Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Asia Tenggara kelainan refraksi hampir menjadi masalah yang

umum khususnya miopia. Berdasarkan data distribusi penyebab gangguan

penglihatan estimasi global WHO 2012 kelainan refraksi yang tidak

terkoreksi menduduki urutan pertama penyebab gangguan penglihatan

terbanyak diseluruh dunia. Sedangkan menurut Kementerian Kesehatan

Republik Indonesia tahun 2012 mengemukakan bahwa kelainan refraksi

merupakan penyebab gangguan penglihatan dan kebutaan, beberapa

diantaranya diderita oleh anak usia sekolah. Menurut WHO dalam peringatan

hari penglihatan sedunia (World Sight Day / WSD ) dengan pesan khusus

“No more Avoidable Blindness” memperkirakan bahwa sekitar 80%

gangguan penglihatan dan kebutaan di berbagai negara termasuk Indonesia

dapat dicegah, dua penyebab terbanyak adalah gangguan refraksi dan katarak.

Miopia, hipermetropia, dan astigmatisma merupakan jenis kelainan refraksi

yang sering dijumpai (Ilyas, 2004 ) .

Kelainan refraksi ini dapat mempengaruhi beberapa segi kehidupan

penderitanya dua diantaranya adalah segi fisik dan segi sosial ekonomi,

karena dengan adanya kelainan refraksi ini seseorang akan cenderung

bergantung pada kacamata atau lensa kontak untuk membantu penglihatannya

(Supartoto, 2006). Apabila hal ini tidak ditangani secara serius tentunya dapat

1
2

mengganggu proses belajar mahasiswa dan pada akhirnya berdampak pada

prestasi mahasiswa. Mahasiswa Fakultas Kedokteran umumnya memiliki

intensitas waktu baca lebih tinggi, hal ini sesuai dengan banyaknya materi

yang harus dikuasai oleh mahasiswa-mahasiswa Fakultas Kedokteran.

Adanya faktor radiasi cahaya yang berlebihan yang diterima mata, seperti

radiasi cahaya komputer dan kebiasaan membaca terlalu dekat sehingga

menyebabkan kelelahan pada mata (astenopia) hal ini menyebabkan beberapa

diantaranya mengalami kelainan refraksi (Gondhowiharjo, 2009).

Berdasarkan hasil estimasi dari WHO (2010) penduduk dunia yang

menderita gangguan pada penglihatan sebesar 285 juta orang atau 4,24%

populasi, sekitar 0,58% atau 39 juta orang menderita kebutaan dan 36,5%

atau 246 juta orang lainnya menderita penglihatan kurang (low vision),

diantaranya terdapat di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara sebanyak

90%. Berdasarkan Riskesdas 2013 tentang perkiraan jumlah penyandang

kebutaan dan severe low vision prevalensi tertinggi terdapat di Provinsi Jawa

Tengah dimana gangguan kebutaan mencapai 0,5% dan severe low vision

mencapai 1,1%. WHO tahun 2007 memperkirakan prevalensi dunia untuk

kelainan refraksi mencapai 800 juta sampai 2,3 milyar orang, yang

didominasi dewasa usia 16-49 tahun sebanyak 450 juta. Sedangkan untuk

persentase kelainan refraksi di Indonesia sebesar 22,1 % , sementara angka

pemakaian kacamata koreksi masih rendah yaitu 12,5 % dari kebutuhan

(Ilyas, 2007). Sehingga berdasarkan survei kesehatan indra ada sekitar 1,5%
3

penduduk Indonesia mengalami kebutaan yang salah satunya disebabkan oleh

kelainan refraksi sebesar 0,14%.

Penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas Kedokteran di

Universitas Nasional Singapura menunjukkan bahwa prevalensi miopia

89,9% , astigmatisma 82,2% , hipermetropia 3,1% (Wook, dkk 2004) .

Sedangkan pada penelitian lain di Taiwan dengan responden yang sama yaitu

mahasiswa Fakultas Kedokteran mendapatkan prevalensi miopia lebih dari

90% . Di Indonesia penelitian yang dilakukan pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Riau dari 242 responden yang memenuhi kriteria

inklusi terdapat 33,9% menderita kelainan refraksi yang terdiri dari 92,68%

mengalami miopia, 82,2% astigmatisma, 1,3% hipermetropia (nazriati dkk,

2004).

Berdasarkan beberapa prevalensi yang telah dikemukakan diatas

peneliti tertarik untuk meneliti hubungan pola kebiasaan membaca dan indeks

prestasi akademik dengan kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Penelitian ini

bersifat observasional yang dilakukan di lingkungan Fakultas Kedokteran

Unissula Semarang dengan mengambil subyek penelitian dari mahasiswa

Fakultas Kedokteran Unissula Semarang yang terdiri dari angkatan 2014,

2015, dan 2016 yang tercatat sebagai mahasiswa aktif dan bersedia mengisi

kuisioner.

1.2 Perumusan Masalah


4

Berdasarkan masalah diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut : “Apakah ada hubungan pola kebiasaan membaca dan indeks

prestasi akademik dengan kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung Semarang ?“

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui hubungan pola kebiasaan membaca dan indeks

prestasi akademik dengan kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas

Kedokteran Unissula Semarang.

1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui keeratan hubungan pola kebiasaan membaca

dan indeks prestasi akademik terhadap kelainan refraksi

mahasiswa Fakultas Kedokteran Unissula Semarang.

1.3.2.2 Untuk mengetahui pola kebiasaan membaca mahasiswa Fakultas

Kedokteran Unissula yang dapat menjadi faktor risiko untuk

terjadinya kelainan refraksi.

1.3.2.3 Untuk mengetahui besaran kelainan refraksi berdasarkan jenis-

jenisnya yaitu miopia, astigmatisma dan hipermetropia pada

mahasiswa Fakultas Kedokteran Unissula Semarang.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teoritis


5

1.4.1.1 Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan

tambahan pustaka bagi pengembangan ilmu pengetahuan

khususnya berkaitan dengan kelainan refraksi.

1.4.1.2 Dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian

selanjutnya.

1.4.2. Manfaat Praktis

1.4.2.1 Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sarana untuk

mencegah terjadinya kelainan refraksi yang luput dari koreksi,

sehingga berdampak menjadi masalah yang serius.

1.4.2.2 Dapat memberikan informasi berkaitan dengan pola kebiasaan

membaca yang memiliki faktor risiko terhadap kelainan

refraksi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Unissula

Semarang.
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Mata

2.1.1 Anatomi Mata

Mata merupakan organ visual perifer sistem penglihatan, terdiri dari

bola mata dengan berat 7,5 gram, panjangnya 24 mm dan diameter

anteroposterior sekitar 24,2 mm, adneksa atau alat-alat tambahan, serta otot-

otot ekstraokular (Suhardjo dan Hartono, 2007) (Riordan-Eva dan Whitcher,

2015). Bola mata terletak di dalam suatu rongga skeletal yang dinamakan

orbita, rongga skeletal tersebut memiliki fungsi sebagai proteksi dimana

selain terdiri dari tulang yang keras di dalam rongga skeletal juga terdapat

kumpulan lemak yang berguna sebagai bantalan mata dari getaran-getaran

yang dapat melukai mata (Suhardjo dan Hartono, 2007).

Media refraksi terdiri dari kornea, pupil, lensa, dan vitreus. Media

refraksi memiliki target di retina sentral (makula), gangguan pada media

refraksi menyebabkan visus turun (Marieb EN dan Hoehn K, 2007).

1. kornea

Kornea merupakan bagian depan bola mata berlensa cembung, berupa

jaringan transparan dan avaskular, dengan bentuk seperti kaca arloji.

Kekuatan refraksi (bias) sebesar +43 dioptri, berbentuk agak elips dengan

diameter horizontal 12,6 mm dan diameter vertical 11,7 mm. Sedangkan jari-
7

jari kelengkungan depan 7,84 mm dan dan jari-jari kelengkungan belakang 7

mm (Suhardjo dan Hartono, 2007). Kornea bersifat jernih oleh karena adanya

beberapa faktor, antara lain :

 Epitel kornea yang tersusun dengan sangat rapi

 Adanya serabut kolagen yang tersusun dengan rapi dan padat

 Kadar air yang konstan

 Tidak terdapat vaskular (Suhardjo dan Hartono, 2007).

2. Pupil

Pupil terdapat pada tengah iris, berfungsi untuk mengatur jumlah sinar

yang masuk ke dalam mata. Secara normal tepi pupil bersentuhan dengan

lensa, namun tak melekat dengan lensa. Besarnya pupil diatur oleh dua

macam otot yang terdapat di iris yaitu musculus dilatator pupillae

(melebarkan pupil) dan musculus sphincter pupillae (mengecilkan pupil).

Garis tengah pupil normal berkisar antara 3-4 mm (Suhardjo dan Hartono,

2007).

