Anda di halaman 1dari 12

BAB VI

PERFORMANSI SISTEM KENDALI


Performansi sistem kendali tergantung pada kualitas komponen dalam subsistem dan sistem secara
keseluruhan. Semakin berkualitas komponen-komponen yang dipergunakan dalam sistem kendali
akan semakin baik performansi sistem kendali tersebut. Disain sistem kendali dan pemilihan
komponen pembangun sistem harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, diantaranya
keterukuran, sensitivitas, keterkendalian, kestabilan, kehandalan, dan kesalahan minimum disain.

A. Keterukuran (Keterobservasian)

Sebuah sistem kendali dapat dievaluasi performansinya apabila repon sistem terukur seluruh
parameternya. Misalnya, keterukuran terhadap amplitudo, keterukuran terhadap frekwensi,
keterukuran terhadap fasa, keterukuran terhadap waktu mati (dead time), waktu puncak (peak time),
waktu stabil (settle time), keterukuran terhadap perubahan parameter padasistem-sistem yang
dinamis, dan keterukuran terhadap nilai kesalahan (error). Keterukuran diartikan besaran para meter
dapat ditetapkan secara presisi berdasarkan alat ukur yang presisi pula atau dengan kata lain alat
ukur harus mampu mengukur respon sistem kendali. Pengendali berumpan balik, dalam hal ini
sensor atau transduser harus mampu pula merasakan dan mentransformasikan nilai parameter dan
perubahannya
Ilmu-ilmu sosial menjenaralisasikan kesimpulan dari sampel terhadap populasi dengan taraf
signifikansi 0,05 atau 0,01; yang artinya tingkat kekeliruan 5% atau 1% dalam arti lain kesimpulan
dapat dipercaya 95% atau 99%. Ilmu-ilmu teknik, khususnya teknik pengaturan atau teknik kendali
harus mampu mencapai tingkat kesalahan mendekati nol, akan tetapi semua tergantung kemampuan
alat ukur dan sifat sistem yang akan dikendalikan.
Berikut ini didefenisikan sebuah himpunan yang dapat dicapai dalam waktu t, sehingga C(t) =
himpunan titik awal x0 yang mengakibatkan ada nilai yang terkendalikan sebesar x(t) = 0 dalam
waktu yang terbatas.
Selanjutnya, misalkan Mnxm adalah himpunan marix n x m.
Bila C  U
t 0
C (t ) dan vektor keadaan x(.) dan pengendali α(.), maka persamaan ODE dituliskan:
o
x(t )  Mx(t )  N (t ) untuk t  0
o
X(0) = x
Dalam mana x(0) disebut solusi dasar, dan kadang kala ditulis sebagai berikut:

tkM k
x(t )  e tM :=  , maka persamaan akhir adalah merupakan defenisi eksponensial etM
k 0 k!
Dikatakan dapat diukur (diobservasi) jika x-1(t) = x(-t).

B. Sensitivitas

Sensitivitas diartikan sebagai kepekaan sistem terhadap perubahan dan kesalahan yang disebabkan
oleh berbagai faktor, seperti faktor lingkungan, faktor usia komponen sistem, diabaikannya nilai-
nilai yang pasti dari parameter, dan parameter tersebut adalah sangat penting untuk diperhitungkan.
Sistem terbuka mengalami ketidaktelitian pada keluarannya jika ada kesalahan dan perubahan yang
tidak terperhitungkan. Sistem tertutup akan memperbaiki ketelitian keluaran tersebut. Kemampuan
memperbaiki kekkeliruan tergantung tingkat sensitivitas sistem.
Sistem yang sangat sensitif cenderung kurang stabil, akan tetapi sistem yang tidak sensitif
cenderung kurang presisi. Jika sistem kurang stabil maka sistem tersebut menghasilkan keluaran
yang tidak tetap. Misalkan, jika dimensi keluaran dari sebuah sistem pabrik baja lembaran panas

