Konstitusi pasal 1 (6) UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 4 (3) No.41 tahun 1999
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan
lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan
berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator
arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling
penting.
Hutan menurut Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan
baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan,
di pulau kecil maupun di benua besar.
Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.
Pohon adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda
dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena
secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk
(mahkota daun) yang jelas.
Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di
hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang
berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti
segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup
lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.
Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi
masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budi
daya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam
berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan
fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.
Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat
penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat tumbuhnya berbagai tanaman.
Jenis-jenis hutan dapat dibedakan berdasarkan hal-hal berikut, yaitu:
1) Berdasarkan Fungsinya
Berdasarkan fungsinya hutan dibedakan menjadi:
A. Hutan Lindung
Hutan Lindung adalah hutan yang berfungsi menjaga kelestarian tanah dan tata air wilayah.
B. Hutan Suaka Alam
Hutan Suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifat-sifatnya yang khas diperuntukan
secara khusus untuk perlindungan alam hayati atau manfaat-manfaat yang lainnya. Hutan suaka
alam terdiri dari Cagar alam dan Suaka margasatwa.
Cagar Alamiah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa dan ekosistem atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
Suaka margasatwa ialah kawasan suaka alam yang mempunyai cirri khas berupa
keanekaragaman atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
pembinaan terhadap habitatnya.
C. Hutan Wisata
Hutan Wisata adalah hutan yang diperuntukan untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan
pariwisata atau wisata baru. Hutan wisata terdiri dari Taman Wisata, Taman Baru dan Taman
Laut.
Taman Wisata adalah hutan wisata yang memiliki keindahan alam baik keindahan nabati,
keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri yang mempunyai corak khas yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan rekreasi dan kebudayaan.
Taman Baru adalah hutan wisata yang didalamnya terdapat satwa baru yang memungkinkan
diselenggarakannya perburuan secara teratur bagi kepentingan rekreasi.
Taman Laut adalah laut kawasan lepas pantai atau laut yang masih di dalam batas wilayah laut
Indonesia yang di dalamnya terdapat batu-batuan kosong atau biota.
Di kawasan ini terdapat ekosistem dan keindahan khusus yang keadaan alamnya secara fisik
tidak mengalami perubahan yang diakibatkan karena perbuatan manusia. Contoh taman laut
adalah taman laut bunaken (Sumatra Utara).
D. Hutan Produksi
Hutan Produksi berfungsi sebagai penghasil kayu atau non kayu, seperti hasil industri kayu dan
obat-obatan.
2) Berdasarkan Jenis Pohonnya
Menurut jenis pohonnya, hutan dapat dibedakan menjadi:
A. Hutan Heterogen
Hutan Heterogen adalah hutan yang ditumbuhi oleh berbagai macam pohon, misalnya hutan
rimba. Biasanya di daerah tropic yang banyak hujannya seperti di Amerika Tengah dan Selatan,
Afrika, Asia Tenggara dan Australia Timur Laut pohon-pohonnya tinggi dan berdaun lebar. Di
Indonesia hutan Heterogen antara lain terdapat di pulau Jawa, Sumatra,Kalimantan dan Irian
Jaya.
B. Hutan Homogen
Hutan Homogen adalah hutan yang ditumbuhi oleh satu macam tumbuhan. Pada umumnya hutan
homogen dibuat dengan tujuan tertentu, misalnya untuk reboisasi, penghijauan, atau keperluan
perluasan industri. Contoh hutan homogen antara lain hutan jati dan hutan pinus.
3) Berdasarkan Proses Terjadinya
Menurut terjadinya atau terbentuknya hutan dibedakan menjadi dua, yaitu hutan asli atau hutan
alam dan hutan buatan.
Hutan Asli adalah hutan yang terjadi secara alami, misalnya hutan rimba.
Hutan Buatan adalah hutan yang terjadi karena dibuat oleh manusia. Biasanya hutan ini terdiri
dari pohon-pohon yang sejenis dan dibuat untuk tujuan tertentu. Khusus untuk hutan mangrove
(hutan bakau) kebanyakan merupakan hutan alami, namun ada juga hutan mangrove yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk menanggulangi pantai dari bahaya yang ditimbulkan oleh
gelombang atau arus laut.
