Anda di halaman 1dari 9

Giovanni R Semet

17014101041

Kehamilan PostTerm

Definisi Kehamilan Postterm

Kehamilan postterm disebut juga kehamilan serotinus, kehamilan lewat waktu, kehamilan lewat bulan, prolonged
pregnancy, extended pregnancy, postdate/ post datisme atau pascamaturitas.

Menurut WHO 1977 kehamilan postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang
terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT) menurut rumus Naegele dengan siklus haid rata-rata 28
hari.

Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan
postterm adalah kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama
siklus haid terakhir (HPHT).

Masalah yang sering terjadi dalam menegakkan diagnosisi kehamilan postterm adalah penentuan usia kehamilan
berdasarkan HPHT seringkali tidaklah mudah, karena ibu tidak ingat kapan tanggal HPHT yang pasti, selain itu
penentuan saat ovulasi yang pasti juga tidak mudah, terdapat pula faktor-faktor yang mempengaruhi perhitungan:
variasi siklus haid, kesalahn perhitungan oleh ibu dan sebagainya. Dengan adanya pemeriksaan USG terutama pada
trisemester I, usia kehamilan dapat ditentukan lebih tepat , dengan penyimpanagn hanya lebih atau kurang satu
minggu.

B. Insiden Kehamilan Postterm

Angka kejadian kehamilan lewat waktu bervariasi antara 4%-14% dengan rata- rata sebesar 10%. Hal ini sangat
tergantung kepada kriteria yang digunakan untuk mendiagnosis (Bakketeig and Bergasjo, 1991).

Sedangkan kepustakaan lainnya menyatakan bahwa perbedaan yang lebar juga disebabkan oleh karena adanya
perbedaan dalam menentukan usia kehamilan. Sebanyak 10% ibu lupa tanggal haid terakhirnya sehingga terjadi
kesukaran dalam menentukan secara tepat saat ovulasi.1,4,6

Menurut Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi (POGI), insidens kehamilan lewat waktu sangat
bervariasi antara lain :

• Insidens kehamilan 42 minggu lengkap : 4 – 14 %, 43 minggu lengkap 2 – 7%.

• Insidens kehamilan post-term tergantung pada beberapa faktor : masyarakat, frekuensi kelahiran pre-term,
frekuensi induksi persalinan, frekuensi seksio sesaria elektif, pemakaian USG untuk menentuka usia kehamilan.

• Secara spesifik, insidens kehamilan post-term akan rendah jika frekuensi Kelahiran Pre Term tinggi, bila
angka induksi persalinan dan seksio sesaria elektif tinggi, dan bila USG dipakai lebih sering untuk menentukan usia
kehamilan.
Peningkatan mortalitas dan morbiditas secara signifikan berhubungan dengan distosia akibat makrosomia. Sekitar
10-25% janin yang lahir lewat waktu memiliki berat badan lebih dari 4000 gram dan 1,5% janin dengan berat badan
sekitar 4500 gram. Insidens distosia bahu pada kehamilan lewat waktu adalah sebesar 2%. Resiko mengalami
distosia akibat makrosomia adalah 3 kali lipat dan peningkatan insiden distosia bahu sebesar 2 kali lipat pada
kehamilan lewat waktu dibandingkan dengan wanita yang melahirkan bayi pada kehamilan 40 minggu.

C. Etiologi Kehamilan Postterm

Penyebab pasti dan poses terjadinya kehamilan postterm sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Teori-
teori yang pernah diajukan untuk menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:

1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya kehamilan postterm adalah karena masih
berlangsungnya pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya.

2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis wanita hamil pada usia kehamilan
lanjut diduga sebagai salah satu fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm.

3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi plasenta sehingga produksi progesteron
berkurang dan memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh terhadap meningkatnya produksi
prostaglandin. Pada kasus-kasus kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau hipoplasia adrenal,
tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan berlangsung lewat bulan.

4. Teori saraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya
tekanan pada ganglion servikalis dari pleksus Frankenhauser yang membangkitkan kontraksi uterus, seperti pada
keadaan kelainan letak, tali pusat pendek, dan masih tingginya bagian terbawah janin.

