Anda di halaman 1dari 5

Halo semuanya kembali lagi bersama kami merampot channel, di kesempatan kali ini

kami akan membahas tentang sejarah kelam festival cap go meh di Kalimantan barat, kota
singkawang.
Tapi sebelum lanjut, jangan lupa untuk klik tombol like jika kalian suka dan share video
ini jika bermanfaat untuk kita semua dan jangan lupa untuk subscribe channel kami
supaya semakin memberikan kami semangat untuk memberikan fakta2 baru dan unik
setiap minggunya.
sebenarnya untuk penayangan video ini udah termasuk sangat terlambat namun jika
dilihat dari sisi informasinya kami rasa tidak begitu fatal dan masih layak diterima
Cap Go Meh merupakan Peringatan hari ke-15 setelah perayaan Tahun Baru Imlek bagi
komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Secara harafiah Cap yang berarti Sepuluh, Go yang berarti
Lima dan Me yang berarti Malam. Ketika Cap Go Me, rakyat akan berkumpul dan bersuka-cita,
dihibur dengan segala macam makanan dan permainan yang ada, serta menyaksikan Tarian
Barongsai dan Liong atau naga. Uniknya perayaan cap go me memiliki keunikannya masing
masing disetiap daerah di Indonesia, karna festival cap go me telah berakulturasi dengan budaya
setempat. Seperti salah satu contoh di Kalimantan barat perpaduan antara budaya Tionghoa dan
budaya suku asli setempat yaitu suku Dayak dengan menurunkan tatung atau dukun untuk
mengikuti pawai dijalan dengan memperlihatkan ilmu kebal dan tahan akan senjata tajam guna
meramaikan dan membuat unik sebuah festival tersebut. Namun dibalik akulturasi kebudayaan
yang unik dan menarik, terselip kisah sejarah yang sangat kelam.
Pada tahun 1784 masehi pernah terjadi perang terbuka antara orang Tionghoa dan orang
dayak di wilayah Pegunungan kecamatan Sadaniang, kabupaten mempawah, provinsi kalimantan
barat. Perang tersebbut melibatkan penduduk Dayak yang berdiam di kabupaten Mempawah
melawan 2.000 tentara Republik Lan Fong.
Ratusan penduduk lokal menjadi korban keganasan perang, kepalanya dipancung dan
dipasang dipagar-pagar rumah betang, rumah-rumah betang dihancurkan dan dibakar di
kampung Untang, dan sebagian penduduk yang tersisa melarikan diri dengan perahu, dan
menetap di Capala dan Sabandut yang sekarang lebih dikenal dengan Kecamatan Mandor
Capkala dan Kabupaten Bengkayang, Dan sebagian lagi menetap di kampung Bangkam.
Berita penyerangan dan penaklukan tentara Republik Lan Fong ini menyebar sampai ke
kampung-kampung pedalaman, termasuklah kampung pudak, yang mana setelah mendengar
kabar tersebut sebagian penduduk di kampung Pudak, yang dipimpin oleh Nek Sapi memutuskan
untuk mengungsi, dan menyisakan sebuah keluarga saja yang tidak mau mengungsi. Keluarga
yang beranggotakan 5 orang itu adalah keluarga Nek Milakng atau biasa dipanggil Pak Miang.
Karna merasa geram terhadap penyerangan tersebut Nek Miakng memutuskan untuk bertempur
melawan tentara Republik Lan Fang hingga tetes darah terakhir.dengan membuat ritual adat
guna mempersiapkan diri untuk berperang, Nek Miakng pulang ke rumah dan melakukan hal
yang sangat mengejutkan, ia membunuh semua anggota keluarganya sendiri, dan ia berkata
“Lebih baik aku yang membunuh kalian, karena aku yang telah menghidupi kalian, daripada
kalian dibunuh tentara biadab itu,” kepada istri dan anak-anaknya. Tindakan yang kejam namun
untuk menjaga kehormatan keluarga.
Setelah itu pun Nek Miakng menyusul keluarganya yang telah mengungsi ke hulu. Sepanjang
perjalanan menuju kampung Bangkapm, Nek Miakng mendapati banyak rumah betang hancur
dan dibakar. kepala-kepala manusia yang dipancung di tikam dengan menjadi pagar kepala.
Menyaksikan itu, dendam Pak Miakng semakin membara.
Tiba di Bangkapm, Nek Miakng lantas mengumpulkan para lelaki muda untuk berperang.
Lelaki muda yang dikumpulkan Nek Miakng tergabung dari berbagai kampung yang berjumlah
kurang lebih 300 pasukan.
Dengan gagah berani Pasukan Pak Miakng mulai menyerang Sungai Raya, dan menaklukan desa
itu. Republik Lan Fong yang beribukota di Mandor, Kabupaten Landak panik dengan
penaklukan yang dilakukan oleh Pak Miakng dan pasukannya. Dan segera utusan negara itu
menemui kongsi-kongsi di daerah singkawang, Buduk, Lara dan Monterado untuk menghadapi
Nek Miakng.
Kongsi Hesun di Monterado menyiapkan 1.000 tentara, dan Kongsi Thai Kong di Buduk-
Sambas menyiapkan 1.000 tentara khusus.
Sedangkan dipihak Nek Miakng mendapatkan angin segar bahwa daerah Gajekng, Bilado,
Gado, dan lain-lain siap bergabung dalam pasukan untuk berperang dengan tentara kongsi itu.
Lokasi yang menjadi tempat pertemuan nek miakng dan pasukan dari berbagai daerah tersebut
pun dikenal dengan nama Samalantan (Sama Lantatn), Kabupaten Bengkayang. Setelah
pertemuan di Samalantan, pasukan Pak Miakng bertambah menjadi 1.000 orang.

