Anda di halaman 1dari 48

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)

Untuk Memenuhi Tugas Individu Departemen Medikal


di Ruang 28 RSUD DR. Saiful Anwar Malang

Disusun Oleh :
RENDA AVISTA DINNY SAPUTRI
190070300111029
Kelompok 2A

PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
DI RUANG 28 RSUD dr SAIFUL ANWAR MALANG

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal

Oleh :
RENDA AVISTA DINNY SAPUTRI
190070300111029
Kelompok 2A

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

( ) ( )
SYSTEMIC LUPUS ERYTEMATOSUS (SLE)

1. Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organ atau
sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan
kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo, Aru dkk, 2009).
SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan adanya autoantibodi
terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi sistem imun,
sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh.

2. Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak bukti
bahwa penyakit istemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifactor, sehingga
etiologinya mencakup :
a. Genetik
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul produk
autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita SLE telah
ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5% anak
kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot, risiko
terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang memiliki
saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada populasi
umum. MHC (Major Histocompatibility Complex) kelas II khususnya HLA- DR2
(Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan dengan timbulnya SLE. Selain itu,
kekurangan pada struktur komponen komplemen merupakan salah satu faktor
risiko tertinggi yang dapat menimbulkan SLE. Sebanyak 90% orang dengan
defisiensi C1q homozigot akan berisiko menderita SLE. Di Kaukasia telah
dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari struktur komplemen reseptor 1, akan
berisiko lebih tinggi menderita SLE.
b. Faktor Imunologi
Pada SLE terdapat beberapa kelainan pada unsur-unsur sistem imun, yaitu :
- Antigen : Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen
Presenting Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita
lupus, beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal tidak
dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di permukaan
sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
- Kelainan intrinsik sel T dan sel B : Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel
B adalah sel T dan sel B akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit
yang memiliki reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel
T dan sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal.
- Kelainan antibody : Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE,
seperti substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen
dan memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih mudah
mengendap di jaringan.
c. Faktor Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa studi
menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen yang
tinggi. Studi lain juga menunjukkan bahwa metabolisme estrogen yang abnormal
dapat dipertimbangkan sebagai faktor resiko terjadinya SLE.
d. Faktor Lingkungan
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
- Infeksi virus dan bakteri: Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan
dalam timbulnya SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus
(EBV), bakteri Streptococcus dan Clebsiella.
- Paparan sinar ultra violet : Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem
imun, sehingga terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh
atau bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah
- Stres : Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah
memiliki kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun
tubuh akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak ada
gangguan sejak awal.
- Obat-obatan : Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu
dapat menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa, hidralasin,
prokainamid, dan isoniazid.
3. Patofisiologi
(terlampir)

4. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana
dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang
kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks,
atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Berikut adalah
manifestasi klinis yang terjadi pada penderita SLE menurut Bartels (2011) :
a. Manifestasi Konstitusional
Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada penderita SLE dan
biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit
dinilai karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti
anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti
prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktivitas penyakit SLE, diperlukan
pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat
penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.
Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita SLE. Penurunan berat
badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala
gastrointestinal.
Demam sebagai salah satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab
lain seperti infeksi karena suhu tubuh lebih dari 40oC tanpa adanya bukti infeksi
lain seperti leukositosis.
b. Manifestasi Muskuloskeletal
Pada penderita SLE, manifestasi pada muskuloskeletal ditemukan poliartritis. Pada
50% kasus dapat ditemukan kaku pagi, tendonitis juga sering terjadi dengan akibat
subluksasi sendi tanpa erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa
osteonekrosis yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan
dengan terapi steroid.
Selain itu, ditemukan juga mialgia yang terjadi pada 60% kasus, tetapi miositis
timbul pada penderita SLE< 5% kasus. Osteoporosis sering didapatkan dan
berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.
c. Manifestasi Kulit yang sering didapatkan pada SLE adalah fotosensitivitas,
butterfly rash, ruam malar, lesi diskoid kronik, alopesia, panikulitis, lesi psoriaform
dan lain sebagainya. Selain itu, pada kulit juga dapat ditemukan tanda-tanda
vaskulitis kulit, misalnya fenomena Raynaud, livedo retikularis, ulkus jari, gangren.
d. Manifestasi Kardiovaskular antara lain penyakit perikardial, dapat berupa
perikarditis ringan, efusi perikardial sampai penebalan perikardial. Miokarditis dapat
ditemukan pada 15% kasus, ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang
memanjang, kardiomegali sampai gagal jantung.
e. Endokarditis Libman-Sachs, seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data
autopsi mendapatkan 50% SLE disertai endokarditis Libman-Sachs. Adanya
vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan endokarditis
bakterialis. Wanita dengan SLE memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-6% lebih
tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang berumur 35-44 tahun, risiko
ini meningkat sampai 50%.
f. Manifestasi Paru-paru seringkali bersifat subklinik sehingga foto toraks dan
spirometri harus dilakukan pada pasien LES dengan batuk, sesak nafas atau
kelainan respirasi lainnya. Pleuritis dan nyeri pleuritik dapat ditemukan pada 60%
kasus. Efusi pleura dapat ditemukan pada 30% kasus, tetapi biasanya ringan dan
secara klinik tidak bermakna. Hipertensi pulmonal sering didapatkan pada pasien
dengan sindrom antifosfolipid. Pasien dengan nyeri pleuritik dan hipertensi
pulmonal harus dievaluasi terhadap kemungkinan sindrom antifosfolipid dan emboli
paru.
g. Manifestasi Ginjal
Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien SLE harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum
dan kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO
membagi nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik
dan/atau proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi
ginjal.
h. Manifestasi Hemopoetik
Pada SLE, terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai dengan
anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia akibat penyakit kronik,
penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan perdarahan dan anemia hemolitik
autoimun.
Selain itu, ditemukan juga lekopenia dan limfopenia pada 50-80% kasus. Adanya
leukositosis harus dicurigai kemungkinan infeksi. Trombositopenia pada SLE
ditemukan pada 20% kasus. Pasien yang mula-mula menunjukkan gambaran
trombositopenia idiopatik (ITP), seringkali kemudian berkembang menjadi SLE
setelah ditemukan gambaran SLE yang lain.
i. Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati
perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-
fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada
SLE.
Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan,
mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak
memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan
untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
j. Manifestasi Gastrointestinal
Dapat berupa hepatomegali, nyeri perut yang tidak spesifik, splenomegali,
peritonitis aseptik, vaskulitis mesenterial, pankreatitis. Selain itu, ditemukan juga
peningkatan SGOT dan SGPT harus dievaluasi terhadap kemungkinan hepatitis
autoimun.

Manifestasi Klinis ditinjau dari :


a. Sistemik
 Kelelahan
 Lesu
 Demam
 Anoreksia
 Mual
 Penurunan berat badan
b. Muskuloskeletal
 Artralgia/myalgia
 Poliartritis non-erosif
 Deformitas tangan
 Miopati/myositis
 Nekrosis iskemik tulang
c. Kulit
 Fotosensitifitas
 Ruam malar
 Ulkus mulut
 Alopesia
 Ruam discoid
 Vaskulitis
 Ruam lain: makulopapular, urtikaria, bula, lupus kutaneus subakut
d. Hematologi
 Anemia (penyakit kronis)
 Lekopenia (< 4000/m3)
 Limfopenia ( < 1500/m3)
 Trombositopenia ( < 100.000/m3)
 Splenomegali
 Limfadenopati
 Anemia hemolitik
e. Neurologi
 Disfungsi kognitif
 Gangguan mood
 Nyeri kepala
 Kejang
 Mono- atau polineuropati
 Stroke atau TIA
 Acute confusional state atau gangguan gerak
 Meningitis aseptik, mielopati
f. Kardiopulmonar
 Pleuritis, Perikarditis, Efusi
 Miokarditis, Endokarditis
 Pneumonitis lupus
 Penyakit arteri coroner
 Fibrosis interstisial
 Hipertensi pulmonal, ARDS, perdarahan
g. Ginjal
 Proteinuria > 500 mg/24 jam, Cetakan seluler
 Sindroma nefrotik
 Gagal ginjal stadium akhir
h. Gastrointestinal dan Hepar
 Tidak spesifik (anoreksia, mual, nyeri ringan, diare)
 Enzim hati abnormal
 Vaskulitis
i. Trombosis
 Vena
 Arteri
j. Mata
 Sindroma sikka
 Konjungtvitis/episkleritis
 Vaskulitis retina

5. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan pada penderita SLE menurut Bartels (2011),
yaitu :
a. Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada penyakit SLE adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan
urin. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya anemia hemolitik,
trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR)
meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin
tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu,
hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria,
hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel
darah merah pada urin.
b. Pemeriksaan Autoantibodi.
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses
imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat
lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE, Arthritis
Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk
autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis
maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang
mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula
halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan
terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper
dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan
atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide
terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan
sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan
mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini
semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia
seseorang.
Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit. Oleh
karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses
patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun
dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi.
Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit
autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru
dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun
apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
 Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang
spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada
connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective
Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali
ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita
LES. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan
spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP),
Ro/SS-A dan La/SS-B.
ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA
digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.
Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita LES menunjukkan
pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40%
pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang
berusia > 70 tahun.
 Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibodi yang
reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif
dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti
diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada
sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA
menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit.
c. Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.
Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi
oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator
yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah
satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai
(self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis.
Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama
adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan eksaserbasi,
penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

6. Penatalaksanaan
Obat-obat lupus secara umum :
a. NSAID (Non Steroid Anti-Inflamasi Drugs)
NSAIDs adalah obat anti inflamasi non steroid) merupakan pengobatan yang
efektif untuk mengendalikan gejala pada tingkatan ringan, tapi harus digunakan
secara hati-hati karena sering menimbulkan efek samping peningkatan
tekanan darah dan merusak fungsi ginjal.
b. Kortikosteroid
Penggunaan dosis steroid yang tepat merupakan kunci utama dalam
pengendalian lupus. Dosis yang diberikan dapat terlalu rendah untuk
pengendalian penyakit, namun kesalahan yang sering terjadi adalah
pemberian dosis terlalu tinggi dalam waktu terlalu lama.
Osteoporosis yang disebabkan oleh steroid adalah masalah yang umumnya terjadi
pada Odapus. Sehingga dibutuhkan penatalaksanaan osteoprotektif seperti
pemriksaan serial kepadatan tulang dan obat-obat osteoprotektif yang efektif
seperti kalsium dan bifosfonat.
Peningkatan risiko terserang infeksi merupakan perhatian utama dalam terapi
steroid, terutama pada mereka yang juga mengkonsumsi obat imunosupresan.
Meskipun memiliki banyak efek samping, obat kortikisteroid tetap merupakan
obat yang berperan penting dalam pengendalian aktifitas penyakit. Karena itu,
obat ini tetap digunakan dalam terapi lupus.
c. Antimalaria
Hydroxychloroquine (Plaquenil) lebih sering digunakan disbanding kloroquin
karena risiko efek samping pada mata diyakini lebih rendah. Pasien dianjurkan
untuk memeriksa ketajaman visual setiap 6 bulan untuk identifikasi dini
kelainan mata selama pengobatan. Dewasa ini pemberian terapi
hydroxychloroquine diajurkan untuk semua kasus lupus dan diberikan untuk
jangka panjang. Obat ini memiliki manfaat untuk mengurangi kadar kolesterol, efek
anti-platelet sederhana dan dapat mengurangi risiko cedera jaringan yang menetap
serta cukup aman pada kehamilan.
d. Immunosupresan
 Azathioprine
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit imunosupresan: mengurangi
biosintesis purin yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel termasuk sel
sistem kekebalan tubuh. Mual adalah efek samping yang umum terjadi,
sedangkan leukopenia dan trombositopenia terjadi hanya pada sekitar 4%
kasus. Pemantauan efek obat bisa menjadi masalah jika odapus sudah
memiliki gejala klinis tersebut..
 Mycophenolate mofetil
Mycophenolate mofetil (MMF) berfungsi menghambat sintesis
purin,proliferasi limfosit dan responsel T antibodi. Dibandingkan
siklofosfamid,MMF tidak menyebabkan kegagalan fungsi ovarium (indung
telur) dan lebih sedikit menyebabkan infeksi serius, leukopenia atau
alopecia (kebotakan). Obat ini juga diduga lebih efektif dan lebih baik
ditoleransi daripada azathioprine namun kontra indikasi dalam kehamilan,
sehingga hanya boleh digunakan pada wanita usia subur bila disertai
penggunaan kontrasepsiyang dapat diandalkan. Karena panjangnya waktu
paruh, pengobatan harus dihentikan sedikitnya enam minggu sebelum
konsepsi yang direncanakan.
 Cyclosporin
Cyclosporin menghambat aksi kalsineurin sehingga menyebabkan
penurunan fungsiefektorlimfosit T. Hipertensi dan peningkatan kreatinin
serum merupakan efek samping yang paling sering terjadi sehingga
pemantauan tekanan darah dan kreatinin sangat penting. Obat ini dianggap
aman untuk digunakan selama kehamilan dalam dosis efektif terendah
dengan memonitorsecara seksama tekanan darah dan fungsi ginjal.
 Cyclophosphamide
Obat ini telah digunakan secara luas untuk pengobatan lupus yang
mengenai organ internal dalam empat dekade terakhir. Obat ini juga
banyak digunakan untuk pengobatan lupus susunan saraf pusat berat dan
penyakit paruberat. Dapat diberikan dalam dosis oral harian atau sebagai
infus intravena. Sesuai dengan keparahan penyakit. Efek samping utama
yang harus diperhatikan adalah peningkatan risiko infeksi, kegagalan
fungsi ovarium, toksisitas kandung kemih, dan peningkatan risiko
keganasan. Obat ini mengganggu fungsi organ reproduksi baik pada pria
maupun wanita. Sehingga penggunaan obat harus dihentikan tiga bulan
sebelum konsepsi.
 Rituximab
Rituximab bekerja pada sel B yang diduga merupakan sel esensial
dalam perkembangan lupus. Sekarang ini Rituximab sering diberikan
kombinasi dengan methotrexate. Setelah infus rituximab ditemukan
penurunan tingkat autoantibodi. Rituximab telah menyebabkan kemajuan
dramatis pada beberapa odapus. Saat ini Rituximab termasuk salah satu
obat yang menjanjikan untuk Lupus.
Penatalaksanaan SLE :
1. Penyuluhan dan intervensi psikososial
Terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan
penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok
penderita yang bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya.
Pada umumnya, penderita SLE mengalami foto sensitivitas sehingga penderita harus
selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka
dinasihatkan untuk selalu menggunakan krim pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau paying bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga
harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Selain itu, penderita SLE juga
harus menghindari rokok.
2. Pengaturan kehamilan
Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama penderita
dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupakan
kontraindikasi untuk kehamilan. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi
akut SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan
aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.
3. Obat anti inflamasi termasuk aspirin atau obat anti inflamasi non steroid lainnya
digunakan untuk mengobati demam dan artritis
4. Kortikosterid sistemik digunakan untuk mengobati atau mencegah patologi ginjal dan
susunan saraf pusat
5. Obat anti inflamasi, seperti metotreksat dan obat sitotoksik (azatioprin) digunakan
jika steroid tidak efektif atau gejala berat
6. Obat antimalaria digunakan untuk mengobati ruam kulit, arthritis dan gejala lain.