3. lensa

Lensa merupakan suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna,

dan hampir transparan sempurna. Memiliki ketebalan sekitar 4 mm dan

diameternya 9 mm. Batas pada sebelah anteriornya terdapat aqueous humor,

sedangkan di sebelah posteriornya terdapat vitreus. Lensa difiksasi

ditempatnya oleh suatu penggantung yaitu ligamentum suspensorium yang

disebut dengan zonula (zonula Zinnii), yang terdiri dari beberapa fibril,
8

Fibril-fibril tersebut berasal dari permukaan corpus ciliare dan menyisip ke

dalam ekuator lensa. Kandungan lensa terdiri dari dua komponen utama yaitu

air (65 %) , protein (35 %). Selain itu terdapat sedikit kandungan mineral,

kandungan kalium lebih banyak di lensa daripada di kebanyakan jaringan

lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk teroksidasi maupun

tereduksi (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015).

4. vitreus

Suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang membentuk dua

pertiga volume dan berat mata disebut vitreus. Vitreus memiliki kandungan

air terbanyak sekitar 99% dan sisanya 1% terdiri dari dua komponen yaitu

kolagen dan asam hialuronat, yang berfungsi memberi bentuk dan konsistensi

seperti gel pada vitreus karena kemampuannya untuk mengikat air dalam

jumlah yang banyak. Vitreus terdapat di ruangan yang dibatasi oleh lensa,

retina, dan diskus optikus.

Pada permukaan luar dari vitreus dilingkupi oleh hyaloid yang secara

normal berkontak dengan beberapa struktur yaitu kapsul lensa posterior,

serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici.

Basis vitreus menempel dengan erat pada lapisan epitel pars plana dan retina

tepat dibelakang ora serrata (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015).

2.1.2 Fisiologi Mata

Mata termasuk organ fotosensitif yang menganalisis secara cermat

mulai dari bentuk, intensitas cahaya, sampai warna yang dipantulkan oleh
9

obyek. Mata terdiri dari sebuah bola mata fibrosa yang kuat berfungsi

mempertahankan bentuk mata, serta suatu sistem lensa berfungsi

memfokuskan bayangan. selapis sel fotosensitif, sistem sel dan saraf

berfungsi untuk mengumpulkan, memproses dan meneruskan informasi

visual ke otak (Junqueira, 2007).

Mata mengandung sel batang (rods) dan sel kerucut (cones),

fotoreseptor yang mengubah energi cahaya menjadi sinyal listrik untuk

ditransmisikan ke SSP. Cahaya yang melewati kornea tidak semua dapat

mencapai sel fotoreseptor peka cahaya di retina, karena adanya iris, suatu otot

polos tipis berpigmen yang membentuk struktur mirip cincin di dalam

aqueous humor. Sinar atau cahaya adalah suatu bentuk radiasi

elektromagnetik terdiri dari energi mirip partikel yang dinamakan foton,

berjalan dalam bentuk gelombang. Ketika sinar melalui media transparan

berupa udara, maka sinar akan lebih cepat berjalan jika dibandingkan melalui

media transparan lain seperti air dan kaca cenderung lebih lambat (Sherwood,

2014).

Arah berkas berubah jika cahaya tersebut mengenai permukaan medium

baru dalam sudut yang tidak tegak lurus. Berbeloknya berkas sinar disebut

sebagai refraksi (pembiasan), kornea merefraksi cahaya lebih banyak

dibanding lensa. Lensa hanya berfungsi untuk menajamkan bayangan yang

ditangkap saat mata terfokus pada benda yang dekat dan jauh. Pada

permukaan melengkung seperti lensa, semakin besar kelengkungan, semakin

besar derajat pembelokan dan semakin kuat lensa (saladin, 2006). Agar
10

sumber cahaya jauh dan dekat dapat terfokus di retina, maka harus digunakan

lensa yang lebih kuat untuk sumber dekat. Kemampuan menyesuaikan

kekuatan lensa tersebut dinamakan sebagai daya akomodasi (Sherwood,

2014).

2. 2 Kelainan Refraksi

Kelainan refraksi atau ametropia ( refractive error ) adalah kelainan

yang terjadi ketika sinar yang masuk pada mata tanpa akomodasi sehingga

memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina

bisa didepan atau dibelakang retina bahkan mungkin tidak terletak pada satu

titik yang fokus, sehingga memberikan efek visual yang kabur. Ametropia

dapat ditemukan dalam beberapa bentuk kelainan yaitu hipermetropia,

miopia, dan astigmatisma (Leng C et al., 2010 ) (Ilyas, 2012).

