Anda di halaman 1dari 21

Giovanni Reinaldo Semet

17014101041

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Hiperemesis Gravidarum

a. Pengertian Hiperemesis Gravidarum

Emesis gravidarum adalah gejala yang wajar atau sering

terdapat pada kehamilan trimester pertama. Mual biasanya terjadi

pada pagi hari, tetapi ada yang timbul setiap saat dan malam hari.

Gejala-gajala ini biasanya terjadi 6 minggu setelah hari pertama haid

terahir dan berlangsung kurang lebih 10 minggu (Wiknjosastro, 2007

hal 98).

Hiperemesis gravidarum adalah keluhan mual dan muntah

hebat lebih dari 10 kali sehari dalam masa kehamilan yang dapat

menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau

gangguan elektrolit, sehingga menganggu aktivitas sehari-hari dan

membahayakan janin dalam kandungan. Mual dan muntah berlebihan

yang terjadi pada wanita hamil sehingga menyebabkan terjadinya

ketidakseimbangan kadar elektrolit, penurunan berat badan (lebih

dari 5% berat badan awal), dehidrasi, ketosis, dan kekurangan nutrisi.

Hal tersebut mulai terjadi pada minggu keempat sampai kesepuluh

kehamilan dan selanjutnya akan membaik pada usia kehamilan 20

minggu, namun pada beberapa kasus dapat terus berlanjut sampai

pada kehamilan tahap berikutnya (Runiari, 2010 hal 65).

7
8

Pada umumnya hiperemesis gravidarum terjadi pada minggu ke

6-12 masa kehamilan, yang dapat berlanjut sampai minggu ke 16-20

masa kehamilan. Mual dan muntah merupakan gejala yang wajar

ditemukan pada kehamilan triwulan pertama. Biasanya mual dan

muntah terjadi pada pagi hari sehingga sering dikenal dengan

morning sickness. Sementara setengah dari wanita hamil mengalami

morning sickness, antara 1,2 - 2% mengalami hiperemesis

gravidarum, suatu kondisi yang lebih serius (Huliana, 2001 hal 78)

Hampir 50% wanita hamil mengalami mual dan biasanya mual

ini mulai dialami sejak awal kehamilan. Mual muntah saat hamil

muda sering disebut morning sickness tetapi kenyataannya mual

muntah ini dapat terjadi setiap saat. Pada beberapa kasus dapat

berlanjut sampai kehamilan trimester kedua dan ketiga, tapi ini jarang

terjadi (Ratna, 2010 hal 45).

b. Tingkatan Hiperemesis Gravidarum

Runiari (2010 hal 58) menyatakan bahwa tidak ada batasan

yang jelas antara mual yang bersifat fisiologis dengan hiperemesis

gravidarum, tetapi bila keadaan umum ibu hamil terpengaruh

sebaiknya dianggap sebagai hiperemesis gravidarum. Menurut berat

ringannya gejala hiperemesis gravidarum dapat dibagi ke dalam tiga

tingkatan sebagai berikut :


1) Tingkat I

Muntah terus menerus yang mempengaruhi keadaan umum. Pada

tingkatan ini ibu hamil merasa lemah, nafsu makan tidak ada,

berat badan menurun dan merasa nyeri pada epigastrium. Nadi

meningkat sekitar 100 kali per menit, tekanan darah sistolik

menurun, dapat disertai peningkatan suhu tubuh, turgor kulit

berkurang, lidah kering dan mata cekung.

2) Tingkat II

Ibu hamil tampak lebih lemas dan apatis, turgor kulit lebih

menurun, lidah kering dan tampak kotor, nadi kecil dan cepat,

tekanan darah turun, suhu kadang-kadang naik, mata cekung dan

sedikit ikterus, berat badan turun, hemokonsentrasi, oligouria, dan

konstipasi. Aseton dapat tercium dari hawa pernapasan karena

mempunyai aroma yang khas, dan dapat pula ditemukan dalam

urine.

3) Tingkat III

Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun

dari somnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, tekanan darah

menurun, serta suhu meningkat. Komplikasi fatal terjadi pada

susunan saraf yang dikenal sebagai wenickle ensefalopati. Gejala

yang dapat timbul seperti nistagmus, diplopia, dan perubahan

mental, keadaan ini adalah akibat sangat kekurangan zat

makanan, termasuk vitamin B kompleks. Timbulnya ikterus

menunjukkan
terjadinya payah hati. Pada tingkatan ini juga terjadi perdarahan

dari esofagus, lambung, dan retina.

c. Akibat hiperemesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum tidak hanya mengancam kehidupan

klien, namun dapat menyebabkan efek samping pada janin seperti

abortus, berat badan lahir rendah, kelahiran prematur dan malformasi

pada bayi lahir (Gross dalam Runiari, 2010 hal 61). Penelitian yang

dilakukan oleh Paawi (2005) didapatkan bahwa hiperemesis

gravidarum merupakan faktor yang signifikan terhadap

memanjangnya hari rawat bagi bayi yang dilahirkan. Ada

peningkatan angka kematian Intrauterin Growth Retardation (IUGR)

pada klien hiperemesis gravidarum yang mengalami penurunan berat

badan lebih dari 5%.

Selain berdampak fisiologis pada kehidupan klien dan janinnya,

hiperemesis gravidarum juga memberikan dampak secara psikologis,

sosial, spiritual dan pekerjaan. Secara psikologis dapat menimbulkan

dampak kecemasan, rasa bersalah dan marah. Jika mual dan muntah

menghebat, maka timbul self pity dan dapat terjadi konflik antara

ketergantungan dan kehilangan kontrol. Berkurangnya pendapatan

akibat berhenti bekerja mengakibatkan timbulnya ketergantungan

terhadap pasangan (Simpson, et. Al., 2001).

Kontak sosial dengan orang lain juga berubah karena klien

mengalami perubahan yang sangat kompleks terhadap kehamilannya.

Media yang berkembang menjelaskan bahwa kehamilan merupakan


keadaan fisiologis dan psikoemosional yang optimal, sehingga jika

wanita mengalami mual dan muntah yang menghebat dianggap

sebagai kegagalan perkembangan wanita (Runiari, 2010 hal 62)

d. Patofisiologi hiperemesis gravidarum

Patofisiologi hiperemesis gravidarum dapat disebabkan karena

peningkatan Hormone Chorionic Gonodhotropin (HCG) dapat

menjadi faktor mual dan muntah. Peningkatan kadar hormon

progesteron menyebabkan otot polos pada sistem gastrointestinal

mengalami relaksasi sehingga motilitas menurun dan lambung

menjadi kosong. Hiperemesis gravidarum yang merupakan

komplikasi ibu hamil muda bila terjadi terus menerus dapat

mengakibatkan dehidrasi, ketidak- seimbangan elektrolit, serta dapat

mengakibatkan cadangan karbohidrat dan lemak habis terpakai untuk

keperluan energi. (Winkjosastro, 2007 hal 185)

Pada beberapa kasus berat, perubahan yang terjadi berhubungan

dengan malnutrisi dan dehidrasi yang menyebabkan terdapatnya non

protein nitrogen, asam urat, dan penurunan klorida dalam darah,

kekurangan vitamin B1, B6, B12, dapat mengakibatkan terjadinya

anemia (Mitayani, 2009 hal 56).