7. Komplikasi
 Gagal ginjal adalah penyebab tersering kematian pada penderita SLE. Gagal ginjal
dapat terjadi akibat deposit kompleks antibodi-antigen pada glomerulus disertai
dengan pengaktifan komplemen resultan yang menyebabkan cedera sel.
 Dapat terjadi perikarditis (peradangan kantong perikardium yang mengelilingi
jantung).
 Peradangan membran pleura yang mengelilingi paru dapat membatasi pernapasan.
Sering terjadi bronkitis.
 Dapat terjadi vaskulitis disemua pembuluh serebrum dan perifer.
 Komplikasi susunan saraf pusat termasuk stroke dan kejang. Perubahan
kepribadian, termasuk psikosis dan depresi, dapat terjadi. Perubahan kepribadian
mungkin berkaitan dengan terapi obat atau penyakitnya.

8. Pencegahan
Pada umumnya, ilmu dalam medis hanya memastikan agar kita semua dapat
menjalani pola hidup sehat meliputi pola makan sehat, istirahat cukup, olahraga teratur,
menjauhi minuman keras, rokok, bekerja terlalu lelah, serta banyak mengkonsumsi
sayuran dan buah-buahan kedalam menu harian. Satu set kegiatan dan pola hidup
sehat tersebut selalu diyakini berfungsi untuk membentuk sistem imun tubuh sehingga
dapat menjauhkan manusia dari penyakit apapun juga. Apabila seseorang menderita
penyakit lupus oleh karena sebab genetik, maka dengan menjalani pola hidup sehat
yang disebutkan, penyakit lupus akan dapat ‘ditekan’ atau dibuat ‘tidur’ sehingga tidak
menimbulkan gejala – gejala maupun gangguan.

Untuk mencegah kambuhnya SLE, penderita Lupus disarankan melakukan hal-


hal sebagai berikut:
 Menghindari stress dan trauma fisik.
 Menghindari merokok
 Menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
 Melakukan istirahat yang cukup. Kelelahan dan aktivitas fisik yang berlebih bisa
memicu kambuhnya SLE.
 Menghindari infeksi. Pasien SLE cenderung mudah mendapat infeksi, dan
kadang-kadang penyakit ini kambuh setelah infeksi.
 Menghindari paparan sinar matahari, khususnya pukul 09.00-15.00 karena
pasien SLE cenderung sensitive terhadap sinar ultraviolet. Kulit yang terkena
sinar matahari dapat menimbulkan kelainan kulit seperti timbulnya bercak
kemerahan yang menonjol/ menebal.
 Menghindari obat-obatan yang mengandung hormon estrogen, seperti pil KB/
kontrasepsi (Robert, 2009).
Asuhan Keperawatan

Pengkajian
1. Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala
sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri,
kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra
diri pasien.
2. Kulit : Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
a. Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
b. Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan
gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan.
4. Sistem Muskuloskeletal : Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika
bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integument
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi.
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
6. Sistem pernafasan : Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler : Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor
lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal : Edema dan hematuria.
9. Sistem Saraf : Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang.

Diagnosa Keperawatan
 Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan lapisan kulit
 Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan dispnea
 Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
 Gangguan citra tubuh berhubungan dengan penyakit.
 Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan imun

Intervensi
1. Kerusakan Integritas Kulit b.d Kerusakan Lapisan Kulit
NOC : Tissue Integrity: Skin & Mucous Membranes
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepewatan diharapkan kerusakan kulit
berkurang/ hilang dengan criteria hasil :
 Tidak ada eritema pada kulit
 Tekstur dan ketebalan jaringan normal
 Perfusi jaringan normal
 Tidak ada tanda atau gejala infeksi
 Tidak ada lesi
 Tidak terjadi nekrosis
Skala penilaian NOC :
1.      Bisa dikompromi
2.      Signifikan bisa dikompromi
3.      Cukup bisa dikompromi
4.      Agak bisa dikompromi
5.      Tidak bisa dikompromi
NIC : Skin Surveillance
1. Monitor warna dan suhu kulit
2. Monitor kulit dan membran mukosa pada area yang memar atau mengalami
kerusakan
3. Monitor ruam dan abrasi pada kulit
4. Monitor terjadinya infeksi khususnya pada area edema
5. Dokumentasikan perubahan membran mukosa dan kulit
6. Instruksikan keluarga tentang tanda kerusakan kulit
NIC : Skin Care: Topical Treatments
1. Bersihkan kulit dengan sabun antibakteri
2. Pijat disekitar area infeksi
3. Jaga kasur tetap bersih dan kering
4. Ajarkan toilet hygiene
5. Gunakan antibiotik topical disekitar luka.

2. Ketidakefektifan Pola Nafas b.d Dispnea


NOC : Respiratory Status : Ventilation
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola nafas efektif
dengan kriteria hasil :
 RR dengan batas normal
 Irama nafas normal
 Tidak ada dispnea
 Suara perkusi normal
 Tidak ada traktil fremitus
 Kapasitas vital normal
Skala penilaian NOC :
1. Berada pada batas normal
2. Signifikan berada pada batas normal
3. Cukup berada pada batas normal
4. Agak berada pada batas normal
5. Tidak berada pada batas normal
NIC : Oxygen therapy
1.    Bersihkan mulut dan hidung dan secret trachea
2.    Pertahankan jalan nafas yang paten
3.    Atur peralatan oksigenasi
4.    Monitor aliran oksigen
5.    Pertahankan posisi pasien
NIC : Vital sign monitoring
1.    Monitor TD, nadi, suhu da RR
2.    Monitor frekuensi dan irama pernafasan
3.    Monitor suhu, warna dan kelembaban kulit

3. Kekurangan Volume Cairan b.d Kehilangan Cairan Aktif


NOC : Fluid balace
Tujuan : setalah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan terjadi keseimbangan
cairan dengan criteria hasil :
 TD normal
 Keseimbangan masukan dan haluaran selama 24 jam
 Berat badan seimbang
 Turgor kulit normal
 Membrane mukosa normal
 Turgor kulit baik
Skala penilaian NOC :
1. Bisa dikompromi
2. Signifikan bisa dikompromi
3. Cukup bisa dikompromi
4. Agak bisa dikompromi
5. Tidak bisa dikompromi
NIC : Fluid management
1.    Timbang popok jika diperlukan
2.    Pertahankan intake dan output
3.    Monitor status hidrasi
4.    Monitor TTV
5.    Dorong kluarga untuk membantu pasien makan

4. Gangguan citra tubuh b.d penyakit.


NOC : Self esteem
Tujuan : setalah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan akan timbul rasa percaya
diri dengan criteria hasil :
 Dapat menerima kekurangan pada diri sendiri
 Dapat membuka komunikasi
 Menerima kritik yang membangun
 Dapat mempertahankan kontak mata
 Dapat merasakan akan kelayakan diri
 Dapat mempertahankan postur tubuh dengan tegak
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah
2. Jarang
3. Kadang-kadang
4. Sering
5. Selalu

NIC : Self Esteem Enhancement


1. Dorong kontak mata pada saat berkomunikasi dengan orang lain
2. Dorong pasien untuk menguatkan identitas
3. Buatlah pernyataan positiv kepada pasien
4. Ajarkan keluarga untuk mengakui prestasi anaknya
5. Monitor tingkatan kepercayaan diri setiap waktu.

5. Resiko infeksi b.d penurunan imun


NOC : Immune status
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan kepewatan diharapkan tidak terjadi infeksi dengan
criteria hasil :
 Status gastrointestinal normal
 Status respirasi normal
 Suhu tubuh normal
 Integritas kulit normal
 Tidak menunjukan kelemahan
 Menunjukan kekebalan tubuh
Skala penilaian NOC :
1. Tidak pernah menujukan
2. Jarang menunjukan
3. Kadang menunjukan
4. Sering menunjukan
5. Selalu menunjukan

NIC : Imunisation / Vaccination Administration


1. Ajarkan orang tua untuk mengikuti jadwal vaksinasi
2. Ajarkan keluarga untuk melakukan vaksinasi seperti kolera, influenza, rabies, demam
typhoid, tifus, TBC.
3. Sediakan informasi mengenai imunisasi
4. Pantau pasien setelah mendapat imunisasi
5. Identifikasi kontra indikasi dari pemberian imunisasi seperti panas.
DAFTAR PUSTAKA

Bartels CM, Krause RS, Lakdawala VS, et al. 2011. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/ 332244-overview.