2. 2. 1 Miopia

Miopia (nearsighted) adalah kelainan refraksi pada mata dimana

bayangan benda yang terletak jauh difokuskan di depan retina oleh mata yang

tidak berakomodasi (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015). Menurut derajatnya

miopia dibagi menjadi (Ilyas, 2002) :

1. Miopia ringan, dimana miopia < 1-3 dioptri

2. Miopia sedang, dimana miopia diantara 3-6 dioptri

3. Miopia berat, dimana miopia > 6 dioptri


11

Menurut kelainannya miopia dibagi menjadi (Riordan-Eva dan

Whitcher, 2015) :

1. Miopia aksial, terjadi bila diameter antero-posterior dari bola mata lebih

panjang dari normal

2. Miopia kurvatura (miopia refraktif) , yaitu apabila terdapat unsur-unsur

pembiasan lebih refraktif dibandingkan rata-rata

2.2.1.1 Manifestasi klinis

Terdapat beberapa manifestasi klinis terkait gangguan refraksi (Ilyas,

2006) :

1. Seseorang dengan miopia akan mengalami kesulitan melihat benda yang

berjarak jauh.

2. Sakit kepala juga sering dikeluhkan oleh penderita miopia.

3. Terdapat kelainan pada struktur anatomi mata berupa celah kelopak yang

sempit dan mata juling ke dalam (esoptropia).

4. Seseorang dengan miopia sering mengecilkan kelopak matanya pada saat

melihat benda yang jauh untuk mendapatkan efek “pinhole” sebagai

upaya untuk melihat jelas. Selain itu, pasien miopia mempunyai pungtum

remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan

konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi

(Ilyas, 2007).

5. Ketika membaca penderita lebih cenderung memegang buku dekat ke

mata (Wong, 2008).


12

6. seorang miopik akan sering menggosok-gosok mata secara tidak disadari

untuk membuat kurvatura kornea lebih datar sementara (Suhardjo dan

Hartono, 2007).

3. 2. 1. 2 Diagnosa

Tujuan pemeriksaan pada miopia adalah untuk mengetahui derajat lensa

negatif yang diperlukan untuk memperbaiki tajam penglihatan agar

penglihatan menjadi normal atau tercapai tajam penglihatan terbaik (Ilyas,

2009). Berikut beberapa pengujian standar pemeriksaan mata secara umum

(Ilyas, 2013) :

1. Pemeriksaan dengan kartu Snellen untuk ketajaman penglihatan pada

jarak jauh dan pemeriksaan dengan kartu Jaeger untuk ketajaman

penglihatan dari jarak dekat.

2. Uji pembiasaan, terhadap kebenaran resep dokter untuk pemakaian

kacamata.

3. Uji penglihatan warna, untuk penentuan adakah kemungkinan kebutaan.

4. Pemeriksaan gerakan otot-otot mata.

5. Pemeriksaan retina.

6. Pengukuran tekanan cairan pada mata.

7. Pemeriksaan celah dan bentuk tepat di retina.

2. 2. 1. 3 Penatalaksanaan

Tujuan pengelolaan miopia adalah mengusahakan agar sinar yang

masuk ke mata dapat difokuskan tepat pada retina. Miopia dapat dikelola

dengan memberikan koreksi lensa sferis konkaf (minus) biasanya digunakan


13

untuk mengoreksi banyangan pada miopia. Lensa ini memundurkan bayangan

ke retina (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015). Cara operasi juga dapat

dilakukan bagi penderita miopia yaitu dengan cara phakic intraocular lens,

radial keratotomy, excimer photorefractive keratotomy, LASEK (laser

epithelial keratomileusis), LASIK (laser in-situ keratomileusis), atau

intraocular lens (IOL) implantation (Friedman dan Kaiser, 2009).

2.2.2 Hiperopia

Hiperopia (hipermetropia, farsightedness) adalah kelainan refraksi yang

terjadi dimana keadaan mata tidak berakomodasi, dan memfokuskan

bayangan di belakang retina. Hal tersebut dapat terjadi oleh karena

berkurangnya panjang sumbu ( hiperopia aksial), seperti yang terjadi pada

kelainan kongenital atau oleh karena menurunnya indeks refraksi (hiperopia

refraktif), misal pada afakia (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015).

Hipermetropia terdiri dari 3 macam (Suhardjo dan Hartono, 2007) :

1. Hipermetropia manifes

Hipermetropia manifes terdiri dari hipermetropia manifes absolut (masih

dapat diatasi dengan akomodasi) dan hipermetropia manifes fakultatif (tidak

dapat diatasi dengan akomodasi).

