Pterigium Case
Pterigium Case
Oleh:
dr. Irma Pratiwi
Pembimbing:
dr. R.M Irsan, SpM
RS AR BUNDA PRABUMULIH
PRABUMULIH
2019
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Judul
Pterygium Nasalis Grade III OS
Oleh:
Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti kegiatan dokter Internship di RS AR
Bunda Prabumulih periode 7 Oktober 2019 - 7 Oktober 2020
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya
laporan kasus yang berjudul “Pterygium Nasalis Grade III OS” ini dapat
diselesaikan. Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat
kepaniteraan internsip.
Terima kasih kepada dr. R.M Irsan, SpM yang telah membimbing penulis
dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan kekeliruan dalam
penulisan laporan kasus ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi pembacanya.
Penulis
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi
a. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sclera dan kelopak
mata bagian belakang. Berbagai macam obat mata dapat diserap melalui
konjungtiva. Konjungtiva ini mengandung sel musin yang dihasilkan oleh
sel goblet.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :
- Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal ini sukar
digerakkan dari tarsus.
- Konjungtiva bulbi, menutupi sclera dan mudah digerakan dari sclera
dibawahnya.
- Konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva tarsal
dengan konjungtiva bulbi
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar dengan
jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak
7
b. Anatomi kornea
Kornea merupakan dinding depan bola mata, berupa jaringan
transparan dan avaskular. Faktor-faktor yang menyebabkan kejernihan
korena adalah letak epitel kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut
kolagen yang tertata sangat rapi dan padat, kadar air yang konstan, dan
tidak adanya pembuluh darah. Kornea merupakan suatu lensa cembung
dengan kekuatan refraksi +43 dioptri. Kornea melanjutkan diri sebagai
sklera ke arah belakang dan perbatasan antara kornea dan sklera ini disebut
limbus.
Kornea terdiri dari lima lapis, yaitu :
1. Epitel
Tebalnya 50 μm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui desmosom dan
makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
Epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Merupakan lapisan paling tebal, terdiri atas lamel yang merupakan
susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya, pada permukaan
8
terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen
ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit
merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di
antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit membentuk bahan
dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau sesudah
trauma.
4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang
stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran
basalnya.
Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup,
mempunyai tebal 40µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar
20-40µm. endotel melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden.
9
kornea, dimana 40 dioptri dari 50 dioptri pembiasan sinar masuk kornea
dilakukan oleh kornea.
10
Gambar 3. Mata dengan pterygium
b. Epidemiologi
Kasus pterygium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi,
tergantung pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim
panas dan kering. Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat
ekuator. Prevalensi juga tinggi pada daerah berdebu dan kering.
Di Amerika Serikat, kasus pterigium sangat bervariasi tergantung
pada lokasi geografisnya. Di daratan Amerika serikat, Prevalensinya
berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40 o lintang utara sampai 5-
15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Sedangkan di Australia insiden
lebih tinggi di Australia Utara yakni pada profesi petani dan peselancar
yang banyak terpapar sinar matahari. Sebuah hubungan terdapat antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih
tinggi di bawah garis lintang. Sehingga dapat disimpulkan penurunan
angka kejadian di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di
lintang bawah.
Di Indonesia yang dilintasi garis khatuliswa, kasus-kasus
pterygium cukup sering didapati. Apalagi karena faktor risikonya adalah
paparan sinar matahari (UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh
paparan alergen, iritasi berulang (misal karena debu atau kekeringan).
Insiden tertinggi pterygium terjadi pada pasien dengan rentang
umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15 tahun jarang terjadi
pterygium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia muda
11
dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih beresiko 2 kali
daripada perempuan.
c. Mortalitas/Morbiditas
Pterygium bisa menyebabkan perubahan yang sangat berarti dalam
fungsi visual atau penglihatan pada kasus yang kronis. Mata bisa menjadi
inflamasi sehingga menyebabkan iritasi okuler dan mata merah.
Berdasarkan beberapa faktor diantaranya :
1. Jenis Kelamin
Pterygium dilaporkan bisa terjadi pada golongan laki-laki dua kali
lebih banyak dibandingkan wanita.
2. Umur
Jarang sekali orang menderita pterygium umurnya di bawah 20
tahun. Untuk pasien umurnya diatas 40 tahun mempunyai
prevalensi yang tertinggi, sedangkan pasien yang berumur 20-40
tahun dilaporkan mempunyai insidensi pterygium yang paling
tinggi.
d. Faktor Risiko
Faktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan
yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di
udara dan faktor herediter .