Baughman, Diane C. 2008. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku Brunner and Suddarth;
Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC.

Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima.
Jakarta: Interna Publishing ; 2565-2579.

Leveno, Kenneth J. 2009. Obstetri Williams:Panduan Ringkas Ed 21; Jakarta: Penerbit


Kedokteran EGC.

Matulessy, Tirza G. 2010. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien
Lupus Eritematosus Sistemik ( LES ) ( Tesis ). Jakarta ( Indonesia ) : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Robert Eisenberg. 2009. SLE - Rituximab in lupus. WEB:


http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC165056. Diakses pada tanggal 14
Agustus 2017 Pkl. 21.00 WIB.

Rusi M, Syamsi dan Ramona P, Kapoh. 2009. Obstetri dan Ginekologi : Panduan Praktik,
Ed. 2. Jakarta : EGC .
Patofisiologi

Genetik Lingkungan Obat-obatan

Sistem regulasi
kekebalan terganggu

Mengaktivasi sel
T dan B

Fungsi sel T supresor


abnormal

Peningkatan produksi
auto antibodi

Penumpukan
kompleks imun
JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA

PENGKAJIAN DASAR KEPERAWATAN


Nama Mahasiswa : Renda Avista Tempat Praktik : R. 28 RSSA
NIM : 190070300111029 Tgl. Praktik : 16-21 Maret 2020

A. Identitas Klien
Nama : Ny. R No. RM : 11390xxx

Usia : 40 Tahun Tgl. Masuk : 3 Maret 2020

Jenis kelamin : Wanita Tgl. Pengkajian: 16 Maret 2020

Alamat : Gresik Sumber informasi: Klien dan suami

No. telepon : 0821342xxx Nama klg. yg bisa dihubungi : Tn. S

Status pernikahan : Menikah

Agama : Islam Status : Suami

Suku : Jawa Alamat : Gresik

Pendidikan : SMA No. telepon : 0821342xxx

Pekerjaan : Karyawam pabrik mie instan Pendidikan : SMA

Lama berkerja : 5 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

B. Status kesehatan Saat Ini


1. Keluhan utama MRS : Klien mengeluh sesak
2. Keluhan utama saat pengkajian : Klien mengeluh nyeri di bagian pinggang dan pegal-
pegal persendian
P : Proses penyakit
Q : klien mengatakan nyeri terasa pegal-pegal
R : Klien mengatakan nyeri di pinggang, tangan dan kaki
S : Klien mengatakan nyeri yang dirasakan dengan skala 4
T : Klien mengatakan nyeri dirasakan terus menerus
3. Lama keluhan : Klien mengatakan nyeri sejak 1 bulan yang lalu.
4. Kualitas keluhan : Klien mengatakan nyeri dengan skala 4
5. Faktor pencetus : Autoimun
6. Faktor pemberat : Kurangnya pengetahuan tentang lupus sehingga pengobatan
terlambat
7. Upaya yg. telah dilakukan : Dibawa ke Rumah Sakit Muhammadiyah Gresik
8. Diagnosa medis
a. DOC (perbaikan) .................................................................... tanggal 16 Maret 2020
b. SLE derajat berat MEXSLEDAI 20 ....................................... tanggal 16 Maret 2020
c. Lupus nefritis WHO class III-IV ............................................. tanggal 16 Maret 2020
d. Pneumonia HAP (resolved) ................................................... tanggal 16 Maret 2020

C. Riwayat Kesehatan Saat Ini

Keluarga mengatakan klien sesak 2 hari SMRS (1-3-2020) sesak saat istirahat dan
badan lemas.keluarga membawa klien ke RS Muhammadiyah Gresik dan pasien dirujuk
ke RSSA tanggal 3-3-2020. Pasien perlu mendapatkan perawatan intensif sehingga
dirawat di R. 26 IPD selama 1 minggu. Keluarga mengatakan setelah cuci darah pasien
membaik sehingga dipindahkan ke R. 28 RSSA Keluarga mengatakan klien sempat tidak
sadar 1 hari SMRS sempat lemah pada badan sebelah kiri dan tidak ingat siapa-siapa.
Keluarga mengatakan klien sakit SLE sejak 2 tahun yang lalu dan rutin kontrol ke poli
RSSA. Keluarga mengatakan awal sakit dengan keluhan panas, linu di badan. Saat ini
kondisi pasien sudah sadar GCS E4V5M6, kaki dan tangan sudah dapat digerakan
semua TD 140/90, Nadi 96x/menit, RR: 20x/menit, Suhu 36,6oC. Saat ini klien mengeluh
nyeri pada badan, tangan, dan kaki.

D. Riwayat Kesehatan Terdahulu


1. Penyakit yg pernah dialami :
a. Kecelakaan (jenis & waktu) : Tidak ada
b. Operasi (jenis & waktu) : Tidak ada
c. Penyakit:
 Kronis : SLE sejak 2 tahun yang lalu
 Akut : tidak ada
d. Terakhir masuki RS : 1 Maret 2020 di RS Muhammadiyah Gresik selama 2 hari
2. Alergi (obat, makanan, plester, dll) : asam mefenamat, supertetra, amoxicilin .
3. Imunisasi :
(√) BCG (√) Hepatitis

(√) Polio (√) Campak

(√) DPT ( ) .................


4. Kebiasaan :
Jenis Frekuensi Jumlah Lamanya

Merokok : Tidak ada Tidak ada Tidak ada

Kopi : tidak ada Tidak ada Tidak ada

Alkohol : Tidak ada Tidak ada Tidak ada

5. Obat-obatan yg digunakan :
Jenis Lamanya Dosis

Meropenem sejak 2 tahun yang lalu 2x500 mg

Methylprednisolone sejak 2 tahun yang lalu 1x4 mg

Pantoprazole sejak dirawat di RS Muhammadiyah Gresik 2x40 mg

E. Riwayat Keluarga
Keluarga mengatakan bahwa tidak ada anggota keluarga yang sakit seperti pasien
memiliki riwayat penyakit kencing manis, Hipertensi, Jantung, Ginjal.

Genogram :

40
th

Keterangan :

: Laki-Laki : Garis Keturunan : Tinggal serumah

: Perempuan : Klien

F. Riwayat Lingkungan
Jenis Rumah Pekerjaan

 Kebersihan Bersih Bersih


 Bahaya kecelakaan Tidak ada Tidak ada
 Polusi Tidak ada Tidak ada
 Ventilasi Cukup Cukup
 Pencahayaan Cukup Cukup

G. Pola Aktifitas-Latihan
Rumah Rumah Sakit

 Makan/minum 0 0
 Mandi 0 2
 Berpakaian/berdandan 0 2
 Toileting 0 2
 Mobilitas di tempat tidur 0 2
 Berpindah 0 4
 Berjalan 0 4
 Naik tangga 0 tidak dilakukan
Pemberian Skor: 0 = mandiri, 1 = alat bantu, 2 = dibantu orang lain, 3 = dibantu orang lain, 4 = tidak
mampu

H. Pola Nutrisi Metabolik


Rumah Rumah Sakit

 Jenis diit/makanan Tidak ada pantangan TKTP


 Frekuensi/pola 3x sehari / teratur 3x sehari / teratur
 Porsi yg dihabiskan 1 porsi 1x makan ¼ porsi yang disediakan
 Komposisi menu Nasi, lauk, sayur nasi, lauk, sayur
 Pantangan Tidak ada Tidak ada
 Napsu makan Baik menurun
 Fluktuasi BB 6 bln. terakhir Berat badan turun ±5 kg Tetap
 Jenis minuman Air putih Air putih
 Frekuensi/pola minum Sering Jarang
 Gelas yg dihabiskan 6 gelas 500ml(botol air mineral kecil)
 Sukar menelan (padat/cair) Tidak ada Sukar menelan makanan padat
 Pemakaian gigi palsu (area) Tidak ada Tidak ada
 Riw. masalah penyembuhan luka Tidak ada Tidak ada

I. Pola Eliminasi
Rumah Rumah Sakit

 BAB:
- Frekuensi/pola 1x/hari 1x/2hari
- Konsistensi Padat Padat
- Warna & bau Kuning kecoklatan Kuning kecoklatan
- Kesulitan Tidak ada Tidak ada
- Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada
 BAK:
- Frekuensi/pola 4-5x/hari 3x/hari
- Konsistensi Cair Cair
- Warna & bau Kuning Jernih Kuning Jernih
- Kesulitan Tidak ada Tidak ada
- Upaya mengatasi Tidak ada Tidak ada

J. Pola Tidur-Istirahat
Rumah Rumah Sakit

 Tidur siang:Lamanya 2 jam 2 jam


- Jam …s/d… 12.00-14.00 12.00-14.00
- Kenyamanan stlh. tidur badan segar badan segar
 Tidur malam: Lamanya 6 jam 7 jam
- Jam …s/d… 22.00-04.00 21.00-04.00
- Kenyamanan stlh. tidur Nyaman Nyaman
- Kebiasaan sblm. tidur Nonton TV Tidak ada
- Kesulitan Tidak ada sering terbangun
- Upaya mengatasi Tidak ada berusaha untuk tidur lagi

K. Pola Kebersihan Diri


Rumah Rumah Sakit

 Mandi:Frekuensi 2x/hari 1x/hari


- Penggunaan sabun Memakai sabun tidak memakai sabun
 Keramas: Frekuensi 3x/hari belum
- Penggunaan shampoo Memakai shampo belum
 Gososok gigi: Frekuensi 2x/hari 1x/hari
- Penggunaan odol Memakai odol Memakai odol
 Ganti baju:Frekuensi 2x/hari 1x/hari
 Memotong kuku: Frekuensi 1x/mingu Belum
 Kesulitan Tidak ada Tidak ada
 Upaya yg dilakukan Tidak ada Tidak ada

L. Pola Toleransi-Koping Stres


1. Pengambilan keputusan: ( ) sendiri (√) dibantu orang lain, sebutkan : Suami
2. Masalah utama terkait dengan perawatan di RS atau penyakit (biaya, perawatan diri,
dll) : Klien tidak dapat berjalan sehingga tingkat ketergantungan parsial, klien
menggunakan BPJS
3. Yang biasa dilakukan apabila stress/mengalami masalah: Bercerita kepada suami
4. Harapan setelah menjalani perawatan : Dapat segera pulang ke rumah.
5. Perubahan yang dirasa setelah sakit : Tidak bisa bertemu dengan anak.

M. Konsep Diri
1. Gambaran diri : Klien adalah seorang istri yang sedang sakit.
2. Ideal diri: Klien memahami bahwa sedang sakit.
3. Harga diri: Klien ikhlas menerima penyakitnya.
4. Peran: Klien adalah seorang Ibu
5. Identitas diri : Klien adalah seorang istri.

N. Pola Peran & Hubungan


1. Peran dalam keluarga Istri dan ibu
2. Sistem pendukung:suami/istri/anak/tetangga/teman/saudara/tidak ada/lain-lain,
sebutkan:
3. Kesulitan dalam keluarga: ( ) Hub. dengan orang tua ( ) Hub.dengan pasangan
( ) Hub. dengan saudara ( ) Hub.denga anak
( ) Lain-lain sebutkan :
4. Masalah tentang peran/hubungan dengan keluarga selama perawatan di RS: tidak
ada
5. Upaya yg dilakukan untuk mengatasi: Tidak ada
O. Pola Komunikasi
1. Bicara: (√) Normal (√) Bahasa utama: Jawa dan Indonesia
( ) Tidak jelas (√) Bahasa daerah: Jawa

( ) Bicara berputar-putar ( ) Rentang perhatian:

(√) Mampu mengerti pembicaraan orang lain ( ) Afek:

2. Tempat tinggal: ( ) Sendiri ( ) Kos/asrama (√) Bersama orang lain, yaitu: Suami, Anak
3. Kehidupan keluarga
a. Adat istiadat yg dianut: Jawa
b. Pantangan & agama yg dianut: Tidak ada
c. Penghasilan keluarga: ( ) < Rp. 250.000 ( ) Rp. 1 juta – 1.5 juta
( ) Rp. 250.000 – 500.000 (√ ) Rp. 1.5 juta – 2 juta

( ) Rp. 500.000 – 1 juta ( ) > 2 juta

P. Pola Seksualitas
1. Masalah dalam hubungan seksual selama sakit: (√) tidak ada ( ) ada
2. Upaya yang dilakukan pasangan:
(√) perhatian ( ) sentuhan ( ) lain-lain, seperti :

Q. Pola Nilai & Kepercayaan


1. Apakah Tuhan, agama, kepercayaan penting untuk Anda, Ya/Tidak
2. Kegiatan agama/kepercayaan yg dilakukan dirumah (jenis & frekuensi): Sholat 5 waktu
3. Kegiatan agama/kepercayaan yang dapat dilakukan di RS: Berdzikir
4. Harapan klien terhadap perawat untuk melaksanakan ibadahnya: Klien ingin tetap
beribadah meski sedang sakit.

R. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum: Compos mentis
 Kesadaran: GCS 456
 Tanda-tanda vital: - Tekanan darah : 140/90 mmHg - Suhu : 36,6 oC
- Nadi : 96x/menit - RR : 20x/menit

 Tinggi badan: 150 cm Berat Badan: 35 kg


 IMT = 35 : (1,50)2 kg/m2
= 15,5 (underweight)

2. Kepala & Leher


a. Kepala:
Inspeksi : Bentuk kepala normal, rambut panjang dan berwarna hitam dan kulit
kepala bersih, tidak terdapat luka

Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada nyeri tekan

b. Mata:
Inspeksi : Penglihatan normal, sklera tidak ikterik, konjungtiva tidak anemis, pupil
isokor 3 mm/3 mm, reaksi pupil terhadap cahaya +/+.

c. Hidung:
Inspeksi : Hidung normal dan tampak simetris, tidak ada epistaksis
d. Mulut & tenggorokan:
Inspeksi : Mukosa bibir tidak sianosis, tidak ada nyeri telan, bibir lembap

e. Telinga:
Inspeksi : Fungsi pendengaran baik, tidak ada luka dan perdarahan, tidak ada
serumen

f. Leher:
Inspeksi : Tampak simetris

Palpasi : Tidak ada benjolan, tidak ada deviasi trakea, tidak ada pembesaran vena
jugularis.

3. Thorak & Dada:


 Jantung
- Inspeksi: Simetris
- Palpasi: Ictus cordis teraba di ICS 5 mid klavikula.
- Perkusi: Terdapat bunyi dullness.
- Auskultasi: irama jantung terdengar S1 dan S2
 Paru
- Inspeksi: Bentuk dada dan pergerakan dinding dada simetris, tidak terdapat
penggunaan otot bantu pernapasan.
- Palpasi: Tidak terdapat benjolan.
- Perkusi: Terdapat bunyi sonor.
- Auskultasi: Tidak terdapat suara napas tambahan (ronchi dan wheezing)
4. Payudara & Ketiak
Inspeksi : Tidak ada lesi atau luka
Palpasi : massa (-)
5. Punggung & Tulang Belakang
Inspeksi : Tidak ada lesi atau luka, klien mengeluh nyeri pada pinggang

6. Abdomen
 Inspeksi: warna cokelat, bersih, tidak ada massa
 Palpasi: tidak ada pembesaran, tidak terdapat cairan
 Perkusi: tympani
 Auskultasi: Bising usus terdengar 10x/menit,
7. Genetalia & Anus : Tidak terkaji
8. Ekstermitas
Ekstremitas Atas : Tidak terdapat luka ataupun krepitasi, akral hangat, terdapat warna
eperti terbakar pada lengan atas bagian dalam, klien mengeluh pegal pada tangan
Ekstremitas Bawah : Tidak terdapat edema pada kedua kaki, akral teraba hangat,
tidak terdapat deformitas, klien mengeluh pegal pada kaki
Kekuatan Otot :
5 5
5 5

9. Sistem Neorologi :
Reflek fisiologis

- Tidak ada masalah nervus I-XII


Pemeriksaan Reflek Patologis
- Reflek Babinski : - / -
- Reflek Hoffman : - / -
- Reflek Chadock : - / -
- Reflek Oppenheim : - / -
- Reflek Gordon : - / -
Reflek Meningeal
- Kaku kuduk (-) klien mampu menempelkan dagu pada dada tanpa tahanan
- Brudzinzki I (-) klien tidak menekuk kaki saat dagu di tempelkan ke dada
- Brudzinski II (-) klien tidak mengangkat kaki saat salah satu kakinya diangkat
- Tanda kernig (-) klien tidak merasa sakit saat salah satu kaki diangkat

10. Kulit & Kuku : Terdapat bekas gatal di bagian lengan sebelah kanan, tidak terdapat
lesi/luka, CRT < 2 dtk.

S. Hasil Pemeriksaan Penunjang

Terlampir

T. Terapi

TERAPI FUNGSI
Metylprednisolon 3x16 mg IV Anti peradangan
Azatriopin 2x25 mg p.o Imunosupresif (menekan sistem imun)
Kalk 1x500mg p.o
Pct 3x500 mg PO k/p Antipiretik
NS 0,9% 1500 cc/24 jam Membantu memenuhi kebutuhan cairan
tubuh
Bedrest Mencegah metabolisme berlebih

U. Persepsi Klien Terhadap Penyakitnya


Klien ingin segera pulang dan menyerahkan kepada Yang Maha Kuasa.

V. Kesimpulan
Dari hasil pemeriksaan klien yang telah dilakukan, diagnosa medis : SLE sejak tahun
2018. Keluhan nyeri pada pinggang dan persendian kaki yang dirasakan oleh klien
selama 1 bulan, maka diagnosa keperawatan yang ditegakkan adalah nyeri akut. Selain
itu, klien pun mengatakan telah menjalani cuci darah dan dari hasil perhitungan GFR:
maka masalah keperawatan yang dapat diambil ketidakefektifan perfusi jaringan ginjal.
Dari keluhan klien yang mengatakan tidak nafsu makan dan mengalami penurunan BB 5
kg didapatkan diagnosa keperawatan ketiga ketidakseimbangan nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh.

W.Perencanaan Pulang

 Tujuan pulang: Rumah klien di Gresik


 Transportasi pulang: Mobil
 Dukungan keluarga: Suami dan adik klien sangat mendukung dan menemani klien.
 Antisipasi bantuan biaya setelah pulang: BPJS
 Antisipasi masalah perawatan diri setelah pulang: minum obat secara rutin, istirahat
cukup, dan kontrol rutin ke RSSA
 Pengobatan: oral dimasukan meminum obat dan kontrol ke dokter, jika sakit periksa
ke Rumah Sakit
 Rawat jalan ke: Poli dalam RSSA
 Hal-hal yang perlu diperhatikan di rumah: perawatan diri dan makanan, jika ada tanda
dan gejala kekambuhan maka segera dibawa ke rumah sakit

 Keterangan lain: Kontrol ke dokter secara rutin. –


HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG DI RSSA MALANG

Jenis Pemeriksaan Hasil Niai Normal

3 Maret 2020

Hematologi

13,4 – 17,7
Hemoglobin 7,2 g/dL (turun)

4,0 – 5,0
Eritrosit 3,26x106/uL (turun)

4,3 – 10,3
Leukosit 4,28x103/uL (N)

Hematokrit 21,6% (turun) 40 – 47

Trombosit 204x106/uL (N) 142 – 424

MCV 66,30 fL (N) 80-93

MCH 22,10 pg (N) 27 – 31

MCHC 33,3 g/dL (N) 32 – 36

RDW 25,20% (N) 11,5 – 14,5

Eosinophil 0,0% (N) 0–4

Basophil 0,0% (N) 0–1

Neutrophil 79,4% (naik) 51 – 67

Monosit 6,1 x103/uL (naik) 0,16 – 1

FAAL GINJAL

Ureum 51,90 mg/dL (tinggi) 16,6-48,5

Kreatinin 1,15 mg/dL <1,2

METABOLISME KARBOHIDRAT

Glukosa darah sewaktu 135 mg/dL (N) < 200

ELEKTROLIT

Natrium 143 mmol/L (N) 136-145


Kalium 3,61 mmol/L (N) 3,5-5,0

Klorida 118 mmol/L (N) 98-106

URINALISIS (14/05/2018)

Kekeruhan Jernih (N)

Warna Kuning (N)

pH 5,5 (N) 4,5- 8

Berat jenis 1,025 (N) 21-28

Glukosa Negatif Negatif

2+ Negatif
Protein

Trace Negatif
Keton

Negatif Negatif
Bilirubin

Negatif Negatif
Urobilinogen

Negatif Negatif
Nitrit

3+ Negatif
Leukosit

2+ Negatif
Darah

Kristal -

Bakteri 6807,9 x103/mL <23 x103/mL


(naik)

GFR = (140-umur)xBB x 0,85


72xkreatinin plasma
= (140-27) x 35x0,85
72 x 1,15
= 3362
82.8
= 40,6 ml/mnt/1.73m2 (stage 3b)
Hasil Pemeriksaan Laboratorium (3 Maret 2020)

Jenis Pemeriksaan Hasil Niai Normal

Hematologi

13,4 – 17,7
Hemoglobin 7,5 g/dL (turun)

4,0 – 5,0
Eritrosit 3,26x106/uL (turun)

4,3 – 10,3
Leukosit 22,51x103/uL (N)

Hematokrit 22,4% (turun) 40 – 47

Trombosit 67x106/ (turun) 142 – 424

MCV 68,70 fL (turun) 80-93

MCH 23 pg (N) 27 – 31

MCHC 33,3 g/dL (N) 32 – 36

RDW 27,00% (N) 11,5 – 14,5

Eosinophil 0,0% (N) 0–4

Basophil 0,0% (N) 0–1

Neutrophil 92,4% (meningkat) 51 – 67

Monosit 3,0 x103/uL 0,16 – 1


(meningkat)

URINALISIS (3/03/2020)

Kekeruhan Agak keruh (N)

Warna Kuning (N)

pH 6.0 (N) 4,5- 8

Berat jenis 1,010 (N) 21-28

Glukosa Negatif Negatif


2+ Negatif
Protein

Negatif Negatif
Keton

Negatif Negatif
Bilirubin

Negatif Negatif
Urobilinogen

Negatif Negatif
Nitrit

3+ Negatif
Leukosit

2+ Negatif
Darah

Kristal -

Bakteri 11673,5 x103/mL <23 x103/mL


(naik)

ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah


keperawatan

1 DS : SLE Nyeri Akut

P : Proses penyakit Sistem regulasi kekebalan


Q : klien mengatakan nyeri terganggu
terasa pegal-pegal
Mengaktivasi sel T dan B
R : Klien mengatakan nyeri di
pinggang, tangan dan kaki Fungsi sel T abnormal
S : Klien mengatakan nyeri yang
Peningkatan produksi antibodi
dirasakan dengan skala 4
T : Klien mengatakan nyeri Terjadi penumpukan kompleks
dirasakan terus menerus imun pada sendi
DO :
Terdapat rasa nyeri saat
 Tampak melokalisir area nyeri bergerak
 Ekspresi wajah
Nyeri Akut

 Tekanan darah : 140/90


mmHg
 Nadi : 96x/menit
 RR : 20x/menit

2. DS : SLE Risiko
ketidakefektifan
 Pasien mengatakan sudah HD Sistem regulasi kekebalan perfusi ginjal
1 kali terganggu

DO : Mengaktivasi sel T dan B


 Nilai GFR : 40,6 mL/min/1.73
m2 Fungsi sel T abnormal

 Hasil urinalisis :
Merusak ginjal
Protein 2+
Darah 2+ kerusakan fungsi ginjal
Lekosit 3+
 Faal Ginjal penurunan filtrasi ginjal
(penurunan GFR)
Ureum 51,9 mg/dL
Kreatinin 1,15 mg/dL Risiko ketidakefektifan
 GFR 40,6 (CKD Stg 3b) perfusi ginjal
 Diagnosa SLE nefritis WHO
grade III-IV (25/5/2018)
 TD 140/90 mmHg