5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan postterm telah dibuktikan pada beberapa
penelitian sebelumnya. Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa seorang ibu yang pernah
mengami kehamilan postterm akan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm pada
kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi
oleh faktor genetik. 5 Mogren (1999) menyatakan bahwa bilamana seorang ibu mengalami kehamilan postterm saat
melahirkan anak perempuan, maka besar kemungkinan anak perempuannya akan mengalami kehamilan postterm.

D. Patofisiologi Kehamilan Postterm

Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan
mengenai perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola kasus persalinan postterm.

1. Perubahan pada Plasenta.

Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya
risiko pada janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai menurun
terutama setelah 42 minggu. Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin
dengan risiko 2-4 kali lebih tinggi. Penurunan fungsi plasenta dapat dibuktikan dengan penurunan kadar estriol dan
plasenta laktogen. Perubahan yang terjadi pada plasenta sebagai berikut.

Penimbunan kalsium. Peningkatan penimbunan kalsium pada plasenta sesuai dengan progresivitas degenerasi
plasenta. Proses degenerasi jaringan plasenta yang terjadi seperti edema, timbunan fibrinoid, fibrosis, trombosis
intervilli, spasme arteri spiralis dan infark villi. Selapot vaskulosinsial menjadi tambah tebal dan jumlahnya
berkurang. Keadaan ini dapat menurunkan metabolisme transport plasenta. Transport kalsium tudak terganggu tetapi
aliran natrium, kalium, glukosa, asam amino, lemak dan gamma globulin mengalami gangguan sehingga janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat janin.

Oligohidramnion

Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai
puncak pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar 800 ml pada usia
kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml, 250 ml, hingga
160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu. 1

Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm berhubungan dengan penurunan produksi urin janin.
Dilaporkan bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm terjadi peningkatan
hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin
janin dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh sebab itu, evaluasi volume cairan
amnion pada kasus kehamilan postterm menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm,
keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra partum. 2

Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh.
Hal ini terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid. Pelepasan sejumlah badan lamellar dari
paru- paru janin akan mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi 4:1 atau lebih besar.
Selain itu, adanya pengeluaran mekonium akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan
meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium.

Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah
pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil
penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI).
Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.

Perubahan pada janin

Berat janin. Bila terjadi perubahan anatomik yang besar pada plasenta, maka terjadi penurunan berat janin. Namun,
seringkali pula plasenta masih dapat berfungsi dengan baik sehingga berat janin bertmbah terus sesuai bertambahnya
umur kehamilan. Risiko persalinan bayi dengan berat lebih dari 4000 gram pada kehamilan postterm meningkat 2-4
kali lebih besar.

Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai
perubahan fisik khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang disebut dengan sindrom
postmaturitas. Perubahan-perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit menjadi
keriput, dan hilangnya vernik kaseosa dan lanugo. Keadaan ini menyebabkan kulit janin berhubungan langsung
dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan postterm menunjukkan
tanda postmaturitas tergantung fungsi plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan tanda
postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm dibagi dalam 3 stadium:

a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi berupa kulit kering, rapuh, dan mudah
mengelupas.

b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium pada kulit.


c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali pusat.

E. Diagnosis Kehamilan Postter

Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada 4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian
diantaranya kenyataanya tidak terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh sebab itu,
pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat
penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi
janin dan neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun sebaliknya, pemberian
intervensi/terminasi secara terburu-buru juga bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.

Riwayat haid

Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa
dipercaya. Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat ditegakkan sesuai dengan definisi yang
dirumuskan oleh American College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang berlangsung
lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).

Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al
(2004), jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki tingkat keakuratan hanya ±30 persen.
Riwayat haid dapat dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu harus yakin betul dengan HPHT-
nya; (b) siklus 28 hari dan teratur, (c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir.

Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT
cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama
akibat ovulasi yang terlambat. Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi bahwa kehamilan
akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. (Cunningham, et al.,
2010) Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal
HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada
hari ke-14 siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama 7-21 hari. Oleh sebab itu,
pada ibu yang memiliki siklus 28 hari, masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus. Akibatnya,
terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai
lahirnya bayi. (Bennett, et al., 2004) t kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT
adalah ± 1,37 minggu.

