Anda di halaman 1dari 26

KAWASAN HUTAN

A. Pengertian Kawasan Hutan


Hutan merupakan salah satu aset yang perlu dijaga dan dilestarikan
keberadaannya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan
berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan
alam dan lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Menurut Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan, kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan
atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai
hutan tetap.
Istilah-istilah yang berkaitan dengan kawasan hutan antara lain :
1. Pengelolaan hutan adalah kegiatan yang meliputi tata hutan dan penyusunan
rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan,
rehabilitasi dan reklamasi hutan, perlindungan hutan dan konservasi alam.
2. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan,
memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan
kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan
adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya.
3. Penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk kepentingan
pembangunan di luar kehutanan tanpa mengubah status dan fungsi pokok
kawasan hutan.
4. Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah upaya untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga.
5. Reklamasi Hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan
kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi secara
optimal sesuai dengan peruntukannya.
6. Perlindungan Hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan
hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan
manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan penyakit, serta
mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan
atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.

B. Jenis-jenis Hutan
1. Jenis hutan menurut asal
a. Hutan perawan (hutan primer) merupakan hutan yang masih asli dan
belum pernah dibuka atau dijamah oleh manusia.
b. Hutan sekunder adalah hutan yang tumbuh kembali secara alami setelah
ditebang atau kerusakan yang cukup luas. Akibatnya, pepohonan di
hutan sekunder sering terlihat lebih pendek dan kecil. Namun jika
dibiarkan tanpa gangguan untuk waktu yang panjang, akan sulit
membedakan hutan sekunder dari hutan primer. Di bawah kondisi yang
sesuai, hutan sekunder akan dapat pulih menjadi hutan primer setelah
berusia ratusan tahun.
2. Berdasarkan letak geografisnya
a. Hutan Tropika, yakni hutan-hutan di daerah khatulistiwa.
b. Hutan Temperate, hutan-hutan di daerah empat musim (antara garis
lintang 23,5º - 66º).
c. Hutan Boreal, hutan-hutan di daerah lingkar kutub.
3. Berdasarkan Sifat-Sifat Musimannya
a. Hutan hujan (rainforest), dengan banyak musim hujan.
b. Hutan selalu hijau (evergreen forest).
c. Hutan musim atau hutan gugur daun (deciduous forest).
d. Hutan sabana (savannah forest), di tempat-tempat yang musim
kemaraunya panjang.
4. Berdasarkan Ketinggian Tempatnya
a. Hutan pantai (beach forest).
b. Hutan dataran rendah (lowland forest).
c. Hutan pegunungan bawah (submountain forest).
d. Hutan pegunungan atas (mountain forest).
e. Hutan kabut (mist forest).
f. Hutan elfin (alpine forest).
5. Berdasarkan Keadaan Tanahnya
a. Hutan rawa air-tawar atau hutan rawa (freshwater swamp forest).
b. Hutan rawa gambut (peat swamp forest).
c. Hutan rawa bakau, atau Hutan Bakau (mangrove forest).
d. Hutan kerangas (heath forest).
e. Hutan tanah kapur (limestone forest).
6. Berdasarkan Jenis Pohon yang Dominan
a. Hutan jati (teak forest), misalnya di Jawa Timur.
b. Hutan pinus (pine forest), di Aceh.
c. Hutan dipterokarpa (dipterocarp forest), di Sumatra dan Kalimantan.
d. Hutan ekaliptus (eucalyptus forest) di Nusa Tenggara.
7. Berdasarkan Sifat-Sifat Pembuatannya
a. Hutan alam (natural forest).
b. Hutan buatan (man made forest), misalnya :
- Hutan rakyat (community forest).
- Hutan kota (urban forest).
- Hutan tanaman industri (timber estates atau timber plantation).
8. Berdasarkan Tujuan Pengelolaan Hutan
a. Hutan produksi, yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun hasil
hutan bukan kayu (non-timber forest product).
b. Hutan Lindung, dikelola untuk melindungi tanah dan tata air.
c. Taman Nasional merupakan tanah yang dilindungi, biasanya oleh
pemerintah pusat, dari perkembangan manusia dan polusi. Taman
nasional merupakan kawasan yang dilindungi (protected area).
d. Hutan suaka alam, dikelola untuk melindungi kekayaan keanekaragaman
hayati atau keindahan alam.
e. Cagar alam adalah suatu kawasan suaka alam karena keadaan alamnya
mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau
ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
f. Suaka alam adalah perlindungan suatu kawasan berupa kekayaan alam
dan isinya, meliputi pemeliharaan, penelitian, pendidikan, wisata,
rehabilitasi kawasan, dan pengamanan segala aset yang berada dalam
kawasan perlindungan.
g. Hutan konversi yakni hutan yang dicadangkan untuk penggunaan lain,
dapat dikonversi untuk pengelolaan non-kehutanan.

C. Manfaat dan Fungsi Kawasan Hutan


1. Manfaat Kawasan Hutan
Hutan memiliki banyak manfaat untuk manusia. Hutan merupakan paru-paru
dunia (planet bumi) sehingga perlu dijaga karena jika tidak maka hanya akan
membawa dampak yang buruk bagi manusia di masa kini dan masa yang
akan datang.
a. Manfaat/Fungsi Ekonomi
- Hasil hutan dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang
yang bernilai tinggi, sebagai contoh, rotan, karet, getah perca yang
dimanfaatkan untuk industri kerajinan dan bahan bangunan.
- Membuka lapangan pekerjaan bagi pembalak hutan legal.
- Menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke
luar negeri.
b. Manfaat/Fungsi Klimatologis
- Hutan dapat mengatur iklim.
- Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia yang menghasilkan oksigen
bagi kehidupan.
- Mengurangi polusi untuk pencemaran udara. Tumbuhan mampu
menyerap karbon dioksida dan menghasilkan oksigen yang
dibutuhkan oleh makhluk hidup.
c. Manfaat/Fungsi Hidrolis
- Dapat menampung air hujan di dalam tanah. Fungsi hutan lainnya
yang begitu bermanfaat bagi kehidupan manusia adalah hutan sebagai
tempat penyimpanan air dalam volume yang begitu besar. Air hujan
yang jatuh ke bumi akan disimpan dalam akar-akar pohon yang ada di
hutan. Manfaat ini sangat terasa ketika dimusim penghujan, hutan bisa
dijadikan sebagai pengendali banjir. Ini juga begitu bermanfaat ketika
musim kemarau ketika banyak lahan-lahan yang kering bisa dialirkan
air.
- Menyimpan, mengatur, dan menjaga persediaan dan keseimbangan air
di musim hujan dan musim kemarau.
- Mencegah intrusi air laut yang asin.
- Menjadi pengatur tata air tanah.
d. Manfaat/Fungsi Ekologis
- Mencegah erosi dan banjir. Akar-akar pohon berfungsi sebagai
pengikat butiran-butiran tanah. Dengan ada hutan, air hujan tidak
langsung jatuh ke permukaan tanah tetapi jatuh ke permukaan daun
atau terserap masuk ke dalam tanah.
- Menjaga dan mempertahankan kesuburan tanah karena daun-daun
yang gugur akan terurai menjadi tanah humus.
- Sebagai wilayah untuk melestarikan kenaekaragaman hayati. Fungsi
hutan tidak hanya diperuntukkan bagi manusia semata, flora dan fauna
pun sepantasnya mendapatkan manfaat hutan sebagai habitat atau
rumah bagi mereka semua. Oleh sebab itu kita seharusnya untuk tidak
merusak habitat mereka. Ini merupakan tugas kita semua untuk
menjaga dan mengawasi hutan kita dari kerusakan yang
berkepanjangan. Hutan merupakan paru-paru bumi, habitat satwa
hidup, pohon-pohon, hasil tambang dan berbagai sumber daya
lainnya. Hutan merupakan sumberdaya alam yang memberikan
manfaat besar bagi kesejahteraan manusia, baik manfaat tangible yang
dirasakan secara langsung, seperti penyediaan kayu, satwa, dan hasil
tambang maupun manfaat intangible yang dirasakan secara tidak
langsung seperti manfaat rekreasi, perlindungan dan pengaturan tata
air, pencegahan erosi.
2. Fungsi Kawasan Hutan
Menurut Undang- undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,
berdasarkan fungsi pokoknya hutan dibagi menjadi hutan produksi, hutan
lindung dan hutan konservasi.
a. Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi
pokok memproduksi hasil hutan. Hutan produksi diperuntukkan bagi
produksi kayu, rotan, getah, dan hasil hutan lainnya. Hutan produksi ini
terdiri dari hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas dan meliputi
30 % dari luas kawasan hutan di Papua (kurang lebih 12.673.200juta
hektar). Hutan produksi juga merpakan kawasan hutan yang secara
hukum dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pembangunan nasional
untuk kesejahteraan dan juga diatur pada Pasal 32 PP Nomor 6 Tahun
2007.
b. Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok
sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata
air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan
memelihara kesuburan tanah. Hutan lindung memiliki sifat fisik khas
yang harus dijaga keberadaannya sehingga fungsinya terutama sebagai
pengatur tata air, dapat dipelihara dan dipertahankan. Luas hutan lindung
adalah 10.619.090 hektar atau 25 % dari luas seluruh kawasan hutan
yang ada dimana dalam Pasal 25 PP Nomor 6 Tahun 2007 pemanfaatan
hutan lindung melalui pemanfaatan air, perlindungan keanegaragaman
hayati dan penyelamatan perlindungan lingkungan, penyerapan dan
penyimpanan karbon. Hutan suaka alam dan hutan wisata, meliputi
kawasan seluas kurang lebih 8.025.820 hektar atau 19% kawasan hutan
di Indonesia. Kawasan hutan ini diperuntukan bagi perlindungan dan
pelestarian sumber plasma nutfah dan sistem penyangga kehidupan,
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pariwisata.
c. Hutan konservasi merupakan kawasan hutan dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.
Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa
hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat,
pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yaitu
kawasan hutan konservasi kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona
inti dalam taman nasional, hutan lindung dan hutan produksi. Pemanfaatan
hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu melalui pemberian Izin
Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK), Izin Usaha Pemanfaatan Jasa
Lingkungan (IUPJL), dan Izin Pemungutan Hasil Hutan Bukan Kayu
(IPHHBK), sedangkan dalam blok perlindungan pada hutan lindung,
dilarang melakukan kegiatan pemanfaatan hutan.
Pemanfaatan kawasan adalah kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh
sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat
ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Usaha
pemanfaatan kawasan hutan lindung dapat dilakukan melalui kegiatan
budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya
lebah, penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa atau budidaya hijauan
makanan ternak. Kegiatan usaha ini dapat dilakukan dengan ketentuan yaitu
tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya,
pengolahan tanah terbatas, tidak menimbulkan dampak negatif terhadap
biofisik dan sosial ekonomi, tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat
berat serta tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang
alam.
Pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi
jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi
utamanya. Usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat dilakukan melalui
kegiatan pemanfaatan aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan serta
penyerapan atau penyimpan karbon. Kegiatan usaha ini dapat dilakukan
dengan ketentuan yaitu tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan
fungsi utamanya, tidak mengubah bentang alam dan tidak merusak
keseimbangan unsur lingkungan.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu adalah kegiatan untuk mengambil hasil
hutan bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan volume tertentu.
Pemungutan hasil hutan bukan kayu pada lindung berupa rotan, madu, getah,
buah, jamur atau sarang burung walet. Pemungutan ini dilakukan dengan
ketentuan yaitu hasil hutan bukan kayu yang merupakan hasil reboisasi atau
tersedia secara alami, tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi,
mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya. Pemungutan hasil hutan
bukan kayu pada hutan lindung hanya boleh dilakukan oleh masyarakat di
sekitar hutan. Fungsi hutan dalam pembangunan yang tertuang dalam
kebijakan umum pembangunan kehutanan dalam PELITA VI dituangkan di
dalam GBHN 1993 sebagai berikut :
a. pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian
dan fungsi hutan, dan dengan mengutamakan pelestarian sumberdaya
alam dan fungsi lingkungan hidup, memelihara tata air, serta untuk
memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja, meningkatkan
sumber dan pendapatan negara, devisa serta mengacu pembangunan
daerah.
b. pengembangan produksi hasil kayu dan non kayu diselenggarakan
melalui upaya peningkatan pengusahaan hutan produksi, hutan rakyat,
hutan tanaman industri dan upaya peningkatan produktivitas hutan alam
yang didukung oleh penyediaan bibit hutan tanaman hutan yang unggul
dan budidaya kehutanan yang tangguh.
c. hutan sebagai salah satu penentu ekosistem, pengelolaannya ditingkatkan
secara terpadu dan berwawasan lingkungan untuk menjaga dan
memelihara fungsi tanah, air, udara, iklim dan lingkungan hidup serta
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
d. upaya rehabilitasi hutan dan tanah kritis, konservasi tanah, rehabilitasi
sungai, rawa, pelestarian gua-gua alam, karang laut, flora dan fauna
langka serta pengembangan fungsi DAS ditingkatkan dan makin
disempurnakan.

D. Penilaian Kawasan Hutan


1. Direct Use Value (DUV)
Contoh :
a. Pemanfaatan hasil hutan berupa kayu pada hutan produksi.

b. Pemanfaatan hasil hutan non kayu pada hutan produksi dan hutan
lindung.
c. Menjadi tempat wisata seperti pada Hutan Lindung Wanagama,
Kecamatan Patuk dan Playen, Gunungkidul, Yogyakarta. Pengelola
Hutan Wanagama menyediakan fasilitas pendukung bagi wisatawan yang
berkunjung, diantaranya terdapat camping ground, sarana out bond, trek
hiking.
2. Indirect Use Value (IUV)
Contohnya penangkaran satwa liar, rehabilitasi satwa dan perlindungan
keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan,
penyerapan dan/atau penyimpanan karbon.
3. Option Value (OV)
Contoh :
a. budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur,
budidaya lebah, pada hutan lindung;
b. ketersediaan air yang dapat digunakan sebagai sumber energi listrik
desa.
4. Bequest Value (BV)
Contoh : Kawasan hutan desa pada Kawasan Hutan Lindung Bukit Panjang
Rantau Bayur sangat dijaga dan dilindungi oleh masyarakat karena kawasan
ini merupakan bagian hulu yang mempunyai fungsi Sub DAS ini sendiri
merupakan penyangga kehidupan masyarakat dan dapat diwariskan ke pada
anak cucu.