3. DS : SLE Ketidakseimbangan
 Keluarga mengatakan pasien ↓ nutrisi kurang dari
mengalami penurunan nafsu Sistem regulasi kekebalan kebutuhan tubuh
makan semenjak sakit terganggu
 Keluarga mengatakan pasien ↓
hanya menghabiskan ¼ porsi
Mengaktivasi sel T dan B
yang disediakan RS

 Klien mengatakan mual
sehingga tidak nafsu makan
Fungsi sel T abnormal
DO : ↓
Merusak ginjal
- BB: 35 kg

- TB: 150 cm
kerusakan fungsi ginjal
 IMT = 35 : (1,50) kg/m
2 2 ↓

= 15,5 (underweight)
Protein albumin dapat
melewati membran glomerulus

Hipoalbuminemia

Katabolisme protein dalam hati

Peningkatan produksi asam


lambung

Nausea Vomitting


Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh

4 DS : SLE Risiko Infeksi

 Keluarga mengatakan Sistem regulasi kekebalan


sebelumnya klien sering terganggu
demam
Mengaktivasi sel T dan B
DO :
Fungsi sel T abnormal
 Leukosit: 4,28x10 /uL 3

Merusak ginjal
(4,7-11,3x103/uL)
 Suhu: 36,7oC
Protein albumin dapat
melewati membran glomerulus
Sel kekurangan protein

Penurunan sistem imun

Risiko infeksi

4 DS : SLE Ketidakefektifan
manajemen regimen
 Keluarga mengatakan klien
Sistem regulasi kekebalan terapeutik
menderita SLE sejak 2 tahun terganggu
yang lalu
 Keluarga mengatakan rutin kurang panjanan informasi

kontrol ke RSSA
kurang patuh terhadap
 Keluarga mengatakan terakhir pengobatan
kontrol klien disarankan untuk
opname tetapi keluarga Ketidakefektifan manajemen
regimen terapeutik
menola dikarenakan tidak ada
persiapan

DO :

 Keluarga tampak banyak


bertanya dan bingung akan
kondisi pasien

DAFTAR DIAGNOSA KEPERAWATAN

(Berdasarkan prioritas)

Ruang : Ruang 28 RSSA Malang

Nama Pasien : Ny. R


Diagnosa : SLE

No. TANGGAL DIAGNOSA KEPERAWATAN TANGGAL TANDA


Dx MUNCUL TERATAS TANGAN
I
1. 16 Maret Nyeri akut b.d Agens Cedera Biologis
2020 (SLE) yang ditandai dengan klien
melaporkan nyeri pada pinggangg,
tangan dan kaki

2. 16 Maret Ketidakefektifan perfusi ginjal b.d SLE


2020 nefritis d.d ureum 51,9, kreatinin 1,15

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari


3. 16 Maret kebutuhan tubuh berhubungan dengan
2020 faktor biologis ditandai dengane, kurang
minat terhadap makanan, berat badan
dibawah rentang ideal

4. 16 Maret Risiko infeksi b.d penurunan sistem imun


2020 d.d keluarga mengatakan pasien sering
demam

5 16 Maret Ketidakefektifan manajemen regimen


2020 terapeutik b.d kurang pajanan informasi
d.d keluarga menolak MRS

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan No.1


Nyeri akut b.d Agens Cedera Biologis (SLE) yang ditandai dengan klien melaporkan nyeri
pada pinggangg, tangan dan kaki
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam, nyeri yang dirasakan klien
berkurang dengan penggunaan teknik non farmakologi dan farmakologi
Kriteria Hasil : sesuai indikator NOC
NOC: Pain Level
No. Indikator 1 2 3 4 5
1 Skala Nyeri
2 Ekspresi wajah

Keterangan Penilaian:
Skala nyeri
1: skala 9- 10 nyeri berat tidak terkontrol
2: skala 7 – 8 nyeri berat terkontrol
3: skala 4 – 6 nyeri sedang
4: skala 2 – 3 nyeri ringan
5: skala 0 – 1 tidak nyeri

Ekspresi wajah

(5) (4) (3) (2) (1)


NIC: Manajemen nyeri
Dx INTERVENSI RASIONAL ANALISIS
1 1. Lakukan pengkajian nyeri yang meliputi Nyeri merupakan pengalaman subjektif yang -
(PQRST) harus dijelaskan oleh pasien. Mengidentifikasi
penyebab nyeri, kualitas nyeri, lokasi nyeri sangat
penting untuk memilih intervensi yang cocok dan
untuk mngevaluasi keefektifan terapi yang
diberikan.
2. Observasi adanya petunjuk non verbal Rasa nyeri yang dialami oleh pasien dapat -
mengenai ketidaknyamanan diobservasi melalui ekspresi wajah dan dibantu
dengan menggunakan wong baker face pain
rating scale
3. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat Mengendalikan faktor yang meringankan dan -
mempengaruhi respon terhadap memperberat nyeri dapat mengurangi nyeri yang
ketidaknyamanan (suhu, pencahayaan, dirasakan
bising)
4. Ajarkan teknik relaksasi untuk Relaksasi merupakan suatu teknik menenangkan -
mengurangi nyeri seperti distraksi dan semua sistem tubuh sehingga dapat mengurangi
relaksasi stres fisik maupun emosional
Distraksi merupakan teknik pengalihan nyeri ke
hal-hal yang disukai oleh pasien
5. Ajarkan terapi kompres hangat untuk Kompres hangat dapat melancarkan aliran darah Berrdasarkan penelitian (Karadag,
mengurangi nyeri persendian akibat SLE dan menimbulkan efek relaksasi Soul.dkk.2019) hal.5 bagian result paragraf 6
menyatakan bahwa terapi kompres hangat
dapat berpengaruh dalam menurunkan nyeri
sendi. Hal ini dikarenakan dapat meringankan
kekakuan otot maupun sendi, dapat
memperlebar pembuluh darah sehingga darah
dan oksigen akan lebih banyak mencapai area
yang sakit (melancarkan aliran darah) dan
menimbulkan efek relaksasi pada tubuh.
Penjelasan lebih lanjut ada dibawah.
6. Kolaborasi dengan medis dalam Analgesik bekerja dengan menghambat -
pemberian analgesik prostlagandin sehingga dapat mengurangi nyeri
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan no. 2


Ketidakefektifan perfusi ginjal b.d SLE nefritis d.d ureum 51,9, kreatinin 1,15
Tujuan : Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kondisi klien
membaik
Kriteria Hasil : sesuai indikator NOC
NOC : Fungsi ginjal
No. Indikator 1 2 3 4 5
1 Protein urin
2 Leukosit urin
3 Ureum
4 Kreatinin

Keterangan Penilaian: Ureum :


Protein urin 1 : > 200 mg/dL
2 : 151-200 mg/dL
1: +4
3 : 101-150 mg/dL
2: +3 4 : 51 – 100 mg/dL
3: +2 5 : 16,6-50 mg/dL
Kreatinin
4: +1
1 : >4,1
5: negatif 2 : 3,2 – 4,1
Leukosit urin 3 : 2,2 – 3,1
4 :1,2 – 2,1
1: +4 5 : < 1,2 mg/dL
2: +3
3: +2
4: +1
5: negatif
NIC: manajemen cairan
Dx INTERVENSI RASIONAL ANALISIS
2 1. Monitor status hidrasi Status hidrasi meliputi (membran mukosa lembab, -
nadi, dan tekanan darah)
2. Monitor hasil laboratorium (peningkatan peningkatan BUN dan penurunan Hct -
BUN, penurunan Hct) menandakan ada kelebihan cairan yang
mengindikasikan terjadinya gangguan pada fungsi
renal
3. Monitor input dan output Untuk mengetahui balance cairan -
4. Berikan cairan yang sesuai Mencukupi kebutuhan cairan pasien -

