PENDAHULUAN
estimasi global WHO 2012 kelainan refraksi yang tidak terkoreksi menduduki
penglihatan dan kebutaan beberapa diantaranya diderita oleh anak usia sekolah.
Menurut WHO dalam peringatan hari penglihatan sedunia (World Sight Day /
penderitanya dua diantaranya adalah segi fisik dan segi sosial ekonomi, karena
dengan adanya kelainan refraksi ini seseorang akan cenderung bergantung pada
1
2
Apabila hal ini tidak ditangani secara serius tentunya dapat mengganggu proses
tinggi, hal ini sesuai dengan banyaknya materi yang harus dikuasai oleh
berlebihan yang diterima mata, seperti radiasi cahaya komputer dan kebiasaan
(Gondhowiharjo, 2009).
kebutaan sedikitnya ada 45 juta jiwa dan lainnya menderita penglihatan kurang
(low vision) sebanyak 135 juta jiwa, diantaranya terdapat di kawasan Asia Selatan
dan Asia Tenggara sebanyak 90% . Berdasarkan Riskesdas 2013 tentang perkiraan
jumlah penyandang kebutaan dan severe low vision prevalensi tertinggi terdapat di
Provinsi Jawa Tengah dimana gangguan kebutaan mencapai 0,5% dan severe low
vision mencapai 1,1%. WHO tahun 2007 memperkirakan prevalensi dunia untuk
kelainan refraksi mencapai 800 juta sampai 2,3 milyar orang, yang didominasi
dewasa usia 16-49 tahun sebanyak 450 juta. Sedangkan untuk persentase kelainan
koreksi masih rendah yaitu 12,5 % dari kebutuhan (Ilyas, 2007). Sehingga
mengalami kebutaan yang salah satunya disebabkan oleh kelainan refraksi sebesar
0,14%.
82,2% , hipermetropia 3,1% (Wook, dkk 2004) . Sedangkan pada penelitian lain
refraksi yang terdiri dari 92,68% mengalami miopia, 82,2% astigmatisma, 1,3%
tertarik untuk meneliti hubungan kelainan refraksi dan pola kebiasaan membaca
Semarang yang terdiri dari angkatan 2014, 2015, dan 2016 yang tercatat sebagai
sebagai berikut : “Apakah ada hubungan kelainan refraksi dan pola kebiasaan
selanjutnya.
Semarang.