Anda di halaman 1dari 16

Artikel Kehutanan dan SDA terkai dengan pasca putusan Mahkamah

Konstitusi pasal 1 (6) UU No. 41 tahun 1999 dan pasal 4 (3) No.41 tahun 1999

Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan dan tumbuhan
lainnya. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah yang luas di dunia dan
berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon dioxide sink), habitat hewan, modulator
arus hidrologika, serta pelestari tanah, dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling
penting.

Hutan menurut Undang-Undang tentang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 adalah suatu kesatuan
ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan
dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Hutan adalah bentuk kehidupan yang tersebar di seluruh dunia. Kita dapat menemukan hutan
baik di daerah tropis maupun daerah beriklim dingin, di dataran rendah maupun di pegunungan,
di pulau kecil maupun di benua besar.

Hutan merupakan suatu kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau
tumbuhan berkayu lain, yang menempati daerah yang cukup luas.

Pohon adalah tumbuhan cukup tinggi dengan masa hidup bertahun-tahun. Jadi, tentu berbeda
dengan sayur-sayuran atau padi-padian yang hidup semusim saja. Pohon juga berbeda karena
secara mencolok memiliki sebatang pokok tegak berkayu yang cukup panjang dan bentuk tajuk
(mahkota daun) yang jelas.

Suatu kumpulan pepohonan dianggap hutan jika mampu menciptakan iklim dan kondisi
lingkungan yang khas setempat, yang berbeda daripada daerah di luarnya. Jika kita berada di
hutan hujan tropis, rasanya seperti masuk ke dalam ruang sauna yang hangat dan lembap, yang
berbeda daripada daerah perladangan sekitarnya. Pemandangannya pun berlainan. Ini berarti
segala tumbuhan lain dan hewan (hingga yang sekecil-kecilnya), serta beraneka unsur tak hidup
lain termasuk bagian-bagian penyusun yang tidak terpisahkan dari hutan.

Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi
masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budi
daya tanaman pertanian pada lahan hutan. Sebagai fungsi ekosistem hutan sangat berperan dalam
berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan
fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global.
Sebagai fungsi penyedia air bagi kehidupan hutan merupakan salah satu kawasan yang sangat
penting, hal ini dikarenakan hutan adalah tempat tumbuhnya berbagai tanaman.
Jenis-jenis hutan dapat dibedakan berdasarkan hal-hal berikut, yaitu:
 
1) Berdasarkan Fungsinya
Berdasarkan fungsinya hutan dibedakan menjadi:
 
A. Hutan Lindung
Hutan Lindung adalah hutan yang berfungsi menjaga kelestarian tanah dan tata air wilayah.
 
B. Hutan Suaka Alam
Hutan Suaka alam adalah kawasan hutan yang karena sifat-sifatnya yang khas diperuntukan
secara khusus untuk perlindungan alam hayati atau manfaat-manfaat yang lainnya. Hutan suaka
alam terdiri dari Cagar alam dan Suaka margasatwa.
 
Cagar Alamiah kawasan suaka alam yang keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan,
satwa dan ekosistem atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya
berlangsung secara alami.
 
Suaka margasatwa ialah kawasan suaka alam yang mempunyai cirri khas berupa
keanekaragaman atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan
pembinaan terhadap habitatnya.
 
C. Hutan Wisata
 
Hutan Wisata adalah hutan yang diperuntukan untuk dibina dan dipelihara guna kepentingan
pariwisata atau wisata baru. Hutan wisata terdiri dari Taman Wisata, Taman Baru dan Taman
Laut.
 
Taman Wisata adalah hutan wisata yang memiliki keindahan alam baik keindahan nabati,
keindahan hewani, maupun keindahan alamnya sendiri yang mempunyai corak khas yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan rekreasi dan kebudayaan.
 
Taman Baru adalah hutan wisata yang didalamnya terdapat satwa baru yang memungkinkan
diselenggarakannya perburuan secara teratur bagi kepentingan rekreasi.

Taman Laut adalah laut kawasan lepas pantai atau laut yang masih di dalam batas wilayah laut
Indonesia yang di dalamnya terdapat batu-batuan kosong atau biota.
 
Di kawasan ini terdapat ekosistem dan keindahan khusus yang keadaan alamnya secara fisik
tidak mengalami perubahan yang diakibatkan karena perbuatan manusia. Contoh taman laut
adalah taman laut bunaken (Sumatra Utara).
 
D. Hutan Produksi
Hutan Produksi berfungsi sebagai penghasil kayu atau non kayu, seperti hasil industri kayu dan
obat-obatan.
 
2) Berdasarkan Jenis Pohonnya
Menurut jenis pohonnya, hutan dapat dibedakan menjadi:
 
A. Hutan Heterogen
Hutan Heterogen adalah hutan yang ditumbuhi oleh berbagai macam pohon, misalnya hutan
rimba. Biasanya di daerah tropic yang banyak hujannya seperti di Amerika Tengah dan Selatan,
Afrika, Asia Tenggara dan Australia Timur Laut pohon-pohonnya tinggi dan berdaun lebar. Di
Indonesia hutan Heterogen antara lain terdapat di pulau Jawa, Sumatra,Kalimantan dan Irian
Jaya.
 
B. Hutan Homogen
Hutan Homogen adalah hutan yang ditumbuhi oleh satu macam tumbuhan. Pada umumnya hutan
homogen dibuat dengan tujuan tertentu, misalnya untuk reboisasi, penghijauan, atau keperluan
perluasan industri. Contoh hutan homogen antara lain hutan jati dan hutan pinus.
 
3) Berdasarkan Proses Terjadinya
Menurut terjadinya atau terbentuknya hutan dibedakan menjadi dua, yaitu hutan asli atau hutan
alam dan hutan buatan.
 
Hutan Asli adalah hutan yang terjadi secara alami, misalnya hutan rimba.
 
 
Hutan Buatan adalah hutan yang terjadi karena dibuat oleh manusia. Biasanya hutan ini terdiri
dari pohon-pohon yang sejenis dan dibuat untuk tujuan tertentu. Khusus untuk hutan mangrove
(hutan bakau) kebanyakan merupakan hutan alami, namun ada juga hutan mangrove yang
sengaja dibuat oleh manusia untuk menanggulangi pantai dari bahaya yang ditimbulkan oleh
gelombang atau arus laut.
 
4) Berdasarkan Tempatnya
Untuk daerah tropik yang memiliki curah hujan tinggi, hutan dapat tumbuh di berbagai tempat,
sehingga hujan tersebut dinamai berdasarkan tempat tumbuhnya. Contoh hutan menurut
tempatnya adalah hutan rawa, hutan pantai dan hutan pegunungan.
 
5) Berdasarkan Iklimnya
Berdasarkan iklimnya, hutan dibedakan menjadi:

- Hutan Hujan Tropis


Hutan hujan tropis terdapat di daerah tropic basah dengan dengan curah hujan tinggi dan terbesar
sepanjang tahun. Hutan hujan tropis antara lain terdapat di Amerika Tengah danSelatan,
Australia timur Laut, Afrika dan Asia Tenggara. Ciri khas dari tumbuhan-tumbuhan yang
terdapat di hutan hujan tropis adalah ukuran pohon yang tinggi, berdaun lebar, selalu hijau dan
jumlah jenis besar. Hutan ini kaya akan hewan Vertebrata dan Invertebrata.
 
- Hutan Musim Tropik
Hutan ini terdapat di daerah tropic beriklim basah, tetapi mempunyai musim kemarau yang
panjang. Biasanya pohon-pohon di hutan musim tropic menggugurkan daunnya pada musim
kemarau. Hutan musim tropik banyak terdapat di kawasan India dan Asia Tenggara, termasuk
juga Indonesia.
 
- Hutan Hujan Iklim Sedang
Hutan hujan iklim sedang adalah hutan raksasa yang terdapat di Australia dan sepanjang pantai
Pasific di Amerika Utara dan California sampai negara bagian Washington. Hutan hujan iklim
sedang di Australia merupakan hutan dengan pohon-pohon tertinggi di dunia.
 
- Hutan Pegunungan Tropik
Hutan jenis ini mirip dengan hutan hujan iklim sedang, namun struktur dan karakteristik lainnya
sangat berbeda.
 
- Hutan Hujan Iklim Sedang yang selalu hijau
Terdapat di daerah beriklim sedang. Hutan jenis ini tersebar di Amerika Serikat dan Eropa yang
beriklim kontinen.
 
- Hutan Gugur Iklim Sedang
Hutan ini terdapat didaerah dengan iklim kontinen sedang namun agak basah dengan musim
hujan di musim panas dan dengan musim dingin yang keras. Pohon-pohon yang dominant adalah
pohon-pohon yang berdaun lebar yang menggugurkan daunnya dimusim dingin. Hutan ini
banyak tersebar di kawasan Amerika Serikat, Eropa, Asia Timur, Chile dan Amerika Tengah.
 
- Taiga
Taiga terdiri dari jenis-jenis conifer yang tumbuh di tempat terdingin dari daerah iklim hutan.
Taiga terbesar terdapat di Amerika Utara, Eropa dan Asia.
 
- Hutan Lumut
Hutan lumut adalah komunitas pegunungan tropik yang memilki struktur yang berbeda dengan
taiga. Hutan lumut terdapat di daerah yang memilki ketinggian 2500 m. pohon-pohonnya kerdil
dan juga ditumbuhi lumut dan lumut kerak.
 
- Sabana
Sabana adalah padang rumput tropis yang diselingi pohon-pohon besar. Umumnya sabana
merupakan daerah peralihan antara hutan dan padang rumput. Sabana antara lain terdapat di
Australia dan Brasilia.
 
- Gurun
Gurun adalah wilayah daratan yang tidak ada tumbuhan kecuali beberapa jenis kaktus.
 
6) Berdasarkan Tujuannya
Menurut jenisnya hutan digolongkan menjadi:
- Hutan Konservasi dan Taman Nasional
- Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap
- Hutan Lindung
- Hutan Konversi
Implikasi Pasca putusan MK No. 35 PUU 2012

enam tahun usia putusan MK nomor 35 puu 2012 kehutanan hari ini. Pemerintah terkesan tidak
serius dalam melaksanakan putusan meski jadi bagian dari janji Nawacita Jokowi-Jusuf Kalla.”
Begitu ungkapan Rukka Sombolinggi, Sekretariat Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
(AMAN), yang terkirim dalam beberapa grup percakapan elektronik di telepon seluler saya, 16
Mei 2018.

Ya, hari itu, tepat lima tahun sudah putusan Mahkamah Konstitusi terhadap gugatan UU
Kehutanan itu,  keluar. Keputusan penting bagi masyarakat adat ini menyatakan,  hutan adat
bukan lagi hutan negara.

Harapan dan penyemangat baru bagi masyarakat adat di negeri ini muncul kala amar putusan itu
dibacakan sang Ketua MK, Akil Mochtar, sore itu.

“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Kata ―negara dalam Pasal 1 angka 6
UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Akil,  yang kini
mendekam dalam penjara seumur hidup karena terjerat korupsi kasus sengketa pemilu.

Selama lima tahun ini, ada kemajuan dalam pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat
adat lewat peraturan daerah (perda) maupun putusan bupati atau walikota bahkan penetapan dari
pemerintah pusat. Sudah ada penetapan hutan adat kepada belasan komunitas oleh Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, namun secara luasan masih sangat-sangat kecil.

Rukka bilang, sudah ada 17.092 hektar wilayah adat kembali dalam bentuk hutan adat. Dengan
luasan tak seberapa ini, katanya, masyarakat adat harus yakin bakal terus bertambah.

“Keyakinan ini harus dijaga dengan bingkai kesabaran dan keteguhan. Termasuk teguh melawan
jebakan pihak-pihak yang berusaha membelokkan makna hakiki putusan MK-35 dengan alasan
apapun,” katanya.

Bahkan, keteguhan dari mereka yang membujuk masyarakat adat menerima skema hutan desa.
“Ini sebuah kemunduran yang mereka bingkai cantik dengan istilah ‘terobosan.’

Kepada Mongabay, Rukka mengatakan, hingga kini masyarakat adat terus berjuang dengan
memasang plang atau penanda wilayah adat mereka. “Semangat ini jelas sangat terlihat,
pengakuan itu memang sangat mendesak. “

Dengan putusan MK ini, katanya, seharusnya jadi momentum merehabilitasi wilayah adat yang
selama ini banyak rusak investasi ekstraktif.

Era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, katanya, memberikan peluang kepada
masyarakat adat melalui implementasi REDD+. Peta masyarakat adat pun digagas masuk dalam
kebijakan satu peta. Tahun 2012, sebanyak 4,8 juta luasan hektar dan kini 9,3 juta hektar luasan
peta partisipatif wilayah adat sudah diserahkan ke pemerintah.

Secara progresif, langkah ini pun dilanjutkan pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. MK-35,
katanya,  diterjemahkan dalam bagian Nawacita, bahkan dalam rencana pembangunan jangka
menengah nasional (RPJMN). Rancangan UU Masyarakat Adat, satu paket di sana.

Sayangnya, hingga kini, dari 9,3 juta hektar peta partisipatif masyarakat adat, hanya segelintir
peroleh penetapan. Berdasarkan data KLHK per Maret 2018, luas hutan adat 24.378, 84 hektar.

”Dari situ kelihatan bahwa pemerintah tidak serius.”

Pada Februari 2018, pemerintah pun menyelenggarakan Rapat Koordinasi Nasional Hutan Adat.
Rukka khawatir, dalam pembahasan ini banyak konsentrasi terpecah pada masing-masing
daerah.

Dia melihat, ada sebuah tanda bahaya di mana KLHK menunggu pemerintah daerah yang
menjalankan pengakuan hak adat.

”Padahal KLHK sebagai pusat, hutan masih sentralistik urusan kehutanan, padahal  bisa
menggunakan itu, seperti memberikan izin kepada investasi. Kenapa ke perusahaan begitu cepat,
mengembalikan hak masyarakat adat tidak bisa?”
Bukan itu saja, katanya, utang Indonesia belum tunai. Hingga kini, UU Masyarakat Adat masih
terkatung-katung alias belum juga ada pengesahan.

Berdasarkan penelitian The International Land and Forest Tenure Facility,  jika mengandalkan
pengakuan hutan adat, berdasarkan UU dan peraturan daerah maka perlu 16.667 tahun. Ini jika
dihitung kecepatan pembuatan kebijakan perda dalam satu tahun terakhir.

Dengan begitu, untuk percepatan seharusnya konkret dengan UU Masyarakat Adat. ”Tidak ada
yang lain selain UU Masyarakat Adat yang jelas sesuai dengan situasi dan aspirasi masyarakat
adat,” katanya.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Demokrat, Erma Suryani Ranik
mengatakan, implementasi MK-35 memang masih minim di lapangan.

Menurut dia, niat baik Pemerintahan Jokowi dalam implementasi MK-35 ini sebenarnya bisa
terlacak dengan melihat posisi partai pendukung pemerintah dalam RUU yang berkaitan dengan
masyarakat adat. ”Percuma jika Presiden Jokowi bilang mendukung tapi partai-partai di
pemerintah balik badan,” katanya.

Keluhan kelambatan menanti penetapan hutan adat juga datang dari daerah. “Kami takut jadi
keraguan (pemerintah) kalau jadi hutan adat. Kalau tak ada penetapan kami tak bisa menerapkan
aturan pengelolaan hutan secara adat dan diambil alih oleh negara nantinya,” kata Syamsudin,
Ketua Adat Biang Sari Desa Pengasi Baru di Kecamatan Bukit Kerman, Kerinci, Jambi.

Berbicara Jambi, sebenarnya sejak 1990-an hak kelola masyarakat melalui pengakuan hutan adat
sudah ada.  Meskipun kewenangan pengelolaan kawasan hutan belum diatur sampai akhirnya
keluar UU No. 41/1999 tentang Kehutanan, yang menyebutkan istilah hutan adat.

Rudi Syaf Direktur KKI Warsi mengatakan, sejak 1993, Warsi sudah memfasilitasi masyarakat
yang turun-temurun menjaga hutan, ada menyebut hutan adat, rimbo pusako, rimbo parbukalo.

“Karena perangkat hukum nasional belum ada, kita hanya mendorong bupati membuat SK-SK
Bupati untuk hutan adat,” katanya.

Meskipun dalam UU Kehutanan 1999, sudah menyebutkan pasal terkait hutan adat namun dalam
praktik tak ada peraturan di bawah UU yang mengatur soal itu sampai muncul keputusan MK-
35.

Setelah MK-35 pun, katanya, tak semua hutan adat yang punya surat keputusan kepala daerah
otomatis mendapatkan legalisasi. “Terjadi kekosongan proses itu.”

Berdasarkan data Warsi, di Jambi,  ada 37 SK Bupati ataupun peraturan daerah terkait hutan adat
seluas 9.406,69 hektar pada empat kabupaten, yakni, Bungo, Kerinci, Merangin dan Sarolangun.
Berbanding terbalik dengan data Dinas Kehutanan Jambi, hingga kini hanya terdata 13 hutan
adat dengan luasan 3.064,5 hektar yang sudah mendapatkan legalisasi KLHK.  “Ini berarti hanya
sepertiga yang sudah mendapatkan legalitas dari KLHK,” kata Rudi.

Kelambatan pengakuan hutan adat di daerah, katanya, karena pembuatan suatu perda seringkali
mendapat berbagai tantangan, antara lain, konstelasi politik lokal terutama pandangan parpol
terkait identitas masyarakat adat. Juga eksekutif dan legislatif kurang paham soal masyarakat
adat serta persoalan anggaran.

