Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat
rahmatdan karuniaNya makalah yang berjudul “Makalah Hutan Produksi” dapat di selesaikan
dengan waktu yang tepat. Makalah ini dibuat untuk melengkapi nilai tugas pada teori Konservasi
Sumberdaya Hutan.
Dalam penyusunan makalah ini tidak pernah luput dari kesalahan. Dari makalah ini kami
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca.

Pekanbaru, November 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dianugrahi hutan yang sangat luas dan beragam jenisnya.
Hutan itu sendiri merupakan suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber
daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu
dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU No. 41 Tahun 1999).

Pada dasarnya hutan memiliki tiga fungsi pokok yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi, dan
fungsi produksi. Hutan yang memiliki fungsi produksi disebut sebagai hutan produksi. Hutan
produksi di Indonesia sebagian besar berupa hutan alam atau hutan rimba yang dieksploitasi
dalam rangka Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Selain itu, hutan produksi dapat berupa hutan
buatan atau hutan tanaman misalnya hutan jati dan hutan mahoni di Pulau Jawa serta hutan pinus
di Sumatera Utara.

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang memiliki fungsi pokok menghasilkan hasil hutan
baik itu hasil hutan kayu maupun hasil hutan non kayu. Selain itu, pemanfaatan hutan produksi
lainnya berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan
baik kayu maupun non kayu.

Hutan Produksi memiliki banyak kegunaan dan manfaat. Salah satunya adalah menghasilkan
hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat maupun kebutuhan bahan baku industri.
Hutan yang memiliki fungsi untuk produksi ini memiliki areal yang relatif luas dan pada
umumnya dikelola oleh perusahaan swasta yang sudah besar atau pemerintah daerah setempat.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa itu hutan produksi?
2. Bagaimana keanekaragaman hayati hutan produksi?
3. Bagaimana kelembagaan BKSDA pada hutan produksi?
4. Apa permasalahan yang terjadi pada hutan produksi?
5. Strategi apa yang dilakukan pada hutan produksi?
6. Bagaimana kearifan tradisional pada hutan produksi?
1.3. Tujuan
1. Mengetahui pengertian hutan produksi
2. Mengetahui keanekaragaman hayati pada hutan produksi
3. Mengetahui kelembagaan BKSDA pada hutan produksi
4. Mengetahui permasalahan yang terjadi pada hutan produksi
5. Mengetahui strategi apa yang di lakukan
6. Mengetahui kearifan lokal
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Hutan Produksi

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk memproduksi hasil
hutan. Negara bisa memberikan hutan negara berupa konsesi kepada pihak swasta untuk
dimanfaatkan dan dikelola hasil hutannya. Terkecuali di Pulau Jawa, pengelolaan hutan produksi
yang berada di areal hutan negara dikelola oleh Perum Perhutani, perusahaan milik negara. Hasil
hutan yang dimaksud bisa berupa kayu atau non kayu.

Indonesia memiliki 129 juta hektar kawasan hutan, lebih dari setengahnya atau sekitar 72
juta hektar berupa hutan produksi.2 Sisanya masuk ke dalam hutan konservasi dan hutan
lindung. Hutan produksi merupakan kawasan hutan paling luas. Berdasarkan peraturan, hutan
produksi dibagi ke dalam 3 tipe.

Tipe-tipe hutan produksi :

a. Hutan Produksi Tetap (HP)

HP adalah hutan yang bisa dieksploitasi hasil hutannya dengan cara tebang pilih maupun
tebang habis. HP biasanya berupa kawasan hutan yang memiliki kelerengan landai, tanah yang
rendah erosi dan memiliki curah hujan yang kecil. Faktor-faktor kelerengan, erosi dan curah
hujan tersebut ditentukan dengan cara menghitung indeksnya berdasarkan metode skoring. Areal
hutan yang ditetapkan sebagai HP harus memiliki skor dibawah 125, dan areal tersebut tidak
termasuk ke dalam kawasan lindung.

b. Hutan Produksi Terbatas (HPT)

HPT merupakan hutan yang dialokasikan untuk dieksploitasi kayunya dalam intensitas
rendah. Penebangan kayu masih bisa dilakukan dengan menggunakan metode tebang pilih.
Hutan jenis ini umumnya berada di wilayah pegunungan yang memiliki lereng-lereng curam.
Areal yang bisa ditetapkan sebagai HPT setidaknya memiliki skor 125-174, diluar kawasan
lindung seperti hutan konservasi atau hutan lindung.

c. Hutan Produksi yang bisa dikonversi (HPK)


HPK yang bisa dikonversi adalah kawasan hutan yang dicadangkan untuk digunakan
dalam pembangunan diluar kehutanan. Terdapat dua kondisi yang bisa dijadikan patokan untuk
menetapkan jenis hutan ini. Pertama, hutan yang memiliki skor kelerengan, erosi dan curah hujan
di bawah 124. Kedua, kawasan hutan yang dicadangkan untuk permukiman, transmigrasi,
perkebunan dan pertanian.

2.2. Keanekaragaman Hayati Hutan produksi

Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) terbentang antara Provinsi Riau dan Provinsi
Jambi di bagian tengah Pulau Sumatera. Satu-satunya perwakilan ekosistem hutan dataran
rendah (low land tropical rain forest) tak-terfragmentasi yang tersisa di Central Sumatera.

Ditetapkan pertama kali pada tahun 1995 dengan luas kawasan 127.648 Ha, TNBT
merupakan kawasan konservasi pertama di Indonesia yang ditetapkan dari perubahan fungsi
lahan. Di masa lalu area TNBT adalah dua kawasan hutan lindung, Hutan Lindung Haposipin di
Provinsi Riau, dan Hutan Lindung Sengkati Batang Hari di Provinsi Jambi, dikelilingi area
Hutan Produksi Terbatas (HPH) aktif. Pada tahun 20202, melalui SK Menteri Kehutanan
Nomor : 6407/Kpts-II/2002 kawasan TNBT diperluas menjadi 144.223 Ha.

Terpisah sama sekali dari pegunungan Bukit Barisan, Bukit Tigapuluh memiliki
ekosistem yang unik. Dengan ketinggian antara 60-843 meter di atas permukaan laut, area TNBT
berupa perbukitan, dengan ekosistem peralihan antara hutan rawa pasang surut dan hutan
pegunungan. Ini menjadikan TNBT punya tingkat keanekaragaman hayati yang sangat beragam,
bahkan disebut sebagai salah satu yang paling tinggi di dunia.

Ada lebih dari 1500 spesies flora yang bisa ditemukan di sini. Beberapa di antaranya
adalah flora endemik, seperti Cendawan Muka Harimau (Rafflesia hasselti) dan Salo
(Johannesteijmania altifrons) sejenis palem langka berdaun raksasa, yang diduga hanya
ditemukan dia Bukit Tigapuluh. Taman nasional ini juga menjadi area pelestarian tiga-dari
empat- spesies kunci Sumatera, yaitu Hariamau, Orangutan dan Gajah Sumatera. Tak hanya itu,
TNBT juga habitat bagi lebih dari 500 spesies burung dan mamalia lainnya.

Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menyimpan kekayaan flora dan fauna yang luar biasa.
Di dalamnya terdapat sekitar 660 spesies tumbuh-tumbuhan, 246 di antaranya adalah tumbuhan
obat-obatan yang sering dimanfaatkan oleh penduduk setempat. Sebanyak 550 spesies
merupakan spesies langka yang sudah didata, dikumpulkan, dan dipelihara.

Adapun jenis spesies langka tersebut di antaranya adalah cendawan muka rimau
(rafflessia hasselti), jernang (daemonorops draco), pulai (alstonia scholaris), getah merah
(palaguyum sopi), jelutung (dyeracosculata), dan lain-lain. Selain itu, di kawasan taman nasional
ini juga terdapat pohon nibung (oncosperma tigilarium), sejenis palem liar, mirip pohon pinang,
yang secara spesifik tergolong dari suku palmae. Pohon ini tumbuh secara berumpun, berbatang
lurus, yang memiliki ketinggian mencapai 20—30 meter.

