Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN KASUS

KERATITIS ACANTHAMOEBA

Disusun Oleh :
Fransiska
11.2013.107

Narasumber :
dr. Ernita Tantawi, Sp.M

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT MATA


RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO
JAKARTA
PERIODE 10 AGUSTUS 2015 12 SEPTEMBER 2015
0

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
karunia-Nya sehingga laporan kasus yang berjudul Keratitis Acanthamoeba ini dapat
diselesaikan.
Adapun tujuan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui secara lebih dalam
mengenai salah satu penyakit mata yaitu keratitis acanthamoeba. Pada laporan kasus ini akan
dibahas berbagai segi mengenai keratitis acanthamoeba mulai dari definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, prognosis hingga pencegahan.
Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah banyak
membantu dalam penyusunan laporan kasus ini, khususnya kepada dr. Ernita T, SpM sebagai
pembimbing dalam penulisan laporan kasus ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya apabila terjadi kesalahan
dalam penulisan maupun dalam pembahasan materi. Penulis juga mengharapkan kritik dan
saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan laporan kasus ini.
Demikianlah kata pengantar dari penulis. Semoga laporan kasus ini bermanfaat untuk
menambah wawasan kita semua. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 27 Agustus 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ... 1
Daftar Isi ......... 2
BAB I. Pendahuluan ... 3
I.1 Latar Belakang .... 3
I.2 Tujuan Penulisan . 3
BAB II. Tinjauan Pustaka ..... 4
II.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea .................. 4
II.1.1 Anatomi Kornea .. 4
II.1.2 Fisiologi Kornea .. 7
II.2 Keratitis Acanthamoeba ......................... 8
II.2.1 Definisi 8
II.2.2 Epidemiologi 8
II.2.3 Etiologi .... 9
II.2.4 Patofisiologi .. 10
II.2.5 Diagnosis ... 12
II.2.6 Gambaran Klinis . 13
II.2.7 Pemeriksaan Laboratorium ... 15
II.2.8 Penatalaksanaan. 17
II.2.9 Prognosis ..... 19
II.2.10 Komplikasi .. 19
II.2.11 Pencegahan .. 20
BAB III. Kesimpulan........ 21
Daftar Pustaka........... 22

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG
Keratitis Acanthamoeba baru-baru ini menjadi perhatian karena meningkatnya
insiden, kesulitan dalam diagnosis dan terapi yang kurang memuaskan. Dari individu dengan
keratitis Acanthamoeba, 85% memakai lensa kontak dan terjadi abrasi kornea. Infeksi kornea
sering dapat dicegah dengan perawatan lensa kontak yang baik dan bersih. Keratitis
Acanthamoeba yang parah sering sangat sulit diobati; operasi bisa kurang berhasil dan dapat
menyebabkan masalah lebih lanjut. Tahap enkistasi dalam siklus hidup spesies
Acanthamoeba paling bermasalah karena banyak biosida yang tidak efektif dalam membunuh
kista tersebut. Kombinasi terapi seperti, penggunaan 2 atau 3 biosida, kadang-kadang dengan
antibiotik, merupakan cara terbaik. Kekambuhan sering terjadi jika pengobatan dihentikan
sebelum waktunya. Metode imunologi sedang diselidiki sebagai bentuk pencegahan, dan
imunisasi oral baru-baru ini telah berhasil dalam pencegahan keratitis Acanthamoeba dengan
menginduksi imunitas sebelum infeksi terjadi. Keratitis Acanthamoeba kini diperkirakan
mempengaruhi 1 dari 250.000 orang di Amerika Serikat, dan telah didiagnosa 400 kasus
sejak tahun 1957 di Inggris.1,2
Spesies Acanthamoeba telah diisolasi dari berbagai sumber, seperti air tawar, air laut,
air kolam renang, dan lensa kontak. Sebagian besar strain tidak patogen. Beberapa bentuk
patogen yang dikenal dapat bertahan hidup untuk waktu yang lama di air tawar. Keberadaan
Acanthamoeba yang patogen di atmosfer merupakan faktor penting dalam prevalensi keratitis
Acanthamoeba, meskipun hal ini tidak bukan penyebab utama. Pasien dengan keratitis
Acanthamoeba biasanya pengguna lensa kontak lunak. Penggunaan air keran untuk membilas
lensa kontak sering mengandung spesies Acanthamoeba patogen. Lensa menyebabkan abrasi
kornea, yang memfasilitasi masuknya Acanthamoeba.1,3
I.2 TUJUAN PENULISAN
Tujuan penyusunan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui secara umum
mengenai anatomi kornea, definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, diagnosis,
penatalaksanaan, komplikasi, prognosis hingga pencegahan keratitis acanthamoeba.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA


II.1.1 Anatomi Kornea
Kornea (Latin cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput
mata yang tembus cahaya. Kornea merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah
depan, berupa jaringan transparan dan avaskular, dengan bentuk seperti kaca arloji. Bentuk
kornea agak elips dengan diameter horizontal 12,6 mm dan diameter vertikal 11,7 mm. Jarijari kelengkungan depan 7,84 mm dan jari-jari kelengkungan belakang 7 mm. Sepertiga
radius tengah disebut zona optik dan lebih cembung, sedangkan tepiannya lebih datar. Tebal
kornea bagian pusat 0,6 mm dan tebal bagian tepi 1 mm.4,5
Kornea adalah suatu lenda cembung dengan kekuatan refraksi (bias) sebesar + 43
Dioptri. Jika kornea sembab karena suatu hal, maka kornea berubah sifat menjadi seperti
prisma yang dapat menguraikan cahaya sehingga penderita akan melihat halo. Kornea jernih
karena faktor-faktor seperti letak epitel kornea yang tertata sangat rapi, letak serabut kolagen
yang tertata sangat rapi dan padat, kadar airnya yang konstan, tidak adanya pembuluh
darah.2,3,4 Kornea terdiri atas 5 lapisan:4-7
1. Lapisan Epitel
Lapisan ini sangat halus dan tidak mengandung lapisan tanduk sehingga sangat peka
terhadap trauma walaupun kecil. Epitel kornea merupakan non keratinizing squamous
layer, terdiri dari 4-6 lapis dengan ketebalan 40-50 m, dan merupakan 5% dari seluruh
ketebalan kornea. Kornea berasal dari permukaan ectoderm masa gestasi 5-6 minggu.
Epitel kornea diliputi oleh tear film dengan tight junction antar epitel superfisial berguna
untuk mencegah penetrasi cairan film. Lapisan mucin pada tear film yang berkontak
langsung dengan epitel diproduksi oleh sel goblet konjungtiva. Sel epitel kornea bisa
bertahan 7-10 hari, melewati fase involusi, apoptosis dan deskuamasi yang berlangsung
setiap minggu. Membrane basalis epitel, kira-kira 0,05 m, terdiri atas kolagen tipe IV
dan laminin yang disekresi oleh sel basal. Jika terjadi kerusakan epitel kornea, level
fibronektin meningkat dan proses penyembuhan berlangsung dalam waktu 6 minggu.

Pada saat penyembuhan, eptel terikat ddengan dasarnya, membran basalis yang baru
menjadi tidak stabil dan lemah.
2. Membran Bowman
Ini merupakan selaput tipis yang terbentuk dari jaringan ikat fibrosa. Membran
Bowman bukan membran sesungguhnya, namun merupakan hasil kondensasi aseluler
bagian depan stroma, dengan tebal 15 m. Jika rusak, membran Bowman tidak bisa
regenerasi dan membentuk jaringan parut.
3. Stroma
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal (80-85% dari seluruh ketebalan),
yang terdiri atas serabut kolagen yang susunannya amat teratur dan padat yang
menyebabkan kornea avaskular dan jernih.
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan lainnya,
pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer serat kolagen ini
bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadangkadang sampai 15 bulan.. Stroma terdiri 200-250 lamella. Stroma perifer lebih tebal
daripada stroma sentral. Saat terjadi edema stroma, terbentuk tonjolan asimetrik dari
stroma posterior sehingga terlihat gambaran striae yang merupakan lipatan Descemet.
Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara
serat kolagen stroma. Keratosit berperan menjaga lingkungan matriks ekstrasel serta
membuat sintesis molekul kolagen dan glikoaminoglikan, dan membentuk Matrix
Metaoprotease untuk menjaga homeostasis stroma. Kebanyakan keratosit paad anterior
stroma berisikan kristalin yang merupakan 25-30% protein larut di dalam sel. Kristalin
bertanggung jawab menurunkan efek gelap pada cahaya dan menjaga kejernihan kornea.
4. Membran Descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma komea
dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya. Bersifat sangat elastik dan
berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal 40 m.
5. Lapisan Endotel
Lapisan ini terdiri atas satu lapis endotel yang sel-selnya tidak bisa membelah. Jika
ada endotel yang rusak, maka endotel di sekitarnya akan mengalami hipertrofi untuk
menutup defek yang ditinggalkan oleh endotel yang rusak tadi. Endotel berperan penting
dalam mengatur kadar air kornea dengan cara mengeluarkan air dari kornea ke kamera
okuli anterior dengan enzim Na+-K+ ATP-ase. Berasal dari mesotelium, berlapis satu,
bentuk heksagonal, besar 20-40 m. Endotel melekat pada membran descement melalui
hemidesmosom dan zonula okluden. Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan
mengakibatkan sistem pompa endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan
terjadi edema kornea. Endotel tidak mempunyai daya regenerasi.
5

Defek epitel kornea cepat menutup dengan cara migrasi dan mitosis sel. Kornea
divaskularisasi oleh arteri siliares yang membentuk arkade. Kornea dipasok oleh pembuluh
darah halus dari tepi kornea yang dipasok dari arteri oftalmika dan cabang dari arteri fascialis
melalui cairan aquous dan tear film. Inervasinya oleh n. siliaris (cabang nervus trigeminus).
Saraf kornea sensitif untuk rasa nyeri dan dingin. Kornea mempunyai sensitivitas 100 kali
dibanding konjungtiva. Serabut saraf sensorik menyebar dari saraf siliaris longus dan
membentuk anyaman subepitelial. Denervasi nervus trigeminus mampu menimbulkan
lepasnya epitel dari desmosom, iregularitas dan erosi epitel, sindrom mata kering, dan defek
epitel persisten. Karena kornea bersifat avaskular, maka pemberian makan kornea akan
melalui air mata (terutama untuk penyediaan oksigen), cairan aquous dan pembuluh darah
limbus (secara difusi). Sifat avaskular ini penting dalam transplantasi kornea oleh resipien
dari donor siapapun tanpa memandang sifat dan perbedaan genetis. Kornea merupakan
bagian kecil dari bola mata yang sangat peka karena sifat kejernihannya, kelengkungannya.
Perubahan struktural maupun bentuk kornea yang minimal sudah menimbulkan gangguan
penglihatan.5