4) Berdasarkan Tempatnya
Untuk daerah tropik yang memiliki curah hujan tinggi, hutan dapat tumbuh di berbagai tempat,
sehingga hujan tersebut dinamai berdasarkan tempat tumbuhnya. Contoh hutan menurut
tempatnya adalah hutan rawa, hutan pantai dan hutan pegunungan.
5) Berdasarkan Iklimnya
Berdasarkan iklimnya, hutan dibedakan menjadi:
enam tahun usia putusan MK nomor 35 puu 2012 kehutanan hari ini. Pemerintah terkesan tidak
serius dalam melaksanakan putusan meski jadi bagian dari janji Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla.”
Begitu ungkapan Rukka Sombolinggi, Sekretariat Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), yang terkirim dalam beberapa grup percakapan elektronik di telepon seluler saya, 16
Mei 2018.
Ya, hari itu, tepat lima tahun sudah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan UU
Kehutanan itu, keluar. Keputusan penting bagi masyarakat adat ini menyatakan, hutan adat
bukan lagi hutan negara.
Harapan dan penyemangat baru bagi masyarakat adat di negeri ini muncul kala amar putusan itu
dibacakan sang Ketua MK, Akil Mochtar, sore itu.
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6
UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil, yang kini
mendekam dalam penjara seumur hidup karena terjerat korupsi kasus sengketa pemilu.
Selama lima tahun ini, ada kemajuan dalam pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat
adat lewat peraturan daerah (perda) maupun putusan bupati atau walikota bahkan penetapan dari
pemerintah pusat. Sudah ada penetapan hutan adat kepada belasan komunitas oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun secara luasan masih sangat-sangat kecil.
Rukka bilang, sudah ada 17.092 hektar wilayah adat kembali dalam bentuk hutan adat. Dengan
luasan tak seberapa ini, katanya, masyarakat adat harus yakin bakal terus bertambah.
“Keyakinan ini harus dijaga dengan bingkai kesabaran dan keteguhan. Termasuk teguh melawan
jebakan pihak-pihak yang berusaha membelokkan makna hakiki putusan MK-35 dengan alasan
apapun,” katanya.
Bahkan, keteguhan dari mereka yang membujuk masyarakat adat menerima skema hutan desa.
“Ini sebuah kemunduran yang mereka bingkai cantik dengan istilah ‘terobosan.’
Kepada Mongabay, Rukka mengatakan, hingga kini masyarakat adat terus berjuang dengan
memasang plang atau penanda wilayah adat mereka. “Semangat ini jelas sangat terlihat,
pengakuan itu memang sangat mendesak. “
Dengan putusan MK ini, katanya, seharusnya jadi momentum merehabilitasi wilayah adat yang
selama ini banyak rusak investasi ekstraktif.
Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, katanya, memberikan peluang kepada
masyarakat adat melalui implementasi REDD+. Peta masyarakat adat pun digagas masuk dalam
kebijakan satu peta. Tahun 2012, sebanyak 4,8 juta luasan hektar dan kini 9,3 juta hektar luasan
peta partisipatif wilayah adat sudah diserahkan ke pemerintah.
Secara progresif, langkah ini pun dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. MK-35,
katanya, diterjemahkan dalam bagian Nawacita, bahkan dalam rencana pembangunan jangka
menengah nasional (RPJMN). Rancangan UU Masyarakat Adat, satu paket di sana.
Sayangnya, hingga kini, dari 9,3 juta hektar peta partisipatif masyarakat adat, hanya segelintir
peroleh penetapan. Berdasarkan data KLHK per Maret 2018, luas hutan adat 24.378, 84 hektar.
Pada Februari 2018, pemerintah pun menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat.
Rukka khawatir, dalam pembahasan ini banyak konsentrasi terpecah pada masing-masing
daerah.
Dia melihat, ada sebuah tanda bahaya di mana KLHK menunggu pemerintah daerah yang
menjalankan pengakuan hak adat.
”Padahal KLHK sebagai pusat, hutan masih sentralistik urusan kehutanan, padahal bisa
menggunakan itu, seperti memberikan izin kepada investasi. Kenapa ke perusahaan begitu cepat,
mengembalikan hak masyarakat adat tidak bisa?”
Bukan itu saja, katanya, utang Indonesia belum tunai. Hingga kini, UU Masyarakat Adat masih
terkatung-katung alias belum juga ada pengesahan.
Berdasarkan penelitian The International Land and Forest Tenure Facility, jika mengandalkan
pengakuan hutan adat, berdasarkan UU dan peraturan daerah maka perlu 16.667 tahun. Ini jika
dihitung kecepatan pembuatan kebijakan perda dalam satu tahun terakhir.
Dengan begitu, untuk percepatan seharusnya konkret dengan UU Masyarakat Adat. ”Tidak ada
yang lain selain UU Masyarakat Adat yang jelas sesuai dengan situasi dan aspirasi masyarakat
adat,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani Ranik
mengatakan, implementasi MK-35 memang masih minim di lapangan.
Menurut dia, niat baik Pemerintahan Jokowi dalam implementasi MK-35 ini sebenarnya bisa
terlacak dengan melihat posisi partai pendukung pemerintah dalam RUU yang berkaitan dengan
masyarakat adat. ”Percuma jika Presiden Jokowi bilang mendukung tapi partai-partai di
pemerintah balik badan,” katanya.
Keluhan kelambatan menanti penetapan hutan adat juga datang dari daerah. “Kami takut jadi
keraguan (pemerintah) kalau jadi hutan adat. Kalau tak ada penetapan kami tak bisa menerapkan
aturan pengelolaan hutan secara adat dan diambil alih oleh negara nantinya,” kata Syamsudin,
Ketua Adat Biang Sari Desa Pengasi Baru di Kecamatan Bukit Kerman, Kerinci, Jambi.
Berbicara Jambi, sebenarnya sejak 1990-an hak kelola masyarakat melalui pengakuan hutan adat
sudah ada. Meskipun kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diatur sampai akhirnya
keluar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan istilah hutan adat.
Rudi Syaf Direktur KKI Warsi mengatakan, sejak 1993, Warsi sudah memfasilitasi masyarakat
yang turun-temurun menjaga hutan, ada menyebut hutan adat, rimbo pusako, rimbo parbukalo.
“Karena perangkat hukum nasional belum ada, kita hanya mendorong bupati membuat SK-SK
Bupati untuk hutan adat,” katanya.
Meskipun dalam UU Kehutanan 1999, sudah menyebutkan pasal terkait hutan adat namun dalam
praktik tak ada peraturan di bawah UU yang mengatur soal itu sampai muncul keputusan MK-
35.
Setelah MK-35 pun, katanya, tak semua hutan adat yang punya surat keputusan kepala daerah
otomatis mendapatkan legalisasi. “Terjadi kekosongan proses itu.”
Berdasarkan data Warsi, di Jambi, ada 37 SK Bupati ataupun peraturan daerah terkait hutan adat
seluas 9.406,69 hektar pada empat kabupaten, yakni, Bungo, Kerinci, Merangin dan Sarolangun.
Berbanding terbalik dengan data Dinas Kehutanan Jambi, hingga kini hanya terdata 13 hutan
adat dengan luasan 3.064,5 hektar yang sudah mendapatkan legalisasi KLHK. “Ini berarti hanya
sepertiga yang sudah mendapatkan legalitas dari KLHK,” kata Rudi.
Kelambatan pengakuan hutan adat di daerah, katanya, karena pembuatan suatu perda seringkali
mendapat berbagai tantangan, antara lain, konstelasi politik lokal terutama pandangan parpol
terkait identitas masyarakat adat. Juga eksekutif dan legislatif kurang paham soal masyarakat
adat serta persoalan anggaran.
“Bikin perda di DPR itu kalau tak ada anggaran sulit. DPR butuh anggaran untuk tahapan naskah
akademik, konsultasi publik, ranperda, ini butuh anggaran dan tenaga ahli. Pengalaman kami di
Perda Masyarakat Adat Serampas perlu waktu satu tahun hingga rampung,” katanya.
Selain itu, syarat juga berat, seperti harus ada perda masyarakat hukum adat, batas-batas wilayah
adat hanya berdasarkan seloko adat dan diketahui oleh orang tua-tua yang masih hidup. “Ini
menyulitkan jika diubah dalam bentuk peta wilayah adat.”
Senada dikatakan Riko Kurniawan, Direktur Walestra. Dia bilang, kendala perda masyarakat
hukum adat juga menyulitkan delapan hutan adat yang kini mereka ajukan di Kerinci.