2. Hipermetropia total

Hipermetropia total adalah seluruh derajat hipermetrop, yang didapatkan

setelah akomodasi dilumpuhkan atau pada relaksasi dari mm. Siliaris,

misalnya setelah pemberian sikloplegia.


14

3. Hipermetropia laten

Hipermetropia laten adalah selisih antara hipermetropia total dan manifes,

menunjukkan kekuatan tonus dari mm. Secara klinis tidak manifes, bisa jadi

seseorang yang tidak berkacamata sebenarnya hiperopia laten, tetapi karena

tonus mm masih muda sehingga siliarisnya masih kuat untuk berakomodasi

sejauh yang dibutuhkan.

Menurut American optometric Association (2006) hipermetropia juga

dapat dibedakan berdasarkan derajatnya :

1. Hipermetropia ringan : jika < 2.00 D

2. Hipermetropia sedang : jika +2.25 D – 4.75 D

3. Hipermetropia tinggi : jika >5.00 D

2.2.2.1 Manifestasi klinis

Orang dengan “farsighted” derajat sedang dapat melihat dengan baik

pada obyek yang berjarak jauh maupun dekat ketika berusia muda, namun

seiring dengan bertambahnya usia diikuti dengan adanya presbiopia mula-

mula pasien akan kesulitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan

penglihatan dekat pada usia yang lebih muda dibandingkan dengan non-

hiperopia. Pada akhirmya, pasien hiperopia akan mengalami kekaburan

penglihatan untuk obyek dekat dan jauh. Pada pasien muda yang mengalami

hiperopia terdapat usaha tambahan untuk membentuk bayangan tajam dari

obyek dekat dengan melakukan akomodasi lebih banyak daripada orang non-

hiperopia, hal ini dapat menyebabkan kelelahan mata keadaan tersebut


15

dinamakan dengan astenopia akomodatif, keadaan ini akan menjadi lebih

parah pada pekerjaan yang sangat memerlukan ketelitian penglihatan

(Riordan-Eva dan Whitcher, 2015).

Akibat dari terus-menerusnya berakomodasi, maka bola mata bersama-

sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat esotropia atau

juling kedalam (Ilyas, 2002). Terdapat trias melihat dekat terdiri dari

akomodasi, miosis, dan konvergensi. Pada pasien dengan hiperopia karena

selalu berakomodasi tidak hanya menyebabkan astenopia akomodasi tetapi

juga dapat menyebabkan pupilnya menjadi miosis (Suhardjo dan Hartono,

2007).

Disamping itu ambliopia juga dapat terjadi pada pasien dengan

hiperopia, hal ini dapat terjadi apabila terdapat perbedaan kekuatan hiperopia

antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata

yang mengalami ambliopia akan sering mengarah ke temporal (Ilyas,2002).

2.2.2.2 Diagnosa

Tujuan pemeriksaan hiperopia adalah untuk memfokuskan bayangan

dari jarak jauh tepat jatuh pada retina dengan memasangkan lensa sferis plus

dengan atau tanpa lensa silinder. Hiperopia laten dideteksi dengan refraksi

setelah penetesan obat sikloplegik. Pemeriksaan ini sangat penting dikerjakan

pada pasien berusia muda yang mengalami kelelahan mata saat membaca dan

penting pula pada esotropia (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015). Namun pada
16

umumnya pemeriksaan untuk hiperopia dilakukan dengan pemeriksaan

refraksi (Lang, 2010).

2.2.2.3 Penatalaksanaan

Terdapat 2 macam penatalaksanaan untuk pasien hiperopia yaitu

dengan cara optic atau penggunaan kacamata sferis positif terkuat atau lensa

positif terbesar yang memberikan penglihatan maksimal (Ilyas, 2006).

Adapun koreksi hiperopia yang lain adalah dengan cara operatif yaitu dengan

phakic intraocular lens, radial keratotomy, excimer photorefractive

keratotomy, LASEK (laser epithelial keratomileusis), LASIK (laser in-situ

keratomileusis), atau intraocular lens (IOL) implantation (Friedman dan

Kaiser, 2009).

