Anda di halaman 1dari 26

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I

“ANALGESIK OPIOID”

DI SUSUN OLEH :

KELAS : F.13
KELOMPOK III

IRMA JAYANTI (13.201.283)


ASRIANTI NASIR (13.201.299)
RESTI (13.201.275)

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR

MAKASSAR

2015
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Keluhan yang paling sering muncul pada pasien setelah


prosedur anestesi dan pembedahan adalah nyeri dan mual muntah
pasca bedah. Nyeri adalah suatu rasa yang tidak menyenangkan
yang melibatkan emosional yang berhubungan dengan kerusakan
jaringan. Nyeri akut dapat merupakan bagian dari kerusakan
jaringan atau inflamasi yang dapat disebabkan oleh operasi, luka
bakar, ataupun trauma (Anonim, 2015)

Kerusakan jaringan menyebabkan pelepasan zat-zat kimia


yang menstimulasi reseptor nyeri dan mengionisasi letupan pada
serabut aferen primer yang bersinaps pada lamina I dan II kornu
posterior medula spinalis. Neuron relay dalam kornu posterior
menyampaikan informasi nyeri ke korteks sensoris melalui neuron
dalam talamus. Hanya sedikit yang diketahui tentang substansi
transmittor yang digunakan pada jalur nyeri asendens, tetapi
beberapa serabut aferen primer melepaskan peptida. Nyeri neuropati
disebabkan oleh kerusakan neuron pada jalur nyeri dan sering tidak
merespons terhadap opioid (Neal, 2005).

Analgetik setelah pembedahan dapat dicapai dengan


menggunakan beberapa opioid. Efektifitas pemakaian opioid sebagai
analgetik pasca bedah sudah diakui namun memiliki efek samping
(Anonim,2015).

Analgesik opioid adalah obat yang menyerupai peptida


opioid endogen dan menyebabkan aktivasi reseptor opioid yang
memanjang. Hal tesebut menyebabkan analgesia, depresi panas,
euforia, dan sedasi. Nyeri berperan sebagai suatu antagonis depresi
napas yang bagaimanapun bisa menjadi masalah bila nyeri
dihilangkan, misalnya dengan anestesik lokal. Opioid sering
menyebabkan mual dan muntah sehingga seringkali memerlukan
antiemetik. Efek pada pleksus saraf di usus, yang juga mempunyai
peptida dan reseptor opioid, menyebabkan konstipasi dan biasanya
membutuhkan laksatif. Terapi kontinu dengan analgesik opioid
menyebabkan toleransi dan ketergantungan pada pecandu. Akan
tetapi, pada pasien dengan peyakit terminal, peningkatan yang tetap
pada dosis morfin tidak terjadi secara otomatis. Bilamana hal itu
terjadi, lebih mungkin disebabkan oleh peningkatan nyeri secara
progresif daripada akibat toleransi. Sayangnya, penggunaan analgesik
opioid yang terlalu hati-hati sering menyebabkan kontrol nyeri yang
buruk pada pasien (Neal, 2005).

I.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Obat Analgesik Opioid?


2. Apa saja contoh-contoh obat dari golongan Analgesik
Opioid?
3. Apa indikasi obat-obatan golongan Analgesik Opioid?
4. Bagaimana farmakokinetik obat golongan Analgesik Opioid?
5. Bagaimana Farmakodinamik obat-obatan Analgesik Opioid?
6. Bagaimana Efek Samping obat Analgesik Opioid?
I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari obat Analgesik Opioid.
2. Untuk mengetahui contoh-contoh obat yang termasuk dalam
golongan Analgesik Opioid.
3. Untuk mengetahui indikasi obat-obatan Analgesik Opioid.
4. Untuk mengetahui farmakokinetik obat golongan Analgesik
Opioid.
5. Untuk mengetahui farmakodinamik dari obat-obatan
Analgesik Opioid.
6. Untuk mengetahui efek samping obat Analgesik Opioid.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Pengertian Analgesik Opioid

Analgesik Opioid merupakan kelompok obat yang memiliki


sifat seperti opium. Opium yang berasal dari getah Papaver somniferum
mengandung sekitar 20 jenis alkaloid diantaranya morfin, kodein,
tebain, dan paparevin. Analgesik opioid terutama digunakan untuk
meredakan atau menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga
memperlihatkan berbagai efek farmakodinamik yang lain. Istilah
analgesik narkotik dahulu seringkali digunakan untuk kelompok obat
ini, akan tetapi karena golongan obat ini dapat menimbulkan
analgesia tanpa menyebabkan tidur atau menurunnya kesadaran
maka istilah analgesik narkotik menjadi kurang tepat (Dewoto, 1971).

Opioid didefinisikan sebagai senyawa dengan efek yang


diantagonis oleh nalokson. Terdapat tiga famili peptida opioid, yang
berasal dari molekul prekusor besar dan dikode oleh gen yang
terpisah. Pro-opiomelanokortin (POMC) menyebabkan peningkatan
peptida opioid endorfin β dan sejumlah peptida nonopioid lainnya,
termasuk hormon adrenokortikotropik (ACTH). Proenkefalin
menyebabkan peningkatan leu-enkefalin dan met-enkefalin.
Prodinorfin menyebabkan peningkatan sejumlah peptida opioid, yang
mengandung leu-enkefalin pada terminal aminonya. Peptida yang
berasal dari setiap tiga molekul prekursor ini mempunyai distribusi
anatomis tertentu pad sistem saraf pusat dan mempunyai bermacam-
macam afinitas untuk tipe reseptor opioid yang berbeda. Fungsi
yang tepat dari peptida opioid ini dalam otak dan daerah manapun
tetap tidak jelas (Neal, 2005).
II.2 Klasifikasi Obat Golongan Opioid

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid


dibagi menjadi :

1. Agonis penuh (kuat)


2. Agonis parsial (agonis lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis

Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis,


sedangkan agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau
sebagai antagonis dengan menggeser agonis kuat dari ikatannya
pada reseptor opioid dan mengurangi efeknya. Opioid yang merupakan
campuran agonis dan antagonis adalah opioid yang memiliki efek
agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu parsial
agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.

Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi


menjadi derivat fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan,
dan benzomorfan.

Agonis
Campuran
STRUKTUR Agonis Lemah
agonis- Antagonis
DASAR Kuat sampai
antagonis
sedang
Morfin Kodein Nalorfin
Nalbufin
Fenantren Hidromorfon Oksikodon Nalokson
Buprenorfin
Oksimorfon Hidrokodon Naltrekson
Fenilheptilamin Metadon Propoksifen
Meperidin
Fenilpiperidin Difenoksilat
Fentanil
Morfinan Levorfanol Butorfanol
Benzomorfan Pentazosin
II.3 Obat-obatan Golongan Analgesik Opioid

1. Morfin dan Alkaloid Opium


Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang
telah dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam
dua golongan: Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan
Golongan benizilisonkinolin (mis: Noskapin dan Papaverin).
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis.
Morfin dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien
yang sedang menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada
orang normal seringkali menimbulkan disforia berupa perasaan
kuatir atau takut disertai mual dan muntah. Opioid menimbulkan
analgesia dengan cara berikatan dengan reseptor opioid yang
terutama didapatkan di SSP dan medula spinalis yang berperan
pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa individu, terutama
wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin, misalnya mual
dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium dan
konvulsi jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi
progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan
eksitasi. Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja
pada reseptor µ dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan
oleh perangsangan pada segmen otonom inti saraf okulmotor.
Miosis ini dapat dilawan oleh atropin dan skopolamin. Pada
dosis kecil morfin sudah menimbulkan depresi napas tanpa
menyebabkan tidur atau kehilangan kesadaran. Dosis toksik
dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4 kali/menit dan kematian
pada keracunan morfin hampir selalu disebabkan oleh depresi
napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di
lambung, morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan
pergerakan lambung berkurang, tonus bagian antrum meninggi
dan motilitasnya berkurang sedangkan sfingter pilorus
berkontraksi, akibatnya pergerakan isi lambung ke duodenum
diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi sekresi empedu
dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan di usus
halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan
spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat
dan tinja menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi
tidak mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama
denyut jantung. Perubahan baru akan terjadi pada pemberian
toksik. Tekanan darah turun akibat hipoksia pada stadium akhir
intoksikasi morfin. Morfin dan opioid lain menurunkan
kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi terhadap
perubahan sikap.
Pada otot olos, morfin menimbulkan peninggian tonus,
amplitudo serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin
merendahkan tonus uterus pada masa haid dan menyebabkan
uterus lebih tahan terhadap regangan. Mungkin atas dasar ini
morfin mengurangi nyeri dismenore.
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi
kulit, sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu
badan turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi
perifer dan penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan
metabolisme dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat
pelepasan adrenalin yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin
membuat volume urin berkurang akibat merendahnya laju filtrasi
glomerulus, alir darah ginjal, dan pelepasan ADH.

