Anda di halaman 1dari 9

ANALISIS KASUS NENEK MINAH TAK CURI COKLAT DARI

PERSPEKTIF HAK MEMPEROLEH KEADILAN

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. I Made Subawa, S.H., M.S

Nyoman Mas Aryani, SH., MH.

Nama : Dewa Gede Indra Jaya

NIM : 1704551014

Kelas : B / Hukum Hak Asasi Manusia

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Negara Indonesia adalah Negara hukum. Menurut Stahl, konsep Negara hukum yang
disebut dengan istilah “rechtsstaat” mencakup empat elemen penting, yaitu: perlindungan
hak asasi manusia, pembagian kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan
peradilan tata usaha negara. Atas dasar ciri-ciri negara hukum ini menunjukkan bahwa ide
sentral negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang
bertumpu kepada prinsip kebebasan dan persamaan.

Sehubungan dengan pernyataan tersebut, khususnya elemen perlindungan hak asasi


manusia, secara konstitusional negara Indonesia telah menjamin, menghormati, menjunjung
tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Sebelum dilakukan perubahan, UUD 1945 dapat
dikatakan tidak mencantumkan secara tegas mengenai jaminan Hak Asasi Manusia. Tetapi
setelah UUD 1945 diamandemen, terutama amandemen kedua tahun 2000, ketentuan
mengenai HAM dalam UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar. UUD 1945
perubahan ini telah memuat materi HAM yang diatur dalam pasal 28A ayat (1) sampai
dengan pasal 28j ayat (2). Materi yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan terdapat
dalam pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Ketentuan-ketentuan tentang hak asasi manusia yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut,
merupakan substansi yang berasal dari rumusan Tap.MPR No. XVII/MPR/1998, yang
selanjutnya menjelma menjadi materi Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia.

Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 juga telah merumuskan sepuluh elemen hak yang
melekat pada hak asasi manusia, yaitu:[4] (1) hak untuk hidup; (2) hak berkeluarga; (3) hak
mengembangkan diri; (4) hak memperoleh keadilan; (5) hak atas kebebasan pribadi; (6) hak
atas rasa aman; (7) hak atas kesejahteraan; (8) hak atas turut serta dalam pemerintahan; (9)
hak wanita; dan (10) hak anak.

Dalam rangka pemenuhan hak memperoleh keadilan, sebagaimana yang disebut


angka (4) di atas, dilakukan tanpa diskriminasi dengan cara mengajukan permohonan,
pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara perdata, pidana maupun administrasi serta
diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara
yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar. Dalam proses pemenuhan hak memperoleh keadilan berlaku
asas: (1) presumption of innocence (praduga tidak bersalah); (2) Nullum Delictum Siena
Previa Lege Poenale (tidak ada kesalahan tanpa diatur lebih dahulu dalam undang-undang
sebelum tindak pidana dilakukan); (3) ketentuan yang lebih menguntungkan (dalam hal
terjadi perubahan peraturan perundang-undangan); (4) mendapat bantuan hukum; (5) Ne Bis
In Idem (tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama).

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana penerapan konsep hak memperoleh keadilan jika dikaitkan dengan kasus
Nenek Minah yang “mencuri” 3 butir kakao beberapa tahun silam?

1.3 TUJUAN PENULISAN

1. Untuk memahami lebih dalam mengenai konsep hak memperoleh keadilan dengan
menganalisa kasus yang diberikan dengan pendekatan/metodologi normatif.

II. ISI MAKALAH

2.1 METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian hukum
normatif, karena meneliti asas-asas hukum serta mengkaji serta meneliti peraturan-peraturan
tertulis. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berupa
bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder berupa
buku dan artikel hukum di internet. Jenis pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach).
Analisis terhadap bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, dan
argumentatif.

2.2 HASIL DAN PEMBAHASAN

2.2.1 Analisa Kasus

“Selama ini kita selalu fokus pada penegakan hukum, tapi lupa untuk menegakkan
keadilan”.Pernyataan yang dilontarkan oleh Antasari Azhar ini kerap terjadi dalam proses dan
dinamika hukum di Indonesia. Bahwa penegakan hukum diteriakkan dengan keras namun
hukum yang dimaksud tidak lain adalah undang-undang.

