Anda di halaman 1dari 8

World Health Organization Journal

Defining etichal standards for the application of digital tools to population


health research
Gabrielle Samuela & Gemma Derrickb

Dibacakan
Oleh:

Giovanni Reinaldo Semet

17014101041

Masa KKM : 13 April – 3 Mei 2020

Dosen Pembimbing:
dr. Windi M.V Wariki, Msc, PhD

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2020
LEMBAR PENGESAHAN

World Health Organization Journal


Ilmu Kedokteran Komunitas
Dengan Judul:

Defining etichal standards for the application of digital tools to population


health research
Gabrielle Samuela & Gemma Derrickb

Dibacakan
Oleh:

Giovanni Renaldo Semet

17014101041

Masa KKM : 13 April – 3 Mei 2020

Telah dibacakan dan disetujui pada tanggal April 2020

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Windi M.V Wariki, Msc, PhD


MENENTUKAN STANDAR ETIK UNTUK APLIKASI ALAT DIGITAL PADA
PENELITIAN KESEHATAN POPULASI

Samuel G & Derrick G.

Abstrak

Minat dalam penelitian kesehatan populasi semakin meningkat, yang menggunakan metode
berdasarkan kecerdasan buatan (artificial intelligence). Penelitian tersebut mengacu pada serangkaian
data klinis dan non-klinis untuk membuat prediksi mengenai risiko kesehatan, seperti mengidentifikasi
epidemi dan memantau penyebaran penyakit. Sebagian besar penelitian tersebut menggunakan data
dari media sosial di domain publik atau data kesehatan sekunder anonim, sehingga dibebaskan dari
pengawasan komite etik. Sementara penggunaan etik dan regulasi penelitian berbasis digital telah
dibahas, hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada tata kelola etik (ethics governance) penelitian
tersebut di lembaga perguruan tinggi dalam bidang kesehatan populasi. Tata kelola tersebut sangat
penting untuk pengambilan keputusan etik oleh peneliti dan memberikan jaminan kepada masyarakat
bahwa para peneliti bertindak secara etik. Penulis mengajukan proses tata kelola etik untuk penelitian
kesehatan populasi di lembaga perguruan tinggi. Pendekatan tersebut dilakukan dalam bentuk tinjauan
setelah penelitian selesai, dengan fokus khusus pada peran algoritma kecerdasan buatan dalam
menambah pengambilan keputusan. Lapisan pertama tinjauan dapat berupa repositori open-science
nasional untuk algoritma open-source dan data atau informasi yang terafiliasi yang dikembangkan
selama penelitian. Lapisan kedua adalah validasi khusus sektor dari proses penelitian dan algoritme
oleh komite akademik dan pemangku kepentingan dengan berbagai keahlian lintas disiplin. Komite
dapat dibentuk sebagai bagian dari badan pengawas nasional yang sudah berfungsi atau organisasi
pengkajian teknologi kesehatan. Penulis menggunakan studi kasus praktik yang baik untuk
mengeksplorasi bagaimana proses ini dapat beroperasi.

Pendahuluan

Salah satu pendiri (co-founder) wadah pemikir independen DataEthics menemukan bahwa,
“etika data bersifat modis.” Hal ini benar : perhatian internasional di sektor swasta dan publik terfokus
pada implikasi etik menggunakan data digital dan kecerdasan buatan di bidang kesehatan dan non-
kesehatan. Pengawasan tersebut mencakup pertanyaan seputar tata kelola data, minimalisasi data
(hanya mengumpulkan dan mengolah data yang dibutuhkan untuk tujuan tertentu) dan melindungi
privasi subyek data; pertimbangan persetujuan dan kepercayaan; kekhawatiran terkait dengan
akuntabilitas data, transparansi, dan penjelasan; serta masalah yang berkaitan dengan kejujuran,
keadilan dan bias dalam rangkaian data. Meskipun demikian, harus diperhatikan bahwa diskusi
mengenai bagaimana memperbarui tata kelola etik di lembaga perguruan tinggi sangat sedikit untuk
bergerak menuju pemahaman bersama tentang praktik terbaik etik untuk penelitian yang
menggunakan data digital. Di sektor publik, tata kelola etik dalam lembaga perguruan tinggi
merupakan pusat cara peneliti mengambil keputusan mengenai nilai etika, dan membentuk norma dari
hal-hal yang dianggap dapat diterima secara etik oleh seluruh komunitas penelitian. Tata kelola etik
juga meyakinkan publik bahwa para peneliti yang didanai publik bertindak secara etik dan bahwa
lembaga perguruan tinggi dapat dipercaya. Jaminan ini bahkan lebih penting dalam bidang penelitian
kesehatan masyarakat, di mana risiko terhadap masyarakat, dalam hal prediksi yang dapat
menyebabkan pengawasan kesehatan yang berlebihan atau ketidakadilan, sangat tinggi.

Perilaku etis dalam penelitian pendidikan tinggi berarti memastikan kepatuhan terhadap
pemahaman bersama mengenai praktik-praktik peneliti yang tepat selama proses penelitian dari awal
hingga diseminasi dan seterusnya. Penulis sebelumnya berpendapat bahwa perilaku tersebut diperkuat
melalui proses informal yang diatur oleh penelitian, disebut sebagai ekosistem etik. Ekosistem etik
adalah jaringan peneliti, lembaga penelitian, dan lembaga eksternal yang saling berkaitan (penerbit,
lembaga pendanaan, asosiasi profesional, dan kebijakan mereka) yang berpartisipasi secara setara
dalam promosi, evaluasi, dan penegakan perilaku penelitian yang bertanggung jawab secara etik.
Namun, perkembangan ekosistem etik yang stabil di lembaga perguruan tinggi semakin menantang
dalam bidang penelitian yang menggunakan metode inovatif seperti kecerdasan buatan. Hal ini terjadi
karena masih terdapat pertanyaan mengenai bagaimana mengelola, mengolah dan menginterpretasikan
prediksi data dengan cara yang bertanggung jawab secara etik. Oleh karena itu, tidak ada norma dan
pemahaman bersama mengenai bagaimana melakukan penelitian semacam itu secara etis; alat
tradisional untuk memastikan perilaku penelitian etik yang hanya berfokus pada persetujuan dan
privasi kehilangan relevansi karena tidak cukup untuk menangani berbagai masalah etik yang diangkat
oleh penelitian digital. Karena peneliti berusaha untuk mencapai pemahaman baru mengenai praktik
etik, muncul budaya etika pribadi, di mana peneliti memantau keputusan mereka sendiri (seringkali
berbeda) mengenai cara terbaik untuk bertindak secara etik, tanpa menjadi subjek dari akuntabilitas
atau audit oleh bagian lain dari ekosistem etik.

Dalam keadaan normal, komite etik penelitian di lembaga perguruan tinggi ditugaskan dengan
peran memastikan praktik etik terbaik untuk semua penelitian yang melibatkan peserta manusia.
Namun, setidaknya di Inggris dan Irlandia Utara, sebagian besar penelitian kesehatan, yang
menggunakan metode berbasis kecerdasan buatan untuk menganalisis data dibebaskan dari
pengawasan komite. Praktek ini terutama berlaku untuk metode penelitian, yang memasukkan
penggunaan, sebagai contoh, data media sosial dalam domain publik, data geolokasi dan data
kesehatan sekunder anonim yang ditandatangani oleh perjanjian lisensi. Kurangnya pengawasan etik
ini diperparah oleh pedoman etik yang tidak konsisten untuk menerbitkan penelitian tersebut dalam
jurnal internasional yang telah menjalani peer-review.

Minat dalam penelitian kesehatan populasi semakin meningkat, yang menggunakan metode
berbasis kecerdasan buatan. Penelitian tersebut mengacu pada berbagai data klinis dan non-klinis
untuk membuat prediksi mengenai risiko kesehatan, seperti identifikasi epidemi dan pemantauan
penyebaran penyakit. Setiap alat kesehatan masyarakat yang menggunakan data tersebut berpotensi
dikembangkan tanpa pengawasan etik sistematis oleh lembaga perguruan tinggi, dan (berpotensi)
sedikit refleksi terhadap kepentingan publik atau risiko yang menyertai terkait dengan pembuatan
prediksi kesehatan dari alat tersebut. Bahkan ketika komite etik penelitian melakukan pengawasan,
penulis menemukan bahwa anggota komite sering tidak memiliki pengalaman atau kurang percaya
diri mengenai isu tertentu yang berkaitan dengan penelitian digital. Untuk mengatasi kesenjangan
tersebut, penulis mengajukan model untuk pengawasan etik pada penelitian berbasis kecerdasan
buatan dalam kesehatan masyarakat.

