TUGAS SEMINAR
Oleh :
Kelompok 3A
Kelompok 3B
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
2
MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik
+ 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial
terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak
adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al,
2005). Jika MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral
berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP.
Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang
hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan juga terjadi
penurunan kesadaran. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh elevasi kepala
tempat tidur selama vasospasme telah dibatasi dalam upaya untuk
meminimalkan vasospasme atau gejala sisa atau keduanya. Akibatnya,
beberapa pasien tetap pada istirahat selama berminggu-minggu. Juga cedera
otak sering membawa kematian dalam setiap pasien yang menderita dari itu.
Waktu lama sebelum pasien mencapai perawatan medis akan menyebabkan
cacat sementara atau permanen fisik. Perawatan medis yang tepat dan
respon cepat akan mengurangi risiko memiliki kedua efek buruk. Kasus ini
bisa konservatif mengobati dengan operasi memang. Ini pasien cedera otak
harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik seperti pengamatan
tanda-tanda vital dan pengaturan posisi, pengobatan konservatif dan terapi
obat-obatan tertentu.
Elevasi kepala atau Head of Bed adalah salah satu cara utuk menjaga
kualitas CPP. Selain itu posisi-posisi yang berbeda dapat meningkatkan
kualitas perawatan, memberi kenyamanan pasien, dan mencegah luka
dekubitus. Beberapa penelitian menunjukkan efek dari berbagai ketinggian
HOB dan posisi tubuh pada ICP dan CPP. Namun, efek dari posisi
menyamping dan derajat HOB tidak konsisten. Tidak ada studi di literatur
yang menunjukkan apa dampak berbagai posisi tubuh pada ICP dan CPP
pasien dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS). Mengingat bahwa GCS
rendah akan mempengaruhi perubahan mekanisme autoregulasi yang mana
memungkian otak untuk menyesuaikan terhadap cedera, mengidentifikasi
posisi-posisi dimana pasien dengan skor GCS berbeda adalah penting untuk
keselamatan pasien. Penelitian ini mengevaluasi pengaruh dari elevasi
kepala dan posisi tubuh terhadap ICP dan CPP untuk mengidentifikasi posisi
yang aman untuk pasien neurosurgikal dengan skor GCS yang berbeda.
3
HCU High Care Unit (HCU) adalah unit pelayanan rawat inap bagi pasien
dengan kondisi stabil dari fungsi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran
namun masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pemantauan secara
ketat.Pasien di ruangan High Care Unit (HCU) rentan akan cedera otak atau
brain injury. Pemantauan tekanan intrakranial atau intracranial pressure (ICP)
dan tekanan perfusi serebral atau cerebral perfusion pressure (CPP) perlu
dilakukan untuk mengurangi resiko tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami tertarik untuk melakukan
case study berupa pemberian elevasi kepala terhadap tekanan intracranial
dan tekanan perfusi serebral pada pasien neurosurgikal di ruang 12 HCU
RSUD dr Saiful Anwar Malang.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
4
1.4 Manfaat
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
6
mengobati dengan operasi memang. Ini pasien cedera otak harus
menerima perawatan pemantauan hemodinamik seperti tertentu, tanda-
tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi sampingpengobatan
konservatif dan terapi obat-obatan tertentu.
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah
yang dipompa oleh jantung dan menggunakan 20% oksigen yang
diperlukan tubuh merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap
keadaan hipoksia maupun trauma. Kalau jaringan lain mampu mentolerir
hipoksia selama satu jam tetapi jaringan otak hanya dalam tiga menit.
Begitu juga trauma sangat berpengaruh terhadap fungsi dari otak itu
sendiri sebagai pusat semua sistem didalam tubuh manusia. Salah satu
penyebab hipoksia otak dan trauma otak adalah kenaikan tekanan
intrakranial yang berlebihan.
Peningkatan TIK merupakan penyebab cedera otak sekunder, dan
derajat serta durasi Traumatic Brain Injury berhubungan dengan outcome
setelah TBI. Pemantauan TIK merupakan pemantauan intra kranial yang
paling sering digunakan, karena pencegahan dan pengendalian
peningkatan TIK dan maintenance CPP adalah target terapi yang
fundamental untuk penatalaksanaan Traumatic Brain Injury (Smith, 2008 ;
Hawthorne dan Piper, 2014).