“Enam lokasi berada di alokasi penggunaan lain masih masalah regulasi yang merupakan
wewenang daerah. Ini juga menghadapi kendala minimnya pemahaman KPH (kesatuan
pengelolaan hutan-red) terkait mekanisme hutan adat,” katanya.
Menurut Rudi, pemerintah terlalu berhati-hati dalam melegalisasi hutan adat, dibandingkan
skema perhutanan sosial lain seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan maupun hutan tanaman
rakyat.
Data Dinas Kehutanan Jambi, luasan hutan desa di Jambi, 83.599 hektar tersebar di 38 lokasi,
HTR 7.469,54 hektar pada 57 kelompok tani hutan.
Di Jambi, Kabupaten Kerinci, pertama kali memberikan pengakuan terhadap hutan adat
Temedak Keluru pada 1993. Sebelum ada keputusan MK-35, perda pengakuan masyarakat
hukum adat Datuk Singaro Putih di Bungo, sudah ada sejak 2006.
Walaupun begitu, legalisasi dari KLHK baru ada di hutan adat Dusun Batu Kerbau dan Dusun
Baru Pelepat pada 2017. Belum lagi, mengenai informasi hutan adat ini juga belum dipahami
sepenuhnya oleh masyarakat.
Suara juga datang dari Papua. Di Papua, ada sekitar 257 suku. Sejak 2001, berlaku otonomi
khusus (otsus) di Papua melalui UU 21/2001. UU Otsus ini, memuat pasal-pasal yang mengatur
tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.
Yunus Yumte dari Samdhana Institute menyatakan, kehadiran putusan MK-35 memperkuat UU
Otsus Papua.
“Sebelum putusan MK-35, Otsus sebenarnya sudah terlebih dahulu bicara tentang subyek dan
obyek hak orang asli Papua, bahkan sudah ada perdasus-perdasus,” katanya.
Perdasus yang relevan, misal Nomor 22/2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Masyarakat Hukum Adat di Papua.
Semestinya, kata Yunus, meskipun di nasional belum ada perpu atau perpres sebagai turunan
MK-35, untuk Papua harusnya tak ada halangan. “Papua sudah ada perdasus.”
Selain Perdasus 22/2008, juga Perdasus 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.
Lagi-lagi, meskipun sudah ada beragam aturan itu, kerja-kerja penetapan wilayah adat di Papua,
sangatlah lambat.
“Itu diukur dari wilayah adat yang sudah mendapat pengakuan dari pemerintah daerah. Pasca
MK-35 belum ada hutan adat di Papua maupun Papua Barat ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan,” katanya.
Persoalan lain di Papua, katanya, kesulitan kabupaten dan kota membuat perda-perda masyarakat
adat. Penyebabnya, antara lain, pembicaraan mengenai langkah strategis mempercepat
penetapan hukum, subjek-subjek hukum masyarakat adat–hingga melekat seperti dimaksud
dalam Otsus maupun MK-35—belum tuntas.
Selain itu, peta wilayah adat sebagai syarat teknis juga masih terkendala. Pemetaan wilayah
adat, katanya, belum masif di seluruh Papua. Baru beberapa lembaga, katanya, rutin tiap tahun
melaksanakan pemetaan wilayah adat.
Hasil evaluasi beberapa lembaga soal pemetaan wilayah adat, katanya, perlu penyelesaian
masalah teknis dan sosial, antara lain, pertama, kesepakatan antara komunitas adat sendiri.
Kedua, ada kesadaran masyarakat adat terutama di tingkat pimpinan terkait pilihan hukum untuk
penetapan subyek dan obyek hak. Ketiga, membangun jejaring strategis dengan pemerintah.
“Itu tiga tantangan besar yang harus dijembatani, tapi bukan tidak mungkin berjalan. Perlu kerja
bersama untuk membangun tiga hal ini.”
Sebelumnya, pada 24 April 2018, Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua
menyampaikan kritik atas program bagi-bagi sertifikat oleh Jokowi sebagai bagian dari program
reforma agraria.
Kritik ini disampaikan sebagai respon atas pembagian 3.331 sertfikat tanah bagi masyarakat di
10 kabupaten di Papua. Sertifikat-sertifikat ini secara simbolis dibagikan Jokowi saat berkunjung
ke Papua, 13 April 2018.
SOS untuk Tanah Papua dalam pernyataan sikap menyebutkan, kebijakan dan program reforma
agraria di Tanah Papua tanpa konsultasi luas, terutama dengan masyarakat adat sebagai pemilik
ulayat.
Penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat,
termasuk mengabaikan konflik agraria yang belum terselesaikan.
“Kami menemukan Tora yang tergambarkan dalam peta indikatif untuk program redistribusi aset
berada dalam wilayah adat dan kawasan hutan yang masih tanah adat, dikuasai, dimilik dan
dikelola masyarakat adat,” kata Wirya dari Jerat Papua, salah satu lembaga yang masuk SOS
untuk Tanah Papua.
Selain itu, tanah-tanah yang didaftarkan dan dilegalisasikan melalui BPN di daerah, terindikasi
memiliki konflik-konflik penguasaan dan pemilikan, terutama obyek tanah di program nasional
transmigrasi dan sawah baru.
Program reforma agraria di Tanah Papua, melalui legalisasi dan redistribusi aset, katanya, juga
dinilai berpotensi menghapus sistem penguasaan dan pemilikan tanah komunal berubah jadi
tanah pribadi (individu) bahkan badan usaha tertentu.
Privatisasi pemilikan hak tanah melalui kebijakan dan komersialisasi, katanya, akan mengancam
hilangnya keberadaan dan hak masyarakat adat Papua. Juga, memiskinkan dan menghilangkan
sistem sosial ekonomi masyarakat adat Papua yang masih tergantung pada tanah dan kekayaan
alam.
Masih gamang?
Martua Sirait, dari Samdhana Institute mengatakan, pada 2013 pemerintah terlihat masih gamang
atas putusan MK-35.
Hal ini terlihat, baru satu tahun setelah putusan, tepatnya Juni 2014, Kementerian Dalam Negeri
atas supervisi Nota Kesepahaman Bersama 12 kementerian dan lembaga atas supervisi KPK, dan
rekomendasi Inkuiri Nasional Komnas HAM menerbitkan Permendagri no 52/2014. Ia mengatur
soal pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, sebagai pedoman
pemerintah daerah dalam menerbitkan peraturan, dengan lampiran sangat jelas.
Gayung bersambut, pada 2015, KLHK menerbitkan PemenLHK No 32/2015 tentang Hutan Hak.
“Secara eksplisit mengklasifikasikan hutan adat sebagai hutan hak, yang akhirnya jadi pedoman
bagi KLHK dalam proses pengakuan hutan adat,” katanya.
Kebijakan pun terus disempurnakan, seperti pedoman jelas bagi pemerintah daerah dan
masyarakat dalam mengajukan aplikasi pengakuan hutan adat dan masuk dalam program
perhutanan sosial.
Terbit beberapa kebijakan lain, seperti Perpres 88/2017, Permenko Ekonomi No. 3/2018
mengenai pedoman pelaksanaan tugas tim inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah di
kawasan hutan dan SK Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Juga Surat
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 184/2018 tentang penunjukan gugus tugas multipihak
penyelesaian permasalahan lahan, perambahan dan usulan wilayah adat di kawasan konservasi.
Semua itu, katanya, berkaitan dengan pemenuhan hak hak masyarakat adat di kawasan hutan,
termasuk kawasan konservasi.
“Ini sangat penting dalam mendapatkan kesamaan pandang lintas kementerian soal pemenuhan
hak hak konstitusional masyarakat adat,” katanya.
Meskipun sudah ada beragam aturan, katanya, penting ada UU Masyarakat Adat ahar lebih jelas
menjabarkan hak-hak mereka.
Dengan UU, katanya, bisa lebih jelas bahwa langkah pengakuan hak-hak masyarakat adat bukan
hanya KLHK tetapi harus diikuti kementerian lain, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral dan lain-lain.
“Karena itu, harus jadi UU yang lebih jelas menjabarkan hak hak masyarakat adat dan
bagaimana negara menghormati, mengakui, melindungi, memenuhi dan memajukan. Di sinilah
pentingnya UU yang baru dikirimkan suratnya oleh Presiden kepada DPR untuk pembahasan.”
Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat
di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif
berusaha masuk. Dengan begitu, pengakuan dan penetapan wilayah adat dari pemerintah sangat
penting, demi memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat adat ini. Foto Vinolia/ Mongabay
Indonesia.
Kesimpulan
NAMA:
1710116464
ALVALAMI
1710116372
DANANG FAJAR .P
1710116469
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCA BHAKTI
PONTIANAK