Pendekatan Terhadap Pengawasan Etik


Komentator baru-baru ini mulai menegaskan kebutuhan kerangka kerja yang lebih disepakati
untuk tata kelola etik di lembaga perguruan tinggi. Kesadaran akan isu tersebut terdorong hingga batas
tertentu oleh contoh internasional baru-baru ini mengenai perilaku etik yang tidak pantas oleh seorang
peneliti di sebuah lembaga perguruan tinggi Inggris. Peneliti merancang perangkat lunak yang
digunakan oleh perusahaan konsultan untuk mengakses data pribadi dari jutaan pengguna media sosial
tanpa persetujuan pengguna tersebut dan yang digunakan untuk tujuan periklanan politik. Namun,
masih terdapat pertanyaan mengenai bagaimana kerangka kerja tata kelola etik dalam praktiknya, dan
bagaimana, di beberapa yurisdiksi, sistem tersebut akan melindungi dari pembuangan etik
(mengekspor praktik penelitian yang tidak etis, sebagai contoh, pengolahan data yang tidak etis) ke
negara dimana pengawasan komite etik penelitian sangat kurang.

Pendekatan terhadap pengawasan etik, yang difokuskan dalam makalah ini, dapat menjadi
lapisan tambahan tata kelola dalam ekosistem etik setelah penelitian telah dilakukan, yaitu tinjauan
ex-post. Pendekatan ini akan sangat penting ketika penelitian melibatkan algoritme berbasis
kecerdasan buatan, yang memiliki peran dalam penambahan pengambilan keputusan. Hal ini
disebabkan karena sejumlah besar masalah etik yang disuarakan mengenai teknologi tersebut
berkaitan dengan dampaknya terhadap masyarakat, bukan terhadap pertanyaan seputar penelitian itu
sendiri. Seperti yang didiskusikan di bawah ini, sistem akan analog dengan persetujuan pra-pasar
dalam regulasi obat. Seperti regulasi obat yang bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat
dengan memastikan keamanan dan efikasi obat, tinjauan ex-post juga dapat mengurangi bahaya
masyarakat yang berpotensi timbul dari algoritma berbasis kecerdasan buatan yang dirancang untuk
membuat prediksi mengenai kesehatan. Proses peninjauan akan menjaga kesehatan masyarakat
dengan meminimalisir risiko kerusakan yang disebabkan, misalnya, dengan menempatkan
ketergantungan yang berlebihan terhadap kecerdasan buatan untuk pengambilan keputusan dalam
kasus di mana hal tersebut berpotensi membuat prediksi yang tidak akurat atau tidak jujur. Contoh
bahaya tersebut telah dilaporkan di sektor lain, dan dalam sektor kesehatan kegagalan Google Flu
Trends mengingatkan kita untuk berhati-hati mengenai klaim yang dibuat untuk kecerdasan buatan.
Dalam hal ini, sebuah algoritma dikembangkan oleh Google untuk memprediksi wabah influenza dari
analisis pencarian orang untuk informasi yang dianggap berkaitan dengan influenza di mesin
pencarian online Google. Algoritma tersebut melewatkan puncak influeza tahun 2013 di Amerika
Serikat karena istilah pencarian yang digunakan dalam konstruksi algoritma memproduksi hasil
prediksi yang tidak akurat.

Subyek tinjauan ex-post untuk pengawasan penggunaan kecerdasan buatan dalam penelitian
sedang didiskusikan dalam literatur. Komentator menyerukan ombudsperson kecerdasan buatan untuk
memastikan audit atas penggunaan intelijen buatan yang diduga tidak jujur atau tidak adil. Salah satu
metode yang diusulkan adalah adopsi label kepercayaan, dideskripsikan sebagai label, yang menjamin
kepercayaan algoritma, untuk memastikan orang memahami manfaat metode berbasis kecerdasan
buatan. Metode lain berbicara mengenai sistem perizinan potensial untuk memastikan kontrol kualitas,
analog dengan perizinan di sejumlah besar sektor lain, seperti dalam produksi dan manufaktur.

Terdapat keraguan bahwa setiap sistem tata kelola expost dapat mengatasi sejumlah besar
kendala yang dibutuhkan untuk mencakup berbagai bidang penelitian digital yang lebih umum.
Meskipun demikian, pendekatan sektor spesifik dan spesifik disiplin, terutama dalam penelitian
kesehatan, yang telah terbiasa dengan pengawasan dan regulasi tersebut, tampaknya layak di tingkat
nasional. Karena lembaga perguruan tinggi mulai memiliki peran dalam mempromosikan peran
sosialnya, pengawasan penelitian berbasis kecerdasan buatan sejalan dengan prinsip terbaru yang
mendasari praktik penelitian dan inovasi yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, penulis meyakini
bahwa peneliti tidak dapat mundur dari tanggung jawab untuk memastikan sistem tersebut ditetapkan
sebagai bagian dari ekosistem etik lembaga perguruan tinggi.
Model Tinjauan yang Diajukan

Model tinjauan ex-post yang diajukan bukan produk akhir, tetapi titik awal untuk mendorong
diskusi dalam kesehatan masyarakat nasional dan komunitas penelitian yang lebih luas menuju
komitmen untuk melakukan pendekatan tersebut atau pendekatan serupa. Model ini berlapis dua,
dengan tinjauan ex-post bekerja pada lapisan kedua, meskipun sistem ini berpotensi hanya dapat
bekerja dengan lapisan kedua.

Lapisan pertama tinjauan akan membutuhkan infrastruktur open science dan sistematik untuk
repositori nasional terpusat untuk algoritma open-source dan data atau informasi yang terafiliasi yang
dikembangkan selama proses penelitian, ditujukan untuk penggunaan secara luas di luar studi
penelitian, terutama untuk pengambilan keputusan. Repositori ini dapat bersifat spesifik untuk
kesehatan atau non-kesehatan, meskipun repositori non kesehatan akan lebih layak karena perbedaan
antara penelitian kesehatan dan non-kesehatan mungkin tidak jelas dan tidak didefinisikan dengan
baik dalam lembaga perguruan tinggi. Budaya open science dan berbagi inovasi sudah dipromosikan
secara nasional dan internasional, dan memperluas kewenangannya untuk algoritma dan alur kerja
serta perangkat lunak terkait bukanlah tugas yang menakutkan.

Setiap repositori open science harus dikelola, dikuratori, dan didorong oleh lembaga perguruan
tinggi dan lembaga pendanaan, dengan insentif yang jelas untuk kepatuhan. Sebagai contoh, untuk
mengembangkan praktik terbaik, harus terdapat persyaratan untuk algoritma dan data yang terafiliasi
untuk ditempatkan dalam repositori, seperti halnya untuk data penelitian di sejumlah besar yurisdiksi.
Penulis berasumsi bahwa dalam beberapa kasus akses data harus dibatasi untuk pemangku
kepentingan tertentu, untuk set data dan keadaan tertentu. Sementara lapisan pertama ini bukan suatu
kebutuhan untuk lapisan tinjauan ex-post kedua, penulis meyakini bahwa terdapat keuntungan untuk
membuat algoritma kecerdasan buatan dan data yang terafiliasi lebih mudah diakses. Repositori open
science menciptakan cara bagi peneliti dan pemangku kepentingan lain untuk menguji algoritme
dengan datanya sendiri, memeriksa prediksi palsu dan menyoroti kekhawatiran atau masalah, yang
mungkin ditemukan dalam model prediksi kecerdasan buatan. Budaya terbuka ini akan memiliki efek
tambahan dalam mendorong inovasi, karena model ini dapat diperbaiki dan dibangun untuk mencapai
prediksi yang lebih baik untuk masa depan.

Lapisan kedua proses tinjauan ex-post adalah validasi spesifik sektor dari proses penelitian dan
algoritma. Pendekatan spesifik sektor juga disarankan di tempat lain, dan masuk akal karena
kelayakan dan kemampuan pendekatan ini untuk mengakomodasi kebutuhan spesifik sektor
kesehatan. Mnfaat tersebut berarti bahwa proses peninjauan dapat mengatasi beberapa keraguan yang
muncul mengenai sistem tata kelola ex-post secara umum, yang akan sulit untuk diterapkan di
berbagai sektor. Pendekatan spesifik sektor juga cukup masuk akal karena sistem regulasi biasanya
bersifat spesifik untuk sektor tertentu. Pertimbangkan penggunaan uji DNA (asam deoksiribonukleat),
misalnya, yang diatur secara berbeda dalam sistem peradilan pidana dibandingkan dalam layanan
kesehatan dan bahkan masyarakat yang lebih luas. Tinjauan ex-post akan bekerja paling baik jika
memasukkan produk penelitian, tidak hanya dari lembaga perguruan tinggi, tetapi juga organisasi
sektor swasta. Penulis mengajukan inklusi tersebut karena sejumlah besar penelitian yang dimaksud
sedang dilakukan di sektor swasta dan algoritma kecerdasan buatan yang dikembangkan di dunia
akademis sering membutuhkan investasi sektor swasta agar layak untuk penggunaan publik yang lebih
luas.
Saran untuk Implementasi

