KERATITIS ACANTHAMOEBA
Disusun Oleh :
Fransiska
11.2013.107
Narasumber :
dr. Ernita Tantawi, Sp.M
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul Keratitis Acanthamoeba ini dapat
diselesaikan.
Adapun tujuan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui secara lebih dalam
mengenai salah satu penyakit mata yaitu keratitis acanthamoeba. Pada laporan kasus ini akan
dibahas berbagai segi mengenai keratitis acanthamoeba mulai dari definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis hingga pencegahan.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, khususnya kepada dr. Ernita T, SpM sebagai
pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terjadi kesalahan
dalam penulisan maupun dalam pembahasan materi. Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Demikianlah kata pengantar dari penulis. Semoga laporan kasus ini bermanfaat untuk
menambah wawasan kita semua. Sekian dan terima kasih.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ... 1
Daftar Isi ......... 2
BAB I. Pendahuluan ... 3
I.1 Latar Belakang .... 3
I.2 Tujuan Penulisan . 3
BAB II. Tinjauan Pustaka ..... 4
II.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea .................. 4
II.1.1 Anatomi Kornea .. 4
II.1.2 Fisiologi Kornea .. 7
II.2 Keratitis Acanthamoeba ......................... 8
II.2.1 Definisi 8
II.2.2 Epidemiologi 8
II.2.3 Etiologi .... 9
II.2.4 Patofisiologi .. 10
II.2.5 Diagnosis ... 12
II.2.6 Gambaran Klinis . 13
II.2.7 Pemeriksaan Laboratorium ... 15
II.2.8 Penatalaksanaan. 17
II.2.9 Prognosis ..... 19
II.2.10 Komplikasi .. 19
II.2.11 Pencegahan .. 20
BAB III. Kesimpulan........ 21
Daftar Pustaka........... 22
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Keratitis Acanthamoeba baru-baru ini menjadi perhatian karena meningkatnya
insiden, kesulitan dalam diagnosis dan terapi yang kurang memuaskan. Dari individu dengan
keratitis Acanthamoeba, 85% memakai lensa kontak dan terjadi abrasi kornea. Infeksi kornea
sering dapat dicegah dengan perawatan lensa kontak yang baik dan bersih. Keratitis
Acanthamoeba yang parah sering sangat sulit diobati; operasi bisa kurang berhasil dan dapat
menyebabkan masalah lebih lanjut. Tahap enkistasi dalam siklus hidup spesies
Acanthamoeba paling bermasalah karena banyak biosida yang tidak efektif dalam membunuh
kista tersebut. Kombinasi terapi seperti, penggunaan 2 atau 3 biosida, kadang-kadang dengan
antibiotik, merupakan cara terbaik. Kekambuhan sering terjadi jika pengobatan dihentikan
sebelum waktunya. Metode imunologi sedang diselidiki sebagai bentuk pencegahan, dan
imunisasi oral baru-baru ini telah berhasil dalam pencegahan keratitis Acanthamoeba dengan
menginduksi imunitas sebelum infeksi terjadi. Keratitis Acanthamoeba kini diperkirakan
mempengaruhi 1 dari 250.000 orang di Amerika Serikat, dan telah didiagnosa 400 kasus
sejak tahun 1957 di Inggris.1,2
Spesies Acanthamoeba telah diisolasi dari berbagai sumber, seperti air tawar, air laut,
air kolam renang, dan lensa kontak. Sebagian besar strain tidak patogen. Beberapa bentuk
patogen yang dikenal dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama di air tawar. Keberadaan
Acanthamoeba yang patogen di atmosfer merupakan faktor penting dalam prevalensi keratitis
Acanthamoeba, meskipun hal ini tidak bukan penyebab utama. Pasien dengan keratitis
Acanthamoeba biasanya pengguna lensa kontak lunak. Penggunaan air keran untuk membilas
lensa kontak sering mengandung spesies Acanthamoeba patogen. Lensa menyebabkan abrasi
kornea, yang memfasilitasi masuknya Acanthamoeba.1,3
I.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai anatomi kornea, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis hingga pencegahan keratitis acanthamoeba.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada saat penyembuhan, eptel terikat ddengan dasarnya, membran basalis yang baru
menjadi tidak stabil dan lemah.