68
(hot steel mill) yang diinginkan adalah para meter permukaan, maka akan dihasilkan ketidak rataan
permukaan atau dihasilkan lembaran baja yang permukaannya kasar. Sebaliknya, jika sistem pabrik
baja lembaran panas tidak sensitis, maka akan dihasilkan parameter ketebalan yang tidak presisi dan
juga ketidakrataan permukaan. Jadi, penetapan sensitivitas sistem harus dilakukan secara optimal.
Sensitifitas sistem terhadap perubahan akan sangat mempengaruhi keluaran.
Pengaruh perubahan parameter terhadap keluaran sistem terbuka dapat dilihat sebagai berikut:
ditinjau perubahan dari sebuah proses G(s) menjadi G(s)+  G(s) akan menghasilkan keluaran 
τ(s) =  G(s)r(s), sedangkan untuk sistem tertutup adalah:
G ( s )  G ( s )
 ( s )   ( s )  r ( s)
1  (G ( s )  G ( s )) H ( s )
Sehingga perubahan keluarannya adalah;
G ( s )  G ( s )
 ( s )  r (s)
(1  GH ( s )  GH ( s ))(1  GH ( s ))
Bila GH(s) >>  GH(s), dan keadaan tersebut dering terjadi, membentuk persamaan berikut
G ( s )
 ( s )  r ( s ) , dengan demikian perubahan sistem berumpan balik akan berkurang
(1  GH ( s )) 2
akibat faktor pembagi (1+GH(s)) yang umumnya lebih besar dari satu.
Sejalan dengan hal tersebut kepekaan sistem adalah perbandingan persentase perubahan fungsi
transfer sistem dengan persentase perubahan fungsi ransfer proses, dengan persamaan didefenisikan
sebagai berikut:
T ( s ) / T ( s )  (s)
S ; dalam mana fungsi transfer sistem adalah T ( s ) 
G ( s ) / G ( s ) r (s)
Dengan perubahan yang sangat kecil, diambil limitnya, maka persamaan menjadi
T / T  ln T
S 
G / G  ln G
1
Kepekaan sistem terbuka adalah satu, sedangkan kepekaan sistem tertutup  , hal
1  GH ( s )
tersebut diperoleh dari proses penurunan rumus sebagai berikut:
G
Fungsi transfer sistem tertutup adalah T ( s )  , sehingga
1  GH
Kepekaan sistem tertutup (Berumpan balik) adalah :
T G 1 G 1
S  
G T (1  GH ) G /(1  GH ) 1  GH ( s )
2

Sensitivitas sistem akan dibicarakan lebih lanjut pada pembicaraan kestabilan sistem.

C. Keterkendalian (Controllability)

Satu sistem disebut dapat dikendalikan jika respon sistem mengalami perubahan ketika input diubah.
Bentuk persamaan dasar pengendalian ODE (ordinary diffferential equation) adalah:
o
x (t )  f ( x (t ),  (t ))
x ( 0)  x 0
dimana
x 0  Rn , f : R n X A  R n ,  :  0,    adalah pengendali, dan x :  0,    R n adalah
respon sistem.

69
Diberikan nilai awal x0 dan target berupa himpunan S  Rn, maka muncul pertanyaan, apakah ada
kontrol yang memandu sistem ke S dalam waktu yang terbatas ?. Jika ada maka sistem dapat
dikendalikan. Jika x0 dirubah menjadi x0+ω, apakah respon menjadi S+ç pada waktu yang
terhingga ?. Jika ya maka sistem dapat dikendalikan.
Berikut ini didefenisikan sebuah himpunan yang dapat dicapai dalam waktu t, sehingga C(t) =
himpunan titik awal x0 yang mengakibatkan ada nilai yang terkendalikan sebesar x(t) = 0 dalam
waktu yang terbatas.
Penyelesaian ODE yang bersifat linier adalah sebagai berikut:
(1) Solusi unik sistem homogen dengan persamaan berikut adalah:
o
x (t )  Mx(t )
x (0)  x 0 , adalah x(t )  X (t ) x o  e tM x o
(2) Solusi unik sistem tidak homogen dengan persamaan berikut adalah:
o
x(t )  Mx(t )  f (t )
t
x(0)  x 0 , adalah x (t )  X (t ) x 0  X (t )  X 1 ( s ) f ( s)ds
0
Sejalan dengan variasi parameter persamaan, penyelesaian ODE dengan adanya pengendali α(.)

adalah: x(t )  X (t ) x  X (t )  X ( s ) N .ds , dimana X (t )  e tM ,


1
x 0  C (t )
o
dan
0

Jika dan hanya jika ada pengendali  (.)  A, seperti x(t )  0 jika dan hanya jika
t
0  X (t ) x 0  X (t )  X 1 ( s ) N ( s ) ds untuk beberapa pengendalian  (.)  A .
0
Serta jika dan hanya jika
t
x 0    X 1 ( s) N ( s )ds, untuk beberapa pengendalian  (.)  A
0
Matrix keterkendalian dapat dituliskan sebagai berikut:

D. Kestabilan

Sebuah sistem pengendalian jika tidak stabil maka akan mempengaruhi performansi keluaran, dan
pengaruh tersebut adalah buruk. Misalkan pada pabrik bajak hot steel mill yang menghasilkan baja
lembaran panas dengan permukaan yang sangat rata. Jika sistem pengendalian tidak stabil, maka
permukaan baja lembaran tersebut justru tidak rata (kasar), yang boleh jadi tidak memenuhi kualitas
yang ditetapkan. Hal lain yang terjadi jika sstem pengendalian tidak stabil adalah pemborosan energi
listrik. Jadi, sistem pengendalian harus stabil, baik saat sistem tidak berbeban maupun saat berbeban.
Ketidakstabilan sistem juga akan membahayakan sistem tersebut, khususnya akan mempengaruhi
sub sistem yang sangat sensitif terhadap ketidakstabilan.

Nilai s Signal est

0 t

70

t


t

t
±jω

  j ,   0
t

  j ,   0 t

Gambar 6.1. Grafik Respon sistem pengendalian

Kestabilan sistem pengendalian ditentukan oleh tanggapannya terhadap masukan atau gangguan.
Sifat alamiah sebuah sistem pengendalian yang stabil adalah jika sistem tersebut akan tetap diam
apabila tidak ada stimulus oleh sumber luar, dan akan kembali diam jika rangsangan tersebut
dihilangkan. Lebih rinci dikatakan sistem kendali yang stabil diperlihatkan respon sistem terbatas
akibat stimus yang terbatas. Menganalisis kestabilan sistem kendali adalah mencari derajat
kestabilannya.
Sebuah sistem pengendalian akan stabil jika pada respon terjadi redaman, sedangkan tidak stabil
jika pada respon tidak terjadi redaman. Redaman terjadi karena sifat sistem pengendalian itu sendiri.
Gambar 6.1. Sebelumnya memperlihatkan respon-respon sistem pengendalian atas fungsi input
tangga satuan.
Gambar 6.2. memperlihatkan respon sistem dengan persamaan diferensial orde dua, dengan rasio
redaman  . Rasio redaman 0<  <1 menghasilkan respon yang berfluktuasi dengan garis poros = 1
dan dalam waktu ωt yang terhingga. Rasio redaman  = 1 menghasilkan respon kendali tanpa
fluktuasi (redaman kritis) dan secara eksponensial menuju c(t) = 1, yang artinya mencapai setpoint
dengan waktu yang terhingga. Rasio redaman  > 1 menghasilkan respon dengan amplitudo c(t)

71
tidak mencapai setpoint (redaman lebih). Jika rasio redaman  = 0 (tidak memiliki redaman) maka
respon pengendalian akan berfluktuasi terusmenerus tanpa pernah mencapai setpoint.
Rasio redaman  dari sebuah persamaan diferensial orde dua dapat dicari setelah mengubah
persamaan tersebut menjadi persamaan kuadrat dengan akar-akar ϴ 1 dan ϴ2 yang dapat dicari
berdasarkan rumus ABC, dengan persamaan:
 b  b 2  4ac
1, 2  , dan nilai redaman   b 2  41c
2b

Gambar 6.2. Respon sistem pengendalian dengan persamaan diferensial orde dua

Contoh:
Sebuah sistem gaya mekanik sederhana seperti gambar berikut, dengan kondisi awal y(0) dan
dy(0)/dt. Persamaan diferensial homogen yang dibangun oleh sistem tersebut menghasilkan respon
kendali dengan empat kemungkinan kasus yang disebabkan rasio redamannya. Persamaan tersebut
adalah:

d2y dy
M 2
B  ky  0, atau
dt dt
d 2 y B dy ky
  0
dt 2 M dt M

Y
K
000000 M
ϴ

72
Persamaan diferensial orde kedua tersebut dapat dituliskan kembali secara umum sebagai persamaan
diferensial orde kedua yang merupakan model sistem linier time invariant sebagai berikut:
d2y dy K B
2
 2 n   n2  0. domana  n  dan   KM
dt dt M 2
Dalam bentuk operator p dapat dituliskan: ( p  2 n p   n ) y  0
2 2

Akar-akar karakteristiknya adalah:


 
1, 2    n  j n 1   2   n  j d
dimana
  damping rasio;  n  frekwensi natural,  d   n 1   2  frekwensi natual teredam
dari hal tersebut ada empat kemungkinan kasus yang akan terjadi, yaitu:
Kasus I: Respon tidak teredam (undamped).
Sistem akan memberi respon terosilasi (  =0, misalkan B = 0), dan ϴ1,2=  j n
Respon sistem yang diperoleh adalah y (t )  A Sin   n t   
Dimana amplitudo A dan sudut fasa  tergantung kondisi awal. Frekwensi osilasinya adalah
K
n  gambar respon sistem adalah:
M

Kasus II:
Peredemana terlalu lemah (underdamped), 0<  <1
Sistem memberi respon yang teredam terlalu lemah, sehingga akar-akar karakteristiknya kompleks
dan saling berkonjugate, yaitu: 1, 2   n  j n 1   2 , sehingga respon


sistem adalah y (t )  A exp (  n t ) sin  n 1   2
t    . Respon sistem tersebut mengalami
1
penundaan untuk menuju nilai amplitudo bernilai nol, dengan konstanta waktu .
 n

Kasus III: Sistem yang teredam secara kritis (Critically-damped system) (   1 )


Peredaman secara kritis yang dialami sistem memperlihatkan akar-akar karakteristiknya real yaitu
1, 2   n , dan persamaan outputnya adalah y (t )  exp( n t ) (C1  C 2 t ). Respon sistem
diperlihatkan gambar berikut:

73
Kasus IV: Sistim yang terlalu diredam (Overdamped system), (   1 )
Akar-akar persamaan karakteristiknya adalah: 1, 2   n  n  2  1
Persamaan output (respon) dapat dituliskan sebagai berikut:
  
y (t )  C1 exp   n   n  2  1 t  C 2 exp   n   n  2  1 t 
Grafik sistem seperti hal tersebut dapat dilihat pada gambar berikut:

Banyak metode untuk melihat kestabilan sistem, dan metode tersebut memiliki persyaratan
khusus, diantaranya kestabilan Routh, kestabilan Hurwitz, kestabilan Niquist, kestabilan tempat
akar, kestabilan Bode, kestabilan Nichols, serta kestabilan Karta Nichols. Metode kestabilan tersebut
akan dibahas pada bab tersendiri.

E. Kehandalan

Kehandalan adalah kemampuan sistem kendali dalam mengendalikan sistem yang dikendalikan
sesuai dengan target dan tidak mengalami penundaan ataupun kegagalan. Sistem kendali yang
handal dapat memenuhi harapan walaupun objek kendali (plant) yang dikendalikan sangat kompleks
dan sangat dinamis. Ukuran kehandalan sistem kendali adalah ukuran kesalahan minimal dan juga
persentase kegagalan minimal dalam mengendalikan objek kendali.
Banyak faktor yang mempengaruhi rendahnya kehandalan sistem kendali, diantaranya adalah
rendahnya kualitas komponen pembangun sistem kendali, umur komponen pembangun sistem
kendali, dan rendahnya juga kualitas rancang bangun sistem tersebut, serta pengaruh eksternal yang
tidak terprediksi dan sangat dinamis. Sejalan dengan hal tersebut, para ahli sistem kendali tidak
henti-hentinya mengembangkan berbagai metode atau teknik kendali yang harapannya semakin
handal, hingga saat ini telah dikembangkan sistem adaptif.

F. Kesalahan Statik Sistem

Kesalahan keadaan tunak pada dasarnya salah ukuran performansi penting sistem kendali. Selain hal
tersebut kesalahan keadaan transisi juga meupakan ukuran yang harus diperhitungkan. Pengujian
kesalahan keadaan tunak tidak hanya dengan input satu jenis signal, akan tetapi berbagai jenis signal.
Hal tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan kesalahan atas masukan. Misalkan saja jika signal
masukan adalah signal fungsi step dan kesalahan yang terjadi sudah mendekati nol, akan tetapi
mungkin akan berbeda besar kesalahan pada sistem yang sama jika signal masukannya dalah fungsi
ramp atau fungsi hiperbolik atau juga fungsi sinus..
Analisis kesalahan menyangkut koefisien kesalahan posisi statik Kp, koefisien kesalahan
kecepatan statik Kv, dan koefisien kesalahan percepatan statik Ka. Jika fungsi alih sebuah sistem
 (s) G(s)
adalah  , fungsi alih signal kesalahan penggerak e(t) dan signal masukan r(t)
r (s) 1  G (s) H (s)
adalah:

74
E (s)  (s) H (s) 1
 1  , dimana signal kesalahan penggerak e(t) adalah
r (s) r (s) 1  G (s) H (s)
selisih antara signal masukan dan signal umpan balik. Teorema harga akhir memberi cara mudah
1
untuk mencari performansi keadaan tunak sistem stabil, karena E ( s )  r ( s)
1  G ( s ) H ( s)

+ E(s) G(s) τ(s)


G(s)
-
H(s)

Signal kesalahan penggerak keadaan tunaknya adalah


sr ( s )
e ss  lim e(t )  lim
s 0 s 1 1  G ( s ) H ( s )

Selanjutnya dicari koefisien kesalahan statik yang meupakan ukuran performansi sistem kendali, dan
semakin besar koefisien tersebut semakin baik sistem kontrol tersebut.

Koefisien kesalahan posisi staktik Kp, adalah:


Koefisien kesalahan posisi statik Kp didefenisikan sebagai:
Kp = lim G ( s ) H ( s )  G (0) H (0)
s 0
Jadi kesalahan penggerak keadaan tunak dalam bentuk koefisien kesalahan posisi statik Kp
1
dintatakan sebagai: e ss 
1  Kp
Istilah kesalahan kecepatan digunakan untuk menyatakan kesalahan keadaan tunak terhadap
masukan fungsi ramp. Dimensi kesalahan kecepatan sama dengan kesalahan sistem. Kesalahan
kecepatan dalam hal ini sama dengan kesalahan posisi akibat dari masukan fungsi ramp.
K (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 0 adalah: K p  lim K
s 0 (T1 s  1)(T2 s  1)...
sK (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 1 atau lebih tinggi adalah K p  lim
s 0 s (T s  1)(T s  1)...
  ( N  1)
1 2
Berdasarkan hal di atas maka untuk sistem tipe 0 koefisien kesalahan posisi statik Kp adalah
terhingga, sedangkan untuk sistem tipe 1 atau lebih Kp adalah tak terhingga. Untuk masukan tangga
satuan, kesalahan penggerak keadaan tunak e ss diringkas sebagai berikut:
1
ess  untuk sistem tipe 0
1 K
ess  0 untuk sistem tipe 1 atau lebih
Berdasarkan analisis tersebut respon sistem kendali berumpan balik satu terhadap masukan
tangga mempunyai kesalahan keadaan tunak jika tidak ada integrasi pada lintasan umpan maju. Jika
kesalahan yang kecil untuk masukan tangga dapat ditolerir, maka sistem tipr nol masih
diperbolehkan, dengan syarat bahwa penguatan K cukup besar. Jika penguatan K terlalu besar akan
sulit memperoleh kestabilan relatif yang layak. Jika diinginkan kesalahan tunak nol untuk masukan
tangga, maka tipe sistem harus satu atau lebih tinggi.

75
Koefisien kesalahan kecepatan statik Kv, dapat dianalisis dengan langkah awal menuliskan
kesalahan penggerak keadaan tunak sistem dengan masukan fungsi ramp satuan sebagai berikut:
s 1 1
e ss  lim  lim
s 0 1  G ( s ) H ( s ) s 2 s 0 sG ( s ) H ( s )

Koefisien kesalahan kecepatan statik Kv didefenisikan sebagai: K v  lim


s 0
sG ( s) H ( s )
Dan kesalahan penggerak keadaan tunak dalam bentuk koefisien kesalahan kecepatan statik Kv
1
dinyatakan sebagai e ss 
Kv
sK (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 0 adalah: K v  lim 0
s 0 (T1 s  1)(T2 s  1)...
sK (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 1 atau lebih tinggi adalah K v  lim
s 0 s (T s  1)(T s  1)...
K
1 2
Untuk sistem tipe 2 atau lebih, rasio kesalahan tunaknya yang merupakan kesalahan posisi adalah
sK  Ta s  1)(Tb s  1...
sebesar: K v  lim   ( N  2)
s 0 s n (T1s  1)(T2 s  1)...
Kesalahan penggerak keadaan tunak ess untuk masukan fungsi ramp satuan dengan ringkas dituliskan
sebagai berikut:
1
e ss   untuk sistem tipe 0
Kv
1 1
e ss   untuk sistem tipe 1
Kv K
1
e ss  0 untuk sistem tipe 2 atau lebih
Kv
Berdasarkan analisis di atas memperlihatkan bahwa sistem tipe 0 tidak dapat mengikuti masukan
fungsi ramp pada keadaan tunak, sedangkan sistem tipe 1 dengan umpan balik satu dapat mengikuti
masukan fungsi ramp dengan kesalahan terhingga, juga sistem tipe 1 tersebut pada operasi keadaan
tunak keluaran tepat sama dengan kecepatan masukan, tetapi ada kesalahn posisi. Kesalahan tersebut
sebanding dengan kecepatan masukan dan berbanding terbalik dengan penguatan K. Sistem tipe 2
atau lebih tinggi dapat mengikuti masukan fungsi ramp dengan kesalahan penggerak nol pada
keadaan tunak.
Koefisien kesalahan percepatan statik Ka, dicari dengan masukan parabolik satuan (masukan
percepatan) yang didefenisikan oleh:
t2
r (t )  untuk t  0
2
0 untuk t  0, dinyatakan sebagai
s 1 1
e ss  lim 
s 0 1  G ( s ) H ( s ) s 2 2
lim s G ( s ) H ( s )
s 0

1
dan selanjutnya kesalahan keadaan tunaknya adalah e ss 
Ka
Keadaan kesalahan tunak yang ditimbulkan oleh masukan parabolik adalah merupakan kesalahan
posisi. Harga Ka diperoleh dengan persamaan berikut:

76
s 2 K (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 0, diperoleh: K a  lim 0
s 0 (T1 s  1)(T2 s  1)...
s 2 K (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 1, diperoleh: K a  lim 0
s 0 s (T1 s  1)(T2 s  1)...
s 2 K (Ta s  1)(Tb s  1)...
Untuk sistem tipe 2, diperoleh: K a  lim 2 K
s 0 s (T s  1)(T s  1)...
1 2
Untuk sistem tipe 3 atau lebih tinggi diperoleh:
s 2 K (Ta s  1)(Tb s  1)...
K a  lim  , ( N  3)
s 0 s N (T1 s  1)(T2 s  1)...
Kesalahan penggerak keadaan tunak untuk masukan parabolik satuan adalah:
e ss   untuk sistem tipe 0 dan 1
1
e ss  untuk sistem tipe 2
K
e ss  0 untuk sistem tipe 3 atau lebih tinggi
Sistem tipe nol dan tipe satu tidak dapat mengikuti masukan parabolik pada keadaan tunak,
sedangkan sistem tipe 2 berumpan balik satu mampu mengikuti masukan parabolik dengan signal
kesalahan penggertak terhingga, dan sistem tipe 3 berumpan balik satu dan yang lebih tinggi mampu
mengikuti masukan parabolik dengan keadaan penggerak nol pada keadaan tunak.
Tabel berikut memperlihatkan ringkasan kesalahan keadaan tunak dengan penguatan K

Masukan tangga Masukan ramp Masukan percepatan


r(t) = 1 r(t) = 1 r(t) = t2/2
Sistem tipe 0 1/(1+K)  
Sistem tipe 1 0 1/K 
Sistem tipe 2 0 0 1/K

Maksud dari tipe sistem seperti sistem tipe 0, sistem tipe 1, sistem tipe 2,..., hingga sistem tipe n
dapat dijelaskan berikut ini. Kembali dilihat fungsi alih kalang terbuka G(s)H(s) berikut:
K (Ta s  1)(Tb s  1)...(Tm  1)
G(s) H (s)  , dalam mana fungsi tersebut memiliki sn pada
s N (T1 s  1)(T2 s  1)...(T p s  1)
penyebutnya, yang menyatakan kutup (pole) rangkap N di titik asal. Tipe sistem sesuai dengan
jumlah N tersebut. Jika N = 0 maka sistem tipe 0; jika N = 1 maka sistem tipe 1; jika N = 2 maka
sistem tipe 2; jika N = 3 maka sistem tipe 3; dan jika N = m maka sistem tipe m. Sistem tipe 3 dalam
praktiknya jarang ditemukan, apa lagi sistem tipe yang lebih tinggi. Hal tersebut sejalan dengan
persamaan diferensial yang merupakan model fisik secara nyata, biasanya berorde 2 paling tinggi.

G. Kesalahan Dinamik Sistem

Suatu karakteristik koefisien kesalahan statik adalah bahwa hanya satu koefisien-koefisien suatu
sistem yang memiliki harga terhingga. Koefisien yang lain sama dengan nol atau takterhingga.
Kesalahan keadaan tunak yang diperoleh dengan koefisien-koefisien kesalahn statik adalah nol,
harga tidak nol terhingga, atau harga tak terhingga. Variasi kesalahan terhadap waktu tidak dapat
diperoleh dengan koefisien kesalahan seperti hal tersebut.
Kesalahan koefisien dinamik memberikan informasi perubahan kesalahan atas perubahan waktu,
misalkan saja kesalahan akan semakin besar atau justru semakin kecil dari waktu ke waktu. Dua
77
sistem boleh jadi meiliki koefisien kesalahan tunak yang sama, namun akan memiliki koefisien
kesalahan dinamik yang berbeda.
Duas sistem berikut akan dilihat:
15 15
G1 s  G2 s 
s ( s  1) s (3s  1)
Koefisien keslahan statiknya diberikan oleh:
Kp1 = ~ Kp2 = ~
Kv1 = 15 Kv2 = 15
Ka1 = 0 Ka2 = 0
Kedua sistem yang identik tersebut memiliki kesalahan statik keadaan tunak yang sama.
Selanjutnya, akan dikaji kesalahan dinamik, dengan persamaan berikut:
 ( s) 1 1 1 1
   s  s 2  ...
r ( s ) 1  G ( s ) k1 k 2 k3
Koefisien-koefisien k1, k2, k3, ... dari deret pangkat didefenisikan sebagai koefisien kesalahan
dinamik, berikut:
k1 = koefisien kesalahan posisi dinamik
k2 = koefisien kesalahan kecepatan dinamik
k3 = koefisien kesalahan percepatan dinamik
Ada hubungan kesalahan dinamik dengan kesalahan statik sistem, sehingga dalam analisis selalu
direlasikan koefisien kesalahan dinamik dengan koefisien kesalahan statik.
Selanjutnya ditinjau sistem berumpan balik satu tipe 0 berikut:
k
G (s) 
Ts  1
Sistem tersebut memiliki koefisien kesalahan posisi statik, koefisien kesalahan kecepatan statik,
koefisien kesalahan percepatan statik, masing-masing adalah Kp = 0, Kv = 0, Ka = 0.
 (s)
Persamaan fungsi transfer dapat diuraikan sebagai berikut:
r (s)
 ( s) 1  Ts 1 Tk
   s  ...
r ( s ) 1  k  Ts 1  k (1  k ) 2
Sehingga koefisien kesalahan dinamik dapat dinyatakan dalam bentuk koefisien kesalahan statik
sebagai berikut: k1  1  k  1  k p
(1  k ) 2
Koefisien kesalahan kecepatan dinamik dinyatakan oleh: k 2 
Tk
Contoh:
2

Suatu sistem berumpan balik satu dengan fungsi alih berikut: g ( s )  2 n
s  2 n s
Koefisien kesalahan statiknya adalah:
k p  lim G ( s )  
s 0

n
k v  lim sG ( s ) 
s 0 2
k a  lim s 2 G ( s )  0
s 0
Karena,

78
 ( s) s 2  2 n s
 2
r ( s ) s  2 n s   n 2
2 1
s  2 s2
n n

2 s2
1 s  2
n n
2  1  4 2  2
 s    s  ...
 n   n 2 
Maka koefisien kesalahan kecepatan dinamik sama dengan koefisien kesalahan kecepatan statik,
n n 2
k
yakni: 2   k v ; Koefisien kesalahan percepatan dinamik diberikan oleh k 
2 3
1  4 2
Soal-soal:
1. Jelaskan parameter performansi sistem kendali dengan pemikiran mu sendiri.
2. Apa pengaruh performansi sistem kendali terhadap produk ?
3. Carilah bagaimana performansi sistem kontrol berumpan balik satu yang mempunyai fungsi alih
 (s) 10
berikut: 
r ( s ) s ( s  1)
4. Kembangkan analisis terhadap performansi sistem kendali dengan menggunakan MATLAB
(tugas mandiri).

Daftar Pustaka

Katsuhiko Ogata, alih bahasa. Edi Leksono. 1985. Modern Control Engineering.
Bandung: Penerbit Erlangga).
Richard C. Dorf, alih bahasa Farid Ruskanda. 1981. Sistem Pengaturan. Jakarta: Penerbit
Erlangga.

79

Anda mungkin juga menyukai