Sistem analog tinjauan ex-post algoritma prediksi inovatif sudah tersedia di sektor lain. Sebagai
contoh, di Belanda, tinjauan ex-post adalah persyaratan hukum untuk penggunaan phenotyping DNA
forensik dalam sistem peradilan pidana. Saat ini, jika petugas penegak hukum memiliki sampel DNA
dengan asal yang tidak diketahui dari tempat kejadian perkara, mereka dapat melakukan pemeriksaan
DNA (dalam keadaan tertentu) sedemikian rupa sehingga membuat prediksi mengenai karakteristik
tertentu yang terlihat secara eksternal dari orang yang memiliki DNA tersebut. Undang-undang
mengizinkan petugas penegak hukum untuk hanya menggunakan pemeriksaan yang telah divalidasi
dan ditinjau dan, saat ini, undang-undang tersebut mencakup pengujian fenotipe warna rambut dan
mata. Untuk setiap model uji fenotipe baru yang dipertimbangkan untuk digunakan, sistem ini
membutuhkan peneliti untuk mempublikasikan model yang telah divalidasi secara terbuka sebagai
serangkaian makalah (serupa dengan lapisan 1 dari model di atas). Makalah tersebut kemudian
diserahkan ke parlemen Belanda untuk peninjauan dan pemeriksaan apakah model tersebut telah
divalidasi dengan tepat untuk penggunaan dalam sistem peradilan pidana. Oleh karena itu, parlemen
berfungsi sebagai ombudsman untuk memberikan tinjauan ex-post spesifik sektor atas model
pengujian untuk memastikan sains yang mendasarinya ketat dan divalidasi.

Dalam lingkup kesehatan masyarakat, tinjauan ex-post dapat dilakukan oleh komite yang terdiri
dari akademisi dan pemangku kepentingan (seperti orang awam, profesional atau pengguna teknologi)
dengan berbagai keahlian lintas disiplin ilmu, termasuk tetapi tidak terbatas pada kesehatan,
kedokteran, penelitian kecerdasan buatan, ilmu sosial dan etik. Tujuan komite adalah untuk
mengurangi risiko potensi bahaya, yang dapat disebabkan oleh teknologi sebanyak mungkin dengan :
meninjau pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan asal dan kualitas data, algoritma dan kecerdasan
buatan; mengkonfirmasi langkah validasi yang telah dilakukan untuk memastikan model prediksi
tersebut berfungsi; dan meminta validasi lanjutan untuk dilakukan, jika dibutuhkan. Penilaian risiko
ini dapat berkembang lebih cepat ketika peneliti telah melakukan penilaiannya sendiri mengenai
dampak sosial dari penelitian yang dilakukan. Seperti yang disarankan di makalah lain, pendekatan ini
juga dapat mempertimbangkan integritas data peserta yang digunakan dalam penelitian, dan
pertanyaan yang lebih luas mengenai keadilan sosial serta nilai ketika berlaku untuk yurisdiksi
nasional tertentu. Komite hanya dapat meninjau atau memvalidasi penelitian, memiliki peran yang
lebih mengatur atau mengawasi uji coba alat penelitian; dengan cara ini komite akan bertindak sebagai
ombudsperson kecerdasan buatan seperti yang dibahas di atas. Komite juga mungkin diminta untuk
memiliki peran regulasi yang dinamis, terutama untuk algoritma dengan kinerja yang berkembang
seiring pertambahan data ke dalam sistem. Namun, pertanyaan seputar parameter mengenai
bagaimana peran regulasi terseut dapat dipraktikkan masih harus dijawab, salah satu saran adalah
perizinan sementara. Salah satu contoh dari pendekatan tersebut dalam pembuatan adalah kelompok
International Telecommunication Union dan World Health Organization yang difokuskan pada
kecerdasan buatan dan kesehatan, yang bekerja menuju pengumpulan repositori data untuk menguji
teknologi kecerdasan buatan untuk kesehatan dalam kerangka standar benchmarking.