NIC: manajemen pengobatan


Dx INTERVENSI RASIONAL ANALISIS
2 1. Berikan obat (Metylprednisolon 3x16 mg Berdasarkan penelitian (Permana, didi. dkk.
Untuk menghambat terjadinya peradangan yang
IV) 2019) menyatakan bahwa metilprednisolon
disebabkan oleh SLE
merupakan golongan kortikosteroid yang
berfungsi sebagai antiinflamasi yang bekerja
dengan menghambat agen-agen inflamasi.
2. Berikan (Azatriopin 2x25 mg p.o) Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
Azathioprine (Imuran) adalah antimetabolit
imunosupresan: mengurangi biosintesis purin
imunosupresan: mengurangi biosintesis purin
yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel
yang diperlukan untuk perkembangbiakan sel
termasuk sel sistem kekebalan tubuh.
termasuk sel sistem kekebalan tubuh.
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan No.3

Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor biologis
ditandai dengane, kurang minat terhadap makanan, berat badan dibawah rentang ideal

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam BB pasien tidak
mengalami penurunan

Kriteria Hasil : Didapatkan skor pada indikator NOC

NOC : Nutritional Status

No. Indikator 1 2 3 4 5

1 Asupan < 1200 kalori 1200-1450 1451-1650 1.651-1850 2100 kalori


makanan kalori kalori kalori

2 Asupan < 500 ml 500 – 900 ml 900 – 1200 1300 – 1700 1.700 –
cairan ml 2000 ml

3 Rasio berat IMT < 18,5 IMT 18,5 – IMT 23 – IMT 30 IMT > 30
badan/tinggi 22,9 22,9
badan
NIC : Manajemen nutrisi

Dx INTERVENSI RASIONAL ANALISIS


3 1. Identifikasi alergi yang dimiliki pasien Untuk mencegah reaksi alergi akibat suatu -
makanan
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk Untuk memastikan kebutuhan nutrisi pasien -
menentukan jumlah kalori dan jenis terpenuhi
nutrisi yang dibutuhkan untuk pasien
3. Lakukan atau bantu pasien terkait Mencegah infeksi pada area mulut -
dengan perawatan mulut sebelum
makan
4. Monitor kecenderungan terjadinya Menurunnya berat badan menandakan nutrisi -
penurunan berat badan dalam tubuh tidak terpenuhi
ANALISIS JURNAL 1: Melakukan Kompres Hangat Untuk Menurunkan Nyeri Sendi
Pada Pasien SLE

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo, Aru dkk, 2009). SLE menyebabkan
penderita mengalami beberapa manifestasi klinis, salah satunya adalah nyeri pada
persendian sama yang dialami oleh Ny.R 40 tahun. Hal ini disebabkan karena pada pasien
dengan SLE terjadi reaksi autoimun, dimana sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan
yang sehat sehingga menyebabkan kerusakan pada jaringan tubuh salah satunya adalah
pada sistem muskuloskeletal. Pada sistem muskuloskeletal, terjadinya pembengkakan pada
sendi dan akhirnya membuat sendi pada tangan dan kaki terasa sakit jika digerakkan.

Intervensi yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mengurangi nyeri sendi adalah
dengan melakukan kompres hangat pada area yang mengalami nyeri. Hal ini didukung oleh
penelitian (Karadag, Soungul, dkk. 2019) yang berjudul “Application of heat and a home
exercise program for pain and function levels in patients with knee osteoarthritis: A
randomized controlled trial”. Pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari
kompres hangat dan aktivitas fisik terhadap nyeri osteoartritis. Metode dari penelitian ini
adalah “random control trial”. Sampel akan dibagi menjadi 4 kelompok yang terdiri dari 3
kelompok intervensi dan 1 kelompok kontrol. Pada kelompok 1 diberikan intervensi berupa
kompres hangat, kelompok 2 diberikan aktivitas fisik, kelompok 3 diberikan kompres hangat
dan aktivitas fisik, dan pada kelompok kontrol hanya menggunakan terapi farmakologis dari
medis. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat pengaruh pemberian
kompres hangat dan latihan fisik terhadap nyeri pada semua kelompok intervensi.
Pada kasus Ny.R saya hanya akan menerapkan kompres hangat sebagai penurun
rasa nyeri dikarenakan apabila diterapkan latihan fisik hal itu tidak memungkinkan karena
kondisi pasien masih lemah. Metode dari kompres hangat yang dijelaskan pada penelitian
(Karadag, Soungul, dkk. 2019) adalah sebagai berikut, kompreslah area sendi yang nyeri
menggunakan hot pack yang telah di panaskan dalam air yang mendidih selama 5 menit
atau bisa diganti dengan waslap yang dicelupkan pada air panas, kompres area yang nyeri
selama 20 menit. Hal ini bisa dilakukan sehari dua kali, dan 5x dalam seminggu. Teknik non
fakmakologi berupa kompres hangat dapat digunakan untuk menurunkan rasa nyeri karena
dapat meringankan kekakuan otot maupun sendi, dapat memperlebar pembuluh darah
sehingga darah dan oksigen akan lebih banyak mencapai area yang sakit (melancarkan
aliran darah) dan menimbulkan efek relaksasi pada tubuh.
ANALISIS JURNAL 2 kasus 1: Berkolaborasi dalam pemberian obat antiinflamasi pada
pasien SLE

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai
dengan adanya inflamasi tersebar luas, yang dapat mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan (Sudoyo, Aru dkk, 2009). Terapi farmakologis
yang biasa digunakan dalam penatalaksanaan SLE adalah penggunaan NSAID,
Kortikosteroid, dan Imunosupresan. Dalam kasus Ny.R 40 tahun dengan SLE mendapatkan
terapi berupa antiradang (Metylprednisolon 3x16 mg IV) dan imunosupresan (Azatriopin
2x25 mg p.o). Kortikosteroid adalah terapi utama untuk SLE karena dapat mengontrol
aktivitas penyakit SLE sebagai imunosupresi dan agen antiinflamasi. Terapi kortikosteroid
pada SLE digunakan untuk waktu yang lama; oleh karena itu, beberapa efek samping dapat
timbul. Efek samping kortikosteroid tergantung pada lamanya terapi dan dosis kortikosteroid
itu sendiri. Salah satu efek samping kortikosteroid yang paling umum adalah gejala
habushing Cushing yang terdiri dari wajah bulan, striae, punuk kerbau, dan obesitas sentral.
Morbiditas cushing syndrom dikaitkan dengan obesitas sentral, resistensi insulin, diabetes
mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, osteoporosis, dan risiko kardiovaskular.
Penggunaan kortikosteroid haruslah tepat, hal ini di dukung oleh penelitian
(Permana, didi. dkk. 2019) yang berjudul “Dosage and Duration of Methylprednisolone
Therapy Affect the Occurrence of Cushing Habitus in Patients with Systemic Lupus
Erythematosus”. Penlitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko terjadinya Cushing
syndrome pada pasien dengan SLE yang terdiri dari dosis, durasi terapi, dosis harian, dan
dosis total metilprednisolon. Peneliti membagi sampel menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok
kasus (mengalami Cushing syndrome) dan kelompok kontrol (tidak mengalami cushing
syndrome). Pengambilan data dilakukan melalui pelacakan dari rekam medis pasien. Hasil
penelitian ini menunjukkan hubungan yang signifikan antara dosis harian dan dosis total
metilprednisolon terhadap kejadian habitus Cushing, tetapi tidak ada hubungan yang
signifikan ditemukan antara durasi terapi dan dosis metilprednisolon dengan kejadian
habitus Cushing. Penelitian ini menghasilkan dosis cutoff harian dan dosis total
methylprednisolone pada risiko Cushing habitus pada subjek SLE. Dosis harian
methylprednisolone> 9,4 mg akan meningkatkan risiko terjadinya Cushing habitus setinggi
2,98 kali. Pemberian dosis total methylprednisolone> 8040 mg akan meningkatkan 3,55 kali
risiko Cushing habitus.

Anda mungkin juga menyukai