2.2.3 Astigmatisma

Menurut dr. Hartono, SpM (K) dkk (2007:178) “astigmatisma adalah

suatu kelainan refraksi mata, yang ditandai dengan adanya berbagai derajat

refraksi pada berbagai meridian, sehingga sinar sejajar yang datang pada mata

itu akan difokuskan pada macam-macam fokus pula”. Sedangkan menurut

American Academy of Ophtalmology, section 5, 2009-2010 “ Astigmatisma

adalah kelainan refraksi yang mencegah berkas cahaya jatuh sebagai suatu

fokus titik di retina karena perbedaan derajat refraksi di berbagai meridian

kornea atau lensa kristalina”. Astigmatisma dibedakan menjadi astigmatisma

regular dan astigmatisma iregular (Suhardjo dan Hartono, 2007). Pada

astigmatisma regular, terdapat dua meridian utama, dengan orientasi dan


17

kekuatan konstan disepanjang lubang pupil sehingga terbentuk dua garis

fokus (Riordan-Eva dan Whitcher, 2015). Terdapat 5 macam astigmatisma

regular, yaitu (Suhardjo dan Hartono, 2007) :

1. Astigmatisma miopik simpleks

Astigmatisma miopik simpleks terjadi jika meridian utama yang satu

emetropik dan yang lainnya miopik, maka fokusnya satu tepat di retina dan

yang lain didepan retina.

2. Astigmatisma miopik kompositus

Astigmatisma miopik kompositus terjadi jika kedua meridian utamanya

adalah miopik tetapi dengan derajat yang berbeda, maka kedua fokus berada

di depan retina tetapi jaraknya berbeda dari retina.

3. Astigmatisma hipermetropik simpleks

Astigmatisma hipermeptropik simpleks terjadi jika meridian utama yang

satu emetropik dan yang lain hiperopik, maka fokus satunya tepat jatuh di

retina dan yang lainnya di belakang retina.

4. Astigmatisma hipermetropik kompositus

Astigmatisma hipermetropik kompositus terjadi jika kedua meridian utama

hiperopik tetapi dengan derajat yang berbeda, maka kedua fokus berada di

belakang retina namun jaraknya berbeda pula.

5. Astigmatisma mikstus

Astigmatisma mikstus terjadi jika meridian utama yang satu miopik dan

yang lainnya hiperopik, maka fokus satunya di depan retina dan yang

lainnya di belakang retina.


18

Pada astigmatisma iregular, daya atau orientasi meridian-meridian

utamanya berubah di sepanjang lubang pupil (Riordan-Eva dan Whitcher,

2015).

2.2.3.1 Manifestasi klinis

Seseorang dengan astigmatisma akan mendapatkan rasa tidak nyaman

pada penglihatannya seperti merasa kabur penglihatannya jika melihat jauh

maupun dekat, obyek yang dilihat mungkin tampak membayang, yang

merupakan manifestasi dari diplopia monokular, dan merasa cepat lelah

matanya (astenopia) (Suhardjo dan Hartono, 2007). Adapun kelelahan pada

mata atau dapat juga disebut dengan astenopia akomodatif dikarenakan mata

yang selalu berakomodasi untuk medapatkan tajam penglihatan yang terbaik

(Ilyas et al, 2010).

2.2.3.2 Diagnosis

Pemeriksaan astigmatisma dilakukan dengan teknik fogging di mana

setelah pemberian lensa fogging penderita disuruh melihat gambaran kipas

dan ditanyakan manakah garis yang paling jelas terlihat. Garis yang terlihat

sesuai dengan meridian yang paling ametrop, yang harus dikoreksi dengan

lensa silinder dengan aksis tegak lurus pada derajat bidang meridian tersebut

(Suhardjo dan Hartono, 2007).

2.2.3.3 Penatalaksanaan

Prinsip koreksi pada mata astigmatisma adalah menyatukan kedua

fokus utama (dengan koreksi lensa silindris). Kedua fokus yang sudah bersatu
19

tersebut harus terletak tepat di retina (dengan koreksi lensa sferis) (Suhardjo

dan Hartono, 2007). Otak mampu beradaptasi terhadap distorsi penglihatan

yang disebabkan oleh kelainan astigmatisma yang tidak terkoreksi, kacamata

baru yang memperbaiki kelainan dapat menyebabkan disorientasi temporer,

terutama akibat bayangan yang tampak miring (Riordan-Eva dan Whitcher,

2015).

2.3 Pola Kebiasaan Membaca

Kelainan refraksi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satu

diantaranya adalah faktor lingkungan. Pola kebiasaan membaca adalah

termasuk faktor lingkungan yang memegang peranan penting untuk

terjadinya kelainan refraksi setelah faktor genetik. Faktor lingkungan seperti

kebiasaan beraktivitas dalam jarak dekat termasuk untuk membaca,

menggunakan komputer maupun smartphone serta bermain video game

memiliki peran yang besar untuk terjadinya kelainan refraksi (Komariah dan

Wahyu A, 2014). Namun beberapa penilitian membuktikan bahwa faktor

lingkungan memiliki andil cukup besar untuk terjadinya miopia dibandingkan

astigmatisma dan hiperopia (Jones et al, 2007) (Czepita D et al, 2008), hal ini

akan sangat mudah terjadi pada seorang yang sudah memiliki genetik untuk

terjadinya kelainan refraksi terutama miopia (Saman, 2008).

