Analisa Putusan Mahkamah Agung Bidang Konstruksi
Analisa Putusan Mahkamah Agung Bidang Konstruksi
Studi Kasus Putusan Perkara Arbitrase Dalam Tingkat Banding oleh Mahkamah Agung
Antara PT Angkasa Pura I dengan Badan Arbitrase Nasional Indonesia dan PT. Hutama
Karya
Disusun Oleh:
HENRICO 2011831024
Bandung, 2012
I.
INFORMASI PUTUSAN
1.
Nomor Putusan
: 231 K/Pdt.Sus/2011 : Perkara Arbitrase Dalam Tingkat Banding : PT. ANGKASA PURA I
(PERSERO) dahulu penggugat di Pengadilan Negeri
4. Termohon Kasasi
Objek Sengketa
Informasi Proyek
II.
Kenaikan BBM Percepatan Pekerjaan Pekerjaan Cross Drain Pekerjaan Dewatering selama
12 hari
III.
DALIL-DALIL GUGATAN PT ANGKASA PURA I 1. Eskalasi harga akibat kenaikan harga bahan
bakar minyak Eskalasi harga akibat kenaikan harga bahan bakar minyakyang dimohonkan
PT Hutama Karya selaku kontraktor utamakepada PT Angkasa Pura I dinilai sangat
tidak relevan: 1. Adanya dokumen yang bersifat menentukan yang tidak pernah
diungkap oleh PT. Hutama Karyadalam proses pemeriksaan arbitrase terkait perkara,
yang mana dokumen tersebut diyakini dapat mempengaruhi pertimbangan Badan Arbitrase
Nasional Indonesia dalam memberikan putusan. 2. Adapun bukti baru yang bersifat
menentukan tersebut berupa Surat Perjanjian Pemborongan antara oleh PT. Hutama
Karyadengan PT Metropolitan Aulia Mix (sebagai sub kontraktor) tentang Pekerjaan
AspalBandara Internasional Lombok Nomor: PROD.IV/TR.1936/SPP.13/08 tanggal 6
oktober 2008(kontrak dilakukan tanpa sepengetahuan pemohon) 3. Obyek pekerjaan
dalam Kontrak antara PT. Hutama Karyadengan PT MAM tersebut merupakan salah satu
pekerjaan utama yang diatur dalam Surat Perjanjian Pemborongan (SPP) Nomor:
37/SPP/PL.10/2007-DU tanggal14 Desember 2007 antara PT Angkasa Pura I dan PT.
Hutama Karya untuk pelaksanaan pekerjaan Pembuatan Runway dan Fasilitas
Penunjangnya di Bandara Internasional Lombok. 4. Kontrak antara PT. Hutama
KaryadenganPT Metropolitan Aulia Mix tersebut dibuat setelah terjadinya kenaikan
bahan bakar minyak (BBM), yaitu dilaksanakan pada tanggal 6 Oktober 2008 (kenaikan
BBM terjadi pada tanggal 23 Mei 2008) 5. Kontrak tersebut dibuat setelah terjadinya
kenaikanharga BBM, nilai pekerjaan yang tercantum dalam Kontrak antara PT. Hutama
Karyadengan PTMAM tersebut (dengan nilai sebesar Rp.4.656.109.150,00) berada
dibawah harga satuanyang telah diperjanjikan dalam kontrak yang disepakati antara
Penggugat dan PT. Hutama Karya(subkontrak tidak memperhitungkan adanya kenaikan
BBM).
