Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH FARMAKOEKONOMI

ANALISIS MANFAAT BIAYA

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2


1. Oktovina Arruan (18334767)
2. Popi Pebriani (18334769)
3. Setiawati Islamiyah (18334763)

Dosen Pembimbing :

Jenny Pontoan, M.Farm., Apt

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

TAHUN PELAJARAN 2018/2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Biaya pelayanan kesehatan, khususnya biaya obat, telah meningkat tajam

beberapa dekade terakhir, dan kecenderungan ini tampaknya akan terus berlanjut.

Hal ini antara lain disebabkan populasi pasien usia lanjut yang semakin banyak

dengan konsekuensi meningkatnya penggunaan obat, adanya obat-obat baru yang

lebih mahal, dan perubahan pola pengobatan. Di sisi lain, sumber daya yang dapat

digunakan terbatas, sehingga harus dicari cara agar pelayanan kesehatan menjadi

lebih efisien dan ekonomis. Perkembangan farmakoepidemiologi saat ini tidak

hanya meneliti penggunaan dan efek obat dalam hal khasiat (efficacy) dan

keamanan (safety) saja, tetapi juga menganalisis dari segi ekonominya. Studi

khusus yang mempelajari hal ini dikenal dengan nama farmakoekonomi.

Farmakoekonomi adalah studi yang mengukur dan membandingkan antara

biaya dan hasil/konsekuensi dari suatu pengobatan. Tujuan farmakoekonomi

adalah untuk memberikan informasi yang dapat membantu para pembuat

kebijakan dalam menentukan pilihan atas alternatif-alternatif pengobatan yang

tersedia agar pelayanan kesehatan menjadi lebih efisien dan ekonomis. .

(Eisenberg JM)

Pihak-pihak yang berkepentingan dalam upaya menjadikan pelayanan

kesehatan lebih efisien dan ekonomis ditantang untuk mampu melakukan

penilaian menyeluruh terhadap suatu obat baik dari segi efektifitas obat maupun
dari segi nilai ekonomisnya. Untuk itu diperlukan bekal pengetahuan tentang

prinsip-prinsip farmakoekonomi dan keterampilan yang memadai dalam

melakukan evaluasi hasil studi farmakoekonomi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan analisis farmakoekonomi?

2. Bagaimana menggunakan metode analisis manfaat biaya?

C. Tujuan

1. Apa yang dimaksud dengan analisis farmakoekonomi?

2. Bagaimana menggunakan metode analisis manfaat biaya?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Farmakoekonomi

Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang

diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan kesehatan

(Orion, 1997). Farmakoekonomi juga didefenisikan sebagai deskripsi dan

analisis dari biaya terapi dalam suatu sistem pelayanan kesehatan. Lebih

spesifik lagi adalah sebuah penelitian tentang proses identifikasi, mengukur

dan membandingkan biaya, resiko dan keuntungan dari suatu program,

pelayanan dan terapi (Vogenberg, 2001)

Farmakoekonomi diperlukan karena adanya sumber daya yang

terbatas, dimana hal yang terpenting adalah bagaimana memberikan obat

yang efektif dengan dana yang tersedia, pengalokasian sumber daya yang

tersedia secara efisien, kebutuhan pasien dimana dari sudut pandang pasien

adalah biaya yang seminimal mungkin (Vogenberg, 2001).

B. Metode Kajian Farmakoekonomi


Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis, yang

dapat dilihat pada table di bawah ini. Empat metode analisis ini bukan hanya

mempertimbangkan efektivitas, keamanan, dan kualitas obat yang

dibandingkan, tetapi juga aspek ekonominya. Karena aspek ekonomi atau unit

moneter menjadi prinsip dasar kajian farmakoekonomi, hasil kajian yang


dilakukan diharapkan dapat memberikan masukan untuk menetapkan

penggunaan yang paling efisien dari sumber daya kesehatan yang terbatas

jumlahnya.

Tabel 1. Metode Analisis dalam Kajian Farmakoekonomi

Metode analisis Karakteristik analisis


Analisis minimalisasi Efek dua intervensi sama (atau setara),

biaya valuasi/

(AMiB) biaya dalam rupiah.


Analisis efektivitas biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi,

(AEB) hasil

pengobatan diukur dalam unit

alamiah/indikator

kesehatan, valuasi/biaya dalam rupiah.


Analisis utilitas-biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi,

(AUB) hasil pengobatan

dalam quality-adjusted life years

(QALY), valuasi/

biaya dalam rupiah.


Analisis manfaat-biaya Efek dari satu intervensi lebih tinggi,

(AMB) hasil pengobatan

dinyatakan dalam rupiah,

valuasi/biaya dalam rupiah.


Diadaptasi dari Newby and Hill, 2003.

Dari metode diatas, untuk membandingkan dua atau lebih intervensi

kesehatan yang memiliki tujuan berbeda atau dua program yang memberikan
hasil pengobatan dengan unit berbeda, dapat digunakan analisis manfaat biaya

(AMB). Pembandingan intervensi kesehatan dengan tujuan dan/atau unit hasil

pengobatan berbeda ini dimungkinkan karena, pada metode AMB, manfaat

(benefit) diukur sebagai manfaat ekonomi yang terkait (associated economic

benefit) dan dinyatakan dengan unit yang sama, yaitu unit moneter.

C. Analisis Manfaat-Biaya

Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah

suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan

membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap

manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam

satuan moneter (misal. Rupiah, US Dollar).

Suatu program kesehatan selalu diperbandingkan dengan beberapa

alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lainnya maupun dengan

tidak memberikan program/ intervensi. Nilai manfaat dari suatu

program/intervensi adalah meningkatnya hasil pengobatan (outcome) bila

dibandingkan dengan hasil serupa dari program / intervensi lain. Outcome

dapat berupa nilai terkait pasien (misal : kesembuhan, pulihnya abilitas fisik,

dll), nilai pilihan (manfaat keberadaan program/intervensi saat dibutuhkan),

dan nilai altruistik (manfaat peningkatan kesehatan orang lainnya). Parameter

outcome diukur dengan satuan moneter (mata uang), umumnya dengan

Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP). Dan untuk

menghitung surplus biaya program/intervensi, biaya dari program / intervensi


dan hal-hal terkaitnya (misal. obat, dokter, rumah sakit, home care, biaya

pasien dan keluarga, biaya kehilangan produktivitas, biaya lain karena

hilangnya waktu, dll) dikurangi biaya yang serupa dari program/intervensi

lainnya.

Dasar dari AMB adalah surplus manfaat, yaitu manfaat yang diperoleh

dikurangi dengan surplus biaya. Surplus manfaat adalah kriteria dasar dalam

AMB. Bila surplus manfaat suatu intervensi/program bernilai positif, maka

umumnya intervensi/program tersebut dapat diterima untuk dilaksanakan.

AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh

biaya dan manfaat yang relevan. Namun, perhitungan dari biaya (terutama

biaya tidak langsung) yang terkait biasanya diperdebatkan/kontroversial.

AMB jarang digunakan untuk membandingkan obat atau alternatif terapi

medis karena pertimbangan etika. Penilaian kondisi kesehatan menggunakan

nilai moneter dan metode yang dipakai untuk hal tersebut seringkali

diperdebatkan.

AMB memiliki dua keuntungan, yang salah satunya bersifat unik/khas

AMB. Keuntungan pertama, AMB memungkinkan adanya perbandingan

antara program/intervensi dengan outcome yang sangat berbeda (misal.

program klinik antikoagulan atau program klinik antidiabetes), sehingga

memungkinkan perbandingan dengan nilai moneter antar program/intervensi

yang sama sekali tidak berkaitan. Ketentuan pengambilan keputusannya

adalah memilih program/intervensi dengan surplus manfaat yang paling besar.


Keuntungan kedua, AMB adalah satu-satunya teknik yang dapat

digunakan untuk membandingkan internal satu program/intervensi. Bila

surplus manfaatnya bernilai positif, maka program/intervensi tersebut harus

dipilih/didanai/dilakukan. Kesulitan AMB adalah melakukan

konversi/menerjemahkan kondisi klinis non-moneter dan outcome kualitas

hidup (misal. tahun hidup terselamatkan) menjadi nilai moneter. Lebih lanjut,

metode yang umum digunakan untuk melakukan konversi/ penerjemahan

tersebut Kemauan untuk Membayar (Willingness to Pay, WTP) mengundang

perdebatan etika karena condong kepada preferensi kekayaan. Oleh

karenanya, teknik analisa ini tidak umum digunakan dalam perumusan

kebijakan kesehatan.

AMB umumnya dilakukan berdasarkan model dan menggunakan

asumsi-asumsi yang signifikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan analisa

sensitivitas untuk memvalidasi model dan asumsi yang digunakan serta untuk

menilai kekuatan dari hasil analisisnya.

BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan tentang analisis manfaat biaya diatas, maka

dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Farmakoekonomi adalah ilmu yang mengukur biaya dan hasil yang

diperoleh dihubungkan dengan penggunaan obat dalam perawatan

kesehatan.

2. Pada kajian farmakoekonomi dikenal empat metode analisis yaitu

analisis minimalisasi biaya, analisis efektivitas biaya, analisis utilitas

biaya dan analisis manfaat biaya.

3. Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah

suatu teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang

menghitung dan membandingkan surplus biaya suatu intervensi

kesehatan terhadap manfaatnya. Untuk itu, baik surplus biaya dan

manfaat diekspresikan dalam satuan moneter (misal. Rupiah, US

Dollar).

B. Saran

Setelah mempelajari mengenai analisis manfaat biaya, penulis

menyarankan kita untuk selalu menggali ilmu. Ilmu akan terus

berkembang, termasuk juga ilmu farmakoekonomi di dunia kesehatan. Hal

tersebut merupakan hal yang penting untuk diketahui oleh kita, mahasiswa

Farmasi.
DAFTAR PUSTAKA
Eisenberg JM, Schulman KA, Glick H, Koffer H. Pharmacoeconomics:

Economic Evaluation of Pharmaceuticals. In: Strom BL,ed.,

Pharmacoepidemiology, John Wiley & Sons Ltd., 1994, 469-

93http://www.ikatanapotekerindonesia.net/news/pharma-update/aplikasi-

farmakoekonomi.

Vogenberg FR., 2001, Introduction to applied pharmacoeconomics, McGraw-

Hill, USA.

Kemenkes RI, 2013, Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi, Indonesia.

Hal. 15,16,26,27

STUDI KASUS ANALISIS MANFAAT BIAYA


Pada tahun 2014, RSD Balung mengusulkan beberapa usulan program kepada

pemerintah pusat guna bertujuan untuk menunjang kegiatan operasional di RSD

Balung. Namun tidak semua usulan tersebut dapat diusulkan seluruhnya,

dikarenakan keterbatasan dana yang diberikan oleh pemerintah. Tujuan penelitian

ini adalah melakukan perhitungan Cost benefit analysis antara usulan pembelian

alat CT-Scan dengan usulan pembelian alat Laser dioda photocoagulator di RSD

Balung Jember. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kuantitatif

dengan unit analisis di Instalasi Radiologi dan Poli mata. Berdasarkan hasil

perhitungan dari tiap langkah dari Cost benefit analysis, didapatkan bahwa

masing-masing usulan memiliki nilai BCR yang berbeda dimana nilai BCR usulan

pembelian alat Laser dioda photocoagulator sebesar 0,858 lebih besar daripada

nilai BCR usulan pembelian alat CT-Scan yaitu sebesar 0,078. Berdasarkan nilai

BCR tersebut maka yang di prorioritaskan ialah alat Laser diode photocoagulator.

Keterangan :

Cara menghitung rasio benefit-cost. Rasio benefit-cost didapat dengan

membagi antara antara present value benefit dibagi dengan present value

cost.

Berdasarkan perhitungan tersebut diperoleh nilai rasio benefit-cost untuk

usulan pembelian alat CT-Scan dan untuk usulan pembelian alat Laser

dioda photocoagulator sebagai berikut.

a. RBC alat CT-Scan

PV (B) / PV (C)

2.858.641.181 / 36.735.711.463 = 0,078


b. RBC alat Laser dioda photocoagulator

PV (B) / PV (C)

3.034.003.845 / 3.555.272.967 = 0,858😂

MAKALAH ANALISIS FARMASI


DISUSUN OLEH : KELOMPOK 4

1. Setiawati Islamiyah (18334763)


2. Ni Made Feny Surya Astini (18334764)
3. Arian Sandy Roseno (18334768)
4. Daniel Januarto (18334770)
5. Putu Diah Kirana Martarina (18334771)

Dosen Pembimbing :

Lia Puspitasari, S.Farm, M.Si, Apt

FAKULTAS FARMASI

INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL

TAHUN PELAJARAN 2018/2019

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Penyakit yang menginfeksi masyarakat global merupakan pembunuh manusia


yang paling banyak, lebih banyak membunuh daripada konflik. Lebih dari satu
perempat kematian di dunia disebabkan karena terinfeksi penyakit. Penyakit
menular yang dimaksud antara lain HIV/AIDS, malaria, influenza, flu burung,
tuberculosis (TBC), demam, campak, SARS, dan sebagainya. Penyebaran
penyakit menular dan infeksi tersebut dapat dicegah dengan vaksin. Dalam
sejarah, vaksin adalah yang terefektif untuk melawan dan memusnahkan penyakit
menular. Pemberian vaksin pun gencar dilakukan dan merupakan suatu keharusan
di negara-negara termasuk di Indonesia yang mempunyai program imunisasi
nasional.
Seiring dengan semakin banyaknya penduduk dunia dan banyaknya penyakit
baru bermunculan semakin meningkat pula kebutuhan akan obat-obatan dan
vaksin. Permintaan pasar dunia terhadap kebutuhan vaksin terus mengalami
peningkatan, mencapai 15 persen tiap tahun. Kebutuhan vaksin semakin
meningkat setiap tahun karena terjadinya peningkatan kesadaran akan pentingnya
vaksinasi di setiap negara. Kebutuhan vaksin meningkat seiring dengan
banyaknya sosialisasi yang digalakkan dan bantuan dari asosiasi global seperti
dari Global Vaccine Alliance (GAVI) dan WHO yang terus menyuarakan
imbauan, serta pembelian vaksin dari UNICEF untuk donasi. Kebutuhan vaksin
akan meningkat, baik untuk vaksin-vaksin yang sekarang, maupun untuk vaksin
baru atau new vaccines. Permintaan yang naik ini jelas merupakan peluang yang
besar bagi perusahaan-perusahaan vaksin di seluruh dunia untuk memenuhi
kebutuhan vaksin dan menguasai pasar vaksin global.
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki industri vaksin yang telah
berusia 125 tahun. Keunggulan industri vaksin Indonesia adalah kepemilikan atas
12 Pre Qualification dari WHO untuk 12 vaksin. Namun tidak sedikit dari
masyarakat yang belum menjalankan imunisasi dasar lengkap bagi anaknya.
Beberapa alasan anak tidak diimunisasi antara lain karena takut anak panas,
keluarga tidak menginginkan, tempat imunisasi yang jauh, kesibukan orang tua,
seringnya anak sakit, dan tidak tahu tempat imunisasi. Banyak kendala lain yang
ditemukan dimasyarakat, karena pengetahuan tentang vaksin dimasyarakat masih
kurang, ragu dengan halal atau haramnya sebuah vaksin karena bahan yang
digunakan terdapat enzim babi, tidak percaya dengan melakukan imunisasi maka
anak akan sehat dan efek samping dari vaksin akan menyebabkan autisme pada
anak. Oleh karena itu diperlukan kesadaran dan keinginan dari masyarakat untuk
mengenal vaksinasi dan penyakit-penyakit yang dapat dikurangi atau dicegah oleh
vaksinasi atau imunisasi aktif.
Kehadiran Undang–Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk
Halal masih menimbulkan keberatan bagi sebagian kelompok terutama dari
kalangan pengusaha farmasi. Menurut International Pharmaceutical Manufactures
Group (IPMG) aturan yang terdapat dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang
Jaminan Produk Halal sulit diterapkan. Jika pemerintah bersikeras
menerapkannya, pembisnis farmasi tak berani lagi memproduksi obat karena takut
terkena sanksi.
Dengan banyaknya tantangan yang dihadapi industri farmasi dalam
menerapkan sertifikasi halal, industri farmasi harus untuk berupaya memproduksi
produk farmasi yang sesuai dengan sistem jaminan halal. Selain karena telah
diterbitkannya fatwa halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang imunisasi,
upaya tersebut juga berkaitan dengan akan diterapkannya Undang-Undang
Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang di dalamnya juga mengharuskan agar
produk-produk farmasi atau obat-obatan, perlu mendapat sertifikasi halal.

Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 UU JPH No 33 tahun 2016

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


mengamanatkan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan
kepercayaannya itu. Untuk menjamin setiap pemeluk agama beribadah dan
menjalankan ajaran agamanya, negara berkewajiban memberikan pelindungan dan
jaminan tentang kehalalan Produk yang dikonsumsi dan digunakan masyarakat.
Jaminan mengenai Produk Halal hendaknya dilakukan sesuai dengan asas
pelindungan, keadilan, kepastian hukum, akuntabilitas dan transparansi,
efektivitas dan efisiensi, serta profesionalitas. Oleh karena itu, jaminan
penyelenggaraan Produk Halal bertujuan memberikan kenyamanan, keamanan,
keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam
mengonsumsi dan menggunakan Produk, serta meningkatkan nilai tambah bagi
Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Tujuan tersebut menjadi penting mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang pangan, obat-obatan, dan kosmetik berkembang sangat pesat.
Hal itu berpengaruh secara nyata pada pergeseran pengolahan dan pemanfaatan
bahan baku untuk makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan, serta Produk
lainnya dari yang semula bersifat sederhana dan alamiah menjadi pengolahan dan
pemanfaatan bahan baku hasil rekayasa ilmu pengetahuan. Pengolahan produk
dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan
percampuran antara yang halal dan yang haram baik disengaja maupun tidak
disengaja. Oleh karena itu, untuk mengetahui kehalalan dan kesucian suatu
Produk, diperlukan suatu kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan
multidisiplin, seperti pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik
industri, biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat.
Berkaitan dengan itu, dalam realitasnya banyak Produk yang beredar di
masyarakat belum semua terjamin kehalalannya. Sementara itu, berbagai
peraturan perundang-undangan yang memiliki keterkaitan dengan pengaturan
Produk Halal belum memberikan kepastian dan jaminan hukum bagi masyarakat
muslim. Oleh karena itu, pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu
undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi
barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik,
produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan
yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Pokok-pokok pengaturan dalam Undang-Undang ini antara lain adalah sebagai
berikut.
Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang
dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan,
tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses
kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu,
ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin
kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan,
penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian
Produk.
Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan
memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi
Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan
kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan
Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca,
tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
Produk.
Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab
dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH.
Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian
dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.
Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan
Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH
melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau
pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus
memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI.
Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal
MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani
oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan
Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.
Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan
permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan
penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak
lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara,
pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah,
perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas
untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan
kecil.
Dalam rangka menjamin pelaksanaan penyelenggaraan JPH, BPJPH
melakukan pengawasan terhadap LPH; masa berlaku Sertifikat Halal;
kehalalan Produk; pencantuman Label Halal; pencantuman keterangan tidak
halal; pemisahan lokasi, tempat dan alat pengolahan, penyimpanan,
pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara Produk
Halal dan tidak halal; keberadaan Penyelia Halal; dan/atau kegiatan lain
yang berkaitan dengan JPH.
Untuk menjamin penegakan hukum terhadap pelanggaran Undang-Undang ini,
ditetapkan sanksi administratif dan sanksi pidana.

2.2 Pengembangan Metode Analisis

2.3 Vaksin

2.4 Metode Analisis untuk Indentifikasi Kandungan Babi atau Turunannya


BAB III
ISI

3.1 Penerapan UU JPH No 33 Tahun 2014 dalam Bidang Farmasi

Seiring dengan meningkatknya permintaan terhadap produk halal dunia


maka produk-produk yang berlogo Halal semakin menjadi pencarian utama.
Produk yang memiliki logo Halal tentunya memiliki Sertifikat Halal. Sertifikat
halal dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH)
berdasarkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Berdasarkan UU
Jaminan Produk Halal, diketahui kewajiban bersertifikat halal untuk semua
produk yang beredar dan diperdagangkan di Indonesia akan dilaksanakan lima
tahun setelah diundangkannya UU JPH (tahun 2019). Sebagai upaya farmasis
dalam membantu mengimplementasikan UU tersebut, maka perlu adanya
perancangan panduan produksi halal bagi industri farmasi yang compatible
dengan CPOB (Cara Pemakaian Obat yang Baik), agar memudahkan proses
produksi obat halal di Industri farmasi tersebut. Sebelum dipasarkan, obat yang
diproduksi oleh industri farmasi harus terjamin aman, berkhasiat dan bermutu. Hal
tersebut dapat dibuktikan dengan bukti data penelitian yang dilakukan oleh
industri farmasi terkait dan terlapor secara berkala ke BPOM sebagai badan
pengawas obat dan makanan Republik Indonesia. Namun proses tersebut belum
tentu menjamin kehalalan suatu produk.
Pada dasarnya bahan-bahan dalam pembuatan obat: halal, kecuali yang
telah diharamkan menurut syariat Islam (AlQuran, Hadist, Ijma Ulma dan Qiyas).
Obat halal harus memenuhi persyaratan tertentu diantaranya bahannya tidak boleh
berasal dari babi dan derivatnya, tidak mengandung alkohol, tidak beracun dan
tidak berbahaya bagi tubuh, bebas dari bahan kotor atau najis, tidak menimbulkan
efek berbahaya dikemudian hari, dan tidak boleh mengandung organ tubuh
manusia, ari-ari dan air seni. Suatu produk dikatakan halal jika dapat dibuktikan
bebas dari titik kritis kehalalan obat. Perkembangan teknologi proses pembuatan
obat kini semakin maju dan membuat konsumen tidak menyadari akan kandungan
bahan obat yang ada di pasaran, oleh karena itu perlu diperhatikan titik kritis
kehalalan obat, seperti:

1. Memastikan kehalalan bahan aktif, bahan eksipien dan bahan penolong yang
digunakan

2. Memastikan fasilitas produksi yang digunakan spesifik untuk produk halal saja

3. Memastikan tidak ada peluang tercampur dan terkontaminasi dengan bahan


yang haram dari bahan tambahan, bahan penolong atau dari fasilitas yang
digunakan

4. Memastikan kehalalan bahan pengemas yang digunakan

5. Melakukan proses pencucian dan pensucian peralatan sesuai syariat

6. Mempersilahkan Auditor halal untuk melakukan proses diaudit langsung dan


menetapkan kehalalannya.

Titik kritis kehalalan produk dapat menjadi acuan dalam memproduksi


produk halal sebelum mengajukan proses sertifikasi halal produk ke BPJPH. Jika
industri farmasi mengatakan bahwa selama zat haram itu adalah obat yang baik
dan penggunaannya masih bisa ditoleransi, dikutip dari Dr. Yusuf Qordhowi
dalam bukunya Halal Haram fil Islam, hal itu tidak dapat dibetulkan, karena
“selama ada zat yang memiliki khasiat yang sama dengan zat haram itu, maka
tetap zat tersebut dinyatakan haram”, mungkin inilah prinsip yang harus
diterapkan dalam menegakkan UU JPH dalam produk obat. Industri farmasi yang
mau memproduksi sediaan farmasi halal dituntut menyiapkan suatu sistem
manajemen halal untuk menjamin kesinambungan proses produksi halal secara
konsisten. Sistem manajemen halal adalah suatu sistem manajemen terintegrasi
yang disusun, diterapkan dan dipelihara untuk mengatur bahan, proses produksi,
produk, sumber daya manusia dan prosedur dalam menjaga kesinambungan
proses produksi halal sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan.

Dengan demikian dalam mengimplementasikan UU No. 33 Tahun 2014


tentang sertifikasi halal, maka farmasis sebagai seseorang yang memiliki keahlian
dalam penyiapan, pendistribusian, dan penyimpanan serta dalam pemastian
efektivitas serta keamanan penggunaan obat, bertanggung jawab, baik secara
hukum maupun moral untuk memastikan obat yang beredar dan dipergunakan
masyarakat muslim adalah halal dan suci. Untuk itu, maka ke depannya
diperlukan pedoman produksi obat halal yang compatible dengan cara pembuatan
obat yang baik (CPOB) (karena pedoman produksi obat halal secara khusus belum
ada, masih menggunakan Sistem Jaminan Halal HAS 23000-MUI). Pedoman
tersebut harus terkait dan dapat mengadopsi sebagian atau seluruhnya pedoman
produksi obat halal internasional yang sudah berlaku.

3.2 Peran Pengembangan Metode Analisis dalam Identifikasi Kandungan


Senyawa dalam Penentuan Halal Produk
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

Anda mungkin juga menyukai