b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat
diabsorpsi melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus
mukosa, dan juga dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik
setelah pemberian oral jauh lebih rendah dibanding secara
parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin
mengalami konyugasi dengan asam glukoronat di hepar,
sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas dan 10% tidak
diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil
morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang
terkonyugasi ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat
kecil dikeluarkan bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2,
yang kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein
mengalami N-demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan
bentuk konyugasi dari kodein, norkodein dan morfin.

c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan
untuk nyeri yang menyertai infark miokard, neoplasma, kolik
renal, oklusio akut vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut,
dan nyeri akibat trauma misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak
digunakan untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif
dan hanya iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat
beristirahat dan mungkin sekali disertai dengan nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas
mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema
pulmonal yang menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare
berdasarkan efek langsung terhadap otot polos usus. Pada
pengobatan diare yang disebabkan oleh intoksikasi makanan
atau intoksikasi akut obat, pemberian morfin harus didahului
oleh pemberian garam katartik untuk mengeluarkan penyebab.

d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama
pada wanita berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi
alergik dapat timbul gejala seperti urtikaria, eksantem,
dermatitis kontak, pruritus dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi
akibat percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien
akan tidur, sopor atau koma jika intoksikasi cukup berat.

e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak
timbul terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus.
Toleransi silang dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon,
metopon, kodein dan heroin. Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak
terhadap efek konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi.
Penghentian menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan
aktivitas saluran cerna, kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP
lain. Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang
diinduksi oleh loker neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif
dengan obat yang menyebabkan hipotensi.

2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain


a. Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi,
euforia, depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik
meperidin mulai timbul 15 menit setelah PO dan mencapai
puncak dalam 2 jam. Pemberian meperidin kepada pasien
yang menderita nyeri atau cemas, akan menimbulkan euforia.
Di saluran napas, meperidin dalam dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin.
Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia
kornea, dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang
berbaring tidak mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak
menghambat kontraksi miokard dan tidak mengubah gambaran
EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus
kecil lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan
spasme saluran empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh
histamin dan metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter
berkurang, dan sedikit merangsang uterus dewasa yang tidak
hamil.
b. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun
berlangsung aik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak
teratur setelah suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat
mengalami metabolisme lintas pertama dan kadar maks dalam
plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati.
Pada manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam
meperidinat yang kemudian sebagian mengalami konyugasi.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam
urin. Seanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam
urin dalam bentuk derivat N-demetilasi.

c. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan
analgesia. Pada beberapa keadaan klinis, meperidin
diindikasikan atas dasar masa kerjanya yang lebih pendek
daripada morfin. Misalnya untuk tindakan diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia
obstetrik dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan
analgesia obstetrik dibandingkan dengan morfin, meperidin
kurang menyebabkan depresi napas pada janin.

d. Efek Samping
Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang
ringan berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual,
muntah, perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi,
disforia, sinkop dan sedasi.

e. Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat
harus dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi
obat. Selain itu dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan
bersama antipsikosis, hipnotik sedatif dan obat-obat lain
penekan SSP. Pada pasien yang sedang mendapat MAO
inhibitor pemberian meperidin dapat menimbulkan kegelisahan,
gejala eksitasi dan demam.

f. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih
lambat dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat
bila interval pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak
terjadi terhadap efek stimulasi dan efek mirip atropin.

g. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor,
pemberian meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat
(delirium, hiperpireksia, kejang), depresi pernapasan, atau
hipotensi.