Gambar 1. Anatomi Kornea

Gambar 2. Penampang Melintang Kornea


II.1.2 Fisiologi Kornea
Kornea berfungsi sebagai membran pelindung dan jendela yang dilalui oleh berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahaya kornea disebabkan oleh strukturnya yang uniform,
avaskular, dan deturgesens.8
Deturgesens atau keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea, dipertahankan oleh
pompa bikarbonat aktif pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel
lebih penting daripada epitel dalam mekanisme dehidrasi, dan kerusakan pada endotel jauh
lebih serius daripada kerusakan pada epitel. Kerusakan sel-sel endotel menyebabkan edema
kornea dan hilangnya sifat transparan, yang cenderung bertahan lama karena terbatasnya
potensi perbaikan fungsi endotel. Sebaliknya, kerusakan pada epitel biasanya hanya
menyebabkan edema lokal sesaat pada stroma kornea yang akan menghilang dengan
regenerasi sel-sel epitel yang cepat. Penguapan air dari lapisan air mata prakornea
menyebabkan film air mata menjadi hipertonik; proses tersebut dan penguapan langsung
adalah faktor-faktor yang menarik air dari stroma kornea superfisial untuk mempertahankan
keadaan dehidrasi.8

Penetrasi obat melalui kornea yang utuh terjadi secara bifasik. Substansi larut lemak
dapat melalui epitel utuh dan substansi larut air dapat melalui stroma yang utuh. Jadi, agar
dapat melalui kornea, obat harus larut lemak sekaligus larut air.8
Epitel adalah sawar yang efisien terhadap masuknya mikroorganisme ke dalam
kornea. Namun, sekali kornea ini cedera, stroma yang avaskular dan membran Bowman
mudah terinfeksi oleh berbagai macam organisme, seperti bakteri, amuba, dan jamur.8

II.2. KERATITIS ACANTHAMOEBA


II.2.1 Definisi
Keratitis Acanthamoeba merupakan infeksi parasit pada kornea yang jarang, yang
disebabkan oleh spesies Acanthamoeba.8
II.2.2 Epidemiologi
Acanthamoeba telah menyebabkan penyakit di seluruh dunia, termasuk di Amerika
Serikat, Eropa, Australia, Afrika, dan Amerika Selatan. Keratitis Acanthamoeba pertama kali
ditemukan di US (pada kasus infeksi Acantamoeba polyphaga di Texas) pada tahun 1973.
Keratitis Acanthamoeba sangat jarang sebelum penggunaan lensa kontak. Jumlah keratitis
Acanthamoeba bervariasi antara negara-negara, yang sebagian besar karena perbedaan
kriteria diagnostik, bukan perbedaan dalam populasi. Kejadian di AS 2 kasus per 1 juta
pemakai lensa kontak di akhir 1980-an sedangkan lebih dari 21 kasus per 1 juta pemakai
lensa kontak di Inggris pada tahun 1998. Jumlahnya mulai meningkat pada tahun 1984, dan
pada tahun 1985 ditetapkan bahwa keratitis Acanthamoeba berhubungan dengan penggunaan
lensa kontak (85-92%), khususnya pada orang yang berenang sambil memakai lensa kontak
dan orang yang menggunakan larutan natrium klorida buatan sendiri untuk membersihkan
lensa. Kista Acanthamoeba sangat tahan terhadap klorin. Dari 24 kasus pada tahun 19851986, 20 di antaranya merupakan pengguna lensa kontak. Namun, pemakaian lensa kontak
tidak selalu menjadi faktor risiko utama untuk infeksi. Dalam sebuah studi epidemiologi
terbaru dari India, hanya 0,9% dari kasus keratitis acanthamoeba yang diduga terkait dengan
memakai lensa kontak. Faktor risiko utama yaitu yang berhubungan dengan trauma mata dan
pasokan air yang buruk. Kasus keratitis Acanthamoeba sudah ditemukan lebih dari 1.300
kasus. Jumlah keratitis Acanthamoeba diperkirakan sekitar 1 per 250.000 orang di Amerika