Riwayat pemeriksaan antenatal

Tes kehamilan. Bila pasien melakukan pemeriksaan tes imunologik sesudah terlambat haid 2 minggu, maka dapat
diperkirakan keamilan telah berlangsung 6 minggu.

Gerak janin. Gerak janin pada umumnya dirasakan ibu pada umur kehamilan 18-20 minggu. Pada primigravida
dirasakan sekitar umur kehamilan 18 minggu, sedangkan pada multigravida pada 16 minggu. Keadaan klinis yang
ditemukan ialah gerakan janin yang jarang, yaitu secara subyektif kurang dari 7 kali/20 menit, atau secara obyektif
dengan CTG kurang dari 10 kali/20 menit.

Denyut Jantung Janin (DJJ). Dengan stetoskop Laennec DJJ dapat didengar mulai umur kehamilan 18-20 minggu,
sedangakn dengan Doppler dapat terdengar pada usia kehamilan 10-12 minggu.

Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau
lebih dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut:

a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif


b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali

c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan Doppler

d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali dengan stetoskop Laennec

Tinggi Fundus Uteri

Dalam trisemester pertama pemeriksaan tinggi fundus uteri serial dalam sentimeter (cm) dapat bermanfaat bila
dilakukan pemeriksaan secara berulang setiap bulan. Lebih dari 20 minggu, tinggi fundus uteri dapat menentukan
umur kehamilan secara kasar.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)

Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam
mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan
usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode
HPHT.

Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga
kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah ± 4 hari dari
taksiran persalinan.

Pada usia kehamilan antara 26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal diameter/BPD) dan panjang femur
(femur length/FL) memberikan ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan.

Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010)
memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II.
Pemeriksaan sesaat setelah trisemester III dapat dipakai untuk menentukan berat janin, keadaan air ketuban ataupun
keadaan plasenta yang berkaitan dengan kehamilan postterm, tetapi sukar untuk menentukan usia kehamilan.
Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat kesalahan
estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan
penghitungan usia kehamilan pada trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban.

Pemeriksaan laboratorium

a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat melihat sel lemak dalam cairan amnion.
Apabila jumlah sel yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan diperkirakan sudah berusia 36 minggu
dan apabila jumlahnya mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu atau lebih.

b. Tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan
amnion mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada
usia kehamilan 41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan pada usia kehamilan

>42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik. Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan bahwa
kehaminan sudah postterm.
c. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28
minggu adalah sama (1:1). Pada usia kehamilan

±32 minggu, perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak
dapat dipakai untuk menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk menentukan apakan janin cukup
usia/matang untuk dilahirkan.

d. Sitologi vagina. Pemeriksaan sitologi vagina (indeks kariopiknotik > 20%) mempunyai sensitivitas 755.
Perlu diingat bahwa kematangan serviks tidak dapat dipakai untuk menentukan usia gestasi.

F. Komplikasi Kehamilan Postterm

Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu seperti korioamnionitis, laserasi perineum, perdarahan post partum,
endomiometritis dan penyakit tromboemboli.

Komplikasi terjadi pada bayi seperti hipoksia, hipovolemia, asidosis, sindrom gawat nafas, hipoglikemia, hipofungsi
adrenal.3

Penatalaksanaan Kehamilan Postterm

Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang
sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada beberapa penderita, usia kehamilan
tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan.
Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada ±70% penderita didapatkan serviks belum
matang/unfavourable dengan skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi rendah. Oleh karena
itu, setelah diagnosis kehamilan postterm ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah
apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah sebaliknya dilakukan pengelolaan secara
ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun biokimia sampai
persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul indikasi untuk mengakhiri kehamilan. 2 Hal-hal yang harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan tindakan adalah kepastian usia kehamilan, pemeriksaan serviks,
perkiraan berat janin, keinginan pasien dan riwayat obstetrik dahulu.