Tahun 1786 masehi, peperangan besar terjadi di Monterado. Seribu pasukan Pak Miakng
menghancurkan istana Kongsi Hesun, dan membunuh lebih dari 2.000 penambang emas dan
tentara republik di kawasan itu.

Batu peninggalan sebagai bukti kemenangan pasukan Nek Miakng, dikenal dengan Batu Abo’,
daerah Desa Nyempen, Kecamatan Monterado, sekarang, ini.

Di batu inilah, ribuan kepala penambang dan tentara republik di tanam. Sisa pasukan republik
melarikan diri, dan bergabung dengan pasukan kongsi Thai kong di Sambas.
Selesai peperangan, Nek Miakng meminta pasukannya untuk kembali ke kampungnya masing-
masing guna menjaga kampung dari serangan tentara republik.
“Biarlah saya mati, saya sudah tidak ada keluarga,” ujar Nek Miakng kepada pasukannya.
Pasukannya mengikuti perintah Nek Miakng, dan pasukan itu berangsur-angsur pulang.

Nek Miakng, memang berencana menyerang markas tentarà Suku Tiongohoa di Singkawang
sendirian saja.

setiba di Sana, Nek Miakng menyerang kampung itu dan membunuh habis warga yang ada.
Lebih dari 600 orang dibunuhnya.

Keesokan harinya, 100 tentara republik tiba di tempat itu, dan menyaksikan pembantaian
manusia oleh Nek Miakng. Ketika melihat Nek Miakng sedang memanggang daging manusia
dipinggir pantai, tentara republik mengepungnya dan menghujaninya dengan tombak dan anak
panah. Sebagian bahkan menembak dengan senjata api (lantak). Nek Miakng hanya tersenyum,
tak satupun senjata itu melukainya. Tentara itu kemudian dibunuhi Nek Miakng.

Keesokan harinya, 200 tentara tiba di tempat itu, dan menyaksikan Nek Miakng sedang
membakar mayat-mayat, dan hati serta jantung tentara untuk disantapnya.

Tentara republik itu kembali menyerbu, dan menyirami tubuh Nek Miakng dengan minyak babi
dengan maksud membakar Nek Miakng. Nek Miakng tak pernah terbakar, dan tentara itu habis
dibunuhnya.

Keesokan harinya, puluhan para tetua kongsi sembahyang di pekong/klenteng muara Sungai
Selakau, meminta kekuatan baru untuk menghadapi Nek Miakng. Ratusan dukun atau yang
disebut Tatung dikirim untuk membunuh Pak Miakng, namun dengan dukungan roh gaibnya,
semua Tatung itu dibunuhnya juga.