“Bikin perda di DPR itu kalau tak ada anggaran sulit. DPR butuh anggaran untuk tahapan naskah
akademik, konsultasi publik, ranperda, ini butuh anggaran dan tenaga ahli. Pengalaman kami di
Perda Masyarakat Adat Serampas perlu waktu satu tahun hingga rampung,” katanya.

Selain itu,  syarat juga berat, seperti harus ada perda masyarakat hukum adat, batas-batas wilayah
adat hanya berdasarkan seloko adat dan diketahui oleh orang tua-tua yang masih hidup. “Ini
menyulitkan jika diubah dalam bentuk peta wilayah adat.”

Senada dikatakan Riko Kurniawan, Direktur Walestra. Dia bilang, kendala perda masyarakat
hukum adat juga menyulitkan delapan hutan adat yang kini mereka ajukan di Kerinci.
“Enam lokasi berada di alokasi penggunaan lain masih masalah regulasi yang merupakan
wewenang daerah. Ini juga menghadapi kendala minimnya pemahaman KPH (kesatuan
pengelolaan hutan-red) terkait mekanisme hutan adat,” katanya.

Menurut Rudi, pemerintah terlalu berhati-hati dalam melegalisasi hutan adat, dibandingkan
skema perhutanan sosial lain seperti hutan desa, hutan kemasyarakatan maupun hutan tanaman
rakyat.

Data Dinas Kehutanan Jambi, luasan hutan desa di Jambi, 83.599 hektar tersebar di 38 lokasi,
HTR 7.469,54 hektar pada 57 kelompok tani hutan.

Di Jambi, Kabupaten Kerinci, pertama kali memberikan pengakuan terhadap hutan adat
Temedak Keluru pada 1993. Sebelum  ada keputusan MK-35, perda pengakuan masyarakat
hukum adat Datuk Singaro Putih di Bungo, sudah ada sejak 2006.

Walaupun begitu, legalisasi dari KLHK baru ada di hutan adat Dusun Batu Kerbau dan Dusun
Baru Pelepat pada 2017. Belum lagi, mengenai informasi hutan adat ini juga belum dipahami
sepenuhnya oleh masyarakat.

Suara juga datang dari Papua. Di Papua, ada sekitar 257 suku. Sejak 2001, berlaku otonomi
khusus (otsus) di Papua melalui UU 21/2001. UU Otsus ini,  memuat pasal-pasal yang mengatur
tentang pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat Papua.

Yunus Yumte dari Samdhana Institute menyatakan, kehadiran putusan MK-35 memperkuat UU
Otsus Papua.

“Sebelum putusan MK-35, Otsus sebenarnya sudah terlebih dahulu bicara tentang subyek dan
obyek hak orang asli Papua, bahkan sudah ada perdasus-perdasus,” katanya.

Perdasus yang relevan, misal Nomor 22/2008 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Sumber
Daya Alam Masyarakat Hukum Adat di Papua.

Semestinya, kata Yunus, meskipun di nasional belum ada perpu atau perpres sebagai turunan
MK-35, untuk Papua harusnya tak ada halangan. “Papua sudah ada perdasus.”

Selain Perdasus 22/2008, juga Perdasus 23/2008 tentang Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat 
dan Hak Perorangan Warga Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah.

Lagi-lagi, meskipun sudah ada beragam aturan itu, kerja-kerja penetapan wilayah adat di Papua,
sangatlah lambat.

“Itu diukur dari wilayah adat yang sudah mendapat pengakuan dari  pemerintah daerah. Pasca
MK-35 belum ada hutan adat di Papua maupun Papua Barat ditetapkan oleh Menteri
Kehutanan,” katanya.
Persoalan lain di Papua, katanya, kesulitan kabupaten dan kota membuat perda-perda masyarakat
adat. Penyebabnya,  antara lain, pembicaraan mengenai langkah strategis mempercepat
penetapan hukum, subjek-subjek hukum masyarakat adat–hingga melekat seperti dimaksud
dalam Otsus maupun MK-35—belum tuntas.

Selain itu,  peta wilayah adat sebagai syarat teknis juga masih terkendala. Pemetaan wilayah
adat, katanya,  belum masif di seluruh Papua. Baru beberapa lembaga, katanya,  rutin tiap tahun
melaksanakan pemetaan wilayah adat.

Hasil evaluasi beberapa lembaga soal pemetaan wilayah adat, katanya, perlu penyelesaian
masalah teknis dan sosial,  antara lain, pertama, kesepakatan antara komunitas adat sendiri.
Kedua, ada kesadaran masyarakat adat terutama di tingkat pimpinan terkait pilihan hukum untuk
penetapan subyek  dan obyek hak.  Ketiga, membangun jejaring strategis dengan pemerintah.