3. Metadon dan Opioid Lainnya


3.1 Metadon
a. Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama
kuat dengan efek 10 mg morfin. Setelah pemerian
metadon beulang kali timbul efek sedasi yang jelas,
mungkin karena adanya akumulasi. Dosis ekuianalgetik
menimbulkan depresi napas yang sama kuat seperti morfin
dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis
tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan
hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi
sediaan usus dan menghambat efek spasmogenik
asetilkolin atau histamin. Metadon juga menimbulkan
spasme saluran empedu pada manusia dan hewan coba.
Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena telah terjadi
antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek miosis
yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan
vasodilatasi perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik. Pemberian metadon tidak mengubah gambaran
EKG tetapi kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat
ini merendahkan kepekaan tubuh terhadap CO 2 sehingga
timbul retensi CO2 yang dapat menimbulkan vasodilatasi
serebral dan kenaikan tekanan cairan serebrospinal.

b. Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar
dalam plasma yang tinggi selama 10 menit pertama.
Sekitar 90% metadon terikat protein plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat
ditemukan dalam plasma darah setelah 30 menit PO;
kadar puncak dicapai setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk
dalam paru, hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil
yang masuk otak. Kadar maksimal metadon dalam otak
dicapai dalam 1-2 jam setelah pemberian parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di
hati. Salah satu reaksi penting ialah dengan cara N-
demetilasi. Sebagian besar metadon yang diberikan akan
ditemukan dalam urin dan tinja sebagai hasil
biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin. Kurang dari
10% mengalami ekskresi bersama empedu.
c. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama
dengan jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi
ada yang berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat
daripada morfin. Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit
setelah pemberian parenteral atau 30-60 menit setelah PO.
Obat ini menyebabkan depresi napas pada janin sehingga
tidak dianjurkan sebagai analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif
1,5-2 mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi
kemungkinan timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih
besar daripada kodein.

d. Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping erupa perasaan
ringan, pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat,
pruritus, mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering
timbulpada pemberian oral daripada pemberian parenteral dan
lebih sering timbul pada pasien berobat jalan. Efek samping
yang jarang timbul ialah delirium, halusinasi selintas dan
urtikaria hemoragik. Bahaya utama pada takar lajak metadon
ialah berkurangnya ventilasi pulmonal. Terapi intoksikasi akut
metadon sama dengan terapi intoksikasi akut morfin.

e. Toleransi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek
analgetik, mual, anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan
efek kardiovaskular, tetapi tidak timbul terhadap konstipasi.
Toleransi ini lebih lambat daripada toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian
metadon secara kronik dapat dibuktikan dengan cara
menghentikan obat atau dengan memberikan nalorfin.
Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil daripada bahaya
adiksi morfin.

3.2 Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja
sentralnya. Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ
meskipun kurang selektif dibandingkan morfin. Propoksifen
65-100 mg secara oral memberikan efek yang sama kuat
dengan 65 mg kodein, sedangkan 130 mg propoksifen
parenteral menimbulkan analgesia yang sama kuat dengan
50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen menimbulkan
perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan. Kombinasi
propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih
baik daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.
Obat ini tidak berefek antitusif.

b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral
maupun parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika
propoksifen diberikan PO. Biotransformasi propoksifen
dengan cara N-demetilasi yang terjadi dalam hati.
Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam.

c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati
nyeri ringan hingga sedang, yang tidak cukup baik
diredakan oleh asetosal. Kombinasi propoksifen bersama
asetosal berefek sama kuat seperti kombinasi kodein bersama
asetosal. Dosis propoksifen untuk orang dewasa biasanya 4
kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak
mempengaruhi sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg
propoksifen PO pada orang dewasa sehat tidak banyak
mengubah reaksi terhadap CO2. Dengan dosis
ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen seperti
mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang
lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya
menimbulkan depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika
dosis lebih besar lagi timbul konvulsi.

e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian
tiba-tiba pada terapi dengan propoksifen akan
menimbulkan gejala putus obat ringan. Dosis oral
propoksifen yang besar (300-600 mg) menimbulkan efek
subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak serupa dengan
efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada pemberian SC,
sehingga tidak digunakan secara parenteral.
II.4 Antagonis Opioid dan Agonis Parsial

1. Antagonis Opioid
Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak
menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek
agonis opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada
keadaan stress atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis
opioid yang relatif murni, demikian pula naltrekson yang dapat
diberikan PO dan memperlihatkan masa kerja yang lebih lama daripada
nalokson. Dalam dosis besar keduanya memperlihatkan beberapa efek
agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin,
analgetik dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin.
Obat-obat ini merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga
memperlihatkan efek agonis pada reseptor-reseptor lain.
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson
menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang
nyerinya tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo;
mengantagonis analgesia yang terjadi akibat perangsangan lewat
jarum akupuntur. Namun, masih perlu pembuktian lebih lanjut efek
nalokson ini sebab banyak faktor fisiologi yang berperan dalam
analgesia di atas. Dugaan yang sama juga timul tentang efek
nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam keadaan syok, dan
efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada tikus-tikus
yang diberi stres berat.
Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin
menimbulkan analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri
pascabedah. Pada beberapa pasien timbul reaksi yang tidak
menyenangkan, misalnya rasa cemas, perasaan yang aneh, sampai
timbulnya day dreams yang mengganggu, atau lebih berat lagi
timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas
yang diduga karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan
morfin, depresi napas tidak bertambah dengan bertambahnya dosis.
Kedua obat ini, terutama levalorfan memperberat depresi napas
oleh morfin dosis kecil, tetapi mengantagonis depresi napas akibat
morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah
pemberian nalokso pada pasien dengan depresi napas akibat agonis
opioid; efek sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera
dihilangkan. Pada dosis besar, nalokson juga menyebabkan
kebalikan efek dari efek psikotomimetik dan disforia akibat agonis-
antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik
terhadap morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala
putus obat yang dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat
penghentian tiba-tiba pemberian morfin, hanya timbulnya
beberapa menit setelah penyuntikan terakhir setelah 2 jam. Berat
dan lama berlangsungnya sindrom ini tergantung dari dosis
antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang sama terjadi pada
orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis parsial, tetapi
diperlukan dosis lebih besar.

b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya
segera terlihat setelah penyuntikan IV. Secara oral nalokson juga
diserap, tetapi karena hampir seluruhnya mengalami metabolisme
lintas pertama maka harus diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan
glukoronidasi. Waktu paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja
1-4 jam. Naltrekson efektif setelah pemberian PO, kadar puncaknya
dalam plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, waktu paruhnya
sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati 24 jam. Metabolitnya,
6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang lemah dan masa
kerjanya panjang.

c. Indikasi
Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi
napas akiat takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh
ibu yang mendapat opioid sewaktu persalinan; atau akibat
tentamen suicide dengan suatu opioid; dalam hal ini nalokson
merupakan obat terpilih. Obat ini juga digunakan untuk
mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik terhadap opioid.

d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh
sifat agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan
psikotomimetik dari nalorfin. Penghentian tiba-tiba pemberian
nalorfin kronis dosis tinggi menyebabkan gejala putus obat yang
khas tetapi lebih ringan daripada gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya
untuk disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan
fisik; tidak menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi
subyektif dianggap sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi
para pecandu.

2. Agonis Parsial
2.1 Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia
yang timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ,
karena sifatnya berbeda dengan analgesia akibat morfin.
Analgesia timbul lebih dini dan hilang lebih cepat daripada
morfin. Pada dosis 60-90 mg obat ini menyebabkan disforia
dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang hanya dapat di
antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia dan efek
psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid,
sedangkan pada uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons
kardiovaskular terhadap pentazosin berbeda dengan respons
terhadap opioid morfin, yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala
putus obat morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang
sama dapat menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan
perut.

b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja,
tetapi karena mengalami metabolisme lintas pertama,
bioavailabilitas PO cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme
secara intensif di hati untuk kemudian diekskresi sebagai
metabolit melalui urin. Pada pasien sirosis hepatis klirensnya
sangat berkurang.

c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang,
tetapi kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat.
Obat ini juga digunakan untuk medikasi praanestesik. Bila
digunakan untuk analgesia obstetrik, pentazosin dapat
mengakibatkan depresi napas yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek
subyektif pada pemberian berulang. Ketergantungan fisik dan
psikis dapat pula terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih
kecil.