2. Membran Bowman
Ini merupakan selaput tipis yang terbentuk dari jaringan ikat fibrosa. Membran
Bowman bukan membran sesungguhnya, namun merupakan hasil kondensasi aseluler
bagian depan stroma, dengan tebal 15 m. Jika rusak, membran Bowman tidak bisa
regenerasi dan membentuk jaringan parut.
3. Stroma
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal (80-85% dari seluruh ketebalan),
yang terdiri atas serabut kolagen yang susunannya amat teratur dan padat yang
menyebabkan kornea avaskular dan jernih.
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadangkadang sampai 15 bulan.. Stroma terdiri 200-250 lamella. Stroma perifer lebih tebal
daripada stroma sentral. Saat terjadi edema stroma, terbentuk tonjolan asimetrik dari
stroma posterior sehingga terlihat gambaran striae yang merupakan lipatan Descemet.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Keratosit berperan menjaga lingkungan matriks ekstrasel serta
membuat sintesis molekul kolagen dan glikoaminoglikan, dan membentuk Matrix
Metaoprotease untuk menjaga homeostasis stroma. Kebanyakan keratosit paad anterior
stroma berisikan kristalin yang merupakan 25-30% protein larut di dalam sel. Kristalin
bertanggung jawab menurunkan efek gelap pada cahaya dan menjaga kejernihan kornea.
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.
5. Lapisan Endotel
Lapisan ini terdiri atas satu lapis endotel yang sel-selnya tidak bisa membelah. Jika
ada endotel yang rusak, maka endotel di sekitarnya akan mengalami hipertrofi untuk
menutup defek yang ditinggalkan oleh endotel yang rusak tadi. Endotel berperan penting
dalam mengatur kadar air kornea dengan cara mengeluarkan air dari kornea ke kamera
okuli anterior dengan enzim Na+-K+ ATP-ase. Berasal dari mesotelium, berlapis satu,
bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
5
Defek epitel kornea cepat menutup dengan cara migrasi dan mitosis sel. Kornea
divaskularisasi oleh arteri siliares yang membentuk arkade. Kornea dipasok oleh pembuluh
darah halus dari tepi kornea yang dipasok dari arteri oftalmika dan cabang dari arteri fascialis
melalui cairan aquous dan tear film. Inervasinya oleh n. siliaris (cabang nervus trigeminus).
Saraf kornea sensitif untuk rasa nyeri dan dingin. Kornea mempunyai sensitivitas 100 kali
dibanding konjungtiva. Serabut saraf sensorik menyebar dari saraf siliaris longus dan
membentuk anyaman subepitelial. Denervasi nervus trigeminus mampu menimbulkan
lepasnya epitel dari desmosom, iregularitas dan erosi epitel, sindrom mata kering, dan defek
epitel persisten. Karena kornea bersifat avaskular, maka pemberian makan kornea akan
melalui air mata (terutama untuk penyediaan oksigen), cairan aquous dan pembuluh darah
limbus (secara difusi). Sifat avaskular ini penting dalam transplantasi kornea oleh resipien
dari donor siapapun tanpa memandang sifat dan perbedaan genetis. Kornea merupakan
bagian kecil dari bola mata yang sangat peka karena sifat kejernihannya, kelengkungannya.