Serikat, meskipun jumlah tersebut bervariasi antara dari 1,65-2,01 per 1 juta populasi hingga
1 per 10.000 orang yang memakai lensa kontak.9,10,11
II.2.3 Etiologi
Acanthamoeba adalah protozoa hidup-bebas yang ditemukan di dalam air tercemar
yang mengandung bakteri dan materi organik (air tawar, air sumur, air laut, limbah), udara
dan tanah. Tidak semua strain Acanthamoeba adalah patogen. Acanthamoeba merupakan
flora normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia yang 50%-100% di antaranya
memiliki antibodi terhadap Acanthamoeba.2,12 Ada delapan spesies Acanthamoeba yang dapat
dibedakan berdasarkan morfologi kista dan analisis DNA mitokondria. Acanthamoeba
castellani dan Acanthamoeba polyphaga adalah subspesies yang paling sering menyebabkan
keratitis. Siklus hidup Acanthamoeba meliputi bentuk protozoa yang motile (diameternya 1545 m) dan kista yang dorman (diameter 10-25 m). Kedua bentuk ditemukan di jaringan
yang terinfeksi, tetapi hanya bentuk trofozoit yang infeksius. Kista berdinding ganda dan
tahan terhadap pembekuan, pengeringan, dan klorin dalam pasokan air, kolam renang dan
kolam air panas. Bentuk kista dapat menjadi airborne. Trofozoit ini memiliki bentuk
amoeboid dengan pseudopodia, dan memakan alga kecil, bakteri dan protozoa lainnya. Di
kornea, mereka diperkirakan memakan keratosit. Reproduksi secara aseksual dengan
pembelahan biner.12,13
Infeksi kornea dengan acanthamoeba berasal dari kontak langsung kornea dengan
material atau air yang terkontaminasi dengan organisme. Situasi yang menyebabkan keratitis
acanthamoeba:2,13,14
1. Penggunaan lensa kontak lunak, termasuk lensa hydrogel silicon atau lensa kontak rigid
yang dipakai semalaman. Pemakaian lensa kontak yang jarang dibersihkan.
2. Pemakai lensa kontak yang menggunakan larutan salin buatan sendiri (dari air keran yang
terkontaminasi dan garam tablet) adalah situasi yang paling umum yang menyebabkan
infeksi acanthamoeba di negara-negara barat.
3. Trauma ringan, seperti terpapar dengan materi sayuran yang terkontaminasi, air kolam
renang, tanah yang tercemar, tiupan angin kontaminan.
4. Infeksi Oportunistik. Keratitis acanthamoeba juga dapat terjadi sebagai infeksi
oportunistik pada pasien dengan keratitis herpes, keratitis bakteri, keratopati bulosa dan
keratitis neuroparalitik.

Gambar 3. Bentuk trofozoit dan kista Acanthamoeba

II.2.4 Patogenesis
Lensa kontak, bila ditempatkan pada mata, dapat diekspose oleh patogen melalui
abrasi yang sebelumnya disebabkan oleh lensa kontak. Hampir dapat dipastikan bahwa
trauma ini berkontribusi untuk onset dan perkembangan infeksi amoeba, meskipun cara
infeksi ini tidak bertanggung jawab menyebabkan keratitis Acanthamoeba, karena dapat juga
terjadi pada orang yang tidak memakai lensa kontak.1
Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa abrasi dapat meningkatkan pengikatan
parasit pada kornea. Langkah pertama dalam infeksi melibatkan adhesi trofozoit ke epitel
kornea. Trofozoit merupakan spesies spesifik; mereka berikatan hanya pada sel epitel kornea
dari manusia, babi, kelinci, dan hamster Cina, sedangkan mayoritas kornea pada hewan
resisten terhadap infeksi. Acanthamoeba castellani menghasilkan berbagai protease, disebut
Acanthamoeba plasminogen activator; yang memungkinkan terjadinya invasi kornea.
Penyakit stroma terjadi kemudian. Injeksi intrastromal A. castellani ke kornea tikus
menyebabkan ring infiltrates seperti yang ditemukan pada orang dengan keratitis
Acanthamoeba. Faktor-faktor yang mempengaruhi adhesi Acanthamoeba:1
1. Adhesi Acanthamoeba ke lensa kontak
Baik kista maupun trofozoit segera melekat pada segmen lensa kontak. Lebih banyak
kista dan trofozoit yang melekat pada lensa kontak yang tidak dicuci daripada lensa
kontak yang dicuci. Trofozoit yang melekat pada lensa kontak memiliki proyeksi
permukaan (acanthapodia, filopodia, dan lobopodia). Kista yang melekat juga memiliki
wrinkled ectocysts seperti yang dilihat pada mikroskop elektron. Kista dapat melekat
pada permukaan lensa kontak karena adannya proyeksi permukaan yang hanya terlihat
pada trofozoit. Perlekatan strain Acanthamoeba yang berbeda (misalnya, strain 1 A.
10

castellani, strain 9 A. polyphaga, dan strain 11 Acanthamoeba culbertsoni) dipelajari


dengan menggunakan periode paparan dan suhu yang berbeda. Strain 1 digunakan
sebagai kontrol nonpatogenik. Setelah 120 menit, strain 9 paling melekat, diikuti oleh
strain 11 dan kemudian strain 1; ini berkorelasi dengan patogenisitas
2. Mannose-binding receptors
Mannose-binding receptors pada permukaan Acanthamoeba mengikat protein
mannosylated pada sel epitel kornea. Mannose-containing glycoproteins di dekat
permukaan kornea mungkin terpapar saat terjadi cedera kornea dan ini membuat kornea
rentan terhadap infeksi. Proteinase serin yang dilepaskan dari organisme menyebabkan
parasite-mediated cytolysis pada kornea. Sekresi proteinase sitotoksik yang menginduksi
efek sitopatik dicegah oleh N-asetil-D-glukosamin, yang tidak mempengaruhi pengikatan
reseptor ke sel.
3. Adhesi Acanthamoeba pada sel epitel kornea
Penelitian menunjukan bahwa presentase rata-rata sel kornea yang menjadi tempat
perlekatan Acanthamoeba sama antara pemakai lensa kontak dengan bukan pemakai lensa
kontak.
4. Interaksi biofilm, lensa hidrogel, dan keratitis Acanthamoeba
Amoeba yang hidup bebas dapat tumbuh sebagai komensal dan parasit, terutama
dengan bakteri gram negatif (misalnya Escherichia coli) yang secara alami ada sebagai
bagian dari flora mata eksternal. Acanthamoeba juga dikenal sebagai bagian dari flora
mata alami pada yang bukan pemakai lensa kontak. Lensa kontak meningkatkan jumlah
trofozoit dan kista amoeba di mata. Penelitian menemukan bahwa lensa kontak hidrogel
sangat cocok untuk mendukung pertumbuhan biofilm Pseudomonas aeruginosa yang
meningkatkan adsorpsi Acanthamoeba ke lensa kontak. Lensa kontak yang sudah
terkontaminasi dengan bakteri biofilm meningkatkan risiko keratitis Acanthamoeba.
Natrium salisilat mengurangi risiko infeksi dan mempengaruhi perlekatan Acanthamoeba
ke biofilm yang dihasilkan oleh P. aeruginosa.
5. Prosedur membilas lensa kontak
Membilas lensa kontak di air keran atau kontaminasi dengan air kolam renang
misalnya, sering merupakan penyebab masalah. Larutan one-step disinfection telah
terbukti efisien dalam mencegah pertumbuhan bakteri dan air keran tidak diperlukan
untuk membilas lensa kontak.