2.2 Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol
menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek
suntikan 10 mg morfin atau 80 mg meperidin.
Dosis analgetik butorfanol juga meningkatkan tekanan
arteri pulmonal dan kerja jantung.

b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula
kerja, waktu tercapainya kadar puncak dan masa kerja,
sedangkan waktu paruhnya kira-kira 3 jam.

c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut
pascabedah sebanding dengan morfin, meperidin atau
pentazosin. Butorfanol efektif untuk medikasi praanestetik.
Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri
yang menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol
yang dianjurkan untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau
0,5-2 mg IV dan dapat diulang 3-4 jam.

d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa
lemah, berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan
efek psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada
dosis ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan
kardiovaskular yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.

2.3 Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain
pada SSP seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis
depresi pernapasan yang ditimbulkan oleh dosis anestesik
fentanil sama baiknya dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson
sebelumnya, akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit
untuk mengatasi efek yang sudah ditimbulkan oleh
buprenorfin.
Buprenorfin dapat menimbulkan ketergantungan fisik
dengan gejala dan tanda-tanda putus obat seperti morfin,
tetapi tidak terlalu berat.

b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-
0,8 mg sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada
pasien pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai
dalam 5 menit setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam
setelah penggunaan secara oral atau sublingual. Masa
paruh dalam plasma sekitar 3 jam.

c. Indikasi
Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat
untuk terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan
pengobatan adiksi heroin.
2.4 Tramadol
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang,
tetapi untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk
nyeri persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan
kurang menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.

b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara
oral 68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol
mengalami metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal,
dengan masa paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan
7,5 jam untuk metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam
1 jam setelah penggunaan secara oral, dan mencapai
puncak dalam 2-3 jam. Lama analgesia sekitar 6 jam. DM
per hari yang dianjurkan 400 mg.

c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing,
mulut kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan
nampaknya kurang dibandingkan dengan dosis
ekuianalgetik morfin, dan derajat konstipasinya kurang
daripada dosis ekuivalen kodein.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dijabarkan pada Bab


sebelumnya, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Analgesik opioid merupakan kelompok obat yang memiliki sifat
seperti opium yang digunakan untuk meredakan atau
menghilangkan rasa nyeri, meskipun juga memperlihatkan
berbagai efek farmakodinamik yang lain.
2. Contoh obat-obatan yang termasuk dalam golongan analgesik
opioid adalah morfin, kodein, meperidin, metadon, dan
propoksifen.
3. Obat-obatan golongan analgesik opioid memiliki efek
farmakodinamik pada susunan saraf pusat, saluran cerna, sistem
kardiovaskular, dan otot polos.
4. Obat-obatan analgesik opioid diindikasikan terutama untuk
meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat
diobati dengan analgesi non-opioid.
5. Efek samping yang ditimbulkan obat-obatan analgesik opioid
diantaranya mual, muntah, depresi pernapasan, euforia, disforia,
sedasi, tergantung jenis obat dan dosis yang diberikan pada pasien.

III.2 Saran
Dikarenakan banyaknya jenis obat-obatan yang tergolong dalam
analgesik opioid dengan efek sampingnya masing-masing, maka
disarankan agar pemilihan dan penggunaan obat-obatan ini lebih
diperhatikan dan didampingi pemakaiannya oleh orang-orang medis
untuk meminimalisasi efek samping yang akan ditimbulkan.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. “Chapter I : Analgesik Opioid”. http://repository.usu.ac.id/


bitstream/handle/123456789/24542/Chapter
%20I.pdf;jsessionid=E5698E23E67B058D8503E490EF759795?
sequence=5. Di akses pada tanggal 5 April 2015.

Dewoto, Hedi. 1971. FARMAKOLOGI DAN TERAPI Edisi V. Jakarta :


Departemen Farmakologi dan Terapi FK UI.

Neal, Michael. 2005. At a Glance : FARMAKOLOGI MEDIS. Jakarta :


Penerbit Erlangga.

Olson, James. 1995. BELAJAR MUDAH FARMAKOLOGI. Jakarta :


Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai