Farmakologi - Analgesik Opioid
Farmakologi - Analgesik Opioid
“ANALGESIK OPIOID”
DI SUSUN OLEH :
KELAS : F.13
KELOMPOK III
FAKULTAS FARMASI
MAKASSAR
2015
BAB I
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
Agonis
Campuran
STRUKTUR Agonis Lemah
agonis- Antagonis
DASAR Kuat sampai
antagonis
sedang
Morfin Kodein Nalorfin
Nalbufin
Fenantren Hidromorfon Oksikodon Nalokson
Buprenorfin
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Meperidin
Fenilpiperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin
II.3 Obat-obatan Golongan Analgesik Opioid
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus
mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara
parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin
mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar,
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak
diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat
kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2,
yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein
mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin.
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan
untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma, kolik
renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut,
dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak
digunakan untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif
dan hanya iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat
beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas
mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema
pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare
berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada
pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan
atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului
oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.
d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama
pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi
alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi
akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien
akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat.
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak
timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus.
Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon,
metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak
terhadap efek konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi.
Penghentian menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan
aktivitas saluran cerna, kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP
lain. Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang
diinduksi oleh loker neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif
dengan obat yang menyebabkan hipotensi.
c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan
analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin
diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek
daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang menyebabkan depresi napas pada janin.
d. Efek Samping
Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,
disforia, sinkop dan sedasi.
e. Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi
obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain
penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO
inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.
f. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih
lambat dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat
bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak
terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.
g. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor,
pemberian meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat
(delirium, hiperpireksia, kejang), depresi pernapasan, atau
hipotensi.
b. Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar
dalam plasma yang tinggi selama 10 menit pertama.
Sekitar 90% metadon terikat protein plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat
ditemukan dalam plasma darah setelah 30 menit PO;
kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk
dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil
yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak
dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di
hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-
demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari
10% mengalami ekskresi bersama empedu.
c. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama
dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi
ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat
daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO.
Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga
tidak dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif
1,5-2 mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi
kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih
besar daripada kodein.
d. Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan
ringan, pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat,
pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering
timbulpada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan
lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping
yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan
urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon
ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut
metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.
e. Toleransi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek
analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan
efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi.
Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian
metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara
menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.
Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya
adiksi morfin.
3.2 Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja
sentralnya. Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ
meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen
65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat
dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen
parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan
50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan
perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi
propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih
baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.
Obat ini tidak berefek antitusif.
b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral
maupun parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika
propoksifen diberikan PO. Biotransformasi propoksifen
dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam.
c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati
nyeri ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik
diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama
asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama
asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4
kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak
mempengaruhi sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg
propoksifen PO pada orang dewasa sehat tidak banyak
mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis
ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti
mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang
lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya
menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika
dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.
e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian
tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen akan
menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral
propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek
subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan
efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,
sehingga tidak digunakan secara parenteral.
II.4 Antagonis Opioid dan Agonis Parsial
1. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek
agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada
keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis
opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat
diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada
nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek
agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin,
analgetik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin.
Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga
memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson
menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang
nyerinya tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo;
mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek
nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam
analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek
nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan
efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus
yang diberi stres berat.
Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin
menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri
pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang tidak
menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai
timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi
timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas
yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan
morfin, depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis.
Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas
oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat
morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah
pemberian nalokso pada pasien dengan depresi napas akibat agonis
opioid; efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera
dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan
kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-
antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala
putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat
penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya
beberapa menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat
dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis
antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada
orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi
diperlukan dosis lebih besar.
b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya
segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga
diserap, tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme
lintas pertama maka harus diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan
glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja
1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya
dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya
sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya,
6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa
kerjanya panjang.
c. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi
napas akiat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh
ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat
tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk
mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.
d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh
sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan
psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian
nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang
khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya
untuk disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan
fisik; tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi
subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi
para pecandu.
2. Agonis Parsial
2.1 Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia
yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ,
karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin.
Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada
morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia
dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat di
antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek
psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid,
sedangkan pada uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons
kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan respons
terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala
putus obat morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang
sama dapat menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan
perut.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja,
tetapi karena mengalami metabolisme lintas pertama,
bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme
secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai
metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya
sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,
tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat.
Obat ini juga digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila
digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek
subyektif pada pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan
psikis dapat pula terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih
kecil.
2.2 Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol
menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek
suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin.
Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan
arteri pulmonal dan kerja jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula
kerja, waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja,
sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut
pascabedah sebanding dengan morfin, meperidin atau
pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi praanestetik.
Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri
yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol
yang dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau
0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa
lemah, berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan
efek psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada
dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.
2.3 Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain
pada SSP seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis
depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik
fentanil sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson
sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit
untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh
buprenorfin.
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik
dengan gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin,
tetapi tidak terlalu berat.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-
0,8 mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada
pasien pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai
dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam
setelah penggunaan secara oral atau sublingual. Masa
paruh dalam plasma sekitar 3 jam.
c. Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat
untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan
pengobatan adiksi heroin.
2.4 Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang,
tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk
nyeri persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara
oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol
mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal,
dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan
7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam
1 jam setelah penggunaan secara oral, dan mencapai
puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. DM
per hari yang dianjurkan 400 mg.
c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing,
mulut kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan
nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis
ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang
daripada dosis ekuivalen kodein.
BAB III
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
III.2 Saran
Dikarenakan banyaknya jenis obat-obatan yang tergolong dalam
analgesik opioid dengan efek sampingnya masing-masing, maka
disarankan agar pemilihan dan penggunaan obat-obatan ini lebih
diperhatikan dan didampingi pemakaiannya oleh orang-orang medis
untuk meminimalisasi efek samping yang akan ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA