Human Capital
Pendidikan dan Kesehatan dalam Pembangunan Ekonomi
Oleh :
Pendidikan dan kesehatan adalah tujuan dasar dari pembangunan. Kesehatan merupakan
inti dari kesejahteraan, lalu pendidikan adalah hal penting untuk dapat mencapai kehidupan yang
memuaskan dan bermanfaat. Disaat yang sama pendidikan juga menjadi peran kunci dalam
kemampuan negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan mengembangkan
kapasitas untuk pertumbuhan dan pengembangan yang berkelanjutan. Selain itu, kesehatan
adalah syarat untuk meningkatkan produktivitas, dan pendidikan yang sukses bergantung pada
kesehatan yang memadai. Dengan demikian, baik kesehatan dan pendidikan dapat dilihat sebagai
komponen vital dari pertumbuhan dan perkembangan, yang mana juga berperan sebagai input
untuk fungsi produksi agregat. Peran ganda mereka sebagai input dan output memberi kesehatan
dan pendidikan kepentingan utama mereka dalam pembangunan ekonomi. Ini kemudian yang
membuat terjadi peningkatan pesat dalam perkembangan kesehatan dan pendidikan di seluruh
dunia. Namun perkembangan ini tidak semata-mata terjadi di negara berkembang. Permasalahan
kesehatan dan pendidikan masih menjadi permasalahan yang umum di negara berkembang.
Peningkatan pendidikan dan kesehatan ini dipandang dapat membebaskan individu dari
lingkaran kemiskinan. Oleh karena itu, negara berkembang perlu melakukan investasi pada
kedua human capital1 ini untuk dapat meningkatkan pembangunan ekonomi di negara
berkembang.
1
Pada peningkatan modal pendidikan, maka dapat meningkatkan pengembalian
investasi kesehatan. Hal ini disebabkan karena banyak program kesehatan yang
mengandalkan keterampilan dasar, dan ini sering dipelajari di sekolah. Keterampial dasar
ini termasuk kebersihan pribadi, sanitasi, kemampuan literasi dasar dan berhitung. Selain
itu, pendidikan juga dibutuhkan untuk pembentukan dan pelatihan tenaga kesehatan.
Sehingga peningkatan efisiensi produktif dari investasi di bidang pendidikan
meningkatkan pengembalian investasi yang menyelamatkan jiwa di bidang kesehatan.
Secara teori, investasi individu terhadap human capitalnya bergantung pada tingkat
pendapatan. Ketika pendapatan tinggi, maka kecenderungan investasi pada human
capital akan lebih besar. Tetapi ini tidak semudah itu diaplikasikan secara nyata.
Peningkatan pendapatan ini sering kali mendorong individu atau sebuah keluarga
memilih untuk memvariasikan makanan mereka tanpa memperhatikan kalori dan gizi
yang terkandung pada makanan tersebut. Oleh karena itu, jika hubungan tingkat
pendapatan dengan tingkat gizi cenderung rendah, maka kebijakan untuk meningkatkan
pendapatan kemungkinan tidak akan mengarah pada peningkatan kesehatan, atau yang
secara luas tidak akan berpengaruh pada tingkat pembangunan. Terdapat studi yang
membuktikan bahwa semakin baik pendidikan ibu, maka semakin baik pula kesehatan
anak-anaknya. Oleh karena itu, masih ada peluang untuk meningkatkan kesehatan
melalui kegiatan sederhana yang belum dimanfaatkan.
2
Analisis investasi dalam kesehatan dan pendidikan dipersatukan dalam pendekatan modal
manusia. Sumber daya manusia (Human Capital) adalah istilah yang sering digunakan para
ekonom untuk pendidikan, kesehatan, dan kapasitas manusia lainnya yang dapat meningkatkan
produktivitas ketika meningkat. Yang mana kesehatan dan pendidikan memiliki kontribusi
langsung pada kesejahteraan. Tetapi pendekatan modal dasar manusia berfokus pada
kemampuan tidak langsung untuk meningkatkan kesejahteraan dengan meningkatkan
pendapatan.
3. Pekerja Anak
Pekerja anak atau pekerja dibawah umur merupakan masalah yang meluas di negara
berkembang. Dikatakan sebagai masalah karena ketika anak-anak dibawah 15 tahun melakukan
pekerjaan, waktu belajar anak tersebut akan terganggu karena sebagian waktunya digunakan
untuk bekerja, selain itu dibeberapa kasus pekerja anak ini lebih memilih mengorbankan sekolah
mereka untuk bisa bekerja dan mendapat uang. Penelitian terhadap kasus ini juga menunjukkan
bahwa kesehatan mereka cenderung lebih buruk dan juga terdapat banyak kasus yang
menyebutkan adanya eksploitasi pada pekerja anak.
Kaushik Basu memberikan analisis terhadap masalah pekerja anak ini. Terdapat 2 asumsi
kondisi yang disampaikan oleh Kaushik Basu dalam menganalisis masalah pekerja anak ini,
yakni:
a) Rumah tangga dengan pendapatan yang cukup tinggi tidak akan mengirimkan anak-
anaknya untuk bekerja. Dalam sebagian besar kasus, rumah tangga dengan
pendapatan yang mencukupi kebutuhan cenderung tidak mengirimkan anak-anaknya
untuk bekerja.
3
b) Pekerja anak adalah substitusi dari pekerja dewasa. Yang faktanya, anak-anak tidak
dapat seproduktif pekerja dewasa ketika terjun ke pekerjaan, sehingga tidak dapat
dikatakan sebagai pengganti. Meskipun dalam beberapa kasus dikatakan bahwa
pekerja dibawah umur memiliki keunggulan tersendiri seperti jari tangan yang kecil
dan ini menjadi hal penting dalam produksi produk kerajinan tangan.
Kaushik Basu juga meneliti tingkat upah dan jumlah penawaran tenaga kerja. Ketika
upah berada pada titik yang cukup untuk satu rumah tangga menghidupi setiap orang di rumah
tangga tersebut, maka anak-anak tidak akan dikirim untuk bekerja. Namun penurunan upah
membuat pekerja dewasa tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan rumah tangga. Dengan asumsu
bahwa pekerja anak merupakan substitusi dari pekerja dewasa, maka rumah tangga yang
kekurangan biaya untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya akan mengirimkan anak-anak
bekerja. Ketika upah terus mengalami penurunan akan membuat semakin banyak rumah tangga
yang melakukan tindakan tersebut. Dari asumsi ini, dapat juga dikatakan bahwa ketika upah
berada pada tingkat yang cukup tinggi yang membuat rumah tangga dapat mencukupi
kebutuhannya maka pekerja anak akan semakin berkurang, namun tentu hal ini akan sulit
diimplementasikan secara nyata.
Terdapat empat pendekatan kebijakan pekerja anak/dibawah umur yang saat ini ada pada
kebijakan pembangunan, yakni:
a. Mengetahui bahwa pekerja anak merupakan sebuah respon dari kemiskinan yang
terjadi, jadi yang perlu terlebih dahulu dilakukan ialah mengentaskan kemiskinan
daripada langsung menyasar ke permasalahan pekerja anak
b. Strategi untuk membuat lebih banyak anak-anak yang bersekolah, termasuk
menambah jumlah sekolah, dan pemberian insentif conditional cash transfer (CCT)
untuk mendorong lebih banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya.
c. Memandang bahwa pekerja anak atau pekerja dibawah umur adalah hal yang tidak
dapat dihindari, setidaknya dalam jangka pendek, dan menyediakan regulasi yang
dapat melindungi pekerja anak tersebut dari tindakan pelecehan atau eksploitasi.
d. Pendekatan terakhir adalah dengan adanya pelarangan pekerja anak. Kebijakan ini
sering dikaitkan dengan laporan ILO mengenai diskriminasi, pelecehan, hingga
perbudakan yang sering terjadi pada pekerja dibawah umur.
4
Mengenai masalah pekerja anak, penelitian yang dilakukan ILO pada tahun 2003
memaparkan bahwa menghilangnya atau pengurangan jumlah pekerja anak dan peningkatan
kualitas pendidikan untuk anak-anak dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara
signifikan. Untuk menangani masalah pekerja anak, negara-negera maju telah mengajukan
pengenaan sanksi terhadap negara yang masih mempekerjakan pekerja dibawah umur atau
setidaknya melarang produk-produk yang diproduksi oleh pekerja dibawah umur.
5
Peningkatkan pendidikan perempuan tidak hanya meningkatkan produktivitas
kerja perempuan tersebut, tapi juga memberi dampak yang besar pada generasi
selanjutnya yang menjadi lebih baik. Hal ini karena pendidikan seorang ibu secara
langsung meningkatkan pengetahuan yang dapat membantu kelangsungan hidup
anak, gizi, pendidikan, dan secara tidak langsung dengan membuat kemungkinan
pendapatan yang lebih tinggi bagi keluarga.
Karena perempuan membawa beban kemiskinan yang tidak proporsional, setiap
peningkatan yang signifikan dalam peran dan status mereka melalui pendidikan
dapat memiliki dampak penting dalam memutus lingkaran setan kemiskinan dan
sekolah yang tidak memadai.
6
perempuan yang ada disuatu populasi lebih sedikit dari perkiraan penghitungan demografi yang
dilakukan. Keadaan ini akan meningkatkan kemungkinan ketidakstabilan sosial di masa depan.
Banyak literatur dan diskusi publik mengenai pendidikan dan pembangunan ekonomi
terutama pendidikan dan kesempatan kerja melibatkan dua proses ekonomi mendasar: (1)
interaksi antara permintaan bermotif ekonomi dan respons penawaran bermotif politik dalam
menentukan jumlah sekolah bermutu yang akan disediakan, siapa yang memiliki akses ke
sekolah itu dan apa jenis pelajaran yang mereka terima serta (2) perbedaan penting antara
manfaat dan biaya social/pribadi dari berbagai tingkat pendidikan, serta implikasi semua
perbedaan manfaat dan biaya itu terhadap strategi investasi pendidikan.
Tingkat pendidikan yang diperoleh seseorang, meskipun dipengaruhi oleh banyak factor
nonpasar, secara umum dapat dipandang sebagai hasil yang ditentukan oleh kekuatan permintaan
dan penawaran seperti komoditas dan jasa lainnya. Pada sisi permintaan, dua factor utama yang
mempengaruhi tingkat pendidikan yang diinginkan adalah (1) prospek pelajar yang lebih
berpendidikan untuk menghasilkan pendapatan lebih besar melalui pekerjaan sector modern di
masa depan atau manfaat pribadi atau individu (private benefit) keluarga dari pendidikan dan (2)
biaya pendidikan, langsung maupun tidak langsung yang harus ditanggung seorang peserta didik
atau keluarganya. Dengan demikian, tingkat pendidikan yang diminta sesungguhnya adalah
permintaan turunan (derived demand) untuk mendapatkan kesempatan kerja berupah tinggi di
sector modern, karena kesempatan untuk memperoleh pekerjaan tersebut sebagian besar
ditentukan oleh tingkat pendidikan seseorang.
Pada sisi penawaran, kuantitas pendidikan di tingkat sekolah dasar, menengah, dan
perguruan tinggi sebagian dasar ditentukan oleh proses politik, yang sering kali tidak berkaitan
dengan kriteria ekonomi. Karena besarnya tekanan politik di seluruh Negara berkembang untuk
menyediakan jumlah sekolah yang lebih banyak di tingkat pendidikan yang lebih tinggi, dengan
mudah kita bisa beramsusi bahwa penawaran public atas tingkat pendidikan ini ditetapkan oleh
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan yang pada gilirannya dipengaruhi oleh tingkat
7
permintaan pribadi agregat terhadap pendidikan. Permintaan atas tingkat pendidikan yang cukup
bagi seseorang untuk memperoleh pekerjaan sector modern tampaknya berkaitan dengan atau
ditentukan oleh kombinasi pengaruh empat variabel: selisih upah atau pendapatan, probabilitas
keberhasilan memperoleh pekerjaan sector modern, biaya langsung pendidikan yang ditanggung
individu, dan biaya tidak langsung atau biaya oportunitas pendidikan.
Sebagai contoh, andaikan bahwa kita menghadapi suatu situasi di Negara berkembang yang
memiliki kondisi berikut:
1) Selisih upah modern-tradisional atau kota desa adalah, misalkan sebesar 100% bagi
lulusan sekolah menengah versus lulusan sekolah dasar
2) Tingkat kenaikan kesempatan kerja di sector modern bagi mereka yang putus sekolah
dasar lebih lamban daripada tingkat pertambahan orang putus sekolah yang memasuki
angkatan kerja. Hal yang sama dapat terjadi di tingkat sekolah menengah dan bahkan di
tingkat perguruan tinggi seperti terjadi di India, Meksiko, Pakistan, Ghana, dan Kenya.
3) Pemberi kerja yang menghadapi jumlah pelamar yang berlebihan itu cenderung memilih
pekerja yang akan direkrut berdasarkan tingkat pendidikan. Perusahaan akan memilih
calon yang berpendidikan menengah daripada yang berpendidikan dasar, walaupun
pekerjaan yang tersedia sebenarnya dapat dikerjakan dengan baik oleh orang-orang
berpendidikan dasar.
4) Pemeirntah, karena didorong oleh tekanan politik dari kaum terpelajar, cenderung
mengaitkan tingkat upah dengan tingkat pendidikan yang berhasil dicapai oleh si pekerja,
ketimbang mengaitkannya dengan kualifikasi pendidikan minimal yang dipersyaratkan
bagi pekerjaan itu.
5) Biaya pendidikan akan menurun di tingkat perguruan tinggi jika pemerintah menanggung
porsi yang lebih besar atas biaya pendidikan para mahasiswa.
Dalam kondisi seperti itu, yang kurang lebih sesuai dengan realitas situasi kesempatan
kerja dan pendidikan di banyak Negara berkembang, kita bisa berharap bahwa jumlah
permintaan terhadap pendidikan yang lebih tinggi untuk sector formal akan cukup substansial.
Hasilnya adalah tren kronis di beberapa Negara berkembang untuk memperluas fasilitas
pendidikan tinggi mereka ke tingkat yang sangat sulit dibenarkan secara social atau finansial
8
dalam kaitannya dengan alokasi sumber daya yang optimal. Penawaran dan jumlah yang diminta
tidak diperhitungkan berdasarkan mekanisme penyesuaian harga pasar tetapi ditentukan secara
kelembagaan, sebagian besar oleh pemerintah. Manfaat social pendidikan (benefit of education)
manfaat yang diperoleh masyarakat secara keseluruhan bagi semua tingkat pendidikan
dikalahkan oleh manfaat pribadi. Pemerintah dan perusahaan-perusahaan sector formal di banyak
Negara berkembang tampaknya menguatkan tren ini mellaui sertifikasi pendidikan (educational
sertification) tingkat pendidikan formal awal untuk diterima bekerja yang terus-menerus
ditingkatkan untuk pekerjaan-pekerjaan yang sebelumnya dilaksanakan oleh pekerja yang
berpendidikan lebih rendah. Perhatikan bahwa proses ekonomi politik ini mengalihkan sumber
daya public yang langka dari penyediaan pendidikan dasar (basic education) yang masih terbatas
dan sering kali bermutu rendah bagi banyak orang ke penyediaan fasilitas yang lebih
mengutamakan segelintir orang untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Selain tidak
adil secara ekonomi, proses ekonomi politik seperti ini juga tidak efisien.
Semakin lebarnya kesenjangan antara biaya social dan biaya pribadi bahkan
menimbulkan dorongan permintaan lebih besar terhadap pendidikan tinggi dibandingkan pada
tingkat-tingkat pendidikan yang lebih rendah. Akan tetapi, kesempatan untuk memperoleh
pendidikan hanya dapat mengakomodasi permintaan yang terdistorsi ini pada beban yang
sepenuhnya ditanggung dengan biaya social. Pada umumnya, masalah divergensi manfaat biaya
social versus pribadi terjadi karena adanya intervensi kebijakan public dan swasta yang tidak
tepat terkait dengan selisih upah, selektivitas pendidikan, dan penetapan harga layanan
pendidikan. Akibatnya, perhitungan pribadi (individu) mengenai nilai dari pendidikan melebihi
nilai sosialnya yang juga harus memperhitungkan masalah pengangguran. Selama insentif
9
artifisial dan nonpasar dalam bentuk tidak proporsionalnya manfaat yang diharapkan dan biaya
yang subsidi masih terus terjadi serta penghargaan berlebihan pada pencapaian tingkat
pendidikan, orang-orang akan merasa lebih menguntungkan secara pribadi untuk terus
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Umumnya disepakati bahwa pendidkan dasar, yang secara mantap bergerak mendekati
target partisipasi pendidikan dasar universal, telah memberikan kontribusi besar bagi
pembangunan. Selain itu, terlepas dari adanya distorsi cukup besar mengenai manfaat dan biaya
pribadi versus social, tampak jelas bahwa perluasan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
telah berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan dengan (1) menghasilkan
angkatan kerja yang lebih produktif, yang memiliki pengetahuan dan keterampilan lebih baik (2)
menyediakan lapangan kerja yang lebih luas dan kesempatan mendapat penghasilan bagi para
guru, pegawai sekolah dan pekerja bangunan, pencetak buku pelajaran dan buku tulis, pembuat
seragam sekolah, serta pekerja terkait lainnya, (3) menciptakan sekelompok pemimpin yang
berpendidikan untuk mengisi lowongan kerja yang tersedia Karena ditinggalkan tenaga kerja
asing atau jabatan-jabatan di kantor pemerintah, perusahaan Negara, perusahaan swasta dalam
negeri dan asing, serta berbagai profesi lainnya (4) menyediakan pendidikan dan pelatihan yang
dapat meningkatkan kemampuan membaca dan berhitung serta berbagai keterampilan dasar
sembari mendorong sikap modern di kalangan warga masyarakat pada umumnya.
Distribusi Pendidikan
Analisis sebelumnya mengenai berbagai hal yang menyebabkan pendidikan terlalu tinggi
(overeducation) di Negara-negara berkembang seharusnya tidak mengecilkan hati kita atas
kemungkinan terpacunya pembangunan melalui pendidikan yang lebih baik. Negara-negara yang
berhasil dalam pembangunannya secara umum telah menjamin bahwa manfaat pendidikan
tersedia secara luas dalam perekonomiannya bagi orang miskin ataupun orang kaya di desa dan
di kota.
10
Sejumlah studi juga telah menunjukkan bahwa, kebalikan dari apa yang semula
diasumsikan system pendidikan di banyak Negara berkembang adakalanya justru memperbesar
ketimpangan pendapatan ketimbang memperkecilnya. Alasan utama dari akibat buruk
pendidikan formal terhadap distribusi pendapatan adalah adanya korelasi positif antara tingkat
pendidikan dan tingkat pendapatan adalah adanya korelasi positif antara tingkat pendidikan dan
tingkat pendapatan selama hidup. Ringkasnya, kalau orang-orang miskin tidak dapat
memanfaatkan kesempatan mengikuti pendidikan menengah dan pendidikan tinggi karena alasan
keuangan atau alasan lain, maka system pendidikan sebenarnya hanya melanggengkan dan
bahkan memperbesar ketimpangan dalam suatu generasi dan antargenerasi di Negara-negara
berkembang.
Biaya pribadi pendidikan dasar (khususnya jika dilihat dari biaya oportunitas/peluang
seorang pekerja anak bagi keluarga miskin) lebih tingi bagi murid miskin ketimbang bagi murid
dari keluarga yang lebih kaya, dan manfaat yang diharapkan dari pendidikan dasar (yang
berkualitas lebih rendah) akan lebih rendah bagi murid miskin. Kedua fakta ini, biaya yang lebih
tinggi dan lebih rendahnya manfaat pendidikan yang diharapkan, berarti bahwa manfaat yang
diperoleh keluarga miskin dari investasi pendidikan anak lebih rendah daripada keluarga lainnya.
Oleh sebab itu, anak-anak dari keluarga miskin lebih besar kemungkinannya untuk putus sekolah
pada tahun-tahun awal sekolah.
11
arsitek lebih berfokus pada pembuatan desain monument nasional dan bangunan public modern,
sementara desain perumahan, sekolah, dan klinik berbiaya rendah kurang mendapat perhatian.
Para ekonom melakukan penelitian teoritis, ketimbang cara penerapannya dalam pembangunan.
Para insinyur dan ilmuwan berkonsentrasi pada perlatan elektronik modern terbaru sementara
peralatan mesin sederhana seperti peralatan pertanian yang dioperasikan secara manual atau
hewan, system sanitasi dan pemurnian air serta proses mekanis padat karya perhatiannya
diserahkan kepada ahli asing. Ditinjau dari berbagai dimensinya, system pendidikan di
kebanyakan Negara berkembang perlu direformasi secara menyeluruh.
Sebelumnya dalam bab ini, kita mengikuti praktik standar dengan mengukur tingkat
kesehatan dengan tingkat kelangsungan hidup anak di bawah usia 5 tahun dan harapan hidup.
Ukuran harapan hidup memiliki kelebihan karena datanya tersedia di hamper semua Negara,
minimal berupa data perkiraan. World Health Organization (WHO), salah satu badan penting
dari perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah-masalah kesehatan dunia,
mendefinisikan kesehatan sebagai suatu keadaan yang benar-benar sejahtera secara fisik, mental
dan social serta bukan hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan. Pendekatan ini dapat
memberikan kita landasan konseptual yang lebih baik, tetapi tidak dengan sendirinya
menyediakan ukuran yang lebih tepat. Ukuran kesehatan lainnya yang diajukan WHO adalah
lama hidup yang disesuaikan menurut difabilitas (disability adjusted life year, DALY). Ada
keraguan mengenai kualitas data yang digunakan dalam kedua ukuran ini, khususnya data dari
beberapa Negara paling miskin dan penggunaan DALY untuk membandingkan kesehatan
antarnegara masih kontroversial. Kematian premature mewakili dua per tiga angka kematian
dalam ukuran DALY, dan sisa sepertiganya adalah difabilitas. Dengan menggunakan ukuran
DALY, sebuah studi Bank Dunia menghitung bahwa sekitar seperempat beban penyakit dunia
adalah karena diare, penyakit masa kanak-kanak meliputi campak, infeksi pernapasan, infeksi
cacing parasite, dan malaria yang semuanya merupakan masalah kesehatan utama di Negara-
negara berkembang. Telah banyak kemajuan yang dicapai di hamper semua jenis penyakit,
kecuali penyakit-penyakit dalam kategori ini.
Fasilitas kesehatan juga sangat timpang, bahkan jika disediakan oleh pemerintah
ketimbang diadakan oleh swasta. Fasilitas kesehatan yang berkualitas lebih baik terkonsentrasi di
12
kawasan perkotaan dan kawasan yang lebih kaya, tempat kehidupan orang-orang yang lebih kaya
memiliki pengaruh politik untuk mendapatkan fasilitas seperti itu. Meskipun tersedia klinik
umum bagi kaum miskin di kawasan pedesaan, umumnya klinik ini kurang memiliki peralatan
dan tenaga medis yang memadai. Sama halnya dengan kemangkiran guru yang menjadi masalah
di sekolah, ketiadaan petugas medis di klinik-klinik itu juga terjadi di mana-mana.
7. Beban Penyakit
13
berakibat fatal. Selain itu, penyebaran HIV tampaknya makin dipercepat oleh keberadaan
penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual yang mempermudah terjadinya serbuan
virus. Untuk mengatasi masalah infeksi saluran pernapasan akut, diare, campak, malaria, dan
malnutrisi, WHO yang bekerja sama dengan lembaga internasional utama lainnya telah dan
sedang menerapkan program Integrated Management of Children Illness, IMCI (Manajemen
Terpadu Penyakit Anak-anak) yang bertujuan meningkatkan pelatihan dan kinerja organisasi
kesehatan nasional dan personalianya dalam pencegahan dan perawatan anak-anak yang sakit.
Program ini memfokuskan pada pendidikan dalam praktik-praktik seperti menyusui anak dan
melakukan terapi rehidrasi oral. Sekarang kita akan membahas tiga penyakit utama yang
menghantui Negara-negara berkembang AIDS, malaria, dan cacing parasite.
HIV/AIDS
Malaria
14
Malaria secara langsung telah menyebabkan kematian lebih dari 1 juta orang setiap tahun
yang sebagian besar di antaranya adalah anak-anak dari keluarga miskin Afrika. Perempuan
hamil juga berada pada posisi yang sangat berisiko. Berbagai kasus malaria yang parah telah
menyebabkan sekitar 15% anak-anak yang dapat bertahan hidup penyakit itu mengalami
masalah-masalah neurologis dan ketidak mampuan belajar yang substansial. Seorang anak
meninggal karena malaria setiap 30 detik. Lebih dari 50 juta orang sakit parah karena malaria
setiap tahun. Program Roll Back Malaria dari WHO berupaya menanggulangi penyakit ini pada
sumbernya. Selain itu, berbagai upaya penting sedang dilakukan untuk meningkatkan dana
internasional guna memerangi malaria, dengan focus pada pengembangan vaksin malaria.
Dengan adanya dana yang memadai, para pakar percaya bahwa dalam tempo yang tidak terlalu
lama akan ditemukan vaksin malaria yang efektif. Akan tetapi karena korban malaria cenderung
berasal dari Negara-negara berpendapatan rendah dan tidak mampu membeli obat-obatan yang
mahal, tidak banyak insentif yang tersedia bagi perusahaan-perusahaan farmasi untuk
menekankan penelitian di bidang ini. Namun, tekanan dari masyarakat dan pemerintah di
Negara-negara maju serta keinginan untuk menaikkan citra perusahaan di mata masyarakat di
antara berbagai factor lainnya semakin mendorong perusahaan-perusahaan farmasi untuk mulai
menawarkan obat-obatan dengan biaya lebih murah kepada Negara-negara berpendapatan rendah
dan ini dapat memperluas portofolio penelitian yang lebih seimbang. Pendanaan untuk vaksin
malaria sekarang semakin meningkat. Struktur pendanaan serupa seharusnya juga dapat
diterapkan dalam pengembangan vaksin bagi penyakit lainnya.
15
dikenal sebagai blood flukes) yang disebut schistosoma. Penyakit ini menghambat pertumbuhan
anak-anak dan menurunkan prestasi belajar mereka di sekolah. 13 penyakit tropis terabaikan
(neglected tropical diseases) yang diperingkat berdasarkan tingkat penyebarannya secara global
(jumlah orang yang terjangkit). Secara keseluruhan, penyakit-penyakit ini telah menyebabkan
kematian 534.000 orang setiap tahunnya. Akan tetapi kebanyakan penyakit ini dapat
disembuhkan dapat dicegah dengan perbaikan lingkungan pada sumbernya dan akhirnya dapat
ditangkal melalui vaksin. Dalam banyak kasus, meskipun biaya menanggulangi semua penyakit
ini sebenarnya relative murah, yang menyedihkan adalah semua penyakit ini kurang mendapat
perhatian. Meskipun demikian semua jenis penyakit “terabaikan itu akhirnya mulai mendapat
perhatian yang selayaknya. Global Network for Neglected Diseases sedang mengoordinasikan
suatu kampanye untuk menanggulangi penyakit yang menghantui ini.
Dampak merusak dari kesehatan yang buruk terhadap kematian anak-anak sudah cukup
jelas. Akan tetapi, apakah kondisi kesehatan yang buruk di Negara-negara berkembang juga
merugikan produktivitas orang-orang dewasa? Jawabannya tampaknya adalah iya. Beberapa
studi menunjukkan bahwa orang-orang yang lebih sehat akan memperoleh upah lebih tinggi.
Pemenang Nobel Robert Fogel telah menemukan bahwa tubuh para warga Negara maju sekarang
lebih tinggi dibandingkan dua abad yang lalu dan mengemukakan bahwa tinngi tubuh seseorang
merupakan indeks yang dapat digunakan untuk menentukan kesehatan dan kesejahteraan umum
penduduk. Peningkatan tinggi badan juga telah ditemukan di Negara-negara berkembang dalam
beberapa dasawarsa belakangan yang mengindikasi adanya kondisi kesehatan yang semakin
baik. Dalam kebanyakan kasus, peningkatan rata-rata tinggi tubuh yang cepat di awal abad kedua
puluh diikuti dengan peningkatan yang lebih lambat di pertengahan abad tersebut.
Jika tinggi tubuh merupakan indicator kondisi kesehatan umum, dan meningkatnya
kesehatan akan menghasilkan produktivitas lebih tinggi maka orang-orang yang lebih tinggi
tentunya akan menghasilkan lebih banyak (kecuali jika tinggi tubuh juga mengukur karakteristik
produktivitas lainnya. Perhatikan juga bahwa hubungan ini dapat diperluas dengan ukuran
alternative kesehatan, seperti indeks massa tubuh yang mencerminkan kesehatan dan nutrisi
jangka pendek dan jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian ini dan telaah literature Strauss
16
dan Thomas menyimpulkan bahwa kesehatan dan nutrisi memang meningkatkan produktivitas
dengan peningkatan terbesar adalah bagi mereka yang pada awalnya berpendidikan paling
rendah dan miskin. Dengan demikian sangat banyak bukti menunjukkan bahwa kesehatan dan
nutrisi memengaruhi lapangan kerja, produktivitas, dan upah, dan pengaruh itu sangat substansial
di kalangan orang-orang yang sangat miskin. Temuan ini mengedepankan pentingnya prioritas
kebijakan kesehatan dalam pembangunan; kesehatan bukan hanya tujuan utama itu sendiri, tetapi
juga berdampak signifikan terhadap tingkat pendapatan. Setelah melakukan telaah literature
mendalam serta analisis statistic dan data yang rumit, Strauss dan Thomas menyimpulkan “bukti
menunjukkan pengaruh positif peningkatan nutrisi terhadap upah, setidaknya di kalangan orang
yang kurang nutrisi”. Dengan demikian, kita dapat lebih yakin menyatakan bahwa penduduk
yang sehat merupakan prasyarat bagi pembangunan yang berhasil.
WHO mendefinisikan system kesehatan (health system) sebagai “semua aktivitas yang
tujuan utamanya meningkatkan, memulihkan, dan mempertahankan kesehatan”. System
kesehatan mencakup komponen kementrian dan dinas kesehatan masyarakat, rumah sakit dan
klinik, serta dokter dan paramedic. Di luar system formal ini terdapat jaringan informal yang
dimanfaatkan banyak warga miskin yang mencakup tabib tradisional yang mungkin
menggunakan cara pengobatan herbal yang efektif, cara-cara lain yang memberikan manfaat
kesehatan seperti akupuntur, atau mereka yang menggunakan cara-cara penyembuhan yang tidak
terbukti efektif selain hanya menimbulkan pengaruh placebo terhadap pasien. Telah lama
diketahui bahwa sitem kesehatan di beberapa Negara berkembang jauh lebih efektif daripada
system kesehatan Negara berkembang lainnya dalam upaya mencapai tujuan-tujuan kesehatan.
17
kemiskinan. Kedua, rumah tangga mengeluarkan dana yang terlalu sedikit untuk kesehatan
karena mereka mungkin mengabaikan eksternalitas (misalnya kemungkinan tertular penyakit).
Ketiga, pasar berinvestasi terlalu sedikit dalam infrastruktur, penelitian dan pengembangan, serta
transfer teknologi kesehatan ke Negara-negara berkembang karena adanya kegagalan pasar.
Keempat, program-program kesehatan masyarakat di Negara-negara berkembang telah banyak
yang terbukti berhasil. Masing-masing pemerintah di berbagai Negara memainkan peran yang
berbeda-beda, tetapi bagaimana yang disimpulkan WHO, “Manajemen kesejahteraan penduduk
yang dilakukan secara seksama dan bertanggung jawab suatu pelayanan merupakan esensi
pemerintahan yang baik. Kesehatan penduduk selamanya menjadi prioritas nasional: tanggung
jawab pemerintah atas hal ini akan terus berkelanjutan dan bersifat permanen.
18
Studi Kasus
Progresa adalah singkatan dari Program Pendidikan, Kesehatan, dan Nutrisi yang
dilancarkan pemerintah Mexico. Progresa bertujuan untuk menanggulangi praktik pekerja nak
dan meningkatkan pendidikan dan kesehatan dengan memastikan bahwa orang tua dapat
memberi makan anak-anak mereka, dan menjaga anak-anak mereka dengan memberikan insentif
finansial. Progresa ini dijalankan karena semakin meningkatnya kesadaran masyarakat bahwa
kesehatan, nutrisi, dan pendidikan saling melengkapi untuk mengentaskan kemiskinan. Dalam
program ini dipromosikansebuah paket kegiatan terintegrasi untuk meningkatkan status
pendidikan, kesehatan dan mutrisi keluarga miskin di Mexico dengan menyediakan bantuan
langsung tunai. Berdasarkan bantuan ini, para orang tua dengan pendapatan rendah dapat
menyekolahkan anak-anak mereka dan membawanya ke klinik kesehatan.
Sebelum program ini dilaksananakan, berbagai program telah terlebih dahulu dilakukan.
Contohnya seperti program subsidi makanan yang bahkan gagal untuk menjangkau masyarakat
miskin di Mexico. Tidak ada mekanisme yang dapat menjamin bahwa semua masyarakat miskin
diuntungkan dari kebijakan subsidi makanan ini. Pasca kebijakan subsidi ini dilajankan, msih
terdapat banyak kasus malnutrisi di keluarga miskin yang terjadi di Mexico. Oleh karena itu,
karena masalah ekonomi ini banyak anak-anak di Mexico memilih untuk bekerja daripada
bersekolah.
19
apa. Jumlah bantuan yang diberikan akan mengalami peningkatan seiring sang anak naik kelas.
Hal ini dilakukan untuk mendorong sang anak untuk tetap menempuh pendidikan. Keluarga
dengan anak perempuan juga memperoleh sedikit lebih banyak karena anak perempuan lebih
rentan untuk putus sekolah.
20
DAFTAR PUSTAKA
Todaro, M. P. & Smith, S. C. (2015). Economic Development Twelfth Edition. United States of
America. Pearson.
21