7
TIK yang normal bervariasi tergantung umur, posisi tubuh dan
kondisi klinis pasien. TIK yang normal adalah antara 7 – 15 mmHg pada
pasien dewasa dalam posisi supine, 3 – 7 mmHg pada anak – anak dan
1,5 – 6 mmHg pada infant.
Definisi intra kranial hipertensi tergantung pada patologi spesifik
dan usia, walaupun TIK > 15 mmHg secara umum dianggap abnormal
(Smith, 2008 ; Gupta et al, 2015).
8
↓
semakin menghambat perfusi ke jaringan otak Otak terdesak ke bawah melalui
tentorium (herniasi otak)
↓
Menekan pusat vasomotor, arteri cerebral post, N. Occulomotorius, corticospinal
pathway, serabut RAS
↓
Mekanisme untuk mempertahankan kesadaran, pengaturan suhu, tekanan
darah, nadi, respirasi, dan pergerakan menjadi terganggu.
BREATHING
AIRWAY DISABILITY
Pastikan asupan CIRCULATION
Pastikan penanganan oksigen adekuat Menilai gangguan
jalan nafas dengan dengan Kaji tekanan darah neruologis pada psien
teknik kontrol servikal mempertahankan pasien, frekuensi nadi, seperti tingkat
sehingga dapat saturasai 95 – 100 %. suhu, dan adanya ciri- kesadaran, pupil,
memudahkan oksigen Lihat perkembangan ciri perdarahan. laserasi, muntah, nyeri
masuk ke paru-paru. data apakah simestris Pasang IV line 2 jarum kepala. Tingkat
Lakukan posisi head atau tidak, deviasi besar. Pada kasus kesadaran biasanya
up < 30 derajat untuk trakea, suara nafas peningkatan tekanan terjadi penurunan
mempermudah aliran tambahan, distensi intrakranial, frekuensi dari : sadar, gelisah,
masuk daln keluar vena jugularis. Berikan nadi dan pernapasan menjadi tidak
darah ke otak. Pada oksigen dengan menurun, sedangkan sadarkan diri.
pasien dengan GCS < konsentrasi tinggi tekanan darah dan Penilaian kesadaran
8 maka harus segera melalui SMRM suhu meningkat ini menggunakan nilai
dipasang ETT. ataupun SMNRM GCS.
9
Tabel Indikasi Pemantauan TIK
10
TIK tidak dapat diperkirakan dari gambaran klinis tertentu atau
temuan CT scan. Metode pemantauan TIK yang berbeda – beda. Dua
metode yang paling umum digunakan untuk mengukur TIK adalah dengan
menggunakan kateter konvensional dan catheter tip microtransducer
system. Kateter konvensional dapat berupa kateter intra ventrikular dan
kateter sub dural. Penggunaan kateter epidural dan sub arachnoid
memiliki tingkat keakuratan yang rendah, dan saat ini jarang digunakan.
Pengukuran tekanan CSF lumbal juga tidak menghasilkan perkiraan TIK
yang akurat dan berbahaya karena dapat memperburuk hipertensi intra
kranial yang sudah terjadi (Smith, 2008 ; Raboel et al, 2012).
11
adalah foramen Monroe atau yang sering digunakan sebagai patokan
adalah MAE.
12
Gambar Lokasi pemasangan ICP Monitor (Owler et al, 2015).
13
Gambar Lokasi pemasangan skull bolt (Owler et al, 2015).
14
Tabel Karakteristik alat pemantauan TIK
15
pemasangan EVD antara lain hematoma intra parenkim, infeksi /
ventrikulitis, dan obstruksi drain (Blaha et al, 2003 ; Hilaire et al, 2011).
Secara umum, pemasangan EVD dilakukan pada otak sisi kanan,
jika tidak ada kontra indikasi. Burr hole dilakukan pada Kocher point, yaitu
13 cm di belakang nasion dan 3 cm lateral dari midline, di depan sutura
coronaria pada midpupillary line. Kateter ventrikuler dimasukkan dengan
menggunakan stylet atau guide wire. Kateter ini diarahkan ke kantus
medial ipsilateral, kemudian terus diarahkan menuju 1 cm anterior dari
tragus. Tujuannya agar ujung kateter masuk setinggi foramen Monro.