Perubahan struktural maupun bentuk kornea yang minimal sudah menimbulkan gangguan
penglihatan.5
Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Jadi, agar
dapat melalui kornea, obat harus larut lemak sekaligus larut air.8
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Namun, sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman
mudah terinfeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, amuba, dan jamur.8
Serikat, meskipun jumlah tersebut bervariasi antara dari 1,65-2,01 per 1 juta populasi hingga
1 per 10.000 orang yang memakai lensa kontak.9,10,11
II.2.3 Etiologi
Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang ditemukan di dalam air tercemar
yang mengandung bakteri dan materi organik (air tawar, air sumur, air laut, limbah), udara
dan tanah. Tidak semua strain Acanthamoeba adalah patogen. Acanthamoeba merupakan
flora normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia yang 50%-100% di antaranya
memiliki antibodi terhadap Acanthamoeba.2,12 Ada delapan spesies Acanthamoeba yang dapat
dibedakan berdasarkan morfologi kista dan analisis DNA mitokondria. Acanthamoeba
castellani dan Acanthamoeba polyphaga adalah subspesies yang paling sering menyebabkan
keratitis. Siklus hidup Acanthamoeba meliputi bentuk protozoa yang motile (diameternya 1545 m) dan kista yang dorman (diameter 10-25 m). Kedua bentuk ditemukan di jaringan
yang terinfeksi, tetapi hanya bentuk trofozoit yang infeksius. Kista berdinding ganda dan
tahan terhadap pembekuan, pengeringan, dan klorin dalam pasokan air, kolam renang dan
kolam air panas. Bentuk kista dapat menjadi airborne. Trofozoit ini memiliki bentuk
amoeboid dengan pseudopodia, dan memakan alga kecil, bakteri dan protozoa lainnya. Di
kornea, mereka diperkirakan memakan keratosit. Reproduksi secara aseksual dengan
pembelahan biner.12,13
Infeksi kornea dengan acanthamoeba berasal dari kontak langsung kornea dengan
material atau air yang terkontaminasi dengan organisme. Situasi yang menyebabkan keratitis
acanthamoeba:2,13,14
1. Penggunaan lensa kontak lunak, termasuk lensa hydrogel silicon atau lensa kontak rigid
yang dipakai semalaman. Pemakaian lensa kontak yang jarang dibersihkan.
2. Pemakai lensa kontak yang menggunakan larutan salin buatan sendiri (dari air keran yang
terkontaminasi dan garam tablet) adalah situasi yang paling umum yang menyebabkan
infeksi acanthamoeba di negara-negara barat.
3. Trauma ringan, seperti terpapar dengan materi sayuran yang terkontaminasi, air kolam
renang, tanah yang tercemar, tiupan angin kontaminan.
4. Infeksi Oportunistik. Keratitis acanthamoeba juga dapat terjadi sebagai infeksi
oportunistik pada pasien dengan keratitis herpes, keratitis bakteri, keratopati bulosa dan
keratitis neuroparalitik.
II.2.4 Patogenesis
Lensa kontak, bila ditempatkan pada mata, dapat diekspose oleh patogen melalui
abrasi yang sebelumnya disebabkan oleh lensa kontak. Hampir dapat dipastikan bahwa
trauma ini berkontribusi untuk onset dan perkembangan infeksi amoeba, meskipun cara
infeksi ini tidak bertanggung jawab menyebabkan keratitis Acanthamoeba, karena dapat juga
terjadi pada orang yang tidak memakai lensa kontak.1
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa abrasi dapat meningkatkan pengikatan
parasit pada kornea. Langkah pertama dalam infeksi melibatkan adhesi trofozoit ke epitel
kornea. Trofozoit merupakan spesies spesifik; mereka berikatan hanya pada sel epitel kornea
dari manusia, babi, kelinci, dan hamster Cina, sedangkan mayoritas kornea pada hewan
resisten terhadap infeksi. Acanthamoeba castellani menghasilkan berbagai protease, disebut
Acanthamoeba plasminogen activator; yang memungkinkan terjadinya invasi kornea.
Penyakit stroma terjadi kemudian. Injeksi intrastromal A. castellani ke kornea tikus
menyebabkan ring infiltrates seperti yang ditemukan pada orang dengan keratitis
Acanthamoeba. Faktor-faktor yang mempengaruhi adhesi Acanthamoeba:1
1. Adhesi Acanthamoeba ke lensa kontak
Baik kista maupun trofozoit segera melekat pada segmen lensa kontak. Lebih banyak
kista dan trofozoit yang melekat pada lensa kontak yang tidak dicuci daripada lensa
kontak yang dicuci. Trofozoit yang melekat pada lensa kontak memiliki proyeksi
permukaan (acanthapodia, filopodia, dan lobopodia). Kista yang melekat juga memiliki
wrinkled ectocysts seperti yang dilihat pada mikroskop elektron. Kista dapat melekat
pada permukaan lensa kontak karena adannya proyeksi permukaan yang hanya terlihat
pada trofozoit. Perlekatan strain Acanthamoeba yang berbeda (misalnya, strain 1 A.
10
11
Acanthamoeba telah diamati bahwa ia dapat menempel pada epitel kornea karena
adanya glikoprotein dan glikolipid pada sel epitel kornea manusia, yang diyakini dapat
berinteraksi dengan 136kDa mannose binding protein yang diekspresikan pada sel-sel
membran Acanthamoeba. Amuba dapat bersembunyi di bawah sel epitel, di mana mereka
menyebabkan deskuamasi cepat melalui tiga mekanisme: sitolisis langsung sel epitel;
fagositosis; induksi apoptosis.
2. Invasi stroma
Kombinasi enzim-enzim
litik
memungkinkan
trofozoit
menginvasi
matriks
ekstraselular sel stroma, mendapatkan akses ke jaringan stroma, dan menginduksi cincin
infiltrat yang terlihat pada gambaran klinis. Protease serin, metalloproteinase, protease
sistein, elastase, enzim collagenolytic, dan aktivator plasminogen semuanya berkaitan
pada penelitian in vitro.
3. Neuritis
Trofozoit telah terbukti mengikuti respon kemotaksis terhadap neuron kornea dan
dapat menyebabkan respon sitolitik dan apoptosis, yang menyebabkan gejala klinis
neuritis radial. Dalam sebagian besar kasus, ini adalah tahap akhir dari peradangan.
Trofozoit belum ditemukan dapat mengganggu sel-sel endotel kornea dan masuk ke
camera okuli anterior secara in vivo meskipun terdapat efek sitolitik dan apoptosis secara
in vitro. Sehingga, kasus Acanthamoeba endophthalmitis jarang terjadi.
II.2.5 Diagnosis
Mendiagnosis keratitis acanthamoeba sulit dan kadang-kadang keliru untuk infeksi
kornea lainnya. Keratitis acanthamoeba harus dipertimbangkan pada kasus paparan atau
trauma kornea yang berhubungan dengan tanah atau air yang terkontaminasi serta pada
semua pemakai lensa kontak, terutama jika kebersihan lensa kontak yang buruk,
menggunakan larutan NaCl buatan sendiri untuk membersihkan lensa kontak atau berenang
saat lensa ontak dipakai. Jarang infeksi ini mucul setelah keratotomi radial. Masa inkubasi
beberapa hari. Keratitis acanthamoeba juga harus dicurigai pada kasus infeksi kornea