e. Etiologi dan faktor yang berhubungan dengan hiperemesis

gravidarum Etiologi hiperemesis gravidarum belum diketahui

dengan pasti. Dulu penyakit ini dikelompokkan ke dalam penyakit

toksemia gravidarum karena diduga adanya semacam “racun” yang

berasal dari
janin atau kehamilan. Penyakit ini juga digolongkan ke dalam

gestosis bersama pre-eklampsi dan eklampsi. Nama gestosis dini

diberikan untuk hiperemesis gravidarum dan gestosis lanjut untuk

hipertensi (pre-eklampsi dan eklampsi) dalam kehamilan (Runiari,

2010 hal 63). Runiari (2010) dan Guyton (2004) menjelaskan

beberapa teori penyebab terjadinya hiperemesis gravidarum namun

tidak ada satupun yang dapat menjelaskan proses terjadinya secara

tepat. Teori tersebut antara lain adalah (Runiari, 2010 hal 63):

1) Teori Endokrin

Teori endokrin menyatakan bahwa peningkatan kadar

progesteron, estrogen, dan Human Chorionic Gonadotropin

(HCG) dapat menjadi faktor pencetus mual muntah. Peningkatan

hormon progesteron menyebabkan otot polos pada sistem

gastrointestinal mengalami relaksasi, hal itu mengakibatkan

penurunan motilitas lambung sehingga pengosongan lambung

melambat. Refleks esofagus, penurunan motilitas lambung dan

penurunan sekresi dari asam hidroklorid juga berkontribusi

terhadap terjadinya mual dan muntah. Selain itu HCG juga

menstimulasi kelenjar tiroid yang dapat mengakibatkan mual dan

muntah.

Hormon progesteron ini dihasilkan oleh korpus luteum pada masa

awal kehamilan dan mempunyai fungsi menenangkan tubuh ibu

hamil selama kehamilan, termasuk saraf ibu hamil sehingga

perasaan ibu hamil menjadi tenang. Hormon ini berfungsi untuk


membangun lapisan di dinding rahim untuk menyangga plasenta

di dalam rahim. Hormon ini juga dapat berfungsi untuk

mencegah gerakan kontraksi atau pengerutan otot-otot rahim.

Hormon ini dapat "mengembangkan" pembuluh darah sehingga

menurunkan tekanan darah, itu penyebab mengapa Anda

sering pusing saat hamil. Hormon ini juga membuat sistem

pencernaan jadi lambat, perut menjadi kembung atau sembelit.

Hormon ini juga mempengaruhi perasaan dan suasana hati ibu,

meningkatkan suhu tubuh, meningkatkan pernafasan, mual, dan

menurunnya gairah berhubungan intim selama hamil.

Seseorang dalam kondisi stress akan meningkatkan aktifitas saraf

simpatis, untuk melepaskan hormon stress berupa adrenalin dan

kortisol (Guyton, 2004 hal 46). Sistem imun merupakan

komponen penting dan responden adaptif stress secara fisiologis.

Stress menggunakan adrenalin dalam tubuh untuk meningkatkan

kepekaan, prestasi dan tenaga. Peningkatan adrenalin akan

memperkecil kontraksi otot empedu, menyempitkan pembuluh

darah perifer, meluaskan pembuluh darah koroner, meningkatkan

tekanan darah terial dan menambah volume darah ke jantung dan

jumlah detak jantung. Adrenalin juga menambah pembentukan

kolesterol dari lemak protein berkepadatan rendah (Guyton, 2004

hal 46).
Tekanan darah yang tinggi dan peningkatan denyut jantung akan

dapat meningkatkan HCG. HCG (Human Chorionic

Gonadotrophin) adalah hormone yang dihasilkan selama

kehamilan, yang dapat dideteksi dari darah atau air seni wanita

hamil sesudah kurang lebih 10 hari sesudah pembuahan. HCG ini

dapat menstimulasi terjadinya mual dan muntah pada ibu hamil

(Guyton, 2004 hal 47).

2) Teori Metabolik

Teori metabolik menyatakan bahwa kekurangan vitamin B6 dapat

mengakibatkan mual dan muntah pada kehamilan.

