Anda di halaman 1dari 14

TUGAS HUKUM BISNIS

HUKUM PERJANJIAN DAN HUKUM PERIKATAN

NAMA : MADE GENTA DHARMA FUJANA


NPM : 1833121078
KELAS : D2 AKUNTANSI
DAFTAR ISI
BAB I..........................................................................................................................................................2
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................................2
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................................3
2.1 Pengertian Perjanjian...................................................................................................................3
2.2 Azas-Azas Perjanjian...................................................................................................................3
2.3 Subyek Dan Obyek Perjanjian.....................................................................................................4
2.4 Syarat Sahnya Perjanjian.............................................................................................................5
2.5 Bentuk – Bentuk Perjanjian.........................................................................................................6
2.6 Wanprestasi.................................................................................................................................7
BAB III.....................................................................................................................................................12
3.1 KESIMPULAN...............................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................................13

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum bertujuan mengatur berbagai kepentingan manusia dalam rangka pergaulan hidup di
masyarakat. Kepentingan manusia dalam masyarakat begitu luas, mulai dari kepentingan pribadi
hingga masyarakat dengan Negara. Untuk itu pergolongan hukum privat mengatur kepentingan
individu atau pribadi, seperti hukum dagang dan hukum perdata. Hukum perikatan yang terdapat
dalam buku III kitab undang-undang hukum perdata merupakan hukum yan bersifat khusus
dalam melakukan perjanjian dan perbuatan hukum yang bersifat ekonomis atau perbuatan hukum
yang dapat dinilai dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum.
Dalam kegiatan ekonomi terdapat upaya untuk mendapatkan keuntungan atau laba. Namun harus
berdasarkan peraturan dan norma yang terdapat dalam undang-undang yang berlaku maupun
hukum yang berlaku. Dengan adanya hubungan hukum maka terjadi pertalian hubungan subjek
hukum dengan objek hukum (hubungan hak kebendaan). Dalam hukum perjanjian didalamnya
terdapat dua azas yaitu azas konsensualitas dan azas kebebasan berkontrak.
Dalam perkembangan perekonomian di Indonesia, tentunya memerlukan perangkat hukum
nasional yang sesuai dengan hukum perikatan atau kontrak yang berkembang dinamis dalam
masyarakat melengkapi perangkat perundang-undangan. Di Indonesia berbagai peratutran
undang-undang dibuat oleh pemerintah Indonesia telah menggantikan sebagian kitab undang-
undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang. Naumun untuk mengisi
kekosongan hukum di Indonesia maka ke dua kitab undang-undang itu masih digunakan sampai
ada peraturan perundang-undangan yang baru untuk menggantinya.
1.2 Rumusan Masalah
1) Apakah pengertian dari perjanjian?
2) Apa saja azas-azas dalam perjanjian
3) Apa yang dimaksud dengan subyek dan obyek perjanjian?
4) Apa saja syarat sahnya dari sebuah perjanjian dalam hukum?
5) Bagaimana bentuk-bentuk perjanjian?
6) Apa yang dimaksud dengan wanprestasi dan apa saja sanksinya?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Perjanjian


Menurut Pasal 1313 KUH Perdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu
hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan.
2.2 Azas-Azas Perjanjian
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata merumuskan ada lima azas dalam hukum perjanjian :
a. Azas Kebebasan (Freedom of Contract)
Azas kebebasan dalam hukum perjanjian memandang bahwa setiap pihak bebas untuk
menentukan apakah mereka akan membuat perjanjian atau tidak, bebas mengadakan perjanjian
dengan siapa pun, bebas menentukan isi perjanjian, cara pelaksanaan, serta syarat-syarat
perjanjian, dan bebas menentukan bentuk perjanjian, apakah lisan atau tertulis.
Azas tersebut telah ada sejak zaman Yunani dan mengalami perkembangan pada zaman
Pertengahan (Rennaisance) dengan latar belakang paham individualisme yang memandang
bahwa setiap orang bebas memperoleh apa saja yang dia kehendaki. Pelopor paham ini adalah
Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
Pasal 1338 ayat (1) KUHP memuat ketentuan mengenai azas kebebasan bahwa: Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
b. Azas Konsensualisme (Concensualism)
Azas ini memandang bahwa sebuah perjanjian disebut sah apabila ada kesepakatan, yakni
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Azas ini
termaktub dalam pasal 1320 ayat (1) KUHP, berkaitan dengan bentuk perjanjian.
Azas ini lahir dari hukum Romawi dan Jerman. Hukum Romawi mengenal azas contractus verbis
literis dan contractus innominat, sebuah perjanjian dianggap terjadi apabila memenuhi suatu
bentuk yang ditetapkan.
Sementara hukum Jerman, mengenal istilah perjanjian riil dan perjanjian formal. Disebut
perjanjian riil apabila perjanjian tersebut dibuat dan dilaksanakan secara kontan dan disebut
perjanjian formal apabila perjanjian tersebut dalam bentuk tertulis.

3
c. Azas Kepastian Hukum (Pacta Sunt Servanda)
Asas ini memandang bahwa suatu perjanjian memiliki kepastian hukum berkaitan dengan akibat
dari perjanjian tersebut, pihak ketiga (hakim, dll.) harus menghormati substansi perjanjian dan
tidak boleh melakukan intervensi. Azas kepastian hukum tersebut termaktub dalam pasal 1338
ayat (1) KUHP.
d. Azas Itikad Baik (Good Faith)
Azas ini memandang bahwa pelaksanaan substansi perjanjian antara kedua belah pihak
didasarkan pada kepercayaan dan itikad baik. Itikad baik tersebut dibedakan menjadi dua, yaitu
nisbi dan mutlak.
Itikad baik nisbi berkaitan dengan sikap dan tingkah laku subjek perjanjian secara nyata,
sedangkan itikad baik mutlak memandang bahwa penilaian itikad baik menyangkut ukuran
objektif dan tidak memihak berdasarkan norma-norma yang ada. Azas ini termaktub dalam pasal
1338 ayat (3) KUHP.
e. Azas Kepribadian (Personality)
Azas ini memandang bahwa setiap pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan kepentingan
diri sendiri. Sebagaimana termaktub dalam pasal 1315 KUHP yang berbunyi: “Pada umumnya
seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri,” dan
ditegaskan dalam pasal 1340: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.”
Dengan demikian, sebuah perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak. Kecuali, ada kasus
khusus sebagaimana disebutkan dalam pasal 1317 KUHP: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk
kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
2.3 Subyek Dan Obyek Perjanjian
 Pengertian Subyek Hukum
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai
hak dan kewajiban yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedangkan
pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari
hak-hak. Dalam menjalankan perbuatan hukum, subyek hukum memiliki wewenang.
Wewenang subyek hukum ini di bagi menjadi dua. Pertama, wewenang untuk
mempunyai hak (rechtsbevoegdheid) dan Kedua, wewenang untuk melakukan
(menjalankan) perbuatan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.

4
 Pembagian Subyek Hukum :
1. Manusia
Pengertian secara yuridisnya ada dua alasan yang menyebutkan alasan manusia sebagai
subyek hukum yaitu Pertama, manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kedua,
kewenangan hukum. Dalam hal ini kewenangan hukum berarti, kecakapan untuk menjadi
subyek hukum, yaitu sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Pada dasarnya manusia mempunyai hak sejak dalam kendungan (Pasal 2 KUH Perdata), namun
tidak semua manusia mempunyai kewenangan dan kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum, orang yang dapat melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa
(berumur 21 tahun atau sudah kawin), sedangkan orang-orang yang tidak cakap melakukan
perbuatan hukum adalah orang yang belum dewasa, orang yang ditaruh dibawah pengampuan,
seorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).
2. Badan Hukum
Menurut sifatnya badan hukum ini dibagi menjadi dua yaitu:
 Badan hukum publik, yaitu badan hukum yang di dirikan oleh pemerintah.
Contohnya : Provinsi, kotapraja, lembaga-lembaga dan bank-bank negara
 Badan hukum privat, adalah badan hukum yang didirikan oleh perivat (bukan
pemerintah)
Contohnya : Perhimpunan, Perseroan Terbatas, Firma, Koprasi, Yayasan.
3. Pengertian Obyek Hukum
Obyek hukum ialah segala sesuatu yang dapat menjadi hak dari subyek hukum. Atau
segala sesuatu yang dapat menjadi obyek suatu perhubungan hukum. Obyek hukum dapat
pula disebut sebagai benda. Merujuk pada KUHPerdata, benda adalah tiap-tiap barang
atau tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik. Benda itu sendiri dibagi menjadi
dua yaitu benda berwujud dan benda tidak berwujud.

2.4 Syarat Sahnya Perjanjian


Berdasarkan ketentuan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian
dinyatakan sah apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat komulatif. Keempat syarat untuk sahnya
perjanjian tersebut antara lain :
 Sepakat diantara mereka yang mengikatkan diri. Artinya para pihak yang
membuat.
 Perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal pokok atau materi yang
diperjanjikan. Dan kesepakatan itu dianggap tidak ada apabila diberikan karena
kekeliruan, kekhilafan, paksaan ataupun penipuan.
 Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Arti kata kecakapan yang dimaksud
dalam hal ini adalah bahwa para pihak telah dinyatakan dewasa oleh hukum,
yakni sesuai dengan ketentuan KUHPerdata, mereka yang telah berusia 21 tahun,
sudah atau pernah menikah. Cakap juga berarti orang yang sudah dewasa, sehat

5
akal pikiran, dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk
melakukan suatu perbuatan tertentu. Dan orang-orang yang dianggap tidak cakap
untuk melakukan perbuatan hukum yaitu : orang-orang yang belum dewasa,
menurut Pasal 1330 KUHPerdata jo. Pasal 47 UU Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan; orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut Pasal
1330 jo. Pasal 433 KUPerdata; serta orang-orang yang dilarang oleh undang-
undang untuk melakukan perbuatan hukum tertentu seperti orang yang telah
dinyatakan pailit oleh pengadilan.
 Suatu Hal Tertentu. Artinya, dalam membuat perjanjian, apa yang diperjanjikan
harus jelas sehingga hak dan kewajiban para pihak bisa ditetapkan.
 Suatu Sebab Yang Halal. Artinya, suatu perjanjian harus berdasarkan sebab yang
halal yang tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 1337 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, yaitu :
 Tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
 Tidak bertentangan dengan kesusilaan.
 Tidak bertentangan dengan undang-undang.
Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, syarat kesatu dan kedua dinamakan syarat subjektif,
karena berbicara mengenai subjek yang mengadakan perjanjian, sedangkan ketiga dan keempat
dinamakan syarat objektif, karena berbicara mengenai objek yang diperjanjikan dalam sebuah
perjanjian. Dalam perjanjian bilamana syarat-syarat subjektif tidak terpenuhi maka perjanjiannya
dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan, perjanjian tersebut tetap mengikat.
Sedangkan, bilamana syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya batal demi
hukum. Artinya batal demi hukum bahwa, dari semula dianggap tidak pernah ada perjanjian
sehingga tidak ada dasar untuk saling menuntut di pengadilan.
2.5 Bentuk – Bentuk Perjanjian
Berdasarkan pasal 1233 KUH Perdata dapat diketahui bahwa perikatan di bagi menjadi dua
golongan besar yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .
Selanjutnya menurut pasal 1352 KUH .Perdata terhadap perikatan-perikatan yang bersumber
pada undang undang di bagi lagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada persetujuan (perjanjian )
2. Perikatan prikatan yang bersumber pada undang undang .
Menurut pasal 1353 KUH .Perdata perikatan tersebut diatas dapat dibagi lagi menjadi dua
macam atau dua golongan yaitu sebagai berikut :
1. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undng berdasarkan perbuatan seseorang
yang tidak melanggar hukum . mislnya sebagai mana yang di atur dalam pasal
1359KUH . Perdata yaitu tentang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela dan
6
seperti yang si atur dlam pasal 1359 KUH .Perdata tentang pembayaran yang tidak di
wajibkan.
2. Perikatan perikatan yang bersumber pada undang undang berdasarkan perbuatan
seseorang yang melanggar hukum . hal ini diatur didalam pasal 1365KUH. Perdata.
Pada umumya tidak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta di
tetapkan suatu janji , selain untuk dirinya sendiri .Menurut Mariam Darus Badrul Zaman bahwa
yang dimaksud dengan subjek perjanjian adalah :
1. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri
2. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya
3. Pihak ketiga

2.6 Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya
masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Tetapi
adakalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang
dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk. Adapun yang
dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau kesalahannya,
debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan
dalam keadaan memaksa. Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali
Sehubungan dengan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan
debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap
memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktunya.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru.
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak
dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.
Sedangkan menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu:
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Untuk mengatakan bahwa seseorang melakukan wanprestasi dalam suatu perjanjian, kadang-
kadang tidak mudah karena sering sekali juga tidak dijanjikan dengan tepat kapan suatu pihak
diwajibkan melakukan prestasi yang diperjanjikan.

7
Dalam hal bentuk prestasi debitur dalam perjanjian yang berupa tidak berbuat sesuatu, akan
mudah ditentukan sejak kapan debitur melakukan wanprestasi yaitu sejak pada saat debitur
berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam perjanjian. Sedangkan bentuk prestasi debitur
yang berupa berbuat sesuatu yang memberikan sesuatu apabila batas waktunya ditentukan dalam
perjanjian maka menurut pasal 1238 KUH Perdata debitur dianggap melakukan wanprestasi
dengan lewatnya batas waktu tersebut. Dan apabila tidak ditentukan mengenai batas waktunya
maka untuk menyatakan seseorang debitur melakukan wanprestasi, diperlukan surat peringatan
tertulis dari kreditur yang diberikan kepada debitur. Surat peringatan tersebut disebut dengan
somasi.
Somasi adalah pemberitahuan atau pernyataan dari kreditur kepada debitur yang berisi ketentuan
bahwa kreditur menghendaki pemenuhan prestasi seketika atau dalam jangka waktu seperti yang
ditentukan dalam pemberitahuan itu.
Menurut pasal 1238 KUH Perdata yang menyakan bahwa: Si berutang adalah lalai, apabila ia
dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi
perikatan sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan
lewatnya waktu yang ditentukan.
Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila
sudah ada somasi (in gebreke stelling). Adapun bentuk-bentuk somasi menurut pasal 1238 KUH
Perdata adalah:
1. Surat perintah
Surat perintah tersebut berasal dari hakim yang biasanya berbentuk penetapan. Dengan
surat penetapan ini juru sita memberitahukan secara lisan kepada debitur kapan selambat-
lambatnya dia harus berprestasi. Hal ini biasa disebut exploit juru Sita.
2. Akta sejenis
Akta ini dapat berupa akta dibawah tangan maupun akta notaris.
3. Tersimpul dalam perikatan itu sendiri
Maksudnya sejak pembuatan perjanjian, kreditur sudah menentukan saat adanya
wanprestasi.
Dalam perkembangannya, suatu somasi atau teguran terhadap debitur yang melalaikan
kewajibannya dapat dilakukan secara lisan akan tetapi untuk mempermudah pembuktian
dihadapan hakim apabila masalah tersebut berlanjut ke pengadilan maka sebaiknya diberikan
peringatan secara tertulis.
Dalam keadaan tertentu somasi tidak diperlukan untuk dinyatakan bahwa seorang debitur
melakukan wanprestasi yaitu dalam hal adanya batas waktu dalam perjanjian (fatal termijn),
prestasi dalam perjanjian berupa tidak berbuat sesuatu, debitur mengakui dirinya wanprestasi.
 Sanksi
Apabila debitur melakukan wanprestasi maka ada beberapa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada
debitur, yaitu:

8
a. Membayar kerugian yang diderita kreditur;
b. Pembatalan perjanjian;
c. Peralihan resiko;
d. Membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.

 Ganti Kerugian
Penggantian kerugian dapat dituntut menurut undang-undang berupa kosten, schaden en
interessen (pasal 1243 dsl)
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantikan itu, tidak hanya biaya-biaya yang
sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh-sungguh menimpa
benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa kehilangan keuntungan (interessen), yaitu
keuntungan yang didapat seandainya siberhutang tidak lalai (winstderving).
Bahwa kerugian yang harus diganti meliputi kerugian yang dapat diduga dan merupakan akibat
langsung dari wanprestasi, artinya ada hubungan sebab-akibat antara wanprestasi dengan
kerugian yang diderita. Berkaitan dengan hal ini ada dua sarjana yang mengemukakan teori
tentang sebab-akibat yaitu:
 Conditio Sine qua Non (Von Buri)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain) dan
peristiwa B tidak akan terjadi jika tidak ada pristiwa.
 Adequated Veroorzaking (Von Kries)
Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari peristiwa B (peristiwa lain). Bila
peristiwa A menurut pengalaman manusia yang normal diduga mampu menimbulkan
akibat (peristiwa B).
Dari kedua teori diatas maka yang lazim dianut adalah teori Adequated Veroorzaking karena
pelaku hanya bertanggung jawab atas kerugian yang selayaknya dapat dianggap sebagai akibat
dari perbuatan itu disamping itu teori inilah yang paling mendekati keadilan.
Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat mengajukan beberapa alasan untuk membela
dirinya, yaitu:
Mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa (overmach)
Mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai
Mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti
rugi.
 Keadaan Memaksa (overmach)
Debitur yang tidak dapat membuktikan bahwa tidak terlaksanya prestasi bukan karena
kesalahannya, diwajibkan membayar gantirugi. Sebaliknya debitur bebas dari kewajiban
membayar gantirugi, jika debitur karena keadaan memaksa tidak memberi atau berbuat sesuatu
yang diwajibkan atau telah melakukan perbuatan yang seharusnya ia tidak lakukan.

9
Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, yang
menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan
tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Keadaan memaksa menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat yaitu:

 Kreditur tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi.


 Debitor tidak lagi dapat dinyatakan wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar
ganti rugi.
 Resiko tidak beralih kepada debitor.
 Kreditor tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-balik.
Mengenai keadaan memaksa ada dua teori, yaitu teori obyektif dan teori subjektif. Menurut teori
obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang keadaan memaksa, jika pemenuhan
prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah
rumah tidak mungkin dilaksanakan karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami.
Menurut teori subyektif terdapat keadaan memaksa jika debitor yang bersangkutan mengingat
keadaan pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil harus
menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus dibuat dengan
bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya naik berlipat ganda, sehingga
jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif
mengakui adanya keadaan memaksa. Akan tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak
terdapat keadaan memaksa.
Keadaan memaksa dapat bersifat tetap dan sementara. Jika bersifat tetap maka berlakunya
perikatan berhenti sama sekali. Misalnya, barang yang akan diserahkan diluar kesalahan debitur
terbakar musnah.
Sedangkan keadaan memaksa yang bersifat sementara berlakunya perikatan ditunda. Setelah
keadaan memaksa itu hilang, maka perikatan bekerja kembali. Misalnya, larangan untuk
mengirimkan suatu barang dicabut atau barang yang hilang ditemukan kembali.
 Wanprestasi, Sanksi, Ganti Kerugian dan Keadaan Memaksa dalam Perspektif Fiqih
Muamalah
Dalam perjanjian/akad dapat saja terjadi kelalaian, baik ketika akad berlangsung maupun pada
saat pemenuhan prestasi. Hukum Islam dalam cabang fiqh muamalahnya juga
mengakui/mengakomodir wanprestasi, sanksi, ganti kerugian serta adanya keadaan memaksa,
berikut ini disajikan pemikiran salah satu ahli fiqih muamalat Indonesia, Prof. DR. H. Nasrun
Haroen, M.A.
Untuk kelalaian itu ada resiko yang harus ditanggung oleh pihak yang lalai, bentuk-bentuk
kelalaian itu menurut ulama, diantaranya pada akad Bay’ barang yang dijual bukan milik penjual

10
(misal barang wadiah atau ar-rahn), atau barang tersebut hasil curian, atau menurut perjanjian
harus diserahkan kerumah pembeli pada waktu tertentu, tetapi ternyata tidak diantarkan dan atau
tidak tepat waktu, atau barang rusak dalam perjalanan, atau barang yang diserahkan tidak sesuai
dengan contoh yang disetujui. Dalam kasus-kasus seperti ini resikonya adalah ganti rugi dari
pihak yang lalai.
Apabila barang itu bukan milik penjual, maka ia harus membayar ganti rugi terhadap harga yang
telah ia terima. Apabila kelalaian berkaitan dengan keterlambatan pengantaran barang, sehingga
tidak sesuai dengan perjanjian dan dilakukan dengan unsur kesengajaan, pihak penjual juga
harus membayar ganti rugi. Apabila dalam pengantaran barang terjadi kerusakan (sengaja atau
tidak), atau barang yang dibawa tidak sesuai dengan contoh yang disepakati maka barang
tersebut harus diganti.

11
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jadi, kegiatan perekonomian diatur oleh hukum perdata yang timbul dalam perikatan yang
bersumber dari perjanjian dan Undang-Undang. hukum perikatan digunakan dalam perbuatan
hukum jual-beli, sewa-menyewa, asuransi, perbankan, surat-surat berharga, perjanjian kerja,
pasar modal dan lainnya. Hukum perikatan juga menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualitas sebagai induk dari kebebasan para pihak dalam melakukan perikatan. Benda
sebagai objek perikatan disebut objek hukum dalam penyerahan benda bergerak dan tidak
bergerak merupakan salah satu prestasi yang harus dilakukan hak dan kewajibannya kepada
salah satu pihak dalam perikatan.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum diantara dua orang atau dua pihak, dimana pihak yang
satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain dan pihak yang lainnya itu
berkewajibanuntuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut dinamakan
kreditur (si berpiutang), sedangkan pihak lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu
dinamakan debitur (si berhutang).
Suatu perikatan bisa timbul baik karena perjanjian maupun karena undang-undang – UU dan
perjanjian adalah sumber perikatan. Dalam suatu perjanjian, para pihak yang menandatanganinya
sengaja menghendaki adanya hubungan hukum diantara mereka – menghendaki adanya
perikatan. Motivasi tindakan para pihak adalah untuk memperoleh seperangkat hak dan
kewajiban yang akan mengatur hubungan mereka, sehingga inisiatif munculnya hak dan
kewajiban perikatan itu ada pada mereka sendiri. Beda halnya dengan perikatan yang bersumber
pada undang-undang, dimana hak dan kewajiban yang muncul bukan merupakan motivasi para
pihak melainkan karena undang-undang mengaturnya demikian.
Perjanjian diatur dalam pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yaitu
suatu perbuatan yang mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih. Berbeda dengan perikatan yang merupakan suatu hubungan hukum, perjanjian
merupakan suatu perbuatan hukum. Perbuatan hukum itulah yang menimbulkan adanya
hubungan hukum perikatan, sehingga dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan sumber
perikatan.

12
DAFTAR PUSTAKA
Mashudi, 1995, Bab-bab Hukum Perikatan, Bandung: Mandar Maju
Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,
Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.
Silondae. Arus Akbar, Fariana. Andi,”Aspek Hukum dalam Ekonomi dan Bisnis”, Mitra Wacana
Media, 2010

13

Anda mungkin juga menyukai