Anda di halaman 1dari 3

Nama: Gt Ihda Wardatul Ilmiah

NIM: 131711133028

Hubungan Perubahan Psikososial dengan Kualitas Hidup Lansia

Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia mengalami penurunan


fungsi kognitif dan psikomotor. Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut lansia
juga mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan kepribadian lansia.
Lansia secara psikososial yang di nyatakan krisis bila ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan karena berbagai sebab
diantaranya setelah menjalani masa pensiun, setelah sakit cukup berat dan lama, setelah
kematian pasangan hidup dan lain-lain. Lansia mengalami berbagai permasalahan
psikologis yang perlu diperhatikan oleh perawat, keluarga maupun petugas kesehatan
lainnya.

Perubahan dalam peran sosial di masyarakat akibat berkurangnya fungsi indera


pendengaran, penglihatan, gerak fisik dan sebagainya maka muncul gangguan
fungsional atau bahkan kecacatan pada lansia. Misalnya badannya menjadi bungkuk,
pendengaran sangat berkurang, penglihatan kabur dan sebagainya sehingga sering
menimbulkan keterasingan. Karena jika keterasingan terjadi akan semakin menolak
untuk berkomunikasi dengan orang lain dan kdang-kadang terus muncul perilaku regresi
seperti mudah menangis, mengurung diri, mengumpulkan barang-barang tak berguna
serta merengek-rengek dan menangis bila ketemu orang lain sehingga perilakunya
seperti anak kecil. (Kuntjoro, 2007)

Salah satu fenomena yang dapat dipelajari untuk memahami perubahan


psikososial pada lansia. Kasus bunuh diri di Gunung kidul merupakan sebuah tragedi
kemanusiaan yang mana sebabnya masih menjadi sebuah misteri. Pasalnya masyarakat
di sering mengaitkan kasus bunuh diri dengan mitos pulung gantung. Menurut cerita
yang berkembang, akan ada orang yang gantung diri tepat di mana arah pulung gantung
itu jatuh.

Secara umum tindakan bunuh diri dipandang sebagai tindakan paling personal,
artinya faktor yang melatarbelakangi seseorang melakukan tindakan bunuh diri hanya
faktor psikologis. Namun faktor yang mendorong seseorang melakukan tindakan bunuh
diri bukan hanya faktor psikologis saja, faktor sosial memiliki peran besar pula dalam
memicu terjadinya tindakan bunuh diri. Stengel (dalam Al-Husain, 2005, hlm. 4)
mengungkapkan bahwa bunuh diri merupakan tindakan pribadi yang berkaitan erat
dengan faktor-faktor sosial, di mana seseorang tidak akan dapat dipahami terlepas dari
sistem sosial di mana dia hidup di dalam sistem tersebut.

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya angka bunuh diri di Gunungkidul


yaitu faktor individu, di mana masyarakat tertutup ketika menghadapi masalah dan
kurang mampu meresolusi masalah yang dihadapi. Faktor sosial, di mana masyarakat
jauh dari keluarga dan rendahnya mobilitas. Faktor ekonomi, di mana masyarakat masih
banyak yang bekerja keras di usia lanjut dan terserang sakit menahun.

Beberapa beranggapan bahwa dengan memitoskan pulung gantung merupakan ciri


dari sebuah cara lari dari tanggung jawab sosial. Dengan kondisi masyarakat Indonesia
yang multikultural, khsusnya di Gunungkidul yang terkenal dengan luhurnya budaya,
penyelesaian persoalan secara mistis masih bisa diterima. Namun persoalannya adalah
penyelesaian dengan cara mistis menjadi lebih mengemuka sehingga mengabaikan cara
lain yang lebih rasional seperti melalui perbaikan pendidikan, ekonomi, hubungan
sosial, dan kesehatan.

Melihat masalah – masalah yang telah dikemukakan sudah sewajarnya bahwa


kelompok lansia perlu mendapat pembinaan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan
mutu kehidupan untuk mencapai masa tua yang bahagia dan berguna bagi kehidupan
keluarga dan masyarakat sesuai dengan eksistensinya dalam strata kemasyarakatan.
Misalnya cara berwiraswasta, cara membuka usaha sendiri yang sangat banyak jenis dan
macamnya. Model pelatihan hendaknya bersifat praktis dan langsung terlihat hasilnya
sehingga menumbuhkan keyakinan pada lansia bahwa disamping pekerjaan yang
selama ini ditekuninya, masih ada alternatif lain yang cukup menjanjikan dalam
menghadapi masa tua, sehingga lansia tidak membayangkan bahwa setelah pensiun
mereka menjadi tidak berguna, menganggur, penghasilan berkurang dan sebagainya.

Selain memberikan pelatihan dan pembinaan, lansia pun juga membutuhkan


support system. Adapun dukungan keluarga yang diterima lansia meliputi dukungan
instrumental seperti membelikan obat, menyiapkan minum/ makan lansia, menyiapkan
atau membelikan susu, informasi seperti menginformasikan pada lansia tentang
pelaksanaan posyandu lansia, mengingatkan lansia untuk banyak beristirahat untuk
mengurangi lelah, mengingatkan lansia untuk meminum obat jika keluhan dirasakan
dan penilaan dalam bentuk penengah saat terjadi konflik dengan pasangan,
mengingatkan untuk tetap sabar (Bandiyah, 2009).

Selain berbagai penyakit kronis, lansia juga mengalami masalah psikososial


diantaranya adalah ketidakmampuan fisik, seperti depresi, cemas akan kematian dan
bunuh diri (Stanley & Beare, 2012). Permasalahan psikososial pada lansia dapat
dinetralisir atau dihilangkan dengan kehidupan spiritualitas yang kuat. Spiritualitas
mengatasi kehilangan yang terjadi sepanjang hidup dengan harapan (Stanley & Beare,
2012). Spiritual merupakan dimensi kesejahteraan bagi lansia serta dapat mengurangi
stres dan kecemasan, mempertahankan keberadaan diri sendiri dan tujuan hidup.
Spiritual secara signifikan dapat membantu lansia dan memberi layanan untuk
beradaptasi terhadap perubahan yang diakibatkan oleh penyakit kronis. Lansia yang
memiliki pemahaman spiritual akan merasakan hubungan yang baik dengan orang lain
sehingga dapat menemukan arti dan tujuan hidup, hal ini dapat membantu lansia
mencapai potensi dan peningkatan kualitas hidupnya (Adegbola, 2006).

Anda mungkin juga menyukai