3) Teori Alergi

Adanya histamin sebagai pemicu dari mual dan muntah

mendukung ditegakkannya teori alergi sebagai etiologi

hiperemesis gravidarum. Mual dan muntah berlebihan juga dapat

terjadi pada ibu hamil yang sangat sensitif terhadap sekresi dari

korpus luteum.

4) Teori Infeksi

Hasil penelitian menemukan adanya hubungan antara infeksi

Helicobacter pykori dengan terjadinya hiperemesis gravidarum,

sehingga dijadikan dasar dikemukakannya teori infeksi sebagai

penyebab hiperemesis gravidarum.

5) Teori Psikosomantik

Menurut teori psikomatik, hiperemesis gravidarum merupakan

keadaan gangguan psikologis yang dirubah dalam bentuk gejala


fisik. Kehamilan yang tidak direncanakan dan tidak diinginkan

serta tekanan pekerjaan dan pendapatan menyebabkan terjadinya

perasaan berduka, ambivalen, serta konflik dan hal tersebut dapat

menjadi faktor psikologis penyebab hiperemesis gravidarum.

Gejala mual dan muntah dapat juga disebabkan oleh gangguan

traktus digestif seperti pada penderita diabetes mellitus

(gastroparesis diabeticorum). Hal ini disebabkan oleh gangguan

motilitas usus atau keadaan pasca operasi vagotomi. Selain

merupakan reflesi gangguan intrinsik dari lambung, gejala mual dan

muntah dapat disebabkan oleh gangguan yang bersifat sentral pada

pusat muntah (chemoreceptor trigger zone). Perubahan metabolisme

hati juga dapat menjadi penyebab penyakit ini, oleh karena itu pada

kasus yang berat harus dipikirkan kemungkinan akibat gangguan

fungsi hati, kantung empedu, pankreatitis, atau ulkus peptikum

(Runiari, 2010 hal 69).

Mitayani (2009 hal 57) menyebutkan beberapa faktor yang

berpengaruh terhadap kejadian hiperemesis gravidarum meliputi :

1) Faktor predisposisi terdiri dari primigravida, molahidatidosa dan

kehamilan ganda

2) Faktor organik seperti alergi masuknya vilikohirialis sirkulasi,

perubahan metabolik akibat kehamilan dan resistensi ibu yang

menurun.
3) Faktor psikologis, meliputi pengetahuan, sikap, umur, paritas,

pekerjaan, stress, peningkatan hormon progesteron, estrogen dan

HCG, alergi, infeksi dan diabetes melitus.

2. Stress

a. Pengertian Stress

Stress merupakan istilah yang berasal dari bahasa latin

“stingere” yang berarti keras. Istilah ini mengalami perubahan seiring

dengan perkembangan penelahaan yang berlanjut dari waktu ke

waktu dari straise, strest, stresce dan stress. Selanjutnya istilah ini

digunakan dengan lebih menunjukkan kekuatan, tekanan, ketegangan

atau usaha keras yang berpusat pada benda dan manusia terutama

kekuatan mental manusia (Yosep, 2007 hal 64).

Menurut Mc Nerney dalam Yosep (2007 hal 64)

menyebutkan stress sebagai reaksi fisik, mental dan kimiawi dari

tubuh terhadap situasi yang menakutkan, membingungkan,

membahayakan dan merisaukan seseorang. Hardjana dalam Yosep

(2007 hal 64) menyebutkan bahwa stress sebagai keadaan atau

kondisi yang tercipta bila transaksi seseorang yang mengalami stress

dan hal yang dianggap mendatangkan stress membuat orang yang

bersangkutan melihat ketidaksepadanan antara keadaan atau kondisi

dan system sumber daya biologis, psikologis dan social yang ada

padanya. Tubuh akan memberikan reaksi tertentu terhadap berbagai

tantangan yang dijumpai


dalam kondisi stress ini berdasarkan adanya perubahan biologi dan

kimia dalam tubuh.

b. Penyebab Stress

Yosep ( 2007 hal 65) menjelaskan stressor psikososial adalah

setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam

kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan

adaptasi atau menganggulangi stressor yang timbul. Namun

demikian, tidak semua mampu mengadakan adaptasi dan mampu

menganggulanginya, sehingga timbullah keluhan-keluhan kejiwaan

antara lain depresi. Jenis stressor psikososial pada umumnya dapat

digolongkan sebagai berikut:

1) Perkawinan

Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber stress

yang dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perpisahan,

perceraian, kematian salah satu pasangan, ketidaksetiaan dan lain

sebagainya. Stressor ini dapat menyebabkan seseorang jatuh

dalam depresi dan kecemasan.

2) Problem orangtua

Permasalahan yang dihadapi orangtua, misalnya tidak punya

anak, kebanyakan anak, kenakalan anak, anak sakit.

Permasalahan tersebut di atas merupakan sumber stress yang

pada gilirannya dapat jatuh dalam depresi dan kecemasan.


3) Hubungan interpersonal

Gangguan ini dapat berupa hubungan dengan kawan dekat yang

mengalami konflik, misal dengan kekasih, atasan dengan

bawahan dan lain sebagainya.

4) Pekerjaan

Masalah pekerjaan merupakan sumber stress kedua setelah

masalah perkawinan. Banyak orang menderita depresi dan

kecemasan karena masalah pekerjaan, misalnya pekerjaan terlalu

banyak, pekerjaan tidak cocok, mutasi, jabatan, kenaikan

pangkat, pensiun, kehilangan pekerjaan dan lain sebagainya.

5) Lingkungan hidup

Kondisi lingkungan yang buruk besar pengaruhnya bagi

kesehatan seseorang misalnya soal perumahan, pindah tempat

tinggal, penggusuran, hidup dalam lingkungan yang rawan dan

lain sebagainya.

6) Keuangan

Masalah keuangan yang tidak sehat, misalnya pendapatan jauh

lebih rendah dari pengeluaran, terlibat utang, kebangkrutan usaha,

soal warisan dan sebagainya.

7) Hukum

Keterlibatan seseorang dalam masalah hukum dapat merupakan

sumber stress pula, misalnya tuntutan hukum, pengadilan, penjara

dan lain sebagainya.


8) Perkembangan

Perkembangan yang dimaksud disini adalah masalah

perkembangan baik fisik maupun mental seseorang, misalnya

masa remaja, masa dewasa, menopause, usia lanjut dan

sebagainya.

9) Penyakit fisik atau cidera

Sumber stress yang dapat menimbulkan depresi dan kecemasan di

sini antara lain penyakit, kecelakaan, operasi, aborsi dan lain

sebagainya.

10) Faktor keluarga

Faktor keluarga yang dimaksud disini adalah faktor stress yang

dialami oleh anak dan remaja yang disebabkan karena kondisi

keluarga yang tidak baik

Stuart (2006 hal 102) menyebutkan terdapat empat macam

sumber utama pencetus stress, yaitu :

1) Kehilangan keterikatan, yang nyata atau yang dibayangkan,

termasuk kehilangan cinta seseorang, fungsi fisik, kedudukan

atau harga diri.

2) Peristiwa besar dalam kehidupan sering dilaporkan sebagai

pendahulu episode depresi dan mempunyai dampak terhadap

masalah-masalah yang dihadapi sekarang dan kemampuan

menyelesaikan masalah.

3) Peran dan ketegangan peran dilaporkan mempengaruhi

perkembangan depresi, terutama pada wanita.


4) Perubahan fisiologik yang diakibatkan oleh obat-obatan atau

berbagai penyakit fisik, seperti infeksi, neoplasma dan gangguan

keseimbangan metabolik, dapat menyebabkan gangguan dalam

perasaan. Diantara obat-obatan tersebut terdapat obat

antihipertensi dan zat yang menyebabkan kecanduan.

c. Tahapan stress

Gangguan stress biasanya timbul secara perlahan, tidak jelas

kapan mulainya dan seringkali kita tidak menyadarinya. Berdasarkan

pengalaman praktik psikiatri, para ahli mencoba membagi stress

dalam enam tahapan. Setiap tahapan memperlihatkan sejumlah

gejala-gejala yang dirasakan oleh yang bersangkutan, hal mana

berguna bagi seseorang dalam rangka mengenali gejala stress

sebelum memeriksanya. Tahapan stress menuurt Robert J. Van

Amberg dalam Yosep (2007 hal 67) sebagai berikut :

1) Stress tingkat I

Tahapan ini merupakan tingkat stress yang ringan, dan biasanya

disertai dengan perasaan-perasaan sebagai berikut :

a) Semangat besar

b) Penglihatan tajam tidak sebagaimana biasanya

c) Energi dan gugup berlebihan, kemampuan menyelesaikan

pekerjaan lebih dari biasanya.


2) Stress tingkat II

Dalam tahapan ini dampak stress yang menyenangkan mulai

menghilang dan timbul keluhan-keluhan dikarenakan cadangan

energi tidak cukup lagi sepanjang hari. Keluhan-keluhan yang

dikemukakan sebagai berikut :

a) Merasa letih sewaktu bangun pagi

b) Merasa lelah sesudah makan siang

c) Merasa lelah menjelang sore hari

d) Terkadang gangguan dalam system pencernaan, kadang-

kadang pula jantung berdebar-debar.

e) Perasaan tegang pada otot-otot punggung dan tengkuk

f) Perasaan tidak bisa mati

3) Stress tingkat III

Pada tahapan ini keluhan keletihan semakin nampak disertai

dengan gejala-gejala :

a) Gangguan usus lebih terasa (sakit perut, mulas, sering ingin

ke belakang).

b) Otot-otot terasa lebih tegang

c) Perasaan tegang yang semakin meningkat

d) Gangguan tidur (sukar tidur, sering terbangun malam dan

sukar tidur kembali, atau bangun terlalu pagi)

e) Badan terasa oyong, rasa-rasa mau pingsan (tidak sampai

jatuh pingsan).
4) Stress tingkat IV

Tahapan ini sudah menunjukkan keadaan yang lebih buruk yang

ditandai dengan cirri-ciri sebagai berikut :

a) Untuk bisa bertahan sepanjang hari terasa sangat sulit

b) Kegiatan-kegiatan yang semula menyenangkan kini terasa sulit

c) Kehilangan kemampuan untuk menanggapi situasi, pergaulan

social, dan kegiatan-kegiatan rutin lainnya terasa berat.

d) Tidur semakin sukar, mimpi-mimpi menegangkan dan

seringkali terbangun dini hari.

e) Perasaan negativistik

f) Kemampuan berkonsentrasi menurun tajam

g) Perasaan takut yang tidak dapat dijelaskan, tidak mengerti

mengapa.

5) Stress tingkat V

Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih mendalam dari tahapan

IV diatas, yaitu :

a) Keletihan yang mendalam

b) Untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana saja terasa kurang

mampu

c) Gangguan sistem percernaan lebih sering, sukar buang air

besar atau sebaliknya feses cair dan sering ke belakang.

d) Perasaan takut yang semakin menjadi, mirip panik

.
6) Stress tingkat VI

Tahapan ini merupakan tahapan puncak yang merupakan keadaan

gawat darurat. Tidak jarang dalam tahapan ini dibawa ke ICCU.

Gejala-gejala pada tahapan ini cukup mengerikan :

a) Debar jantung terasa amat keras, hal ini disebabkan zat

adrenalin yang dikeluarkan, karena stress tersebut cukup

tinggi dalam peredaran darah.

b) Nafas sesak, megap-megap

c) Badan gemetar, tubuh dingin, keringat bercucuran

d) Tenaga untuk hal-hal ringan sekalipun tidak kuasa lagi,

pingsan atau collaps.

d. Pengelolaan Stress

Pengelolaan stress dapat dilakukan dengan menggali sumber-

sumber koping meliputi status sosioekonomi, keluarga, jaringan

interpersonal, dan organisasi sekunder yang dinaungi oleh

lingkungan sosial yang lebih luas. Kurangnya sumber personal

tersebut menambah stress bagi individu (Stuart, 2006 hal 103).

Reaksi berduka yang tertunda mencerminkan penggunaan

ekspresi dari mekanisme pertahanan penyangkal dan supresi yang

berlebihan dalam upayanya untuk menghindari distres hebat yang

berhubungan dengan berduka (Stuart, 2006 hal 103).


e. Pengukuran stress

Pengukuran stress dalam penelitian ini menggunakan

kuesioner DASS 42 berdasarkan reaksi fisik, mental dan kimiawi dari

tubuh terhadap situasi yang menakutkan, membingungkan,

membahayakan dan merisaukan responden. DASS yang merupakan

kependekan dari Depression anciety stress scale merupakan salah

satu alat ukur yang digunakan untuk mengukur stres. Pengukuran

DASS terdiri dari 4 skala yaitu tidak pernah, kadang-kadang, sering

dan selalu yang diberikan skor dari 0,1,2 dan 3. Pengkategorian stres

berdasarkan DASS 42 terdiri dari ringan( 0-42), sedang (42-84),

berat (> 84).


B. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian teori di atas, maka kerangka teori penelitian ini

adalah sebagai berikut :

Faktor predisposisi :

primigravida
molahidatidosa
kehamilan ganda
Hiperemesis Gravidarum

Faktor organik
Alergi
Perubahan metabolik

Faktor psikologis :
pengetahuan
sikap
umur
paritas
pekerjaan
stress
peningkatan hormon progesteron
Keterangan : estrogen dan hCG,

Cetak tebal : diteliti

Gambar 2. 1 Kerangka Teori

Sumber : Mitayani, 2009


C. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel Terikat

Stres Hiperemesis
Gravidarum

Gambar 2. 2 Kerangka Konsep

D. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan antara tingkat stres dengan kejadian hiperemesis gravidarum

pada ibu hamil trimester I di BPS Ny. Sayidah Kendal.


DAFTAR PUSTAKA

1. Andreou,E. Alexopoulos, E.C. Lionis, C. Varvogli, L. Gnardellis, C. Chrousos,


G.P,Darviri, C. (2011)Perceived Stress Scale: Reliability and Validity Study in
Greece. Int. J. Environ. Res. Public Health.

2. Arginia Della Octaviadon. 2011. Hubungan Dukungan Suami terhadap Kehamilan


dengan Kejadian Hyperemesis Gravidarum. Surakarta

3. Aril Cikal Yasa Ar. 2012. Hubungan Antara Karakteristik Ibu Hamil Dengan
Kejadian Hiperemesis Gravidarum Di Rsud Ujungberung Pada Periode 2010-2011.
Bandung. http://elibrary.unisba.ac.id/files2/Skr.12.00.10854.pdf

4. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu pendekatan praktik. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

5. Chadolirotul, M. 2012. Hubungan Paritas dan Umur Ibu dengan Anemia pada ibu
hamil trimester III. Semarang

6. Cohen S, Kamarck T, Mermelstein R. A global measure of perceived stress. J. Health


Soc. Behav. 1997

7. Denise. 2008. Mual dan Muntah Kehamilan. Jakarta : EGC.

8. Dewi S. 2012. Hubungan umur dan paritas ibu dengan berat bayi lahir di RB citra
insane. Semarang

9. Guyton A.C., Hall J.E. 2006. Buku Ajar. Fisiologi Kedokteran Edisi 11.Jakarta: EGC,

10. Hanifa. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Anda mungkin juga menyukai