persisten yang tidak berespon dengan baik terhadap pengobatan. Dalam beberapa kasus,
keratitis acanthamoeba merupakan koinfeksi dengan patogen lain seperti virus herpes
simplex, berbagai bakteri atau jamur. Diagnosis yang tertunda lebih dari beberapa minggu
berhubungan dengan buruknya hasil penglihatan.12
II.2.6 Gambaran Klinis
12
Pasien dengan keratitis amuba muncul dengan berbagai keluhan: sakit mata parah
biasanya tidak sesuai dengan temuan klinisnya, fotofobia, kemerahan, blefarospasme,
penglihatan kabur, adanya sensasi benda asing, keluarnya air mata biasanya pada satu
mata.2,12
Keratitis Acanthamoeba berkembang selama beberapa bulan dimana keratitis
memburuknya secara bertahap dengan periode remisi sementara. Gambaran klinisnya
bervariasi yang membuat sulit untuk mendiagnosanya. Keratitis acanthamoeba dapat terjadi
dalam 2 bentuk. Dalam bentuk pertama, patogen terbatas di epitel, dan ada kesempatan untuk
pemulihan yang baik. Dalam bentuk kedua, parasit telah memasuki stroma, di mana hal itu
menyebabkan nekrosis dan peradangan yang intens. Gambaran klinisnya sebagai berikut:2
1. Pada tahap awal, dalam bulan pertama, berupa limbitis, epiteliopati unilateral meliputi
keratopati pungtata, pseudodendritis, infiltrat epitel atau subepitel, radial keratoneuritis
dalam bentuk infiltrat sepanjang saraf kornea (infiltrat perineural)
2. Pada tahap lanjut tampak central atau paracentral ring-shaped lesion dengan infiltrat
stroma dan defek epitel (ring infiltrates) atau uveitis anterior, yang akhirnya tampak
sebagai ring abscess yang dapat berlanjut menjadi perlunakan kornea dan perforasi.
Tanda-tanda lain yang mungkin ada: penurunan sensasi kornea, iritis, hipema, hipopion,
peningkatan tekanan intraokular, skleritis.
13
Gambar 6. Ulserasi epitel dan infiltrasi stroma kornea pada keratitis acanthamoeba
akut
14
memungkinkan kita dapat melihat secara detail bahkan di kornea yang tidak jelas. Mikroskop
confocal bersifat non invasif sehingga menjadi modalitas penting untuk diagnosis keratitis
acanthamoeba secara cepat dan dapat digunakan berulang kali, tidak hanya untuk diagnosis
tetapi juga untuk pengobatan dan follow up. Bentuk kista Acanthamoeba lebih jelas dan
tampak sebagai bentuk bulat hingga oval yang sangat reflektif, dengan ukuran 11-100 m dan
bilayer, tampak seperti biji kopi.Trofozoit memiliki bentuk seperti pear atau
baji yang
ireguler, ukuran 23 hingga lebih dari 100 m. Keterbatasan mikroskop confocal: biaya.12
Gambar 9. (a) Kista Acanthamoeba pada phase-contrast microscope. (i) Agar nonnutrient menujukkan kista Acanthamoeba (ii) Kista Acanthamoeba yang berasal dari
agar non-nutrient dilihat di bawah phase-contrast microscope. (b) Trofozoit
Acanthamoeba pada agar non-nutrient dilihat di bawah phase-contrast microscope.