Ketua Kongsi Thai Kong frustasi dengan situasi itu. Ratusan tentara dan dukun semua telah
dibunuh oleh Nek Miakng. Ia pun mengirim beberapa orang untuk menyelidiki kekuatan Nek
Miakng.

Orang yang dikirim itupun ketahuan Nek Miakng dan dibunuhnya. Marahlah sang jendral itu,
beserta 20 kapitennya, ia memimpin sendiri 2.000 pasukan untuk membunuh Nek Miakng.
Mereka khawatir, Nek Miakng akan menjadi Raja semua Bangsa Dayak yang sudah
ditaklukannya selama puluhan tahun silam. Ia khawatir, Nek Miakng akan membangkitkan
perlawanan seluruh orang Dayak untuk melawan kongsi-kongsi.

Suatu malam, Nek Miakng setelah menyantap daging manusia yang dibakarnya tertidur. Ia pun
didatangi roh istri dan anak-anaknya. Istrinya meminta Nek Miakng untuk menyerah saja dan
minta dibunuh karena dendam darah sudah terbayarkan berlebihan. Nek Miakng pun terbangun,
dan menangis. Nek Miakng menyesal dengan perbuatannya.

Tibalah tentara republik ditempat itu, dan mengepungnya. Nek Miakng tak melawan. Nek
Miakng pun diikat tentara itu, dan dilemparkan ke lautan. Namun Nek Miakng tak kunjung mati.
Nek Miakng diangkat ke daratan, dan ditombak dengan besi panas. Nek Miakng juga hanya
tertawa dan hanya merasa geli saja. Nek Miakng diletakkan diatas batu besar, dan ditimpa
dengan batu namun semua usaha sia-sia.
Ketika itu Nek Miakng melihat seorang tentara, dan sangat mirip dengan anak lelakinya yang
sudah dibunuhnya. Nek Miakng menangis, dan kemudian berteriak keras kepada seorang jendral
di situ, dan menyampaikan kelemahan kesaktiannya.
Setelah ia memberi taukan kelemahannya, Nek Miakng pun memberikan syarat, untuk dilakukan
setiap periode tertentu tiap tahun untuk mengenang kematiannya berupa permainan tatung. Nek
Miakng menegaskan, kematiannya memang harus terjadi, agar bisa bersatu kembali dengan istri
dan anak-anaknya yang sudah tewas sebelumnya.
Jendral itu tersenyum, dan meminta tentaranya untuk mencari yang menjadi kelemahan
sebagaimana yang dimaksudkan Nek Miakng.
Akhir cerita, Nek Miakng pun tewas seketika oleh pasukan kongsi . Terbunuhnya Nek Miakng
disambut suka cita dari tentara kongsi dan seluruh penambang emas. Semua tokoh Dayak di
berbagai daerah diberitahu pihak kongsi, dan meminta hadir dalam upacara mereka menghormati
Nek Miakng yang sudah terbunuh. Mayat Pak Miakng selama seharian kemudian diarak oleh
tentara dengan berkeliling kota. Hari itu sangat kelam, hujan rintik-rintik, dan ada pelangi di
langit.

atas permintaan Nek Miakng maka mereka harus membuat perayaan untuk memperingati
tragedi itu. diadakan pesta perarakan keliling kota dengan menghadirkan dukun atau tatung.
Karena tragedi itu bersifat heroik dan pertumpahan darah maka dilambangkanlah tatung-tatung
itu menggunakan atribut kesatria Tionghoa yang naik pancam pedang maupun tombak. Beberapa
tahun belakangan ini diundanglah dari pihak Dayak yang mau berpartisipasi menjadi tatung
dengan menggunakan baju khas suku Dayak mereka.
Hal inilah mengapa perayaan Cap Go Me di singkawang diwarnai dengan atraksi naik pancam
dan makan daging mentah serta minum darah hewan karena sebagai wujud dari peringatan
tragedi pertempuran Nek Miakng yang dikolaborasikan dengan peringatan 15 hari Tahun Baru
China.

Anda mungkin juga menyukai