Di tingkat nasional, pembentukan komite khusus mungkin memberatkan dalam hal


memperlambat proses penelitian karena membutuhkan elemen tambahan dalam ekosistem etik.
Meskipun demikian, penulis berpendapat bahwa memiliki sistem tata kelola etik ketika penelitian
berpotensi memiliki dampak besar terhadap kesehatan masyarakat sangat penting. Biaya dapat
diminimalisir dengan merampingkan proses penelitian. Untuk menambah kapasitas, misalnya, komite
dapat dibentuk sebagai bagian dari pengawasan nasional yang sudah berfungsi atau organisasi
pengkajian teknologi kesehatan. Organisasi yang relevan akan bergantung pada fungsi komite yang
tepat di setiap yurisdiksi. Sebagai contoh, di Inggris, kandidat yang sesuai antara lain adalah National
Institute for Health and Care Excellence, Medicines and Healthcare products Regulatory Agency atau
Centre for Data Ethics and Innovation yang baru didirikan. Semua organisasi tersebut sedang dalam
proses menghasilkan pedoman mengenai tanggung jawab penggunaan kecerdasan buatan dalam
layanan kesehatan. Bahkan, United States Food and Drug Administration dan European Medicines
Agency, yang sudah mengatur penggunaan narkoba di wilayah masing-masing melalui tinjauan ex-
post, dipanggil untuk memenuhi peran tersebut untuk mengawasi perangkat medis yang menggunakan
kecerdasan buatan di layanan kesehatan. Oleh karena itu, penambahan divisi tambahan untuk
memfokuskan secara khusus pada tinjauan ex-post penelitian berbasis kecerdasan buatan dalam
domain kesehatan masyarakat sangat layak dilakukan. Badan pengatur yang ada mungkin menjadi
kandidat yang paling sesuai untuk peran tersebut, dan lembaga Eropa dan Inggris saat ini sudah mulai
memperkenalkan langkah-langkah untuk meneliti perangkat lunak medis. Langkah tersebut antara lain
adalah pedoman klarifikasi untuk perangkat medis sehubungan dengan data digital dan perangkat
lunak, dan memberikan rekomendasi untuk standarisasi kecerdasan buatan di sektor perangkat medis
layanan kesehatan. Food and Drug Administration saat ini telah menyetujui penggunaan kecerdasan
buatan pertama untuk mendiagnosis penyakit mata. Batasan yang tidak jelas mengenai apa yang
merupakan perangkat medis, dapat meninggalkan beberapa algoritma spesifik kesehatan populasi di
luar wewenang organisasi tersebut. Selain itu, algoritma bersifat spesifik konteks dan populasi dan
akan membutuhkan validasi di setiap yurisdiksi nasional.

Bersama-sama, infrastruktur nasional, yang menggabungkan tinjauan ex-post untuk algoritma


berbasis kecerdasan buatan yang dirancang untuk aplikasi kesehatan dapat mulai menyeimbangkan
kembali ekosistem etik. Dengan cara ini, negara akan memulai proses pengembangan pemahaman
baru mengenai praktik etik terbaik untuk penelitian kesehatan masyarakat berbasis kecerdasasan
buatan. Dalam praktik terbaik tersebut, penelitian terkait kecerdasan buatan akan diteliti secara
terbuka sebelum aplikasi apa pun yang memengaruhi masyarakat luas disebarluaskan dan digunakan,
untuk meminimalisir sebanyak mungkin potensi sistem yang dapat membahayakan. Apakah penelitian
kesehatan berbasis kecerdasan buatan terus menghasilkan masalah etik baru atau menjadi hanya satu
metode lagi dalam kotak alat peneliti, kita harus berhati-hati untuk menghindari konsekuensi yang
tidak diinginkan dari penelitian data dalam jumlah besar.

Diterjemahkan dari :

Samuel G & Derrick G.Defining ethical standards for the application of digital tools to population
health research. Bull World Health Organ 2020;98:239–244.

Anda mungkin juga menyukai