E. Potensi Kawasan Hutan


1. Potensi hasil hutan kayu
Jenis-jenis hasil hutan kayu yang dimanfaatkan dikelompokkan menjadi :
a. Kelompok Meranti terdiri dari Matoa (Pometia spp.), Merbau
(Instiaspp.), Mersawa (Anisoptera spp.), Kenari (Canarium spp.), Nyatoh
(Palaquium spp.), Resak (Vatica spp.), Pulai (Alstonia spp.), Damar
(Agathis spp.), Araucaria (Araucaria spp.), Kapur (Dryobalanops spp.),
Batu (Shorea spp.), Mangga hutan (Mangifera spp.), Celthis
(Celthisspp.), dan Kayu Cina (Podocarpus spp.)
b. Kelompok Kayu Campuran terdiri dari Ketapang, Binuang, Bintangur,
Terentang, Bipa, Kayu Bugis, Cempaka, Pala hutan.
c. Kelompok Kayu Indah terdiri darijenis; Dahu (Dracontomelon
spp.),Linggua (Pterocarpus spp.), dan Kuku. Potensi kayu ini sudah
dimanfaatkan, diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
dan industri pengolahan kayu.
2. Potensi Hasil Hutan Non Kayu, antara lain :
a. Potensi Rotan
b. Potensi Hutan Sagu
Potensi sagu belum dimanfaatkan secara optimal sehingga masih
dimungkinkan diusahakan dalam skala industri. Kegiatan industri untuk
pemanfaatan sagu akan diusahakan oleh pihak swasta untuk pembuatan
bahan bakar (bioenergy).
c. Potensi Nipah
Luas hutan yang ditumbuhi nipah diperkirakan seluas 1.150.000 ha.
Potensi nipah belum dapat diketahui tahap pemanfaatan masyarakat
lokal berupa pemanfaatan daun dan buah untuk pembuatan minuman
lokal yang beralkohol.

F. Permasalahan pada Kawasan Hutan dan Potensi Kerugiannya


Keberadaan hutan, dalam hal ini daya dukung hutan terhadap segala aspek
kehidupan manusia, satwa dan tumbuhan sangat ditentukan pada tinggi
rendahnya kesadaran manusia akan arti penting hutan di dalam pemanfaatan dan
pengelolaan hutan. Hutan menjadi media hubungan timbal balik antara manusia
dan makhluk hidup lainnya dengan faktor- faktor alam yang terdiri dari proses
ekologi dan merupakan suatu kesatuan siklus yang dapat mendukung kehidupan.
Indonesia dengan hutan dan ekosistem lainnya, merupakan negara dengan
kekayaan dan keanekaragaman hayati pada urutan kedua setelah Brazil,
sehingga menempatkan negara tersebut sebagai negara megabiodiversitas dan
megacenter keanekaragaman hayati dunia. Sebanyak 10% hutan hujan dunia
terletak di wilayah Indonesia, bahkan 50 tahun lalu 82% wilayah Indonesia
tertutup oleh hutan. Namun demikian, keanekaragaman hayati yang terkandung
di dalamnya semakin hari semakin terancam keberadaannya, akibat deforestasi
dan perburuan liar. Perusakan hutan tanpa belas kasihan demi memperoleh
keuntungan dari kertas dan bubur kertas, kelapa sawit, serta pertambangan
menyebabkan tutupan hutan di Indonesia hanya tinggal 48% dalam dekade
terakhir. Terlebih, hutan Indonesia memiliki tingkat deforestasi yang paling
cepat dibandingkan negara lain di seluruh dunia. Belum lagi, gelar sebagai
negara dengan megabiodiversitas nampaknya harus membuat Indonesia malu
atas daftar panjang terkait satwa liar yang terancam punah. Sebanyak 184 jenis
mamalia, 119 jenis burung, 32 jenis reptil, dan 32 jenis amphibi tercatat sebagai
satwa terancam punah oleh IUCN (2011).
Perubahan iklim yang melanda dunia bukan saja diakibatkan oleh
pembakaran bahan bakar fosil. Greenpeace dalam laporannya, Hutan Tropis
Indonesia dan Krisis Iklim menyatakan bahwa kerusakan hutan tropis
bertanggung jawab atas seperlima emisi gas rumah kaca di bumi, jumlah yang
lebih banyak dari akumulasi emisi dari pesawat, mobil, dan kereta di seluruh
dunia. Secara ringkas, dijelaskan bahwa perusakan dan degradasi hutan
berpengaruh besar terhadap perubahan iklim dalam dua hal, yaitu (1)
perambahan dan pembakaran hutan melepaskan CO2 ke atmosfir serta (2)
rusaknya hutan akan mengurangi area hutan yang menyerap CO2. Melindungi
hutan berarti menghentikan perubahan iklim. Jika kita menghancurkan hutan
tropis yang tersisa, maka kita telah kalah dalam pertarungan menghadapi
perubahan iklim.
Perusakan hutan merupakan tindakan non-kooperatif terhadap pelestarian
hutan tropis yang secara nyata menghilangkan biomassa terbesar yang dimiliki
bumi. Hutan tropis di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan pulau lain di Indonesia
merupakan 'paru-paru' dunia, yang apabila dibiarkan semakin rusak, kita juga
yang menanggung risikonya. Selain itu, rusaknya hutan tropis memiliki imbas
buruk terhadap keberadaan satwa di dalamnya. Satwa akan kehilangan
habitatnya di alam, kehilangan ekosistem penyokong hidupnya, dan
memungkinkan terjadinya konflik satwa dengan masyarakat di daerah
penyangga. Hutan tropis di Semenanjung Kampar (Riau) misalnya, sebagai
habitat beberapa jenis satwa dilindungi, termasuk harimau Sumatera. Sekitar
400-500 ekor harimau Sumatera di dunia yang hidup di alam Riau, jumlahnya
mengalami penurunan seiring dengan kehancuran habitat alaminya. Peningkatan
kegiatan perusakan hutan oleh perusahaan kertas sejak tahun 2001, membuat
harimau tergeser dan mencari makanan di daerah dekat pemukiman. Hal ini
memicu angka kematian manusia akibat serangan harimau meningkat dari rata-
rata 2 menjadi 14 jiwa pertahunnya. Harimau Sumatera yang masuk dalam
IUCN Redlist sebagai spesies terancam punah, merupakan spesies indikator
sebagai tanda vital akan kondisi kesehatan hutan. Oleh sebab itu, ketika harimau
tidak lagi dapat hidup di dalamnya, maka keberlangsungan hidupan hutan dan
spesies lain di dalamnya juga turut terancam. Ditinjau dari segi kesehatan
global, perburuan satwa dan perdagangan produk satwa secara ilegal, memiliki
peluang risiko penyebaran penyakit zoonotik. Tindakan illegal trading and
trafficking menjadi 'jalur cepat' penyebaran penyakit antarwilayah/negara.
Hidup di lingkungan urban terkadang membuat kita melupakan hubungan
manusia dengan alam. Hutan tropis sebagai surga bagi berbagai spesies, harus
kita lindungi dan lestarikan. Kita sebagai masyarakat yang baik, hendaknya
meningkatkan kesadaran kita terhadap kelestarian hutan dan satwa di dalamnya.
Hal tersebut bisa dilakukan dengan cara mengurangi penggunaan produk-produk
berbahan dasar hasil hutan secara berlebihan serta berhenti memperjualbelikan
satwa liar maupun produknya. Hutan Indonesia memiliki kekayaan yang tidak
ternilai, yang harus kita lestarikan.
Sekitar 70% daratan di Indonesia berupa kawasan hutan Negara.
Pengelolaan hutan tersebut berada pada pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah. Pengelolaan hutan memberikan tambahan PAD (Pendapatan Asli
Daerah), membuka lapangan kerja bagi masyarakat dan menggiatkan sektor
ekonomi. Namun pemanfaatan hutan yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan hutan. Dampak kerusakan hutan bagi perekonomian hanyalah bagian
kecil dari total dampak yang sebenarnya. Dampak ekonomi tidak mencerminkan
seluruh dampak yang terjadi. Fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan
justru memberi peran lebih besar.
Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan
deforestasi dan degradasi hutan, antara lain:
1. Akibat Alam
a. Letusan gunung berapi.
b. Naiknya air permukaan laut dan tsunami.
c. Serangan hama dan penyakit.
2. Akibat Ulah Manusia
a. Kebakaran hutan.
b. Illegal logging (Penebangan liar).
c. Perladangan berpindah.
d. Perkebunan monokultur.
e. Perkebunan kelapa sawit.
f. Konversi lahan gambut menjadi sawah.
g. Pertambangan.
h. Transmigrasi.
i. Penggembalaan Ternak dalam hutan
j. Pemukiman penduduk.
k. Pembangunan perkantoran.
Di era otonomi daerah, areal perkantoran tidak hanya terdapat pada
daerah perkotaan yang ramai. Komplek perkantoran juga dibangun pada
lahan-lahan hutan, terutama kabupaten yang baru. Pemerintah daerah di
kabupaten baru membuka lahan hutan untuk membuat kawasan
pemukiman, kawasan industri, kawasan perdagangan dan juga untuk
areal perkantoran. Untuk menunjang kebutuhan tersebut pemerintah
daerah mengajukan izin alih fungsi lahan ke kementerian kehutanan.
3. Akibat Kebijakan
Akar masalah yang dihadapi dalam mewujudkan kinerja pengurusan hutan
yang baik terfokus pada masalah prakondisi, antara lain konflik kebijakan
penataan ruang, lemahnya penegakan hukum, rendahnya kapasitas
pengurusan hutan, serta ketiadaan institusi pengelola untuk kawasan hutan
produksi dan hutan lindung.
a. Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat.
Kerusakan hutan juga dapat terjadi karena kebijakan yang dibuat lebih
memperhatikan segi ekonomis dibandingkan dengan segi ekologis.
Kebijakan pengelolaan hutan yang kurang tepat dari pemerintah sebagai
suatu “pengrusakan hutan yang terstruktur” karena kerusakan tersebut
didukung oleh regulasi dan ketentuan yang berlaku. Salah satu bentuk
kebijakan yang kurang tepat adalah target pemerintah yang
mengandalkan sumberdaya hutan sebagai sumber pendapatan baik
ditingkat nasional maupun daerah.
b. Deforestasi yang direncanakan
Deforestasi yang direncanakan adalah konversi yang terjadi di kawasan
hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang dilepaskan menjadi
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK atau APL). Konversi yang
direncanakan dapat juga terjadi di kawasan hutan produksi untuk
pertambangan terbuka, sedangkan deforestasi yang tidak direncanakan
terjadi akibat konversi hutan yang terjadi di semua kawasan hutan akibat
berbagai kegiatan yang tidak terencana, terutama kegiatan ilegal.
Berdasarkan analisis data satelit, selama periode 2000-2005, hutan yang
dikonversi baik yang direncanakan maupun tidak direncanakan mencapai
1.089.560 Ha per tahun (Badan Planologi Kehutanan, 2008). Sampai
tahun 2007, total luas deforestasi yang direncanakan mencapai 4.609.551
Ha. Deforestasi yang direncanakan ini mulai marak terjadi setelah tahun
1990, sehingga laju deforestasi yang direncanakan rata-rata mencapai
230.477 ha per tahun (21% dari total deforestasi). Dengan demikian laju
deforestasi yang tidak direncanakan sekitar 859.083 Ha per tahun.
Sampai akhir Desember 2010 sudah ada sekitar 520 permohonan yang
diajukan ke Kementerian Kehutanan untuk pelepasan kawasan. Luas
kawasan hutan yang diajukan untuk dilepas rata-rata mencapai 200.000
Ha per pemohon. Apabila tidak ada kebijakan baru terkait pembatasan
pemekaran wilayah dan pembatasan pemanfaatan ruang, diperkirakan
semua HPK yang luasnya sekitar 22,7 Ha akan habis dalam waktu tidak
lebih dari 10 tahun ke depan. Berdasarkan hasil kajian IFCA (Kemenhut,
2008), deforestasi yang tidak direncanakan sebagian besar terjadi di
kawasan hutan produksi, kemudian diikuti di kawasan hutan konservasi
dan hutan lindung. Laju deforestasi yang tidak direncanakan ini
diperkirakan akan meningkat ke depan, khususnya pada kawasan hutan
yang aksesnya lebih terbuka, hutan produksi yang tidak ada pemegang
izin pengelolaannya dan hutan lindung. Pada sebagian hutan konservasi,
keberadaan Balai Taman Nasional diharapkan dapat meminimumkan
deforestasi yang tidak direncanakan ini. Sampai dengan akhir 2009,
hampir separuh kawasan hutan di Indonesia (46,5% atau 55,93 juta
hektare) tidak dikelola dengan intensif (DKN, 2009);
c. Kurangnya Kebijakan Inovatif
Sejak tahun 1950-an, pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai
program rehabilitasi. Sebagian besar program berasal dan dikelola oleh
pemerintah. Anggaran program berasal dari Pemerintah dan donor
internasional dan alokasinya terfokus pada aspek-aspek teknis. Aspek-
aspek non teknis seperti kelembagaan, pemberdayaan, dan sebagainya
belum efektif dikembangkan. Karena itu wajar apabila program
rehabilitasi kurang mendapat dukungan dari masyarakat setempat, baik
yang tinggal di dalam maupun di sekitar wilayah sasaran. Pendekatan
kreatif dan inovatif yang dapat memberikan manfaat hubungan social-
ekonomi jangka panjang antara perusahaan, pemerintah dan masyarakat
local belum diterapkan pada program rehabilitasi. Misalnya kebijakan
pemerintah terhadap pengusaha HPH lebih pada pengendalian jumlah
produksi hasil hutan sedangkan hutan alam sebagai stock tidak menjadi
perhatian utama. Hutan alam sebagai stock berupa tegakan muda,
tegakan yang siap ditebang atau menunggu ditebang, tidak menjadi
perhatian untuk dijaga dan dipelihara karena tidak menjadi kriteria dalam
penilaian kinerja pemegang ijin. Kebijakan tersebut menyebabkan
perusahaan enggan melindungi hutan alam dalam kawasan yang
dikelola, dan di sisi lain pengendalian jumlah produksi dengan banyak
peraturan menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Perlu inovasi dalam
kebijakan agar pengusaha mau melakukan recovery terhadap hutan
d. Konflik kepemilikan lahan
Konflik atas kepemilikan lahan terjadi karena adanya tumpang tindih
kepemilikan lahan. Konflik tersebut disebabkan oleh ketidakjelasan
kerangka hukum yang mendasarinya, terutama implikasi yang saling
bertentangan antara UU 41/1999 tentang Kehutanan dan UU No.
26/2007 tentang Penataan Ruang. Kemudian, peraturan-peraturan
sektoral yang berbeda, misalnya tentang kehutanan, hutan tanaman dan
pertambangan, kurang sinergis. Selain itu, peraturan dan tata cara
pelaksanaan di berbagai tingkat pemerintahan yang berbeda belum
sinergis atau belum sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
e. Pengelolaan hutan yang kurang efektif
Praktek pengelolaan hutan yang kurang efektif terjadi karena lemahnya
kapasitas kelembagaan di tingkat daerah. Sebagai contoh, Unit Pelaksana
Teknis (UPT) pemerintah yang bertugas untuk mengawasi kawasan
konservasi kekurangan dana dan sumber daya manusia. Lemahnya
kapasitas kelembagaan dapat berakibat lemahnya kemampuan dalam
meninventarisir potensi dan kondisi riil sumber daya hutan di tingkat
tapak. Pemerintah daerah yang bertugas untuk mengelola Hutan Lindung
tidak melaksanakan peranannya dengan baik. Selain itu, struktur
desentralisasi dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di tingkat
kabupaten dan provinsi masih belum selesai disusun dan dikembangkan.
Sementara itu, tanggung jawab pengelolaan Hutan Produksi sebagian
besar berada di tangan pemegang konsesi yang bekerja dengan
pengawasan yang minim dari pemerintah.
f. Rehabilitasi dilakukan hanya sebatas proyek
Rehabilitas berjalan selama masa periode tertentu saja atau hanya sebatas
masa proyek. Selama lebih dari 30 tahun, kegiatan rehabilitasi
dilaksanakan pada lebih dari 400 lokasi di Indonesia. Namun, pada tahun
2002 total luas areal hutan dan lahan yang terdegradasi telah mencapai
96,3 juta ha (54,6 juta ha di dalam kawasan hutan dan 41,7 juta ha di luar
kawasan hutan). Faktor keberhasilan proyek rehabilitasi antara lain
adanya keterlibatan masyarakat setempat secara aktif, dan dilakukannya
intervensi teknis untuk mengatasi penyebab degradasi hutan. Sampai saat
ini factor keberhasilan dari berbagai proyek rehabilitasi belum tercapai
dan sulit untuk bisa dipertahankan dalam jangka panjang, terutama
setelah proyek selesai. Orientasi keproyekan masih sangat kuat, sehingga
mengakibatkan: a) pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang
telah ditanam; b) kurangnya keberlangsungan pendanaan setelah proyek
selesai karena tidak adanya mekanisme reinvestasi, kurangnya analisis
kelayakan ekonomi yang memadai atau tidak adanya kepastian integrasi
dengan pasar yang jelas; c) insentif ekonomi yang tidak jelas,
mengurangi minat masyarakat untuk ikut berpartisipasi secara aktif; d)
partisipasi masyarakat yang terbatas karena masalah tenurial yang tidak
terselesaikan dan organisasi masyarakat yang tidak efektif; e)
pembangunan kapasitas bagi masyarakat yang tidak efektif; f )
pertimbangan yang tidak memadai terhadap aspek sosial-budaya; dan
pada tingkat yang lebih luas, tidak adanya pembagian hak dan tanggung
jawab yang jelas antara pemangku kepentingan terkait, terutama
pemerintah daerah, masyarakat dan dinas kehutanan.
4. Lemahnya Penegakan Hukum
Lemahnya penegakan hukum di bidang kehutanan dapat diamati dari hanya
sedikit pelanggaran hukum di bidang kehutanan yang berhasil dituntut dan
para pengusaha sebagai pelaku utama justru dapat menghindari hukuman.
Penegakan peraturan perundangan yang tidak efektif dapat disebabkan
antara lain oleh hal-hal berikut :
a. Substansi peraturan tidak dapat rnengendalikan biaya transaksi tinggi di
luar biaya resmi yang telah ditetapkan;
b. Instansi pemerintah belum menerapkan peraturan itu sehingga kontrol
yang seharusnya dilakukan tidak berjalan;
c. Masyarakat (terrnasuk dunia usaha) belum memahami isi peraturan atau
bahkan tidak mengetahuinya sarna sekali;
d. Sanksi yang mungkin ada dari implementasi suatu peraturan tidak
berjalan, sehingga masyarakat tidak melihat adanya resiko apabila
mereka rnelanggar peraturan;
e. Biaya yang ditanggung ketika melakukan pelanggaran peraturan lebih
murah daripada bila peraturan dipatuhi.
Banyak penyuluhan telah dilakukan untuk menyadarkan masyarakat
akan arti pentingnya manfaat hutan. Berbagai media dipergunakan untuk
membuat iklan-iklan tentang penyelamatan hutan, kampanye lingkungan
dilakukan dimana-mana, ditambah lagi artikel, makalah, paper maupun hasil
penelitian oleh para ahli yang mengulas mengenai dampak dan akibat
kerusakan hutan, namun semua itu belum juga sepenuhnya dapat
menyadarkan masyarakat.
Akibat dan dampak dari kerusakan hutan dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1. Terganggunya sistem hidro-orologis
Banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau merupakan
salah satu contoh dari tidak berfungsinya hutan untuk menjaga tata air. Air
hujan yang jatuh tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah, laju aliran
permukaan atau runoff begitu besar. Air Hujan yang jatuh langsung mengalir
ke laut membawa berbagai sedimen dan partikel hasil dari erosi permukaan.
Terjadinya banjir bandang dimana-mana yang menimbulkan kerugian harta
maupun nyawa. Masyarakat yang terkena dampaknya kehilangan harta
benda dan rumah tempat mereka berteduh akibat terbawa banjir bandang,
bahkan ditambah kerugian jiwa yang tak ternilai harganya.
2. Kemiskinan dan Kerugian secara ekonomis
Masyarakat Indonesia akan bertambah miskin jika kita tidak mempunyai
hutan, itulah yang dikatakan Presiden Bambang Yudhoyono. Departemen
Kehutanan mengemukakan bahwa kerugian negara per hari mencapai Rp. 83
milyar, itu hanya dari kerusakan hutan akibat penebangan liar.
3. Hilangnya Biodiversitas
Hutan Indonesia memiliki beranekaragam spesies flora dan fauna,
penebangan dan pengrusakan hutan menyebabkan spesies-spesies langka
akan punah. Bahkan spesies yang belum diketahui nama dan manfaatnya
hilang dari permukaan bumi. Hutan Indonesia yang termasuk hutan hujan
tropis memiliki 3000 jenis tumbuhan di dalam satu hektar ditambah lagi
jenis satwa yang ada di dalamnya. Jika laju deforestasi yang mencapai 1-2
juta hektar per tahun tidak dapat dicegah maka hutan-hutan tropis ini akan
hilang.
4. Perubahan Iklim dan Pemanasan Global
Hutan sebagai paru-paru dunia penghasil oksigen bagi semua mahluk di
bumi tidak bisa menjalankan fungsinya mendaur ulang karbondioksida.
Karbondioksida di udara semakin tinggi menyebabkan efek gas rumah kaca.
5. Kerusakan Ekosistem Darat maupun Laut
Pengertian dan definisi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis
pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain
tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu komponen hutan di rusak, akan
berpengaruh terhadap komponen ekosistem yang lain. Hubungan keterkaitan
antara struktur dan fungsi di dalam ekosistem berjalan dalam keseimbangan
yang harmonis, tetapi bila struktur hutan menjadi rusak, akibat dan
dampaknya akan mempengaruhi fungsi hutan itu sendiri. Kerusakan tidak
hanya terjadi pada ekosistem hutan di darat, namun berdampak pada
kerusakan ekosistem di laut juga. Akibat kerusakan hutan terjadi erosi dan
banjir membawa sedimen ke laut yang merusakan ekosistem laut. Ikan dan
Terumbu karang sebagai mahluk hidup diperairan mendapat akibat dari
aktivitas pengrusakan di darat. Kerusakan seperti ini sangat dirasakan oleh
pulau-pulau kecil di Indonesia, dengan ciri daerah das yang pendek dan
topografi yang curam sangat cepat pengaruhnya terhadap lingkungan laut.
6. Abrasi Pantai
Bila pohon-pohon di pesisir pantai ditebang maka tidak ada lagi
perlindungan bagi kawasan pantai. Salah satu fungsi hutan mangrove
maupun hutan pantai adalah menjaga daerah pantai dari hempasan ombak
laut. Ombak laut yang menerjang pesisir pantai, dapat menyebabkan abrasi
pantai.
7. Intrusi dari Laut
Air laut dapat meresap sampai ke darat jika hutan-hutan pesisir seperti hutan
mangrove dan hutan pantai dirusakan. Ditambah “penambangan” air sebagai
kebutuhan hidup rumah tangga yang menyedot terus persediaan air tanah
tanpa adanya keseimbangan infiltrasi dari air hujan yang jatuh.
8. Hilangnya budaya masyarakat
Dirasakan sangat nyata bahwa hutan menjadi sumber penghidupan dan
inspirasi dari kehidupan masyarakat. Berbagai ragam budaya yang terkait
dengan hutan seperti simbol-simbol dan maskot yang diambil dari hutan,
misalnya Harimau sebagai maskot dari Reog, pencak silat sebagai seni bela
diri Indonesia, Bekantan sebagai maskot dari Kalimantan, dan sebagainya.
Jika semua ini punah maka hilanglah sumber inspirasi dan kebanggaan dari
masyarakat setempat.

Anda mungkin juga menyukai