Anda di halaman 1dari 45

PENGARUH ELEVASI KEPALA TERHADAP TEKANAN INTRACRANIAL DAN

TEKANAN PERFUSI SEREBRAL PADA PASIEN NEUROSURGIKAL DI

RUANG 12 HCU RSUD DR SAIFUL ANWAR MALANG

TUGAS SEMINAR

Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal


di RSUD dr.Saiful Anwar Malang

Oleh :

Kelompok 3A

Kelompok 3B

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2020

1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Otak merupakan pusat dari keseluruhan tubuh. Otak manusia


mengedalikan semua fungsi tubuh jika otak sehat maka akan mendorong
kesehatan tubuh serta akan menunjang kesehatan mental, sebaliknya jika
otak mengalami gangguan, maka kesehatan tubuh dan mental bisa ikut
terganggu.
Menurut Yanuarita (2012) otak manusia memiliki volume sekitar
1.350cc dan terdiri atas 100 juta sel syaraf dan neuron. Otak memiliki berat
rata-rata 1,2 kg pada laki-laki dan 1 kg pada perempuan. Otak mengatur dan
mengkoordinasi sebagian besar gerakan, perilaku dan fungsi tubuh
homoestasis seperti detak jantung, keseimbangan cairan tubuh dan suhu
tubuh.
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah yang
dipompa oleh jantung dan menggunakan 20% oksigen yang diperlukan tubuh
merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap keadaan hipoksia maupun
trauma. Kalau jaringan lain mampu mentolerir hipoksia selama satu jam
tetapi jaringan otak hanya dalam tiga menit. Begitu juga trauma sangat
berpengaruh terhadap fungsi dari otak itu sendiri sebagai pusat semua
sistem didalam tubuh manusia. Salah satu penyebab hipoksia otak dan
trauma otak adalah kenaikan tekanan intrakranial yang berlebihan.
Peningkatan TIK merupakan penyebab cedera otak sekunder, dan derajat
serta durasi Traumatic Brain Injury berhubungan dengan outcome setelah
Traumatic Brain Injury. Pemantauan TIK merupakan pemantauan intra kranial
yang paling sering digunakan, karena pencegahan dan pengendalian
peningkatan TIK dan maintenance CPP adalah target terapi yang
fundamental untuk penatalaksanaan Traumatic Brain Injury (Smith, 2008 ;
Hawthorne dan Piper, 2014).
Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi
serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran darah
dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan glukosa
yang adekuat untuk metabolisme otak (Black&Hawks, 2005). CPP dihasilkan
dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan intrakranial, dengan
rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada rentang 60-100 mmHg.

2
MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus kardiak. MAP = Tekanan Sistolik
+ 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika CPP diatas 100 mmHg, maka potensial
terjadi peningkatan TIK. Jika kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak
adekuat sehingga hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al,
2005). Jika MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral
berhenti, sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP.
Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri kepala yang
hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil anisokor, dan juga terjadi
penurunan kesadaran. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh elevasi kepala
tempat tidur selama vasospasme telah dibatasi dalam upaya untuk
meminimalkan vasospasme atau gejala sisa atau keduanya. Akibatnya,
beberapa pasien tetap pada istirahat selama berminggu-minggu. Juga cedera
otak sering membawa kematian dalam setiap pasien yang menderita dari itu.
Waktu lama sebelum pasien mencapai perawatan medis akan menyebabkan
cacat sementara atau permanen fisik. Perawatan medis yang tepat dan
respon cepat akan mengurangi risiko memiliki kedua efek buruk. Kasus ini
bisa konservatif mengobati dengan operasi memang. Ini pasien cedera otak
harus menerima perawatan pemantauan hemodinamik seperti pengamatan
tanda-tanda vital dan pengaturan posisi, pengobatan konservatif dan terapi
obat-obatan tertentu.
Elevasi kepala atau Head of Bed adalah salah satu cara utuk menjaga
kualitas CPP. Selain itu posisi-posisi yang berbeda dapat meningkatkan
kualitas perawatan, memberi kenyamanan pasien, dan mencegah luka
dekubitus. Beberapa penelitian menunjukkan efek dari berbagai ketinggian
HOB dan posisi tubuh pada ICP dan CPP. Namun, efek dari posisi
menyamping dan derajat HOB tidak konsisten. Tidak ada studi di literatur
yang menunjukkan apa dampak berbagai posisi tubuh pada ICP dan CPP
pasien dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS). Mengingat bahwa GCS
rendah akan mempengaruhi perubahan mekanisme autoregulasi yang mana
memungkian otak untuk menyesuaikan terhadap cedera, mengidentifikasi
posisi-posisi dimana pasien dengan skor GCS berbeda adalah penting untuk
keselamatan pasien. Penelitian ini mengevaluasi pengaruh dari elevasi
kepala dan posisi tubuh terhadap ICP dan CPP untuk mengidentifikasi posisi
yang aman untuk pasien neurosurgikal dengan skor GCS yang berbeda.

3
HCU High Care Unit (HCU) adalah unit pelayanan rawat inap bagi pasien
dengan kondisi stabil dari fungsi respirasi, hemodinamik, dan kesadaran
namun masih memerlukan pengobatan, perawatan dan pemantauan secara
ketat.Pasien di ruangan High Care Unit (HCU) rentan akan cedera otak atau
brain injury. Pemantauan tekanan intrakranial atau intracranial pressure (ICP)
dan tekanan perfusi serebral atau cerebral perfusion pressure (CPP) perlu
dilakukan untuk mengurangi resiko tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka kami tertarik untuk melakukan
case study berupa pemberian elevasi kepala terhadap tekanan intracranial
dan tekanan perfusi serebral pada pasien neurosurgikal di ruang 12 HCU
RSUD dr Saiful Anwar Malang.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah pengaruh elevasi kepala terhadap tekanan intracranial
dan tekanan perfusi serebral pada pasien neurosurgikal di ruang 12 HCU
RSUD dr Saiful Anwar Malang?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Menjelaskan pengaruh elevasi kepala terhadap tekanan


intracranial dan tekanan perfusi serebral pada pasien
nuerosurgikal di ruang 12 HCU RSUD dr Saiful Anwar Malang.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui nilai ICP dan CPP pasien neurosurgikal


sebelum dan sesudah elevasi kepala sudut 30 dan 45 dan
posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri.
2. Menganalisis perbedaan ICP dan CPP pasien
neurosurgikal sebelum dan sesudah elevasi kepala sudut
30 dan 45 dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan
miring kiri.
3. Menganalisis efektivitas elevasi kepala sudut 30 dan 45
dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri
terhadap ICP dan CPP pasien neurosurgikal.

4
1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Akademik

Hasil penelitian ini memberikan referensi dalam bidang


Keperawatan Medikal Bedah (KMB) yang dapat digunakan
untuk meningkatkan pengetahuan mahasiswa keperawatan,
perawat pelaksana maupun perawat akademisi dalam hal
pemberian tindakan keperawatan non farmakologis guna
memperbaiki status tekanan intracranial dan tekanan perfusi
serebral pasien berupa elevasi kepala sebagai salah satu
bentuk penerapan perawatan pada pasien neurosurgikal.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat secara praktis hasil penelitian ini adalah:

1. Memberikan pelayanan komprehensif khususnya pada


pasien neurosurgikal.
2. Memberikan informasi kepada pasien yang mengalami sakit
kritis mengenai manfaat terapi elevasi kepala dalam
membantu memperbaiki status tekanan intracranial dan
tekanan perfusi serebral pada pasien neurosurgikal.
3. Masukan kepada bidang manager keperawatan dalam
pengambilan kebijakan untuk perawatan pasien
neurosurgikal di ruang HCU

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tekanan Intrakranial


2.1.1 Definisi
Tekanan intrakranial (TIK) didefiniskan sebagai tekanan dalam
rongga kranial dan biasanya diukur sebagai tekanan dalam ventrikel
lateral otak (Joanna Beeckler, 2006). Menurut Morton, et.al tahun 2005,
tekanan intrakranial normal adalah 0-15 mmHg. Nilai diatas 15 mmHg
dipertimbangkan sebagai hipertensi intrakranial atau peningkatan tekanan
intrakranial. Tekanan intrakranial dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu otak
(sekitar 80% dari volume total),cairan serebrospinal (sekitar 10%) dan
darah (sekitar 10%) (Joanna Beeckler, 2006). Monro–Kellie menjelaskan
tentang kemampuan regulasi otak yang berdasarkan volume yang tetap
(Morton, et.al, 2005). Selama total volume intrakranial sama, maka TIK
akan konstan. Peningkatan volume salah satu faktor harus diikuti
kompensasi dengan penurunan faktor lainnya supaya volume tetap
konstan. Perubahan salah satu volume tanpa diikuti respon kompensasi
dari faktor yang lain akan menimbulkan perubahan TIK (Morton, et.al,
2005). Beberapa mekanisme kompensasi yang mungkin antara lain
cairan serebrospinal diabsorpsi dengan lebih cepat atau arteri serebral
berkonstriksi menurunkan aliran darah otak (Joanna Beeckler, 2006).

2.1.2 Tanda-tanda Peningkatan Tekanan Intrakranial


Ciri-ciri peningkatan tekanan intrakranial adalah terjadi nyeri
kepala yang hebat, muntah proyektil, hipertensi, bradikardi, pupil
anisokor, dan juga terjadi penurunan kesadaran.Hal tersebut
dilatarbelakangi oleh elevasi kepala tempat tidur selama vasospasme
telah dibatasi dalam upaya untuk meminimalkan vasospasme atau gejala
sisa atau keduanya. Akibatnya, beberapa pasien tetap pada istirahat
selama berminggu-minggu. Juga cedera otak sering membawa kematian
dalam setiap pasien yang menderita dari itu. Waktu lama sebelum pasien
mencapai perawatan medis akan menyebabkan cacat sementara atau
permanen fisik. Perawatan medis yang tepat dan respon cepat akan
mengurangi risiko memiliki kedua efek buruk. Kasus ini bisa konservatif

6
mengobati dengan operasi memang. Ini pasien cedera otak harus
menerima perawatan pemantauan hemodinamik seperti tertentu, tanda-
tanda vital pengamatan dan pengaturan posisi sampingpengobatan
konservatif dan terapi obat-obatan tertentu.
Otak yang beratnya 2% dari berat badan menerima 1/6 dari darah
yang dipompa oleh jantung dan menggunakan 20% oksigen yang
diperlukan tubuh merupakan pusat vital yang sangat peka terhadap
keadaan hipoksia maupun trauma. Kalau jaringan lain mampu mentolerir
hipoksia selama satu jam tetapi jaringan otak hanya dalam tiga menit.
Begitu juga trauma sangat berpengaruh terhadap fungsi dari otak itu
sendiri sebagai pusat semua sistem didalam tubuh manusia. Salah satu
penyebab hipoksia otak dan trauma otak adalah kenaikan tekanan
intrakranial yang berlebihan.
Peningkatan TIK merupakan penyebab cedera otak sekunder, dan
derajat serta durasi Traumatic Brain Injury berhubungan dengan outcome
setelah TBI. Pemantauan TIK merupakan pemantauan intra kranial yang
paling sering digunakan, karena pencegahan dan pengendalian
peningkatan TIK dan maintenance CPP adalah target terapi yang
fundamental untuk penatalaksanaan Traumatic Brain Injury (Smith, 2008 ;
Hawthorne dan Piper, 2014).

2.1.3 Pengukuran Tekanan Intrakranial


Salah satu hal yang penting dalam TIK adalah tekanan perfusi
serebral/cerebral perfusion pressure (CPP). CPP adalah jumlah aliran
darah dari sirkulasi sistemik yang diperlukan untuk memberi oksigen dan
glukosa yang adekuat untuk metabolisme otak (Black&Hawks, 2005).
CPP dihasilkan dari tekanan arteri sistemik rata-rata dikurangi tekanan
intrakranial, dengan rumus CPP = MAP – ICP. CPP normal berada pada
rentang 60-100 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan selama siklus
kardiak. MAP = Tekanan Sistolik + 2X tekanan diastolik dibagi 3. Jika
CPP diatas 100 mmHg, maka potensial terjadi peningkatan TIK. Jika
kurang dari 60 mmHg, aliran darah ke otak tidak adekuat sehingga
hipoksia dan kematian sel otak dapat terjadi (Morton et.al, 2005). Jika
MAP dan ICP sama, berarti tidak ada CPP dan perfusi serebral berhenti,
sehingga penting untuk mempertahankan kontrol ICP dan MAP.

7
TIK yang normal bervariasi tergantung umur, posisi tubuh dan
kondisi klinis pasien. TIK yang normal adalah antara 7 – 15 mmHg pada
pasien dewasa dalam posisi supine, 3 – 7 mmHg pada anak – anak dan
1,5 – 6 mmHg pada infant.
Definisi intra kranial hipertensi tergantung pada patologi spesifik
dan usia, walaupun TIK > 15 mmHg secara umum dianggap abnormal
(Smith, 2008 ; Gupta et al, 2015).

2.1.4 Pathway Peningkatan Tekanan Intrakranial


Berikut adalah parthway peningkatan tekanan intrakranial menurut
Suadoni (2009).

Meningkatnya volume intrakranial



Tekanan intrakranial meningkat

Compresi vena

Stagnasi darah

Tekanan intrakranial meningkat

CBF menurun

Perfusi menurun

PaO2 menurun, PaCO2 meningkat, dan pH menurun

pembuluh darah dan sel menjadi rusak

darah dan cairan keluar dari pembuluh darah

menekan daerah yang ada di bawahnya termasuk pembuluh darah

aliran darah ke otak ↓

oksigen ke jaringan otak ↓

terjadi metabolisme anaerob

ATP yang dihasilkan sedikit + asam laktat ↑

Na+ hanya dapat influks tidak dapat efluks

shif cairan ke interstisial

oedem otak

8

semakin menghambat perfusi ke jaringan otak Otak terdesak ke bawah melalui
tentorium (herniasi otak)

Menekan pusat vasomotor, arteri cerebral post, N. Occulomotorius, corticospinal
pathway, serabut RAS

Mekanisme untuk mempertahankan kesadaran, pengaturan suhu, tekanan
darah, nadi, respirasi, dan pergerakan menjadi terganggu.

BREATHING
AIRWAY DISABILITY
Pastikan asupan CIRCULATION
Pastikan penanganan oksigen adekuat Menilai gangguan
jalan nafas dengan dengan Kaji tekanan darah neruologis pada psien
teknik kontrol servikal mempertahankan pasien, frekuensi nadi, seperti tingkat
sehingga dapat saturasai 95 – 100 %. suhu, dan adanya ciri- kesadaran, pupil,
memudahkan oksigen Lihat perkembangan ciri perdarahan. laserasi, muntah, nyeri
masuk ke paru-paru. data apakah simestris Pasang IV line 2 jarum kepala. Tingkat
Lakukan posisi head atau tidak, deviasi besar. Pada kasus kesadaran biasanya
up < 30 derajat untuk trakea, suara nafas peningkatan tekanan terjadi penurunan
mempermudah aliran tambahan, distensi intrakranial, frekuensi dari : sadar, gelisah,
masuk daln keluar vena jugularis. Berikan nadi dan pernapasan menjadi tidak
darah ke otak. Pada oksigen dengan menurun, sedangkan sadarkan diri.
pasien dengan GCS < konsentrasi tinggi tekanan darah dan Penilaian kesadaran
8 maka harus segera melalui SMRM suhu meningkat ini menggunakan nilai
dipasang ETT. ataupun SMNRM GCS.

2.1.5 Indikasi Pemantauan TIK


Pemantauan TIK diindikasikan untuk semua pasien cedera kepala
berat (GCS 3- 8) dan semua pasien cedera kepala sedang (GCS 9-12)
yang beresiko tinggi atau yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan
neurologis serial (misalnya, pasien dalam pengaruh anesthesia) (Shima et
al, 2010 ; Kochanek et al, 2012). The Brain Trauma Foundation
merekomendasikan pemantauan TIK pada semua pasien dengan cedera
kepala berat baik dengan gambaran CT scan kepala abnormal atau
normal dan dengan adanya dua atau lebih faktor resiko di bawah ini saat
masuk rumah sakit : usia > 40 tahun, gangguan motorik (motor posturing)
unilateral atau bilateral, tekanan darah sistolik < 90 mmHg. Sebanyak
kurang lebih 60% kemungkinan terjadi peningkatan TIK pada pasien –
pasien ini (Smith, 2008).

9
Tabel Indikasi Pemantauan TIK

Severe head injury


Intracerebral hemorrhage
Subarachnoid hemorrhage
Hydrocephalus
Stroke
Cerebral edema
Central nervous system infections
Hepatic encephalopathy

Sumber: Smith, 2008

Pasien dengan diffuse injury tanpa gambaran fokal lesi juga


beresiko tinggi terjadi hipertensi intra kranial. Pemantauan TIK pada
pasien dengan diffuse injury, terbukti mengurangi angka mortalitas dan
perbaikan hasil akhir setelah 6 bulan terapi, terutama pada pasien
dengan Marshall CT grading kelas IV dan GCS masuk 3 – 5 (Yuan et al,
2015).

Tabel Indikasi ICP monitoring menurut The Brain Trauma Foundation

Severe Head Injury (GCS ≤ 8)


Normal CT Scan If two or more of the following exist :
- Age > 40 years
- Unilateral or bilateral motor
posturing (flexor or extensor)
- Systolic blood pressure < 90 mmHg
Abnormal CT Scan - Hematoma
- Contusion
- Edema
- Compressed basal cisterns
Sumber: Brain Trauma Foundation, 2007

2.1.6 Metode Pemantauan TIK

10
TIK tidak dapat diperkirakan dari gambaran klinis tertentu atau
temuan CT scan. Metode pemantauan TIK yang berbeda – beda. Dua
metode yang paling umum digunakan untuk mengukur TIK adalah dengan
menggunakan kateter konvensional dan catheter tip microtransducer
system. Kateter konvensional dapat berupa kateter intra ventrikular dan
kateter sub dural. Penggunaan kateter epidural dan sub arachnoid
memiliki tingkat keakuratan yang rendah, dan saat ini jarang digunakan.
Pengukuran tekanan CSF lumbal juga tidak menghasilkan perkiraan TIK
yang akurat dan berbahaya karena dapat memperburuk hipertensi intra
kranial yang sudah terjadi (Smith, 2008 ; Raboel et al, 2012).