Harus dipastikan bahwa semua lubang pada kateter sudah masuk ke
dalam ventrikel (Gupta et al, 2015).
16
Untuk konfirmasi posisi kateter, dapat dilakukan CT Scan kepala.
EVD dikalibrasi setinggi tragus. EVD diletakkan pada 10 – 20 cm di atas
tragus ; tergantung indikasi drainase CSF. Drain harus tetap terbuka,
sehingga jika terjadi peningkatan TIK di atas level tersebut, CSF dapat
mengalir ke luar. Pengukuran EVD harus dilakukan setiap jam, untuk
monitoring ICP (Gupta et al, 2015).
Untuk weaning EVD, beberapa ketentuan harus terpenuhi antara
lain, pasien secara neurologis mengalami perbaikan dengan diversi CSF,
dan TIK dalam batas normal. Tinggi EVD dinaikkan bertahap, mulai dari
10 cm di atas tragus menjadi 15 cm di atas tragus kemudian 20 cm di
atas tragus. Jika status neurologis pasien dan nilai TIK tetap stabil, maka
EVD dapat diklem ; untuk mengalihkan kontrol ekuilibrium CSF ke jalur
intrinsik. Jika setelah EVD diklem 24 jam dan pasien tetap stabil secara
neurologis, TIK normal dan CT scan menunjukkan ukuran ventrikel yang
stabil, EVD dapat dilepas (Gupta et al, 2015).
Di lain pihak, jika pasien tidak dapat mentoleransi EVD weaning
(biasanya ditandai oleh sakit kepala yang memburuk, perburukan
neurologis, peningkatan TIK atau pelebaran ventrikel pada gambaran CT
Scan kepala), maka diversi CSF permanen dibutuhkan
(Ventriculoperitoneal shunt [VP Shunt]). Pilihan lain untuk diversi
permanen meliputi ventriculopleural shunt dan ventriculoatrial shunt
(Gupta et al, 2015).
17
Gambar Lokasi pemasangan kateter sub dural dan sub dural bolt
(Freeman, 2012)
18
sangat tinggi, pengukuran tekanan sub dural menunjukkan angka yang
lebih rendah dibandingkan pengukuran tekanan intra ventrikular (Rilley
dan Bullock, 2005 ; Pattinson et al, 2005).
C. Microtransducer system
19
A. B.
C.
Gambar A,B,C. Macam – macam jenis microtransducer (Owler et
al, 2015)
20
Gambar Diameter dan penampang transducer (Owler et al, 2015)
A. B.
21
Gambar Codman ICP microsensor (Owler et al, 2015)
22
Penggabungan jembatan Wheastone ke dalam chip memperkuat
karakteristik aliran / arus dengan mengurangi sensitivitas temperatur dan
efek regangan eksternal yang tidak berhubungan dengan tekanan.
Kateter Neurovent mengukur tiga variabel yaitu TIK, tekanan parsial
oksigen jaringan otak dan temperatur (Smith, 2008).
Alat – alat di atas tidak dapat dilakukan kalibrasi tekanan secara in
vivo. Kalibrasi dilakukan sebelum insersi dengan menggunakan tekanan
atmosfer , sehingga hasil pengukuran berdasarkan nilai nol pada sensor.
Namun, sistem microtransducer bekerja dengan baik pada pengujian in
vitro, dengan penyimpangan sebesar 0,6 – 0,9 mmHg setelah 5 hari
penggunaan secara terus - menerus. Sistem microtransducer terpercaya
dan mudah digunakan, dengan nilai penyimpangan minimal dari titik nol.
Microtransducer juga memiliki angka komplikasi dan infeksi yang rendah,
tetapi tekanan yg diukur tidak mencerminkan nilai tekanan CSF yang
sebenarnya karena gradien tekanan intraparenkim yang sudah ada
setelah Traumatic Brain Injury (Smith, 2008).
Akhir – akhir ini, telah diperkenalkan alat dengan teknologi
pneumatik. Spiegelberg ICP monitor (Spiegelberg GmbH, Hamburg,
Germany) menggunakan kantong udara kecil seperti balon pada ujung
kateter untuk mendeteksi perubahan pada tekanan. Alat ini dapat
digunakan intraparenkim atau intraventrikuler, dan dapat diatur secara
otomatis in vivo ke nilai nol. Prinsip kerjanya sama seperti alat kateterisasi
jantung yang diperkenalkan oleh E.J Marrey pada tahun 1881. Tekanan
dihantarkan dari dalam tubuh ke luar tubuh melalui udara. Balon yang
terisi udara sebagian akan menghantarkan tekanan ke kolom udara
(Smith, 2008).
23
Gambar Spiegelberg ICP monitor (Owler et al, 2015).
24
1. Rendah (< 20 mmHg) dan TIK stabil :
Pola ini tampak setelah cedera kepala tanpa komplikasi atau selama
jam – jam pertama setelah cedera kepala berat, sebelum terjadi brain
swelling.
2. Tinggi (> 20 mmHg) dan TIK stabil :
Ini merupakan pola yang paling sering tampak setelah cedera kepala
berat.
3. Gelombang TIK :
Gelombang TIK merefleksikan penurunan compliance intra kranial.
4. Perubahan TIK sehubungan dengan perubahan pada ABP
(Arterial Blood Pressure) :
Hal ini terjadi akibat hilangnya respon autoregulasi serebral,
ketika TIK berubah secara langsung dengan ABP.
5. Hipertensi intra kranial refrakter :
Tanpa adanya strategi pengobatan yang agresif, kondisi ini
dapat berkembang menjadi herniasi dan kematian.
25
kateter yang mengandung antibiotik berhubungan dengan angka infeksi
yang rendah, sebaliknya penggunaan kateter yang dilapisi hidrogel (untuk
mencegah bakteri menempel pada kateter) tidak menurunkan angka
infeksi (Smith, 2008).
Selain malfungsi kateter / blokade kateter dan infeksi, komplikasi
lain yang dapat terjadi adalah perdarahan (Chesnut et al, 2012). Pada
penelitian terhadap 431 pasien anak yang dilakukan pemantauan TIK,
sebanyak 7,5 % mengalami perdarahan derajat satu yaitu berupa
perdarahan punctate yang kecil dan SAH (Sub arachnoid Hemorrhage)
dan sebanyak 2,2% mengalami perdarahan derajat dua berupa ICH
(Intracerebral Hematoma) ( Blaha et al, 2003).
26
2.2.2 Mekanisme Head of Bed Elevations
Dalam studi penelitian yang dilakukan oleh Schneider, dkk (2000
dalam Muhammad, 2007) menyatakan bahwa salah satu
penatalaksanaan penurunan peningkatan intra kranial adalah dengan
mengatur posisi kepala elevasi 15- 30o untuk meningkatkan venous
drainage dari cerebral ke jantung. Elevasi kepala 15- 30 o aman sepanjang
tekanan perfusi serebral dipertahankan lebih dari 70 mmHg dengan
melihat indikator MAP (Mean Arterial Pressure). Disamping itu tindakan
elevasi kepala 15- 30o tersebut juga diharapkan venous return (aliran
balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga dapat mengurangi
edema intaserebral karena perdarahan. Namun pemberian elevasi kepala
tidak boleh lebih dari 30o, dengan rasional pencegah peningkatan resiko
penurunan tekanan perfusi serebral dan selanjutnya dapat memperburuk
iskemia serebral jika terdapat vasopasme (Sunardi, 2011). Kemudian
didukung oleh Muhammad Afif Alfianto (2015) yang melakukan penelitian
di IGD RS. Dr. Morwardi Surakarta tentang “pemberian posisi kepala flat
0º dan elevasi 30º terhadap tekanan intrakranial pada pasien Stroke
Hemoragik”. Evaluasi akhir menunjukkan bahwa aplikasi posisi kepala flat
0º dan posisi kepala 30º secara bergantian dapat mengontrol peningkatan
TIK. Hal ini dibuktikan dengan penurunan tekanan darah, MAP menurun,
keluhan nyeri berkurang, tidak ada mual dan muntah proyektif.
27
2.3.2 Topik Jurnal
Topik dalam jurnal ini yaitu mengenai pengaruh elevasi kepala
terhadap tekanan intracranial dan tekanan perfusi serebral pada pasien
nuerosurgikal di ruang 12 HCU RSUD dr Saiful Anwar Malang.
28
dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri. 2) menganalisis
perbedaan ICP dan CPP pasien neurosurgikal sebelum dan sesudah
elevasi kepala sudut 15, 20, dan 45 dan posisi tubuh telentang, miring
kanan dan miring kiri. 3) menganalisis efektivitas elevasi kepala sudut 15,
20, dan 45 dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri
terhadap ICP dan CPP pasien neurosurgikal.
29
2.3.6 Hasil Jurnal
Hasil penelitian adalah ICP meningkat dan CPP menurun pada posisi
telentang dan miring kanan dengan sudut elevasi head of bed yang
berbeda-beda namun tidak signifikan. Ketika pasien dengan skor GCS 3-
8 diposisikan 15 derajat miring kanan dan kiri dan posisi 45 derajat miring
kanan, dan ketika pasien dengan skor GCS 13-15 diposisikan 15 derajat
miring kiri, ICP dan CPP berubah secara signifikan. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa posisi head of bed elevation pada 15, 30, dan
45 derajat mempunyai dampaik pada perubahan ICP dan CPP. Pada
penelitian didapatkan peningkatan ICP dan penurunan CPP yang
signifikan pada pasien yang mempunyai GCS yang berbeda-beda yang
diposisikan head of bed elevation 15 derajat miring kanan dan kiri, dan
posisi head of bed elevation 45 derajat miring kanan. Perubahan
signifikan dalam nilai pasien juga tetap dalam kisaran normal yang
ditentukan, yang menunjukkan bahwa pasien dapat ditempatkan dengan
aman di posisi ini tetapi memerlukan pemantauan ketat. Mengingat
bahwa kemampuan autoregulasi otak penting untuk mempertahankan
perfusi otak yang optimal, dapat disarankan bahwa mekanisme
autoregulasi pada kelompok pasien yang berbeda dengan skor GCS yang
berbeda harus dievaluasi, dan posisi yang berbeda harus ditelaah lebih
lanjut dalam penelitian di masa depan.
30
BAB III
METODE STUDI KASUS
3.1 Desain Studi Kasus
No Prosedur Pelaksanaan
Fase Awal
1 Melakukan persiapan alat
2 Melakukan verifikasi data pasien
Fase Orientasi
Meminta inform consent pada keluarga pasien yang akan dijadikan
1
sample case study
31
Melaksanakan pengkajian awal mengenai identitas dan diagnosa medis
2
pasien
Fase Kerja
1 Cuci tangan
2 Mengobservasi status hemodinamik (tanda-tanda vital, MAP, ICP, CPP)
3 Memposisikan elevasi kepala 45˚ dalam keadaan miring ke kiri pasien
4 Meengobservesi tanda-tanda vital pasien setiap 15 menit
Mengobservasi status hemodinamik (tanda-tanda vital, MAP, ICP, CPP)
5
setelah 2 jam
Fase Terminasi
1 Kembalikan pasien keposisi semula sesuai indikasi
Tabel 3.1 Prosedur Pelaksanaan penelitian
32
BAB IV
33
15.00 445 129/86 81 19 100
15.15 445 131/87 73 19 101 15 93
Tabel 5.1 Perbandingan hasil hemodinaik head elevasi 30o dan 450
120
100
80
60
40
20
0
11 11.15 11.3 11.45 12 12.15 12.3 12.45 13
Gambar 4.1 Grafik tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan MAP 300
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa tekanan darah sistole,
diastole, dan MAP setelah 2 jam post tekanan darah memiliki rentang 120-
133/74-84 mmHg dengan MAP 89-99 mmHg.
Gambar 4.2 Grafik tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan MAP 450
34
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa tekanan darah sistole,
diastole, dan MAP setelah 2 jam post tekanan darah memiliki rentang 124-
137/80-87 mmHg dengan MAP 94-103 mmHg.
100
80
60
40
20
0
11 11.15 11.3 11.45 12 12.15 12.3 12.45 13
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa nadi dan pernafasan setelah
2 jam post intervensi nadi memiliki rentang 86-98 x/mnt dengan pernafasan 19-
22 x/mnt.
35
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa nadi dan pernafasan setelah
2 jam post intervensi nadi memiliki rentang 73-91 x/mnt dan pernafasan 19-21
x/mnt.
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil ICP sebelum dan
sesudah post intervensi mengalami penurunan dari 15 mmHg ke 8 mmHg.
Sedangkan CPP mengalami peningkatan sekitar 10 mmHg dari sebelum
intervensi 74 mmHg meningkat ke 84 mmHg.
36
Gambar 4.6 Grafik ICP dan CPP 450
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil ICP sebelum dan
sesudah post intervensi konstan 15 mmHg. Sedangkan CPP mengalami
peningkatan sekitar 5 mmHg dari sebelum intervensi 88 mmHg meningkat ke 93
mmHg.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Head Elevasi Terhadap Icp (Intra Cranial Pressure)
Hasil penelitian pada pasien dengan head elevasi 30º menunjukan
hasil ICP sebelum dan sesudah post intervensi mengalami penurunan
dari 15 mmHg ke 8 mmHg. Pada head elevasi 45º ICP sebelum dan
sesudah post intervensi konstan 15 mmHg.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pertami SB,
Sulastyawati, Anami P (2017) yang menunjukkan terdapat pengaruh
yang signifikan posisi head-up 30° pada perubahan tekanan intrakranial
dengan cedera kepala. Peningkatan intrakranial terjadi bila nilai tekanan
intrakranial lebih dari 15 mmHg yang ditandai dengan sindroma klinis
yaitu kenaikan tekanan darah, penurunan nadi, perubahan respirasi serta
perubahan pupil. Dengan mengatur posisi pasien dengan kepala sedikit
elevasi (15° - 30°) untuk meningkatkan venous drainage dari kepala dan
elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik,
mungkin dapat dikompromi ole tekanan perfusi serebral (Kusuma &
Atika, 2019)
Teori keperawatan comfort yang dikembangkan oleh Kolcaba
merupakan suatu rancangan yang memiliki peranan yang sangat
bermanfaat dalam dunia keperawatan. Rencana keperawatan yang
disusun sebagai tindakan keperawatan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan akan rasa nyaman yang diperlukan oleh pasien seperti
psikologis, sosial dan spiritual, financial, fisiologis, serta lingkungan.
Dibutuhkan sekurangnya tiga tipe intervensi untuk mencapai suatu
kenyamanan yaitu standar comfort, coaching dan comfort food for the
soul (Kolcaba, 2003). Posisi head-up 30 derajat bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi di otak sehingga menghindari
terjadinya hipoksia pasien, dan tekanan intrakranial menjadi stabil dalam
batas normal. Selain itu, posisi ini lebih efektif untuk mempertahankan
37
tingkat kesadaran karena sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh
manusia yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien (Batticaca
FB, 2008). Posisi head up 30 derajat merupakan posisi menaikkan
kepala dari tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat dan posisi
badan sejajar dengan kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki manfaat
untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala.
Selain itu posisi tersebut juga dapat meningkatkan oksigen ke otak. Hal
ini akan menambah rileks serta memindahkan fokus perhatian pada nyeri
yang dialami seseorang. Sehingga muncul kenyaman yang berdampak
pada nyeri yang berkurang (Batticaca FB, 2008).
Posisi elevasi kepala merupakan tindakan keperawatan
tradisional/ konvensional, pemberian posisi elevasi kepala 30º adalah
suatu bentuk intervensi keperawatan dalam yang rutin dilakukan pada
pasien cedera kapala, stroke dengan hipertensi intra kranial. Elevasi
kepala berdasarkan pada respon fisiologis merupakan perubahan posisi
untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan mencegah terjadinya
peningkatan TIK. Peningkatan TIK adalah komplikasi serius karena
penekanan pada pusat-pusat vital di dalam otak (herniasi) dan dapat
mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014). Elevasi kepala tidak
boleh lebih dari 30°, dengan rasional pencegah peningkatan resiko
penurunan tekanan perfusi serebral dan selanjutnya dapat memperburuk
iskemia serebral jika terdapat vasopasme (Sunardi, 2011).
