Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Istilah kegawatan dan kegawatdaruratan adalah suatu keadaan yang serius, yang harus
mendapatkan pertolongan segera. Kegawatdaruratan dalam kebidanan adalah kegawatan atau
kegawatdaruratan yang terjadi pada wanita hamil, melahirkan atau nifas (Maryunani A,
2016:28)
Dalam menangani kasus gawatdaruratan, penentuan masalah utama (diagnosis) dan
tindakan pertolongan harus dilakukan dengan cepat, tepat, dan tenang (tidak panik),
walaupun suasana keluarga pasien ataupun pengantarannya mungkin dalam kepanikan.
Semuanya dilakukan dengan cepat, tepat dan terarah (Maryunani A dan Eka P, 2013)
Mola Hidatidosa merupakan suatu kehamilan yang tidak wajar, yang sebagian atau
seluruh vili korialisnya mengalami degenerasi hidrofik berupa gelembung yang menyerupai
anggur (Martaadisoebrata, 2005)
Angka kejadian MH secara pasti sangatlah bervariasi di dalam beberapa populasi yang
berbeda. Pada penelitian epidemiologi ditemukan angaka kejadian MH di Amerika Serikat
adalah 108 per 100.000 kehamilan; di Itali 62 per 100.000 kehamilan, di Indonesia 993 per
100.000 kehamilan, dan di Cina 667 per 100.000 kehamilan (Benirschke K, 2005)
1.2 Rumusan Masalah
a. Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan Kehamilan Mola Hidatidosa

1.3 Tujuan
a. Untuk Mengetahui Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan Kehamilan Mola Hidatidosa
a.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip umum penanganan kasus gawat darurat
Dalam prinsip umum, petugas kesehatan dan pasien adalah sama – sama subjek, sebagai
mitra yang bekerja sama dalam menangani suatu kondisi suatu kasus kegawatdaruratan
(Maryunani A dan Eka P, 2013).
1. Stabilisasi pasien
Setelah kita mengenali kondisi kegawatdaruratan, lakukan stabilisasi keadaan
pasien sebelum melakukan rujukan. Elemen – elemen penting dalam stabilisasi
pasien:
a. Menjamin kelancaran jalan nafas, pemulihan respirasi dan sirkulasi.
b. Menghentikan sumber perdarahan dan infeksi
c. Mengganti cairan tubuh yang hilang
d. Mangatasi rasa nyeri atau gelisah
2) Terapi cairan
a. Antisipasi ini dilakukan pada tahap awal untuk persiapan jika kemudian hari
penambahan cairan di butuhkan.
b. Pemberian cairan ini harus di perhatikan baik jenis cairan banyaknya cairan yang
diberikan, kecepatan pemberian misalnya cairan yang sesuai dengan diagnosis.
c. Misalnya pemberian cairan untuk menggantikan cairan tubuh yang hilang pada
kasus syok hipovolemik seperti pada perdarahan berbeda pada saat pemberian
cairan pada syok septik.
3) Resusitasi jantung paru (RJP)
a. Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan gabungan penyelamatan pernafasan
(bantuan nafas) dengan kompresi dada eksternal. RJP di gunakan ketika seseorang
mengalami henti jantung dan henti nafas.
b. Dalam melakukan RJP, sebagai seorang penolong harus:
(1) Mempertahankan terbukanya jalan nafas (Airway=A)
(2) Memberikan nafas untuk pasien (Breathing=B)
(3) Mengusahakan kembalinya sirkulasi pasien (Circulation=c)
c. Dalam prinsip RJP selalu mengikutsertakan ABC:
(1) Suatu pernafasan tidak ada akan efektif jika jalan nafas tidak terbuka.
(2) Pernafasan buatan tidak efektif pula jika sirkulasi terhenti.
(3) Darah yang bersikulasi tidak akan efektif, kecuali darah tersebut
teroksigenisasi.
(4) Selalu di ingat jika perdarahan dapat mengganggu sirkulasi
(5) Oleh karena itu jika seorang pasien kehilangan darah terlalu banyak maka RJP
yang dilakukan tidak efektif.
d. Pemantauan kandung kemih
(1) Dalam pemantauan kandung kemih, sebaiknya menggunakan kateter untuk
mengukur banyaknya urin yang keluar guna menilai fungsi ginjal dan
keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan.
(2) Jika katerisasi tidak mungkin dilakukan, urin di tampung dan dicatat
kemungkinan terdapat peningkatan konsetrasi urin (urin berwarna gelap) atau
produksi urin berkurang sampai tidak ada urin sama sekali.
(3) Jika produksi urin mula – mula rendah kemudian semakin bertambah, hal ini
menunjukan bahwa kondis pasien membaik.