Ada sebuah kasus yang menarik beberapa tahun silam yang mungkin masih hangat
sampai saat ini, Kisah seorang nenek tua bernama Minah ini berawal dari pencurian tiga butir
buah kakao seberat tiga kilogram di kebun PT RSA 4 yang dituduhkan kepadanya. Saat itu
Minah berkeinginan menambah tanaman kakao miliknya yang berjumlah 200 batang
sehingga dia memetik tiga butir kakao di kebun PT RSA dan meletakkannya di atas tanah.
Akan tetapi, apa yang dilakukan Minah diketahui mandor PT RSA 4, Tarno alias Nono. Dia
pun menegur Minah dan menanyakan perihal kakao yang dicurinya.

Minah pun mengatakan jika buah kakao yang dipetiknya akan dijadikan bibit. Setelah
mendengar penjelasan Minah, Tarno mengatakan, kakao di kebun PT RSA 4 dilarang dipetik
oleh masyarakat. Dia juga menunjukkan papan peringatan yang terpasang pada jalan masuk
perkebunan. Dalam papan tersebut tertulis petikan Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan, yang menyatakan bahwa setiap orang tidak
boleh merusak kebun maupun menggunakan lahan kebun hingga mengganggu produksi
usaha perkebunan. Minah yang buta huruf itupun segera meminta maaf kepada Tarno
sembari menyerahkan tiga butir buah kakao tersebut untuk dibawa mandor itu. Kendati telah
meminta maaf, dia sama sekali tidak menyangka jika perbuatannya justru berujung ke
pengadilan.

Akhir Agustus 2009, Minah dipanggil Kepolisian Sektor Ajibarang untuk menjalani
pemeriksaan terkait tiga butir buah kakao yang dipetiknya di kebun PT RSA 4. Atas tuduhan
tersebut, Minah dijerat Pasal 362 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan ancaman
hukuman enam bulan penjara.

Terhitung sejak 19 Oktober 2009, kasus itu ditangani Kejaksaan Negeri Purwokerto
setelah dilimpahkan oleh kepolisian dan Minah pun ditetapkan sebagai tahanan rumah. Sejak
saat itu pula, Minah harus mondar-mandir dari rumahnya di Dusun Sidoharjo, Desa
Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, untuk menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri
Purwokerto.Setiap kali menjalani pemeriksaan, Minah harus mengeluarkan ongkos hingga
Rp50 ribu untuk ojek dan angkutan umum dari rumahnya menuju Purwokerto yang berjarak
sekitar 40 kilometer tersebut. Dia mengaku kesulitan mencari uang untuk ongkos karena
kehidupannya sebagai petani sangat pas-pasan.
"Kadang anak saya memberi ongkos ke Purwokerto. Bahkan, Bu Jaksa juga pernah
`nyangoni` (memberi uang saku, red.) saya sebesar Rp50 ribu," kata nenek tujuh anak dan
belasan cucu ini. Kendati demikian, hal itu bukan penghalang bagi Minah untuk menjalani
pemeriksaan hingga persidangan di pengadilan karena hal itu demi melepaskan diri dari
jeratan hukum.

Kasus ini menimbulkan reaksi dari masyarakat, Sejumlah kerabat, tetangga, serta
aktivis LSM juga menghadiri sidang nek Minah untuk memberikan dukungan moril. Dan
hari Kamis (19-11-2009), majelis hakim yang dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH
memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti
secara sah dan meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.

2.2.2 Analisa Pelanggaran Hukum Nek Minah

Dalam putusan hakim Nek Minah terbukti bersalah melanggar Pasal 362 KUHP yang
berbunyi: “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian
kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam
karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling
banyak sembilan ratus rupiah". Jika melihat dari kacamata dogmatif-normatif, maka tidak
dipungkiri bahwa si nenek telah bersalah melanggar Undang-undang, dengan delik
mengambil barang orang lain, dengan maksud untuk dimiliki, namun dalam frasa „secara
melawan hukum‟ si nenek dalam hal ini saya kira tidak bisa disalahkan begitu saja karena si
nenek tidak melek hukum, bahkan tidak bisa membaca.

Saya yakin bahwa tidak ada sedikitpun niatan nek Minah untuk melawan hukum
dengan kesengajaannya mencuri, hal ini terbukti bahwa dia mengakui dengan jujur bahwa dia
mengambil kakao ketika ditanya oleh mandor PT. RSA, dan setelah diterangkan bahwa
perbuatannya melanggar hukum maka dia meminta maaf dan mengembalikan kakao yang
diambilnya, seharusnya sampai disini case closed.

Tapi yang terjadi kemudian adalah kasus ini naik ke pihak yang berwajib, saya ingin
sedikit berimajinasi tentang fakta dan kondisi sosial yang mungkin terjadi dalam proses
hukum ini, sang mandor menjalankan tugasnya untuk memberi laporan kepada pimpinannya,
mendapat laporan pencurian, sang pimpinan yang mungkin telah lama geram atas ulah
orang-orang yang selalu mencuri di perkebunannya, dan melaporkan hal ini ke Polisi.
Sehingga dalam kacamata sosiologis sulit juga menyalahkan mandor dan pimpinan yang
mengadukan perkaranya ke polisi, yang mungkin bukan sekali dua kali mereka menemukan
kasus pencurian. Alhasil, nek Minah pun harus bolak balik dipanggil untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya.

2.2.3 Analisis Putusan Hakim

Yang juga menarik adalah putusan hakim yang memvonis nek Minah dengan 1,5
bulan penjara dengan masa percobaan 3 bulan, yang lebih ringan dari tuntutan jaksa, dan
tidak harus menjalani hukuman penjara (tahanan rumah). Walaupun dalam hal ini hakim
melihat bahwa sang Nenek terbukti bersalah, namun, tampaknya hakim tidak melihat dari
perspektif normatif semata, bahkan ketua majelis hakim, Muslih Bambang Luqmono SH,
terlihat menangis saat membacakan vonis. "Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak
orang".

Kontroversi tentang kasus dan putusan hakim ini pun menuai banyak pro dan kontra,
dalam mengomentari kasus ini Prof. Soetandyo Wignjosoebroto berpendapat,

“Setiap pasal dalam undang-undang pidana itu sebenarnya selalu mensyaratkan bahwa
suatu perbuatan hanya dapat dianggap sebagai perbuatan pidana apabila memenuhi unsur
”melanggar hukum”, yang di dalam bahasa aslinya disebut wederechtelijk. Di sini, kata
recht yang dipakai dan bukan wet. Boleh dipersoalkan di sini, hukum mana yang sebenarnya
dalam kasus-kasus pidana itu yang dilanggar. Hukum UU yang tertulis itu, ataukah hukum
rakyat yang masih berlaku di locus delicti (tempat kejadian perkara); atau hukum yang di
dalam kepustakaan hukum sering dikenali dengan istilah living law, atau yang di Inggris
diistilahkan dengan law of the country. Maka, apabila persoalan wederechtelijk dan law of
the country ini diangkat dalam persoalan Nenek Minah dan kakaonya, sebenarnya tidaklah
ada unsur pidana dalam perbuatan Nenek Minah ini. Nenek Minah tidaklah dapat dikatakan
sebagai pencuri yang mencuri. Menurut hukum rakyat setempat, yang namanya mencuri itu
apabila barang yang diambil tersebut dibawa pergi dan disembunyikan, dan tidak cuma
dipetik dan diletakkan di tempat”.

Undang-undang hukum pidana dalam teks aslinya pun sebenarnya menyebutkan


bahwa hanya orang yang ”een goed … wegneemt” yang harus disebut pelaku pencurian.
Wegneemt berasal dari kata dasar wegnemen, yang berarti mengambil dan membawanya
pergi. Kita ingat, Nenek Minah tidak melarikan kakao yang dipetiknya itu. Nenek Minah
tidak mencuri. Polisi, jaksa, dan bahkan hakim harus bertindak cermat dalam hal ini agar tak
berlaku aniaya kepada hamba-hamba Tuhan yang belum beruntung.