“Itu tiga tantangan besar yang harus dijembatani, tapi bukan tidak mungkin berjalan. Perlu kerja
bersama untuk membangun tiga hal ini.”

Sebelumnya,  pada 24 April 2018, Solidaritas Organisasi Sipil (SOS) untuk Tanah Papua
menyampaikan kritik atas program bagi-bagi sertifikat oleh Jokowi sebagai bagian dari program
reforma agraria.

Kritik ini disampaikan sebagai respon atas pembagian 3.331 sertfikat tanah bagi masyarakat di
10 kabupaten di Papua. Sertifikat-sertifikat ini secara simbolis dibagikan Jokowi saat berkunjung
ke Papua,  13 April 2018.

SOS untuk Tanah Papua dalam pernyataan sikap menyebutkan, kebijakan dan program reforma
agraria di Tanah Papua tanpa konsultasi luas,  terutama dengan masyarakat adat sebagai pemilik
ulayat.

Penetapan tanah obyek reforma agraria (Tora) tanpa menghormati hak-hak masyarakat adat,
termasuk mengabaikan konflik agraria yang belum terselesaikan.

“Kami menemukan Tora yang tergambarkan dalam peta indikatif untuk program redistribusi aset
berada dalam wilayah adat dan kawasan hutan yang masih tanah adat, dikuasai, dimilik dan
dikelola masyarakat adat,” kata Wirya dari Jerat Papua, salah satu lembaga yang masuk SOS
untuk Tanah Papua.

Selain itu, tanah-tanah yang didaftarkan dan dilegalisasikan melalui BPN di daerah, terindikasi
memiliki konflik-konflik penguasaan dan pemilikan, terutama obyek tanah di program nasional
transmigrasi dan sawah baru.

Program reforma agraria di Tanah Papua,  melalui legalisasi dan redistribusi aset, katanya,  juga
dinilai berpotensi menghapus sistem penguasaan dan pemilikan tanah komunal berubah jadi
tanah pribadi (individu) bahkan badan usaha tertentu.
Privatisasi pemilikan hak tanah melalui kebijakan dan komersialisasi, katanya,  akan mengancam
hilangnya keberadaan dan hak masyarakat adat Papua. Juga, memiskinkan dan menghilangkan
sistem sosial ekonomi masyarakat adat Papua yang masih tergantung pada tanah dan kekayaan
alam.

Masih gamang?

Martua Sirait, dari Samdhana Institute mengatakan, pada 2013 pemerintah terlihat masih gamang
atas putusan MK-35.

Hal ini terlihat,  baru satu tahun setelah putusan, tepatnya Juni 2014, Kementerian Dalam Negeri
atas supervisi Nota Kesepahaman Bersama 12 kementerian dan lembaga atas supervisi KPK, dan
rekomendasi Inkuiri Nasional Komnas HAM menerbitkan Permendagri no 52/2014. Ia mengatur
soal pedoman pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, sebagai pedoman
pemerintah daerah dalam menerbitkan peraturan, dengan lampiran sangat jelas.

Gayung bersambut, pada 2015, KLHK menerbitkan PemenLHK No 32/2015 tentang Hutan Hak.
“Secara eksplisit mengklasifikasikan hutan adat sebagai hutan hak, yang akhirnya jadi pedoman
bagi KLHK dalam proses pengakuan hutan adat,” katanya.

Kebijakan pun terus disempurnakan, seperti pedoman jelas bagi pemerintah daerah dan
masyarakat dalam mengajukan aplikasi pengakuan hutan adat dan masuk dalam program
perhutanan sosial.

Terbit beberapa kebijakan lain, seperti Perpres 88/2017, Permenko Ekonomi No. 3/2018
mengenai pedoman pelaksanaan tugas tim inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah di
kawasan hutan  dan SK Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. Juga Surat
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 184/2018 tentang penunjukan gugus tugas multipihak
penyelesaian permasalahan lahan, perambahan dan usulan wilayah adat di kawasan konservasi.

Semua itu, katanya, berkaitan dengan pemenuhan hak hak masyarakat adat di kawasan hutan,
termasuk kawasan konservasi.

“Ini sangat penting dalam mendapatkan kesamaan pandang lintas kementerian soal pemenuhan
hak hak konstitusional masyarakat adat,” katanya.