Habitat tumbuhan jenis ini adalah di hutan-hutan pantai, air payau, dan berkembang
secara alami. Bagi masyarakat Riau, pohon nibung memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai
simbol semangat persatuan dan persaudaraan masyarakat Riau. Oleh Pemerintah Propinsi Riau,
pohon ini kemudian dijadikan sebagai maskot Propinsi Riau. Dilihat dari kekayaan faunanya,
Taman Nasional Bukit Tiga Puluh memiliki kurang lebih 59 spesies mamalia, 8 di antaranya
adalah jenis primata. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh adalah habitat alami bagi harimau
sumatra (patheratigris sumatraensis), gajah sumatra (elephus maximus), macan dahan (neofelix
nebulasa), serta tapir melayu (tapirus indicus). Sedangkan hewan dari jenis primata yang masih
mudah dijumpai di kawasan taman nasional ini adalah siamang (hylobates sydactylus), lutung
(presbytis cristata), dan kera jambul (presbytis melalophus) yang memiliki tingkah laku aneh,
yaitu sering mengeluarkan suara keras menjerit-jerit sambil bergelantungan dari pohon ke pohon
berkejar-kejaran dengan sejenisnya. Lebatnya pepohonan di kawasan Taman Nasional Bukit
Tiga Puluh juga merupakan habitat yang cocok bagi berbagai jenis burung. Beberapa jenis
burung yang masih sering dijumpai adalah burung rangkong perut (antharacoceros convexus),
elang (spizateus nanus), burung raja udang, dan burung serindit (loriculus galgolus).

Di antara burung-burung tersebut, barangkali yang paling unik dan susah dijumpai di
tempat-tempat lain adalah burung serindit. Burung yang terbilang mungil dengan panjang tubuh
sekitar 12 cm ini memiliki bulu berwarna-warni yang sangat indah. Bulu kepalanya berwarna
hijau terang, dan di atas kepala terdapat jambul berwarna biru. Burung ini memiliki bentuk paruh
melengkung dan berwarna hitam pekat. Burung yang memiliki mata bulat berwarna kuning ini
adalah burung hutan, yang hidup berkelompok dan berpasang-pasangan.
2.3. Kelembagaan BKSA pada hutan produksi

a. Pembinaan dan Pengendalian Tata Kelola Kawasan Hutan Produksi

Sejak awal era pembangunan Indonesia, sumber daya hutan Riau telah menjadi salah satu
modal utama untuk pembangunan ekonomi nasional. Kebijakan pembangunan pada masa lalu
telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari segi
sumber daya, telah terjadi degradasi dan deforestasi yang antara lain disebabkan oleh :
pemanfaatan hutan yang tidak terkendali, pembukaan kawasan hutan dalam skala besar untuk
berbagai keperluan pembangunan, illegal logging, perambahan, okupasi lahan dan kebakaran
hutan. Selama sepuluh tahun terakhir, laju deforestasi di Indonesia telah mencapai rata-rata 1,6
juta hektar pertahun. Dari segi sosial ekonomi masyarakat lokal, dampak pembangunan
kehutanan terhadap peningkatan kesejahteraan tidak cukup nyata akibat adanya proses
marginalisasi masyarakat sekitar hutan yang nampak dari kesenjangan dan kemiskinan.
Pembangunan Kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan tidak mungkin tercapai, apabila
paradigma lama masih dijadikan acuan. Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma secara
mendasar. Paradigma baru pembangunan kehutanan adalah : pergeseran orientasi dari
pengelolaan kayu (timber management) menjadi pengelolaan sumber daya (resourcesbased
management), pengelolaan yang sentralistik menjadi desentralistik serta pengelolaan sumberdaya
yang berkeadilan.

Berdasarkan hal itu, salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau
adalah melakukan pembinaan dan pengendalian tata kelola kawasan hutan industri. Adapun
pembinaan dan pengendalian kawasan hutan produksi ditingkat dilimpahkan kepada gubernur
selaku wakil pemerintah pusat di daerah provinsi yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.3/Menhut-Ii/2014 Tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 Yang
Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah.

Visi Pembangunan Kehutanan Provinsi Riau adalah sebagai berikut : “Terwujudnya


kelestarian fungsi hutan sebagai sistem penyangga kehidupan guna mendukung kesejahteraan
rakyat menuju Visi Riau 2020”. Dalam rangka mencapai visi untuk kurun waktu jangka
menengah, ditetapkan misi sebagai berikut : Menjamin Keberadaan Hutan, Mengoptimalkan
Manfaat Hutan dan Menguatkan Kelembagaan.

b. Pembinaan dan Pengendalian Perencanaan Pengelolaan Hutan Produksi

Dinas Kehutanan Provinsi Riau dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan hutan di
Provinsi Riau telah merumuskan berbagai kebijakan di sektor kehutanan yaitu kebijakan
pembinaan dan pengendalian dari sektor perencanaan pengelolaan hutan produksi.

c. Pembinaan dan Pengendalian Usaha Industri Kehutanan

Maksud pembinaan dan pengendalian usaha industri kehutanan adalah untuk mendorong
restrukturisasi dan rasionalisasi industri kehutanan yang berorientasi pada ketersediaan bahan
baku, peningkatan efisiensi penggunaan bahan baku, produk yang bernilai tinggi dan pemasaran
yang kompetitif dan mampu bersaing di pasar global.

d. Rencana dan Realisasi Pemenuhan Bahan Baku Industri (Dalam Provinsi/ Luar Provinsi/
Impor)

Dalam rangka memberikan gambaran riil pemenuhan bahan baku terhadap kebutuhan
bahan baku industri per kabupaten/ kota dilakukan rekapitulasi kebutuhan bahan baku dan asal
bahan bakunya. Diperoleh informasi bahwa kebutuhan bahan baku IPHHK terbesar berada di
Pelalawan dan Siak. Hal ini disebabkan oleh adanya 2 (dua) Industri Pulp and Paper yang berada
pada 2 (dua) kabupaten tersebut. Suplai bahan baku kedua industri tersebut berasal dari hutan
tanaman dan hutan rakyat/ hutan hak yang tersebar pada hampir seluruh kabupaten/ kota yang
ada di Provinsi Riau baik yang terkait dengan management kedua perusahaan melalui
mekanisme KSO (kerjasama operasional) maupun yang sifatnya nonKSO. Namun dalam
pelaksanaannya kedua industri tersebut masih mendatangkan dari luar Provinsi Riau seperti dari
Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Hal ini disebabkan tanaman yang ada belum
mencukupi secara teknis (umur tanaman) untuk dapat memenuhi bahan baku kedua industri
tersebut setiap tahun.
e. Struktur dan Kapasitas Lembaga

Struktur organisasi, baik pusat maupun daerah, cenderung tidak mempunyai tugas dan
kapasitas untuk sampai pada penguasaan SDA di lapangan. Pada umumnya pelayanan perizinan
yang dikedepankan adalah bagi usaha besar. Secara umum juga dijumpai masalah masih
rendahnya kapasitas lembaga dalam menggunakan izin sebagai instrumen pengendalian. Kajian
review perizinan oleh UKP4 yang dilakukan di sembilan kabupaten di tiga provinsi yaitu
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Jambi yang saat ini masih sedang berjalan,
menunjukkan dokumen perizinan sebagai instrumen pengendalian izin dan jumlah produksinya
yang dimiliki oleh pejabat pemberi izin kurang dari 50%. Dokumen yang tidak dipunyai itu
termasuk NPWP perusahaan. Kondisi demikian mencerminkan lemahnya Pemerintah/ Pemda
mengetahui besarnya kekayaan negara, tidak peduli terhadap kecilnya jumlah pendapatan negara
serta nilai kerugian yang diakibatkan oleh sistem perizinan yang sedang berjalan. Dalam kondisi
seperti itu, alih fungsi dan perusakan hutan bukanlah bagian penting dari ke pemerintahan yang
ada.

2.4. Permasalahan yang terjadi pada hutan produksi

Konsesi HTI LAJ seluas 61.000 hektar berada di area penyangga Taman Nasional Bukit
Tigapuluh (TNBT) yang kondisi tutupan hutannya masih baik, termasuk saat dikelola PT
Industries et Forest Asiatiques (IFA) hingga tahun 2003. Namun, aktivitas perambahan mulai
merebak justru pada saat hutan ini memiliki pengelola baru. Padahal, jauh sebelum pemerintah
memberi izin HTI bagi PT LAJ, penolakan besar-besaran telah diajukan kalangan lembaga
swadaya masyarakat. Koalisi LSM mendesak hutan itu jangan dialihfungsikan untuk HTI karena
merupakan hutan dataran rendah Sumatera yang masih tersisa di Jambi. Kawasan ini merupakan
habitat inti gajah (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatera (Panthera tigris
sumatrae), dua satwa yang terancam punah. Setiap melintasi kawasan ini, kami pun masih kerap
mendapati jejak dan kotoran gajah yang baru melintas.

Forum Konservasi Gajah Indonesia mencatat, kawasan HTI PT LAJ merupakan area
jelajah dua kelompok besar gajah, Semambu dan Riau-Jambi. Deforestasi pada kawasan ini
berdampak buruk bagi kelangsungan hidup dua kelompok gajah Semambu 117 ekor dan
kelompok Riau-Jambi 47 ekor. Meluasnya pembukaan hutan untuk industri bakal mengakibatkan
kelompok gajah ini punah karena kehilangan ruang hidup dan sumber makanan. Berdasarkan
analisis citra tahun 1985, diketahui 95 persen kawasan Bukit Tigapuluh yang meliputi Provinsi
Jambi dan Riau dengan luas 651.232 hektar ini masih berupa hutan. Pada 2005 atau 20 tahun
kemudian, tutupan hutan tersisa 77 persen. Tahun 2010 tinggal 49 persen. Deforestasi di
kawasan Bukit Tigapuluh berlangsung sangat masif. Tidak hanya perambahan, pembalakan liar
juga menghancurkan tatanan hutan alam.

BKSDA Jambi mencatat selama 2010 ditemukan 302 titik aktivitas pembalakan liar.
Pencurian dan distribusi kayu ilegal paling marak pada hutan produksi dan hutan produksi
terbatas di 223 lokasi. Selebihnya dalam area penggunaan lain 67 titik dan TNBT 2 titik.
Pembalakan liar marak di Kecamatan Serai Serumpun, Sumay, dan Tebo Tengah di Kabupaten
Tebo. Deforestasi tidak hanya disebabkan aktivitas ilegal. Pembersihan lahan dan pengangkutan
kayu untuk kepentingan industri malah lebih dominan. Koordinator Program Bukit Tigapuluh
dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Diki Kurniawan mensinyalir, pengangkutan
kayu alam dari hutan ekosistem Bukit Tigapuluh mencapai 300-500 truk per hari. Terbanyak
melintasi jalan koridor yang dibangun anak usaha Sinar Mas Forestry. Kayu alam diangkut
hampir tanpa henti dari kawasan HTI PT Tebo Multi Agro dan PT Wanamukti Wisesa untuk
diolah menjadi produk kertas dan bubur kertas. Ukuran kayu umumnya sangat besar, 50-70
sentimeter. Itu menandakan usia tanaman berkisar 40 tahun ke atas.

Taman Nasional Bukit Tigapuluh juga menghadapi berbagai ancaman. Tfcasumatera.org


mencatat beberapa hal yang menjadi ancaman bagi Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Ancaman
paling besar datang dari illegal logging, baik oleh perorangan maupun kelompok, yang
memanfaatkan jalan bekas HPH sebagai jalur pengangkutan. Ancaman berikutnya adalah
perburuan liar terhadap harimau Sumatera ataupun burung, yang biasanya dilakukan penduduk
setempat bekerja sama dengan jœaringan perdagangan satwa ilegal. Perladangan berpindah dan
transmigrasi juga menjadi ancaman, karena pembukaan lahan baru untuk ladang dan lahan
transmigrasi lokasinya berdekatan dengan kawasan konservasi.
2.5. Strategi yang dilakukan pada hutan produksi

2.6. Kearifan tradisional pada hutan produksi

Yang unik dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh adalah keberadaan masyarakat
tradisional di dalamnya, yakni Suku Anak Dalam/Suku Kubu dan Suku Talang Mamak.
Masyarakat tersebut hidup dengan cara yang masih sangat tradisional dan terkadang berpindah-
pindah (nomaden). Mereka mempunyai kearifan tradisional yang amat berperan dalam
konservasi hutan. Terutama Suku Talang Mamak percaya bahwa bukit dan tumbuhan yang ada
di sekitarnya mempunyai kekuatan magis dalam kehidupan mereka. Harmonis dengan alam
merupakan prinsip hidup mereka.

Hutan bagi suku-suku tersebut menjadi bagian tak terpisahkan, karena hidup mereka amat
bergantung kepada hutan. Namun demikian, mereka sangat arif dalam memanfaatkan sumber
daya hutan, dengan tidak bersikap eksploitatif. Mereka mengetahui waktu-waktu yang tepat
untuk memanfaatkan hasil hutan, seperti memetik buah, mengambil rotan, dan memanen madu.
Untuk membuka lahan baru, mereka juga tidak sembarangan menebang pohon di hutan. Ada
pohon-pohon tertentu yang tidak boleh ditebang, dan ada tata cara tersendiri untuk
menebangnya. Kearifan tersebut telah diwariskan secara turun temurun.
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hutan produksi merupakan kawasan hutan yang dimanfaatkan untuk memproduksi hasil
hutan. Negara bisa memberikan hutan negara berupa konsesi kepada pihak swasta untuk
dimanfaatkan dan dikelola hasil hutannya. Taman Nasional Bukit Tiga Puluh menyimpan
kekayaan flora dan fauna yang luar biasa. Di dalamnya terdapat sekitar 660 spesies tumbuh-
tumbuhan, 246 di antaranya adalah tumbuhan obat-obatan yang sering dimanfaatkan oleh
penduduk setempat. Sebanyak 550 spesies merupakan spesies langka yang sudah didata,
dikumpulkan, dan dipelihara. salah satu upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Riau
adalah melakukan pembinaan dan pengendalian tata kelola kawasan hutan industri. Adapun
pembinaan dan pengendalian kawasan hutan produksi ditingkat dilimpahkan kepada gubernur
selaku wakil pemerintah pusat di daerah provinsi yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.3/Menhut-Ii/2014 Tentang Petunjuk Teknis
Pelaksanaan Urusan Pemerintahan (Dekonsentrasi) Bidang Kehutanan Tahun 2014 Yang
Dilimpahkan Kepada Gubernur Selaku Wakil Pemerintah.

BKSDA Jambi mencatat selama 2010 ditemukan 302 titik aktivitas pembalakan liar.
Pencurian dan distribusi kayu ilegal paling marak pada hutan produksi dan hutan produksi
terbatas di 223 lokasi. Selebihnya dalam area penggunaan lain 67 titik dan TNBT 2 titik. Mereka
mempunyai kearifan tradisional yang amat berperan dalam konservasi hutan. Terutama Suku
Talang Mamak percaya bahwa bukit dan tumbuhan yang ada di sekitarnya mempunyai kekuatan
magis dalam kehidupan mereka. Harmonis dengan alam merupakan prinsip hidup mereka.

Anda mungkin juga menyukai