Saya melihat bahwa putusan hakim ini sudah sesuai dengan amanat Undang-undang
tentang Kekuasaan Kehakiman Indonesia (UU No. 4 Tahun 2004) khususnya pasal 28 ayat
1 ; “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat”. Walaupun terbukti secara empiris bersalah, sang hakim
memberikan putusan yang bijak, dengan tidak menyalahi Undang-undang dengan tetap
memberikan sanksi kepada nek Minah, namun nek Minah tidak harus merasakan dinginnya
sel tahanan. Hakim memang seyogyanya tidak hanya memperhatikan aspek normative
semata.

Konsep hukum di negara lain tidak bisa serta merta diterapkan di Indonesia yang
kompleks, positivisme hukum yang diterapkan Belanda yang merupakan negara kecil tidak
akan cocok jika harus diterapkan seluruhnya di Indonesia. Jika melihat dari perspektif
Positivisme Hukum maka hukum tidak lain adalah perintah penguasa “law is a command of
the law givers”. Bahkan, bagian aliran hukum positif yang dikenal dengan nama legisme,
berpendapat lebih tegas, bahwa hukum itu identik dengan undang-undang .

Dalam kasus nek Minah ini, seorang Juris harus mampu untuk melakukan pilihan
mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Dalam hal ini, yang
menjadi acuan adalah moral. Apabila kepastian hukum yang dikedepankan, penerap hukum
harus pandai-pandai memberikan interpretasi terhadap undang-undang yang ada.Apabila
tidak memberikan interpretasi secara tepat, maka akan berlaku lex dura sed tamen scripta
yang terjemahannya ”undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang
demikian bunyinya”. Antinomi antara kepastian hukum dan keadilan, keduanya tidak dapat
diwujudkan sekaligus dalam situasi yang bersamaan. Oleh karena itu, hukum bersifat
kompromi, yaitu dengan mengorbankan keadilan untuk mencapai kepastian hukum. Dalam
menghadapi antinomi tersebut peran Juris sangat diperlukan. Peran tersebut akan terlihat pada
saat Juris dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang konkret.

III. SIMPULAN & SARAN

Putusan hakim ini sudah sesuai dengan amanat Undang-undang tentang Kekuasaan
Kehakiman Indonesia (UU No. 4 Tahun 2004) khususnya pasal 28 ayat 1 ; “hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Walaupun terbukti secara empiris bersalah, sang hakim memberikan putusan
yang bijak, dengan tidak menyalahi Undang-undang dengan tetap memberikan sanksi kepada
nek Minah.

Dalam kasus nek Minah ini, seorang Juris harus mampu untuk melakukan pilihan
mana yang harus dikorbankan, kepastian hukum ataukah keadilan. Dalam hal ini, yang
menjadi acuan adalah moral. Apabila kepastian hukum yang dikedepankan, penerap hukum
harus pandai-pandai memberikan interpretasi terhadap undang-undang yang ada.Apabila
tidak memberikan interpretasi secara tepat, maka akan berlaku lex dura sed tamen scripta
yang terjemahannya ”undang-undang memang keras, tetapi mau tidak mau memang
demikian bunyinya”.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta.

Moeljatno. 1987. ASAS-ASAS HUKUM PIDANA. Jakarta : PT. Bina Aksara

R. Abdoel Djamali. 2005. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

C.S.T Kansil. 1982. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta : PN Balai
Pustaka

J.C.T Simorangkir dkk. 1980. Kamus Hukum. Jakarta : Aksara Baru

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang Undang Hukum Pidana. 1988. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan

Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

ARTIKEL INTERNET / JURNAL

Fauzi Iswari. “Unsur Keadilan dalam Penegakan Hukum terhadap Pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) di Indonesia”. Volume 1 No. 1, Juli 2017, hal. 130-140, jurnal.umsb.ac.id,
URL: jurnal.umsb.ac.id/index.php/pagaruyuang/article/download/274/231, diakses pada
tanggal 17 Oktober 2018, pada pukul 10.30 WITA

Anda mungkin juga menyukai