Meskipun sudah ada beragam aturan, katanya, penting ada UU Masyarakat Adat ahar lebih jelas
menjabarkan hak-hak mereka.
Dengan UU, katanya, bisa lebih jelas bahwa langkah pengakuan hak-hak masyarakat adat bukan
hanya KLHK tetapi harus diikuti kementerian lain, seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral dan lain-lain.

“Karena itu, harus jadi UU yang lebih jelas menjabarkan hak hak masyarakat adat dan
bagaimana negara menghormati, mengakui, melindungi, memenuhi dan memajukan. Di sinilah
pentingnya UU yang baru dikirimkan suratnya oleh Presiden kepada DPR untuk pembahasan.”

Pengolahan sagu secara sederhana di Desa Malancan, Siberut Utara, Mentawai. Masyarakat adat
di sini, hidup bergantung hutan sekitar. Kehidupan mereka terancam kala pebisnis ekstraktif
berusaha masuk. Dengan begitu, pengakuan dan penetapan wilayah adat dari pemerintah sangat
penting, demi memperkuat perlindungan hak-hak masyarakat adat ini.  Foto Vinolia/ Mongabay
Indonesia.

Kesimpulan

Eksistensi hutan adat Kasepuhan Ciptagelar pasca diterbitkannya Putusan MK


No.35/PUU-X/2012 jika dilihat dari sisi yuridis normatif dinilai tidak eksis. Karena berdasarkan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan
Hak,syarat pengajuan permohonan penetapan Hutan Hak oleh Menteri maka harus memenuhi
syarat-syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) , yaitu : Syarat permohonan penetapan
hutan adat meliputi: a. Terdapat masyarakat hukum adat atau hak ulayat yang telah diakui oleh
pemerintah daerah melalui produk hukum daerah; b. Terdapat wilayah adat yang sebagian atau
seluruhnya berupa hutan; c. Surat pernyataan dari masyarakat hukum adat untuk menetapkan
wilayah adatnya sebagai hutan adat. Jika dilihat dari sisi yuridis empiris, hutan adat Kasepuhan
Ciptagelar dinilai eksis. Karena berdasarkan historisnya pun keberadaan hutan adat Kasepuhan
Ciptagelar sudah jauh lebih dulu ada daripada hutan konservasi TNGHS.Dari sini terlihat jelas
bahwa eksistensi hutan adat Kasepuhan Ciptagelar masih bersifat status quo, karena masing-
masing pihak memiliki dasar tersendiri dalam melihat eksistensi hutan adat Kasepuhan
Ciptagelar. Pihak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melihat tidak adanya
eksistensi hutan adat Kasepuhan Ciptagelar, hutan adat Kasepuhan Ciptagelar tidak memiliki
bukti penetapan status hutan adat sebagaimana mestinya. Karena menurut Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, eksistensi hutan adat masyarakat hukum adat di Indonesia
diawali dengan adanya pengakuan atas masyarakat hukum adat setempat melalui produk hukum
daerah yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat untuk kemudian dapat mengajukan
permohonan SK Penetapan Status Hutan Adat kepada Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan. Pihak Kasepuhan Ciptagelar melihat adanya eksistensi hutan adat Kasepuhan
Ciptagelar, karena secara historis didalam hutan adat Kasepuhan Ciptagelar terdapat bukti-bukti
sejarah berupa punden berundak, menhir, batu tatapakan, dan sebagainya yang mereka percaya
sebagai salah satu bukti bahwa leluhur mereka pernah tinggal di hutan tersebut. Jauh sebelum
adanya TNGHS pun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sudah berada di tempat tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Ki Karma, seorang kokolot lemburyang bertugas
sebagai kemit leuweungatau penjaga hutan adat Kasepuhan Ciptagelar, hutan adat Kasepuhan
Ciptagelar sudah dibuka dan dimanfaatkan sebagai huma atau ladang oleh para baris kolotsejak
tahun 1942 jauh sebelum adanya perluasan TNGHS. Sehingga bagi masyarakat Kasepuhan
Ciptagelar, hutan adat mereka eksis bahkan sejak TNGHS masih berstatus cagar alam dibawah
pengelolaan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.Langkah-langkah yang digunakan untuk
menyelesaikan tumpang tindih status hutan adat Kasepuhan Ciptagelar dengan hutan konservasi
TNGHS dari pihak Kasepuhan Ciptagelar dan TNGHS selama ini menyelesaikannya dengan
cara damai, mengajak musyawarah, melakukan penyuluhan, dan bekerja sama dalam menjaga