1. Radiasi ultraviolet
Faktor resiko lingkungan yang utama timbulnya pterygium adalah
paparan sinar matahari. Sinar ultraviolet diabsorbsi kornea dan
konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Letak
lintang daerah sevara geografis, lamanya waktu di luar rumah,
penggunaan kacamata dan topi juga merupakan faktor penting.
2. Faktor Genetik
Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan
pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan
12
riwayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan secara
autosom dominan.
3 . Faktor lain.
Iritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea
merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya
limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari
pterygium. Yang juga menunjukkan adanya “pterygium angiogenesis
factor“ dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi.
Debu, kelembapan yang rendah, dan trauma kecil dari bahan partikel
tertentu, dry eye, dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
///
f. Gejala Klinis
Pterygium biasanya terjadi secara bilateral, namun jarang terlihat
simetris, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk
kontak dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Kira-kira 90%
terletak di daerah nasal karena daerah nasal konjungtiva secara relatif
mendapat sinar ultraviolet yang lebih banyak dibandingkan dengan bagian
konjungtiva yang lain. Selain secara langsung, bagian nasal konjungtiva
15
juga mendapat sinar ultra violet secara tidak langsung akibat pantulan dari
hidung.
Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi secara
bersamaan walaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan.
Perluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga
menutupi sumbu penglihatan dan menyebabkan penglihatan kabur.
Secara klinis muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada
konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra.
Biasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal.
Deposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala
pterygium (stoker’s line).
Gejala klinis pterygium pada tahap awal biasanya ringan bahkan
sering tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang
sering dialami pasien antara lain:
- mata sering berair dan tampak merah
- merasa seperti ada benda asing
- pada pterygium derajat 3 dan 4 dapat terjadi penurunan
tajam penglihatan.
g. Pemeriksaan Fisik
Adanya massa jaringan kekuningan akan terlihat pada lapisan luar
mata (sclera) pada limbus, berkembang menuju ke arah kornea dan pada
permukaan kornea. Sclera dan selaput lendir luar mata (konjungtiva) dapat
merah akibat dari iritasi dan peradangan.
Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu :
Body, bagian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya
ke arah kantus
Apex (head), bagian atas pterygium
Cap, bagian belakang pterygium
A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk
batas pinggir pterygium.
16
Pterigyum terbagi berdasarkan perjalanan penyakit menjadi 2 tipe, yaitu :
- Progressif pterygium : memiliki gambaran tebal dan vascular dengan
beberapa infiltrat di kornea di depan kepala
pterygium
- Regressif pterygium : dengan gambaran tipis, atrofi, sedikit
vaskularisasi, membentuk membran tetapi
tidak pernah hilang
h. Diagnosa
Penderita dapat melaporkan adanya peningkatan rasa sakit pada
salah satu atau kedua mata, disertai rasa gatal, kemerahan dan atau
bengkak. Kondisi ini mungkin telah ada selama bertahun-tahun tanpa
gejala dan menyebar perlahan-lahan, pada akhirnya menyebabkan
penglihatan terganggu, ketidaknyamanan dari peradangan dan iritasi.
Sensasi benda asing dapat dirasakan, dan mata mungkin tampak lebih
kering dari biasanya. penderita juga dapat melaporkan sejarah paparan
berlebihan terhadap sinar matahari atau partikel debu.
Test:
17
Uji ketajaman visual dapat dilakukan untuk melihat apakah visual
terpengaruh.
Dengan menggunakan slit lamp diperlukan untuk memvisualisasikan
pterygium tersebut.
Dengan menggunakan sonde di bagian limbus, pada pterigium tidak
dapat dilalui oleh sonde seperti pada pseudopterigium.
i. Diagnosa Banding
1. Pinguekula
Bentuknya kecil dan meninggi, merupakan massa kekuningan
berbatasan dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura intrapalpebra
dan kadang terinflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan pada
kelainan ini. Prevalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya
umur. Pingecuela sering pada iklim sedang dan iklim tropis. Angka
kejadian sama pada laki laki dan perempuan. Paparan sinar ultraviolet
bukan faktor resiko pinguecula.
j. Terapi
Konservatif
Pada pterigium yang ringan tidak perlu di obati. Untuk pterigium
derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes
mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Diperhatikan juga bahwa penggunaan kortikosteroid tidak dibenarkan
pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi atau mengalami kelainan
pada kornea.
Bedah
Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi
pterigium. Sedapat mungkin setelah avulsi pterigium maka bagian
konjungtiva bekas pterigium tersebut ditutupi dengan cangkok konjungtiva
yang diambil dari konjugntiva bagian superior untuk menurunkan angka
kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan pterigium yaitu memberikan
hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan komplikasi seminimal
mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Penggunaan Mitomycin C
(MMC) sebaiknya hanya pada kasus pterigium yang rekuren, mengingat
komplikasi dari pemakaian MMC juga cukup berat.
19
A. Indikasi Operasi
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita
B. Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah
kekambuhan, dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus
ke kornea. Banyak teknik bedah telah digunakan, meskipun tidak ada
yang diterima secara universal karena tingkat kekambuhan yang
variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi pterigium adalah
langkah pertama untuk perbaikan. Banyak dokter mata lebih memilih
untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat,
jaringan parut yang minimal dan halus dari permukaan kornea.
1. Teknik Bare Sclera
Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterygium, sementara
memungkinkan sclera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi,
antara 24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam
berbagai laporan.
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Teknik ini memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2
persen dan setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur
ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbar superotemporal, dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi
pterygium tersebut. Komplikasi jarang terjadi, dan untuk hasil yang
optimal ditekankan pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan
Tenon's dari graft konjungtiva dan penerima, manipulasi minimal
jaringan dan orientasi akurat dari grafttersebut. Lawrence W. Hirst,
20
MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat
rendah dengan teknik ini.
C. Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan tinggi yang terkait dengan operasi terus
menjadi masalah, dan terapi medis demikian terapi tambahan telah
dimasukkan ke dalam pengelolaan pterygia. Studi telah menunjukkan
bahwa tingkat rekurensi telah jatuh cukup dengan penambahan terapi
ini, namun ada komplikasi dari terapi tersebut.
MMC (Mitomycin C) telah digunakan sebagai pengobatan
tambahan karena kemampuannya untuk menghambat
fibroblas. Efeknya mirip dengan iradiasi beta. Namun, dosis minimal
yang aman dan efektif belum ditentukan. Dua bentuk MMC saat ini
21
digunakan: aplikasi intraoperative MMC langsung ke sclera setelah
eksisi pterygium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal
setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan
penggunaan MMC hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.
Beta iradiasi juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan, karena menghambat mitosis pada sel-sel dengan cepat
dari pterygium, meskipun tidak ada data yang jelas dari angka
kekambuhan yang tersedia. Namun, efek buruk dari radiasi termasuk
nekrosis scleral , endophthalmitis dan pembentukan katarak, dan ini
telah mendorong dokter untuk tidak merekomendasikan terhadap
penggunaannya.
Untuk mencegah terjadi kekambuhan setelah operasi,
dikombinasikan dengan pemberian:
1. Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama
5 hari, bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% : 4x1
tetes/hari kemudian tappering off sampai 6 minggu.
2. Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) : 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep mata dexamethasone.
3. Sinar Beta
4. Topikal Thiotepa (triethylene thiophosphasmide) tetes mata : 1
tetes/ 3 jam selama 6 minggu, diberikan bersamaan dengan salep
antibiotik Chloramphenicol, dan steroid selama 1 minggu.
k. Komplikasi
1. Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut:
- Gangguan penglihatan
- Mata kemerahan
- Iritasi
- Gangguan pergerakan bola mata.
- Timbul jaringan parut kronis dari konjungtiva dan kornea
- Pada pasien yang belum di eksisi terjadi distorsi dan penglihatan
sentral berkurang
22
- Timbul jaringan parut pada otot rektus medial yang dapat
menyebabkan diplopia
- Dry Eye sindrom
- Keganasan epitel pada jaringan epitel di atas pterigium
l. Pencegahan
Pada penduduk di daerah tropik yang bekerja di luar rumah seperti
nelayan, petani yang banyak kontak dengan debu dan sinar ultraviolet
dianjurkan memakai kacamata pelindung sinar matahari.
m. Prognosis
Umumnya prognosis baik. Kekambuhan dapat dicegah dengan
kombinasi operasi dan sitotastik tetes mata atau beta radiasi.