Seseorang yang sering melihat obyek yang sangat kecil dan melihat

obyek dengan jarak dekat atau pada jarak pandang kurang dari 30 cm dari

mata secara terus menerus selama lebih dari dua jam ditambah dengan
20

penerangan kurang dari 200 lux akan menyebabkan mata berakomodasi

secara berlebihan, mata yang terakomodasi dalam waktu lama ini akan cepat

menurunkan kemampuan penglihatan (Hadisudjono, 2007)

(Mangoenprasedjo, 2005). Berkaitan dengan ini agar kesehatan mata tetap

terjaga maka seorang individu perlu menciptakan suasana lingkungan kerja

yang nyaman bagi kesehatan mata (Hadisudjono, 2007).

Rini (2004) mengemukkan bahwa terdapat beberapa usaha untuk

mencegah terjadinya kelainan refraksi yaitu membaca dengan jarak pandang

40-45 cm dari mata, aktifitas pemakaian mata jarak dekat dan jauh bergantian

misalnya setelah membaca atau melihat komputer selama 45 menit

diharapkan untuk berhenti terlebih dahulu selama 15-20 menit untuk

beristirahat atau melakukan aktifitas lainnya, dan gizi seimbang sesuai

aktifitas kesehatan mata.

2.4 Indeks Prestasi Akademik

Menurut Hadi (2012) prestasi akademik adalah suatu hasil pelajaran

yang diperoleh dari kegiatan belajar di sekolah atau perguruan tinggi yang

bersifat kognitif dan biasanya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian.

Terdapat 2 faktor yang mempengaruhi indeks prestasi akademik yaitu :

1. Faktor internal, meliputi :

 Faktor kesehatan fisik


21

Seseorang yang mengalami kelemahan fisik sehingga menyebabkan

gangguan pada sistem saraf sensorik dan motoriknya dapat mengakibatkan

rangsangan yang diterima melalui indra tidak dapat diteruskan ke otak dengan

baik, sehingga menyebabkan mahasiswa kesulitan untuk menerima pelajaran

yang ada (Septiarini, 2011).

 Intelegensi

Intelegensi akan mempengaruhi potensi seseorang untuk menyelesaikan

pendidikannya, semakin tinggi IQ seseorang maka akan semakin baik pula

potensinya (Septiarini, 2011).

 Motivasi

Motivasi adalah suatu yang mengarahkan dan membangkitakan suatu

tingkah laku pada seorang baik dari diri sendri seperti rasa aman, rasa cinta,

penghargaan maupun dari orang lain (Septiarini 2011).

 Minat

Menurut septiarini (2011) minat merupakan rasa suka dan ketertarikan

terhadap sesuatu yang muncul dari dalam diri sendiri tanpa ada yang

menyuruh. Minat belajar yang besar akan menyebabkan seorang mahasiswa

mendapatkan prestasi yang tinggi begitu pula sebaliknya.

 Kepribdian
22

Setiap orang mempunyai kepribadian yang berbeda-beda, pribadi yang

seimbang dapat menciptakan kesehatan mental dan ketenangan emosi yang

dapat mendukung keberhasilan dalam proses belajar (Septiarini, 2011).

 Fisiologis

Kondisi fisiologis sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar

seseorang. Panca indra termasuk hal yang tak kalah penting pada proses

belajar, terutama mata sebagai indra penglihatan dan telinga sebagai indra

pendengaran. Mata dan telinga sangat mempengaruhi keefektifan seorang

dalam menerima pelajaran yang pada akhirnya akan mempengaruhi prestasi

akademiknya (Djamarah, 2002).

2. Faktor eksternal, meliputi :

 Keadaan keluarga

Purwanto (2004) berpendapat bahwa suasana dan keadaan keluarga

mempengaruhi proses belajar seseorang, seperti kemampuan keluarga untuk

memberi fasilitas-fasilitas yang diperlukan dalam belajar.

 Guru dan cara mengajar

Menurut Purwanto (2004) faktor guru dan cara mengajar memegang

peranan penting terhadap keberhasilan dalam menerima pelajaran bagi setiap

pelajar. Hal ini meliputi dari kepribadian guru, pengetahuan yang dimiliki

oleh seorang guru, dan cara mengajar guru kepada anak didiknya agar dapat

menerima pengetahuan secara maximal.