hutan dengan adanya Pam Swakarsa dari pihak Kasepuhan Ciptagelar yang bersama dengan
polisi hutan melakukan patroli hutan.Adapun musyawarah yang mereka lakukan menghasilkan
kesepakatan tentang adanya area khusus untuk mengambil manfaat hutan terutama kayu yang
disebut sebagai area pangsuluhan. Adanya area pangsuluhanini diharapkan antara pihak TNGHS
dan pihak Kasepuhan Ciptagelar tidak lagi saling merasa terganggu dengan tumpang tindih status
hutan. Area pangsuluhanini dibuat berada diluar zona inti TNGHS agar tidak mengganggu fungsi
zona inti tersebut. Merekapun saling bekerja sama untuk menjaga hutan dengan dibentuknya
Pam-swakarsa dengan jumlah total 85 orang dari Kasepuhan Ciptagelar dan 15 orang dari
TNGHS.Sedangkan langkah-langkah penyelesaian tumpang tindih status hutan dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sebagai tindak lanjut dari Putusan MK No.35/PUU-X/2012
terbitlah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.32 tahun 2015 tentang Hutan
Hak, lalu terbit juga Peraturan Dirjen PSKL No. 1 tahun 2016 tentang tata cara Tata Cara
Verifikasi dan Validasi Hutan Hak dan terakhirterbit SK Menteri Kehutanan No. 327 tahun 2016
tanggal 26 April tentang Perubahan Fungsi Sebagian Kawasan Hutan Taman Nasional Gunung
Halimun Salak Seluas ±17.373 Hektar dan Pengembalian Areal Penggunaan Lain (Enclave)
Seluas ±7.847 Hektar di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi Provinsi Jawa Barat dam
Kabupaten Lebak Provinsi Banten.Penyelesaian tumpang tindih status hutan berdasarkan
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia, Menteri Kehutanan Republik
Indonesia, Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia, dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor : 79 Tahun 2014, Nomor : PB.3/Menhut-11/2014, Nomor :
17/PRT/M/2014, Nomor : 8/SKB/X/2014 Tentang Tata Cara Penyelesaian Penguasaan Tanah
Yang Berada Di Dalam Kawasan Hutan Pasal 3 ayat (1) dan (2) diatur bahwa dalam rangka
penyelesaian hak ulayat dan penguasaan tanah yang berada di dalam kawasan hutan yang
terletak lintas kabupaten/kota, Gubernur membentuk tim IP4T. Tim IP4T yang dimaksud, terdiri
atas : a.Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional sebagai Ketua merangkap anggota ;
b.Unsur Dinas Provinsi yang menangani urusan di bidang Kehutanan sebagai sekretaris
merangkap anggota; c.Unsur Balai Pemantapan Kawasan Hutan sebagai anggota; d.Unsur
Dinas/Badan Provinsi yang menangani urusan di bidang tataruang sebagai anggota; e.Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota terkait sebagai anggota; f.Camat setempat atau pejabat yang
ditunjuk sebagai anggota;g.Lurah/Kepala Desa setempat atau sebutan lain yang disamakan
dengan itu sebagai anggota.Tim IP4T memiliki tugas sebagaimana diatur dalam Pasal 4, yaitu :
a.Menerima pendaftaran permohonan IP4T; b.Melakukan verifikasi permohonan;
c.Melaksanakan penataan lapangan;d.Melakukan analisa data yuridis dan data fisik bidang-
bidang tanah yang berada di dalam kawasan hutan; e.Menerbitkan hasil analisis berupa
rekomendasi dengan melapirkan Peta IP4T Non Kadastral dan Surat Pernyataan Penguasaan
Fisik Bidang Tanah (SP2FBT) yang ditandatangani o;eh masing-masing pemohon serta salinan
bukti-bukti penguasaan tanah lainnya;f.Menyerahkan hasil analisis sebagaimana dimaksud pada
huruf e kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional/Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.Diterbitkannya beberapa peraturan sebagai upaya tindak lanjut dari Putusan MK
No.35/PUU-X/2012 diharapkan tidak ada lagi tumpang tindih status hutan yang terjadi di
Indonesia dan dapat mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa sebagaimana yang
dicita-citakan oleh para pendiri bangsa ini.
TUGAS ARTIKEL KEHUTANAN DAN SDA

HJ. YENNY A.S,SH,MH

NAMA:

TRI HARI AJI PRANOTO

1710116464

ALVALAMI

1710116372

DANANG FAJAR .P

1710116469

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCA BHAKTI
PONTIANAK

Anda mungkin juga menyukai