Gugatan kepada BANI BANI menggunakan pertimbangan berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata
terkait dengan asas kepatutan, sebagai berikut: "Bahwa Surat Perjanjian Pemborongan
No. 37/SPP/PL10/2007-DU tanggal 14 Desember 2007 tidak mengatur dengan jelas
mengenai pernilaian dan perhitungan tentang dampak dari terjadinya peristiwa
perubahan peraturan perundang-undangan yang merupakan kebijaksanaan Pemerintah,
namun BANI menilai wajar bila dampak riil akibat dari kebijaksanaan tersebut
dipertimbangkan, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata, yaitu bahwa
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang tegas dinyatakan didalamnya,
tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh
kepatutan, dan kebiasaan atau undangundang" Keberatan PT Angkasa Pura I atas
putusan BANI 1. Pasal 15 butir 2 Rules and Procedures BANI mengatur bahwa dalam
menerapkan hukum yang berlaku, BANI atau khususnya majelis arbitrase harus
mempertimbangkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian serta praktek dan kebiasaan
yang relevan dalam kegiatan bisnis yang bersangkutan. Namun dalam pertimbangannya,
BANI justru telah tidak mempertimbangkanketentuan-ketentuan dalam Surat Perjanjian
Pemborongan No. 37/SPP/PL 10/2007-DU tanggal 14 Desember 2007. 2. Asas kepatutan
dalam putusan BANI tersebut tidak ada ukuran yang pasti (sangat relative), sehingga
nilai yang diputuskan BANI yang menjadi kewajiban Penggugat hanya dinilai dari sisi
kewajaran menurut Majelis Arbiter saja dan tidak mempertimbangkan keberatan-
keberatan dari Penggugat 3. BANI juga berpendapat dalam pertimbangan-nya bahwa
dengan terbitnya surat tanggal 20 Oktober 2008 (Bukti P-11), maka Penggugat pada
dasarnya
bersedia memberikan penyesuaian harga karena kenaikan BBM dan Penggugat tidak
menolak untuk diterapkannya perhitungan eskalasi. 4. Surat tanggal 20 Oktober 2008
(Bukti P-11) tersebut adalah surat yang dikeluarkan Pembangunan Pernbangunan
sebsqai berikut a. Nilai kontrak pembangunan runway sebesar
Rp.154.000.000.000,dengan realisasi fisik kontrak sebesar 100 % dan realisasi
keuangan sebesar 84%. b. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 3 ayat
(2) SPP Nomor: 37/SPP/PL.10/2007-DU, bahwa kontrak yang ada bersifat lumpsum dan
fixed price, sehubungan dengan hal tersebut, BPKP tidak dapat menghitung/menetapkan
jumlah pengajuan tambahan biaya penyesuaian harga, biaya percepatan dan biaya cross
drain dan Dewatering kolam penampung. 5. Sampai dengan putusan dikeluarkan oleh
BANI, TIDAK TERDAPAT KEPUTUSAN PEMERINTAH DALAM BENTUK APAPUN yang dapat digunakan
Penggugat sebagai dasar untuk menghitung eskalasi. 2. Penyesuaian Harga Akibat
Percepatan Pekerjaan 1. Guna membantu kebutuhan biaya percepatan pekerjaan PT.
Hutama Karya, PT Angkasas Pura telah memberikan uang muka kepada PT. Hutama
Karyasebesar Rp. 30.800.000.000,- (tiga puluh milyar delapan ratus juta rupiah).
Sehingga dengan pemberian uang muka tersebut, Penggugat telah membantu cash flow
Turut Tergugat dalam melaksanakan percepatan pekerjaan. 2. Hal tersebut juga
merupakan bentuk solusi yang diberikan PT Angkasa Pura I kepada PT Hutama Karya
dalam melaksanakan percepatan pekerjaan. Surat Badan No. Tahap Pengawasan Keuangan
dan 3 (BPKP) Runway SP-1100/0502/2009 I Proyek tanggal
IV.
EKSEPSI BANI 1. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak memiliki kewenangan untuk
memeriksa, mengadili dan memutus perkara berdasarkan kompetensi relatif (exception
relative competentie). a. Berdasarkan Pasal 71 jo. Pasal 1 angka (4) UUNo.30/1999,
suatu upaya pembatalan putusan arbitrase, harus diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal Termohon dalam
proses pemeriksaan arbitrase. b. Bahwa Penggugat, dahulu 2009, Termohon di Perkara
Kota Baru Arbitrase Bandar No.326/X/ARBANI/ berkedudukan
Kemayoran Blok B-12 Kaveling No.2, Jakarta Pusat sebagaimana tercantum dalam
gugatan. Oleh sebab itu, pembatalan tersebut harus diajukan di Pengadilan Negeri
yang meliputi tempat tinggal PT.Angkasa Pura I (Persero) selaku pihak
Termohon,yakni di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; c. putusan
BANINo.326/X/ARBBANI/2009 sebagaimana ternyata dalam Akta Pendaftaran
No.08/WASIT/2010/PN.JKT.PST tertanggal 16 Juni 2010 telah diserahkan dan
didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dimana hal ini telah sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh UU No. 30/1999; 2. Upaya hukum pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan dalam bentukpermohonan sehingga gugatan tidak berdasar
hokum. Pasal 70 UU No.30/1999, menyebutkan bahwa suatu putusan arbitrase, termasuk
juga putusan BANI No.326/X/ARB-BANI/2009, hanya dapat dibatalkan dengan cara
mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, dan bukan dengan cara
mengajukan suatu gugatan. 3. Tenggang waktu untuk mengajukan upaya hukum pembatalan
putusan arbitrase telahlampau. a. Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus
diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak hari penyerahan b. putusan dan pendaftaran putusan arbitrase telah kepada
Panitera dan Pengadilan Negeri BANI No.326/X/ARB-BANI/2009 diserahkan didaftarkan
kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan bukti Akta Pendaftaran No.
08/WASIT/2010/PN.JKT.PST tertanggal 16 Juni 2010, sebagaimana ditentukan oleh Pasal
59 UU No. 30/1999. c. Penggugat baru mengajukan upaya hukum pembatalan putusan BANI
No. 26/X/ARB-BANI/2009 ini pada tanggal 22 Juli2010. 4. BANI sebagai lembaga
arbitrase tidak dapat digugat sebagai pihak dalam perkara karena berdasarkan Pasal
21 UU No.30/1999 menyebutkan bahwa arbiter atau majelis arbitrase tidak dapat
dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang diambil selama
proses persidangan berlangsung untuk
menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase,kecuali dapat
dibuktikan adanya itikad tidak baik dari tindakan tersebut” V. PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI JAKARTA SELATAN Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
490/Pdt.G/2010/PN. Jkt.Sel, tanggal 22 November 2010 adalah sebagai berikut Dalam
Eksepsi: Menolak eksepsi dari Tergugat untuk seluruhnya; Dalam Pokok Perkara:
Menolak gugatan PT. Angkasa Pura I selaku penggugat untuk seluruhnya; Menghukum
Penggugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini yang hingga kini
diperhitungkan sebesar Rp 581.000,(lima ratus delapan puluh satu ribu rupiah)
Pertimbangan Pengadilan Negeri: Majelis Hakim berpendapat bahwa bukti subkontrak
yang diajukan Penggugat sebagai bukti yang barutidak mempunyai hubungan langsung
dengan Penggugat selaku pihak yangberkepentingan karena yang terkait da/am
perjanjian pemborongan aspal BandaraIntemasional Lombok adalah antara Turut
Tergugat dengan PT Metropolitan Aulia Mix VI. BANDING DI TINGKAT MAHKAMAH AGUNG
Alasan permohonan banding: Dalam mengambil putusan,Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan telah salah menerapkan atau melanggar ketentuan hukum yang berlaku karena
telah tidak seksama dalam pertimbangan putusan.s Putusan Mahkamah Agung
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sudah tepat dan benar yaitu tidak salah
menerapkanhukum dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Keberatan/alasan-alasan
kasasi tidak relevan dengan adanya(quod-non) kesalahan penerapan hokum. 2.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan telah benar mempertimbang-kan bahwa
alasan/keberatan atas permohonan pembatalan putusan arbitrase ditegaskan dalamPasal
70 huruf a s/d c Undang-Undang No. 30 Tahun 1999,yaitu: a. Surat b. Setelah atau
dokumen yang diajukan ditemukan dalam yang permohonan, bersifat setelah
putusandijatuhkan, diakui palsu atau dipalsukan; putusan diambil menentukan,
yangdisembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu
muslihat yaitu dilakukan oleh salah satupihak dalam pemeriksaan sengketa;
berdasarkan pertimbangan di atas, maka permohonan bandingyang diajukan oleh Pemohon
Banding: PT. ANGKASA PURA I (PERSERO), tersebut harus ditolak.
VII.
ANALISA DAN DISKUSI 1. Terhadap putusan BANI. a. Terkait dengan eskalasi akibat
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Dalam hal ini BANI berpendapat kenaikan
BBM memiliki dampak yang signifikan bagi biaya konstruksi terutama dari kenaikan
harga material aspal, sehingga, dampak riil dari kenaikan BBM tersebut harus
dipertimbangkan. Berdasarkan hal tersebut BANI mengabulkan klaim sebesar Rp 15
Milyar. b. Pada saat kenaikan harga BBM pada tanggal 23 Mei 2008, memang tidak ada
suatu kebijakan apapun dari Pemerintah yang dapat menjadi dasar bagi penyesuain
harga kontrak. Hal ini berbeda pada saat kenaikan BBM pada bulan Oktober 2005,
dimana kenaikan harga BBM tersebut, diikuti dengan terbitnya Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 105/PMK.06/2005 penyesuaian Harga Satuan dan Nilai Kontrak Kegiatan
Pemerintah Tahun
Anggaran 2005 yang dapat digunakan sebagai dasar hokum eskalasi harga kontrak. c.
Tidak ada satupun regulasi peraturan perundangan yang menyatakan secara jelas bahwa
kenaikan harga BBM dapat menjadi dasar dalam eskalasi harga kontrak. Adapun
beberapa peraturan perundangan yang memiliki “penafsiran” yang dapat digunakan
sebagai dasar eskalasi antara lain: a. Pasal 91 Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010 j.o Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang pengadaan barang/jasa
pemerintah, menyatakan: i. Keadaan Kahar adalah suatu keadaan yang terjadi diluar
kehendak para pihak dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban
yang ditentukan dalam Kontrak menjaditidak dapat dipenuhi ii. Yang dapat
digolongkan sebagai Keadaan Kahar dalam KontrakPengadaan Barang/Jasa meliputi: 1.
bencana alam; 2. bencana non alam; 3. bencana sosial; 4. pemogokan; 5. kebakaran;
dan/atau 6. gangguan industri lainnya sebagaimana dinyatakan melalui keputusan
bersama Menteri Keuangan danmenteri teknis terkait. b. Pasal 92Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2010 j.o Peraturan Presiden nomor 70 tahun 2012 tentang pengadaan
barang/jasa penyesuaian harga dilakukan dengan pemerintah, menyatakan
ketentuansebagai berikut: i. penyesuaian harga diberlakukan terhadap Kontrak Tahun
Jamak berbentuk Kontrak Harga Satuan berdasarkan ketentuan dan persyaratan yang
telah tercantum dalam Dokumen Pengadaan dan/atau perubahan Dokumen Pengadaan
ii. tata cara perhitungan penyesuaian harga harus dicantumkan dengan jelas dalam
Dokumen Pengadaan iii. penyesuaian harga tidak diberlakukan terhadap Kontrak Tahun
Tunggal dan Kontrak Lump Sum serta pekerjaan dengan Harga Satuan timpang. Jelas
bahwa dalam peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, penyesuaian harga
hanya dapat dilakukan pada kontrak tahun jamak (multi years) serta kontrak harga
satuan (bukan kontrak lumpsum), klausul lain yang dapat digunakan adalah mengenai
keadaan kahar, namun jika memang kenaikan harga BBM merupakan keadaan kahar, maka
hal ini harus dinyatakan dalam keputusan bersama Kementerian Keuangan serta
Kementerian teknis lainnya. Dengan adanya putusan BANI yang membenarkan adanya
eskalasi harga kontrak karena kenaikan harga BBM, akan membuat kerancuan dalam
kemudian hari, apakah dalam setiap terjadinya kenaikan harga BBM seluruh kontrak
konstruksi harus dieskalasi. d. Terkait dengan klaim penyesuaian harga akibat
percepatan pekerjaan, putusan BANI dinilai cukup tepat, berdasarkan pertimbangan
berikut: i. Didalam klausula 14.2 tentang Uang Muka, FIDIC Conditions of Contract,
disebutkan bahwa pemberian uang muka merupakan pinjaman tanpa bunga dalam rangka
mobilisasi dan mendukung aliran kas. Jumlah total uang muka, jumlah tahapan
pemberian uang muka, mata uang yang digunakan serta proporsinya, haruslah
sebagaimana dinyatakan dalam kontrak. Jelas disini, bahwa dalam best practices yang
ada, pemberian uang muka bukan dalam rangka percepatan pelaksanaan pekerjaan, dalam
hal pengguna jasa memberikan jumlah uang muka yang lebih besar dari apa yang
dinyatakan dalam kontrak, hal itu hanya bisa diartikan sebagai bantuan pengguna
jasa dalam rangka aliran kas kontraktor, bukan sebagai dasar instruksi percepatan
tanpa biaya tambahan diluar harga kontrak.
ii.
21
Peraturan
Pemerintah
Nomor
29
Tahun
2000
tentang