Tabel Perbandingan metode pemantauan TIK

Method Advantages Disadvantages

Intraventricular Gold standard Insertion may be


catheter Measures global pressure difficult Most invasive
Allows therapeutic drainage method Risk of
of cerebrospinal fluid hematoma
In vivo calibration possible Risk of ventriculitis

Microtransducer Robust technology Small zero drift over


sensor Intraparenchymal / subdural time No in vivo
placement calibration Measures
Low procedure complication local pressure
rate Low infection risk

Epidural catheter Easy to insert Limited


No penetration of accuracy
dura Low infection Rarely used
rate
Lumbar CSF pressure Extracranial procedure Does not reflect ICP
Dangerous if ICP elevated

Sumber: Smith, 2008.

Metode pemantauan TIK yang merupakan “gold standard” adalah


dengan menggunakan kateter intraventrikuler (EVD atau drain
ventrikulostomi). Teknik ini dilakukan dengan memasukkan kateter ke
dalam ventrikel lateral ; biasanya lewat suatu burr hole kecil pada regio
frontal kanan (Kocher point). Kateter ini kemudian dihubungkan dengan
suatu transducer eksternal. Titik acuan untuk penempatan ujung kateter

11
adalah foramen Monroe atau yang sering digunakan sebagai patokan
adalah MAE.

12
Gambar Lokasi pemasangan ICP Monitor (Owler et al, 2015).

Gambar Lokasi pengukuran TIK pada pasien TBI


Iv – Intraventricular, Ip – Intraparenchymal, Sa – Subarachnoid
space, Ed – Epidural dan Sd – Sub dural (Owler et al, 2015).

13
Gambar Lokasi pemasangan skull bolt (Owler et al, 2015).

Beberapa kateter ventrikular memiliki transducer tekanan pada


lumennya dan bentuk gelombang TIK yang dihasilkan secara umum
kualitasnya lebih bagus dibandingkan dengan kateter tradisional yang
berisi cairan yang dihubungkan dengan transducer eksternal. Kateter
ventrikular mengukur TIK secara global dan mempunyai beberapa
keuntungan tambahan yaitu, dapat dilakukan kalibrasi eksternal secara
periodik, sebagai drainase terapeutik dari CSF atau untuk pemberian obat
– obatan tertentu (antibiotik, dll). Namun, penempatan kateter akan sulit
dilakukan jika posisi ventrikel bergeser atau tertekan akibat edema serebri
atau lesi massa intra kranial (Smith, 2008). Selain itu resiko komplikasi
pada pemasangan kateter ventrikular lebih besar mengingat metode ini
merupakan metode yang paling invasif dibandingkan metode lainnya.
Pengukuran TIK lewat kateter sub dural tidak menggambarkan
keadaan TIK secara global. Kerugian lain dari penggunaan kateter sub
dural adalah tidak dapat dilakukan drainase terapeutik dari CSF dan tidak
untuk pemberian obat – obatan tertentu. Keuntungan penggunaan kateter
sub dural ini adalah kurang invasif dibandingkan kateter intra ventrikular,
pemasangan dan penempatan kateter juga lebih mudah dan cepat
(Zhong et al, 2003).

14
Tabel Karakteristik alat pemantauan TIK

Device Advantages Pitfall

Intraventricular Gold standard of accuracy Most invasive


catheter Allows drainage and Sometimes difficult to
sampling of CSF cannulate ventricle
Allows ICP Catheter can be
control occluded by blood or
Inexpensive tissue
Needs reposting of
transducer level with
change in head
position Potential
infection
Subarachnoid Quickly and easily Blocked by swollen
bolt/screw placed Does not brain Catheter can be
invade brain Allows occluded by tissue or
sampling of CSF blood
May have lower infection rate Must be balanced
and recalibrated
frequently
Subdural, epidural Least invasive Increasing baseline drift
catheter/ Sensor Easy and quickly placed over time, accuracy and
reliability are
questionable Does not
provide CSF sampling

Fiberoptic probe/ Can be placed in the Cannot be recalibrated


Catheter tip strain subdural, subarachnoid, after it is placed, unless
gauge intraventricular or a ventriculostomy is
intraparenchymal spaces used simultaneously for
Easily transported reference
Minimal artifact and Breakage of the
drift fiberoptic cable
High resolution of waveform High cost
No irrigation less risk
infection No need to adjust
for patient
Position
Sumber : Zhong et al, 2003.

A. External Ventricular Drain (EVD)


EVD merupakan alat pemantauan TIK yang akurat. Metode ini
dilakukan dengan memasukkan kateter ke dalam ventrikel lateral setinggi
foramen Monro. Selain sebagai monitoring, EVD juga berfungsi terapeutik
menurunkan TIK lewat drainase CSF. Resiko yang dapat terjadi akibat

15
pemasangan EVD antara lain hematoma intra parenkim, infeksi /
ventrikulitis, dan obstruksi drain (Blaha et al, 2003 ; Hilaire et al, 2011).
Secara umum, pemasangan EVD dilakukan pada otak sisi kanan,
jika tidak ada kontra indikasi. Burr hole dilakukan pada Kocher point, yaitu
13 cm di belakang nasion dan 3 cm lateral dari midline, di depan sutura
coronaria pada midpupillary line. Kateter ventrikuler dimasukkan dengan
menggunakan stylet atau guide wire. Kateter ini diarahkan ke kantus
medial ipsilateral, kemudian terus diarahkan menuju 1 cm anterior dari
tragus. Tujuannya agar ujung kateter masuk setinggi foramen Monro.
Harus dipastikan bahwa semua lubang pada kateter sudah masuk ke
dalam ventrikel (Gupta et al, 2015).

Gambar External Ventricular Device (Hilaire et al, 2011)

Perlu diperhatikan agar drainase CSF tidak terlalu banyak pada


saat pemasangan untuk mencegah terjadinya reperfusion injury akibat
dekompresi ventrikel yang cepat. EVD difiksasi pada scalp kemudian
dihubungkan dengan sebuah probe dan collecting system. Selain
pendekatan lewat Kocher point, EVD juga dapat dipasang pada Keens
point (2,5 cm posterior dan superior dari puncak daun telinga), dan
occipito-parietal (6 cm di atas inion dan 4 cm dari midline) (Gupta et al,
2015).

16
Untuk konfirmasi posisi kateter, dapat dilakukan CT Scan kepala.
EVD dikalibrasi setinggi tragus. EVD diletakkan pada 10 – 20 cm di atas
tragus ; tergantung indikasi drainase CSF. Drain harus tetap terbuka,
sehingga jika terjadi peningkatan TIK di atas level tersebut, CSF dapat
mengalir ke luar. Pengukuran EVD harus dilakukan setiap jam, untuk
monitoring ICP (Gupta et al, 2015).
Untuk weaning EVD, beberapa ketentuan harus terpenuhi antara
lain, pasien secara neurologis mengalami perbaikan dengan diversi CSF,
dan TIK dalam batas normal. Tinggi EVD dinaikkan bertahap, mulai dari
10 cm di atas tragus menjadi 15 cm di atas tragus kemudian 20 cm di
atas tragus. Jika status neurologis pasien dan nilai TIK tetap stabil, maka
EVD dapat diklem ; untuk mengalihkan kontrol ekuilibrium CSF ke jalur
intrinsik. Jika setelah EVD diklem 24 jam dan pasien tetap stabil secara
neurologis, TIK normal dan CT scan menunjukkan ukuran ventrikel yang
stabil, EVD dapat dilepas (Gupta et al, 2015).
Di lain pihak, jika pasien tidak dapat mentoleransi EVD weaning
(biasanya ditandai oleh sakit kepala yang memburuk, perburukan
neurologis, peningkatan TIK atau pelebaran ventrikel pada gambaran CT
Scan kepala), maka diversi CSF permanen dibutuhkan
(Ventriculoperitoneal shunt [VP Shunt]). Pilihan lain untuk diversi
permanen meliputi ventriculopleural shunt dan ventriculoatrial shunt
(Gupta et al, 2015).

B. Sub dural kateter


Cara pemasangan kateter sub dural untuk pemantauan TIK
hampir sama dengan cara pemasangan kateter ventrikular. Keuntungan
metode ini adalah kurang invasif dibandingkan kateter ventrikular dan
pemasangannya lebih mudah dan cepat. Resiko terjadinya infeksi dan
perdarahan akibat pemasangan kateter sub dural lebih kecil dibandingkan
kateter ventrikular. Kateter ditempatkan di bawah duramater dengan cara
melubangi dura. Selain dengan menggunakan kateter konvensional (fluid
- filled catheter), pengukuran tekanan sub dural ini dapat dilakukan
dengan menggunakan kateter pressure transducer atau microtransducer
catheter tip (Pattinson et al, 2005).