Patogenesis proses keratitik telah diklasifikasikan menjadi tiga tahap:3


1. Adesi dan deskuamasi epitel

11

Acanthamoeba telah diamati bahwa ia dapat menempel pada epitel kornea karena
adanya glikoprotein dan glikolipid pada sel epitel kornea manusia, yang diyakini dapat
berinteraksi dengan 136kDa mannose binding protein yang diekspresikan pada sel-sel
membran Acanthamoeba. Amuba dapat bersembunyi di bawah sel epitel, di mana mereka
menyebabkan deskuamasi cepat melalui tiga mekanisme: sitolisis langsung sel epitel;
fagositosis; induksi apoptosis.
2. Invasi stroma
Kombinasi enzim-enzim

litik

memungkinkan

trofozoit

menginvasi

matriks

ekstraselular sel stroma, mendapatkan akses ke jaringan stroma, dan menginduksi cincin
infiltrat yang terlihat pada gambaran klinis. Protease serin, metalloproteinase, protease
sistein, elastase, enzim collagenolytic, dan aktivator plasminogen semuanya berkaitan
pada penelitian in vitro.
3. Neuritis
Trofozoit telah terbukti mengikuti respon kemotaksis terhadap neuron kornea dan
dapat menyebabkan respon sitolitik dan apoptosis, yang menyebabkan gejala klinis
neuritis radial. Dalam sebagian besar kasus, ini adalah tahap akhir dari peradangan.
Trofozoit belum ditemukan dapat mengganggu sel-sel endotel kornea dan masuk ke
camera okuli anterior secara in vivo meskipun terdapat efek sitolitik dan apoptosis secara
in vitro. Sehingga, kasus Acanthamoeba endophthalmitis jarang terjadi.
II.2.5 Diagnosis
Mendiagnosis keratitis acanthamoeba sulit dan kadang-kadang keliru untuk infeksi
kornea lainnya. Keratitis acanthamoeba harus dipertimbangkan pada kasus paparan atau
trauma kornea yang berhubungan dengan tanah atau air yang terkontaminasi serta pada
semua pemakai lensa kontak, terutama jika kebersihan lensa kontak yang buruk,
menggunakan larutan NaCl buatan sendiri untuk membersihkan lensa kontak atau berenang
saat lensa ontak dipakai. Jarang infeksi ini mucul setelah keratotomi radial. Masa inkubasi
beberapa hari. Keratitis acanthamoeba juga harus dicurigai pada kasus infeksi kornea
persisten yang tidak berespon dengan baik terhadap pengobatan. Dalam beberapa kasus,
keratitis acanthamoeba merupakan koinfeksi dengan patogen lain seperti virus herpes
simplex, berbagai bakteri atau jamur. Diagnosis yang tertunda lebih dari beberapa minggu
berhubungan dengan buruknya hasil penglihatan.12
II.2.6 Gambaran Klinis

12

Pasien dengan keratitis amuba muncul dengan berbagai keluhan: sakit mata parah
biasanya tidak sesuai dengan temuan klinisnya, fotofobia, kemerahan, blefarospasme,
penglihatan kabur, adanya sensasi benda asing, keluarnya air mata biasanya pada satu
mata.2,12
Keratitis Acanthamoeba berkembang selama beberapa bulan dimana keratitis
memburuknya secara bertahap dengan periode remisi sementara. Gambaran klinisnya
bervariasi yang membuat sulit untuk mendiagnosanya. Keratitis acanthamoeba dapat terjadi
dalam 2 bentuk. Dalam bentuk pertama, patogen terbatas di epitel, dan ada kesempatan untuk
pemulihan yang baik. Dalam bentuk kedua, parasit telah memasuki stroma, di mana hal itu
menyebabkan nekrosis dan peradangan yang intens. Gambaran klinisnya sebagai berikut:2
1. Pada tahap awal, dalam bulan pertama, berupa limbitis, epiteliopati unilateral meliputi
keratopati pungtata, pseudodendritis, infiltrat epitel atau subepitel, radial keratoneuritis
dalam bentuk infiltrat sepanjang saraf kornea (infiltrat perineural)
2. Pada tahap lanjut tampak central atau paracentral ring-shaped lesion dengan infiltrat
stroma dan defek epitel (ring infiltrates) atau uveitis anterior, yang akhirnya tampak
sebagai ring abscess yang dapat berlanjut menjadi perlunakan kornea dan perforasi.
Tanda-tanda lain yang mungkin ada: penurunan sensasi kornea, iritis, hipema, hipopion,
peningkatan tekanan intraokular, skleritis.

Gambar 4. Ring infiltrate pada keratitis acanthamoeba

13

Gambar 5. Gejala Klinis Keratitis Acanthamoeba. a, Keratoneuritis radial. b dan c,


Ring infitltrates pada tahap lanjut. d, Nekrosis kornea pada tahap yang sangat lanjut.

Gambar 6. Ulserasi epitel dan infiltrasi stroma kornea pada keratitis acanthamoeba
akut

14

Gambar 7. Lesi dendritiform epitel kornea yang disebabkan oleh Acanthamoeba


II.2.7 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis definitif keratitis Acanthamoeba dibuat dengan melihat amuba pada
pewarnaan atau melalui kultur organisme yang diperoleh dari kerokan kornea. Kultur amuba
harus dilakukan pada tiap kerokan kornea dimana ada kecurigaan klinis. Modalitas lain
adalah untuk mengidentifikasi DNA amuba dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) yang
memiliki sensitivitas 84% dan spesifisitas 100%. Hasil diagnostik terbaik ditemukan pada
awal penyakit, karena patogen berada di epitel superfisial lalu masuk lebih dalam ke stroma
sehingga kerokan superfisial mungkin tidak cukup. Dengan demikian, biopsi diperlukan
untuk mengkonfirmasi diagnosis. Pada infeksi yang berkaitan dengan lensa kontak, larutan
dan tempat lensa kontak harus dikultur. Seringkali, bentuk amuba dapat ditemukan pada
cairan tempat penyimpan lensa kontak.8,12
Bahan kerokan kornea diwarnai oleh acridine orange atau calcoflour white.
Pewarnaan calcoflour white menyebabkan kista berwarna hijau cerah di bawah mikroskop
fluoresen. Untuk melihat double-walled polygonal cysts, dengan pewarnaan potassium
hidroksida, H/E atau PAS. Agar non-nutrien yang dilapisi oleh Escerichia coli atau
E.aerogenes adalah media pilihan untuk kultur amuba, yang memperlihatkan trofozoit dalam
48 jam dan secara bertahap berubah menjadi kista. Acanthamoeba juga dapat tumbuh pada
agar darah, agar coklat atau buffered charcoal-yeast extract agar. Pengambilan bahan lebih
baik dilakukan dengan biopsi kornea daripada kerokan kornea karena kemungkinan
diperlukan pemeriksaan histopatologik untuk menemukan bentuk-bentuk amuba (trofozoit
atau kista).8,12,14
Acanthamoeba juga dapat diliat dengan confocal mikroskopy. Confocal microscopy
merupakan metode penting pada diagnosis dini berbagai kondisi kornea. Mikroskop tersebut
memiliki perbesaran hingga 200 - 500 kali dengan peningkatan kontras gambar dan
15

memungkinkan kita dapat melihat secara detail bahkan di kornea yang tidak jelas. Mikroskop
confocal bersifat non invasif sehingga menjadi modalitas penting untuk diagnosis keratitis
acanthamoeba secara cepat dan dapat digunakan berulang kali, tidak hanya untuk diagnosis
tetapi juga untuk pengobatan dan follow up. Bentuk kista Acanthamoeba lebih jelas dan
tampak sebagai bentuk bulat hingga oval yang sangat reflektif, dengan ukuran 11-100 m dan
bilayer, tampak seperti biji kopi.Trofozoit memiliki bentuk seperti pear atau

baji yang

ireguler, ukuran 23 hingga lebih dari 100 m. Keterbatasan mikroskop confocal: biaya.12

Gambar 8. A. Subepithelial opacities dan radial keratoneuritis. B. Pada lapisan sel


basal epitel ditemukan kista Acanthamoeba dengan diameter 10-20m yang dideteksi
dengan confocal microscopy. C. Pada pemeriksaan kerokan epitel dengan Parker inkpotassium hydroxide, ditemukan kista Acanthamoeba.

Gambar 9. (a) Kista Acanthamoeba pada phase-contrast microscope. (i) Agar nonnutrient menujukkan kista Acanthamoeba (ii) Kista Acanthamoeba yang berasal dari
agar non-nutrient dilihat di bawah phase-contrast microscope. (b) Trofozoit
Acanthamoeba pada agar non-nutrient dilihat di bawah phase-contrast microscope.

16

Gambar 10. A. Keratitis acanthamoeba dengan ring abscess. B. Temuan histologi


setelah keratoplasti meliputi kista amuba dinding ganda pada stroma kornea di atas
membrane Descemet.
II.2.8 Penatalaksanaan
Debridement epitel bisa bermanfaat pada tahap awal penyakit, lalu diikuti dengan
terapi anti amuba jangka pendek (3-4 bulan). Prognosis untuk penyembuhan visual dengan
keterlibatan stroma yang ringan adalah sangat baik. Setelah infiltrat stroma muncul, eradikasi
organisme lebih sulit dan mungkin memerlukan pengobatan 6-12 bulan.12
Trofozoit Acanthamoeba sensitif terhadap agen kemoterapi (antibiotik, antiseptik,
antijamur, antiprotozoa termasuk metronidazole, antivirus dan antineoplastik agen). Namun,
bila ada kista Acanthamoeba hanya pengobatan dengan agen yang cysticidal yang efektif.
Meskipun neomycin telah digunakan secara luas, namun tidak efektif terhadap kista in vitro.
Selain itu, semua aminoglikosida itu toksik terhadap epitel kornea dan dapat menyebabkan
kerusakan lebih lanjut. Agen utama yang digunakan sebagai pengobatan untuk keratitis
acanthamoeba adalah diamidin dan biguanid, yang bersifat cysticidal. Polyhexamethylene
biguanide 0,01-0,02% dan chlorhexidin 0,02-0,2% (200-2000 g / ml) adalah dua biguanid
yang digunakan. Interaksi biguanid dengan membran sitoplasma mengakibatkan hilangnya
komponen seluler dan terhambatnya enzim pernapasan. Kedua obat ini efektif sebagai terapi
primer. Secara klinis, toksisitas epitel kornea minimal untuk chlorhexidin dan PHMB (sekitar
17

0,02%). Oleh karena itu, biguanid dianggap sebagai pengobatan lini pertama untuk keratitis
acanthamoeba baik digunakan sendiri atau dalam kombinasi dengan diamidin.12
Golongan diamidin meliputi propamidine isethionate 0,1% (1000 g/ml) dan
hexamidine 0,1% (1000 g/ml). Efektivitas diamidin berasal dari sifat caionic surface-active
yang merangsang perubahan struktur membran yang mempengaruhi permeabilitas sel. Ketika
molekul-molekul ini menembus ke sitoplasma amuba, denaturasi protein sitoplasma dan
enzim terjadi. Propamidine dan hexamidine telah efektif secara klinis terhadap bentuk
trofozoit dan kista Acanthamoeba. Namun, secara klinis, telah dilaporkan adanya resistensi
tehadap propamidine dan hexamidine konsentrasi 125-500 g/ml. Oleh karena itu, diamidin
sebaiknya tidak digunakan sebagai monoterapi untuk keratitis acanthamoeba. Secara klinis,
diamidin ditoleransi dengan baik oleh jaringan mata, meskipun pengobatan jangka panjang
dengan propamidine dapat menyebabkan toxic keratopathy.12
Steroid topikal tidak perlu pada kebanyakan kasus yang didiagnosis dini tetapi dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan inflamasi persisten (scleritis anterior, nyeri hebat, ulkus
indolen, inflamasi kornea, inflamasi bilik mata depan). Steroid topikal dapat diberikan jika
minimal 2 minggu pengobatan biguanida telah selesai.12
Limbitis sering pada di awal dan akhir penyakit. Limbitis mungkin menyebabkan
nyeri yang signifikan yang dapat diatasi oleh anti inflamasi

non-steroid oral. Scleritis

merupakan komplikasi parah yang dianggap sebagai fenomena autoimun, untungnya tidak
sering. Bisa berlanjut menjadi nekrosis sklera yang menyebabkan rasa sakit yang tak
terkendali yang tidak berespon dengan NSAID. Kortikosteroid sistemik dosis tinggi dengan
siklosporin sistemik telah terbukti membantu.12
Defek epitel persisten sering ditemukan pada kasus berat.Jika bacterial superinfection
dan / atau Acanthamoeba persisten dikesampingkan maka terapi yang paling topikal harus
dihentikan selama beberapa hari. Antibiotik tetes mata spektrum luas harus diberikan. Terapi
anti-amuba mungkin diberikan kembali setelah re-epitelisasi. Debridement epitel pada daerah
yang terkena harus dilakukan lebih awal, ketika penyakit ini masih intraepithelial untuk
memperoleh bahan kultur dan histologi. Hal ini meningkatkan permeabilitas obat pada kornea
dan efek terapeutik.12
Untuk kultur positif keratitis acanthamoeba persisten yang tidak responsif terhadap
terapi di atas maka cryotherapy dapat dilakukan. Dalam percobaan in vitro telah
18

menunjukkan bahwa cryotherapy dapat mengeradikasi trofozoit, bukan kista, kecuali bila
dikombinasikan dengan terapi topikal.12
Mungkin diperlukan keratoplasti pada penyakit yang telah lanjut untuk menghentikan
progresivitas infeksi, atau setelah penyakit mengalami resolusi dan terbentuk parut untuk
memulihkan penglihatan. Penetrating keratoplasty pada infeksi aktif biasanya memberikan
hasil yang buruk. Oleh karena itu, harus hanya diperuntukkan untuk kasus-kasus dengan
respon yang buruk terhadap terapi medis. Sejak diperkenalkannya biguanides sebagai terapi
medis, keratoplasti belum direkomendasikan sebagai pengobatan dalam mengeliminasi
organisme. Transplantasi membran amnion untuk lesi kornea progresif dengan defek epitel
persisten mungkin juga efektif dalam mengendalikan peradangan dan menunda penetrating
keratoplasty. Dalam kasus di mana keratoplasti harus dilakukan, maka steroid sistemik harus
diberikan sebelum operasi jika disertai dengan limbitis atau skleritis. Kemudian steroid di
tapering ketika inflamasi terkontrol pada periode post-graft. Tidak seperti cangkok untuk
infeksi kornea lainnya, yang harus cukup besar untuk membuang semua jaringan yang
terkontaminasi, maka pada keratitis acanthamoeba hanya diperlukan ukuran yang minimum
untuk membuang semua jaringan ulserasi dan nekrosis, mempertahankan jaringan sehat
secara klinis. Hal ini karena adanya risiko penolakan dengan cangkok besar dan karena
pencangkokan berulang mungkin diperlukan dalam kasus rekuren; pencangkokan lebiih
lanjut dapat menjadi sumber makanan baru untuk organisme dan dapat digunakan untuk
menarik amuba sisa. Terapi anti-amuba harus digunakan pre dan pasca operasi karena sisa
Acanthamoeba dapat menjadi hospes fresh corneal graft.12
II.2.9 Prognosis
Prognosis keratitis Acanthamooeba berhubungan dengan keparahan penyakit dan
onset pengobatan. Pasien yang datang dengan gejala yang berat memiliki prognosis yang
lebih buruk. Keterlambatan diagnosis dan memulai pengobatan lebih dari 3 minggu setelah
munculnya gejala pertama menyebabkan prognosis yang lebih buruk.12
II.2.10 Komplikasi
Keratitis merupakan infeksi lokal yang tidak menyebabkan infeksi sistemik atau
kematian namun dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak, hipopion, nekrosis kornea,
peningkatan tekanan intraocular dan dapat mengancam penglihatan.11

19

Gambar 11. Komplikasi keratitis acanthamoeba berupa hipopion

Gambar 12. Komplikasi berupa penipisan dan nekrosis kornea.


II.2.11 Pencegahan
Pemakai lensa kontak seharusnya menghindari menggunakan larutan natrium klorida
buatan sendiri/air keran dan berenang sambil mengenakan lensa kontak. Pemakai lensa
kontak juga harus mengikuti petunjuk pembersihan lensa kontak sesuai dengan yang
ditetapkan oleh produsen.11,12

BAB III
20

KESIMPULAN
Keratitis Acanthamoeba bukanlah penyakit yang umum tapi merugikan dan sulit
dalam mendiagnosis maupun mengobatinya. Keratitis acanthamoeba sering ditemukan pada
pemakai lensa kontak, namun juga dapat ditemukan pada non-pemakai lensa kontak seperti
pada trauma ringan mata, misalnya terpapar air atau tanah yang terkontaminasi. Anamnesis
yang cermat, pemeriksaan klinis yang tepat, pemeriksaan laboratorium yang sesuai dan
tingkat kecurigaan yang tinggi diperlukan untuk membuat diagnosis dini dan mencapai hasil
yang lebih baik. Adanya PCR dan confocal microscopy dapat lebih membantu dalam
menegakan diagnosis. Pengobatan berupa biguanid dan diamidin topikal sebagai terapi utama
pada kasus keratitis acanthamoeba pada umumnya. Steroid dapat digunakan pada kasus-kasus
dengan inflamasi yang signifikan. Jika keratitis acanthamoeba menunjukan respon yang
buruk terhadap terapi medis, maka dapat dilakukan tindakan penetrating keratoplasty.
Transplantasi membran amnion untuk lesi kornea progresif dengan defek epitel persisten
mungkin juga efektif dalam mengendalikan peradangan dan menunda penetrating
keratoplasty. Prognosis keratitis Acanthamoeba berhubungan dengan keparahan penyakit dan
onset pengobatan. Keratitis acanthamoeba dapat menimbulkan komplikasi seperti katarak,
hipopion, peningkatan tekanan intraocular dan dapat mengancam penglihatan. Pemakai lensa
kontak seharusnya menjaga kebersihan lensa kontak dengan menghindari menggunakan
larutan natrium klorida buatan sendiri dan jangan berenang sambil mengenakan lensa kontak.

DAFTAR PUSTAKA
21

1. Kumar R, Lloyd D. Recent advances in the treatment of acanthamoeba keratitis. Vol 35.
2002. Diunduh dari: http://cid.oxfordjournals.org/content/35/4/434.full#abstract-1, 22
Agustus 2015.
2. Khurana AK. Comprehensive ophthalmology. 4th edition. India: New Age International
(P) Limited, 2007.p.106-7.
3. Clarke B, Sinha A, Parmar DN, Sykakis E. Advances in the diagnosis and treatment of
acanthamoeba keratitis. 2012. Diiunduh dari:
http://www.hindawi.com/journals/joph/2012/484892/, 22 Agustus 2015.
4. Ilyas S. Ilmu penyakit mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2010.h..h.4-6, 147.
5. Suhardjo, Hartono. Ilmu kesehatan mata. Edisi ke-2. Yogyakarta: Bagian Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, 2012.h.2-4, 28-34.
6. Wijana N. Ilmu penyakit mata. Jakarta: Abadi Tegal, 1993.h.83-90.
7. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan dasar mata. Jakarta: Badan Penerbit
FKUI, 2011.h.3-4.
8. Susanto D, penyunting. Oftalmologi umum Vaughan & Asbury. Edisi ke-17. Jakarta:
EGC, 2010.h. 125-35.
9. Lang GK. Ophthalmology. New York: Stuttgart, 2000.p.136-7.
10. Berger S. Infectious diseases of the United States. USA: GIDEON Informatics,
2015.p.46.
11. Cianflone NFC. Acanthamoeba treatment & management. 25 Juli 2013. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/211214, 22 Agustus 2015.
12. Graffi S, Peretz A, Jabaly H, Naftali M. Acanthamoeba keratitis. Vol 15. April 2013.
Diunduh dari: https://www.ima.org.il/FilesUpload/IMAJ/0/54/27119.pdf, 22 Agustus
2015.
13. Bartlett JD, Jaanus SD. Clinical ocular pharmacology. USA: Elsevier Health Sciences,
2008.p.215-7.
14. Schlote T, Mielke J, Grueb M, Rohrbach JM. Pocket atlas of ophthalmology. New York:

Thieme, 2006.p.100-1

22

Anda mungkin juga menyukai