23

 Alat-alat pelajaran

Menurut Purwanto (2004) institusi yang memiliki cukup alat-alat dan

perlengkapan yang diperlukan didukung dengan cara mengajar yang baik oleh

staf pengajar akan mempermudah dan mempercepat belajar seseorang.

 Motivasi sosial

Purwanto (2004) berpendapat bahwa motivasi sosial sangat dibutuhkan

untuk mencapai proses belajar yang baik. Motivasi sosial dapat berasal dari

orang tua, sanak saudara, tetangga dan teman sebaya.

 Lingkungan dan kesempatan

Menurut Purwanto (2004) hasil belajar dari mahasiswa sangat

dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan kesempatan yang dimiliki oleh

setiap individu untuk belajar, semakin nyaman kondisi lingkungan tempat

seseorang tersebut belajar maka akan lebih banyak ilmu yang dapat diterima

oleh seseorang tersebut. Disamping itu, tidak sedikit mahasiswa yang

memiliki hasil belajar yang tidak baik oleh karena tidak adanya kesempatan

yang dimiliki oleh mahasiswa tersebut seperti terlalu sibuknya pekerjaan

setiap hari.

 Kurikulum

Menurut Harsono (2005) kurikulum adalah suatu gagasan pendidikan

dan program pembelajaran yang terencana dari suatu institusi pendidikan.

selain itu menurut Hasan (2009) kurikulum merupakan suatu perencanaan


24

untuk mendapat pengeluaran (outcome) yang diharapkan dari suatu

pembelajaran. Muatan dan aturan kurikulum akan mempengaruhi intensitas

dan frekuensi belajar setiap mahasiswa, sehingga pada akhirnya akan

mempengaruhi dari prestasi akademik mahasiswa (Djamarah, 2002).

2.5 Hubungan Pola Kebiasaan Membaca dan Indeks Prestasi Akademik

dengan Kelainan Refraksi.

Kelainan refraksi merupakan kelainan pada mata yang sering terjadi,

mulai dari kalangan muda sampai kalangan tua. Kelainan refraksi dipengaruhi

oleh beberapa faktor salah satu diantaranya adalah faktor lingkungan yang

berperan pada pola kebiasaan membaca mahasiswa, seperti membaca pada

jarak dekat. Tingkat pendidikan seseorang sering dihubungkan dengan

lamanya seseorang membaca pada jarak dekat, semakin tinggi pendidikan

seseorang maka semakin sering pula seseorang tersebut membaca pada jarak

dekat sehingga risiko untuk terjadinya kelainan refraksi sangat besar terutama

miopia (Goss DA dkk, 2006). Pola kebiasaan membaca yang lama juga dapat

meningkatkan faktor resiko untuk terjadinya kelainan refraksi, karena dapat

mempengaruhi aksial bola mata akibat insufisiensi akomodasi pada mata

(Gwiazda J et al, 2004) (Legerton JA dan Chou B, 2009).

Prestasi belajar sangat ditentukan pada kesehatan organ tubuh

seseorang, terutama kesehatan mata. Kelainan refraksi akan menyebabkan

seseorang tidak mampu menerima informasi pengetahuan secara maksimal

sehingga akan mempengaruhi prestasinya dalam belajar. Pada penelitian yang


25

dilakukan oleh American Academy of Ophtalmology membuktikan bahwa

pengalaman visual seorang anak memainkan peranan penting dalam

perkembangan psikologis, intelektual dan fisik (Pediatricians, 2003). Anak-

anak di sekolah akademis menghabiskan lebih banyak waktu untuk membaca

dan menulis dibandingkan dengan sekolah regular (Hong, 2010).

2.6 Kerangka Teori

Pola kebiasaan membaca, meliputi :


membaca dan atau menggunakan radiasi cahaya komputer pada jarak < 30 cm
lama membaca > 2 jam tanpa henti
penerangan < 200 lux
Berkerja didepan komputer tanpa istirahat 10-15 menit

Astenopia akomodatif

Kelainan refraksi, meliputi :


Miopia
Astigmatisma
Hiperopia

Faktor Eksternal

Indeks Prestasi Akademik


Faktor Internal
26

2.7 Kerangka Konsep

Indeks Prestasi Akademik


Kelainan refraksi

Pola kebiasaan membaca

2.8 Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis dari penelitian ini

adalah terdapat hubungan antara pola kebiasaan membaca dan indeks prestasi

akademik dengan kelainan refraksi pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Islam Sultan Agung Semarang angkatan 2014, 2015 dan 2016.

Anda mungkin juga menyukai