16
0,02%). Oleh karena itu, biguanid dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk keratitis
acanthamoeba baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan diamidin.12
Golongan diamidin meliputi propamidine isethionate 0,1% (1000 g/ml) dan
hexamidine 0,1% (1000 g/ml). Efektivitas diamidin berasal dari sifat caionic surface-active
yang merangsang perubahan struktur membran yang mempengaruhi permeabilitas sel. Ketika
molekul-molekul ini menembus ke sitoplasma amuba, denaturasi protein sitoplasma dan
enzim terjadi. Propamidine dan hexamidine telah efektif secara klinis terhadap bentuk
trofozoit dan kista Acanthamoeba. Namun, secara klinis, telah dilaporkan adanya resistensi
tehadap propamidine dan hexamidine konsentrasi 125-500 g/ml. Oleh karena itu, diamidin
sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi untuk keratitis acanthamoeba. Secara klinis,
diamidin ditoleransi dengan baik oleh jaringan mata, meskipun pengobatan jangka panjang
dengan propamidine dapat menyebabkan toxic keratopathy.12
Steroid topikal tidak perlu pada kebanyakan kasus yang didiagnosis dini tetapi dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi persisten (scleritis anterior, nyeri hebat, ulkus
indolen, inflamasi kornea, inflamasi bilik mata depan). Steroid topikal dapat diberikan jika
minimal 2 minggu pengobatan biguanida telah selesai.12
Limbitis sering pada di awal dan akhir penyakit. Limbitis mungkin menyebabkan
nyeri yang signifikan yang dapat diatasi oleh anti inflamasi
merupakan komplikasi parah yang dianggap sebagai fenomena autoimun, untungnya tidak
sering. Bisa berlanjut menjadi nekrosis sklera yang menyebabkan rasa sakit yang tak
terkendali yang tidak berespon dengan NSAID. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi dengan
siklosporin sistemik telah terbukti membantu.12
Defek epitel persisten sering ditemukan pada kasus berat.Jika bacterial superinfection
dan / atau Acanthamoeba persisten dikesampingkan maka terapi yang paling topikal harus
dihentikan selama beberapa hari. Antibiotik tetes mata spektrum luas harus diberikan. Terapi
anti-amuba mungkin diberikan kembali setelah re-epitelisasi. Debridement epitel pada daerah
yang terkena harus dilakukan lebih awal, ketika penyakit ini masih intraepithelial untuk
memperoleh bahan kultur dan histologi. Hal ini meningkatkan permeabilitas obat pada kornea
dan efek terapeutik.12
Untuk kultur positif keratitis acanthamoeba persisten yang tidak responsif terhadap
terapi di atas maka cryotherapy dapat dilakukan. Dalam percobaan in vitro telah
18
menunjukkan bahwa cryotherapy dapat mengeradikasi trofozoit, bukan kista, kecuali bila
dikombinasikan dengan terapi topikal.12
Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan
progresivitas infeksi, atau setelah penyakit mengalami resolusi dan terbentuk parut untuk
memulihkan penglihatan. Penetrating keratoplasty pada infeksi aktif biasanya memberikan
hasil yang buruk. Oleh karena itu, harus hanya diperuntukkan untuk kasus-kasus dengan
respon yang buruk terhadap terapi medis. Sejak diperkenalkannya biguanides sebagai terapi
medis, keratoplasti belum direkomendasikan sebagai pengobatan dalam mengeliminasi
organisme. Transplantasi membran amnion untuk lesi kornea progresif dengan defek epitel
persisten mungkin juga efektif dalam mengendalikan peradangan dan menunda penetrating
keratoplasty. Dalam kasus di mana keratoplasti harus dilakukan, maka steroid sistemik harus
diberikan sebelum operasi jika disertai dengan limbitis atau skleritis. Kemudian steroid di
tapering ketika inflamasi terkontrol pada periode post-graft. Tidak seperti cangkok untuk
infeksi kornea lainnya, yang harus cukup besar untuk membuang semua jaringan yang
terkontaminasi, maka pada keratitis acanthamoeba hanya diperlukan ukuran yang minimum
untuk membuang semua jaringan ulserasi dan nekrosis, mempertahankan jaringan sehat
secara klinis. Hal ini karena adanya risiko penolakan dengan cangkok besar dan karena
pencangkokan berulang mungkin diperlukan dalam kasus rekuren; pencangkokan lebiih
lanjut dapat menjadi sumber makanan baru untuk organisme dan dapat digunakan untuk