38
yang diperoleh dari medical record Rumah Sakit Mitra Keluarga
Surabaya pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2012 dari sekitar 20
% kasus trauma kepala yang masuk rumah sakit, hanya 5 % dari yang
dilakukan operasi di ruang operasai dan bulan selanjutnya naik dua kali
lipat. Satu rekomendasi untuk posisi selama peningkatan TIK adalah 30
derajat posisi kepala maksimal tanpa mengurangi cerebral perfusion
pressure (CPP) dan cerebral blood flow (CBF) (Black & Hawks, 2006).
Hasil uji di dapatkan efektifitas head up 30º terhadap peningkatan
perfusi cerebral pada pasien post op trepanasi. Hasil yang signifikan
adalah tingkat kesadaran. Meskipun secara statistik terdapat 2 hasil yang
signifikan tapi terdapat perubahan pada TD, pupil dan MAP.
Cerebral perfusion pressure (CPP) adalah jumlah aliran darah dari
sirkulasi sitemik yang diperlukan untuk memberikan oksigen dan glukosa
yang adekuat untuk metabolisme otak (Black & Hawks, 2005). Tanda-
tanda vital yang tetap terjaga konstan memperbaiki aliran darah
sehingga meningkatkan status neurologis. Posisi head up 30º perfusi dari
dan ke otak meningkat sehingga kebutuhan oksigen dan metabolisme
meningkat ditandai dengan peningkatan status kesadaran diikuti oleh
tanda-tanda vital yang lain. 2 responden memiliki pupil tidak normal
(anisokor, reaksi+/+), kemungkinan terjadi penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral akibat edema serebri post optrepanasi. Pasien
dengan hematoma yang besar yang memberikan efek massa yang besar
dan gangguan neurologis (Bajamal, 2007).
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi
perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Tankisi, et.al, 2005).
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh
darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri.
Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang
dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan
TIK (Thamburaj, V, 2006).
Peningkatan perfusi cerebral juga dipengaruhi oleh lokasi cedera,
jumlah perdarahan intracranial. Dari data diatas didapatkan lokasi cedera
39
daerah frontal sesuai untuk meningkatkan perfusi serebral dan jumlah
perdarahan sekitar 40-50 cc prognose untuk kembalinya kesadaran
kekondisi semula akan semakin cepat dengan posisi head up 30º.
40
arteri coronaria dan perfusi ke ginjal tetap terjaga selama pemberian
posisi headup. Selain itu, peningkatan tekanan darah atau tekanan nadi
membesar (selisih antara tekanan darah sistolik dan diastolik) atau
perubahan tanda – tanda vital merupakan gejala klinis peningkatan
tekanan intracranial (Batticaca, 2012). Perubahan sistole dan diastole ini
juga akan berpengaruh terhadap nilai Mean Artery Pressure pasien
cedera kepala.
Menjaga posisi kepala dengan tinggi sekitar 30° dapat mengurangi
tekanan vena jugularis dan penurunan TIK (Nayduch, 2014). Pendapat
ini diperkuat dengan Fan (2004) dan Orlando et al (2000) yang
menyatakan bahwa posisi head up 30º sangat efektif menurunkan ICP
dengan stabilitas CPP tetap terjaga. Menurut Vera (2015) posisi head up
atau head of bed (HBO) atau disebut juga posisi semi fowler adalah
posisi elevasi bed dimana bagian kepala dinaikkan mencapai 15-45°
pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah drainase darah dan mencegah fleksi
leher, rotasi kepala, batuk dan bersin.
Pengaturan posisi merupakan salah satu bentuk intervensi
keperawatan yang tidak asing dalam penerapan perawatan pasien.
Tindakan head up 30° merupakan bagian dari mobilisasi progresif level I
pada pasien cedera kepala yang bisa menjadi teknik nonfarmakologis
untuk menjaga kestabilan tekanan intrakranial. Head up 30° dapat
melancarkan venous drainase dari kepala, posisi kepala juga dalam
kondisi stabil, tidak memutar, mencegah fleksi leher, rotasi kepala, batuk
dan bersin. Posisi ini juga dapat menjaga keamanan pasien dalam
pemenuhan oksigenasi. Jadi untuk menjaga kestabilan pasien dan
tingkat tekanan intrakranial dalam rentang normal dilakukan pemberian
posisi 30º.