17
Gambar Lokasi pemasangan kateter sub dural dan sub dural bolt
(Freeman, 2012)

Metode lain untuk mengukur tekanan sub dural adalah dengan


memasang sub dural bolt / screw, yaitu suatu screw berukuran besar
dengan lubang di tengahnya yang memungkinkan CSF mengalir ke luar
(„Richmond screw‟, „Leeds screw‟). Pada ujung distalnya terdapat luer
connector yang bisa dihubungkan dengan sistem manometri atau
computerized monitor. Ujung screw ini ditempatkan di ruang sub dural.
Ada juga screw sejenis ini yang ditempatkan di ruang sub arachnoid
(Rilley dan Bullock, 2005).
Kekurangan penggunaan kateter sub dural atau hollow skull bolt /
screw ini adalah, mudah terjadi penyumbatan pada alat (blocking) oleh
debris atau hematoma, sehingga sering terjadi malfungsi alat. Kerugian
lain metode ini juga tidak dapat dilakukan drainase terapeutik dari CSF
atau untuk pemberian obat – obatan. Selain itu, pada kondisi di mana TIK

18
sangat tinggi, pengukuran tekanan sub dural menunjukkan angka yang
lebih rendah dibandingkan pengukuran tekanan intra ventrikular (Rilley
dan Bullock, 2005 ; Pattinson et al, 2005).

C. Microtransducer system

Pemantauan TIK yang menggunakan microtransducer tip dapat


diletakkan di dalam parenkim otak atau ruang sub dural. Microtransducer
ini hampir sama akurat seperti kateter ventrikular. Fiber optic, strain
gauge, atau teknik pneumatik digunakan untuk menghantar tekanan pada
alat microtransducer modern. ICP monitor Camino® (Integra
neuroscience, Plainsboro, NJ) menggunakan kabel fiber optic untuk
mengarahkan cahaya ke arah miniatur cermin yang dapat bergerak pada
ujung kateter. Perubahan pada TIK akan menggerakkan cermin dan
perubahan intensitas cahaya yang terefleksi akan dikonversi sebagai
perubahan tekanan. Mikro sensor Codman® (Johnson and Johnson,
Raynham, MA) menggabungkan dua pengukur tekanan semi konduktor
yang dipasang pada suatu diafragma tipis pada ujung kateter, yang
dilindungi oleh selubung titanium. Diafragma tersebut akan berubah
sesuai tekanan yang diberikan dan sebuah jembatan Wheastone
digunakan untuk mengubah tekanan menjadi resistensi yang selanjutnya
digambarkan sebagai nilai TIK (Smith, 2008).

19
A. B.

C.
Gambar A,B,C. Macam – macam jenis microtransducer (Owler et
al, 2015)

Gambar Catheter tip transducers (Owler et al, 2015)

20
Gambar Diameter dan penampang transducer (Owler et al, 2015)

A. B.

Gambar Codman ICP monitor B. Camino ICP monitor (Owler et al,


2015)

21
Gambar Codman ICP microsensor (Owler et al, 2015)

Gambar Camino ICP monitor (Owler et al, 2015)

ICP monitor Neurovent-P® (Raumedic AG, Munchberg, Germany)


juga menggunakan chip elektronik pengukur tekanan yang dilapisi oleh
membran silikon tipis yang dipasang pada ujung distal kateter.

22
Penggabungan jembatan Wheastone ke dalam chip memperkuat
karakteristik aliran / arus dengan mengurangi sensitivitas temperatur dan
efek regangan eksternal yang tidak berhubungan dengan tekanan.
Kateter Neurovent mengukur tiga variabel yaitu TIK, tekanan parsial
oksigen jaringan otak dan temperatur (Smith, 2008).
Alat – alat di atas tidak dapat dilakukan kalibrasi tekanan secara in
vivo. Kalibrasi dilakukan sebelum insersi dengan menggunakan tekanan
atmosfer , sehingga hasil pengukuran berdasarkan nilai nol pada sensor.
Namun, sistem microtransducer bekerja dengan baik pada pengujian in
vitro, dengan penyimpangan sebesar 0,6 – 0,9 mmHg setelah 5 hari
penggunaan secara terus - menerus. Sistem microtransducer terpercaya
dan mudah digunakan, dengan nilai penyimpangan minimal dari titik nol.
Microtransducer juga memiliki angka komplikasi dan infeksi yang rendah,
tetapi tekanan yg diukur tidak mencerminkan nilai tekanan CSF yang
sebenarnya karena gradien tekanan intraparenkim yang sudah ada
setelah Traumatic Brain Injury (Smith, 2008).
Akhir – akhir ini, telah diperkenalkan alat dengan teknologi
pneumatik. Spiegelberg ICP monitor (Spiegelberg GmbH, Hamburg,
Germany) menggunakan kantong udara kecil seperti balon pada ujung
kateter untuk mendeteksi perubahan pada tekanan. Alat ini dapat
digunakan intraparenkim atau intraventrikuler, dan dapat diatur secara
otomatis in vivo ke nilai nol. Prinsip kerjanya sama seperti alat kateterisasi
jantung yang diperkenalkan oleh E.J Marrey pada tahun 1881. Tekanan
dihantarkan dari dalam tubuh ke luar tubuh melalui udara. Balon yang
terisi udara sebagian akan menghantarkan tekanan ke kolom udara
(Smith, 2008).

23
Gambar Spiegelberg ICP monitor (Owler et al, 2015).

Selain metode invasif, dikenal juga beberapa metode yang kurang


invasif dalam mengukur TIK, di antaranya dengan penggunaan
pergeseran membran timpani. Transkranial Doppler ultrasonografi dan
pemeriksaan funduskopi merupakan metode pengukuran ICP dan CPP
yang non invasif dan mudah diaplikasikan, dengan tingkat keakuratan
hingga 10 – 15 mmHg (Smith, 2008 ; Prunett et al, 2011 ; Amini et al,
2013). Selain itu, ada pula beberapa penelitian yang menggunakan MRI
(Magnetic Resonance Imaging) dan CT scan (Computed Tomographic
scan) yang mengukur densitas jaringan otak, untuk memantau
peningkatan TIK (Heidenreich et al, 2005 ; Inaba et al, 2007).
Banyak informasi yang bisa diperoleh dari pemantauan TIK selain
pengukuran TIK absolute. CPP dapat dihitung sebagai perbedaan antara
MAP dan TIK (CPP = MAP – ICP) dan merupakan pengukuran gradient
tekanan di sepanjang vascular bed. Gelombang TIK patologis dapat
diidentifikasikan dan dianalisa. Perubahan pola TIK pada pasien pasca
TBI adalah sebagai berikut :

24
1. Rendah (< 20 mmHg) dan TIK stabil :
Pola ini tampak setelah cedera kepala tanpa komplikasi atau selama
jam – jam pertama setelah cedera kepala berat, sebelum terjadi brain
swelling.
2. Tinggi (> 20 mmHg) dan TIK stabil :
Ini merupakan pola yang paling sering tampak setelah cedera kepala
berat.
3. Gelombang TIK :
Gelombang TIK merefleksikan penurunan compliance intra kranial.
4. Perubahan TIK sehubungan dengan perubahan pada ABP
(Arterial Blood Pressure) :
Hal ini terjadi akibat hilangnya respon autoregulasi serebral,
ketika TIK berubah secara langsung dengan ABP.
5. Hipertensi intra kranial refrakter :
Tanpa adanya strategi pengobatan yang agresif, kondisi ini
dapat berkembang menjadi herniasi dan kematian.

2.1.7 Komplikasi Pemantauan TIK


Komplikasi penggunaan kateter intra ventrikular maupun kateter
intra parenkim adalah infeksi (11%) dan merupakan komplikasi serius
yang menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas secara
signifikan. Resiko infeksi meningkat setelah 5 hari dan diduga
berhubungan dengan kolonisasi retrograde dari kateter. Namun, data
terbaru menunjukkan bahwa infeksi CSF juga didapat pada saat
pemasangan kateter. Kateter intra ventrikular juga dapat terjadi blokade,
terutama jika terdapat perdarahan sub arachnoid atau peningkatan
protein CSF. Jika lubang drainase pada ujung kateter tersumbat parsial,
resistensi terhadap aliran CSF akan meningkat pada ujung drain dan
gradient tekanan akan terbentuk di sepanjang kateter (Smith, 2008).
Walaupun patensi kateter dapat sering diperbaiki dengan
membilas secara perlahan, namun tindakan membilas yang berulang –
ulang dapat meningkatkan resiko infeksi. Pemeriksaan mikrobiologi
regular dari sampel CSF untuk mendeteksi adanya ventrikulitis
direkomendasikan oleh beberapa senter, di mana senter lain meyakini
bahwa pemeriksaan rutin CSF justru menyebabkan peningkatan angka
infeksi karena sistem drainase tertutup dibuka berulang kali. Penggunaan

25
kateter yang mengandung antibiotik berhubungan dengan angka infeksi
yang rendah, sebaliknya penggunaan kateter yang dilapisi hidrogel (untuk
mencegah bakteri menempel pada kateter) tidak menurunkan angka
infeksi (Smith, 2008).
Selain malfungsi kateter / blokade kateter dan infeksi, komplikasi
lain yang dapat terjadi adalah perdarahan (Chesnut et al, 2012). Pada
penelitian terhadap 431 pasien anak yang dilakukan pemantauan TIK,
sebanyak 7,5 % mengalami perdarahan derajat satu yaitu berupa
perdarahan punctate yang kecil dan SAH (Sub arachnoid Hemorrhage)
dan sebanyak 2,2% mengalami perdarahan derajat dua berupa ICH
(Intracerebral Hematoma) ( Blaha et al, 2003).

2.2 Hubungan Head of Bed Elevations dengan Tekanan Intrakranial


2.2.1 Konsep Head of Bed Elevations
Suatu hal yang penting untuk mempertahankan tekanan
intrakranial (ICP) dan tekanan perfusi otak (CPP) dalam kondisi normal
untuk mengurangi risiko cedera otak sekunder pada pasien bedah saraf.
Di unit perawatan neurokritikal (NCU), head of bed (HOB) ditinggikan
untuk mengurangi ICP dan pertahankan CPP yang memadai. Namun,
posisi yang berbeda meningkatkan kualitas perawatan, meningkatkan
kenyamanan dan dapat mencegah tukak lambung. Beberapa penelitian
menunjukka efek dari perbedaan ketinggian HOB dan posisi tubuh pada
ICP dan CPP.
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi
perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Morton, et.al, 2005).
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh
darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri.
Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang dapat
meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan
TIK. Jadi penting untuk mempertahankan ICP dan CPP dalam kondisi
normal agar sirkulasi sistemik dan kemampuan autoregulasi tubuh dapat
berjalan dengan baik.

26
2.2.2 Mekanisme Head of Bed Elevations
Dalam studi penelitian yang dilakukan oleh Schneider, dkk (2000
dalam Muhammad, 2007) menyatakan bahwa salah satu
penatalaksanaan penurunan peningkatan intra kranial adalah dengan
mengatur posisi kepala elevasi 15- 30o untuk meningkatkan venous
drainage dari cerebral ke jantung. Elevasi kepala 15- 30 o aman sepanjang
tekanan perfusi serebral dipertahankan lebih dari 70 mmHg dengan
melihat indikator MAP (Mean Arterial Pressure). Disamping itu tindakan
elevasi kepala 15- 30o tersebut juga diharapkan venous return (aliran
balik) ke jantung berjalan lebih optimal sehingga dapat mengurangi
edema intaserebral karena perdarahan. Namun pemberian elevasi kepala
tidak boleh lebih dari 30o, dengan rasional pencegah peningkatan resiko
penurunan tekanan perfusi serebral dan selanjutnya dapat memperburuk
iskemia serebral jika terdapat vasopasme (Sunardi, 2011). Kemudian
didukung oleh Muhammad Afif Alfianto (2015) yang melakukan penelitian
di IGD RS. Dr. Morwardi Surakarta tentang “pemberian posisi kepala flat
0º dan elevasi 30º terhadap tekanan intrakranial pada pasien Stroke
Hemoragik”. Evaluasi akhir menunjukkan bahwa aplikasi posisi kepala flat
0º dan posisi kepala 30º secara bergantian dapat mengontrol peningkatan
TIK. Hal ini dibuktikan dengan penurunan tekanan darah, MAP menurun,
keluhan nyeri berkurang, tidak ada mual dan muntah proyektif.

2.3 Isi Jurnal


2.3.1 Identitas Jurnal
1. Judul Jurnal
Judul jurnal adalah Effects of Different Head-of-Bed
Elevations and Body Positions on Intracranial Pressure and Cerebral
Perfusion Pressure in Neurosurgical Patients
2. Auhors (Penulis)
Peneliti adalah Gulay Altun Ugraz, Serpil Yuksel, Zeynep
Temiz, Selin Eroglu, Keziban yirin, dan Yuksel Turan dari Turki.

27
2.3.2 Topik Jurnal
Topik dalam jurnal ini yaitu mengenai pengaruh elevasi kepala
terhadap tekanan intracranial dan tekanan perfusi serebral pada pasien
nuerosurgikal di ruang 12 HCU RSUD dr Saiful Anwar Malang.

2.3.3 Latar Belakang


Pasien di unit perawatan neurokritikal (NCU) rentan akan cedera
otak atau brain injury. Pemantauan tekanan intrakranial atau intracranial
pressure (ICP) dan tekanan perfusi serebral atau cerebral perfusion
pressure (CPP) perlu dilakukan untuk mengurangi resiko tersebut. Elevasi
kepala atau Head of Bed adalah salah satu cara utuk menjaga kualitas
CPP. Selain itu posisi-posisi yang berbeda dapat meningkatkan kualitas
perawatan, memberi kenyamanan pasien, dan mencegah luka dkubitus.
Beberapa penelitian meninjukkan efek dari berbagai ketinggian HOB dan
posisi tubuh pada ICP dan CPP. Namun, efek dari posisi menyamping
dan derajat HOB tidak konsisten. Tidak ada studi di literatur yang
menunjukkan apa dampak berbagai posisi tubuh pada ICP dan CPP
pasien dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS). Mengingat bahwa GCS
rendah akan mempengaruhi perubahan mekanisme autoregulasi yang
mana memungkian otak untuk menyesuaikan terhadap cedera,
mengidentifikasi posisi-posisi dimana pasien dengan skor GCS berbeda
adalah penting untung keselamatan pasien. Penelitian ini mengevaluasi
pengaruh dari elevasi kepala dan posisi tubuh terhadap ICP dan CPP
untuk mengidentifikasi posisi yang aman untuk pasien neurosugikal
dengan skor GCS yang berbeda.

2.3.4 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh elevasi
kepala terhadap tekanan intracranial dan tekanan perfusi serebral pada
pasien nuerosurgikal di ruang 12 HCU RSUD dr Saiful Anwar Malang.
Tujuan umum adalah menjelaskan pengaruh elevasi kepala
terhadap tekanan intracranial dan tekanan perfusi serebral pada pasien
nuerosurgikal di ruang 12 HCU RSUD dr Saiful Anwar Malang.
Tujuan khusus: 1) mengetahui nilai ICP dan CPP pasien
neurosurgikal sebelum dan sesudah elevasi kepala sudut 15, 20, dan 45

28
dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri. 2) menganalisis
perbedaan ICP dan CPP pasien neurosurgikal sebelum dan sesudah
elevasi kepala sudut 15, 20, dan 45 dan posisi tubuh telentang, miring
kanan dan miring kiri. 3) menganalisis efektivitas elevasi kepala sudut 15,
20, dan 45 dan posisi tubuh telentang, miring kanan dan miring kiri
terhadap ICP dan CPP pasien neurosurgikal.

2.3.5 Metode Penelitian


Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental, yaitu
mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan kontrol berulang
terhadap intervensi yang digunakan untuk menganalisis efek elevasi
kepala dan pemosisian tubuh yang berbeda terhadap ICP dan CPP
pasien. Sampel berupa 30 orang pasien yang terpasang external
ventricular drainage (EVD) dan/atau ICP monitoring di NCU di rumah sakit
universitas di Istanbul antara Agustus 2013 dan Desember 2016. Kriteria
inklusi berupa pasien berusia 18 tahun atau lebih, terpasang EVD
dan/atau ICP monitoring dan pasien yang mempunyai kateter intraarteri.
Tekanan intrakranial [set monitoring tekanan dipasang nol pada kanal
extrenal auditory (tragus) dan rotasi kepala dihindari] dan tekanan darah
invasif [arteri radial (set monitoring tekanan dipasang nol pada atrium
kanan, posisi tidak berubah saat pengukuran] diukur pada monitor di
saming tempat tidur. CPP dihitung sebagai mean arterial pressure (MAP)
dikurangi ICP. Elevasi kepala diukur menggunakan goniometer. Pasien
diobservasi pada sembilan posisi berbeda yaitu 15o,30o,45o supine;
15o,30o,45o left lateral; 15o,30o,45o right lateral. Selama memposisikan
pasien, pergerakan kepala ekstrim dihindari, flleksi panggul dihindari.
Sebeum memposisikan pasien, EVD diklem untuk mencegah drainasi
berlebih dan untuk membuat nilai ICP tidak terpengaruh. Pasien diberi
posisi tubuh yang berbeda (15o HOB supine, left lateral, right lateral; 30 o
HOB supine, left lateral, right lateral; 45o HOB supine, left lateral, right
lateral) dalam interval 2 jam. Data yang diperoleh berupa frekuensi,
persentase, rata-rata, dan standar deviasi. Data diolah menggunakan
ANOVA untuk perbandingan sudut elevasi kepala dan posisi tubuh, dan
tes Kruskall Wallis untuk perbedaan evaluasi di pre dan post ICP dan
CPP.

29
2.3.6 Hasil Jurnal
Hasil penelitian adalah ICP meningkat dan CPP menurun pada posisi
telentang dan miring kanan dengan sudut elevasi head of bed yang
berbeda-beda namun tidak signifikan. Ketika pasien dengan skor GCS 3-
8 diposisikan 15 derajat miring kanan dan kiri dan posisi 45 derajat miring
kanan, dan ketika pasien dengan skor GCS 13-15 diposisikan 15 derajat
miring kiri, ICP dan CPP berubah secara signifikan. Dari hasil penelitian
dapat disimpulkan bahwa posisi head of bed elevation pada 15, 30, dan
45 derajat mempunyai dampaik pada perubahan ICP dan CPP. Pada
penelitian didapatkan peningkatan ICP dan penurunan CPP yang
signifikan pada pasien yang mempunyai GCS yang berbeda-beda yang
diposisikan head of bed elevation 15 derajat miring kanan dan kiri, dan
posisi head of bed elevation 45 derajat miring kanan. Perubahan
signifikan dalam nilai pasien juga tetap dalam kisaran normal yang
ditentukan, yang menunjukkan bahwa pasien dapat ditempatkan dengan
aman di posisi ini tetapi memerlukan pemantauan ketat. Mengingat
bahwa kemampuan autoregulasi otak penting untuk mempertahankan
perfusi otak yang optimal, dapat disarankan bahwa mekanisme
autoregulasi pada kelompok pasien yang berbeda dengan skor GCS yang
berbeda harus dievaluasi, dan posisi yang berbeda harus ditelaah lebih
lanjut dalam penelitian di masa depan.

2.3.7 Aplikasi jurnal di Setting Keperawatan Indonesia


Head of bed elevation atau elevasi kepala telah diterapkan di Rumah
Sakit Saiful Anwar Malang untuk mengurangi atau mempertahankan
tekanan intrakranial pada pasien post operasi kepala atau pasien
neurosurgikal. Pasien-pasien tersebut banyak dirawat di ruang ICU dan
12 HCU. Namun sering kali penerapan elevasi kepala dan posisi pasien
tidak terpaku pada suatu sudut pasti yang mana pada jurnal ini diteliti
berbagai sudut elevasi kepala dan bagaimana pengaruhnya apada
tekanan intrakranial. Dengan adanya penelitian dari jurnal ini, selanjutnya
dapat menjadi referensi atau evidence based bagi perawat untuk
menerapkan posisi dan sudut elevasi kepala yang tepat bagi pasien-
pasien neurosurgikal.

30
BAB III
METODE STUDI KASUS
3.1 Desain Studi Kasus

Kegiatan yang dilaksanakan merupakan studi kasus penerapan


asuhan keperawatan elevasi kepala kepada pasien dengan criteria sebagai
berikut:
a) Kriteria inklusi:
1. Pasien dengan indikasi elevasi kepala
2. Pasien yang menggunakan EVD/ICP monitoring
b) Kriteria eksklusi:
1. Pasien dengan ketidakstabilan status hemodinamik
2. Pasien yang tidak toleransi terhadap perubahan posisi
(ICP>25mmHg 5 menit setelah dilakukan perubahan posisi)
3. Pasien yang didiagnosa mati batang otak
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang terpasang
EVD/ICP monitoring di Ruang 12 HCU Rumah Sakit Saiful Anwar. Studi
kasus ini dilaksanakan selama 2 jam pada tanggal 20 Januari 2020.

3.2 Instrumen Studi Kasus

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:


- Jam tangan
- Termometer
- SOP pengukuran ICP monitoring
- Lembar observasi

3.3 Prosedur Pelaksanaan


Prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini memiliki 4 fase yaitu fase
awal, fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Masing-masing prosedur
yang dilakukan dijelaskan pada tabel 3.1.

No Prosedur Pelaksanaan
Fase Awal
1 Melakukan persiapan alat
2 Melakukan verifikasi data pasien
Fase Orientasi
Meminta inform consent pada keluarga pasien yang akan dijadikan
1
sample case study

31
Melaksanakan pengkajian awal mengenai identitas dan diagnosa medis
2
pasien
Fase Kerja
1 Cuci tangan
2 Mengobservasi status hemodinamik (tanda-tanda vital, MAP, ICP, CPP)
3 Memposisikan elevasi kepala 45˚ dalam keadaan miring ke kiri pasien
4 Meengobservesi tanda-tanda vital pasien setiap 15 menit
Mengobservasi status hemodinamik (tanda-tanda vital, MAP, ICP, CPP)
5
setelah 2 jam
Fase Terminasi
1 Kembalikan pasien keposisi semula sesuai indikasi
Tabel 3.1 Prosedur Pelaksanaan penelitian

32
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Studi Kasus


4.1.1 Data Pasien
1. Nama : Tn A
2. Usia : 20 tahun
3. Diagnosa Medis (20-01-2020)
- Post TDE + ICH + CKS 225
- Pneumonia HAP + Septic condition
4. Keluahan : Penurunan kesadaran
5. Penyebab : Cedera kepala
6. Upaya yang telah dilakukan: post TDE ICH, EVD, head up 30o
4.1.2 Kondisi Pasien Sebelum dan Sesudah Terapi
Pada studi kasus ini, pasien yang sesuai dengan kriteria akan
dimonitoring status hemodinamik pada sebelum dan sesudah head
elevasi 300 dan 450 selama 2 jam. Dari sampel tersebut dilakukan
intervensi berupa pemberian posisi elevasi kepala 30 o dan 450 yang
diberikan kepada pasien untuk dievaluasi dan dibandingkan keefektifan
elevasi kepala terhadap nilai ICP. Hasil dari keefektifan head elevasi
kepala 30o dan 450 terangkum dalam tabel 4.1.
Posisi Jam GCS TD HR RR MAP ICP CPP
Head Up
30o 11.00 445 121/74 92 22 89 15 74
11.15 445 120/79 95 22 93
11.30 445 133/80 90 20 98
11.45 445 130/75 91 19 93
12.00 445 132/80 93 20 97
12.15 445 130/81 86 21 97
12.30 445 122/78 98 21 93
12.45 445 120/80 91 19 93
13.00 445 129/84 81 19 99 8 84
o
45 13.15 445 137/87 87 20 103 15 88
13.30 445 129/84 81 20 99
13.45 445 126/78 83 20 94
14.00 445 131/81 91 19 98
14.15 445 124/82 89 20 96
14.30 445 133/80 86 21 98
14.45 445 127/85 81 21 99

33
15.00 445 129/86 81 19 100
15.15 445 131/87 73 19 101 15 93
Tabel 5.1 Perbandingan hasil hemodinaik head elevasi 30o dan 450

Nilai Sistolik dan Diastolik Elevasi Kepala 30˚


140

120

100

80

60

40

20

0
11 11.15 11.3 11.45 12 12.15 12.3 12.45 13

Gambar 4.1 Grafik tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan MAP 300

Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa tekanan darah sistole,
diastole, dan MAP setelah 2 jam post tekanan darah memiliki rentang 120-
133/74-84 mmHg dengan MAP 89-99 mmHg.

Nilai Sistolik dan Diastolik Elevasi Kepala 45˚


160
140
120
100
80
60
40
20
0
13.15 13.3 13.45 14 14.15 14.3 14.45 15 15.15

Gambar 4.2 Grafik tekanan darah sistole, tekanan darah diastole, dan MAP 450

34
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa tekanan darah sistole,
diastole, dan MAP setelah 2 jam post tekanan darah memiliki rentang 124-
137/80-87 mmHg dengan MAP 94-103 mmHg.

Nilai Nadi dan Pernafasan Elevasi Kepala 30o


120

100

80

60

40

20

0
11 11.15 11.3 11.45 12 12.15 12.3 12.45 13

Gambar 4.3 Grafik Nadi dan pernafasan 300

Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa nadi dan pernafasan setelah
2 jam post intervensi nadi memiliki rentang 86-98 x/mnt dengan pernafasan 19-
22 x/mnt.

Nilai Nadi dan Pernafasan Elevasi Kepala 45o


100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
13.15 13.3 13.45 14 14.15 14.3 14.45 15 15.15

Gambar 4.4 Grafik Nadi dan pernafasan 450

35
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa nadi dan pernafasan setelah
2 jam post intervensi nadi memiliki rentang 73-91 x/mnt dan pernafasan 19-21
x/mnt.

Nilai ICP dan CPP Head Elevasi 30o


90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
11 13

Gambar 4.5 Grafik ICP dan CPP 300

Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil ICP sebelum dan
sesudah post intervensi mengalami penurunan dari 15 mmHg ke 8 mmHg.
Sedangkan CPP mengalami peningkatan sekitar 10 mmHg dari sebelum
intervensi 74 mmHg meningkat ke 84 mmHg.

Nilai ICP dan CPP Head Elevasi 45o


100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
13.15 15.15

36
Gambar 4.6 Grafik ICP dan CPP 450
Dari hasil tabel diatas dapat diketahui bahwa hasil ICP sebelum dan
sesudah post intervensi konstan 15 mmHg. Sedangkan CPP mengalami
peningkatan sekitar 5 mmHg dari sebelum intervensi 88 mmHg meningkat ke 93
mmHg.

4.2 Pembahasan
4.2.1 Pengaruh Head Elevasi Terhadap Icp (Intra Cranial Pressure)
Hasil penelitian pada pasien dengan head elevasi 30º menunjukan
hasil ICP sebelum dan sesudah post intervensi mengalami penurunan
dari 15 mmHg ke 8 mmHg. Pada head elevasi 45º ICP sebelum dan
sesudah post intervensi konstan 15 mmHg.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Pertami SB,
Sulastyawati, Anami P (2017) yang menunjukkan terdapat pengaruh
yang signifikan posisi head-up 30° pada perubahan tekanan intrakranial
dengan cedera kepala. Peningkatan intrakranial terjadi bila nilai tekanan
intrakranial lebih dari 15 mmHg yang ditandai dengan sindroma klinis
yaitu kenaikan tekanan darah, penurunan nadi, perubahan respirasi serta
perubahan pupil. Dengan mengatur posisi pasien dengan kepala sedikit
elevasi (15° - 30°) untuk meningkatkan venous drainage dari kepala dan
elevasi kepala dapat menyebabkan penurunan tekanan darah sistemik,
mungkin dapat dikompromi ole tekanan perfusi serebral (Kusuma &
Atika, 2019)
Teori keperawatan comfort yang dikembangkan oleh Kolcaba
merupakan suatu rancangan yang memiliki peranan yang sangat
bermanfaat dalam dunia keperawatan. Rencana keperawatan yang
disusun sebagai tindakan keperawatan dalam upaya pemenuhan
kebutuhan akan rasa nyaman yang diperlukan oleh pasien seperti
psikologis, sosial dan spiritual, financial, fisiologis, serta lingkungan.
Dibutuhkan sekurangnya tiga tipe intervensi untuk mencapai suatu
kenyamanan yaitu standar comfort, coaching dan comfort food for the
soul (Kolcaba, 2003). Posisi head-up 30 derajat bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi di otak sehingga menghindari
terjadinya hipoksia pasien, dan tekanan intrakranial menjadi stabil dalam
batas normal. Selain itu, posisi ini lebih efektif untuk mempertahankan

37
tingkat kesadaran karena sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh
manusia yang kemudian mempengaruhi hemodinamik pasien (Batticaca
FB, 2008). Posisi head up 30 derajat merupakan posisi menaikkan
kepala dari tempat tidur dengan sudut sekitar 30 derajat dan posisi
badan sejajar dengan kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki manfaat
untuk menurunkan tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala.
Selain itu posisi tersebut juga dapat meningkatkan oksigen ke otak. Hal
ini akan menambah rileks serta memindahkan fokus perhatian pada nyeri
yang dialami seseorang. Sehingga muncul kenyaman yang berdampak
pada nyeri yang berkurang (Batticaca FB, 2008).
Posisi elevasi kepala merupakan tindakan keperawatan
tradisional/ konvensional, pemberian posisi elevasi kepala 30º adalah
suatu bentuk intervensi keperawatan dalam yang rutin dilakukan pada
pasien cedera kapala, stroke dengan hipertensi intra kranial. Elevasi
kepala berdasarkan pada respon fisiologis merupakan perubahan posisi
untuk meningkatkan aliran darah ke otak dan mencegah terjadinya
peningkatan TIK. Peningkatan TIK adalah komplikasi serius karena
penekanan pada pusat-pusat vital di dalam otak (herniasi) dan dapat
mengakibatkan kematian sel otak (Rosjidi, 2014). Elevasi kepala tidak
boleh lebih dari 30°, dengan rasional pencegah peningkatan resiko
penurunan tekanan perfusi serebral dan selanjutnya dapat memperburuk
iskemia serebral jika terdapat vasopasme (Sunardi, 2011).

4.2.2 Pengaruh Head Elevasi Terhadap Cpp (Cerebral Perfusion


Pressure)
Hasil penilitian pada pasien dengan head elevasi 30º menunjukan
CPP mengalami peningkatan sekitar 10 mmHg dari sebelum intervensi
74 mmHg meningkat ke 84 mmHg. Pada head elevasi 45º CPP
mengalami peningkatan sekitar 5 mmHg dari sebelum intervensi 88
mmHg meningkat ke 93 mmHg.
Menurut penelitian pada tahun 2008 di RSU dr. Soetomo
Surabaya jumlah kejadian angka trauma kepala 2126 orang dan 27,19 %
usia di antara 21 -30 tahun serta 66,7 % di sebabkan oleh kecelakaan
lalu lintas (Dian, 2009). Cedera kepala merupakan penyebab hampir
setengah dari seluruh kematian akibat trauma, sedangkan menurut data

38
yang diperoleh dari medical record Rumah Sakit Mitra Keluarga
Surabaya pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2012 dari sekitar 20
% kasus trauma kepala yang masuk rumah sakit, hanya 5 % dari yang
dilakukan operasi di ruang operasai dan bulan selanjutnya naik dua kali
lipat. Satu rekomendasi untuk posisi selama peningkatan TIK adalah 30
derajat posisi kepala maksimal tanpa mengurangi cerebral perfusion
pressure (CPP) dan cerebral blood flow (CBF) (Black & Hawks, 2006).
Hasil uji di dapatkan efektifitas head up 30º terhadap peningkatan
perfusi cerebral pada pasien post op trepanasi. Hasil yang signifikan
adalah tingkat kesadaran. Meskipun secara statistik terdapat 2 hasil yang
signifikan tapi terdapat perubahan pada TD, pupil dan MAP.
Cerebral perfusion pressure (CPP) adalah jumlah aliran darah dari
sirkulasi sitemik yang diperlukan untuk memberikan oksigen dan glukosa
yang adekuat untuk metabolisme otak (Black & Hawks, 2005). Tanda-
tanda vital yang tetap terjaga konstan memperbaiki aliran darah
sehingga meningkatkan status neurologis. Posisi head up 30º perfusi dari
dan ke otak meningkat sehingga kebutuhan oksigen dan metabolisme
meningkat ditandai dengan peningkatan status kesadaran diikuti oleh
tanda-tanda vital yang lain. 2 responden memiliki pupil tidak normal
(anisokor, reaksi+/+), kemungkinan terjadi penekanan terhadap saraf
okulomotor ipsilateral akibat edema serebri post optrepanasi. Pasien
dengan hematoma yang besar yang memberikan efek massa yang besar
dan gangguan neurologis (Bajamal, 2007).
Otak yang normal memiliki kemampuan autoregulasi, yaitu
kemampuan organ mempertahankan aliran darah meskipun terjadi
perubahan sirkulasi arteri dan tekanan perfusi (Tankisi, et.al, 2005).
Autoregulasi menjamin aliran darah yang konstan melalui pembuluh
darah serebral diatas rentang tekanan perfusi dengan mengubah
diameter pembuluh darah dalam merespon perubahan tekanan arteri.
Pada klien dengan gangguan autoregulasi, beberapa aktivitas yang
dapat meningkatkan tekanan darah seperti batuk, suctioning, dapat
meningkatkan aliran darah otak sehingga juga meningkatkan tekanan
TIK (Thamburaj, V, 2006).
Peningkatan perfusi cerebral juga dipengaruhi oleh lokasi cedera,
jumlah perdarahan intracranial. Dari data diatas didapatkan lokasi cedera

39
daerah frontal sesuai untuk meningkatkan perfusi serebral dan jumlah
perdarahan sekitar 40-50 cc prognose untuk kembalinya kesadaran
kekondisi semula akan semakin cepat dengan posisi head up 30º.

4.2.3 Pengaruh Head Elevasi Terhadap Map (Mean Arterial Pressure)


Hasil penelitian pada pasien cedera kepala dengan head elevasi
30º menunjukkan bahwa tekanan darah sistole, diastole, dan MAP
setelah 2 jam post tekanan darah memiliki rentang 120-133/74-84 mmHg
dengan MAP 89-99 mmHg. Pada head elevasi 45º menunjukkan bahwa
tekanan darah sistole, diastole, dan MAP setelah 2 jam post tekanan
darah memiliki rentang 124-137/80-87 mmHg dengan MAP 94-103
mmHg.
Menurut Mahfoud, (2010) posisi head up dalam rentang
mendekati posisi 0° tekanan intrakranial meningkat sedangkan ke posisi
60° cerebral perfusion pressure meningkat, keseimbangan nilai tekanan
intrakranial dan cerebral perfusion pressure stabil pada head up posisi
15-30°. Sedangkan menurut Bahrudin (2008) Posisi kepala 30º (elevasi)
merupakan suatu posisi untuk menaikan kepala dari tempat tidur sekitar
30º dan posisi tubuh dalam keadaan sejajar.
Pengukuran parameter mean arterial pressure sebelum dilakukan
pemberian posisi 30º nilai rata-rata MAP 104,94 mmHg. Nilai minimum
data pada MAP sebelum dilakukan pemeberian posisi 30º 93,00 mmHg.
Sedangkan nilai maximum sebelum diberikan posisi 30º adalah123,00
mmHg. Setelah dilakukan pemberian posisi 30º dengan rentang waktu
dua jam dari pengukuran awal maka didapatkan nilai rata-rata MAP
adalah 96,35 mmHg. Nilai minimum data MAP setelah diberikan
perlakukan posisi 30º adalah 87,00 mmHg. Sedangkan nilai maximum
sesudah diberikan perlakukan posisi 30º adalah 103,00 mmHg.
Pengaruh tindakan head up 30° terhadap MAP dipengaruhi
banyak factor karena diukur menggunakan hasil dari tekanan darah
pasien [MAP = (sistolik + 2diastolik) : 3] dalam (Jones & Fix, 2013).
Faktor tersebut diantaranya adalah faktor obat, riwayat penyakit
hipertensi, kecemasan dan teknik nonfarmakologis lainnya. Menurut
Smeltzer (2008) dalam Olviani (2015) menyatakan bahwa MAP harus
dipertahankan diatas 60 mmHg untuk menjamin perfusi ke otak, perfusi

40
arteri coronaria dan perfusi ke ginjal tetap terjaga selama pemberian
posisi headup. Selain itu, peningkatan tekanan darah atau tekanan nadi
membesar (selisih antara tekanan darah sistolik dan diastolik) atau
perubahan tanda – tanda vital merupakan gejala klinis peningkatan
tekanan intracranial (Batticaca, 2012). Perubahan sistole dan diastole ini
juga akan berpengaruh terhadap nilai Mean Artery Pressure pasien
cedera kepala.
Menjaga posisi kepala dengan tinggi sekitar 30° dapat mengurangi
tekanan vena jugularis dan penurunan TIK (Nayduch, 2014). Pendapat
ini diperkuat dengan Fan (2004) dan Orlando et al (2000) yang
menyatakan bahwa posisi head up 30º sangat efektif menurunkan ICP
dengan stabilitas CPP tetap terjaga. Menurut Vera (2015) posisi head up
atau head of bed (HBO) atau disebut juga posisi semi fowler adalah
posisi elevasi bed dimana bagian kepala dinaikkan mencapai 15-45°
pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, hal ini
dimaksudkan untuk mempermudah drainase darah dan mencegah fleksi
leher, rotasi kepala, batuk dan bersin.
Pengaturan posisi merupakan salah satu bentuk intervensi
keperawatan yang tidak asing dalam penerapan perawatan pasien.
Tindakan head up 30° merupakan bagian dari mobilisasi progresif level I
pada pasien cedera kepala yang bisa menjadi teknik nonfarmakologis
untuk menjaga kestabilan tekanan intrakranial. Head up 30° dapat
melancarkan venous drainase dari kepala, posisi kepala juga dalam
kondisi stabil, tidak memutar, mencegah fleksi leher, rotasi kepala, batuk
dan bersin. Posisi ini juga dapat menjaga keamanan pasien dalam
pemenuhan oksigenasi. Jadi untuk menjaga kestabilan pasien dan
tingkat tekanan intrakranial dalam rentang normal dilakukan pemberian
posisi 30º.

41
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data dan pembahasan dalam penelitian
pengaruh pemberian head elevasi terhadap perubahan intracranial pressure
(ICP) pada pasien yang dirawat di 12 HCU RSUD dr. Saiful Anwar Malang dapat
disimpulkan bahwa:
1. Pada hasil intervensi head elevasi 300 didapatkan penurunan nilai ICP dari
15 mmHg ke 8 mmHg setelah intervensi selama 2 jam. Sedangkan pada 45 0
ICP konstan 15 mmHg sebelum dan sesudah intervensi.
2. pada hasil intervensi head elevasi 300 didapatkan nilai CPP mengalami
peningkatan sekitar 10 mmHg dari 74 mmHg meningkat ke 84 mmHg
sedangkan pada 450 didapat peningkatan 5 mmHg dari 88-93. peningkatan
CPP lebih tinggi pada head up 300.
3. Pada intervensi head elevasi kepala 300 di dapatkan hasil tekanan darah dan
MAP yang lebih rendah diabndingkan 450 berkisar antara 120-133/74-84
mHg dengan MAP 89--99 mmHg.
5.2 Saran
5.2.1 Untuk ruang 12 HCU dan ruangan lain
1. Berdasarkan hasil dari intervensi pemberian head up 300 dan 450 pada
pasien di ruang 12 HCU berpengaruh terhadap ICP, CPP dan MAP.
Sehingga disarankan untuk diterapkan lebih lanjut pada pasien
khususnya dengan cedera kepala untuk memonitor ICP dan CPP pada
pasien neurosurgical.
2. pemberian head up 300 dan 450 pada pasien neurosurgical juga dapat
diterapkan diruangan lain untuk menjaga ICP dan CPP tetap stabil.
5.2.2 Untuk Instansi Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang
Sebaiknya pihak instansi terkait bekerja sama dengan seluruh
komponen rumah sakit mendukung ketersediaan sara dan prasarana
untuk mengukur derajat bed dengan akurat.
5.2.3 Untuk case study selanjutnya
Sebaiknya dilakukan monitoring efektivitas jangka panjang dan
dampak pemberian head up 300 pada pasien-pasien di ruangan-ruangan
yang lain khususnya pasien dengan cedera kepala.

42
DAFTAR PUSTAKA

Baehr, M. (2010). Diagnosis Topik Neurologi DUUS, jakarta : EGC.

Bahrudin & Sunardi. 2008. Posisi Kepala dalam Stabilisasi Tekanan Intrakranial.
(Online). (https://scholar.google.co.id/scholar?
q=related:4j5ZXWlaidkJ:scholar.google.com/&hl=id&as sdt=0,5, diakses
pada 26 Januari 2020)

Bajamal A.H, et al, (2007). Pedoman Tatalaksana Cedera Otak, Surabaya: Tim
Neurotrauma RSU Dr Soetomo.

Batticaca FB. (2008). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Black, J.M., & Hawk, H.J (2005). Medical surgical nursing : clinical management
for positife outcome. Vol. 2, 7th edition, Elsevier, Saunders.

Blissitt PA, Mitchell PH, Newell DW, Woods SL, Belza B. Cerebrovascular
dynamics with head-of-bed elevation in patients with mild or moderate
vasospasm after aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Am J Crit Care.
2006;15:206Y216.

Carney N, Totten AM, O’Reilly C, et al. Guidelines for the management of severe
traumatic brain injury, Fourth Edition. Neurosurg. 2017;80(1): 6Y15.

Dian, Prisilia, (2009). Pola Imaging Dan Angka Kejadia Trauma Kepala Di
Instalasi Gawat Darurat RSU Dr. Soetomo Periode Januari – desember
2008. Surabaya : RSU Dr. Soetomo

Guyton, C Arthur, (2005). Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit, Jakarta :


EGC

Jiang Y, You C, Hu X, et al. Systematic review of decreased intracranial pressure


with optimal head elevation in postcraniotomy patients: a meta-analysis. J
Adv Nurs. 2015; 71(10):2237Y2246.

JunYu – Fan, (2004), Journal of Neuroscience Nursing, Seatle : American


Association of Neuroscience Nurses

Kusuma, Arif H. & Atika Dhiah A. Pengaruh Posisi Head Up 30 Derajat Terhadap
Nyeri Kepala Pada Pada Cedera Kepala Ringan. Jurnal Ilmu Keperawatan
dan Kebidanan Vol.10 No.2 (2019) 417-422

Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: a vision for holistic health care
and research. Springer Publishing Company.

43
Kose G, Hatipoglu S. Effect of head and body positioning on cerebral blood flow
velocity in patients who underwent cranial surgery. J Clin Nurs.
2012;21(13Y14):1859Y1867.

Mahfoud F, Beck J, Raabe A. Intracranial pressure pulse amplitude during


changes in head elevation: a new parameter for determining optimum
cerebral perfusion pressure? Acta Neurochir (Wien). 2010;152:443Y450.
doi:10.1007/ s00701-009-0520-1.

Notoatmodjo, S (2008). Metodologi Penelitian Kesehatan edisi Revisi. Jakarta :


PT Rineka Cipta.

Olviani, Y. 2015. Pengaruh Pelaksanaan Mobilisasi Progresif Level 1terhadap


Nilai Monitoring Hemodinamik Invasif Pada Pasien Cerebral Injury Di
Ruang ICU RSUD Ulin Banjarmasin Tahun

Pertami SB, Sulastyawati, Anami P. (2017). Effect of 30° Head-Up Position on


Intracranial Pressure Change in Patients with Head Injury in Surgical Ward
of General Hospital of Dr. R. Soedarsono Pasuruan. Public Health of
Indonesia: 3(3):89-95. Diakses dari
http://stikbar.org/ycabpublisher/index.ph p/PHI/article/view/131/pdf

Rosjid, C. H., & Nurhidayat, S. (2014). Buku Ajar Peningkatan Tekanan


Intrakranial & Gangguan Peredarah Darah Otak. Yogyakarta: Gosyen
PublishingTarwoto, & Wartonah. (2015). Kebutuhan Dasar Manusia dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Satyanegara, (2010). Ilmu Bedah Saraf,Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama

Soemitro D.W et al, (2011). Sipnopsis Ilmu Bedah Saraf, Jakarta : CV Sagung
Seto

Sunardi, N . (2011). Pengaruh Pemberian Posisi Kepala Terhadap Tekanan Intra


Kranial Pasien Stroke Iskemik di RSCM Jakarta. Jurnal Publikasi dan
Komunikasi Karya Ilmiah Bidang Kesehatan. 0216. 7042 : 1-5 di akses
pada tanggal 6 Juni 2017

Tankisi et al, (2002). The Efects of 10 Reverse Trendelenburg Position on ICP


and CPP in Prone Positioned Patients Subjected to Craniotomy for
Occipital or Cerebellar Tumours, Springer-Verlag : Acta Neurochirugica.
Vincent Thamburaj. Intracranial Pressure.

Wahjoepramono, J Eka, (2005). Cedera Kepala, FK Universitas Pelita Harapan:


PT. Deltacitra Grafindo.

44
45

Anda mungkin juga menyukai