Pemantanauan kesejahteraan janin

Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan
janin dan menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih akurat dibandingkan pemakaian salah satu
variabel saja. Secara umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel yang digunakan dalam
penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan janin,
(d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila
abnormal. Oleh sebab itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan profil biofisiknya.

a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)

Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-
parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada
dalam keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan mengalami akselerasi sementara sebagai respon
terhadap gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya
tingkat akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat seiring dengan peningkatan usia kehamilan.
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress
test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk
menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin.

b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)

Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks
(paradoxical chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi, dinding dada secara paradoks mengempis
sedangkan dinding perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses inspirasi yang terjadi pada neonatus dan
orang dewasa. Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya gerakan janin untuk mengeluarkan debris
cairan amnion yang menyerupai gerakan pada saat batuk.

Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin
melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi
secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya.
Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24 jam menggunakan ultrasonografi real time untuk
mendapatkan gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu terakhir kehamilan. Hasilnya
menunjukkan bahwa pada janin normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan sampai 122 menit
lamanya. Penelitian ini mengindikasikan bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan nafas
membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan
gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain, misalnya pemeriksaan denyut jantung janin

c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)

Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih
kompleks serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak
pernah berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian, ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan
janin pertama kali sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya jarang, lemah, dan terkadang tidak
dapat dibedakan dengan sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus.

Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan
siklus istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu,
saat sikap tubuh normal telah terbentuk pada 80% janin.

Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin
rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32
kehamilan, yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36
karena janin tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berkurangnya
aktivitas pada kehamilan aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur janin seiring dengan makin
maturnya janin. Keadaan ini merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke- tiga.

d. Pemeriksaan tonus janin


Tonus janin dengan pemeriksaan USG diketahui sebagai gerakan ekstensi

ekstremitas atau tubuh janin, yang dilanjutkan dengan gerakan kembali ke posisi fleksi. Tonus janin dapat juga
dinilai dengan melihat gerakan jari-jari tangan yang membuka (ekstensi) dan kembali ke posisi mengepal. Dalam
keadaan normal, gerakan tersebut terlihat sedikitnya sekali dalam 30 menit pemeriksaan. Tonus janin juga dianggap
normal apabila jari-jari tangan terlihat mengepal terus selama 30 menit pemeriksaan.

e. Pemeriksaan volume cairan amnion

Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang
memiliki risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta
akan menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan
oligohidramnion.

Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan
amnion (amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan dengan cara menambahkan ukuran
kedalaman dari setiap kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm atau
kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.

Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest
pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong .
Daftar Pustaka

1. Cunningham, F.G., et al. 2001. Postterm Pregnancy, Antepartum Assessment,


In : Williams Obstetrics. Edisi 21. Mc Graw Hill. New York: 729 – 742. 1095-1108.

2. Wiknjosastro. H., Ilmu Kebidanan, edisi III, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Kehamilan
Lewat Waktu, Jakarta, 2002 hal: 317-320.

3. Rustam, Mochtar. 1998 Sinopsis Obstetri (Obstetri Fisiologi Obstertri Patologi). Edisi 2. EGC. Jakarta.

4. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1982. Obstetri
Patologi,. Penerbit : Elstar Offset. Bandung

5. Hacker NF and Moore George, Essensial of Obstetrics and Gynecology, 2nd edition, W.B. Sauders
company,1992, page 316-318

6. Shaver D.C. et al, Clinical Manual Of Obstetrics, 2 nd Edition, Mc Graw International Editions, 1993 page
313-321.

7. Decherney A, Nathan L, Goodwin T,Leufer N, Current Diagnosis and Treatment Obstetrics & Gynacology
10th edition; McGraw-Hill, 2007 page 187-189

8. Pengurus besar POGI, Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi, bagian 1, Balai penerbit FKUI,
2003, hal 70-71.

9. Rosa C. 2001. Postdate Pregnancy in: Obstetrics and Gyecology Principles for Practice, McGraw-Hill. New
York, America: 388-395

10. Asrat T.,Quilligan E.J., 2000. Postterm Pregnancy in: Current Therapy in Obstetrics and Gynecology, edisi
5. WB. Saunders Company. Philadelphia America:321-322

11. Spellacy W.N., 1999.Postdate Pregnancy in:Danforth’s Obstetrics and Gynecology. Edisi 8. Lippincott
Williams and Wilkins. Philadelphia:287- 291.

Anda mungkin juga menyukai