Anda di halaman 1dari 10

ASUHAN KEGAWATDARURATAN DENGAN ATONIA UTERI

DISUSUN OLEH :

AKADEMI KEBIDANAN KELUARGA BUNDA JAMBI


2015
Atonia Uteri
Atonia uteria (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15
detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (JNPKR, Asuhan
Persalinan Normal, Depkes Jakarta ; 2002).
Setelah plasenta lahir, fundus harus selalu di palpasi untuk memastikan bahwa
uterus berkontraksi dengan baik. Kegagalan uterus untuk berkontraksi setelah
melahiirkan sering menjadi penyebab perdarahan obstetris. Faktor predisposisi atonia
uteri diperlihatkan di Tabel 56-1. Pembedahan antara perdarahan akibat atonia uterus
dan akibat laserasi secara tentatif di dasarkan pada kondisi uterus. Uterus yang atoniik
akanlembek dan tidak keras pada palpasi. Jika tetap terjadi perdarahan meskipun uterus
berkontraksi dengan kuat, kausa perdarahanya kemungkinan besar adalah
laserasi. Darah yang merah segar juga mengisyaratkan laserasi. Uuntuk memastikan
peran laserasi sebagai kausa perdarahan, harus dillakukan pemeriksaan yang cermat
terhadap vagina, serviks dan uterus.
Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh atonia dan trauma, terutama
setelah pelahiran operatif mayor. Secara umum, setelah setiap kelahiran harus
dilakukan inspeksi terhadap inspeksi terhadap serviks dan vagina untuk mengidentifkasi
perdarahan akibat laserasi. Anestesi harus adekuat untuk mencegah rasa tidak nyaman
selama pemeriksaan ini. Pemeriksaan ringga uterus, serviks dan seluruh vagina
merupakan hal yang esensial setelah ekstraksi bokong, setelah versi podalik iinterna,
dan setelah persalinan pervaginam pada seorang wanita dengan riwayat sesar.
Fisiologi
Menjelang aterm, diperkirakan bahwa sekitar 600 ml/ mnt darah mengalir
melalui ruang antarvilus. Saat plasenta terlepas, banyak arteri dan vena yang
menyalurkan darah menuju dan dari plasenta terputus secara mendadak. Di
tempat implantasi plasenta, diperlukan kontraksi dan retraksi miometrium untuk
menekan pembuluh-pembuluh tersebut dan menyebabkan obliterasi lumen agar
perdarahan dapat dikendalikan. Potongan plasenta atau bekuan darah yang
melekat akan menghambat kontraksi dan retraksi efektif miometrium sehingga
hemostasis di tempat implantasi tersebut terganggu. Jika miometrium di tempat
implantasi plasenta dan disekitarnya berkontraksi dan beretraksi dengan kuat, kecil
kemungkinan terjadi perdarahan yang fatal meskipun terjadi gangguan mekanisme
pembekuan yang hebat.
Selama kala tiga persalinan, akan terjadi perdarahan tak-terhindarkan yang
disebabkan oleh pemisahan parsial sementara plasenta. Sewaktu plasenta
terlepas, darah dari tempat implantasi dapat cepat lolos kedalam vagina
(pemisahan duncan) atau tersembunyi di balik plasenta dan membran (pemisahan
schultze) sampai plasenta lahir. Pengeluaran plasenta harus diupayakan melalui
tekanan manual di fundus seperti di jelaskan di Bab 19. Turunnya plasenta ditandai
oleh kendurnya tali pusat. Jika perdarahan menetap, diindikasikan pengeluaran
plasenta secara manual. Uteus harus di pijat jika tidak berkontraksi dengan kuat.
Patofisiologi
Perdarahan obstetri sering disebabkan oleh kegagalan uterus untuk
berkontraksi secara memadai setelah pelahiran. Pada banyak kasus, perdarahan
postpartum dapat diperkirakan jauh sebelum pelahiran. Contoh-contoh ketika
trauma dapat menyebabkan perdarahan postpartum anatara lain pelahiran janin
besar, pelahiran dengan forseps tengah, rotasi forseps, setiap manipulasi
intrauterus, dan mungkin persalinan pervaginam setelah seksio sesarea (VBAC)
atau insisi uterus lainnya. Atonia uteri yang menyebabkan perdarahan dapat
diperkirakan apabila digunakan zat-zat anestetik berhalogen dalam konsentrasi
tinggi yang menyebabkan relaksasi uterus (Gilstrap dkk, 1987).
Uterus yang mengalami overdistensi besar kemungkinan besar mengalami
hipotonia setelah persalinan. Dengan demikian, wanita dengan janin besar, janin
multipel, atau hidramnion rentan terhadap perdarahan akibat atonia uteri.
Kehilangan darah pada persalinan kembar, sebagai contoh, rata-rata hampir 1000
ml dan mungkin jauh lebih banyak (pritchard, 1965). Wanita yang persalinannya
ditandai dengan his yang terlalu kuat atau tidak efektif juga dengan kemuungkinan
mengalami perdarahan berlebihan akibat atonia uteri setelah melahirkan.
Faktor Predisposisi
1. Melakukan secara rutin manajemen aktif kala III pada semua wanita
yang bersalin karena hal ini dapat menurunkan insidens perdarahan yang
pasca persalinan akibat atonia uteri.
2. Pemberian misoprostol peroral 2-3 tablet (400-600 µg) segera setelah
bayi lahir.
3. Beberapa faktor predisposisi terjadinya atonia uteri adalah:
4. Regangan rahim yang berlebihan karena kehamilan gemeli,
polihidramnion, atau anak teralu besar.
5. Kelelahan karena persalinan lama atau persalinan kasep.
6. Persalinan grande-multipara.
7. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemis atau menderita penyakit
menahun.
8. Mioma uteri yangmenggangu kontraksi rahim.
9. Infeksi intrauterin (korioamnionitis).
10. Ada riwayat pernah atonia uteri sebelumnya.
Tanda dan Gejala Atonia Uteri
1. Perdarahan Pervaginam
2. Konsistensi rahim lunak
3. Fundus uteri naik.
4. Terdapat tanda-tanda syok
Penatalaksanaan
1. Kenali dan tegakan diagnosis kerja atonia uteri
2. Masase uterus, berikan oksitosin dan ergometrin intravena, bila
ada perbaikan dan perdarahan berhenti, oksitosin dilanjutkan
perinfus.
3. Bila tidak ada perbaikan dilakukan kompresi bimanual, dan
kemudian dipasang tampon uterovaginal padat. Kalau cara ini
berhasil, dipertahankan selama 24 jam.
4. Kompresi bimanual eksternal, menekan uterus melalui dinding
abdomen dengan jalan saling mendekatkan kedua belah telapak
tangan yang melingkupi uterus. Pantau aliran darah yang keluar.
Bila perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan
hingga uterus dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil
dilakukan kompresi bimanual internal.
5. Kompresi bimanual internal, uterus ditekan diantara telapak tangan pada
dinding abdomen dan tinju tangan dalam vagina untuk menjepit
pembuluh darah didalam miometrium (sebagai pengganti mekanisme
kontraksi). Perhatikan perdarahan yang terjadi. Pertahankan kondisi ini
bla perdarahan berkurang atau berhenti, tunggu hingga uterus
berkontraksi kembali. Apabia perdarahan tetap terjadi, coba kompresi
aorta abdominalis.
6. Kompresi aorta abdominalis, raba arteri femoralis dengan ujung jari
tangan kiri, pertahankan posisi tersebut, genggam tangan kanan
kemuadian tekankan pada daerah umbilikus, tegak lurus dengan sumbu
badan, hingga mencapai kolumna vertebralis. Penekanan yang tepat
akan menghentikan atau sangat mengurangi denyut arteri femoralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi.
7. Dalam keadaan uterus tidak respon terhadap oksitosin/ergometrin, bisa
dicoba prostaglandin F2a (250 mg) secara intramuskular atau langsung
pada miometrium (transabdominal). Bila perlu pemberiannya dapat
diulang dalam 5 menit dan tiap 2 atau 3 jam sesudahnya.
8. Laparotomi dilakukan bila uterus tapi lembek
dan perdarahan yang terjadi tetap>200
ml/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi
arteri uterina atau hipogastrik (khusus untuk
penderita yang belum punya anak atau muda
sekali).
9. Bila tidak berhasil, histerektomi adalah
langkah terakhir.
Pencegahan Atonia Uteri
Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan
pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut
sebagai terapi. Menejemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan
dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya
yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani
seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah
atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah
bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bolus atau 10-20
unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.
Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai
uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini.
Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat, mempunyai
waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 4-10 menit. Penelitian di Canada
membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada
pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding
oksitosin.

Anda mungkin juga menyukai