menarik amuba sisa. Terapi anti-amuba harus digunakan pre dan pasca operasi karena sisa
Acanthamoeba dapat menjadi hospes fresh corneal graft.12
II.2.9 Prognosis
Prognosis keratitis Acanthamooeba berhubungan dengan keparahan penyakit dan
onset pengobatan. Pasien yang datang dengan gejala yang berat memiliki prognosis yang
lebih buruk. Keterlambatan diagnosis dan memulai pengobatan lebih dari 3 minggu setelah
munculnya gejala pertama menyebabkan prognosis yang lebih buruk.12
II.2.10 Komplikasi
Keratitis merupakan infeksi lokal yang tidak menyebabkan infeksi sistemik atau
kematian namun dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak, hipopion, nekrosis kornea,
peningkatan tekanan intraocular dan dapat mengancam penglihatan.11
19
BAB III
20
KESIMPULAN
Keratitis Acanthamoeba bukanlah penyakit yang umum tapi merugikan dan sulit
dalam mendiagnosis maupun mengobatinya. Keratitis acanthamoeba sering ditemukan pada
pemakai lensa kontak, namun juga dapat ditemukan pada non-pemakai lensa kontak seperti
pada trauma ringan mata, misalnya terpapar air atau tanah yang terkontaminasi. Anamnesis
yang cermat, pemeriksaan klinis yang tepat, pemeriksaan laboratorium yang sesuai dan
tingkat kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk membuat diagnosis dini dan mencapai hasil
yang lebih baik. Adanya PCR dan confocal microscopy dapat lebih membantu dalam
menegakan diagnosis. Pengobatan berupa biguanid dan diamidin topikal sebagai terapi utama
pada kasus keratitis acanthamoeba pada umumnya. Steroid dapat digunakan pada kasus-kasus
dengan inflamasi yang signifikan. Jika keratitis acanthamoeba menunjukan respon yang
buruk terhadap terapi medis, maka dapat dilakukan tindakan penetrating keratoplasty.
Transplantasi membran amnion untuk lesi kornea progresif dengan defek epitel persisten
mungkin juga efektif dalam mengendalikan peradangan dan menunda penetrating
keratoplasty. Prognosis keratitis Acanthamoeba berhubungan dengan keparahan penyakit dan
onset pengobatan. Keratitis acanthamoeba dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak,
hipopion, peningkatan tekanan intraocular dan dapat mengancam penglihatan. Pemakai lensa
kontak seharusnya menjaga kebersihan lensa kontak dengan menghindari menggunakan
larutan natrium klorida buatan sendiri dan jangan berenang sambil mengenakan lensa kontak.
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Kumar R, Lloyd D. Recent advances in the treatment of acanthamoeba keratitis. Vol 35.
2002. Diunduh dari: http://cid.oxfordjournals.org/content/35/4/434.full#abstract-1, 22
Agustus 2015.
2. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th edition. India: New Age International
(P) Limited, 2007.p.106-7.
3. Clarke B, Sinha A, Parmar DN, Sykakis E. Advances in the diagnosis and treatment of
acanthamoeba keratitis. 2012. Diiunduh dari:
http://www.hindawi.com/journals/joph/2012/484892/, 22 Agustus 2015.
4. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.h..h.4-6, 147.
5. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2012.h.2-4, 28-34.
6. Wijana N. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Abadi Tegal, 1993.h.83-90.
7. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan dasar mata. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2011.h.3-4.
8. Susanto D, penyunting. Oftalmologi umum Vaughan & Asbury. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC, 2010.h. 125-35.
9. Lang GK. Ophthalmology. New York: Stuttgart, 2000.p.136-7.
10. Berger S. Infectious diseases of the United States. USA: GIDEON Informatics,
2015.p.46.
11. Cianflone NFC. Acanthamoeba treatment & management. 25 Juli 2013. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/211214, 22 Agustus 2015.
12. Graffi S, Peretz A, Jabaly H, Naftali M. Acanthamoeba keratitis. Vol 15. April 2013.
Diunduh dari: https://www.ima.org.il/FilesUpload/IMAJ/0/54/27119.pdf, 22 Agustus
2015.
13. Bartlett JD, Jaanus SD. Clinical ocular pharmacology. USA: Elsevier Health Sciences,
2008.p.215-7.
14. Schlote T, Mielke J, Grueb M, Rohrbach JM. Pocket atlas of ophthalmology. New York:
Thieme, 2006.p.100-1
22