23
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa
tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi. Sebagian
besar pasien dapat beraktivitas kembali setelah 48 jam postoperasi. Pasien
dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dengan
conjungtiva autograft atau transplantasi membran amnion. Umumnya
rekurensi terjadi pada 3-6 bulan pertama setelah operasi.
Pasien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti riwayat
keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan
memakai kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar
matahari.
24
BAB III
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. AAK
Umur : 27 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Prabumulih
Tanggal Pemeriksaan : 30 Desember 2019
25
bercermin, pasien mengaku sesuatu seperti lemak di bagian pinggir mata
kiri semakin meluas mengenai tepi bagian hitam mata.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 85 kali/menit regular, isi dan tegangan cukup
Frekuensi napas : 18 kali/menit
26
Suhu : 36,7o C
b. Status Oftalmologi
OD OS
.............................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
............................................................................................................................
.........................................................................................................................
........................................................................................................................
VOD = 6/6 VOS = 6/6
TIOD = P = N+0 TIOS = N+0
KBM Ortoforia
GBM
c. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan slit lamp
27
4. Diagnosis Kerja
Pterygium Nasalis Primes grade III OS
5. Tatalaksana
Informed consent
KIE
Menjelaskan pada pasien mengenai natural history dari pterygium
Lindungi mata dengan pterygium dari sinar matahari, debu, dan udara
kering dengan kacamata pelindung.
Rencana eksisi pterygium dengan skin graft
Farmakologi
Levofloxacin 8 x 1 tetes OS
Iremax (Ibuprofen 200mg + Paracetamol 350mg) 2 x 1 tab
Xiety (Buspiron) 1 x 10mg
6. Prognosis
Okuli Sinistra
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam
7. Gambaran Klinis
29
BAB IV
ANALISIS KASUS
30
hanya cemas dengan mata yang berwarna merah, warna merah akan menjadi
hitam setelah beberapa lama.
Kemungkinan episkleritis juga dapat disingkirkan karena episklerittis
merupakan reaksi inflamasi pada jaringan episklera yang terletak diantara
konjungtiva dan sklera, ringan, dapat sembuh sendiri, dan bersifat rekuren.
Keluhan episkleritis berupa mata merah yang mengenai satu mata, terdapat rasa
sakit yang ringan yang berlangsung akut, mata terasa kering, serta rasa
mengganjal.
Kemungkinan skleritis juga dapat disingkirkan karena gejala skleritis seperti
mata merah yang terjadi bilateral, rasa nyeri yang berat yang dapat menyebar ke
dahi, alis dan dagu, fotofobia, serta penglihatan menurun tidak didapatkan pada
pasien.
Tatalaksana pada pasien ini dimana diagnosanya adalah pterigium nasalis
grade III OS maka dilakukan eksisi pterigium dan skin graft. Pada pterigium
derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah berupa avulsi pterigium. Sedapat mungkin
setelah avulsi pterigium maka bagian konjungtiva bekas pterigium tersebut
ditutupi dengan cangkok konjungtiva yang diambil dari konjugntiva bagian
superior untuk menurunkan angka kekambuhan. Tujuan utama pengangkatan
pterigium yaitu memberikan hasil yang baik secara kosmetik, mengupayakan
komplikasi seminimal mngkin, angka kekambuhan yang rendah. Setelah operasi
pasien diberikan terapi antibiotik levofloxacin 8 x 1 tetes OS. Diberikan pula
iremax (Ibuprofen 200mg + Paracetamol 350mg) 2 x 1 tab dan xiety (Buspiron) 1
x 10mg untuk analgetik post op.
Prognosis pasien ini dari quo ada vitam bonam karena status generalis pasien
dalam keadaan batas normal. Quo ada functionam juga bonam karena pasien
dilakukan terapi sesuai grade pterigium dan dilakukan pula skin graft sehingga
angka kekambuhan akan berkurang, dan quo ad sanationam dubia ad bonam
karena angka kekambuan pterigium yang dilakukan eksisi dan skin graft
diharapkan menurun. Selain itu pasien yang banyak melakukan aktivitas di luar
rumah sehingga terpapar sinar matahari serta debu juga harus mengetahui
penyebab timbulnya pterigium, sehingga saat beraktivitas di luar rumah pasien
31
menggunakan kacamata sunblock dan mengurangi intensitas terpapar sinar
matahari.
32
DAFTAR PUSTAKA
Penyakit Mata. 3rd edisi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI, hlm : 107-108.
http://www.emedicine.com
33