41
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dalam penelitian
pengaruh pemberian head elevasi terhadap perubahan intracranial pressure
(ICP) pada pasien yang dirawat di 12 HCU RSUD dr. Saiful Anwar Malang dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pada hasil intervensi head elevasi 300 didapatkan penurunan nilai ICP dari
15 mmHg ke 8 mmHg setelah intervensi selama 2 jam. Sedangkan pada 45 0
ICP konstan 15 mmHg sebelum dan sesudah intervensi.
2. pada hasil intervensi head elevasi 300 didapatkan nilai CPP mengalami
peningkatan sekitar 10 mmHg dari 74 mmHg meningkat ke 84 mmHg
sedangkan pada 450 didapat peningkatan 5 mmHg dari 88-93. peningkatan
CPP lebih tinggi pada head up 300.
3. Pada intervensi head elevasi kepala 300 di dapatkan hasil tekanan darah dan
MAP yang lebih rendah diabndingkan 450 berkisar antara 120-133/74-84
mHg dengan MAP 89--99 mmHg.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk ruang 12 HCU dan ruangan lain
1. Berdasarkan hasil dari intervensi pemberian head up 300 dan 450 pada
pasien di ruang 12 HCU berpengaruh terhadap ICP, CPP dan MAP.
Sehingga disarankan untuk diterapkan lebih lanjut pada pasien
khususnya dengan cedera kepala untuk memonitor ICP dan CPP pada
pasien neurosurgical.
2. pemberian head up 300 dan 450 pada pasien neurosurgical juga dapat
diterapkan diruangan lain untuk menjaga ICP dan CPP tetap stabil.
5.2.2 Untuk Instansi Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang
Sebaiknya pihak instansi terkait bekerja sama dengan seluruh
komponen rumah sakit mendukung ketersediaan sara dan prasarana
untuk mengukur derajat bed dengan akurat.
5.2.3 Untuk case study selanjutnya
Sebaiknya dilakukan monitoring efektivitas jangka panjang dan
dampak pemberian head up 300 pada pasien-pasien di ruangan-ruangan
yang lain khususnya pasien dengan cedera kepala.
42
DAFTAR PUSTAKA
Bahrudin & Sunardi. 2008. Posisi Kepala dalam Stabilisasi Tekanan Intrakranial.
(Online). (https://scholar.google.co.id/scholar?
q=related:4j5ZXWlaidkJ:scholar.google.com/&hl=id&as sdt=0,5, diakses
pada 26 Januari 2020)
Bajamal A.H, et al, (2007). Pedoman Tatalaksana Cedera Otak, Surabaya: Tim
Neurotrauma RSU Dr Soetomo.
Black, J.M., & Hawk, H.J (2005). Medical surgical nursing : clinical management
for positife outcome. Vol. 2, 7th edition, Elsevier, Saunders.
Blissitt PA, Mitchell PH, Newell DW, Woods SL, Belza B. Cerebrovascular
dynamics with head-of-bed elevation in patients with mild or moderate
vasospasm after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Am J Crit Care.
2006;15:206Y216.
Carney N, Totten AM, O’Reilly C, et al. Guidelines for the management of severe
traumatic brain injury, Fourth Edition. Neurosurg. 2017;80(1): 6Y15.
Dian, Prisilia, (2009). Pola Imaging Dan Angka Kejadia Trauma Kepala Di
Instalasi Gawat Darurat RSU Dr. Soetomo Periode Januari – desember
2008. Surabaya : RSU Dr. Soetomo
Kusuma, Arif H. & Atika Dhiah A. Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat Terhadap
Nyeri Kepala Pada Pada Cedera Kepala Ringan. Jurnal Ilmu Keperawatan
dan Kebidanan Vol.10 No.2 (2019) 417-422
Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: a vision for holistic health care
and research. Springer Publishing Company.
43
Kose G, Hatipoglu S. Effect of head and body positioning on cerebral blood flow
velocity in patients who underwent cranial surgery. J Clin Nurs.
2012;21(13Y14):1859Y1867.
Soemitro D.W et al, (2011). Sipnopsis Ilmu Bedah Saraf, Jakarta : CV Sagung
Seto
44
45