan.
Marak Praktik Ilegal, Perlukah
UU Khusus Mengatur Fintech?
UU ITE dinilai belum melindungi data digital pribadi para pengguna
ekonomi digital seperti e-commerce atau e-payment.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c9904b58ae/marak-praktik-ilegal--perlukah-
uu-khusus-mengatur-fintech?&utm_source=dable

Permasalahan fintech ilegal merupakan persoalan yang terus mendapat


perhatian regulator. Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan
Fintech OJK, Hendrikus Passagi, menjelaskan perlu segera disusun
pengaturan industri fintech setingkat undang-undang. Hal ini diharapkan
dapat memberi sanksi tegas kepada pelaku fintech ilegal berupa pidana.

Menurutnya, saat ini regulator seperti OJK belum memiliki payung hukum
kuat dalam menindak fintech ilegal. Sehingga, tindakan yang diambil OJK
saat ini bersifat pemblokiran karena tidak ada UU Fintech tersebut.

“Memang terpaksa harusnya (seperti) pemadam kebakaran karena kalau


kita mau menyelesaikan once for all, UU-nya tidak ada. Sehingga
pendekatannya adalah kan tadi saya katakan ada isu, kita tidak bisa
tinggal diam, ada mitigasi. Isunya UU fintech lending tidak ada, mitigasinya
lewat satgas waspada investigasi ilegal. Jadi kalau muncul, blokir. Tidak
bisa dipenjara karena tidak ada UU-nya,” jelas Hendrikus
kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Hendrikus mengatakan UU ITE yang ada sekarang belum cukup


melindungi data digital pribadi para pengguna ekonomi digital seperti e-
commerce atau e-payment. Memang UU ITE sudah mencoba mengatur
keamanan data, akan tetapi menurutnya cakupan UU ITE terlalu luas.
Selain itu, masyarakat belum paham hak-hak hukumnya ketika datanya
bocor. Hal ini menunjukan ada masalah serius di industri ini.

“Dengan ketiadaan UU ini maka kami melakukan mitigasi, mengambil


inisiatif, itulah kita keluarkan batasan akses, camera microphone location,”
ujarnya.

Sementara itu, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan


Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan
Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menindak fintech ilegal
dengan memblokir aplikasi agar tidak dapat diakses masyarakat.

Satgas Waspada Investasi menemukan sebanyak 140 entitas yang


melakukan kegiatan usaha fintech peer to peer lending ilegal. Temuan
tersebut memperpanjang daftar jumlah fintechilegal. Tercatat, ditemukan
pada tahun 2018 sebanyak 404 entitas sedangkan pada tahun 2019
sebanyak 683 entitas sehingga secara total saat ini yang telah ditangani
sebanyak 1087 entitas.

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, mengatakan


meskipun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup
kegiatan fintech peer-to-peer lending tanpa izin OJK, namun tetap saja
banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore,
sehingga masyarakat diminta untuk tidak mengakses atau menggunakan
aplikasi Fintech Peer-To-Peer Lendingyang tidak berizin.

“Apabila ingin meminjam secara online, maka masyarakat harus melihat


daftar aplikasi Fintech Peer-To-Peer Lendingyang telah terdaftar di OJK
pada website www.ojk.go.id,” kata Tongam, Rabu (3/7).

(Baca: Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab


Permasalahan di Era Digital)

Tongam mengatakan, dari temuan ini Satgas akan meminta Kementerian


Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memblokir website dan
aplikasi fintech ilegal tersebut. Selain itu, untuk memutus akses keuangan
dari Fintech Peer-To-Peer Lendingilegal Satgas sudah meminta kepada
perbankan untuk menolak pembukaan rekening tanpa rekomendasi OJK
dan melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang
diduga digunakan untuk kegiatan Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal.

Satgas juga sudah meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech


payment system memfasilitasi Fintech Peer-To-Peer Lendingilegal, dan
menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses
penegakan hukum.

Satgas Waspada Investasi telah menghentikan 43 entitas investasi pada


18 Juni. Entitas tersebut diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari
pihak berwenang sehingga berpotensi merugikan masyarakat. Jenis
kegiatan usaha yang dihentikan Satgas Waspada Investasi sebagai
berikut:
 38 Trading Forex tanpa izin;
 2 Investasi money game tanpa
izin;
 2 Multi Level Marketing tanpa izin;
 1 Investasi Perdagangan Saham.

Sehingga, total kegiatan usaha yang diduga merupakan investasi ilegal


dan dihentikan Satgas Waspada Investasi selama tahun 2019 sejumlah
163 entitas.

Tongam menambahkan penawaran investasi ilegal semakin


mengkhawatirkan dan sangat berbahaya bagi ekonomi masyarakat. Para
pelaku memanfaatkan kekurangpahaman masyarakat terhadap investasi
dengan menawarkan imbal hasil atau keuntungan yang tidak wajar.
Kegiatan dan produk yang ditawarkan tidak berizin karena niat pelaku
adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari
masyarakat.

Dia mengimbau agar masyarakat selalu berhati-hati dalam menggunakan


dananya. Jangan sampai tergiur dengan iming-iming keuntungan yang
tinggi tanpa melihat risiko yang akan diterima. Menurutnya, pihaknya akan
berkesinambungan melakukan tindakan preventif berupa sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat agar masyarakat terhindar dari kerugian
investasi ilegal.

“Peran serta masyarakat sangat diperlukan, terutama peran untuk tidak


menjadi peserta kegiatan entitas tersebut dan segera melaporkan apabila
terdapat penawaran investasi yang tidak masuk akal,” jelas Tongam.

Selanjutnya, Satgas Waspada Investasi mengimbau kepada masyarakat


agar sebelum melakukan investasi untuk memahami hal-hal sebagai
berikut:

1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pentingnya Aturan Trust Bagi
Perkembangan Industri Fintech
Agar industri fintech dapat berkembang pesat, maka diperlukan
landasan hukum yang kuat sehingga tercipta keamanan bagi pemberi,
pengguna dan pengelolanya.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1b5111945b0/pentingnya-aturan-trust-bagi-
perkembangan-industri-fintech?utm_source=dable

Industri financial technology peer to peer lending (fintech P2P) menjadi


salah satu bukti gabungan antara sektor teknologi dan jasa keuangan.
Dalam industri fintech P2P, perlu dipastikan keamanan data pribadi hingga
mitigasi risikonya. Hal ini diutarakan oleh Direktur Pengaturan Perizinan
dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus
Passagi.

Menurutnya, keamanan tersebut penting lantaran terdapat dana yang


dihimpun kemudian dikelola di industri fintech P2P. Atas dasar itu, perlu
ada jaminan bagi pemberi pinjaman dan si pengelola uang sehingga
kekhawatiran uang yang dititipkan hilang akan sirna.

“Di masalah kedua ini, yang sering kita khawatirkan adalah jangan sampai
dikasih pinjaman uang, kemudian dibawa kabur uang itu,” kata Hendrikus
saat berbincang dengan Hukumonline, akhir Juni lalu.

Menurut Hendrikus, untuk mengantisipasi kekhawatiran tersebut, perlu ada


jaminan berupa aturan trustee di Indonesia mengingat kegiatan di industry
fintech ini dilakukan secara virtual. Ia mengakui, aturan ini akan sulit
diterapkan di Indonesia yang menganut sistem civil law. Selama ini,
trustee hanya dikenal dalam sistem hukum common law.

Padahal, lanjut Hendrikus, sejumlah kegiatan penghimpunan dana telah


diatur dalam peraturan perundang-undangan di sebagian sektor jasa
keuangan. Misalnya, pada saat menghimpun uang dalam bentuk tabungan
dan deposito, terdapat UU Perbankan yang mengatur kegiatan tersebut.

“Kamu menghimpun dana publilk dengan cara menerbitkan surat hutang


atau saham, itu diatur dengan UU Pasar Modal. Kamu menghimpun dana
publik dalam bentuk terima iuran untuk bayar premi asuransi, itu diatur
dengan UU Asuransi. Menghimpun dana publik dalam bentuk membayar
iuran untuk pensiun, diatur dengan UU Dana Pensiun,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, trust sendiri merupakan sebuah hubungan yang


bersifat kontraktual antara pemilik dana aset (settor) dan pihak yang
mengelola dana (trustee) serta pihak yang menerima manfaat atas
pengelolaan dana investasi (beneficiary).

Baca:
 Mencari Regulasi Ideal Industri Fintech P2P
 Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech
 Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech

Industri fintech, lanjut Hendrikus, merupakan bagian dari ekonomi digital.


Menurutnya, jika masyarakat masih membayangkan transaksi harus
bertatap muka, maka tidak masuk dalam kategori ekonomi digital atau
industri 4.0. Agar industri fintech dapat berkembang pesat, maka
diperlukan landasan hukum yang kuat sehingga tercipta keamanan bagi
pemberi, pengguna dan pengelolanya.

“UU Trustee kehadirannya itu sangat diperlukan untuk mendukung industri


4.0 karena dengan UU Trustee ini itu bisa ditunjuk pihak ketiga sesuai
dengan keahlian dan persyaratannya, untuk menjaga dana yang dihimpun
itu,” ujar Hendrikus.

Ia berharap, pemerintah dan DPR menyadari pentingnya aturan trustee ini.


Aturan trustee ini diharapkan dibalut dalam bentuk UU. “Jadi sebenarnya,
apa yang saya sampaikan ini untuk pengetahuan umum supaya kita tahu
bersama bahwa ada kondisi di lapangan sebenarnya kita memerlukan
kehadiran UU ini,” katanya.

Sebelumnya, Partner firma hukum AKSET, Abadi Abi Tisnadisastra


mengatakan pesatnya perkembangan industri fintech ini pun semakin
dirasa penting bagi para konsultan hukum di pasar modal dan keuangan.
Ia mencontohkan bahwa pada dasarnya internet banking dan penggunaan
mesin ATM adalah bentuk inovasi teknologi pada layanan keuangan.
Hanya saja, inovasi ini melekat pada perbankan sebagai bagian dari
lembaga keuangan konvensional.

Abi berpendapat bahwa fintech yang dimaksud pada masa kini telah
mengembangkan berbagai produk serupa perbankan dan jasa keuangan
lainnya yang lebih efisien. Sehingga akhirnya menghasilkan industri
tersendiri yang produknya beririsan dengan komoditas berbagai lembaga
keuangan konvensional. Meskipun adapula produk dari
industri fintech yang menggandeng produk dari lembaga keuangan
konvensional seperti perusahaan perbankan, investasi, dan
perasuransian.

Sebagai industri baru yang muncul akibat kemajuan teknologi membuat


aspek hukum fintech masih terus berkembang dan tidak dapat ditampung
dengan berbagai regulasi yang ada saat ini. Abi mengemukakan bahwa
fenomena ini terjadi pada berbagai sistem hukum di dunia. Apalagi
kehadiran fintech yang bersandar pada internet of things membuat industri
ini mampu beroperasi melintas batas berbagai yurisdiksi.

Industri fintech ini terdiri dari berbagai start up yang masih dalam tahap
perkembangan dengan bergantung suntikan dana investor. Tentunya, para
investor menginginkan jaminan hukum bahwa industri ini legal
berdasarkan berbagai regulasi tekait. Dan untuk mendapatkan
kepercayaan pengguna fintech dalam hal perlindungan konsumen,
berbagai produk fintech juga membutuhkan pengakuan dari regulator.
Peluang Besar Jasa Konsultan
Hukum dalam Industri Fintech
Konsultan hukum berperan memastikan rencana investor tersebut
sesuai dengan aturan main di Indonesia. Selain itu, konsultan hukum
juga dapat mendampingi pelaku usaha saat berhadapan dengan
regulator untuk memperoleh perizinan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d116cf7344bf/peluang-besar-jasa-konsultan-
hukum-dalam-industri-fintech

Perkembangan industri jasa keuangan berbasis digital atau financial


technology (fintech) semakin ramai digunakan masyarakat. Tidak hanya
itu, pelaku usaha atau korporasi fintech juga terus bermunculan mulai dari
investor lokal hingga asing seperti China. Para pelaku usaha fintech
tersebut saling menawarkan berbagai inovasi layanan agar diterima
masyarakat.

Di tengah kondisi ini, tidak hanya membuka peluang dari sisi bisnis fintech,
ternyata jasa konsultan hukum sangat dibutuhkan dari hulu hingga hilir
industri ini. Konsultan hukum memainkan peranan penting untuk
membantu investor memahami aturan main industri fintech di Indonesia.
Sebab, investor membutuhkan konsultan hukum yang dapat memberi
masukan sehingga kegiatan bisnis suatu perusahaan sesuai dengan
aturan yang berlaku.

Pernyataan ini disampaikan advokat dari Kantor Hukum AKSET Law,


Abadi Abi Tisnadisastra, dalam acara seminar “Fintech: Regulasi,
Perangkat Teknologi dan Pengawasannya Dikaitkan dengan Maraknya
Illegal Fintech” yang diselenggarakan HKHPM di Gedung Bursa Efek
Indonesia, Senin (24/6).

Menurut Abi perkembangan fintech yang dinamis menuntut konsultan


hukum harus terus mengikuti perkembangan industri ini. Sebab, kondisi
tersebut menyebabkan perangkat aturan fintech terus berubah.

“Dalam 5-10 tahun lalu, kita belum kenal industri ini namun dalam waktu
singkat sudah jadi bagian masyarakat. Lalu, apa artinya bagi konsultan
hukum? Dengan perkembangan signifikan banyak uncertainty dan
kebijakan mengambang sehingga ini jadi ruang bagi konsultan hukum agar
pelaku usaha dapat kepastian hukum,” jelas Abi.
Menurutnya, salah satu kebutuhan fintech terhadap pasar modal yaitu
dalam pemunuhan kebutuhan perizinan. Konsultan hukum berperan
memastikan rencana investor tersebut sesuai dengan aturan main di
Indonesia. Selain itu, konsultan hukum juga dapat mendampingi pelaku
usaha saat berhadapan dengan regulator untuk memperoleh perizinan.

Tren paling penting dicermati saat ini yaitu perusahaan fintech semakin
ekspansif kegiatan bisnisnya. Abi menjelaskan perusahaan fintech
mengarah pada akusisi, merger, pendanaan hingga penawaran saham
publik (initial public offering/IPO). “Sehingga, potensi kerja konsultan
hukum sangat besar,” jelasnya.

Dia melanjutkan industri fintech ini sudah menjangkau masyarakat yang


selama ini tidak terlayani jasa keuangan konvensional seperti perbankan.
Hal ini menandakan besarnya pangsa pasar industri fintech sehingga dilirik
investor asing. Sehingga, peran konsultan hukum semakin terbuka dalam
industri ini.

“Berbeda dengan perkembangan fintech di negara lain yang hanya jadi


pelengkap, di Indonesia justru menciptakan market baru. Misalnya, fintech
di Singapura hanya alternatif di antara jasa keuangan lain. Masyarakat
Indonesia unbank besar sehingga elemen disrupsinya berbeda dengan
negara lain,” jelas Abi.

(Baca Juga: Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech)

Menurut Abi, penting bagi konsultan hukum memahami hukum dan bisnis
industri fintech. Sebab, terdapat perbedaan signifikan antara fintech
dengan jasa keuangan konvensional. Dia juga mengimbau agar konsultan
hukum meningkatkan kapasitasnya dengan mempelajari dinamika fintech
di yurisdiksi lain. Menurutnya, peningkatan kompetensi tersebut seiring
pertambahan minat investor asing menanamkan modal pada sektor
fintech.

“Aturan fintech di Indonesia masih sangat minim. Sebagai konsultan


hukum harus men-develope ilmu sendiri bagaimana fintech peer to peer
lendingmisalnya di yurisdiksi lain seperti UK, India dan Filiphina. Kadang-
kadang konsultan hukum harus kreatif untuk mengetahui pandangan di
luar sana,” jelas Abi.

Pentingnya peran konsultan hukum dalam industri fintech juga


disampaikan Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama
Indonesia (AFPI), Kuseryansyah. Dia menyatakan dalam struktural Majelis
Etik AFPI juga dijabat profesional dunia hukum. Hal ini bertujuan
mengawasi setiap anggota AFPI mematuhi aturan yang ditetapkan
regulator dan kode perilaku.

Kuseryansyah menjelaskan permasalahan seperti penagihan kasar,


pencurian dan penyebaran data pribadi hingga pelecehan terhadap
nasabah yang menunggak pengembalian pinjaman terjadi pada industri
fintech. Sehingga, peran konsultan hukum sangat dibutuhkan untuk
menjamin persoalan tersebut tidak dilakukan fintech legal atau terdaftar
dan berizin regulator.

“Majelis etika ini bertugas memberi sanksi pada anggota yang melanggar
aturan dan pedoman perilaku,” jelas Kuseryansyah.

Dia juga menyampaikan saat ini asosiasi, pemerintah dan aparat penegak
hukum kesulitan memberantas fintech ilegal. Hal ini disebabkan mudahnya
fintech ilegal membuat aplikasi layanan baru setelah ditutup regulator.
Sehingga, dia mengimbau agar masyarakat lebih hati-hati sebelum
melakukan pinjaman online tersebut.

“Fintech ilegal memang di-takedown (tutup), tapi seminggu kemudian


mereka muncul lagi dengan nama yang beda. Dalam waktu cepat
mengubah namanya agar bisa berkomunikasi dengan borrowor-nya. Saya
berharap agar masyarakat bisa wise dan selektif pada fintech ini,”
pungkasnya.
Satgas Waspada Investasi
Blokir 144 Fintech dan 73
Investasi Ilegal
Sudah 947 fintech ilegal dan 120 investasi ilegal dihentikan kegiatan
usahanya karena merugikan masyarakat. Jumlah tersebut berpotensi
bertambah seiring semakin mudahnya entitas tersebut menawarkan
layanan kepada masyarkat
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cc6c30e7376b/satgas-waspada-investasi-blokir-
144-fintech-dan-73-investasi-ilegal

Kegiatan financial technology (fintech) dan investasi ilegal semakin marak


bermunculan menawarkan layanannya kepada masyarakat. Satuan
Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan Hukum di Bidang
Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan Investasi atau Satgas
Waspada Investasi kembali menemukan 144 entitas fintech peer to peer
lending tidak memiliki izin Otoritas Jasa Keuangan.

Sehingga, temuan OJK tersebut menambah daftar jumlah Fintech Peer-


To-Peer Lending ilegal yang telah dihentikan dengan jumlah 404 entitas
pada tahun 2018. Kemudian, jumlah entitas investasi ilegal yang telah
dihentikan sepanjang 2019 mencapai 543 entitas. Sehingga, secara total
saat ini yang telah ditangani sebanyak 947 entitas.

Menanggapi kondisi ini, Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam


Lumban Tobing menyatakan fintech ilegal ini menargetkan masyarakat
dengan menawarkan kemudahan pinjaman. Namun di sisi lain, risiko
pinjaman fintech sangat tinggi sehingga masyarakat akan menjadi korban
dari kegiatan usaha ilegal tersebut. Atas kondisi tersebut, dia mengimbau
agar masyarakat berhati-hati saat menerima tawaran pinjaman dari fintech
ilegal ini.

“Jumlah fintech lending ilegal yang beredar masih banyak. Kami mohon
masyarakat tetap waspada dan berhati-hati sebelum memilih perusahaan
fintech lending. Gunakan fintech lending yang sudah terdaftar di OJK
sebanyak 106 perusahaan,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi,
Tongam L. Tobing, (Senin (29/4), ketika dikonfirmasi.
Tidak hanya fintech ilegal, ternyata kegiatan usaha investasi ilegal juga
terus bermunculan. Sebelumnya pada 24 April, Satgas Waspada Investasi
juga menghentikan 73 kegiatan usaha yang diduga melakukan kegiatan
usaha tanpa izin dari pihak berwenang dan berpotensi merugikan
masyarakat. Sehingga, total kegiatan usaha yang diduga merupakan
investasi ilegal dan dihentikan Satgas Waspada Investasi selama tahun
2019 sejumlah 120 entitas.

Jenis kegiatan usaha yang dihentikan Satgas Waspada Investasi pada 24


April 2019 sebagai berikut:

Tongam menjelaskan karakter investasi ilegal ini menawarkan imbal hasil


yang tidak wajar. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat tertarik
menyetorkan dananya kepada entitas ilegal tersebut. “Penawaran
investasi ilegal juga masih banyak di masyarakat, dan ini sangat
berbahaya bagi ekonomi masyarakat. Masyarakat diminta selalu berhati-
hati dalam menginvestasikan dananya. Jangan sampai tergiur dengan
iming-iming keuntungan yang tinggi tanpa melihat risiko yang akan
diterima,” kata Tongam.

(Baca: Investasi Ilegal Mengintai Masyarakat Perkotaan,


Waspadalah!)

Sebagai upaya pencegahan, Tongam juga menjelaskan pihaknya


melakukan tindakan berupa sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat
agar masyarakat terhindar dari kerugian investasi ilegal. Peran serta
masyarakat sangat diperlukan, terutama untuk tidak menjadi peserta
kegiatan entitas tersebut dan segera melaporkan apabila terdapat
penawaran investasi yang tidak masuk akal.

Penindakan terhadap fintech ilegal ini sulit dilakukan karena menggunakan


layanan digital dalam memasarkan produknya. Meski telah bekerja sama
dengan perusahaan toko aplikasi untuk pemblokiran, entitas investasi
ilegal masih terus bermunculan.

Selanjutnya, Satgas Waspada Investasi mengimbau kepada masyarakat


agar sebelum melakukan investasi untuk memahami hal-hal sebagai
berikut:

1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persoalan investasi ilegal terus menjadi perhatian otoritas yakni Tim


Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementerian dan
lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kepolisian Republik
Indonesia hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo). Pasalnya, permasalahan investasi ilegal ini baru mencuri
perhatian publik setelah terdapat laporan kerugian nasabah.

Praktik investasi ilegal ini bukan persoalan sederhana karena kerugian


masyarakat sepanjang mencapai Rp88,8 triliun sepanjang 2008-2018.
Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih besar karena tidak semua korban
investasi ilegal melapor kepada otoritas. Berbagai kasus investasi ilegal
yang merugikan masyarakat dalam jumlah besar seperti Pandawa Group
(Rp 3,8 triliun), Dream Freedom (Rp 3,5 triliun), Cakrabuana Sukses
Indonesia (Rp 1,6 triliun).
Investasi Ilegal Mengintai
Masyarakat Perkotaan,
Waspadalah!
Praktik investasi ilegal ini bukan persoalan sederhana karena kerugian
masyarakat sepanjang mencapai Rp88,8 triliun sepanjang 2008-2018.
Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih besar karena tidak semua
korban investasi ilegal melapor kepada otoritas.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ca740cf15a4f/investasi-ilegal-mengintai-
masyarakat-perkotaan--waspadalah

Persoalan investasi ilegal terus menjadi perhatian otoritas yakni Tim


Satgas Waspada Investasi (SWI) yang terdiri dari 13 kementerian dan
lembaga seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kepolisian Republik
Indonesia hingga Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo). Pasalnya, permasalahan investasi ilegal ini baru mencuri
perhatian publik setelah terdapat laporan kerugian nasabah.

Praktik investasi ilegal ini bukan persoalan sederhana karena kerugian


masyarakat sepanjang mencapai Rp88,8 triliun sepanjang 2008-2018.
Jumlah tersebut diperkirakan jauh lebih besar karena tidak semua korban
investasi ilegal melapor kepada otoritas. Berbagai kasus investasi ilegal
yang merugikan masyarakat dalam jumlah besar seperti Pandawa Group
(Rp 3,8 triliun), Dream Freedom (Rp 3,5 triliun), Cakrabuana Sukses
Indonesia (Rp 1,6 triliun).

Uniknya, berbagai kasus investasi ilegal ini paling rentan terjadi di daerah
perkotaan besar seperti Jakarta yang seharusnya memiliki pemahaman
lebih mengenai literasi keuangan. Ketua Satgas Waspada Investasi,
Tongam Lumban Tobing, menjelaskan masyarakat perkotaan rentan
terjadi karena mayoritas perputaran modal terjadi di wilayah perkotaan.
Sehingga, masyarakat perkotaan justru lebih rentan dibanding pedesaan.

“Masyarakat Jakarta sangat banyak (korban) karena perputaran uang ada


di sini. Sedangkan kalau di desa enggak banyak (perputaran uang).
Bahkan, ada korban yang kena tipu sampai empat investasi sekaligus,”
jelas Tongam dalam acara Sosialisasi Investasi Ilegal di Jakarta, Jumat
(5/3).
Menurut Tongam, kemunculan korban ini akibat mudahnya masyarakat
tergiur terhadap tawaran investasi ilegal yang menawarkan bagi hasil
(return) tinggi di atas rata-rata industri keuangan. Bahkan, terdapat
investasi ilegal menawarkan bagi hasil sampai 4 persen per hari.

Padahal, Tongam menjelaskan tingginya imbal hasil tersebut merupakan


karakteristik investasi ilegal. “Salah satu ciri-ciri investasi ilegal itu
menawarkan return yang tidak rasional. Alangkah menyesatkan mereka
(investasi ilegal) menawarkan bunga 5-10 persen per bulan bahkan ada
yang 4 persen satu hari,” jelas Tongam.

(Baca: Fintech Ilegal, Diblokir Satu Tumbuh Seribu)

Permasalahan investasi ilegal ini semakin diperparah karena keterlibatan


tokoh agama dan masyarakat sehingga menjadi daya tarik masyarakat
berinvestasi. Sehingga, Tongam menyampaikan agar masyarakat berhati-
hati dalam berinvestasi. Menurutnya, terdapat berbagai cara agar
masyarakat terhindar dari penipuan investasi ilegal.

Kiat untuk mengenali investasi berizin antara lain, masyarakat diminta teliti
terhadap legalitas lembaga dan produk yang ditawarkan dalam
berinvestasi. Kemudian, perlu memahami proses bisnis yang ditawarkan.
Masyarakat juga harus mengetahui manfaat dan risiko dari produk yang
diinvestasikan. Lalu, masyarakat juga harus memahami hak dan kewajiban
sebagai investor.

Karakter Investasi Ilegal:


 Menjanjikan keuntungan tidak wajar dalam waktu cepat
 Menjanjikan bonus dari perekrutan anggota baru “member get member”
 Memanfaatkan tokoh masyarakat / tokoh agama / Public Figure untuk menarik minat
berinvestasi
 Klaim Tanpa Risiko (free risk)
 Legalitas tidak jelas :
a. Tidak memiliki izin
b. Memiliki izin kelembagaan tapi tidak punya izin usaha
c. Memiliki izin kelembagaan dan izin usaha namun melakukan kegiatan yang tidak sesuai
dengan izinnya.

Jumlah laporan investasi ilegal yang diterima Tim Satgas Waspada


Investasi terus meningkat setiap tahunnya. Tim Satgas Waspada Investasi
menindak sebanyak 80 entitas investasi ilegal sepanjang 2017. Jumlah
penindakan tersebut meningkat menjadi 108 entitas ilegal pada 2018.
Bahkan, penindakan pada tahun ini mencapai 47 entitas.

(Baca Juga: Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech)

Selain persoalan investasi ilegal, kasus pelanggaran hukum terhadap


nasabah juga terjadi pada pinjaman online atau financial technology peer
to peer lending (fintech P2P) ilegal. Jumlah kasus pelanggaran ini terus
bertambah seiring meningkatnya keinginan masyarakat meminjam dana.
Hingga saat ini, Tim Satgas Waspada Investasi telah memblokir sebanyak
803 entitas fintech P2P ilegal.

Tongam mengakui penindakan terhadap fintech ilegal ini sulit dilakukan


karena menggunakan layanan digital dalam memasarkan produknya.
Meski telah bekerja sama dengan perusahaan toko aplikasi untuk
pemblokiran, entitas investasi ilegal masih terus bermunculan.

“Saat ini, sangat mudah buat aplikasi. Lalu, pinjaman online ini sangat
diminati masyarakat Indonesia khususnya bependapatan menengah
bawah. Kami hanya bisa memblokir secara rutin,” kata Tongam.

Risiko dari pinjaman online ilegal ini antara lain jeratan bunga pinjaman
yang tinggi. Selain itu, pencurian data pribadi hingga penagihan intimidatif
dan pelecehan seksual juga dilakukan entitas fintech ilegal tersebut.

(Baca Juga: Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech)

Persoalan entitas ilegal juga terjadi pada investasi perdagangan berjangka


komoditi. Berdasarkan data Badan Pengawas Perdagangan Berjangka
Komoditi (Bappepti), terdapat 161 situs perdagangan berjangka ilegal
sepanjang 2018. Jumlah tersebut meningkat dari 107 situs pada tahun
sebelumnya.

Kepala Bagian Penindakan Pelanggaran Transaksi Bappepti, Taufik,


menjelaskan salah satu karakter entitas ilegal tersebut tidak memiliki
alamat kantor yang jelas. Kemudian, entitas ilegal tersebut juga
menawarkan imbal hasil yang tidak wajar. Selain itu, nama perusahaan
pada entitas ilegal juga tidak jelas.
Sumber: Materi presentasi Kepala Bagian Penindakan Pelanggaran
Trasaksi Bappepti, Taufik

Atas kondisi tersebut, Taufik mengimbau masyarakat cermat sebelum


berinvestasi. Sebab, tingginya keuntungan pada investasi pada
perdagangan berjangka komoditi berisiko disalahgunakan oknum tidak
bertanggung jawab untuk menipu masyarakat. Kemudian, Taufik juga
meminta agar masyarakat melihat legalitas dari pialang sebelum
berinvestasi. Sebab, setiap pialang harus mendaftar perizinan pada
Bappepti.

“Masyarakat harus pelajari latar belakang perusahaan, tata cara


bertransaksi dan mekanism penyelesaian saat terjadi perselisihan. Lalu,
pahami kontrak berjangka yang diperdagangkan dan dokumen perjanjian.
Masyarakat harus menggunakan pialang serta wakil pialang yang dapat
izin dari Bappepti,” jelas Taufik.
Persoalan Perlindungan
Konsumen di Industri Fintech
POJK 77/2016 dinilai tak bisa mengakomodir maraknya pelanggaran
perlindungan konsumen yang terjadi di sektor pinjaman online.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c9b2d59c6c3e/persoalan-perlindungan-
konsumen-di-industri-fintech

Kehadiran Financial Technology (Fintech) sejatinya memberikan


kemudahan bagi masyarakat.
Belanja online, ojek online, pinjaman online, merupakan bagian dari fintech
yang saat ini tengah populer. Namun sayangnya orang kerap
mengabaikan aspek perlindungan konsumen ketika mereka menggunakan
layanan berbasis internet ini.

Seiring dengan berkembangnya teknologi, jenis-jenis Fintech pun semakin


beragam, di antaranya seperti inovasi teknologi finansial terkait
pembayaran dan transfer, lembaga jasa keuangan, dan perusahaan start-
up Fintech yang menggunakan teknologi baru untuk memberikan layanan
yang lebih cepat, murah, dan nyaman.

Perusahaan di sektor pembiayaan dan investasi pun berkompetisi dengan


menggunakan inovasi teknologi dalam menjual produk dan jasa
keuangannya. Jenis-jenis Fintech di sektor ini di antaranya seperti Peer-to-
Peer (P2P) Lending, Crowdfunding, Supply Chain Finance, dan lain-lain.

Fintech jenis lainnya yang berkembang di dunia antara lain, Robo advisor,
Blockchain, Information and Feeder Site, dan lain-lain.
Seluruh Fintech tersebut memberikan kemudahan bagi konsumen
keuangan untuk membeli dan menggunakan produk dan jasa keuangan
pada saat ini.
Sumber: OJK

Belakangan ini, fintech P2P Landing menjadi sorotan. Aplikasi pinjaman


online ini menjadi populer lantaran memberikan akses pinjaman kepada
masyarakat dengan syarat yang mudah. Cukup dengan Kartu Tanda
Penduduk, foto, dan nomor rekening, pinjaman akan masuk ke rekening
hanya dengan hitungan menit.

Sayangnya, kehadiran pinjaman online ini menimbulkan banyak problem


terutama dari sisi perlindungan konsumen, bahkan sudah memakan
korban kematian. Pada Februari lalu, seorang supir taksi berinisial Z nekat
mengakhiri hidupnya setelah terjerat utang dengan aplikasi
pinjaman online sebesar Rp500 ribu. Peristiwa ini tentu menjadi sinyal
bahaya terhadap konsumen dan harus menjadi perhatian bagi pemerintah.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Jeanny Silvia


S. Sirait, mengatakan hingga Februari 2019, LBH sudah menerima laporan
terkait pinjaman online hingga tiga ribu lebih. Dari total laporan yang
masuk, kata Jeanny, terdapat empat belas jenis pelanggaran yang sudah
dirangkum oleh LBH.

(Baca Juga: Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech)

Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang


diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam seperti
besaran bunga, biaya administrasi. Lalu keluhan yang masuk ke LBH
terkait tingginya biaya bunga dan administrasi, proses penagihan yang di
dalamnya terdapat tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan
penyebaran data pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.
“Berdasarkan penelitian kami kemarin banyak aplikasi yang memberikan
bunga sebesar 350 persen dalam 90 hari, dan juga sulit berkontak
dengan debtcollector maka konsumen mencari alamat perusahaan terkait
tapi perusahan terkait tidak menyediakan alamat kantor, email maupun
nomor telepon yang bisa dihubungi,” kata Jeanny kepada hukumonline,
Kamis (22/3).

Tingginya angka tersebut, lanjut Jeanny, membuktikan bahwa sektor


perlindungan konsumen dan jaminan perlindungan Hak Asasi Manusia
(HAM) belum sepenuhnya dijamin oleh negara dalam kasus ini.
Kemudahan-kemudahan dalam mengakses pinjaman akhirnya berubah
menjadi malapetaka karena minimnya peraturan mengenai fintech.
Munculnya aplikasi-aplikasi pinjaman online ini sepatutnya diatur
sedemikian rupa lewat peraturan yang sifatnya spesifik. Misalnya saja
perlu aturan mengenai penjatuhan sanksi kepada aplikasi pinjaman online
yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum. Dan yang terpenting
adalah perlunya mekanisme pengaduan konsumen dan penyelesaian
sengketa jika terjadi konflik.

Jauh sebelum kasus ini muncul ke permukaan, sebenarnya Otoritas Jasa


Keuangan (OJK) sudah menerbitkan POJK No. 77 Tahun 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. POJK ini
lebih menekankan kewajiban pendaftaran bagi pelaku usaha yang ingin
berbisnis di sektor pinjaman online. Namun menurut Jeanny, mekanisme
pendaftaran di OJK tersebut masih dalam tanda tanya. Pasalnya, pasca
aturan ini resmi dinyatakan berlaku, hingga saat ini aplikasi-aplikasi
pinjaman online ilegal justru marak muncul di lapangan.

“Mekanisme pendaftaran di OJK itu mekanisme dalam tanda kutip yang


dianjurkan oleh OJK. Tapi saya mau tanya apakah kemudian pelaku
usaha dalam hal ini pelaku aplikasi pinjaman online ya, apakah kemudian
mereka tidak bisa menjalankan usahanya jika tidak terdaftar di OJK?
Nyatanya mereka bisa tetap menjalankan usahanya. Harusnya ada
mekanisme orang bisa menjalankan usaha jika mendaftar dulu di OJK,”
ungkap Jeanny.
Sumber: OJK

Kemudian, ia juga mempertanyakan POJK 77/2016 yang jelas mengatur


tentang larangan pengambilan data pribadi konsumen, terutama untuk hal-
hal yang tidak diperlukan dalam proses pinjam meminjam. Namun
faktanya, masih banyak aplikasi-aplikasi yang sudah mengantongi izin dari
OJK tetapi tetap mewajibkan akses-akses yang tidak terkait dengan
proses pinjam meminjam seperti memutus dan menyambung wifi hingga
mengontrol handphone untuk tetap aktif atau tidak.

Jeanny menegaskan bahwa maraknya kasus pinjaman online pasca


terbitnya POJK sudah cukup membuktikan bahwa regulasi tersebut belum
memberikan perlindungan terhadap konsumen yang menggunakan
layanan pinjaman online. “Nyatanya hari ini kita bisa lihat permasalahan ini
muncul dan marak, padahal POJK terbit 2016 tapi kasus ini marak setelah
tahun 201. Itu karena aturannya tidak cukup melindungi,” jelasnya.

Sumber: OJK

Sebagai respons atas situasi ini, Jeanny menyampaikan bahwa pihaknya


tengah menyusun rekomendasi kebijakan yang nantinya akan
disampaikan kepada OJK. Beberapa poin rekomendasi yang akan
disampaikan LBH adalah mengenai mekanisme pendaftaran di OJK,
batasan bunga, pengambilan data pribadi, penagihan, hingga pada
persoalan spesifik terkait mekanisme proses hukum di Kepolisian. Selain
itu LBH juga mendorong diterbitkanyya UU Perlindungan Data Pribadi.

“Kasus pinjaman online ini memang belum di atur di UU Perlindungan


Konsumen karena ini industri yang baru. Butuhnya apa yang pertama
paling spesifik adalah UU Perlindungan Data Pribadi itu yang paling
penting dan akan didorong, setelah itu terkait peer to peer atau fintech-
nya,” tambah Jeanny.
Melihat banyaknya pengaduan yang masuk ke LBH, Jeanny mengimbau
kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk tidak menggunakan jasa
layanan pinjaman online sampai negara dalam hal ini OJK memberikan
perlindungan hukum dan HAM yang jelas terhadap masyarakat.

Pengawasan
Bagi advokat yang fokus pada perkara penanganan perlindungan
konsumen, David Tobing, selayaknya perkembangan industri yang
berbasis teknologi dapat memberikan kemudahan dan keamanan bagi
konsumen. Jika kemudahan tidak diimbangi dengan keamanan maka akan
muncul konflik seperti yang sedang terjadi saat ini.

Menjamurnya pinjaman-pinjaman terutama aplikasi pinjaman online ilegal


atau tak berizin membuat risiko konflik semakin besar. Apalagi jika aplikasi
pinjaman online melakukan pelanggaran seperti penetapan bunga yang
besar, penagihan, dan pembukaan data konsumen.

Meski OJK telah mengeluarkan regulasi terkait pinjaman online ini, namun
sayangnya regulasi tersebut hanya berlaku bagi fintech peer-to-peer yang
sudah terdaftar di OJK. Menurut David, mayoritas pokok permasalahan
yang terjadi justru melibatkan pelaku usaha pinjaman online ilegal dan
konsumen. Dalam hal ini, David menilai pemerintah terkesan terlambat
dalam pengawasan dan penindakannya. Bahkan tak jarang, aplikasi yang
sudah diblokir akan muncul kembali dengan nama yang berbeda.

“Tapi masalahnya adalah pengawasannya. Ketika fintech-fintech ilegal ini


menjamur seakan-akan kurang cepat pengawasan dan
penindakannya. Misalnya di blokir apps atau website dan itu terlambat.
Nah itu kadang-kadang sudah diblokir hanya berubah nama dan
sebagainya. Namun saya tetap apresiasi karena kita lihat akhir-akhir ini
OJK dan Kominfo kerja keras dalam hal mendata fintech ilegal. Jadi sering
dilakukan pemblokiran,” kata David.
David mengingatkan pentingnya pengawasan pemerintah dalam industri
fintech. Pasalnya, pengguna akses internet di Indonesia cukup tinggi.
Tingginya angka penggunaan internet akan berbanding lurus dengan
potensi kejahatan yang akan terjadi.

Sehingga untuk meminimalisir terjadinya potensi konflik antara pelaku


usaha pinjaman online dan konsumen, David mengimbau masyarakat
untuk tidak menggunakan layanan pinjaman online hanya untuk kebutuhan
yang tidak mendesak. Jika terpaksa menggunakan layanan ini, gunakan
pinjaman untuk sesuatu yang produktif agar pengembalian dana bisa
terencana.

Di samping itu, ia juga mengingatkan konsumen untuk membaca


perjanjian pinjam meminjam secara detail yang diatur oleh pihak pinjaman
online. Jika sudah terjadi kesepakatan dan uang sudah ditransfer bahkan
terpakai, agak sulit bagi konsumen untuk mengembalikan keadaan seperti
semula.

“Jadi dalam hal ini bagaimana supaya tidak banyak orang jahat merugikan
pengguna internet, ya itu harus benar-benar diawasi,” tambahnya.
Sebelum memutuskan sepakat dengan perjanjian yang ditawarkan oleh
pihak pinjaman online, David mengingatkan konsumen harus membaca isi
perjanjanjian secara detail. Konsumen harus berhati-hati terhadap
penawaran yang menggiurkan, namun penuh dengan jebakan-jebakan
yang merugikan.

“Kalau sudah meyangkut fisik atau psikis, itu tentu sudah bisa dilaporkan
kepada pihak yang berwajib. Kalaupun mau melakukan gugatan karena
mengalami kerugian ya harus dibuktikan dia mengalami kerugian apa.
Kalau akibat cara penagihan atau data dibuka, foto di hp tersebar dari itu
bisa dituntut,” tegasnya.

Permasalahan pinjaman online ilegal ini juga menjadi perhatian Yayasan


Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi
mendesak agar OJK sebagai lembaga pengawas menutup atau memblokir
perusahaan fintech tersebut agar tidak semakin meresahkan masyarakat.
Selain itu, Tulus meminta OJK segera menertibkan praktik
fintech ilegal atau tidak berizin yang semakin menjamur di masyarakat.

Dari sisi konsumen, Tulus mengimbau agar membaca dengan cermat


persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh perusahaan fintech
sebelum bersepakat. Sebab, teror yang dialami konsumen bisa jadi
bermula dari ketidaktahuan konsumen memahami persyaratan teknis yang
ditentukan oleh perusahaan fintek tersebut.

“Konsumen tidak memahami bagaimana besaran bunga yang ditentukan


dan mekanisme cara penagihan oleh perusahaan online kepada
konsumennya,” ujar Tulus.
Mencari Regulasi Ideal Industri
Fintech P2P
Pelaku usaha ingin ketentuan batasan pendanaan fintech P2P
ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5cb5d8ca40ef0/mencari-regulasi-ideal-industri-
fintech-p2p/

Perkembangan industri financial technology peer to peer lending (fintech


P2P) atau pinjaman online sedang mendapat sorotan publik. Pasalnya,
ragam persoalan seperti mekanisme penagihan hingga pencurian data
pribadi masih membayangi industri yang baru berkembang sedekade
terakhir. Kemudian, payung hukum Peraturan Otoritas Jasa Keuangan
(POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi dianggap belum cukup mengakomodir industri fintech
P2P yang memiliki gaya bisnis dinamis.

Partner dari Kantor Hukum AKSET Law, Abadi Abi Tisnadisastra,


menjelaskan gaya bisnis fintech pinjaman online ini memiliki keragaman.
Sehingga, perlu pengaturan lebih komprehensif agar tidak menghambat
inovasi bisnis industri tersebut. Perlu diketahui, kategori fintech P2P ini
setidaknya terbagi menjadi tiga kategori fintech P2P ekosistem tertutup,
terbatas dan terbuka. Untuk fintech P2P ekosistem tertutup dan terbatas,
penyaluran pinjaman ditujukan untuk kegiatan produktif. Sedangkan,
ekosistem terbuka umumnya digunakan kegiatan konsumtif.

Sehingga, Abi menjelaskan perlu pengaturan lebih spesifik agar kegiatan


bisnis industri fintech P2P lebih pesat. Dia mencotohkan batasan
maksimal pinjaman dana sebesar Rp 2 miliar kepada nasabah.
Menurutnya, batasan tersebut terbilang kecil apabila pinjaman tersebut
digunakan untuk kegiatan produktif.

“Fintech P2P ini kegiatan bisnis dan produknya bermacam-macam tapi


pengaturannya masih general. Sehingga, agak sulit bagi perusahaan yang
menyalurkan pinjaman untuk kegiatan produktif karena terkena ketentuan
seperti batasan pinjaman Rp 2 miliar. Kalau, pinjaman konsumtif mungkin
cukup tapi untuk kegiatan produktif kurang besar. Sehingga, perlu regulasi
lebih spesifik sehingga tidak memberatkan dan memberi kepastian hukum
bagi para pelaku industri ini,” jelas Abi dalam Diskusi Hukumonline
2019 “Perkembangan Hukum dan Praktik Teknologi Finansial P2P di
Indonesia”, Kamis (11/4).

(Baca Juga: Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech)

Selain itu, Abi menyoroti kebijakan batasan penagihan tertunggak 90 hari


yang diatur dalam kode perilaku atau code of conduct Asosiasi Fintech
Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Menurutnya, batasan waktu
tersebut perlu disesuaikan dengan gaya bisnis masing-masing
penyelenggara. Batasan penagihan tertunggak ini diatur sehingga
penyelenggara fintech P2P lending tidak dapat mengenakan denda
keterlambatan pengembalian kepada nasabah.

Atas kondisi tersebut, Abi yang juga merupakan salah satu anggota
Komite Etik AFPI menilai perlu ada koordinasi antara OJK dengan asosiasi
dalam penyusunan regulasi tersebut. Sehingga, setiap ketentuan yang
disusun dapat diimplementasikan para penyelenggara fintech P2P.

Wakil Ketua Bidang Riset, Hukum dan Etika AFPI, Ivan Tambunan,
menyatakan pihaknya sedang menyempurnakan regulasi fintech P2P.
Salah satu yang jadi fokus sehubungan dengan batasan maksimal
pinjaman. Dia mengusulkan agar batasan pinjaman tersebut ditingkatkan
menjadi Rp 10 miliar.

Ketentuan ini juga disesuaikan dengan batasan pendanaan equity


crowdfunding yang diatur dalam POJK 37 Tahun 2018 tentang Layanan
Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi
(Equity Crowdfunding).

“Kami sekarang lagi mendekati OJK agar batasan pinjaman tersebut dapat
ditingkatkan menjadi Rp 10 miliar. Batasan ini agar disamakan dengan
industri equity crowdfunding. Saat ini, kebutuhan (pendanaan) keseluruhan
debitur jadi enggak bisa terpenuhi,” jelas Ivan.

Kemudian, Ivan juga menyadari kode perilaku yang menjadi self-regulatory


organization (SRO) industri fintech P2P perlu ditinjau kembali. Dia menilai
persoalan perlindungan data pribadi merupakan salah satu fokus yang
sedang ditingkatkan AFPI. Pasalnya, masih terdapat anggota AFPI atau
fintech P2P legal melanggar perlindungan data pribadi.

Berdasarkan pengaduan konsumen yang diterima AFPI, terdapat 214


kasus atau 41 persen sehubungan perlindungan data pribadi. Jumlah
tersebut merupakan kedua terbesar setelah penagihan kasar yang
mencapai 228 kasus. “Ada sekitar 30 persen pelanggaran yang dilakukan
fintech terdaftar (legal),” tambah Ivan.

Sebagai asosiasi, AFPI juga dapat menerapkan sanksi kepada para


anggotanya apabila terbukti melanggar aturan main fintech P2P. Sanksi
berupa teguran hingga pencabutan keanggotan dapat dikenakan pada
penyelenggara fintech P2P.

Perlu diketahui, dengan sanksi pencabutan keanggotaan tersebut maka


penyelenggara dapat dikategorikan ilegal karena tidak sesuai dengan
ketentuan POJK 77/2016. Aturan tersebut menyatakan setiap
penyelenggara harus tergabung dalam AFPI sebagai asosiasi yang
mendapat mandat OJK.
Aturan dan Risiko Bisnis Inovasi
Keuangan Digital
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5bc6c2234e31c/aturan-dan-risiko-bisnis-inovasi-
keuangan-digital

Pertanyaan
Saya ingin bertanya, apa perbedaan fintech dan inovasi keuangan digital?
Apakah POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang inovasi keuangan digital di
sketor jasa keuangan ada kaitanya dengan POJK nomor 77/POJK.01/2016
tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi? Apabila
perusahaan pembiayaan ingin melakukan inovasi keuangan digital, apa
kemungkinan kerugian yang akan dialaminya?

Ulasan Lengkap

Untuk pertanyaan ini, akan dijawab satu per satu sesuai dengan topik yang
bersangkutan.

Apa Itu Fintech?

Berdasarkan informasi dari laman Investopedia, sebuah laman yang menyajikan


informasi dan edukasi seputar konsep keuangan, investasi, dan pengelolaan
uang; Fintech (Financial Technology) secara umum dapat diartikan sebagai
penggunaan teknologi pada sektor jasa keuangan yang digunakan
untuk mengembangkan dan mengotomatisasikan penyerahan dan penggunaan jasa
keuangan. Penekanan di sini diberikan pada pengembangan, atau dapat juga dengan
inovasi, dari jasa keuangan itu sendiri, sehingga penggunaan teknologi yang tidak
mengembangkan atau juga tidak bersifat inovasi tidak dapat dianggap sebagai Fintech
(contoh: internet banking, digital banking, dll).

Apa Itu Inovasi Keuangan Digital (IKD)?

Inovasi Keuangan Digital (“IKD”) merupakan terminologi yang digunakan oleh Otoritas
Jasa Keuangan (“OJK”) pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan Digital di Sektor Jasa
Keuangan (“POJK 13/2018”). POJK 13/2018 mendefinisikan IKD sebagai aktivitas
pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai
tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.[1]
Mudahnya, IKD merupakan sebutan dari OJK bagi Fintech.[2] Kemudian, apakah ada
hubungan antara IKD dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi (“POJK 77/2016”)?

Jawabannya adalah ada dan sangat erat. IKD sebenarnya berfungsi sebagai wadah
pertama bagi ekosistem Fintech baru dengan menggunakan apa yang disebut
sebagai Regulatory Sandbox.[3]

Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk
menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola
penyelenggara.[4]

Melalui regulatory sandbox, OJK akan mengawasi pelaku fintech model baru yang
belum diakomodasi oleh kerangka hukum manapun, contohnya
adalah insurtech atau smart contract. Jika telah ada peraturan spesifik yang mengatur,
maka pelaku fintech tersebut akan keluar dari regulatory sandbox dan harus tunduk
pada kerangka hukum yang lebih spesifik.

OJK dalam menyelenggarakan regulatory sandbox untuk memastikan IKD (fintech)


memenuhi kriteria yakni:[5]

a. bersifat inovatif dan berorientasi ke depan;


b. menggunakan teknologi informasi dan komunikasi sebagai sarana utama pemberian
layanan kepada konsumen di sektor jasa keuangan;
c. mendukung inklusi dan literasi keuangan;
d. bermanfaat dan dapat dipergunakan secara luas;
e. dapat diintegrasikan pada layanan keuangan yang telah ada;
f. menggunakan pendekatan kolaboratif; dan
g. memperhatikan aspek perlindungan konsumen dan perlindungan data.

POJK 77/2016 sendiri sebenarnya adalah kerangka hukum bagi fintech jenis Peer-to-
Peer Lending (“P2PL”) yang mana sebenarnya adalah model fintech yang lebih
spesifik.[6] Akan tetapi, patut diingat bahwa POJK 77/2016 telah keluar lebih dahulu
sebelum POJK 13/2018, sehingga pelaku P2PL tidak mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti regulatory sandbox dan langsung wajib tunduk dengan POJK 77/2016.
Ulasan selengkapnya tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (P2PL) dapat Anda simak dalam artikel Dasar Hukum Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Risiko Bagi Pelaku IKD

Berkaitan dengan pertanyaan Anda, apabila perusahaan pembiayaan ingin melakukan


inovasi keuangan digital, apa kemungkinan kerugian yang akan dialaminya? Berikut
penjelasannya:

Mengenai perusahaan pembiayaan diatur pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan


Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan
Pembiayaan (“POJK 35/2018”), perusahaan pembiayaan adalah lembaga jasa
keuangan (“LJK”) berbentuk badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan barang
dan/atau jasa dan memiliki kegiatan usaha meliputi pembiayaan investasi, modal kerja,
multiguna dan pembiayaan lain.[7] Atas kedudukannya sebagai LJK, maka perusahaan
pembiayaan berhak untuk menjadi penyelenggara IKD, dan oleh karena itu perusahaan
pembiayaan tersebut wajib untuk memenuhi syarat produk IKD.[8]

Apa saja risiko yang dihadapi oleh penyelenggara IKD? Menurut hemat kami, tentunya
banyak risiko, beberapa di antaranya:

1. Risiko bisnis, karena sifat dari IKD sendiri yang harus inovatif, maka tahap
perkembangan awal menjadi sangat menentukan apakah IKD yang dikembangkan akan
sukses atau tidak;
2. Risiko hukum, dimana ada kemungkinan IKD yang dibuat akan dikeluarkan peraturan
yang bersifat spesifik (seperti P2PL dan Equity Crowdfunding), maka dengan demikian
perusahaan pembiayaan terkait wajib untuk mengikuti kerangka hukum yang baru; dan
3. Risiko teknologi informasi, termasuk di dalamnya kemungkinan adanya kebocoran data
yang menyebabkan hilangnya trust dari masyarakat.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

1. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan;


2. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
3. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi Keuangan
Digital di Sektor Jasa Keuangan;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 35/POJK.05/2018 tentang Penyelenggaraan
Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Referensi:

Investopedia, diakses pada Selasa, 22 Januari 2019, pukul 17.00 WIB.

[1] Pasal 1 angka 1 POJK 13/2018

[2] Penjelasan umum POJK 13/2018

[3] Pasal 7 ayat (1) POJK 13/2018

[4] Pasal 1 angka 4 POJK 13/2018

[5] Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 4 POJK 13/2018

[6] Penjelasan Pasal 3 huruf d POJK 13/2018.

[7] Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) POJK 35/2018. Lihat juga Pasal 1 angka
4 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

[8] Pasal 4 dan Pasal 5 ayat (1) huruf a POJK 13/2018.


Menakar Risiko Hukum
Blockchain Bagi Industri
Teknologi blockchain memudahkan pelaku usaha dalam mengambil
keputusan bisnis. Namun, risiko keamanan data masih jadi persoalan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ca1caabc1525/menakar-risiko-hukum-i-
blockchain-i-bagi-industri

Salah satu teknologi yang saat ini menjadi perbincangan masyarakat


yaitu blockchain. Berbagai kalangan menganalogikan teknologi ini seperti
buku besar digital yang terdesentralisasi atau distributed ledger
teknologi sehingga dapat diakses semua pengguna karena informasi yang
dikumpulkan disebar ke semua pihak yang mejalankan server.

Produk dari penggunaan blockchain yaitu mata uang virtual seperti


Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin, Litecoin, Namecoin, Nxt, Peercoin,
Primecoin, Ripple dan sejenisnya. Selain itu, blockchain juga digunakan
untuk membantu pembayaran lintas negara, remitansi, pencatatan
kepemilikan tanah dan properti hingga transaksi saham dan obligasi.

Anggota Indonesia Fintech Association (Aftech), Edward Ismawan


Chamdani,menjelaskan penerapan teknologi blockchain sedang
berkembang sehingga memerlukan dukungan regulasi yang tepat.
Menurutnya, peran para praktisi hukum sangat diperlukan agar aturan
yang dibuat dapat memberi perlindungan hukum sekaligus mendorong
inovasi.

“Peran legal untuk mengedukasi secara hukum seperti apa dan turunan
hukumnya juga bagaimana? Setiap institusi seperti BI dan OJK sangat
sadar mengenai blockchain ini karena dapat dimanfaatkan untuk berbagai
hal seperti remitence dan transaksi peer to peer,” jelas Edward dalam
Diskusi Computational Law and Blockchain Festival Jakarta di Kantor
Hukumonline, Kamis (28/3).

Lebih lanjut, Edward menjelaskan penerapan blockchain ini dapat


mendorong transparansi dan mempercepat proses kegiatan bisnis. Selain
itu, teknologi ini juga lebih menjamin keamanan data karena menggunakan
enkripsi atau sandi khusus.
“Tanpa blockchain database tersebar kemana-mana sehingga jika ada
pihak mau fraud atau enggak harus percaya. Kalau blockchain semua
data dienkripsi sehingga dapat diketahui kalau ada fraud,” jelas Edward.

(Baca Juga: Waspada! Perlindungan Konsumen Bitcoin Cs Masih


Lemah)

Penerapan blockchain di tanah air sendiri sudah memasuki berbagai


sektor seperti keuangan hingga pertanian. Salah satu perusahaan yang
menerapkan blockchain di sektor pertanian yaitu HARA. Perusahaan ini
menyediakan data pertanian yang dapat digunakan investor untuk
menawarkan permodalan pada para petani.

“Penggunaan data ini bisa digunakan siapa saja misalnya, perusahaan


pupuk yang ingin tahu penggunaan jenis pupuk di salah satu wilayah
pertanian. Bisa juga untuk mengetahui wilayah pertanian mana yang
menyediakan beras dan cabai,” jelas Legal and Compliance HARA Token,
Anggir Saktya.

Sumber: Materi presentasi Anggir Saktya

Anggir menjelaskan pemerolehan data tersebut dilakukan secara sadar


oleh para petani. Data tersebut juga dikunci dengan sistem enkripsi untuk
menjamin keamanan data pribadi. Kemudian, setiap data yang diunggah
para petani tersebut akan diketahui secara langsung sesama pengguna.
“Para petani ini meng-upload secara sadar data ini. Setiap data yang di-
upload juga berdasarkan konsen (kesepakatan),” tambah Anggir.

Meski demikian, Anggir dalam presentasinya menyampaikan


penggunaan blockchain ini masih terdapat potensi isu hukum seperti
kepemilikan data. Misalnya, pembuktian aset dalam suatu address milik
seseorang. Selain itu, terdapat juga risiko kehilangan atau lupa private key
sehingga tidak dapat diakses dan menjadi aset tidak bertuan.

Kemudian, apabila terjadi pelanggaran hukum pada


penggunaan blockchain, pelacakan dan penentuan pelaku akan sulit
dilakukan. Sebab, address dalam jaringan blockchain pada dasarnya
sudah tersedia didalam suatu jaringan tanpa didaftarkan terlebih dahulu.

Seseorang tidak dapat memilih kombinasi angka dan huruf untuk address
yang ia gunakan, karena ditentukan random oleh jaringan blockchain itu.
Sehingga, Sehingga, tidak diketahui identitas seseorang karena akunnya
terdiri dari sebuah kombinasi huruf dan angka random.

Perlu diketahui, belum terdapat regulasi yang mengatur


penerapan blockchainini. Salah satu aturan yang memuat
pengertian blockchain ini terdapat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

PBI tersebut menyatakan blockchain meruapakan salah satu


penyelenggaraan teknologi finansial pada kategoris sistem pembayaran
yaitu untuk penyelenggaraan transfer dana, uang elektronik, dompet
elektronik dan mobile payments.
Begini Respons BI Soal Mata
Uang Kripto Libra Milik
Facebook
Masyarakat diimbau waspada karena belum ada payung hukum yang
melegalkan mata uang kripto sebagai alat pembayaran. Perlu diketahui,
BI saat ini masih melarang penggunaan mata uang kripto sebagai alat
pembayaran.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d0b573aebea8/begini-respons-bi-soal-mata-
uang-kripto-libra-milik-facebook?utm_source=dable

Perusahaan teknologi ternama Facebook mengumumkan rencana


peluncuran mata uang virtual Libra pada 2020. Peluncuran mata uang
virtual ini diharapkan mampu menciptakan infrastruktur keuangan global
sederhana yang dapat memberdayakan miliaran orang di seluruh dunia.
Libra menggunakan teknologi blockchain yang menyerupai mata uang
kripto lainnya.

Founder dan CEO Facebook, Mark Zuckerberg menyatakan mata uang


kripto ini memiliki dampak positif bagi masyarakat karena tidak perlu
membawa uang tunai. Kemudian, mata uang kripto ini juga melayani
masyarakat yang tidak memiliki akses perbankan dan layanan jasa
keuangan lainnya. Dia memperkirakan ada sekitar satu miliar orang yang
tidak memiliki rekening bank tetapi memiliki ponsel.

“Kami bercita-cita memudahkan semua orang untuk mengirim dan


menerima uang seperti menggunakan aplikasi kami untuk secara instan
berbagi pesan dan foto,” jelas Mark dalam keterangan persnya, Selasa
(18/6).

Untuk mendukung rencana tersebut, Facebook juga meluncurkan anak


perusahaan independen bernama Calibra. Perusahaan tersebut akan akan
membangun layanan dompet digital yang akan tersedia
di WhatsApp dan Facebook Messenger dan sebagai aplikasi mandiri tahun
depan.

Selain kedua aplikasi pesan singkat tersebut, Mark menjelaskan banyak


perusahaan lain akan bekerja sama dengan Libra seperti Mastercard,
Paypal, Payu, Stripe dan Visa, untuk layanan populer seperti pemesanan,
Ebay, Farfetch, Lyft, Spotify dan Uber.

Dari sisi kemanan, Mark menjelaskan pihaknya menyatakan Calibra


memiliki tim yang kompeten dalam manajemen risiko sehingga dapat
mencegah orang-orang menggunakan mata uang kripto ini dari tindak
kejatan. “Kami akan menyediakan perlindungan penipuan jadi jika anda
kehilangan koin libra anda, kami akan menawarkan pengembalian dana.
Kami juga percaya bahwa penting bagi orang-orang untuk memiliki pilihan,
sehingga akan memiliki opsi untuk menggunakan banyak dompet pihak
ketiga lainnya di jaringan Libra,” jelas Mark.

(Baca Juga: Waspada! Perlindungan Konsumen Bitcoin Cs Masih


Lemah)

Atas rencana tersebut, Bank Indonesia (BI) sebagai pengawas mata uang
menyatakan pihaknya sedang mempelajari mata uang kripto Libra ini.
Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Onny Widjanarko,
menyatakan mata uang Libra ini merupakan produk baru sehingga perlu
kajian lebih mendalam dibandingkan mata uang kripto yang telah beredar.

Bahkan, Onny juga belum dapat menjelaskan mengenai risiko dari mata
uang Libra ini. “Ini (Libra) produk baru yang perlu dipelajari dan dipahami
dahulu. Apalagi barangnya belum ada dan baru plan,” jelas Onny, Rabu
(19/6).

Perlu diketahui, sikap BI terhadap mata uang kripto tidak


mengakui sebagai alat pembayaran yang sah, sehingga dilarang
digunakan sebagai alat pembayaran di Indonesia. Hal tersebut sesuai
dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 tentang Mata
Uang yang menyatakan bahwa mata uang adalah uang yang dikeluarkan
oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap transaksi yang
mempunyai tujuan pembayaran, atau kewajiban lain yang harus dipenuhi
dengan uang, atau transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib menggunakan Rupiah.

Masyarakat Diminta Waspada


Sementara itu, dosen hukum bisnis Universitas Bina Nusantara (Binus),
Bambang Pratama, mengimbau agar masyarakat tidak tergiur
menggunakan mata uang kripto Libra tersebut. Hal ini karena belum
adanya payung hukum yang melegalkan mata uang kripto sebagai alat
pembayaran. Perlu diketahui, BI saat ini masih melarang penggunaan
mata uang kripto sebagai alat pembayaran.
“Jangan digunakan dulu sebelum ada respon dari pemerintah. Wait and
see terlebih dahulu khawatir nanti Libra dilarang beredar di Indonesia dan
uang masyarakat yang sudah masuk tidak bisa kembali. Jadi saat ini
masih spekulasi bentuknya,” jelas Bambang kepada hukumonline, Kamis
(20/6).

Bambang juga menilai penggunaan mata uang kripto ini juga menimbulkan
permasalahan hukum. Selain itu, terdapat juga risiko moneter, persaingan
usaha, perlindungan data pribadi hingga pencucian uang.

Meski demikian, Bambang menjelaskan penggunaan mata uang kripto ini


tidak dapat dihindari lagi melihat semakin masifnya pihak-pihak terus
menerbitkan mata uang kripto jenis baru. Dia menilai ada pihak yang
menganggap penggunaan mata uang kripto ini memudahkan masyarakat
dalam bertransaksi.

Sehingga, Bambang menilai BI perlu kooperatif dengan pihak-pihak


penerbit mata uang kripto tersebut. Salah satu cara yang dapat dilakukan
yaitu pengintegrasian antara mata uang kripto dengan Rupiah.

“Menurut saya nanti peredaran Libra sulit dilarang karena jika dilarang
maka pemerintah harus melarang google pay, apple pay. Jadi menurut
saya pemerintah harus memiliki kebijakan dengan mewajibkan
penggunaan bank di Indonesia dalam aktiviras transaksi Libra nantinya.
Jadi, sistem pembayaran Rupiah juga bisa menggunakan
teknologi blockchain,” jelasnya.

 Menakar Risiko Hukum BlockchainBagi Industri


 Waspada! Perlindungan Konsumen Bitcoin Cs Masih Lemah
 8 Modus Penawaran Investasi Perdagangan Berjangka Komoditi Ilegal
 4 Aturan Aset Kripto dan Emas Digital yang Diterbitkan Bappebti
 Bitcoin Cs Sah Diperdagangkan di Bursa Komoditi, Bagaimana Isi Aturannya?
Perlindungan Data Pribadi
dalam Penyelenggaraan Fintech
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5c498fb94dc87/perlindungan-data-pribadi-
dalam-penyelenggaraan-fintech

Pertanyaan
Sejauh mana pencegahan penyalahgunaan data pribadi yang dilakukan
penyelenggara fintech perihal terjadi penyalahgunaan data pribadi untuk
meminjam uang? (Contoh menggunakan data orang lain untuk meminjam uang
di fintech). Adakah upaya yang bisa dilakukan jika
penyelenggara fintech menyalahgunakan data pribadi tanpa izin?

Ulasan Lengkap

Penggunaan Data Pribadi di Fintech

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Aturan dan Risiko Bisnis Inovasi
Keuangan Digital, fintech (Financial Technology) secara umum dapat diartikan sebagai
penggunaan teknologi pada sektor jasa keuangan yang digunakan
untuk mengembangkan dan mengotomatisasikan penyerahan dan penggunaan jasa
keuangan. Penekanan di sini diberikan pada pengembangan, atau dapat juga dengan
inovasi, dari jasa keuangan itu sendiri, sehingga penggunaan teknologi yang tidak
mengembangkan atau juga tidak bersifat inovasi tidak dapat dianggap sebagai Fintech
(contoh: internet banking, digital banking, dll).

Aturan fintech yang memberikan layanan pinjam meminjam uang merujuk


pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi(“POJK
77/2016”).

Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Dasar Hukum Layanan Pinjam Meminjam


Uang Berbasis Teknologi Informasi, layanan pinjam meminjam uang berbasis
teknologi informasi adalah penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk
mempertemukan pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman dalam rangka
melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata uang rupiah secara langsung
melalui sistem elektronik dengan menggunakan jaringan internet.[1]
Sementara menurut Pasal 3 ayat (1) huruf d Peraturan Bank Indonesia Nomor
19/12/PBI/2017 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial (“PBI
19/2017”), salah satu kategori penyelenggaraan teknologi finansial adalah pinjaman,
pembiayaan, dan penyediaan modal. Contoh penyelenggaraan teknologi finansial pada
kategori pinjaman (lending), pembiayaan (financing atau funding), dan penyediaan
modal (capital raising) antara lain layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi (peer-to-peer lending) serta pembiayaan atau penggalangan dana berbasis
teknologi informasi (crowd-funding).[2]

Sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel Bisakah Membayar Tunggakan Utang di


Aplikasi Online dengan Cara Mencicil?, pinjam meminjam uang tersebut
diselenggarakan berdasarkan perjanjian pelaksanaan, yang bentuknya:[3]

a. perjanjian antara penyelenggara dengan pemberi pinjaman; dan


b. perjanjian antara pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman.

Kedua jenis perjanjian di atas dituangkan dalam dokumen elektronik, yang paling sedikit
memuat:[4]

1. Penyelenggara dengan pemberi pinjaman


a. nomor perjanjian;
b. tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. besarnya komisi;
h. jangka waktu;
i. rincian biaya terkait;
j. ketentuan mengenai denda (jika ada);
k. mekanisme penyelesaian sengketa; dan
l. mekanisme penyelesaian dalam hal Penyelenggara tidak dapat melanjutkan
kegiatan operasionalnya.
2. Pemberi pinjaman dengan penerima pinjaman
a. nomor perjanjian;
b. tanggal perjanjian;
c. identitas para pihak;
d. ketentuan mengenai hak dan kewajiban para pihak;
e. jumlah pinjaman;
f. suku bunga pinjaman;
g. nilai angsuran;
h. jangka waktu;
i. objek jaminan (jika ada);
j. rincian biaya terkait;
k. ketentuan mengenai denda (jika ada); dan
l. mekanisme penyelesaian sengketa.
Mengenai pencantuman identitas untuk melakukan perjanjian, tentunya harus dilakukan
sesuai hukum, hal ini erat kaitannya dengan data pribadi yang diatur dalam Peraturan
Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan
Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik(“Permenkominfo 20/2016”).

Data Pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat, dan dijaga
kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya.[5] Data perseorangan tertentu adalah
setiap keterangan yang benar dan nyata yang melekat dan dapat diidentifikasi, baik
langsung maupun tidak langsung, pada masing-masing individu yang pemanfaatannya
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.[6]

Sehingga dapat dikatakan bahwa identitas dalam melakukan perjanjian pinjaman


dalam fintech tersebut termasuk dalam data pribadi, yang dimiliki oleh pemilik data
pribadi, yaitu individu yang padanya melekat data perseorangan tertentu.[7]

Pencegahan Penyalahgunaan Data Pribadi dalam Fintech

Perlindungan data pribadi dalam sistem elektronik mencakup perlindungan pada saat:[8]

a. perolehan dan pengumpulan;


b. pengolahan dan penganalisisan;
c. penyimpanan;
d. penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan/atau pembukaan akses;
dan
e. pemusnahan.

Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung harus diverifikasi ke
pemilik data pribadi. Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara tidak langsung
harus diverifikasi berdasarkan hasil olahan berbagai sumber data.[9]

Sebagai penyelenggara, fintech tentunya wajib melakukan perlindungan data pribadi


berdasarkan asas perlindungan data pribadi yang baik, meliputi:[10]

a. penghormatan terhadap data pribadi sebagai privasi;


b. data pribadi bersifat rahasia sesuai persetujuan dan/atau berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
c. berdasarkan persetujuan;
d. relevansi dengan tujuan perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan,
penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, dan penyebarluasan;
e. kelaikan sistem elektronik yang digunakan;
f. iktikad baik untuk segera memberitahukan secara tertulis kepada pemilik data pribadi
atas setiap kegagalan perlindungan data pribadi;
g. ketersediaan aturan internal pengelolaan perlindungan data pribadi;
h. tanggung jawab atas data pribadi yang berada dalam penguasaan pengguna;
i. kemudahan akses dan koreksi terhadap data pribadi oleh pemilik data pribadi; dan
j. keutuhan, akurasi, dan keabsahan serta kemutakhiran data pribadi.
Persetujuan sebagaimana dimaksud pada huruf b di atas diberikan setelah pemilik data
pribadi menyatakan konfirmasi terhadap kebenaran, status kerahasiaan dan tujuan
pengelolaan data pribadi.[11] Kemudian keabsahan merupakan legalitas dalam
perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan,
pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi.[12]

Untuk melakukan perolehan dan pengumpulan data pribadi, pihak fintech wajib
melakukannya berdasarkan persetujuan atau peraturan perundang-undangan, dengan
cara menyediakan formulir persetujuan dalam Bahasa Indonesia untuk meminta
persetujuan dari pemilik data pribadi yang dimaksud.[13]

Perolehan dan pengumpulan data pribadi dibagi menjadi dua, yakni secara langsung
dan secara tidak langsung.

Data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan secara langsung harus diverifikasi ke
pemilik data pribadi.[14] Sedangkan data pribadi yang diperoleh dan dikumpulkan
secara tidak langsung harus diverifikasi berdasarkan hasil olahan berbagai sumber data
dan memiliki dasar hukum yang sah.[15]

Perbuatan menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, menyebarluaskan, dan/atau


membuka akses data pribadi dalam sistem elektronik hanya dapat dilakukan:[16]

a. atas persetujuan kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan;


dan
b. setelah diverifikasi keakuratan dan kesesuaian dengan tujuan perolehan dan
pengumpulan data pribadi tersebut.

Terkait dengan pertanyaan Anda, data pribadi orang lain kami asumsikan menggunakan
identitas orang lain sebagai dasar untuk melakukan pinjaman
kepada fintech. Pihak fintech tentunya harus dengan cermat melakukan verifikasi bahwa
data yang digunakan adalah data yang otentik. Sehingga di sini dapat mencegah
penyalahgunaan data pribadi.
Hal ini sejalan dengan pendapat Hendri Sasmita Yuda, Pemerhati Kebijakan
Telematika, bahwa dalam menentukan data pribadi tidaklah mudah, ada proses-proses
yang harus dilalui. Termasuk identifikasi dan verifikasi, terkait hal itu dalam
memberitahukan pihak yang bersangkutan harus dilakukan dengan jelas, dan untuk apa
data pribadi itu digunakan. Dalam fintech tentunya penyelenggara harus melakukan apa
yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan dalam melakukan pencegahan
penyalahgunaan data pribadi.

Langkah Hukum Jika Data Pribadi Disalahgunakan

Disebutkan dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan
Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”):

Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap


informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadiseseorang harus
dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

Setiap orang yang dilanggar haknya sebagaimana dimaksud pada Pasal 26 ayat (1) UU
19/2016 dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.[17]

Dijelaskan bahwa dalam pemanfaatan teknologi informasi, perlindungan data pribadi


merupakan salah satu bagian dari hak pribadi (privacy rights). Hak pribadi mengandung
pengertian sebagai berikut:[18]

a. Hak pribadi merupakan hak untuk menikmati kehidupan pribadi dan bebas dari segala
macam gangguan.
b. Hak pribadi merupakan hak untuk dapat berkomunikasi dengan Orang lain tanpa
tindakan memata-matai.
c. Hak pribadi merupakan hak untuk mengawasi akses informasi tentang kehidupan
pribadi dan data seseorang.

Berarti jika seseorang merasa dirugikan karena identitasnya digunakan dalam


penyalahgunaan data pribadi, maka ia dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang
diperoleh, gugatan yang dimaksud adalah gugatan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”).

PMH diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH
Perdata”) yang berbunyi:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut.

Selain itu, atas pelanggaran ketentuan perlindungan data pribadi menurut Pasal 36 ayat
(1) Permenkominfo 20/2016 dapat diberikan sanksi sanksi peringatan lisan maupun
tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha dan/atau diumumkan melalui situs
dalam jaringan (website online), berikut bunyi pasal selengkapnya:

Setiap Orang yang memperoleh, mengumpulkan, mengolah, menganalisis, menyimpan,


menampilkan, mengumumkan, mengirimkan, dan/atau menyebarluaskan Data
Pribadi tanpa hak atau tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini atau
peraturan perundang-undangan lainnya dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan berupa:

a. peringatan lisan;
b. peringatan tertulis;
c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
d. pengumuman di situs dalam jaringan (website online)

Hal senada juga disampaikan dalam artikel Kenali Batasan Pemanfaatan Data Pribadi
Konsumen Agar Terhindar dari Jerat Hukum, bila terjadi penyalahgunaan data
pribadi atau bahkan perusahaan penyedia sistem ‘gagal’ dalam melindungi data pribadi
pengguna, ada dua langkah hukum yang bisa dilakukan pengguna. Pertama, pengguna
dapat mengajukan complain ke Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik
Indonesia (“Kominfo”) dengan dasar bahwa penyedia sistem informasi elektronik telah
gagal melindungi data pribadi pengguna. Dalam konteks upaya hukum yang ditempuh
adalah complain, maka unsur kerugian yang dihasilkan dalam kasus pelanggaran data
pribadi yang terjadi tak perlu dibuktikan. Adapun sanksi atas pelanggaran ketentuan
perlindungan data pribadi, diatur dalam Pasal 36 Permenkominfo 20/2016, yakni berupa
sanksi peringatan lisan maupun tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha
dan/atau diumumkan melalui situs dalam jaringan (website online). Hanya saja jika
pengguna menghendaki adanya ganti kerugian, lebih tepatnya bisa menempuh
langkah kedua, yaitu mengajukan gugatan ke pengadilan.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.


Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektroniksebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik;
3. Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Data Pribadi Dalam Sistem Elektronik;
4. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang
Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
5. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Catatan:

Pendapat Hendri Sasmita Yuda, S.H., M.H, CLA dikutip dalam Pelatihan Hukumonline
2019, Memahami Cyber Law, Cyber Crime, dan Digital Forensic Dalam Sistem Hukum
Indonesia (Angkatan Keenam), Rabu 23 Januari 2019.

[1] Pasal 1 angka 3 POJK 77/2016

[2] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf d PBI 19/2017

[3] Pasal 18 POJK 77/2016

[4] Pasal 19 ayat (1) dan (2) jo. Pasal 20 ayat (1) dan (2) POJK 77/2016

[5] Pasal 1 angka 1 Permenkominfo 20/2016

[6] Pasal 1 angka 2 Permenkominfo 20/2016

[7] Pasal 1 angka 3 Permenkominfo 20/2016

[8] Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 3 Permenkominfo 20/2016

[9] Pasal 10 ayat (1) dan (2) Permenkominfo 20/2016

[10] Pasal 2 ayat (2) Permenkominfo 20/2016

[11] Pasal 2 ayat (4) Permenkominfo 20/2016


[12] Pasal 2 ayat (5) Permenkominfo 20/2016

[13] Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 6 Permenkominfo 20/2016

[14] Pasal 10 ayat (1) Permenkominfo 20/2016

[15] Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) Permenkominfo 20/2016

[16] Pasal 21 ayat (1) Permenkominfo 20/2016

[17] Pasal 26 ayat (2) UU 19/2016

[18] Penjelasan Pasal 26 ayat (1) UU 19/2016


Dasar Hukum Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5a8a27073caf8/dasar-hukum-layanan-pinjam-
meminjam-uang-berbasis-teknologi-informasi/

Pertanyaan
Apakah sudah ada aturan dan sudah legal mengenai aplikasi yang memberikan
layanan pinjam uang seperti Kredit Gogo, Halo Money dll. Di beberapa media,
aplikasi seperti ini diatur dalam aturan fintech. Apakah OJK mengatur bahwa
aplikasi tersebut memiliki batasan jumlah uang yang bisa dipinjam?

Ulasan Lengkap

Dasar Hukum Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi

Untuk menjawab pertanyaan Anda, kita mengacu pada aturan mengenai layanan pinjam
uang berbasis aplikasi atau elektronik yang terdapat dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (“POJK 77/2016”).

Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi adalah


penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman
dengan penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam
dalam mata uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan
menggunakan jaringan internet.[1]

Menurut Pasal 3 ayat (1) huruf e Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017
Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial(“POJK 19/2017”) bahwa
layanan pinjam uang berbasis aplikasi atau teknologi informasi merupakan salah satu
jenis Penyelenggaraan Teknologi Finansial (Fintech) kategori Jasa
Keuangan/Finansial Lainnya.[2]

Hal senada juga disampaikan dalam artikel Upaya Menutup Celah Agar Fintech Tak
Berpraktik ‘Shadow Banking’, hadirnya fintech khususnya model bisnis layanan
pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi (Peer to Peer Lending), dapat
memangkas proses panjang dalam mengajukan kredit. Ketua Dewan Komisioner OJK,
Wimboh Santoso mengatakan bahwa hadirnya fintech yang berkembang cepat/pesat
memerlukan kebijakan yang cepat dan tepat dari regulator. Setelah melihat pesatnya
penyelenggara Peer to Peer Lending, OJK buru-buru mengeluarkan payung
hukum lewat POJK 77/2016.

Bentuk Badan Usaha, Modal, dan Kegiatan Usaha

Bentuk Badan Usaha

Badan hukum Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi


Informasi (“Penyelenggara”) berbentuk:[3]

a. perseroan terbatas; atau


b. koperasi

Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas dapat didirikan dan dimiliki
oleh:[4]

a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; dan/atau


b. warga negara asing dan/atau badan hukum asing.

Kepemilikan saham Penyelenggara oleh warga negara asing dan/atau badan hukum
asing, baik secara langsung maupun tidak langsung paling banyak 85%.[5]

Modal

Penyelenggara berbentuk badan hukum perseroan terbatas wajib memiliki modal


disetor paling sedikit Rp 1 miliar pada saat pendaftaran. Sedangkan untuk
penyelenggara berbentuk badan hukum koperasi wajib memiliki modal sendiripaling
sedikit Rp 1 miliar pada saat pendaftaran.[6]

Kemudian, Penyelenggara berbentuk perseron dan koperasi wajib memiliki modal


disetor atau modal sendiri paling sedikit Rp 2,5 miliar pada saat mengajukan
permohonan perizinan.[7]

Kegiatan Usaha
Penyelenggara menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi dari pihak Pemberi Pinjamankepada
pihak Penerima Pinjaman yang sumber dananya berasal dari pihak Pemberi
Pinjaman.[8]

Yang dimaksud dengan:[9]

1. Pemberi Pinjaman adalah orang, badan hukum, dan/atau badan usaha yang
mempunyai piutang karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis
Teknologi Informasi.
2. Penerima Pinjaman adalah orang dan/atau badan hukum yang mempunyai utang
karena perjanjian Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.

Perjanjian pelaksanaan Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi


meliputi:[10]

a. perjanjian antara Penyelenggara dengan Pemberi Pinjaman; dan


b. perjanjian antara Pemberi Pinjaman dengan Penerima Pinjaman.

Penyelenggara dapat bekerja sama dengan penyelenggara layanan jasa keuangan


berbasis teknologi informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.[11] Kemudian perlu diingat bahwa, dalam melakukan
usahanya, penyelenggara wajib mengajukan pendaftaran dan perizinan kepada
Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”).[12]

Batasan Pemberian Pinjaman Dana

Untuk menjawab pertanyaan Anda terkait batasan jumlah uang yang bisa dipinjam
melalui penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi
Informasi, Pasal 6 POJK 77/2016 mengatur sebagai berikut:

1. Penyelenggara wajib memenuhi ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman


dana kepada setiap Penerima Pinjaman.
2. Batas maksimum total pemberian pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) ditetapkan sebesar Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
3. OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian
pinjaman dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Jadi memang ada batasan jumlah pinjaman yang ditetapkan OJK dalam
penyelenggaraan layanan pinjaman berbasis aplikasi, yaitu maksimum Rp 2 miliar.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:

1. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 Tahun 2016 tentang


Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi;
2. Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/12/PBI/2017 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

[1] Pasal 1 angka 3 POJK 77/2016

[2] Pasal 3 ayat (1) huruf e POJK 19/2017 jo. Pasal 2 ayat (1) POJK 77/2016

[3] Pasal 2 POJK 77/2016

[4] Pasal 3 ayat (1) POJK 77/2016

[5] Pasal 3 ayat (2) POJK 77/2016

[6] Pasal 4 ayat (1) dan (2) POJK 77/2016

[7] Pasal 4 ayat (3) POJK 77/2016

[8] Pasal 5 ayat (1) POJK 77/2016

[9] Pasal 1 angka 6, 7 dan 8 POJK 77/2016

[10] Pasal 18 POJK 77/2016

[11] Pasal 5 ayat (2) POJK 77/2016

[12] Pasal 7 POJK 77/2016


Perkembangan dan
Permasalahan Hukum Fintech
Di tengah perkembangan yang pesat, ada beragam persoalan hukum di
industri fintech. Masyarakat jangan terbuai dengan kemudahan dalam
mendapatkan pinjaman, tapi perlu diperhatikan juga risiko hukum yang
mungkin timbul.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c9b2221dcb1c/perkembangan-dan-
permasalahan-hukum-fintech

Perkembangan teknologi sangat terasa dan sulit terbendung di kehidupan


sehari-hari. Bisa dibilang, segala kegiatan yang dilakukan masyarakat
selalu berhubungan dengan teknologi, tak terkecuali di sektor jasa
keuangan. Jika dahulu aktivitas pinjam meminjam uang hanya bisa
dilakukan di Bank, saat ini setiap orang dapat melakukan pinjaman dengan
mudah melalui aplikasi berbasis online atau biasa disebut financial
technology (fintech).

Hanya dengan mendownload aplikasi fintech yang ada di telepon


genggam, masyarakat dapat bertranskasi dengan mudah tanpa harus
pergi atau menghabiskan waktu ke bank untuk meminjam uang.

Kemajuan teknologi yang sudah mengubah perilaku dan kepercayaan


orang di sektor jasa keuangan bisa dimaklumi. Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) mencatat, 40 persen masyarakat Indonesia belum mempunyai
rekening. Pinjaman formal yang dilakukan melalui perbankan
membutuhkan jaminan, ada prosedur, dan membutuhkan waktu yang
lama. Model proses transaksi seperti ini jelas berbeda dengan fintech yang
terlihat sederhana.

Indonesia yang memiliki jumlah penduduk yang besar dan demografi


penduduk yang tersebar di berbagai pelosok, jelas menjadi pasar bagi
industri fintech. Indonesia memiliki modal besar untuk mendukung
perkembangan fintech dengan jumlah masyarakat kelas menengah yang
mencapai 45 juta orang, serta total pengguna internet yang mencapai 150
juta. Atas dasar itu, perkembangan fintech adalah sebuah keniscayaan
untuk dimanfaatkan bagi kepentingan perekonomian nasional.
Sumber: OJK

Seiring perkembangan fintech, OJK telah menyediakan kerangka


pengaturan dan pengawasan yang memberikan fleksibilitas ruang inovasi
namun tanpa mengorbankan prinsip-prinsip transparan, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan fairness (TARIF), melalui penyediaan
payung hukum inovasi keuangan digital dan pengaturan per produk seperti
layanan inovasi keuangan keuangan digital, layanan digital banking, peer
to peer lending dan equity crowdfunding.
Sumber: OJK

Salah satu aturan yang diterbitkan OJK adalah Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan (POJK) No.77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam
Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi, yang mewajibkan
Penyelenggara/platform fintech lending untuk mengedepankan
keterbukaan informasi terhadap calon pemberi pinjaman dan peminjamnya
agar dapat menilai tingkat risiko peminjam dan menentukan tingkat bunga.

Tumbuh pesatnya industri fintech di tengah masyarakat membuat OJK


berpikir keras terkait masalah perlindungan konsumen. Oleh sebab
itu, OJK menerbitkan POJK Nomor 13/POJK.02/2018 tentang Inovasi
Keuangan Digital di Sektor Jasa Keuangan sebagai ketentuan yang
memayungi pengawasan dan pengaturan industri fintech.
Sumber: OJK

OJK merasa inovasi keuangan digital perlu diarahkan agar menghasilkan


inovasi yang bertanggung jawab, aman, mengedepankan perlindungan
konsumen dan memiliki risiko yang terkelola dengan baik. Sesuai
dengan Peraturan OJK 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam
Uang Berbasis Teknologi Informasi, OJK mengawasi penyelenggara P2P
yang berstatus terdaftar atau berizin dan hingga 12 Desember 2018 telah
mencapai 78 penyelenggara.

“OJK mengarahkannya agar (fintech –red) bermanfaat untuk


perekonomian nasional dan kepentingan masyarakat luas serta
mengutamakan perlindungan terhadap masyarakat,” kata Ketua OJK
Wimboh Santoso saat membuka seminar “Fintech Goes To Campus –
Kolaborasi Milennial Dan Fintech Menyongsong Revolusi Industri 4.0” di
Universitas Sebelas Maret, Solo, Sabtu (9/3) lalu.

Di tengah perkembangan fintech, sayangnya masyarakat tidak menyadari


apakah penyelenggara fintech yang meminjamkan dana merupakan
perusahaan yang legal atau ilegal. Terkait hal hal ini OJK memastikan
bahwa penyelenggara Fintech Peer To Peer Lending yang tidak terdaftar
atau tidak berizin dari OJK dikategorikan sebagai P2P ilegal. OJK
mengingatkan keberadaan P2P ilegal tidak dalam pengawasan pihak
manapun, sehingga transaksi dengan pihak P2P ilegal sangat berisiko
tinggi bagi para penggunanya.

Belakangan perkembangan fintech ‘ternoda’ dengan maraknya usaha-


usaha fintech ilegal. Kondisinya bisa dibilang cukup
memprihatinkan. Jenis-jenis pelanggaran hukum yang
dilakukan fintech ilegal beragam, bisa berupa penagihan yang kasar
hingga pelecehan seksual. Selain itu, tingginya bunga pinjaman
hingga pencurian data pribadi melalui telepon seluler konsumen yang
dilakukan perusahaan fintech menimbulkan dampak buruk terhadap
konsumen.

Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam L. Tobing, mengatakan


berdasarkan deteksi servernya, kebanyakan server fintech-fintech ilegal
berasal dari Indonesia, kemudian dari Amerika Serikat, Singapura, Cina
dan Malaysia. Sedangkan modus penyelenggara fintech ilegal adalah
mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari masyarakat tanpa
mempedulikan aturan perundang-undangan yang berlaku.

“Jadi mereka membuat aplikasi di situs, appstore gawai tanpa memiliki izin
atau terdaftar di OJK,” kata Tongam.

Tongam mengatakan setiap fintech lending yang telah terdaftar/berizin dari


OJK telah dilarang untuk mengakses daftar kontak, berkas gambar dan
informasi pribadi dari smartphone pengguna fintech lending yang tidak
berhubungan langsung dengan pengguna. Kemudian, setiap bentuk kerja
sama Penyelenggara dengan pihak ketiga, antara lain kerja sama
penagihan, wajib disampaikan kepada OJK untuk dilakukan penilaian
apakah kerja sama dapat dilanjutkan atau tidak.

Sekadar catatan, sampai Februari 2019 sudah ada 99 perusahaan fintech


peer to peer lending yang terdaftar dan berizin OJK. Hingga pertengahan
Maret 2019, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan 168 entitas
fintech ilegal. Satgas juga mengklaim telah mendeteksi 803 entitas fintech
ilegal. Satgas juga sudah meminta Kemkominfo untuk menutup fintech
ilegal tersebut.

“Kami meminta masyarakat untuk tidak melakukan pinjaman


terhadap Fintech Peer-To-Peer Lending tanpa terdaftar atau izin OJK
tersebut, agar tidak dirugikan ulah Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal
tersebut,” kata Tongam.

Sumber: OJK

Sementara LBH Jakarta mencatat hingga Februari 2019 telah menerima


sekitar 3 ribu pengaduan masyarakat terkait fintech ilegal. Selain LBH
Jakarta,Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menerima
426 pengaduan yang mengadukan 510 platform fintech P2P lending
selama periode Januari - Maret 2019.

Mayoritas laporan yang masuk adalah mengenai minimnya informasi yang


diberikan oleh pelaku usaha terkait proses pinjam meminjam seperti
besaran bunga, biaya administrasi. Kemudian terkait tingginya biaya
bunga dan administrasi, proses penagihan yang di dalamnya terdapat
tindak pidana fitnah, penipuan, pengancaman dan penyebaran data
pribadi hingga sampai pada pelecehan seksual.

“Berdasarkan penelitian kami kemarin banyak aplikasi yang memberikan


bunga sebesar 350 persen dalam 90 hari, dan juga sulit berkontak
dengan debtcollector maka konsumen mencari alamat perusahaan terkait
tapi perusahan terkait tidak menyediakan alamat kantor, email maupun
nomor telepon yang bisa dihubungi,” kata Jeanny.
Sumber: Diolah dari Hasil Riset

Seolah-olah memberikan keuntungan, ternyata kegiatan fintech ilegal


justru menjebak dan merugikan masyarakat. Korban dikenakan bunga dan
denda yang tinggi, jangka waktu yang singkat, menyalin daftar kontak
yang kemudian dipergunakan untuk mengintimidasi atau meneror
korbannya kalau tidak mau melunasi pinjaman.

Permasalahan ini menjadi perhatian Yayasan Lembaga Konsumen


Indonesia (YLKI). Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, berpendapat selain
OJK bertindak tegas terhadap perusahaan fintech ilegal, konsumen
diminta membaca dengan cermat persyaratan-persyaratan yang
ditentukan oleh perusahaan fintech sebelum bersepakat. Sebab, teror
yang dialami konsumen bisa jadi bermula dari ketidaktahuan konsumen
memahami persyaratan teknis yang ditentukan oleh perusahaan fintech
tersebut.

“Konsumen tidak memahami bagaimana besaran bunga yang ditentukan


dan mekanisme cara penagihan oleh perusahaan online kepada
konsumennya,” kata Tulus.
Meraba Potensi TPPU di
Industri Fintech
Industri apa pun yang berbasis teknologi digital memang akan sangat
rentan dijadikan sarana pencucian uang bilamana fungsi kontrol
pemerintah tak berjalan dengan baik.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c9c73ce3720d/meraba-potensi-tppu-di-industri-
fintech

Bila sebelumnya modus pencucian uang dikembangkan melalui


pemecahan dana kedalam sejumlah rekening bank, kini seiring tumbuhnya
berbagai model bisnis baru seperti peer to peer lending, pinjaman online,
jual-beli investasi online, polis asuransi online, maka modus
penyelundupan dana haram yang berasal dari predicate crime berpotensi
besar menyasar sektor financial technology (fintech),
khususnya fintech yang tak terdaftar di otoritas negara (fintech ilegal).

Mengantisipasi berbagai modus pencucian uang, Financial Action Task


Force(FATF) telah mengeluarkan 40 rekomendasi terkait standar
internasional di bidang pencucian uang dan pendanaan terorisme yang
diadopsi oleh mayoritas yurisdiksi dunia melalui pengawasan FATF-style
Regional Bodies (FSRBs). FSRBs untuk Negara-negara kawasan Asia
Pasifik ditangani oleh Asia Pacific Group on Money Laundering (APG).

APG bertugas mengevaluasi kepatuhan pemenuhan 40 rekomendasi


FATF para anggota, baik dari segi technical compliance
assessment maupuneffectiveness assetment melalui mutual evaluation
review (MER) terhadap anggota setiap 4 tahun sekali. Indonesia sendiri
telah menjadi anggota APG sejak 1999.

Dalam rentang 2017-2018, Indonesia telah menunjukan hasil yang cukup


baik dengan meningkatnya rating yang diperoleh untuk 2 (dua)
Rekomendasi, yaitu Rekomendasi 4 terkait legal framework penyitaan dan
perampasan aset dan Rekomendasi 8 terkait legal framework non-profit
organization, serta 2 (dua) Immediate Outcome (IO), yaitu IO2 terkait
efektivitas kerja sama internasional dan IO8 terkait efektivitas penyitaan
dan perampasan aset. Selengkapnya, berikut rating MER Indonesia yang
ditetapkan pada APGplenary di Nepal 2018 lalu:
Untuk diketahui, dasar hukum penerapan pengawasan anti pencucian
uang dan pencegahan pendanaan terorisme (PPT) tersebut di Indonesia
tertuang dalam beberapa aturan seperti UU No.8 Tahun 2010 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU), UU No.9 Tahun 2013tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT), PP No.43 Tahun
2015 tentang Pihak Pelapor dalam PPTPPU danPOJK No. 12 Tahun
2017 tentang Penerapan Program APU PPT di SJK.

Khusus fintech P2P lending, pengaturan spesifiknya dalam kaitannya


dengan regulasi anti pencucian uang merujuk pada POJK No. 12 Tahun
2017. Hanya saja, atas alasan penyesuaian waktu, POJK tersebut baru
mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang.

Merujuk Pasal 1 POJK a quo, industri fintech yang merupakan


penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi
informasi dikategorikan sebagai Penyelenggara Jasa Keuangan (PJK) di
sektor industri keuangan non bank. Konsekuensinya, fintech (PJK) wajib
mengidentifikasi, menilai dan memahami risiko TPPU dan/atau TPPT
terkait nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi atau
jaringan distribusi.

(Baca Juga: Persoalan Perlindungan Konsumen di Industri Fintech)

Selain itu, industri fintech juga akan diwajibkan untuk mendokumentasikan


penilaian risiko TPPU/TPPT; mempertimbangkan seluruh faktor risiko yang
relevan sebelum menetapkan tingkat keseluruhan risiko, serta tingkat dan
jenis mitigasi risiko yang memadai untuk diterapkan; mengkinikan
penilaian risiko secara berkala; dan memiliki mekanisme yang memadai
terkait penyediaan informasi penilaian risiko kepada instansi yang
berwenang.

PJK juga diwajibkan memiliki kebijakan dan prosedur internal tertentu


untuk mengelola dan memitigasi risiko TPPU/TPPT. Paling kurang,
kebijakan dan prosedur penerapannya harus meliputi beberapa tindakan,
yakni:

Kewajiban CDD/EDD
Analis Eksekutif Senior pada Fungsional Pengendalian Kualitas dan
Monitoring Pengawasan Sektoral-Grup Penanganan APU PPT Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), Dewi Fadjarsarie Handajani, menjelaskan ada
beberapa pembagian kewajiban pelaksanaan uji tuntas customer oleh
PJK fintech, yakni CDD(customer due diligence) secara sederhana dan
EDD (enhance due diligence). CDD sederhana, wajib dilakukan
PJK fintech terhadap kostumer berisiko rendah TPPU/TPPT, sedangkan
EDD wajib dilakukan terhadap nasabah/kostumer berisiko tinggi.

Proses CDD dan EDD tersebut masuk dalam skema pelaksanaan APU
PPT sebagaimana diatur dalam POJK No. 12 Tahun 2017 tentang
Penerapan Program APU PPT di SJK. Penting dicatat, Dewi menyebut
implementasi kewajiban APU PPT khusus untuk fintech P2P Lending baru
mulai berlaku pada tahun 2021 mendatang. “Tujuannya untuk memberikan
keleluasaan dulu untuk industri yang baru tumbuh ini,” ungkap Dewi.

Proses CDD meliputi kegiatan identifikasi, verifikasi dan pemantauan oleh


PJK untuk memastikan transaksi sesuai dengan profil, karakteristik
dan/atau pola transaksi Calon Nasabah, Nasabah atau WIC. Sedangkan
EDD merupakan tindakan CDD lebih mendalam yang dilakukan PJK
terhadap calon nasabah/nasabah/WIC berisiko tinggi seperti memiliki latar
belakang, identitas dan riwayat yang dianggap berisiko tinggi melakukan
TPPU dan/atau PEP, termasuk Political Expose Person (PEP).

Dewi mencontohkan, untuk melakukan EDD maka PJK bisa membuat


suatu profil nasabah. Dari profil itu, PJK mesti mengetahui portofolio
pendanaan baik lender maupun debtor. Tak sekedar latar belakang/
identitas lender dan debtor, PJK juga perlu membuat range transaksi.
Untuk range di bawah Rp 50 juta misalnya, maka digolongkan dalam
transaksi low risk sehingga tak perlu mendapatkan pengawasan ekstra.

(Baca Juga: Perkembangan dan Permasalahan Hukum Fintech)

Jika transaksi dalam rentang Rp 50 juta hingga Rp 500 juta dikategorikan


sebagai medium risk, sedangkan high risk yang memerlukan pengawasan
ekstra ketat dan penting dilakukan EDD berada dalam kisaran transaksi di
atas Rp 500 juta.

“Kira-kira begitu. Karena risiko itu juga bergantung pada nominal, setelah
itu baru dilakukan monitoring. Disitu dapat dilihat bahwa yang
namanya risk base approach itu enggak serta merta semuanya dipukul
rata. Bisa dilihat sesuai dengan profilnya,” jelas Dewi.

Selain dilihat dari nominal transaksi, kategori AML high risk dapat juga
dilihat dari seberapa besar perusahaan, bentuk perusahaan
(yayasan/Koperasi/PT),profil nasabah, lokasi daerah, bidang layanan
korporasi hingga Beneficial Owner (pemilik manfaat sebenarnya/BO) dari
korporasi tersebut.

Contoh jelasnya, nasabah yayasan dianggap berisiko lebih tinggi terpapar


TPPU/TPPT bila terafiliasi dengan LSM yang berkegiatan terkait
radikalisme, sebaliknya jika yayasan tersebut bergerak di bidang
pendidikan resikonya menjadi sedang. Contoh lain, perusahaan besar
dengan jumlah pegawai yang lebih banyak, anak usaha tersebar di
beberapa daerah dan memiliki sistem transaksi yang
lebih sophisticated maka bisa dikategorikan pula sebagai AMLhigh risk.

Masing-masing pengawas OJK, kata Dewi, akan membuat individual risk


assessment terhadap semua PJK dan dilakukan pemetaan terkait
tingkatsafety risk transaksi disegala lini tersebut. Bilamana kategori
transaksi berupa AML high risk, OJK akan melakukan pemeriksaan APU
PPTsetiap satu tahun sekali. Untuk AML kategori middle risk maka
pemeriksaan dilakukan dalam 2 tahun sekali, sedangkan untuk low
risk dalam rentang 3 tahun sekali.

Terhadap PEP asing, selain menerapkan CDD, PJK fintech juga perlu
melakukan EDD secara berkala, setidaknya dengan melakukan analisis
terhadap informasi mengenai nasabah atau pemilik manfaat (beneficial
owner), sumber dana dan sumber kekayaan. Bahkan bila PJK fintech
melakukan hubungan usaha atau transaksi yang berasal dari Negara
berisiko Tinggi (high risk countries) yang dipublikasikan oleh FATF,
maka penting diambil langkah pencegahan (countermeasures). Disitu, PJK
tak sekedar diwajibkan melakukan EDD, namun juga harus meminta
konfirmasi dan klarifikasi kepada otoritas yang berwenang.

Belum Wajibkan Lapor TKM


Kewajiban melaporkan transaksi keuangan mencurigakan (TKM)
oleh fintechP2P Lending kepada Financial Intelligence Unit (FIU) yakni
PPATK memang hingga kini belum diatur. Mestinya, kata Dewi, PJK
fintech P2P juga diwajibkan melapor ke PPATK, baru selanjutnya PPATK
dan aparat penegak hukum yang bekerja dan memastikan apakah dalam
suatu TKM betul-betul dilakukan praktek TPPU dan TPPT. Pentingnya
pelaporan TKM ke PPATK, disebutnya karena OJK hanya berfungsi
sebagai pengawas yang memastikan bahwa PJK fintech telah
melaksanakan APU PPT dengan baik.

“Jadi tetap pelaporan TKM harusnya ke PPATK, karena PPATK lah yang
merupakan tempat untuk mengkonfirmasi TKM,” ungkapnya.

Bila merujuk definisi PJK pada Pasal 1 ayat (4) Perka PPATK No. PER-
09/1.02.2/PPATK/09/12 tentang Tata Cara Penyampaian Laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan dan Laporan Transaksi Keuangan
Tunai Bagi Nasabah Penyedia Jasa Keuangan, memang P2P Lending tak
dimasukkan dalam kategori PJK yang diwajibkan untuk lapor TKM
berdasarkan Perka PPATK a quo, baru entitas fintech payment
gateway yang diatur. Kendati belum ada kewajiban P2P sebagai pelapor,
tetap tak ada halangan bagi masyarakat untuk melapor ke PPATK.

“Kalau nasabah itu bermasalah bisa langsung saja lapor ke PPATK,


karena PPATK itu juga punya sistem yang namanya whistle blower.
Masyarakat disitu bisa email ke kpk dan ppatk,” jelas Dewi.
Saat dikonfirmasi, Kepala PPATK Ki Agus Ahmad Badaruddin menyebut
pihaknya masih dalam proses pengkajian terkait kewajiban pelaporan TKM
oleh fintech P2P Lending kepada PPATK. “Belum ada pengaturan soal
tkm ke ppatk. Sejauh ini masih dalam proses pengkajian dan
pembahasan,” ungkapnya dalam pesan singkat
kepada hukumonline, Senin, (25/3).

Fintech Ilegal Sarang TPPU/TPPT?


Untuk diketahui, Indonesia melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga
kini telah memberhentikan operasional sebanyak 803 entitas fintech
ilegal. Sejauh ini, Dewi juga menyebut sanksi yang didapatkan fintech
ilegal memang terbatas pada penghentian aktifitas perusahaan seperti
pemblokiran yang bekerjasama dengan Kementrian Informasi dan
Komunikasi (Kominfo).

Sedangkan Amerika Serikat (AS) bahkan tak segan-segan mengambil


tindakan hukum terhadap entitas fintech yang tak patuh terhadap
ketentuan federal Anti Money Laundering (AML). Tindakan tersebut
diambil melalui otoritas pemeriksa keuangan AS, the Financial Crimes
Enforcement Network (FinCEN) yang berada dibawah Departemen
Keuangan.

Fintech pertama yang disebut harus berhadapan dengan penegakan


hukum AML AS berupa denda senilai US$ 700 ribu, yakni Ripple Labs.
Ripple Labs kala itu menjalankan kegiatannya tanpa terdaftar
secara legal. Begitu tegasnya hukum AS memberikan sanksi
terhadap fintech ilegal selaras dengan tingginya kesadaran otoritas AS
akan bahayanya peredaran dana hasil pencucian uang di
industri fintech. Bila terdaftar, jelas akan mempermudah FinCEN dalam
mendeteksi sumber serta aliran dana masuk dan keluar, sehingga mata
rantai peredaran uang hasil TPPU dapat diputus dengan mudah.

Pakar TPPU, Yenti Ganarsih menyebut industri apapun yang berbasis


teknologi digital memang akan sangat rentan dijadikan sarana pencucian
uang bilamana fungsi kontrol pemerintah tak berjalan dengan baik. Dalam
politik hukum anti pencucian uang, mestinya semua kegiatan usaha yang
bisa menghimpun dana dan memasukkan modal harus diterapkan
kewajiban pelaporan. Jika secara teknis transfer dana itu dilakukan melalui
bank, mestinya bank secara otomatis berkewajiban untuk melaporkan
transaksi tersebut kepada PPATK jika nilai transaksi diatas Rp 500 juta.

Menjadi soal, katanya, bilamana P2P Lending tak bekerjasama dengan


Bank dalam melakukan transaksi, sehingga PPATK-pun akan
kesulitan mengendus indikasi pelanggaran AML lantaran tak mendapatkan
pelaporan dari Bank. Sebaliknya, asal muasal transaksi dalam jumlah
besar yang diduga berasal dari hasil kejahatan dapat dengan mudah
dilacak oleh sistem formal pemerintahan melalui kewajiban pelaporan.
Akhirnya, melalui data yang dimilikinya, otoritas dapat melacak sumber
aliran dana dengan lebih cepat dan efisien.

“Industri apapun yang berbasis teknologi digital dan tidak bisa ditembusi
oleh kewajiban pelaporan, pastinya peluang untuk dijadikan sarana
pencucian uang tinggi. Dia lebih tidak rentan untuk terendus karena
kelihatannya tertutup,” tukasnya.
Ketua Satgas Waspada Investasi OJK, Tongam Lumban Tobing,
mengingatkan bahwa seluruh fintech P2P Lending sudah diwajibkan untuk
mendaftarkan perusahaannya di OJK sesuai POJK No. 77/POJK.01/2016
tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Alasan diwajibkannya pendaftaran ini disebut Tongam tak lepas dari
kekhawatiran tersusupnya praktik TPPU/TPPT di Industri fintech. Bila tak
terdaftar di OJK, katanya, maka laporan keuangan terkait sumber
pendanaan fintech akan sulit ditelusuri.

“Jadi kita juga tak tahu data peminjamnya, berapa total pinjamannya?
Dananya dari mana? Ini yang menjadi krusial sebenarnya. Itulah mengapa
kegiatan ini harusnya terdaftar di OJK,” jelas Tongam.

Adapun langkah Satgas mengantisipasi hal itu, Satgas mengumumkan ke


masyarakat agar masyarakat tak mengikuti kegiatan fintech ilegal di
samping juga melakukan pemblokiran terkait situs atau aplikasi fintech
ilegal melalui Kemenkominfo. Setelah itu, Tongam menyebut pihaknya
akan menyampaikan informasi terkait indikasi TPPU tersebut kepada
penegak hukum.

Soal sanksi, memang belum ada ketentuan pidana khusus yang mengatur
soal fintech. Sehingga ketika terjadi tindak pidana, ia menjelaskan bahwa
sanksinya masih masuk dalam kategori tindak pidana umum yang dijerat
menggunakan KUHP, baik itu delik penipuan. Bila penagihannya
mengganggu maka bisa dimasukkan dalam jerat perbuatan tak
menyenangkan atau bahkan bisa disanksi menggunakan ketentuan UU
ITE.
Miliki Potensi Besar di Pasar
Fintech, OJK Concern Lindungi
Masyarakat
Teknologi mengubah perilaku dan kepercayaan orang, ini berlaku di
sektor keuangan.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c792f08b27b0/miliki-potensi-besar-di-pasar-
fintech--ojk-i-concern-i-lindungi-masyarakat

Kemajuan teknologi tak bisa dibendung. Teknologi secara tidak langsung


akan masuk celah-celah kehidupan masyarakat, tak terkecuali di sektor
keuangan. Jika dahulu aktivitas pinjam meminjam uang hanya bisa
dilakukan di Bank, saat ini setiap orang dapat melakukan pinjaman dengan
mudah yakni melalui aplikasi berbasis daring (online).

Namun nyatanya kemudahan tersebut harus dibayar dengan sangat mahal


oleh para nasabah pinjaman online, terutama fintech ilegal. Banyak kasus
bermunculan sejak pinjaman online ilegal marak, bahkan ada yang nekat
mengakhiri hidup karena terlilit utang pinjaman online ilegal.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso


menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi besar untuk melakukan
pinjaman online. Apalagi, 40 persen masyarakat Indonesia
belum mempunyai rekening. Pinjaman formal yang dilakukan melalui
perbankan membutuhkan jaminan, ada prosedur, dan membutuhkan
waktu yang lama.

“Kami harapkan assasmentnya kita mitigasi, dan ini potensi besar sekali.
Indonesia merupakan contoh di dunia, dan kita selalu sampaikan ini
segara akan ada prinsipal yang disepakati. Ini akan menjadi agenda di
2019, kita akan aktif di situ karena kita punya pengalaman. Kita
memberikan koridor agar kepentingan masyarakat terlindungi,” kata
Wimboh dalam press rilis yang diterima oleh hukumonline, Jumat (1/3).

Sebagai lembaga yang memiliki otoritas terhadap jasa keuangan di


Indonesia, OJK memiliki kewenangan untuk menutup perusahaan fintech
ilegal. OJK memiliki mandat untuk melindungi konsumen di tengah
kemajuan teknologi yang tidak bisa dibendung..
“Teknologi ini sudah mengubah perilaku dan kepercayaan orang, ini
berlaku di sektor keuangan. Kami dari OJK tidak akan melarang itu,
bagaimana masyarakat mendapat teknologi itu. Yang kedua bagaimana
kita bisa memonitor dengan jelas dan kita bisa memberikan koridor.
Bagaimana mereka operasinya itu sampai tujuan, jadi masyarakat bisa
mendapat manfaat, harga murah dan juga mereka tidak dibohongi dalam
arti mereka dilindungi,” tukas Wimboh.

Ia menambahkan, karena OJK punya mandat melindungi konsumen maka


OJK memberikan koridor. Wimboh menegaskan bahwa koridor yang
dibuat OJK bukan bermaksud untuk membatasi. Namun pihaknya
memberikan jalur melalui kebijakan-kebijakan. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat diyakini dan dipahami oleh semua fintech provider, dan
market product secara transparan dan harus ada yang bertanggung jawab.

“Tentunya tidak boleh melanggar UU yang ada. Jadi bagaimana kaidah-


kaidah itu dipahami. Tanpa itu bisa menjadi liar sehingga konsumen
merasa tidak dilindungi,” tambahnya.

Selanjutnya, Wimboh menjelaskan bahwa semua dimaksudkan agar


keinginan konsumen tercapai, maka kebutuhan masyarakat terpenuhi.”Ini
merupakan potensi yang sangat luar biasa. Memang tidak semua pihak
bisa mendaftar, karena mendaftar perlu ada komitemen, jadi asosiasi
fintech sudah sepakat menerapkan itu. Tinggal bagaimana fintech provider
melaksanakannya,” ujarnya.

Sekali lagi Wimboh menegaskan bahwa perusahaan fintech illegal yang


ditutup sudah ada 600 lebih. “Fintech yang kami tutup karena tidak
mendaftar ke OJK. Nah, maka segera mendaftar agar jadi legal, Sekarang
ini banyak masyarakat yang euphoria dengan pinjaman online. Pinjam itu
cepat meskipun mahal, untuk itu sekarang terjadi beberapa assasement,
nah makanya jika ada asyarakat yang tidak terlindungi kita panggil
orangnya,” tukas Wimboh.
Sekadar catatan, LBH Jakarta sebelumnya mengungkapkan telah
menerima 1.330 pengaduan korban pinjaman online dari 25 Provinsi di
Indonesia. Berdasarkan pengaduan yang diterima, LBH Jakarta mendapati
setidaknya 14 pelanggaran hukum dan hak asasi manusia yang dialami
oleh korban aplikasi pinjaman online.

Pengacara Publik LBH, Jeanny Silvia Sari Sirait mengatakan bahwa


sebagian besar masalah tersebut muncul karena minimnya perlindungan
data pribadi bagi pengguna aplikasi pinjaman online. Hal ini terbukti
dengan mudahnya penyelenggara aplikasi pinjaman online mendapatkan
foto KTP dan foto diri peminjam.

Alih-alih verifikasi data peminjam, foto KTP dan foto diri peminjam
kemudian disimpan, disebarkan bahkan disalahgunakan oleh
penyelenggara aplikasi pinjaman online. Selain itu, LBH Jakarta juga
mencatat bahwa penyelanggara aplikasi pinjaman online mengakses
hampir seluruh data pada gawai peminjam. Hal ini menjadi akar masalah
penyebaran data pribadi dan data pada gawai peminjam, tentu saja hal ini
merupakan pelanggaran hak atas privasi.

Berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH Jakarta, 48% pengadu


menggunakan 1-5 aplikasi pinjaman online, namun ada juga pengadu
yang menggunakan hingga 36-40 aplikasi pinjaman online. Banyaknya
aplikasi pinjaman online yang digunakan oleh pengadu disebabkan karena
pengadu harus mengajukan pinjaman pada aplikasi lain untuk menutupi
bunga, denda atau bahkan provisi pada pinjaman sebelumnya.

“Hal ini kemudian menyebabkan pengguna aplikasi pinjaman online


terjerat “lingkaran setan” penggunaan aplikasi pinjaman online,” kata
Jeany seperti dikutip dari website LBH Jakarta.

Hal yang lebih buruk, 25 dari 89 penyelenggara aplikasi pinjaman online


yang dilaporkan kepada LBH Jakarta merupakan penyelenggara aplikasi
yang terdaftar di OJK. Hal ini menunjukan bahwa terdaftarnya
penyelenggara aplikasi pinjaman online di OJK, tidak menjamin minimnya
pelanggaran.
Aturan Perlindungan Konsumen
Belum Ampuh Jawab
Permasalahan di Era Digital
UU Perlindungan Konsumen dianggap belum mampu mengakomodir
permasalahan masyarakat dalam bertransaksi digital. Perlu segera
direvisi agar kerugian masyarakat sebagai konsumen tidak semakin
besar.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c28e36d349/aturan-perlindungan-konsumen-
belum-ampuh-jawab-permasalahan-di-era-digital

Ragam pengaduan atau keluhan konsumen terhadap produk barang dan


jasa terus meningkat seiring perkembangan bisnis di Indonesia. Mulai dari
permasalahan tiket pesawat atau biro perjalanan, perumahan, layanan
kesehatan hingga jajanan anak menjadi persoalan paling sering timbul
sehubungan pengaduan konsumen. Di tambah lagi, pengaduan
sehubungan digital ekonomi seperti e-commerce (perdagangan elektronik)
dan pinjaman online (financial technology atau fintech) juga menjadi
sorotan publik akhir-akhir ini.

Payung hukum yang memberikan perlindungan konsumen terdapat dalam


Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Sayangnya, UU yang lahir 20 tahun lalu tersebut dianggap belum mampu
mengakomodir permasalahan konsumen di era digital ini. Sebab, salah
satu karakter transaksi online ini dapat dilakukan lintas batas sehingga
perlu diatur proses penyelesaian sengketanya.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Ardiansyah


Parman, mendesak agar UUPK tersebut segera direvisi. Dia
mengkhawatirkan apabila tidak segera direvisi maka kerugian konsumen
akan terus bertambah dalam bertransaksi secara digital.

“Integritas perlindungan konsumen dapat terwujud bila RUU PK yang


tengah disusun mampu mengakomodir sebesar-besarnya konsekuensi
dari dinamika transaksi secara berkeadilan dan konstruktif termasuk dan
terutama dinamika transaksi berbasis ekonomi digital. Sejatinya, ekonomi
digital bukan hanya e-commerce, di masa depan ekonomi digital
perpaduan antara big data, connectivity (keterhubungan) dan artificial
intelligent (kecerdasan buatan),” jelas Ardiansyah, Selasa (2/7).
Dia menambahkan perlindungan konsumen menjadi syarat daya saing
ekonomi. Sehingga, aspek perlindungan konsumen harus diperkuat dalam
transaksi online tersebut untuk menciptakan rasa kepercayaan pada
masyarakat. Sebab, tanpa perlindungan konsumen yang kuat maka
berisiko menimbulkan permasalahan baru yang lebih luas.

“UU PK harus jawab permasalahan 20-30 tahun ke depan. Apalagi di era


digital, data pribadi wajib dilindungi karena tren bisnis kedepan
memanfaatkan big data, artifical intelligent dan connectivity,” jelas
Ardiansyah.

(Baca Juga: Dua Persoalan Ini Dinilai Hambat Perkembangan Industri


Digital)

Ardiansyah mencontohkan dalam pemanfaatan teknologi big data, pelaku


usaha dapat membangun produk-produk baru yang berisiko membentuk
pengendalian pasar secara mutlak. Sehingga, terdapat kecenderungan
pemilik industri big data membentuk dinamika ekonomi yang mengarah
monopolistik. Hal ini akan berdampak hilangnya kedaulatan konsumen
dalam memperoleh hak-haknya.

Atas kondisi tersebut, BPKN telah merekomendasikan berbagai poin


kepada pemerintah dalam RUU PK dan Rancangan Peraturan Pemerintah
(RPP) tentang Perubahan Atas PP Nomor 82 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaran Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE). Dalam
rekomendasi tersebut, BPKN meminta agar data dan informasi
sehubungan kepentingan nasional harus dikendalikan negara. Kemudian,
seluruh bidang usaha yang menggunakan sistem elektronik harus
terkoneksi dengan backbone telekomunikasi yang dikuasai negara.
Rekomendasi terakhir, data dan informasi yang berada di yurisdiksi lain
dapat diselenggarakan setelah mempertimbangkan kepentingan nasional.

“Banyak negara memahami bahwa penguasaan lalu lintas data dan


informasi akan memengaruhi kedaulatan dan ketahanan sosial, politik,
hukum, ekonomi dan ekologi sebuah negara. Ekonomi digital
memengaruhi perlindungan konsumen dari aspek kepastian hukum dan
keberadaan jalur pemulihan konsumen,” jelas Ardiansyah.

Komisioner BPKN Bambang Sumantri menambahkan salah satu


persoalan paling disoroti sehubungan ekonomi digital yaitu mengenai
perlindungan data pribadi. Menurutnya, data pribadi masyarakat sebagai
konsumen rawan disalahgunakan pelaku usaha sehingga dapat bocor
kepada pihak-pihak lain.

Selain itu, dia juga menyoroti mekanisme penyelesaian pengaduan apabila


terjadi kerugian konsumen saat bertransaksi lintas batas menggunakan e-
commerce. “Bagaimana penyelesainnya apakah pelaku usahanya harus
dipanggil ke Indonesia?” jelas Bambang.

Dia menambahkan faktor yang memberi peluang terjadinya pelanggaran


konsumen ini tidak lepas dari berbagai faktor seperti pengetahuan dan
kesadaran Konsumen masih rendah. Kemudian, produsen juga terfokus
pada keuntungan, orientasi jangka pendek dan memanfaatkan kelemahan
konsumen. Dari sisi pemerintah sehubungan dengan kelemahan regulasi,
pengawasan, kelembagaan serta pendanaan.

“Salah satu fokus kami kedepan yaitu perubahan UU Perlindungan


Konsumen. Kami memberi masukkan agar UU tersebut dapat menjawab
permasalahan ekonomi digital seperti perlindungan data pribadi,” jelas
Bambang.
Marak Praktik Ilegal, Perlukah
UU Khusus Mengatur Fintech?
UU ITE dinilai belum melindungi data digital pribadi para pengguna
ekonomi digital seperti e-commerce atau e-payment.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5d1c9904b58ae/marak-praktik-ilegal--perlukah-
uu-khusus-mengatur-fintech?&utm_source=dable

Permasalahan fintech ilegal merupakan persoalan yang terus mendapat


perhatian regulator. Direktur Pengaturan, Perizinan dan Pengawasan
Fintech OJK, Hendrikus Passagi, menjelaskan perlu segera disusun
pengaturan industri fintech setingkat undang-undang. Hal ini diharapkan
dapat memberi sanksi tegas kepada pelaku fintech ilegal berupa pidana.

Menurutnya, saat ini regulator seperti OJK belum memiliki payung hukum
kuat dalam menindak fintech ilegal. Sehingga, tindakan yang diambil OJK
saat ini bersifat pemblokiran karena tidak ada UU Fintech tersebut.

“Memang terpaksa harusnya (seperti) pemadam kebakaran karena kalau


kita mau menyelesaikan once for all, UU-nya tidak ada. Sehingga
pendekatannya adalah kan tadi saya katakan ada isu, kita tidak bisa
tinggal diam, ada mitigasi. Isunya UU fintech lending tidak ada, mitigasinya
lewat satgas waspada investigasi ilegal. Jadi kalau muncul, blokir. Tidak
bisa dipenjara karena tidak ada UU-nya,” jelas Hendrikus
kepada hukumonline beberapa waktu lalu.

Hendrikus mengatakan UU ITE yang ada sekarang belum cukup


melindungi data digital pribadi para pengguna ekonomi digital seperti e-
commerce atau e-payment. Memang UU ITE sudah mencoba mengatur
keamanan data, akan tetapi menurutnya cakupan UU ITE terlalu luas.
Selain itu, masyarakat belum paham hak-hak hukumnya ketika datanya
bocor. Hal ini menunjukan ada masalah serius di industri ini.

“Dengan ketiadaan UU ini maka kami melakukan mitigasi, mengambil


inisiatif, itulah kita keluarkan batasan akses, camera microphone location,”
ujarnya.

Sementara itu, Satuan Tugas Penanganan Dugaan Tindakan Melawan


Hukum di Bidang Penghimpunan Dana Masyarakat dan Pengelolaan
Investasi atau Satgas Waspada Investasi kembali menindak fintech ilegal
dengan memblokir aplikasi agar tidak dapat diakses masyarakat.

Satgas Waspada Investasi menemukan sebanyak 140 entitas yang


melakukan kegiatan usaha fintech peer to peer lending ilegal. Temuan
tersebut memperpanjang daftar jumlah fintechilegal. Tercatat, ditemukan
pada tahun 2018 sebanyak 404 entitas sedangkan pada tahun 2019
sebanyak 683 entitas sehingga secara total saat ini yang telah ditangani
sebanyak 1087 entitas.

Ketua Satgas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing, mengatakan


meskipun Satgas Waspada Investasi sudah banyak menutup
kegiatan fintech peer-to-peer lending tanpa izin OJK, namun tetap saja
banyak aplikasi baru yang muncul pada website dan Google Playstore,
sehingga masyarakat diminta untuk tidak mengakses atau menggunakan
aplikasi Fintech Peer-To-Peer Lendingyang tidak berizin.

“Apabila ingin meminjam secara online, maka masyarakat harus melihat


daftar aplikasi Fintech Peer-To-Peer Lendingyang telah terdaftar di OJK
pada website www.ojk.go.id,” kata Tongam, Rabu (3/7).

(Baca: Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab


Permasalahan di Era Digital)

Tongam mengatakan, dari temuan ini Satgas akan meminta Kementerian


Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) untuk memblokir website dan
aplikasi fintech ilegal tersebut. Selain itu, untuk memutus akses keuangan
dari Fintech Peer-To-Peer Lendingilegal Satgas sudah meminta kepada
perbankan untuk menolak pembukaan rekening tanpa rekomendasi OJK
dan melakukan konfirmasi kepada OJK untuk rekening existing yang
diduga digunakan untuk kegiatan Fintech Peer-To-Peer Lending ilegal.

Satgas juga sudah meminta Bank Indonesia untuk melarang fintech


payment system memfasilitasi Fintech Peer-To-Peer Lendingilegal, dan
menyampaikan laporan informasi kepada Bareskrim Polri untuk proses
penegakan hukum.

Satgas Waspada Investasi telah menghentikan 43 entitas investasi pada


18 Juni. Entitas tersebut diduga melakukan kegiatan usaha tanpa izin dari
pihak berwenang sehingga berpotensi merugikan masyarakat. Jenis
kegiatan usaha yang dihentikan Satgas Waspada Investasi sebagai
berikut:
 38 Trading Forex tanpa izin;
 2 Investasi money game tanpa
izin;
 2 Multi Level Marketing tanpa izin;
 1 Investasi Perdagangan Saham.

Sehingga, total kegiatan usaha yang diduga merupakan investasi ilegal


dan dihentikan Satgas Waspada Investasi selama tahun 2019 sejumlah
163 entitas.

Tongam menambahkan penawaran investasi ilegal semakin


mengkhawatirkan dan sangat berbahaya bagi ekonomi masyarakat. Para
pelaku memanfaatkan kekurangpahaman masyarakat terhadap investasi
dengan menawarkan imbal hasil atau keuntungan yang tidak wajar.
Kegiatan dan produk yang ditawarkan tidak berizin karena niat pelaku
adalah untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari
masyarakat.

Dia mengimbau agar masyarakat selalu berhati-hati dalam menggunakan


dananya. Jangan sampai tergiur dengan iming-iming keuntungan yang
tinggi tanpa melihat risiko yang akan diterima. Menurutnya, pihaknya akan
berkesinambungan melakukan tindakan preventif berupa sosialisasi dan
edukasi kepada masyarakat agar masyarakat terhindar dari kerugian
investasi ilegal.

“Peran serta masyarakat sangat diperlukan, terutama peran untuk tidak


menjadi peserta kegiatan entitas tersebut dan segera melaporkan apabila
terdapat penawaran investasi yang tidak masuk akal,” jelas Tongam.

Selanjutnya, Satgas Waspada Investasi mengimbau kepada masyarakat


agar sebelum melakukan investasi untuk memahami hal-hal sebagai
berikut:

1. Memastikan pihak yang menawarkan investasi tersebut memiliki perizinan dari otoritas yang
berwenang sesuai dengan kegiatan usaha yang dijalankan.
2. Memastikan pihak yang menawarkan produk investasi, memiliki izin dalam menawarkan
produk investasi atau tercatat sebagai mitra pemasar.
3. Memastikan jika terdapat pencantuman logo instansi atau lembaga pemerintah dalam media
penawarannya telah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BERITA TERKAIT
 Menjaga Rasa Nyaman Konsumen dan Produsen di Bisnis Daring
 Ada Fintech Syariah, Bagaimana Payung Hukumnya?
 Pentingnya Aturan Trust Bagi Perkembangan Industri Fintech
 Aturan Perlindungan Konsumen Belum Ampuh Jawab Permasalahan di Era Digital

Bingung Tarif Advokat? Yuk,


Kenali Jenis-Jenis Honorarium
Advokat
Sepanjang ditetapkan secara wajar dengan persetujuan klien, memang
tidak ada larangan yang mengikat.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt59dda2c93ab6d/bingung-tarif-advokat-yuk--
kenali-jenis-jenis-honorarium-advokat

Jika Anda bertanya “adakah aturan mengenai patokan honorarium advokat di


Indonesia?”, maka jawabannya jelas: tidak ada! Artinya, honorarium advokat
sepenuhnya hasil negosiasi advokat dengan klien, tanpa batas! Baik UU No. 18
Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) beserta aturan turunannya maupun
Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI) tidak mengatur standar penetapan
honorarium advokat.

Ini bukan berarti fee advokat tidak punya ukuran sama sekali. Dalam praktik,
ada kokbeberapa jenis honorarium advokat yang perlu diketahui sebelum
bernegosiasi menentukan honorarium. UU Advokat hanya menyebutkan bahwa
honorarium “ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah
pihak” (pasal 21 ayat 2). Sedangkan KEAI hanya menambahkan agar “Advokat
wajib mempertimbangkan kemampuan klien” (pasal 4 huruf d).

Sebelum disahkannya UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (UU Mata
Uang) hingga terbitnya Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang Kewajiban
Penggunaan Rupiah di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, masih
ada advokat yang menetapkan honorarium dengan tarif dolar kepada kliennya.
Pembayaran pakai dolar membuat profesi advokat menjadi salah satu pilihan
utama bagi lulusan fakultas hukum.

(Baca juga: Advokat, Menegakkan Hukum Sambil Menambang Dolar)

Memang, sulit untuk memastikan berapa besar anggaran yang harus disiapkan
membayar honorarium advokat. Apalagi informasi lengkap mengenai tarif jasa
advokat bukan hal yang mudah didapat untuk membandingkan advokat mana
yang sesuai budgetAnda.

Ahmad Fikri Assegaf, pendiri firma hukum Assegaf, Hamzah & Partners (AHP)
mengamini tidak ada standar yang baku tentang biaya jasa advokat. Skema
pembayaran honorarium bisa berbeda antara advokat yang satu dengan yang
lain. Pria yang telah berpraktik advokat sejak 1993 ini menyebutkan salah satu
faktor yang mempengaruhi adalah apakah advokat bekerja sendiri atau dengan
tim seperti firma.

(Baca juga: Panduan Menemukan Pengacara yang Berkualitas dengan


Biaya Terukur)

Partner pada firma hukum Lubis Ganie Surowidjojo (LGS), Abdul Haris
Muhammad Rum menjelaskan pada dasarnya tiap advokat menetapkan tarif jasa
berdasarkan perhitungan biaya operasional kantor hukumnya. “Kantor hukum
adalah unit usaha. Artinya biaya yang keluar dari proses pemberian jasa hukum
harus tertutupi dengan pemasukan yang diperoleh,” katanya.

Hitungan biaya operasional ini yang akan mempengaruhi tarif yang ditetapkan
tiap kantor hukum. Jika melibatkan pegawai, advokat juga terikat ketentuan
pengupahan tenaga kerja. Masing-masing kantor hukum mempunyai layanan
berbeda bagi kliennya yang juga menjadi komponen biaya operasional.

Mengacu pada praktik di Indonesia yang diadaptasi dari kebiasaan di Amerika


dan Eropa -dikutip dari buku yang ditulis Binoto Nadapdap berjudul 'Menjajaki
Seluk Beluk Honorarium Advokat'- setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat
berdasarkan metode penghitungannya. Pertama, honorarium advokat
berdasarkan porsi keuntungan yang dimenangkan klien (contingent fee/tarif
kontingensi). Kedua, honorarium advokat berdasarkan unit waktu yang
digunakan (time charge/hourly rate/tarif per jam). Ketiga, honorarium
berdasarkan periode waktu tertentu (retainer fee). Keempat, honorarium
berdasarkan nilai borongan perkara hingga selesai yang dibayar sekaligus di
muka atau bertahap (lump sum/fixed fee/tarif pasti).

Tarif kontingensi adalah jenis honorarium berdasarkan penetapan porsi bayaran


advokat dari nilai total keuntungan yang dimenangkan klien dalam perkaranya.
Secara sederhana, no win no fee. Advokat mendapatkan honorarium sebesar
persentase yang disepakati di awal jika klien berhasil mendapatkan keuntungan
yang diharapkan dari perkaranya.

Tarif per jam artinya setiap unit jam yang digunakan advokat untuk memberikan
jasa hukum bagi klien dihargai dengan nilai pembayaran tertentu. Klien harus
memastikan sejak awal berapa tarif per jam dari advokat yang akan dipakai
jasanya. Hitungan ini meliputi bentuk jasa apapun yang digunakan klien per jam
mulai dari konsultasi via telepon, pembuatan surat menyurat untuk legal opinion,
hingga tindakan lainnya yang dilakukan advokat dalam satuan per jam.
Tarif retainer dibayarkan secara berkala dalam besaran dan periode tertentu
yang diperjanjikan. Pembayaran honorarium tidak tergantung pada ada atau
tidaknya jasa yang diberikan advokat kepada klien dalam periode tersebut.
Advokat akan menyediakan waktunya untuk memberikan jasa kepada klien
kapanpun diminta dalam periode itu. Digunakan atau tidak jasa advokat dalam
periode perjanjian, klien wajib membayar honorarium. Bisa dalam periode
bulanan atau tahunan.

Adapun tarif pasti adalah jenis honorarium advokat yang dinilai dan dibayarkan
sekaligus dimuka untuk menyelesaikan suatu perkara hingga tuntas. Apapun
yang terjadi dalam perkara, advokat tidak akan menagih tambahan honorarium
untuk perkara yang ditangani hingga selesai. Menang atau kalah, honorarium
advokat sudah dilunasi di awal. Bisa juga dibayarkan secara bertahap, namun
besar honorarium tidak dapat dikurangi oleh klien dari besaran yang telah
disepakati.

Di luar dari tarif tersebut untuk membayar honorarium advokat, masih bisa
diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara
sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi
besarannya pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

(Baca juga: Ternyata Fee Advokat Paling Banyak Dikeluhkan Pencari Keadilan)

Perlu diingat agar hitungan biaya transportasi, biaya akomodasi, biaya


administrasi perkara, dan biaya sidang dibicarakan secara terbuka antara
advokat dan klien. Karena honorarium yang dibayarkan bisa saja sudah
termasuk biaya-biaya tersebut atau hanya sekadar biaya jasa advokat. Begitu
pula jika ada biaya tambahan terkait perkara yang baru diketahui di tengah jalan.
Faktor Penentu
Managing partner firma hukum AHP, Bono Daru Adji mengungkapkan tarif
advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat
yang menangani. Bagi advokat yang masih junior, kantor hukum akan
memberikan tarif berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan
reputasi di dunia hukum pun berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan
harga. “Ada international publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan
klien, chambers and partners, The Legal 500, Asia Law,” jelas Bono terkait pasar
firma hukum korporasi.

Sebelumnya, advokat Timur Sukirno, menyampaikan hal senada. “Lihat juga


pengalaman dan apa yang pernah dilakukan. Dua itu aja pada dasarnya,” ujar
Managing Partner dari firma hukum Hadiputranto, Hadinoto & Partners (HHP).

Ira Andara Eddymurthy, pendiri firma hukum Soewito, Suhardiman, Eddymurthy,


Kardono (SSEK), dalam satu sesi seminar Himpunan Konsultan Hukum Pasar
Modal (HKHPM) mengutarakan bahwa jenis honorarium advokat sebenarnya
sudah berkembang dengan banyak variasi. Klien bisa menyepakati tarif
campuran (blended rate), tarif dengan batasan (capped fee), bahkan diskon
(discounted rate) dengan advokatnya.

Betapapun, Ira mengingatkan bahwa dalam menentukan tarifnya advokat harus


memperhatikan pula ekspektasi klien, jenis pekerjaan yang akan dilakukan,
durasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya, tingkat kesulitan, serta siapa
saja kompetitornya dalam pekerjaan tersebut. Bagi kantor hukum menjadi sangat
penting memiliki manajemen yang baik untuk alokasi pekerjaan dan pengelolaan
keuangan agar tidak merugi.

Perlukah Diatur?
Pertanyaan dasarnya apakah memang honorarium advokat itu perlu diatur agar
tidak tanpa batas? Apakah larangan menggunakan tarif dolar perlu dipertegas?
Bono Daru Adji berpendapat walaupun saat ini di kalangan corporate
lawfirm sudah tidak lagi menggunakan tarif dolar sesuai hukum yang berlaku,
tarif yang disodorkan pada klien hanya mengonversi tarif sebelumnya dengan
kurs dolar terhadap rupiah. “Nilainya masih sama saja,” ujarnya.

Tren yang terjadi belakangan ini firma-firma hukum berkompetisi melakukan


efisiensi kerja untuk menawarkan harga kompetitif yang cenderung lebih rendah
dari rata-rata di pasar pengguna jasa. Bagi kalangan konsultan hukum pasar
modal tren ini mendorong wacana pengaturan batasan honorarium.

(Baca juga: Persaingan Kian Ketat, HKHPM Gagas Aturan Biaya Jasa
Hukum Pasar Modal dan Keuangan)

Sebagai benchmarking, Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) sejak tahun 2016
menentukan tarif batas bawah honorarium untuk jasa audit Akuntan
Publik. Tujuannya agar Kantor Akuntan Publik (KAP) melakukan audit sesuai
kode etik dan tidak sembrono hanya demi meraup untung dalam persaingan
pasar.

Ada indikator batas bawah tarif penagihan (billing rate) per jam ditetapkan
berdasarkan klasifikasi berjenjang (tabel) yang berlaku di layanan jasa akuntan
publik.

Junior Senior
Kategori Supervisor Manager Partner
Auditor Auditor
Wilayah (Rp) (Rp) (Rp)
(Rp) (Rp)

Jabodetabek 100.000 150.000 300.000 700.000 1.500.000

Luar
70.000 125.000 200.000 500.000 1.200.000
Jabodetabek

Pada dasarnya, UU No. 5 Tahun 2011 tentang Akuntan Publik (UU Akuntan
Publik) dan Kode Etik Akuntan Publik tidak mengatur batasan honorarium
Akuntan Publik. Namun dalam rangka menjaga standar jasa layanan audit,
asumsi IAPI menetapkan nilai tersebut sebagai indikator minimal acuan bahwa
prosedur audit yang memadai sesuai Kode Etik dan peraturan perundangan
dapat terpenuhi.

Jika dikaitkan dengan jasa advokat, hal ini masih menjadi perdebatan tersendiri.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Syarkawi Rauf mengusulkan ada
standar minimal layanan jasa ketimbang standar honorarium bagi layanan
seperti jasa hukum. “Saya tidak merekomendasikan (standar honorarium), di
asosiasi ini lebih baik bikin standar pelayanan minimum di jasa konsultan
hukumnya itu seperti apa,” katanya dalam seminar HKHPM Agustus silam.

Pendapat tersebut senada dengan pendapat Arsul Sani, kini anggota DPR,
dalam seminar hukumonline “Standar Jasa Hukum Advokat dan
Pertanggungjawabannya Terhadap Klien” 2013 silam soal perlindungan hukum
bagi klien dalam menggunakan jasa advokat. Menurut Arsul, diperlukan standar
layanan yang jelas dari jasa profesional advokat agar klien sebagai konsumen
dapat menagih lebih jelas hak yang sebanding dengan honorarium yang
dibayarkan.

Kini, Anda sudah mengenal penentuan honorarium advokat, kan? Menurut Anda,
perlukah batasan honorarium diatur?
Penelitian Tordillas: Pasal
Penghinaan dan Pencemaran
Nama Baik Paling Banyak
Digunakan
Era digital mengubah perilaku masyarakat, dan potensi terjadinya
pidana makin besar.
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5ccfdeaaf0eaa/penelitian-tordillas--pasal-
penghinaan-dan-pencemaran-nama-baik-paling-banyak-digunakan

Pasal penghindaan dan/atau pencemaran nama baik terbukti paling


banyak digunakan aparat penegak hokum dari pasal-pasal pidana
dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Riset yang
dilakukan Institute for Digital Law and Society (Tordillas) terhadap 350
putusan pengadilan mulai tingkat pertama hingga tingkat kasasi dan
peninjauan kembali di Mahkamah Agung menunjukkan penggunaan pasal
penghinaan/pencemaran nama baik sangat signifikan.
Peneliti Tordillas, Bunga Meisa Siagian, menjelaskan sekitar 200 dari 350
putusan itu sudah ditabulasi. Hasilnya mempelihatkan banyaknya warga
masyarakat terjerat tuduhan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik
yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE. “Sekitar 35 persen dari
putusan itu adalah Pasal 27 ayat (3) UU ITE,” jelas Bunga dalam diskusi
‘Memperbincangkan Kejahatan Siber’ yang diselenggarakan Tordillas dan
Kementerian Komunikasi dan Informatika di Jakarta, Senin (29/4) lalu.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE menegaskan ‘setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak mendistribusikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik’. Setelah UU ITE diubah ada tambahan
penjelasan dalam UU No. 19 Tahun 2016. Dijelaskan bahwa ketentuan
pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau
fitnah yang diatur dalam KUH Pidana.
Masuknya penjelasan demikian tak lepas dari putusan Mahkamah
Konstitusi No. 50/PUU-IV/2008 yang menyatakan bahwa penafsiran norma
Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dilepaskan dari genusnya, yakni
norma hokum yang termuat dalam Pasal 310 dan 311 KUH Pidana.
(Baca juga: Putusan Pengadilan ‘Landmark’ Terkait Penggunaan Pasal 27
ayat (3) UU ITE).
Pasal penghinaan ini sering dianggap pasal karet karena sangat gampang
digunakan oleh seseorang untuk memperkarakan orang lain. Ajun
Komisaris Besar Polisi (AKBP) Purnomo, penyidik pada Direktorat Tindak
Pidana Tertentu Cyber Mabes Polri membenarkan banyaknya laporan
pencemaran nama baik. Pada tahun 2018, ada 4.487 kejahatan cyber,
sebagian besar di antaranya pencemaran nama baik. Pencemaran nama
atau penghinaan itu, kata Purnomo, paling banyak dilakukan lewat
facebook.
Purnomo menjelaskan ada enam kategori tindak pidana dalam UU ITE.
Pertama, tindak pidana yang berhubungan dengan aktivitas illegal. Kedua,
tindak pidana yang berhubungan dengan gangguan intervensi seperti
pencurian data. Ketiga, tindak pidana memfasilitasi perbuatan yang
dilarang. Keempat, tindak pidana yang berkaitan dengan pemalsuan
informasi atau dokumen elektronik. Kelima, tindak pidana tambahan
seperti diatur dalam Pasal 38. Keenam, perberatan terhadap ancaman
pidana.

Foto: Direktur Eksekutif Tordillas, Awaluddin Marwan, saat menyampaikan


pengantar diskusi tentang kejahatan siber. (Foto: MYS)
Data lain, dari Laporan Tahun Mahkamah Agung Tahun 2018,
menunjukkan ada 749 beban perkara pidana ITE di pengadilan negeri
seluruh Indonesia. Beban perkara ini adalah sisa tahun 2017 (98)
ditambah perkara masuk 2018 (651). Jumlah ini belum termasuk perkara
penghinaan dan pencemaran nama baik yang menggunakan KUHP.
Banyaknya warga yang terjerat tuduhan penghinaan/pencemaran nama
berhubungan erat dengan tingkat penggunaan internet di Indonesia.
Direktur Eksekutif Tordillas, Awaluddin Marwan mengatakan pada era
digital sekarang banyak terjadi perubahan dalam masyarakat, termasuk
perubahan perilaku. Kebutuhan akan internet telah bergeser dari
kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer. “Dunia digital mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Dulu, kalau mau makan berdoa dulu. Sekarang
kalau mau makan, selfie dulu,” ujarnya di acara yang sama.
Berdasarkan penelitian Tordillas, dua tindak pidana lain dalam UU ITE
yang sering bermuara ke pengadilan adalah menyebarkan informasi untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan antargolongan (Pasal 28 ayat 2); dan mendistribusikan,
mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya konten yang melanggar
kesusilaan (Pasal 27 ayat 1). Selain itu, Tordillas menemukan putusan
dimana jaksa menggunakan Pasal 30 juncto Pasal 36 UU ITE. “Tapi hanya
satu kasus,” kata Bunga Meisa.
(Baca juga: Menyebarkan Karya Jurnalistik Terancam UU ITE?)
Kasubdit Penyidikan dan Penindakan Kementerian Komunikasi dan
Informatika, Teguh Afriadi, menyatakan pasal-pasal pidana dalam UU ITE
sebenarnya adalah pidana konvensional yang disiberkan. Sebagian tindak
pidana itu sudah diatur dalam KUHP, semisal penghinaan dan
pencemaran nama. Dibanding perkembangan cyber dan aturan cyberlaw
di beberapa negara, UU ITE sebenarnya sudah ketinggalan.
Teguh berharap ada pemahaman aparat penegak hokum yang holistik
terhadap UU ITE agar pasal-pasalnya tak terkesan 'karet' atau sangat
fleksibel. Termasuk Pasal 27 ayat (3), dan kesamaan pandang tentang
pembuktian. Selama aparat belum punya pemahaman yang sama, kata
dia, kasus-kasus pencemaran nama dan penghinaan yang diatur dalam
Pasal 27 ayat (3) UU ITE akan terus terjadi.
Dasar Hukum Besaran
Honorarium Advokat
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5ce66718518de/dasar-hukum-besaran-
honorarium-advokat

Pertanyaan
Perkenalkan saya klien dari seorang lawyer, telah bayar mahal dia diatas 100
juta. Tapi baru timbul dan mau bertanya apa dasar hukum atau besaran standard
untuk tarif bayaran lawyer?

Ulasan Lengkap

Klien dan Advokat

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang


Advokat (“UU 18/2003”) posisi Anda berarti sebagai Klien yang menerima jasa hukum
dari Advokat. Klien tidak terbatas orang-perorangan tetapi juga badan hukum, atau
lembaga lain.

Lawyer (Advokat) adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam
maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU
18/2003.[1]

Simak juga artikel Apakah Perbedaan Pengacara dengan Penasihat


Hukum?dan Prosedur Menjadi Advokat Sejak PKPA Hingga Pengangkatan.

Mengenai tarif bayaran yang Anda maksud, berdasarkan UU 18/2003 disebut dengan
istilah Honorarium, yaitu imbalan atas jasa hukum yang diterima oleh Advokat
berdasarkan kesepakatan dengan Klien.[2]

Kesepakatan Menentukan Besaran Honorarium

Sebagaimana kita perhatikan bahwa terdapat hak untuk menerima Honorarium bagi
Advokat, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU 18/2003 sebagai
berikut:
Advokat berhak menerima Honorarium atas Jasa Hukum yang telah diberikan kepada
Kliennya.

Jasa Hukum adalah jasa yang diberikan Advokat berupa memberikan konsultasi hukum,
bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan
tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum Klien.[3]

Lalu bagaimana penentuan dasar besaran Honorarium? Anda dapat mengacu ke Pasal
21 ayat (2) UU 18/2003 yang berbunyi sebagai berikut:

Besarnya Honorarium atas Jasa Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) ditetapkan secara wajar berdasarkan persetujuan kedua belah pihak.

Yang dimaksud dengan “secara wajar” adalah dengan memperhatikan risiko, waktu,
kemampuan, dan kepentingan klien.[4] Kewajaran tersebut juga memperhatikan
kemampuan finansial Klien dengan tidak membebankan biaya-biaya yang tidak perlu,
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 huruf d dan e Kode Etik Advokat
Indonesia (“KEAI”) berikut ini:

Pasal 4 KEAI

d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan


kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

Kembali ke bunyi Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003 sebelumnya, seolah-olah secara implisit
ditegaskan bahwa penentuan besaran honorarium ada pada kesepakatan antara
Advokat dan Klien. Sehingga bunyi kesepakatan pada perjanjian akan menghasilkan
berapa besaran untuk pembayaran Honorarium atas jasa hukum seorang Advokat.
Dalam artikel Bingung Tarif Advokat? Yuk, Kenali Jenis-Jenis Honorarium
Advokat, menurut Binoto Nadapdap dalam buku Menjajaki Seluk Beluk Honorarium
Advokat, bahwa setidaknya ada 4 jenis honorarium advokat berdasarkan metode
penghitungannya, ialah:

1. Honorarium Advokat berdasarkan porsi keuntungan yang dimenangkan klien


(contingent fee/tarif kontingensi).
2. Honorarium advokat berdasarkan unit waktu yang digunakan (time charge/hourly
rate/tarif per jam).
3. Honorarium berdasarkan periode waktu tertentu (retainer fee);
4. Honorarium berdasarkan nilai borongan perkara hingga selesai yang dibayar sekaligus
di muka atau bertahap (lump sum/fixed fee/tarif pasti).

Keempat metode perhitungan Honorarium Advokat tersebut tentunya harus berdasarkan


kesepakatan. Selain itu di luar 4 tarif tersebut, untuk membayar Honorarium Advokat,
masih bisa diperjanjikan mengenai success fee atau biaya kemenangan suatu perkara
sebagai insentif tambahan bagi advokat jika disetujui oleh klien. Lagi-lagi besarannya
pun berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.

Sehingga pendapat Binoto memperkuat pernyataan bahwa memang dasar hukum


besaran Honorarium Advokat ditentukan atas kesepakatan kedua belah pihak. Untuk
penegasan bahwa kesepakatan pada perjanjian tersebut menjadi dasar hukum antara
Klien dan Advokat, Anda dapat melihat bunyi Pasal 1338Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (“KUHPerdata”) berikut ini:

Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai


undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang
ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Standar yang Menentukan Besaran Biaya Advokat

Memang ada faktor yang menjadikan “standar” sebelum Klien sepakat dengan besaran
Honorarium yang ditawarkan oleh Advokat kepadanya.

Mengambil pendapat Bono Daru Adji sebagai Managing Partner dari firma hukum
Assegaf, Hamzah & Partners pada sumber artikel berita yang sama, ia mengungkapkan
tarif advokat dalam sebuah kantor hukum dipengaruhi dengan pengalaman advokat
yang menangani. Bagi Advokat yang masih junior, kantor hukum akan memberikan tarif
berbeda. Tier masing-masing firma hukum berdasarkan reputasi di dunia hukum pun
berpengaruh pada mekanisme pasar pembentukan harga. Ada international
publication yang melakukan survei, tingkat kepuasan klien, chambers and partners, The
Legal 500, Asia Law.

Sehingga faktor penentu besaran Honorarium Advokat agar Klien yakin hingga
mencapai kesepakatan ialah melihat jam terbang yang pernah dilakukan seorang
advokat.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;
3. Kode Etik Advokat Indonesia.

Referensi:

Binoto Nadapdap. Menjajaki Seluk Beluk Honorarium Advokat. Jakarta: Jala Permata,
2008.

[1] Pasal 1 angka 1 UU 18/2003

[2] Pasal 1 angka 7 UU 18/2003

[3] Pasal 1 angka 2 UU 18/2003

[4] Penjelasan Pasal 21 ayat (2) UU 18/2003


Bagaimana Cara Menuntut
Ganti Rugi Jika Menjadi Korban
Tindak Pidana?
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl5928/ganti-rugi-dalam-kasus-pidana

Pertanyaan
Saya ingin menanyakan, bagaimanakah prosedur dalam permintaan ganti rugi
atas kasus suatu pidana? Siapakah yang menentukan besarnya ganti rugi?
Apabila si terdakwa ditetapkan mendapat ancaman kurungan sekian waktu oleh
pengadilan, apakah pihak yang menjadi korban tetap dapat meminta ganti rugi
terhadap si terdakwa? Berapakah biasanya besar ganti rugi untuk kasus
pencemaran nama baik di depan umum, pengrusakan barang, pemukulan yang
mengakibatkan si korban luka, dan pemfitnahan kepada seseorang sekaligus?
Terima kasih atas perhatiannya.

Ulasan Lengkap
Ganti Rugi untuk korban tindak pidana pada dasarnya dapat dilakukan
melalui tiga cara yaitu;
1) melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2) melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum, dan
3) melalui Permohonan Restitusi.

1) Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam Bab


XIII UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana(“KUHAP”) yang mengatur dari Pasal 98 hingga Pasal
101. Pasal 98 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa, “Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan
perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat
menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian
kepada perkara pidana itu.” Untuk itu permohonan penggabungan
perkara ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU
KUHAPdiajukan selambat-lambatnya sebelum penuntut umum
mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir,
permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Pada saat korban tindak pidana meminta penggabungan perkara ganti
kerugian maka Pengadilan wajib menimbang tentang kewenangannya
untuk mengadili gugatan tersebut, tentang kebenaran dasar gugatan
dan tentang hukuman penggantian biaya yang telah dikeluarkan oleh
korban (lihat Pasal 99 ayat [1] KUHAP). Putusan mengenai ganti
kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum tetap
apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan hukum tetap
(lihat Pasal 99 ayat [3] KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis
akan mengalami hal yang sama (lihat Pasal 100 ayat [1] KUHAP).
Namun, apabila perkara pidana tidak diajukan banding maka
permintaan banding mengenai putusan ganti rugi tidak diperkenankan
banding (lihat Pasal 100 ayat [2] KUHAP).

Mekanisme pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian ini


berdasarkan ketentuan Pasal 101 KUHAP menggunakan mekanisme
yang diatur dalam Hukum Acara Perdata.

2) Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata


biasa dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam
gugatan ini, Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus
menunggu adanya putusan Pengadilan yang telah memutus perkara
pidana yang dilakukan oleh Pelaku (Tergugat).

3) Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan


permohonan Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU
13/2006”), PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban(“PP 44/2008”),
dan Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar
Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi.

Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b jo Pasal 7


ayat (2) UU 13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam
PP 44/2008
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan
sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (vide Pasal 21 PP 44/2008)

Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei


cukup dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau
Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK

Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 PP


44/2008 memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas pemohon;
b. uraian tentang tindak pidana;
c. identitas pelaku tindak pidana;
d. uraian kerugian yang nyata-nyata diderita; dan
e. bentuk Restitusi yang diminta.

Permohonan Restitusi harus dilampiri:

a. fotokopi identitas Korban yang disahkan oleh pejabat yang


berwenang;
b. bukti kerugian yang nyata-nyata diderita oleh Korban atau Keluarga
yang dibuat atau disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. bukti biaya yang dikeluarkan selama perawatan dan/atau
pengobatan yang disahkan oleh instansi atau pihak yang melakukan
perawatan atau pengobatan;
d. fotokopi surat kematian dalam hal Korban meninggal dunia;
e. surat keterangan dari Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
menunjukkan pemohon sebagai Korban tindak pidana;
f. surat keterangan hubungan Keluarga, apabila permohonan diajukan
oleh Keluarga; dan
g. surat kuasa khusus, apabila permohonan Restitusi diajukan oleh
Kuasa Korban atau Kuasa Keluarga.

Jika permohonan Restitusi di mana perkaranya telah diputus


pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
permohonan Restitusi harus dilampiri kutipan putusan pengadilan
tersebut.

Apabila permohonan tersebut oleh LPSK telah dinyatakan lengkap


maka akan ada pemeriksaan substantif dan hasil pemeriksaan tersebut
ditetapkan dengan Keputusan LPSK beserta pertimbangannya yang
disertai rekomendasi untuk mengabulkan permohonan atau menolak
permohonan Restitusi.

Apabila permohonan Restitusi diajukan berdasarkan putusan


pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku
tindak pidana dinyatakan bersalah, LPSK menyampaikan permohonan
tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan
yang berwenang

Setelah LPSK mengajukan permohonan Restitusi, maka Pengadilan


memeriksa dan menetapkan permohonan Restitusi dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima;

Pengadilan setelah memeriksa mengeluarkan penetapan yang


disampaikan ke LPSK dan LPSK wajib menyampaikan salinan
penetapan pengadilan kepada Korban, Keluarga, atau Kuasanya dan
kepada Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga dalam jangka waktu
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal menerima
penetapan.

Apabila permohonan Restitusi diajukan sebelum tuntutan dibacakan,


LPSK menyampaikan permohonan tersebut beserta keputusan dan
pertimbangannya kepada penuntut umum. Penuntut umum kemudian
dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta
Keputusan LPSK dan pertimbangannya.

Putusan Pengadilan yang dijatuhkan disampaikan kepada LPSK dalam


jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal
putusan;

LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada Korban,


Keluarga, atau Kuasanya dan kepada Pelaku tindak pidana dan/atau
pihak ketiga dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak tanggal menerima putusan.
Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga wajib melaksanakan
penetapan atau putusan pengadilan tersebut dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan
penetapan pengadilan diterima;

Pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga melaporkan pelaksanaan


Restitusi kepada pengadilan dan LPSK dan LPSK membuat berita
acara pelaksanaan penetapan pengadilan

Setelah proses tersebut di lakukan maka Pengadilan wajib


mengumumkan pelaksanaan Restitusi pada papan pengumuman
pengadilan.

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
2. Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
3. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian
Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban
4. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional
Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi
Kasus Pencemaran Nama Baik
Dinyatakan P-21, Bisakah
Pengaduan Dicabut?
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt55cb56841b028/kasus-pencemaran-
nama-baik-dinyatakan-p-21--bisakah-pengaduan-dicabut

Pertanyaan
Dalam kasus pencemaran nama baik jika sudah P-21 adakah batas waktu untuk
tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya? Jika ada berapa lama? Apakah
pencemaran nama baik dapat dilaporkan oleh orang lain selain korban?

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik


Soal “pencemaran nama baik” atau yang dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana(“KUHP”) dikenal sebagai “penghinaan”, R Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal
225) menerangkan bahwa menurut pengertian umum, menghina adalah menyerang kehormatan
dan nama baik seseorang. Akibat dari serangan ini biasanya penderita akan merasa malu.

Pada prinsipnya, mengenai pencemaran nama baik diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan
yang termuat dalam Pasal 310 s.d 321 KUHP. KUHP membagi tindak pidana penghinaan
menjadi enam macam. Penjelasan lebih lanjut soal pencemaran nama baik dapat Anda simak
dalam artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.

Selain itu, terhadap perbuatan penghinaan tersebut, korban juga dapat meminta ganti rugi
materiil melalui gugatan perdata. Dari sisi hukum perdata, dengan bukti adanya putusan yang
berkuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) mengenai pidana dimaksud, dapat diajukan
gugatan perbuatan melawan hukum yang didasarkan pada ketentuan Pasal 1372Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata:

“Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian


kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik.

Jangka Waktu Penyelesaian Perkara dari Kepolisian ke Kejaksaan


P-21 merupakan kode formulir yang digunakan dalam proses penanganan dan penyelesaian
perkara tindak pidana sebagai pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Artinya,
perkara dinyatakan siap untuk dilimpahkan ke Kejaksaan. Penjelasan lebih lanjut soal kode
formulir dalam penanganan dan penyelesaian perkara tindak pidana ini dapat Anda simak dalam
artikel P-18, P-19, P-21, dan lain-lain.

Jika hasil penyidikan dinyatakan lengkap dan perkara siap dilimpahkan ke kejaksaan, maka
tahap berikutnya adalah tahap penuntutan di pengadilan. Penuntut umum mempunyai
wewenang, di antaranya adalah untuk melimpahkan perkara ke pengadilan.[1] Terkait dengan
kewenangannya itu, penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang
didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang mengadili.[2]
Menjawab pertanyaan Anda, aturan soal jangka waktu penyerahan perkara pidana umum dari
kejaksaan ke pengadilan tidaklah ditentukan oleh KUHAP. Akan tetapi, ada jangka waktu
penahanan yang boleh dilakukan oleh penuntut umum. Penjelasan selengkapnya dapat Anda
simak dalam artikel Jangka Waktu Penyerahan Terdakwa dari Kejaksaan ke Pengadilan.

Terkait apakah bisa perkara tersebut tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya, yang mana ini berarti
tidak dilanjutkan ke tahap penuntutan, perlu diketahui bahwa tindak pidana pencemaran nama
baik adalah delik aduan. Dalam delik aduan, orang yang mengajukan pengaduan berhak menarik
kembali pengaduan tersebut dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.[3]

Ini berarti terkait delik pengaduan, bisa tidaknya pengaduan dicabut tidak bergantung pada
apakah ada batas waktu untuk tidak dilanjutkan ke tahap berikutnya setelah tahap penyidikan,
tetapi pencabutan pengaduan bergantung pada apakah telah lewat jangka waktu tiga bulan sejak
orang tersebut melakukan pengaduan.

Pencemaran Nama Baik Merupakan Delik Aduan


Menjawab pertanyaan Anda yang terakhir, dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa pencemaran
nama baik merupakan delik aduan. Dalam arti, di dalam KUHP jelas bahwa perbuataan
penghinaan tersebut harus dilakukan terhadap seseorang dan merupakan delik aduan.[4] Soesilo
(Ibid, hal. 230) menjelaskan bahwa semua kejahatan penghinaan adalah delik aduan, kecuali
apabila dilakukan terhadap pegawai negeri yang sedang melakukan tugasnya yang sah. Pelaku
hanya dapat dituntut atas pengaduan orang yang menderita kejahatan itu.

Ini artinya, tuntutan hanya bisa dilakukan apabila ada aduan yang disampaikan kepada polisi.
Menjawab pertanyaan Anda, karena merupakan delik aduan, maka tuntutan pidana dapat
diproses hukum apabila ada aduan dari korban langsung, bukan dari orang lain.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya
Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.
Ganti rugi akibat penipuan dan pencemaran
nama baik

http://ismailmuzakki.com/ganti-rugi-
akibat-penipuan-dan-pencemaran-nama-
baik/
Ganti rugi untuk korban tindak pidana seperti penipuan dan pencemaran nama
baik pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu;
1. melalui Penggabungan Perkara Ganti Kerugian,
2. melalui Gugatan Perbuatan Melawan Hukum,
3. melalui Permohonan Restitusi.
Untuk penggabungan perkara ganti kerugian sendiri diatur dalam KUHAP, Pasal
98 sampai Pasal 101. Pasal 98 ayat 1 KUHAP menentukan bahwa, “Jika suatu
perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara
pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka
hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk
menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”
Untuk itu permohonan penggabungan perkara ganti kerugian berdasarkan
ketentuan Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP diajukan selambat-lambatnya sebelum
penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak
hadir, permintaan diajukan selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan
putusan.
Putusan mengenai ganti kerugian dengan sendirinya akan mendapatkan
kekuatan hukum tetap apabila putusan pidananya juga telah mendapat kekuatan
hukum tetap (Pasal 99 ayat 3 KUHAP). Begitu juga apabila Putusan terhadap
perkara pidana diajukan Banding maka Putusan Ganti rugi otomatis akan
mengalami hal yang sama (Pasal 100 ayat 1 KUHAP). Namun, apabila perkara
pidana tidak diajukan banding maka permintaan banding mengenai putusan
ganti rugi tidak diperkenankan banding (Pasal 100 ayat 2 KUHAP).
Mekanisme lain yang tersedia adalah menggunakan Gugatan Perdata biasa
dengan model gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan ini,
Penggugat, dalam hal ini korban tindak pidana, tentu harus menunggu adanya
putusan Pengadilan yang telah memutus perkara pidana yang dilakukan oleh
Pelaku (Tergugat).
Sementara tersedia juga mekanisme lain yaitu mengajukan permohonan
Restitusi yang diajukan berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2006 tentang
perlindungan saksi dan korban dan PP No. 44 Tahun 2008 tentang pemberian
konpensasi, restitusi dan bantuan kepada saksi dan korban serta Peraturan LPSK
No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan
Pelaksanaan Restitusi.
Permohonan Restitusi diatur dalam Pasal 7 ayat 1 huruf b jo Pasal 7 ayat 2 UU
13/2006 yang kemudian secara lebih detail diatur dalam PP 44/2008
Berdasarkan PP 44/2008, permohonan Restitusi ini dapat diajukan sebelum atau
setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap (Pasal 21 PP 44/2008)
Permohonan Restitusi tersebut diajukan secara tertulis yang bermaterei cukup
dalam bahasa Indonesia oleh Korban, Keluarganya atau Kuasanya kepada
Pengadilan melalui LPSK.

Anda mungkin juga menyukai