(4) Diharapkan produksi urin paling sedikit 100 ml/4 jam atau 30 ml/ jam.
e. Rujukan
(1) Apabila fasilitas medik di tempat kasus diterima terbatas untuk menyelesaikan
kasus dengan tindakan klinik yang adekuat, maka kasus harus di rujuk ke
fasilitas kesehatan lain yang lebih lengkap
(2) Seharusnya sebelum kasus di rujuk, fasilitas kesehatan yang akan menerima
rujukan sudah di hubungi dan di beritahu terlebih dahulu sehingga persiapan
penanganan ataupun perawatan inap telah dilakukan dan di yakini rujukan
kasus tidak akan ditolak.
2.2. Prinsip Penanganan Kegawatdaruratan Kehamilan Mola Hidatidosa
Penatalaksanaan mola hidatidosa dapat di bagi 3 yaitu penanganan umum, penilaian klinik,
dan penanganan khusus (Saifuddin, 2006)
PENANGANAN UMUM 1) Menentukan diagnosa dini
2) Melakukan pemeriksaan USG, jika
fasilitas pemeriksaan USG terbatas
maka dapat dilakukan :
a. Evaluasi klinik
1. Riwayat haid terakhir dan
kehamilan
2. Perdarahan tidak teratur atau
spotting
3. Pembesaran abnormal uterus
4. Perlunakan serviks dan korpus
uterus
b. Kajian uji kehamilan dengan
pengeceran urin
c. Pastikan tidak ada janin (Ballotement)
atau denyut jantung janin
3) Lakukan pengosongan jaringan mola
dengan segera
4) Antisipasi Komplikasi (perdarahan
hebat dan perforasi uterus)
5) Lakukan pengamatan lanjut hingga
minimal 1 tahun pasca evakuasi)
PENILAIAN KLINIS 1) Mola ditandai dengan adanya
pembesaran uterus dan peningkatan
kadar hCG, jika itu terjadi maka
lakukan pengukuran kuantatif kadar
spesifik, bila tidak tersedia fasilitas
pemeriksaan tersebut, pengukiran dapat
dilakukan dengan uji kehamilan
berbasis tera imunologik
(Hemaglutinasi atau aglutinasi lateks)
dimana kadar hormon tersebut diukur
secara semikuantitatif melalui
pengenceran urin.
2) Gejala klinik mirip dengan kehamilan
muda dan abortus imminiens , tetapi
gejala mual dan muntah lebih hebat,
sering disertai gejala seperti
preeklamsia. Pemeriksaan dengan USG
akan menunjukkan gambaran seperti
saran tawon tanpa disertai adanya janin.
3) Diagnosis pasti adalah dengan melihat
jaringan mola, baik melalui ekspulsi
spontan maupun biopsi. (siapkan
tindakan darurat apabila terjadi
perdarahan pascabiopsi).
PENANGANAN KHUSUS 1) Segera lakukan evakuasi jaringan mola
dan semestara proses evakuasi
berlangsung, berikan infus 10 IU
oksitosia dalam 500 ml NS atau RL
dengan kecepatan 40-60 tetes/menit
(sebagai tindakan preventif terhadap
perdarahan hebat dan efektifitas
kontraksi terhadap pengosongan uterus
secara cepat )
2) Pengosongan dengan Aspirasi Vakum
lebih amam dari Kuretase tajam, Bila
sumber vakum adalah tabung manual,
siapkan peralatan AVM minimal 3 set
agar dapat digunakan secara bergantian
hingga pengosongan kavum uteri
selesai.
3) Kenali dan tangani komplikasi penyerta
seperti tiritoksikosis atau krisis tiroid
baik sebelum, selama dan setelah
prosedur evakuasi.
4) Anemia sedang cukup diberikan sulfas
ferosus 600 mg/hari, untuk anemia
berat lakukan transfusi.
5) Kadar Hcg diatas 100.000 IU/L
praevakuasi dianggap sebagai risiko
tinggi untuk perubahan ke arah ganas,
pertimbangan untuk memberikan
methatrexale (MTX) 3- 5 mg/kg BB
atau 25 mg IM dosis tunggal.
6) Lakukan pemantauan kadar hCG
hingga minimal 1 tahun pascaevakuasi.
Kadar yang menetap atau meninggi
setelah 8 minggu pascaevakuasi
menunjukkan masih terdapat trofoblas
aktif (di luar uterus atau invasif ) :
berikan kemoterapi MTX dan pantau β-
hCG serta besar uterus secara klinik
dan USG tiap 2 minggu.
7) Selama pemantauan, pasien dianjurkan
untuk menggunakan kontrasepsi
hormonal (apabila masih ingin anak)
atau tubektomi apabila ingin
menghentikan fertilitas.
DAFTAR PUSTAKA
Gary Cunniggham F. Penyakit dan Kelainan pada Plasenta dan Selaput Janin. Obtetri williams.
Cetakan I. EGC, Jakarta, 2010
Saifuddin, Abdul Bari, dkk. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan MaternalDan Neonatal.
Edisi : 1. Cetakan V. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2009
Kurniawati D. Obgynacea. Cetakan : Tosca Entreprisc, Yogyakarta, 2009,

Anda mungkin juga menyukai